Anda di halaman 1dari 7

SOAL NO 22.

Berikut ini Sloka-slokas kitab suci yang menjelaskan sumber Hukum Hindu antara lain adalah
sebagai berikut:
Berikut ini dapat disajikan beberapa sloka dari kitab suci yang menggariskan Veda sebagai
sumber hukum yang bersifat universal, antara lain sebagai berikut:
“Yaá pàvamànir adhyeti åûibhiá saý bhåaý rasam. sarvaý sa pùtam aúnati svaditaý màtariúvanà”

Terjemahan:

“Dia yang menyerap (memasukkan ke dalam pikiran) melalui pelajaran- pelajaran pemurnian
intisari mantra-mantra Veda yang diungkapkan kepada para rsi menikmati semua tujuan yang
sepenuhnya dimurnikan yang dibuat manis oleh Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi napas
hidup semesta alam (Ågveda IX.67.31).
“Pàvamànir yo adhyeti- åûibhiá saýbhåaý rasam tasmai sarasvati duhe

kûiraý sarpir madhùdakam”.

Terjemahan:

‘Siapapun juga yang mempelajari mantram-mantram veda yang suci yang berisi intisari
pengetahuan yang diperoleh para rsi, Devi pengetahuan (yakni Sang Hyang Saraswati)
menganugerahkan susu, mentega yang dijernihkan, madu dan minuman Soma (minuman
para Deva)’(Ågveda IX.67.32).
“Iyam te rad yantasi yamano dhruvo-asi dharunah.

kryai tva ksemaya tva rayyai tva posaya tva”.

Terjemahan:

Wahai pemimpin, itu adalah negara mu, engkau pengawasnya. Engkau mawas diri, teguh hati
dan pendukung warga negara. Kami mendekat padamu demi perkembangan pertanian,
kesejahteraan manusia, kemakmuran yang melimpah” (Yajurveda IX.22) dalam (Mudana dan
Ngurah Dwaja, 2015:81).
“Ahaý gåbhóàmi manasà manàýsi mama cittam anu cittebhir eta. mama vaseûu hrdayàni vah krnomi,
mama yàtam anuvartmàna eta”.

Terjemahan:

“Wahai para prajurit, Aku pegang (samakan) pikiranmu dengan pemikiran- Ku. Semoga anda
semua mengikuti aku menyesuaikan pikiran mu dengan pikiran-ku. Aku tawan hatimu.
Temanilah aku dengan mengikuti jalan-Ku, (Atharvaveda, VI.94.2).
Veda merupakan karunia ibu Saraswati, dan orang-orang yang mempelajari serta
mengamalkannya dengan keyakinan yang mantap akan terpenuhi keinginannya. Mantra-
mantra Veda mengandung kekuatan kedevataan dan sabda suci ini hendaknya diajarkan
kepada semua orang dalam profesi apapun di masyarakat bahkan orang-orang asingpun
tidak tertutup untuk mempelajari kitab suci Veda, ajarannya bersifat abadi memberikan
perlindungan kepada umatnya. Selanjutnya kitab smrti menjelaskan sebagai berikut;
“Kàmàtmatà na praúasta na caiwe hàstya kàmatà, kàmyo hi wedàdhigamaá karmayogasca waidikaá”

Terjemahan:
Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh phala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa
keinginan akan phala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu
bersumber dari mempelajari Veda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Veda (Manawa
Dharmasastra, II.2).
“Teûu samyag vartta màno gacchatya maralokatàm, yathà samkalpitàýúceha sarwan kaman
samaúnute”

Terjemahan:

Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur


dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh
semua keinginan yang ia mungkin inginkan (Manawa Dharmasastra, II.5) dalam (Mudana dan
Ngurah Dwaja, 2015:82).
“Yo’ varnanyeta te mùle hetu úàstràúrayad dvijaá, sa sàdhubhir bahiûkàryo nàstiko vedanindakaá”.

