Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

HOARSENESS

Pembimbing :

dr. Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M.Kes

Penyusun :

Asfarul Anam, S.Ked (030.12.036)

Muhammad Hafiz Alfarizie, S.Ked (030.13.126)

Nurpadila Ramadanti, S,Ked (030.13.151)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 15 JANUARI-17 FEBRUARI 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Hoarseness” tepat pada
waktunya. Penyusunan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu THT.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak
lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan.

Jakarta, 25 Januari 2018

Nurpadila Ramadanti, S.Ked

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“HOARSENESS”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

Jakarta, 25 Januari 2018

Mengetahui

dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL,M.Kes

3
DAFTAR ISI

BAB I .............................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 5
1.1 Latar belakang .................................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................ 6
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 6
2.1 Definisi .................................................................................................................................. 6
2.2 Epidemiologi ......................................................................................................................... 6
2.3 Etiologi dan patofisiologi ...................................................................................................... 7
2.4 Diagnosis............................................................................................................................. 11
2.4.1 Anamnesis .................................................................................................................... 12
2.4.2 Gejala klinis ................................................................................................................. 12
2.4.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................................ 15
2.4.4 Pemeriksaan penunjang ............................................................................................... 20
2.5 Diagnosis Banding .............................................................................................................. 21
2.6 Penatalaksanaan .................................................................................................................. 21
2.7 Prognosis ............................................................................................................................. 23
BAB III......................................................................................................................................... 24
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 25

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hoarseness atau suara serak merupakan istilah umum untuk gejala perubahan
suara menjadi lebih kasar yang dihasilkan dari variasi perubahan periode atau intensitas
gelombang suara. Suara serak merupakan suatu gejala bukan diagnosis suatu penyakit.1
Hoarseness dapat memengaruhi kualitas hidup, apalagi ketika itu menjadi sebuah
pertanda dari kondisi yang lebih serius misalnya, terkait dengan peningkatan risiko
kematian atau morbiditas. Dampaknya pasien sering mengalami isolasi sosial, depresi,
kecemasan, kehilangan pekerjaan, kehilangan upah, dan perubahan gaya hidup.2,3 Studi
gangguan suara melaporkan implikasi kualitas hidup dan hilangnya produktivitas kerja
sebanding dengan penderita asma, sindrom koroner akut, depresi, dan PPOK. Pasien
dengan hoarseness atas penyebab yang lebih parah misalnya, unilateral vocal fold
paralysis memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dan lebih banyak kerugian
produktivitas.4

Pada analisis cross-sectional data dari US medical claim bahwa prevalensi


disfoni mencapai 0,98% (536.946 pasien disfonia dari 55.000.000 pasien) yang mencari
pengobatan. Menurut International Classification of Diseases, Ninth Revision angka
kejadian disfoni banyak ditemukan dengan diagnosis laryngitis akut, disfonia non-
spesifik, lesi jinak pada pita suara/plika vokalis misalnya kista, polip, nodul, dan
laringitis kronik. Prevalensi sebenarnya dari kondisi terkait disfonia cenderung lebih
tinggi. Kebanyakan pasien dengan perubahan suara mayoritas tidak mencari pengobatan
khususnya jika disfonia bersifat sementara dan terkait dengan infeksi pernafasan bagian
atas.4

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Hoarseness atau suara serak atau suara parau adalah suatu keadaan dimana
terdapat kesulitan dalam memproduksi suara ketika mencoba berbicara, atau perubahan
suara pada nada dan kualitasnya. Suara tersebut mungkin terdengar lemah, berat, kasar
atau parau atau terjadi perubahan volume atau pitch (tinggi rendah suara). Suara serak
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit.1 Istilah
hoarseness atau suara serak sendiri dapat merefleksikan kelainan (abnormalitas) yang
letaknya bisa di berbagai tempat di sepanjang saluran vokalis, mulai dari rongga mulut
hingga paru. Meski idealnya istilah hoarseness lebih baik ditujukan untuk disfungsi
laring akibat vibrasi pita suara yang abnormal.1,5

Hoarseness dapat terdengat kasar (roughness) dengan nada yang lebih rendah dari
biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar
(spastik), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia),
atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.1

