Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 10

Intan Tia Nurrochmah (I1C018037)

Fernando Andreas T. (I1C018039)

TEMU HITAM

(Curcuma aeruginosa)

Sistematika Tumbuhan

Menurut Hutapea dan Syamsuhidayat (2001), sistematika tumbuhan temu hitam adalah sebagai
berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma aeruginosa Roxb.

Sinonim

Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu hitam, tersebar luas di Asia Tenggara, memiliki nama lokal
temu erang (Sumatra), temu ireng (Jawa Tengah dan Jawa Timur), temu ereng (Madura), koneng hideung
(Jawa Barat), temu lotong (Sulawesi dan Nusa Tenggara), merupakan salah satu tanaman obat yang
tumbuh di Indonesia (Djauharia & Sufiani, 2007).

Simplisia (Bagian Tanaman yang Digunakan sebagai Obat)

Bagian dari temu hitam yang dimanfaatkan sebagai obat adalah rimpangnya. Simplisia temu
hitam merupakan rimpang temu hitam yang sudah melalui proses pengeringan. Nama simplisia dari
temu hitam adalah Curcuma aeruginosa Rhizoma (Rimpang Temu Hitam). Kadar minyak atsiri tidak
kurang dari 0,3% v/b (Depkes RI, 1978).
Gambar Tanaman dan Simplisia

(Mandasari, 2017)

Identitas Mikroskopis

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia rimpang temu hitam terdapat fragmen
sel-sel parenkim berisi minyak yang berwarna kuning kecoklatan, jaringan gabus, serta
berkas pembuluh kayu.
(Mandasari,
2017)
(Depkes RI, 1978)

Epidermis terdiri dari 1 lapis sel, pada epidermis terdapat rambut penutup berbentuk kerucut,
lurus atau agak bengkok. Hipodermis terdiri dari beberapa lapis sel berwarna kuning kecoklatan.
Periderm terdiri dari beberapa lapis sel berbentuk segi empat sampai persegi panjang, warna kuning
kecoklatan sampai coklat kehitaman. Korteks parenkimatik, terdiri dari sel-sel berbentuk isodiametrik,
berisi butir pati; sel sekresi dan berkas pembuluh tersebar di korteks. Butir pati umumnya berbentuk
lonjong dengan ujung menonjol hingga mirip berbentuk botol, lamela jelas. Sel sekresi berisi minyak dan
pembuluh kayu berpenebalan bentuk tangga dan jala. Endodermis terdiri dari sel-sel yang agak pipih.
Silinder pusat terdiri dari sel parenkim serupa parenkim di korteks; berkas pembuluh, sel sekresi dan
butir pati serupa di korteks (Depkes RI, 1978).

Identitas Makroskopis Temu Hitam

(Mandasari, 2017)

Temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) merupakan tanaman semak berumur tahunan.
Batangnya berwarna hijau dan agak lunak. Daunnya berbentuk bundar memanjang. Warna daun hijau
tua sampai cokelat keunguan yang gelap. Rimpang temu hitam tergolong besar serta bercabang-cabang.
Apabila rimpang yang tua dipotong akan terlihat berwarna biru gelap dengan warna kulit bagian luar
kuning mengkilap dan ujungnya berwarna merah (Muhlisah,1999).

Di dataran rendah anakan mencapai 11 sedangkan di dataran tinggi hanya separuhnya. Panjang
daun 39 cm, lebar 12 cm, berjumlah 5-6 helai. Permukaan daun bagian atas bergaris menyirip, ibu tulang
daun atau kedua sisinya berwarna coklat merah sampai ungu. Berbunga pada umur 5 bulan atau lebih,
bunga keluar dari ketiak daun, warna bunga putih atau kekuningan, dengan tangkai berwarna hijau. Kulit
rimpang tua berwarna putih kotor, warna dagingnya kelabu. Apabila rimpang dipotong melintang terlihat
cincin berwarna biru atau kehitaman. Rasa rimpang getir dengan aroma sedang (Efizal, 2013).