Terjemahan:

Setiap dwijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan memandang
rendah kedua sumber hukum (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bijak sebagai
seorang atheis dan yang menentang Veda (Manawa Dharmasastra, II.11).
“Kitrúaá sisyo ‘dhyàpya ityàha; àcàrya putrah úuúrusur jnànado dharmika úuciá,

àptaá úakto rthadaá sàdhuá

svo ‘dhyàpyo daúa dharmataá”.

Terjemahan:

Menurut hukum suci, kesepuluh macam orang-orang berikutnya adalah putra guru yaitu ia
yang berniat melakukan pengabdiannya, ia yang memberikan pengetahuan, orang yang
sepenuh hatinya mentaati UU, orang yang suci, orang yang berhubungan karena perkawinan
atau persaudaraan orang yang memiliki kemampuan rohani, orang yang menghadiahkan
uang, orang yang jujur dan keluarga (mereka) dapat mempelajari Veda (Manawa
Dharmasastra, II.109) dalam (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:83).
“Yam eva tu úuciý vidyàm niyataý brahmacàrinam, tasmai màý brùhi vipràya nidhipàyà pramàdine”.

Terjemahan:

Tetapi serahkanlah saya kepada seorang brahmana yang anda ketahui pasti bahwa ia orang
yang sudah suci, yang bisa mengendalikan panca indranya, berbudi baik dan tekun (Manawa
Dharmasastra, II.115).
“Pitådeva manuûyànàm Vedaú cakûuá sanàtanam, aúakyaý càprameyaý ca vedaúàstram iti
sthitiá”.
Terjemahan:

Veda adalah mata yang abadi dari para leluhur, Deva-Deva, dan manusia; peraturan-
peraturan dalam Veda sukar dipahami manusia dan itu adalah kenyataan yang pasti (Manawa
Dharmasastra, XII.94).
“Ya veda vàhyà småtayo yàs ca kàs ca kudåûþayaá, sarvàsta niûphalàá pretya tamo niûþhà hi tà
småtàá”
Terjemahan:

Semua tradisi dan sistem kefilsafatan yang tidak bersumber pada Veda tidak akan memberi
pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber dari kegelapan (Manawa
Dharmasastra, XII.95).
“Utpadyànte cyavante ca yànyato ‘nyàni kànicit, tànyarvakalika tayà niûphalànya nåtàni ca”.

Terjemahan

Semua ajaran yang timbul, yang menyimpang dari Veda segera akan musnah, tidak berharga
dan palsu karena tak berpahala (Manawa Dharmasastra, XII. 96) dalam (Mudana dan Ngurah
Dwaja, 2015:84).
“Vibhartti sarva bhùtàni veda úàstraý sanàtanam, tasmàd etat param manye yajjantorasya sàdhanam”.

Terjemahan:

Ajaran Veda menyangga semua makhluk ciptaan ini, karena itu saya berpendapat, itu harus
dijunjung tinggi sebagai jalan menuju kebahagiaan semua insan (Manawa Dharmasastra, XII.
99).
“Senàpatyaý ca ràjyaý ca daóða netåtwam eva ca, sarva lokàdhipatyaý ca veda úàstravid arhati”.

Terjemahan:

Panglima angkatan bersenjata, Pejabat pemerintah, Pejabat pengadilan dan penguasa atas
semua dunia ini hanya layak kalau mengenal ilmu Veda itu (Manawa Dharmasastra, XII.100).
“Doûair etaiá kula-ghnànàý varna-saókara-kàrakaih, utsàdyante jàti-dharmàá kula-dharmàú ca
úàúvatàá”.

Terjemahan:

Karena dosa dan kehancuran keluarga ini membawa keruntuhan bagi hukum golongan (varna
dharma), kebiasaan keluarga dan hukum keluarga hancur untuk selama-lamanya,
(Bhagawadgìtà, I.43) dalam (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:85).
“Atha cet tvam imaý dharmyaý saògràmaý na kariûyasi,

tatah sva-dharmaý kirtiý ca hitvà pàpam avàpsyasi”.