2.2. Epidemiologi

Prevalensi hoarseness mencapai 6% dari populasi umum dan semakin


meningkat menjadi 11% pada pengguna suara professional (30% pada orang dengan mata
pencaharian penggunaan suara). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rameshkumar,
Edakkattil and Rosmi, dan juga oleh Tony Kaliath, penelitian yang dilakukan di rumah sakit
tingkat tersier pada tahun 2016, penelitian tersebut mencari beberapa faktor yang
mempengaruhi suara serak, faktor- faktor tersebut diantaranya prevelensi umur, jenis
kelamin, dan juga keadaan patologi dari pita suara, hasil penelitian terhadap 99 orang subjek
penelitian dengan usia 10-79 tahun, prevalensi hoarseness 41% ditemukan pada rentang usia
50-79 tahun dan pada usia 10-29 tahun memiliki insidensi yang lebih sedikit (29%). Pada
analisis cross-sectional data dari US medical claim prevalensi disfoni mencapai 0,98%
(536.946 pasien disfonia dari 55.000.000 pasien) yang mencari pengobatan.4,6,7

6
Diantara total subjek, insidensi nodul pada plika vokalis memiliki insidensi yang
paling tinggi (22%) yang didominasi pada perempuan. Insidensi kedua terbanyak
menyebabkan hoarseness adalah polip pada plika vokalis (19%) yang didominasi pada
subjek penelitian laki-laki.7 Sedangkan menurut International Classification of Diseases,
Ninth Revision angka kejadian disfoni banyak didiagnosis dokter dengan laryngitis akut,
disfonia non-spesifik, lesi jinak pada pita suara/plika vokalis (misalnya kista, polip,
nodul), dan laringitis kronik. Prevalensi sebenarnya dari kondisi terkait disfonia
cenderung lebih tinggi, seperti kebanyakan pasien dengan perubahan suara mayoritas
tidak mencari pengobatan, khususnya jika disfonia bersifat sementara dan terkait dengan
infeksi pernafasan bagian atas.5

2.3. Etiologi dan patofisiologi

Perubahan suara biasanya berkaitan dengan adanya gangguan pada pita suara yang
merupakan bagian pembentuk suara yang terdapat di laring. Setiap keadaan yang
menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan
akan menimbulkan suara parau. Walaupun hanya merupakan gejala, tetapi prosesnya
berlangsung lama (kronik) dan dapat merupakan tanda awal penyakit serius di daerah
tenggorokan, khususnya laring.8
Penyebab lainnya dapat berupa radang, tumor (neoplasma), paralisis otot-otot laring,
kelainan laring seperti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi kriko-aritenoid. Adapun
suatu keadaan disebut disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang
mengambil alih fungsi fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara yang
terus menerus pada pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya istirahat berbicara (vocal
rest) pada pasien laringitis akut, disamping pemberian obat-obatan. Berikut ini beberapa
penyebab suara serak:8

1. Laringitis akut
Laringitis akut menjadi penyebab suara serak yang paling umum. Radang akut laring
merupakan kelanjutan dari infeksi saluran nafas yang paling sering disebabkan oleh virus
(parainfluenza, influenza atau rhinovirus).5,9 Penyebab radang lainnya ialah bakteri, yang
menyebabkan radang lokal. Pada larinigtis akut terdapat gejala radang umum, seperti demam,
malaise, serta gejala lokal, seperti suara serak sampai tidak bersuara sama sekali (afonia),
7
nyeri ketika menelan atau berbicara serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk
kering dan lama kelamaan disertai dengan dahak kental. Ketidaksempurnaan produksi suara
pada pasien dengan laringitis akut dapat diakibatkan oleh penggunaan kekuatan aduksi yang
besar atau tekanan untuk mengimbangi penutupan yang tidak sempurna dari glottis selama
episode laringitis akut. Tekanan ini selanjutnya menegangkan lipatan-lipatan plika vokalis dan
mengurangi produsi suara. Pada akhirnya menunda kembalinya fonasi normal.10