Tumbuhan temu hitam merupakan tumbuhan terna berbatang semu, tinggi 2 m, berwarna
hijau atau cokelat gelap, rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang kuat, sebagian
berwarna biru dan sebagian berwarna putih. Tiap tumbuh mempunyai daun 2 helai sampai 9 helai,
berbentuk bundar memanjang, berwarna hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap, panjang 31-
84 cm, lebar 10-18 cm (Depkes RI, 1978).

Rimpang temu hitam berbentuk kepingan, pipih, keras, panjang 1cm – 5cm, lebar 1cm – 3cm,
tebal sampai 0,5cm, tepi agak melengkung, permukaan berwarna coklat keabu-abuan atau jingga keabu-
abuan. Batas korteks dengan silinder pusat jelas. Bekas patahan agak rata, tidak berserat, agak berdebu
(Depkes RI, 1978).

Masa Panen

Menurut Efizal (2013), panen dilakukan terhadap rimpang yang telah tua ketika umur 7 bulan.
Produksi rimpang segar mencapai 1 kg per rumpun. Temu-temuan merupakan tanaman semusim dengan
umur rata-rata sembilan bulan. Masa panen temu ireng atau temu hitam biasanya sama dengan temu-
temuan yang lain yaitu rimpang temu ireng dapat dipanen setelah berumur 10 bulan tanam jika bibit
berasal dari rimpang induk, atau 2 tahun jika bibit berasal dari rimpang anakan. Di Jawa, temu-temuan
selalu tumbuh pada awal musim penghujan, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Tanaman ini sudah
akan menghasilkan umbi yang bisa dipanen pada bulan Mei atau Juni. Namun, kualitas umbi yang benar-
benar baik hanya bisa diperoleh dari panen umbi yang dilakukan pada bulan Juli. Ketika itu daun dan
batang semu tanaman sudah mongering, ketuaan umbi juga bisa dilihat dari penampilan rimpangnya
sendiri. Rimpang yang telah tua berpenampilan gemuk, padat dengan sisik-sisik yang melingkarinya telah
mengering. Dari satu rumpun tanaman, akan bisa dipanen bongkahan rimpang yang bisa langsung
dipecah-pecah menjadi 4-5 bagian. Para petani biasanya menyeleksi rimpang yang cukup baik untuk
benih. Ciri rimpang yang baik tersebut, selain ditentukan oleh diameter dan panjang, juga tingkat
ketuaan dan ada tidaknya cacat.

Cara memanen :

Lakukan pemanenan saat bagian tanaman diatas permukaan tanah tampak mengering. Umur
tanaman 10 bulan bila bibit berasal dari rimpang induk, atau 2 tahun bila bibit berasal dari rimpang
anakan.

Gali tanah dengan garpu secara hati-hati.

Bersihkan rimpang dari tanah dan kotoran kemudian cuci dengan air hingga bersih.

Angin-anginkan rimpang hingga kering dari air.

Simpan rimpang di tempat yang bersih dan kering.

Penjemuran hasil irisan rimpang empon-empon, paling baik dilakukan di atas anyaman bambu
(widig) yang ditaruh di atas rak setinggi 1 m. Ukuran widig, lebar 1,5 m. dengan panjang sekitar 6 m.
Penjemuran dengan wadah demikian akan menghasilkan kualitas rimpang kering paling baik. Setiap 2-3
jam, harus dilakukan pembalikan (pengadukan), agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat dan
kualitas umbi kering lebih baik. Untuk memperoleh irisan rimpang kering dengan kadar air 15%,
diperlukan waktu pengeringan sekitar tiga hari dalam cuaca terik. Namun, agar kadar air mencapai 10%,
rimpang kering tersebut perlu dikeringkan lagi dengan dryer. Baik dryer dengan sumber panas matahari,
kayu, minyak bakar maupun listrik. Rimpang kering ini bisa langsung dipasarkan.

Pascapanen

Rimpang yang telah bersih itu selanjutnya ditiriskan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-
angin. Caranya dengan menghamparkannya di atas lantai yang bersih dan teduh. Tahap berikutnya,
rimpang yang masih berkulit itu diiris dengan alat perajang. Alat ini berupa tempat untuk memasukkan
rimpang, pisau perajang dan wadah penampung irisan.