Terjemahan:

Akhirnya bila engkau tidak berperang, sebagaimana kewajiban, dengan meninggalkan


kewajiban dan kehormatan, maka penderitaanlah yang akan kau peroleh, (Bhagawadgìtà,
II.33).
“Yadà yadà hi dharmasya glànir bhavati bhàrata, abhyutthànam adharmasya tadàtmànam srjàmy
aham”.

Terjemahan:

Sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela,


wahai arjuna, saat itu aku ciptakan diriku sendiri, (Bhagawadgìtà, IV.7).
“Paritràóàya sàdhànàý vinàsàya ca duûkrtàm, dharma-saýsthàpanàrthaya sambhavàmi yuge-yuge”.

Terjemahan:
Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnahkan orang-orang jahat, Aku lahir ke
dunia dari masa ke masa, untuk menegakkan dharma, (Bhagawadgìtà, IV.8).
“Kûipram bhavati dharmàtmà úaúvac-chàntiý nigacchati, kaunteya pratijànihi

na me bhaktaá pranaúyati”.

Terjemahan:

Dengan segera ia menjadi orang benar dan mencapai kedamaian yang kekal abadi;
ketahuilah, wahai Arjuna, para pemuja-Ku pasti tak akan memusnahkan, (Bhagawadgìtà,
IX.31) dalam(Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:86).
“Çrutyuktaá paramu dharmas- tathà smrti gato ‘parah, çistàcàrah parah proktasrayo dharmàá
sanàtanàá.

Kunang kengetakena, sasing kajar de sang hyang çruti dharma ngaranika, sakajar de sang hyang smrti
kuneng dharma ta ngaranika, çistacara kunang, acaranika sang çista, dharma ngaranika, sista ngaran
sang hyang satyawadi, sang apta, sang patisthan, sang panadahan upa deça sangksepa ika katiga,
dharma ngaranira.

Terjemahan:

Adapun yang patut untuk diingat-ingat, semua apa yang diajarkan oleh Çruti disebut dharma,
semua yang diajarkan oleh Smrti pun dharma namanya, demikian pula tingkah laku orang
çista disebut dharma, yang disebut çista adalah yang berkata-kata benar, orang yang dapat
dipercaya, orang yang menjadi tempat pensucian, orang yang menjadi tempat menerima
ajaran kerohanian, singkatnya ketiganya itu, dharma namanya, (Sarasamuçcaya, 40).
“Çruyatàm dharmasàswam çrutwà çaiwopadhàryatàm, atmanah pratikùlani na paresàm samàcara.

Matangnyan rengo sarwadàya, paramàrtha ning sinangguh dharma telas rinengonta çupwanantà ta ri
hati, ikang kadi ling mami ngùni wih, sasing tak kahyun yàwakta, yatika tanulahakenanta ring len.

Terjemahan:

Karena itu dengarkanlah segala upaya, makna yang dianggap dharma, setelah engkau
mendengarnya, camkan itu baik-baik di hati, sebagai mana yang telah saya katakan
sebelumnya, segala sesuatu yang tidak berkenan di hatimu, yang itu janganlah hendaknya
engkau lakukan kepada orang lain, (Sarasamuçcaya, 44) dalam (Mudana dan Ngurah Dwaja,
2015:87).
“Dharmaçcennàwasideta kapàlenàpi jiwataá,

àdhyo smityawagantawyam dharma wittà hi sadhawaá”.

Yadyapin atyanta daridra keta ngwang, mahuripa ta dening tasyan, yan langgeng apageh ring
dharmàprawrtti, hidepen ta sugih jugàwakta, apan anghing dharmaprawrtti, màs manik sang sàdhu
ngaranira, yatika prihen arjanan, yatika ling mami màs manik tan kena ring corahhayàdi.