2. Laringitis kronik
Beberapa hal bisa mendasari kondisi ini yang biasanya akibat paparan dari iritan seperti
tekanan yang terus-menerus pada pita suara, sinusitis kronis, infeksi jamur akibat sistem
kekebalan tubuh yang lemah, serta terpapar asap atau gas yang mengandung zat kimia. Dalam
keadaan laringitis, pita suara mengalami peradangan sehingga tekanan yang diperlukan untuk
memproduksi suara meningkat. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam memproduksi tekanan
yang adekuat. Udara yang melewati pita suara yang mengalami peradangan ini justru
menyebabkan suara yang menjadi serak. Bahkan beberapa kasus suara dapat menjadi lemah
atau tidak terdengar. Semakin tebal dan semakin kecil ukuran pita suara, getaran yang
dihasilkan semakin cepat. Semakin cepat getaran suara yang dihasilkan semakin tinggi.
Pembengkakan pada pita suara dapat mengakibatkan tidak menyatunya kedua pita suara
sehingga dapat terjadi perubahan pada suara.11,12

3. Nodul pada plika vokalis dan polip pada plika vokalis


Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan suara dalam waktu yang lama
(fonotrauma), seperti pada seorang guru, penyanyi dan sebagainya. Gejalanya terdapat suara
serak yang kadang-kadang disertai batuk. Nodul sering dialami oleh anak-anak dan perempuan,
sedangkan jarang pada laki-laki. Polip sering ditemukan pada penderita laki-laki, karena ada
kaitan yang kuat dengan merokok.13

4. Kista pita suara


Kista pita suara umumnya termasuk kista resistensi kelenjar liur minor laring, terbentuk
akibat tersumbatnya kelenjar tersebut, faktor iritasi kronik, refluks gastroesofageal dan infeksi
diduga berperan sebagai faktor predisposisi. Kista terletak di dalam lamina propria superfisialis,
menempel pada membran basal epitel atau ligamentum vokalis. Ukurannya biasanya tidak besar
8
sehingga jarang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas. Gejala utamanya adalah serak.
Merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat mengiritasi laring dan dapat menyebabkan
peradangan dan penebalan pita suara.5,11,14

5. Refluks laringofaring (Laryngopharingeal reflux/LPR)


Pasien dengan LPR dapat ditemukan adanya suara serak. Gejala yang paling sering
muncul berupa heartburn dan keadaan tidak nyaman pada tenggorokan yang kronik.Pada
penelitian Koufman menilai 113 pasien dengan perubahan suara pada LPR. Sembilan dari 26%
populasi yang menderita refluks asam lambung dapat menyebabkan iritasi pada mukosa laring
dan faring. Terlebih lagi gejala LPR bisa menjadi faktor pendukung terjadinya laringospasme
atau disfungsi pita suara, sehingga menimbulkan disfonia.8,13,15

6. Paralisis pita suara


Paralisis pita suara adalah terganggunya pergerakan pita suara karena disfungsi saraf
otot-otot laring hal ini merupakan gejala suatu penyakit dan bukan merupakan suatu diagnosis.
Paralisis pita suara terjadi ketika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka ataupun
menutup dengan semestinya, penyebabnya bisa karena trauma bedah, iatrogenik pada nervus
vagus atau nervus laringeus rekuren, invasi malignansi pada nervus vagus ataupun nervus
laringeus rekuren dapat terjadi akibat tumor, kerusakan pada saraf yang mempersarafi daerah
laring, idiopatik dan karena kondisi neurologik tertentu seperti stroke, tumor otak, maupun
multiple sklerosis.9,16
Gejala paralisis pita suara yang didapat adalah suara serak, stridor atau bahkan kesulitan
menelan tergantung pada penyebabnya. Proses terjadinya yaitu pada daerah laring, secara
anatomis terdapat nervus vagus dan cabangnya yaitu nervus laringeus rekuren yang
mempersarafi pita suara. Jika terjadi penekanan maupun kerusakan terhadap nervus ini maka
akan terjadi paralisis pita suara, di mana pita suara tidak dapat beradduksi. Secara normal, ketika
berfonasi, kedua pita suara beradduksi, tetapi karena terjadi paralisis salah satu atau kedua pita
suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara tidak maksimal.9,17