Alat perajang ini bisa digerakkan secara manual dengan tangan, pedal sepeda (kaki) atau dengan
mesin. Mesin perajang bisa bertenaga disel, bensin, dan tenaga listrik. Pilihan mesin perajang ini sangat
ditentukan oleh volume rimpang temu-temuan yang akan dirajang. Semakin banyak volume temu-
temuan yang akan dirajang, semakin diperlukan alat perajang yang lebih besar dengan mesin
berpenggerak disel, bensin maupun listrik. Industri perajang komoditas pertanian umumnya
menggunakan mesin berpenggerak listrik. Mesin portable dengan penggerak disel atau bensin,
sebenarnya juga akan menjadi sangat ekonomis. Syaratnya, volume rimpang yang akan dirajang cukup
besar, sementara jarak areal penanaman dengan lokasi pengolahan cukup jauh. Dalam kondisi demikian,
pembersihan rimpang, pencucian dan pengeringanginan, seluruhnya dilakukan di lokasi panen. Setelah
itu mesin perajang bertenaga BBM diangkut ke lokasi. Demikian pula dengan widig dan rak untuk
menjemur. Di lokasi lahan inilah dilakukan perajangan rimpang. Hasil irisan langsung dijemur di lokasi.

Ada dua kualitas irisan rimpang kering. Pertama, rimpang diiris langsung tanpa dikupas. Kedua,
rimpang dikupas dan dicuci baru kemudian diiris. Irisan rimpang yang dikupas ini, langsung dijemur
sampai kering. Harga irisan rimpang kering kupasan, lebih tinggi dibanding dengan yang tidak dikupas.
Pengupasan rimpang temu-temuan, paling tepat dilakukan dengan pisau yang terbuat dari bambu.
Tujuannya, agar diperoleh kupasan yang relatif bersih, namun daging umbi tidak ikut terpotong. Sebab
yang akan dibuang dari permukaan rimpang hanyalah kulit ari tipis. Pengupasan dengan pisau akan
potensial membuang daging umbi cukup banyak.

Temu hitam banyak dipasarkan dalam bentuk umbi utuh yang telah besar dan tua dalam kondisi
masih segar. Akhir-akhir ini, industri farmasi modern juga sudah mulai membutuhkan ekstrak rimpang
temu-temuan dalam volume yang juga cukup besar. Untuk bisnis dengan skala yang besar, lebih baik
memasarkan dalam bentuk simplisia, yang umum digunakan sebagai bahan obat atau industri jamu. Cara
membuat simplisia temu hitam, seperti juga jenis tanaman obat tradisional lainnya. Rimpang temu hitam
yang telah dipanen, dibersihkan dan dirajang, serta dikeringkan atau dijemur secara tidak langsung.
Simplisia temu hitam dilingkungan industri jamu dikenal sebagai Curcumae aeruginosae Rhizome.

Kandungan Senyawa Aktif


Rimpang temu hitam digunakan sebagai obat tradisional karena mengandung senyawa-senyawa
bioaktif seperti saponin, flavonoid, polifenol, triterpenoid, dan glukan (Sweetymol & Thomas, 2014;
Kitamura et al., 2007). Temu hitam mengandung minyak atsiri, kurkuminoid (kurkumin I, II, III), alkaloid,
saponin, pati, damar, dan lemak (Balittro, 2006). Kandungan minyak atsiri rimpang temu hitam menurut
Agusta (2011) antara lain 1,8-cineole, zedoarol, isocurcumenol, curcumenol, dan furanodienone,
curzerenone.

Kandungan utama rimpang adalah pati (64%) sehingga digunakan sebagai sumber panganan
pada masa paceklik serta mengandung kurkumin. Minyak atsirinya (0,4% v/b) mengandung terpena,
seskwiterpena, alkohol, fenol, aldehida, keton, dan ester. Rimpang tua digunakan sebagai bahan baku
jamu atau obat tradisional, untuk obat batuk, asma, cacing gelang-gelang/kremi, kudis, koreng, badan
terlalu gemuk (melangsingkan tubuh), kurang segar sehabis nifas/haid, encok, dan menstimulir kerja
lambung (Efizal, 2013).

