Anda di halaman 1dari 4

Bagaimana Sikap Kita di dalam

Liturgi?
Jika kita secara pribadi diundang pesta oleh Bapak Presiden, tentu kita akan
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan berpakaian yang sopan, bersikap
yang pantas, dan tidak datang terlambat. Mari kita memeriksa diri, sudahkah kita
bersikap demikian di dalam ‘pertemuan’ kita dengan Tuhan di dalam liturgi,
khususnya dalam perayaan Ekaristi? Karena Tuhan jauh lebih mulia dan penting
daripada Presiden, seharusnya persiapan kita jauh lebih baik daripada persiapan
bertemu dengan Presiden.

Langkah #1: Mempersiapkan diri


sebelumnya dan mengarahkan hati
sewaktu mengikuti liturgi
Untuk menghayati liturgi, kita harus sungguh mempersiapkan diri sebelum
mengambil bagian di dalamnya. Contohnya ialah: membaca dan merenungkan
bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang
lebih awal, berpuasa (1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan terutama berpuasa
sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan), memeriksa batin, jika
dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat
sebelum menerima Ekaristi.
Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus selalu mempunyai sikap hati yang
benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kembali mengarahkan hati kepada Tuhan.
Kita harus mengarahkan akal budi kita untuk menerima dengan iman bahwa Yesus
sendirilah yang bekerja melalui liturgi, dan Roh KudusNya yang menghidupkan
kata-kata doa dan Sabda Tuhan di dalam liturgi, sehingga menguduskan tanda-
tanda lahiriah yang dipergunakan di dalamnya untuk mendatangkan rahmat
Tuhan.
Sikap hati yang baik ini juga diwujudkan dengan berpakaian sopan, tidak ‘ngobrol’,
dan tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM di gereja. Sebab jika
demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.

Langkah #2: Bersikap aktif: tidak


hanya menerima tapi juga memberi
kepada Tuhan
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup
dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi (lih. St. Thomas
Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.). Di dalam liturgi, penyembahan kepada
Tuhan mencapai puncaknya, saat Kristus bersama dengan kita mempersembahkan
diri kepada Bapa dan pada saat kita menerima buah penebusan Kristus melalui
Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di dalamnya Kristus
menjadi Imam Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. (KGK 1348, 1364,1365)
Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar
menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam
Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri
kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita
persatukan dengan kurban Kristus (lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the
Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73). Setiap kali
menghadiri misa, kita bawa segala kurban persembahan kita untuk diangkat ke
hadirat Tuhan, terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah
menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban
Yesus. Liturgi menjadi penyembahan yang sempurna, sebab Kristus, satu-satunya
Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan
kita. Bersama Yesus di dalam liturgi, kita akan dapat menyembah Allah Bapa di
dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi Roh Kudus bekerja
menghadirkan Kristus, Sang Kebenaran itu sendiri.
Kehadiran Yesus tidak hanya terjadi di dalam Ekaristi, tetapi juga di dalam liturgi
yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan
suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk
aktif berpartisipasi agar dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini
bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis,
melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan
memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.

Langkah #3: Jangan memusatkan perhatian


pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Jadi, untuk menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus,
dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada
kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Yesus sendiri hadir di
dalam liturgi dan berbicara kepada kita. Dengan berfokus kepada Kristus, kita akan
memperoleh kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak
sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam
pengharapan karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus
dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Jika kita memusatkan hati dan pikiran kepada Kristus, maka kita tidak akan terlalu
terpengaruh dengan musik atau koor yang kurang sempurna, khotbah yang kurang
bersemangat, hawa panas ataupun banyak nyamuk -walaupun tentu saja, idealnya
semua itu diperbaiki ataupun diatasi. Kita bahkan dapat mempersembahkan
kesetiaan kita di samping segala ketidaksempurnaan itu sebagai kurban yang
murni bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk
turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara
menghasilkan ‘buah’ dari rahmat Tuhan yang kita terima melalui liturgi.
Perhatian kepada Kristus akan mengarahkan kita untuk bersikap dan berpakaian
yang pantas di gereja. Kita tidak akan berpakaian minim seperti dengan rok mini,
celana pendek ataupun celana leggings, baju tanpa lengan atau bahkan tank top,
dengan potongan leher rendah dan model yang terbuka. Penghormatan kepada
Kristus mendorong kita untuk tidak memakai sandal jepit ataupun selop santai ke
gereja, jika sebenarnya kita mempunyai sepatu. Cara berpakaian seenaknya
sebenarnya menunjukkan bahwa kita tidak sungguh menghayati, kepada Siapakah
sebenarnya kita datang menghadap. Jangan sampai cara berpakaian kita malah
menarik perhatian banyak orang kepada kita, dan dengan demikian kita menjadi
batu sandungan bagi orang lain yang ingin memusatkan perhatian kepada Tuhan.
Semoga hal ini dapat menjadi permenungan; dan para orang tuapun dapat
memberikan contoh yang baik dan mendorong anak- anak agar berpakaian yang
sopan ke gereja. Sudah selayaknya kita ingat bahwa penghayatan iman di dalam
hati akan terpancar ke luar dengan sendirinya. Jika kita tidak bisa berpakaian
dengan sopan dan hormat, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita
mempunyai sikap batin yang baik di hadapan Tuhan?
Tahap selanjutnya adalah, mari belajar untuk sungguh berdoa pada saat kita
mengucapkan doa dalam liturgi. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan
merupakan kata-kata kosong, artinya hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh
keluar dari hati. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita
harus mengusahakannya dengan mengarahkan hati, dan mempersiapkan diri
dengan lebih sungguh, sebagaimana telah disebut di atas.
Demikianlah, mari kita memberikan sikap batin yang lebih baik di dalam liturgi.
Mengapa ini penting? Sebab dengan sikap batin yang baik, kita akan menerima efek
yang penuh dari liturgi. Konsili Vatikan II mengajarkan, “… Supaya liturgi dapat
menghasilkan efek yang penuh, adalah penting bahwa umat beriman datang
menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka
menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan
rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).”
(Sacrosanctum Concillium 11) Tentu tak ada satupun dari kita yang mau menerima
rahmat Tuhan dengan sia-sia. Kita semua ingin menerima buah-buah liturgi suci di
dalam hidup kita. Maka, mari kita datang dengan sikap batin yang baik, terutama
dalam perayaan Ekaristi yang setiap minggu atau bahkan setiap hari kita hadiri.

Anda mungkin juga menyukai