7. Alergi
Secara klinis, meskipun tidak ada perubahan yang jelas dalam laring karena alergi, ada
beberapa perubahan di tenggorokan dan hidung, yang mempengaruhi suara. Alergi
9
menyebabkan pembengkakan jaringan hidung, yang dapat mengubah suara. Oleh karena itu
penting untuk memasukkan alergi sebagai pertimbangan dalam mengevaluasi pasien dengan
suara serak.11

8. Kelainan Kongenital
Kelainan Kongenital yang dapat menyebabkan suara serak dibagi menjadi 3, yang
pertama laringomalasia, laringomalasia merupakan penyebab tersering suara serak pada bayi
baru lahir, yang kedua laringeal webs, merupakan Suatu selaput jaringan pada laring yang
sebagian menutup jalan udara, 75% selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi selaput ini juga
dapat terletak di atas atau di bawah pita suara, yang ketiga adalah Cri du chat syndrome dan
down syndrome, yang merupakan Suatu kelainan genetik pada bayi saat lahir yang bermanifestasi
klinis berupa suara serak atau stridor saat bernafas.18

9. Papilloma laring
Disfungsi suara atau disfonia berhubungan dengan infeksi human papilloma virus (HPV)
yang menimbulkan lesi papilloma pada laring. Pada studi dari Ximenes Filho et al, pada penderita
papilloma laring ditemukan 54,54% pasien dengan disfonia dan 4.54% dengan gejala disfagi dan
perdarahan. Populasi yang berisiko adalah pada populasi seksual aktif dan memiliki pasangan
seksual yang berganti-ganti.19

10. Trauma
Trauma dapat menyebabkan terjadinya suara serak, trauma yang dapat menyebabkan suara
serak di bagi menjadi 3, yang pertama trauma saat intubasi endotrakeal pada pembedahan atau
resusitasi bisa menyebabkan suara serak, yang kedua trauma akibat fraktur pada laring dimana
trauma langsung pada laring dapat menyebakan fraktur kartilago laring yang menyebabkan lokal
hematoma atau mengenai saraf, yang ketiga adanya trauma yang diakibatkan adanya benda asing
yang termakan oleh anak-anak bisa masuk ke laring dan menyebabkan suara serak dan kesulitan
bernafas.5

11. Tumor
Adanya tumor di laring juga dapat menyebabkan suara serak, tumor yang sering ada pada
laring di bagi menjadi tiga, yang pertama Hemangioma. Hemangioma merupakan tumor jinak
10
pembuluh darah, mungkin timbul pada daerah jalan nafas dan menyebabkan suara serak atau
lebih sering stridor.Yang kedua ada Limfangioma, Limfangioma merupakan tumor pembuluh
limfa. Sering timbul di daerah kepala dan leher dapat mengenai jalan nafas yang menyebabkan
stridor atau suara serak. Tumor yang ketiga ada keratosis laring, keratosis laring, memiliki
gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini yaitu suara serak yang persisten. Sesak nafas
dan stridor tidak selalu ditemukan. Selain itu ada rasa yang mengganjal di tenggorokan, tanpa
rasa sakit dan disfagia. Pada keratosis laring, terjadi penebalan epitel, penambahan lapisan sel
dengan gambaran pertandukan pada mukosa laring. Tempat yang sering mengalami
pertandukan adalah pita suara dan fossa interaritenoid.20

12. Keganasan atau karsinoma laring (plika vokalis)


Gejala utama karsinoma laring adalah suara serak yang merupakan gejala paling awal
tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena ganguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat
dipengaruhi oleh besar kecilnya celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara,
kecepatan getaran, dan ketegangan pita suara.19
Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan
ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot plika
vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang saraf. Serak
menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, menganggu, sumbang, dan nadanya lebih rendah
dari biasanya. Kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit.19
Hubungan antara suara serak dengan tumor laring tergantung dari letak tumornya.
Apabila tumbuh di pita suara asli, maka serak merupakan gejala awal dan menetap. Pada
tumor subglotik dan supraglotik, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak muncul sama
sekali.19