Temu ireng diketahui mengandung saponin, flavonoid, amilum, lemak, zat pahit, zatwarna biru,
tannin dan polifenol juga minyak atsiri 0,3 – 2 % (Hutapea & Syamsulhidayat, 2001). Rimpang temu ireng
mengandung saponin, minyak atsiri, flavonoid, kurkuminoid, zat pahit, damar, lemak, mineral, minyak
dan saponin. Kandungan minyak atsiri terbesar terdapat pada irisan temu ireng, dan kadar minyak atsiri
maksimal terdapat pada waktu rimpang belum bertunas dan mengeluarkan batang atau daun yang
tumbuh. (Widyawati M, Darsono FI, Senny YE, 2003).

Indikasi

Rimpang temu hitam digunakan untuk ramuan galian dan anti rematik atau inflamasi
(Reanmongkol et al., 2006), penyakit kulit (Djauharia & Sufiani, 2007), batuk dan asma (Nasrullah et al.,
2010), anti mikroba (Angel et al., 2012), anti cendawan (Srivastava et al., 2006), dan anti oksidan
(Nurcholis et al., 2015). Rimpang temu hitam juga biasa digunakan untuk bahan jamu atau obat
tradisional yang berkhasiat sebagai peluruh dahak, karminatif, anthelmintik, dan stomakikum (Hutapea &
Syamsulhidayat, 2001).

Rimpang temu hitam berkhasiat karminatif, peluruh dahak, meningkatkan nafsu makan,
anthelmintik, dan pembersih darah setelah melahirkan atau setelah haid. Selain itu, temu hitam juga
dapat berkhasiat mengobati penyakit kulit, meredakan kolik atau mulas, obat batuk, asma, dan sariawan
(Muhlisah, 1999). Rimpang temu hitam rasanya pahit, tajam, dingin. Rimpang berkhasiat untuk
membangkitkan nafsu makan, melancarkan keluarnya darah kotor setelah melahirkan, penyakit kulit
seperti kudis, dan borok, perut mules (kolik) ,sariawan, batuk, sesak nafas, dan cacingan, encok,
kegemukan badan (Setiawan,2005).

Mekanisme

Minyak atsiri adalah bagian komponen tanaman yang mempunyai banyak manfaatnya.
Salah satunya manfaat dalam bidang kesehatan yaitu sebagai anti bakteri. Minyak atsiri berupa
cairan kental kuning emas mengandung Monoterpen dan Sesquiterpen. Monoterpen Curcuma
aeruginosa terdiri dari Monoterpen Hidrokarbon (alfa pinen, D-kamfen), Monoterpen Alkohol
(D-borneol), Monoterpen Keton (D-kamfer), dan Monoterpen Oksida (sineol). Dari hasil
penelitian dikemukakan bahwa minyak atsiri memiliki anti mikroba terhadap S. aureus dan
E.coli.

Minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan cara merusak
dinding sel bakteri, karena bakteri memiliki lapisan luar yang disebut dinding sel yang dapat
mempertahankan bentuk bakteri dan melindungi membran protoplasma dibawahnya. Selain
itu, minyak atsiri juga memiliki kemampuan merubah molekul protein dan asam nukleat. Temu
Hitam dikenal dapat menyembuhkan luka luar. Tak hanya bisa mengobati luka luar, tapi Temu
Ireng dapat mengobati penyakit dalam. Penyebab terjadinya luka dapat disebabkan oleh
berbagai macam dan termasuk jenis lukanya. Luka akan menimbulkan seperti kerusakan kulit,
jaringan otot, bahkan sampai tulang. Luka terdiri dari beberapa kategori yaitu luka abrosi (lecet),
luka laserasi (luka robek), luka kontusio (luka memar), dan luka tusuk (Lazuardi, 2010).

Menurut Dirdjosudjono, Taroeno, Sudjiman, dkk, Bagian Farmakolgi Fakultas Kedokteran


Hewan dan Bagian Farmakologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM, perasan rimpang Temu hitam
dapat membunuh cacing ascaris babi seperti piperasin sitrat. Cairan rimpang dapat menekan
amplitude kontraksi spontan usus kelinci.