Terjemahan:

Walaupun sangat miskin dan hidup dari hasil meminta-minta, jika tetap teguh dalam
menjalankan dharma, anggaplah dirimu kaya juga, sebab perbuatan dharma itulah
merupakan artha kekayaan orang yang saleh, yang itu supaya diusahakan, yang itu yang
kukatakan harta kekayaan yang tak dapat dicuri, dirampas dan sebagainya, (Sarasamuçcaya,
50).
“Dharmamàçarato wrttiryadi nopagamisyati,

na nama kin çilochàmbu çàkàdyapi wipatsyate”.

Lawan ling mami, ika sang kewala tumungkulanang dharma-prawrtti, tàtan penemwa upajìwananira,
apa matangnya tar polih angasag, gagan, wwai, lwirning sulabha takwanani harakanira.

Terjemahan:

Lagi pula kata ku, orang yang tekun melaksanakan dharma, tidak akan tidak memperoleh
penghidupannya, apa sebabnya tidak mendapatkan makanan, sayur-sayuran, air, segala
macam itu seakan-akan menawarkan dirinya untuk menjadi makanannya, (Sarasamuçcaya,
51).
Dharma “hukum” hendaknya dipedomani dan dilaksanakan dengan sungguh- sungguh dalam
pengabdian hidup ini guna mewujudkan hidup yang sejahtera dan bahagia. Demikian
hendaknya perbuatan kita dalam keseharian, betapapun sibuknya dalam melaksanakan
dharma. Usahakanlah sebagai sambilan mencari harta dalam kesibukan hidup ini. Bagaikan
sepasang sapi yang menyandang bajak di belakangnya, mengelilingi sawah disambilkan juga
mencabut rumput yang dekat padanya sehingga menjadi senang (Mudana dan Ngurah
Dwaja, 2015:88).
SOAL NO 23
Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode
pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Harus berdasarkan pada dharma
b. Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran,
ucapan, dan perilaku
e. Harus ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 1984:84) (Mudana dan
Ngurah Dwaja, 2015: 76).
SOAL NO 24

Teori Masuknya Hindu Budha Ke Indonesia


Teori masuknya Hindu Budha ke Indonesia yang dikemukakan para ahli sejarah umumnya terbagi
menjadi 2 pendapat.

1. Pendapat pertama menyebutkan bahwa dalam proses masuknya kedua agama ini, bangsa
Indonesia hanya berperan pasif. Bangsa Indonesia dianggap hanya sekedar menerima
budaya dan agama dari India. Ada 3 teori yang menyokong pendapat ini yaitu teori
Brahmana, teori Waisya, dan teori Ksatria.
2. Pendapat kedua menyebutkan bahwa banga Indonesia juga bersifat aktif dalam proses
penerimaan agama dan kebudayaan Hindu Budha. Dua teori yang menyokong pendapat ini
adalah teori arus balik dan teori Sudra.
1. Teori Brahmana oleh Jc.Van Leur
Teori Brahmana adalah teori yang menyatakan bahwa masuknya Hindu Budha ke Indonesia dibawa
oleh para Brahmana atau golongan pemuka agama di India. Teori ini dilandaskan pada prasasti-
prasasti peninggalan kerajaan Hindu Budha di Indonesia pada masa lampau yang hampir semuanya
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Saksekerta. Di India, aksara dan bahasa ini hanya dikuasai
oleh golongan Brahmana. Selain itu, teori masuknya Hindu Budha ke Indonesia karena peran
serta golongan Brahmana juga didukung oleh kebiasaan ajaran Hindu. Seperti diketahui bahwa
ajaran Hindu yang utuh dan benar hanya boleh dipahami oleh para Brahmana. Pada masa itu, hanya
orang-orang golongan Brahmana-lah yang dianggap berhak menyebarkan ajaran Hindu. Para
Brahmana diundang ke Nusantara oleh para kepala suku untuk menyebarkan ajarannya pada
masyarakatnya yang masih memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme.