13. Penyakit sistemik


Beberapa penyakit sistemik juga dapat menyebabkan suara serak antara lain
hipotirodisme, multiple sklerosis, rematoid artritis, penyakit parkinson, lupus sistemik,
wagener's granulomatosis, miasenia gravis, sarkoidosis, amiloidosis.19

14. Refluks laringofaring (Laryngopharingeal reflux/LPR)

11
Gejala klinis yang muncul akibat laringospasme pada LPR, 92% pasien menyatakan
adanya suara serak, batuk kronik, berdehem, benjolan pada tenggorokan dan perasaan kesulitan
saat menelan yang tidak spesifik.8

2.4. Diagnosis

Diagnosis suara serak didasarkan pada kriteria klinis yang dapat dilaporkan oleh
pasien. Suara serak dapat disertai dengan ketidaknyamanan dalam berbicara, meningkatnya
upaya bicara, suara lemah, dan kualitas suara yang berubah. Evaluasi diperlukan pada pasien
dengan perubahan suara yang signifikan, atau perubahan suara yang terbatas tetapi gejala
lainnya yang signifikan. Evaluasi harus mencakup mendengarkan secara kritis dan obyektif
suara pasien, mengkarakterisasi tingkat keparahan perubahan suara dan gejala lainnya, dan
memperoleh riwayat medis, termasuk penggunaan obat-obatan.10

2.4.1. Anamnesis
Hal- hal yang perlu di perhatikan dalam menentukan diagnosis suara serak ada empat yaitu
gejala suara serak yang intermiten tidak begitu mengkhawatirkan seperti suara serak progresif.
Perhatikan jika suara serak yang persisten berlangsung lebih dari tiga minggu, kesulitan atau
kesakitan saat menelan, hemoptisis, penurunan berat badan, perokok berat dan peminum
alkohol. Suara serak setelah penggunaan suara yang berkepanjangan, penegangan pita suara
berlebihan dapat menyebab tumor jinak. Gejala terkait keganasan intratorakal misalnya, kanker
paru-paru menyerang nervus laringeus rekuren sinistra yang menyebabkan kelumpuhan pita
suara unilateral, hipotiroidisme, atau penyakit neurologis seperti parkinsonisme, miastenia, dan
penyakit neuron motorik.