Taroeno, Kun Sumardiyah S, dan Sugiyanto, Bagian Biologi Farmasi, Fakutas Farmasi UGM,
menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya, daya membunuh cacing dari rimpang temu
hitam pada cacing ascaris babi secara in vitro, ternyata daya anthelmintik minyak atsirinya
paling kuat dibandingkan dengan perasan ataupun infuse temu hitam.

Endah Eny Riayati Fakultas Farmasi UGM, tahun 1989, melakukan penelitian daya
anthelmintik rebusan rimpang temu hitam terhadap Ascaridia galli secara in vitro. Ternyata
rebusan irisan temuhitam dapat mematikan cacing dalam waktu 7-17 jam, sediaan rebusan
parutan dalam waktu 11-20 jam dan sediaan serbuk dalam waktu 11-25 jam. Temu ireng
dilaporkan dapat menyembuhkan penyakit cacingan, dengan mekanisme kerja minyak atsiri
yang dikandung oleh tanaman ini yang menyebabkan paralisa otot cacing (Widowati, 2007).

Daftar Pustaka

Agusta, A. 2011. Perbandingan Komponen Kimia Rimpang Temu Hitam (Curcuma aeruginosa

Roxb.) Dan Temu Putih (Curcuma zedoaria) Asal Jepang. Laboratorium Fitokimia :
Bidang Botani. Puslit Biologi-LIPI.

Angel, G.R., Vimala, Nambisan. 2012. Phenolic Content and Antioxidant Activity in Five

Underutilized Starchy Curcuma species. Int. J. Pharmacog. Phytochem. Res. 4:69-73.

Balittro. 2006. Mengatasi Demam Berdarah dengan Tanaman Obat. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 28 (6).

Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta: Depkes RI.

Djauharia & Sufiani. 2007. Observasi Keragaan Tanaman Temu Hitam (Curcuma aeruginosa

Roxb.) pada Berbagai Jarak Tanam. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 7:21-23.

Efizal, R. 2013. Tanaman Rempah dan Fitofarmaka. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian

Universitas Lampung

Hutapea, J.R., & Syamsuhidayat, S., 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia Jilid II. Jakarta:

Penerbit Depkes RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. pp. 101-102.

Kitamura, Nagoe, Prana, Agusta, Ohashi, Syibuya. 2007. Comparison of Curcuma sp. In

Yakusima with C. aeruginosa and C. zedoaria in Java by trnK Genes Sequence, RAPD

Pattern and Essencial Oil Component. J. Nat. Med. 6:239-243.

Mandasari, R. 2014. ISOLASI MINYAK ATSIRI TEMU HITAM (Curcuma aeruginosa Roxb.)

DENGAN METODE DESTILASI AIR DAN DESTILASI UAP SERTA ANALISIS KOMPONEN

SECARA GC-MS. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

Muhlisah, F. 1999. Temu-Temuan & Empon-Emponan. Jakarta: Penerbit Kanisius. pp.60-63.

Nasrullah, I., Murhandini, Rahayu. 2010. Phitochemical Study from Curcuma aeruginosa

Roxb. Rhizome for Standardizing Traditional Medicinal Extract. J. Int. Env. Appl. Sci.

5:748-750.

Nurcholis, W., Khumaida, Syukur, Bintang, Ardyani. 2015. Phytochemical Screening, Antioxidant

and Cytotoxic Activities in Extracts of Different Rhizome Parts from Curcuma aeruginosa

Roxb. Int. Res. Ayurveda Pharm. 6:634-637.


Reanmongkol, W., Subhadhirasakul, Khaisombat, Fuengnawakit, Jantasila, Khamjun. 2006.

Investigation the antinociceptive, antipyretic and anti-inflammatory activities of Curcuma

aeruginosa Roxb. extract in experimental animals. J. Sci. Technol. 28:999-1008.

Setiawan, D. 2003. ATLAS Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara. pp. 165-168.

Srivastava, S., Chitranshi, Srivastava, Rawat, Pushpangadan. 2006. Pharmacognostic evaluation

of Curcuma aeruginosa Roxb. Nat. Prod. Sci. 12:162-165.

Sweetymol & Thomas. 2014. Compharative Phytochemical and Antibacterial Studies of Two

Indigenous Medicinal Plant. Int. J. Green Pharm. 8:65-71.

Anda mungkin juga menyukai