2. Teori Waisya oleh NJ. Krom


Teori Waisya menyatakan bahwa terjadinya penyebaran agama Hindu Budha di Indonesia adalah
berkat peran serta golongan Waisya (pedagang) yang merupakan golongan terbesar masyarakat
India yang berinteraksi dengan masyarakat nusantara. Dalam teori ini, para pedagang India dianggap
telah memperkenalkan kebudayaan Hindu dan Budha pada masyarakat lokal ketika mereka
melakukan aktivitas perdagangan. Karena pada saat itu pelayaran sangat bergantung pada musim
angin, maka dalam beberapa waktu mereka akan menetap di kepulauan Nusantara hingga angin laut
yang akan membawa mereka kembali ke India berhembus. Selama menetap, para pedagang India ini
juga melakukan dakwahnya pada masyarakat lokal Indonesia.

3. Teori Ksatria oleh C.C. Berg, Mookerji, dan J.L. Moens


Dalam teori Ksatria, penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada masa lalu
dilakukan oleh golongan ksatria. Menurut teori masuknya Hindu Budha ke Indonesia satu ini,
sejarah penyebaran Hindu Budha di kepulauan nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kebudayaan India pada periode yang sama. Seperti diketahui bahwa di awal abad ke 2 Masehi,
kerajaan-kerajaan di India mengalami keruntuhan karena perebutan kekuasaan. Penguasa-penguasa
dari golongan ksatria di kerajaan-kerajaan yang kalah perang pada masa itu dianggap melarikan diri
ke Nusantara. Di Indonesia mereka kemudian mendirikan koloni dan kerajaan-kerajaan barunya yang
bercorak Hindu dan Budha. Dalam perkembangannya, mereka pun kemudian menyebarkan ajaran
dan kebudayaan kedua agama tersebut pada masyarakat lokal di nusantara.

4. Teori Arus Balik (Nasional) oleh F.D.K Bosch


Teori arus balik menjelaskan bahwa penyebaran Hindu Budha di Indonesia terjadi karena peran aktif
masyarakat Indonesia di masa silam. Menurut Bosch, pengenalan Hindu Budha pertama kali
memang dibawa oleh orang-orang India. Mereka menyebarkan ajaran ini pada segelintir orang,
hingga pada akhirnya orang-orang tersebut tertarik untuk mempelajari kedua agama ini secara
langsung dari negeri asalnya, India. Mereka berangkat dan menimba ilmu di sana dan sekembalinya
ke Indonesia, mereka kemudian mengajarkan apa yang diperolehnya pada masyarakat Nusantara
lainnya.

5. Teori Sudra oleh van Faber


Teori Sudra menjelaskan bahwa penyebaran agama dan kebudayaan Hindu Budha di Indonesia
diawali oleh para kaum sudra atau budak yang bermigrasi ke wilayah Nusantara. Mereka menetap dan
menyebarkan ajaran agama mereka pada masyarakat pribumi hingga terjadilah perkembangan yang
signifikan terhadap arah kepercayaan mereka yang awalnya animisme dan dinamisme menjadi
percaya pada ajaran Hindu dan Budha.

Nah, demikianlah beberapa teori masuknya Hindu Budha ke Indonesia beserta bukti-bukti
sejarahnya. Dari kelima teori tersebut, teori Brahmana yang dikemukakan oleh Jc.Van Leur dianggap
sebagai teori terkuat karena ditunjang oleh bukti-bukti yang nyata. Demikian semoga bermanfaat.
Essai no 41

Bagian bagian catur asrama

BRAHMACARI ASRAMA

Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari
diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana
(Ijazah).

B. GRHASTA ASRAMA

Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah
merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali
dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai
pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan,
melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).

C. WANAPRASTA ASRAMA

Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan
diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma.
Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami
arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam
kehidupan sehari- hari.

D. SANYASIN ASRAMA

Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia
sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang
benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat
suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa.

Anda mungkin juga menyukai