2.4.2. Gejala klinis


Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala klinis suara serak, hal-hal ini juga perlu
diperhatikan.Dalam referat ini ada sebelas penyakit yang di bahas secra singkat, yang pertama
yaitu laryngitis akut, pada laringitis akut biasanya terkait kondisi penyakit infeksi saluran napas
atas akibat virus yang bisa membaik dengan sendirinya, dengan munculnya gejala disfonia/suara
serak. Pada kebanyakan kasus laringitis akut, gejala suara serak adalah satu dari banyak gejala
yang muncul. Gejala lain dari laringitis akut yang muncul dapat berupa nyeri tenggorokan,
perasaan mengganjal di tenggorokan, post-nasal drip, dan kadang afonia. Berikutnya laringitis
12
kronis, Gejala klinis yang nampak pada laringitis kronis selain suara serak yang menetap, juga
rasa mengganjal di tenggorokan sehinggasering mendehem tanpa sekret, kadang juga terdapat
sakit tenggorokan.Berikutnya adanya kanker laring, gejala yang timbul selain suara serak yang
biasanya menetap adalah nyeri tenggorokan, nyeri leher, batuk darah, bunyi pernafasan yang
abnormal, bengkak/benjolan ditenggorokan, nyeri ketika bicara atau menelan, rasa terbakar di
tenggorokan saat menelan minuman panas, dyspnea, berat badan menurun, pembesaran kelenjar
limfe dan nafas yang bau. Berikutnya ada refluks laringofaring (Laringopharingeal reflux/LPR),
gejala yang muncul pada LPR berupa suara serak, disfagia, sensasi mengganjal, batuk kronik,
berdehem, sensasi asam dan heartburn.Selanjutnya ada Nodul pita suara, kelainan ini biasanya
disebabkan oleh penyalahgunaan suara dalam waktu yang lama, seperti pada seorang guru,
penyanyi dan sebagainya. Gejalanya terdapat suara serak yang kadang-kadang disertai batuk.
Pada awalnya pasien mengeluhkan suara pecah pada nada tinggi dan gagal dalam
mempertahankan nada. Selanjutnya pasien menderita suara serak, yang timbul pada nada tinggi,
terkadang disertai dengan batuk. Nada rendah terkena belakangan karena nodul tidak berada
pada posisi yang sesuai ketika nada dihasilkan. Kelelahan suara biasanya cepat terjadi sebelum
suara serak menjadi jelas dan menetap. Jika nodul cukup besar, gangguan bernafas adalah
gambaran yang paling umum. Selanjutnya ada polip pita suara, pada polip pita suara biasanya
disebabkan oleh penggunaan suara yang terlalu lama, reaksi menahun pada laring, menghirup
iritan. Gejala klinis yang nampak pada polip pita suara selain suara serak yang menetap, juga
mungkin menunjukkan gejala seperti ketidaknyamanan pada saat pengucapan dan
ketidaknyamanan ditenggorokan. Selanjutnya ada kista pada laring, kista pita suara umumnya
terrmasuk kista resistensi kelenjar liur minor laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar
tersebut, faktor iritasi kronik, refluks gastroesofageal dan infeksi diduga berperan sebagai
faktor predisposisi. Kista terletak di dalam lamina propria superfisialis, menempel pada
membran basal epitel atau ligamentum vokalis. Ukurannya biasanya tidak besar sehingga jarang
menyebabkan sumbatan jalan nafas atas. Gejala utamanya adalah serak, kadang kala disertai
rasa sakit di leher akibat penekanan pada tenggorokan dan kesulitan menelan. Selanjutnya ada
Papilloma laring, Gejala klinis yang timbul pada papilloma laring memiliki karakteristik
menyerupai veruka, yang mana penyebab utamanya adalah HPV. Lesi tersebut menimbulkan
gejala ketidaknyamanan saat berbicara, mempengaruhi pergerakan pita suara, epiglottis dan
vestibular fold sehingga menimbulkan disfungsi suara atau disfonia. Selanjutnya ada Paralisis
pita suara, paralisis otot laring dapat disebabkan gangguan persarafan, baik sentral maupun
13
perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan paralisis sensorik, kejadiannya dapat
unilateral maupun bilateral. Selain suara serak, dapat juga di jumpai gejala klinis yang lainnya,
seperti gangguan respirasi dan stridor, paralisis pita suara bisa mempengaruhi proses berbicara,
bernafas dan menelan. Paralisis pita suara menyebabkan makanan dan cairan masuk ke dalam
trakea dan paru-paru. Jika hanya 1 pita suara yang lumpuh (kelumpuhan 1 sisi), maka suara
menjadi serak. Biasanya saluran udara tidak tersumbat karena pita suara yang normal bisa
membuka sebagaimana mestinya. Jika kedua pita suara mengalami kelumpuhan (kelumpuhan 2
sisi), maka kekuatan suara akan berkurang. Penderita juga mengalami gangguan pernafasan
karena terjadi penyumbatan saluran udara ke trakea. Selanjutnya ada laringomalasia, keadaan ini
merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid,
plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada
saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap
berkembang stridor inspiratoar dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian
makanan, ini merupakan kelainan kongenital. gejala klinis yang di jumpai selain suara serak
juga terdapat bising inspirasi (stridor inspiratoir) dimana stridor saat inspirasi ini terdengar
seperti suara hidung tersumbat, tidak dijumpai sekret hidung, stridor cukup kuat sehingga jika
meletakkan tangan di dada penderita maka dapat merasakan getaran dan stridor berkurang saat
penderita tidur telungkup. Selanjutnya ada Cri du chatting syndrome, Cri du chatting syndrome
adalah sekelompok gejala yang disebabkan kehilangan sepotong kromosom nomor 5. Nama
sindrom ini didasarkan pada tangisan bayi, yang bernada tinggi dan suara seperti kucing. Ini
merupakan kelainan pada kromosom yang di dapat sejak lahir. Selain ganguan suara seperti
suara kucing dan serak, juga dijumpai keluhan lain seperti berat lahir rendah dan pertumbuhan
yang lambat, selama masa pertumbuhanpun, tubuh penderita kecil dengan tinggi badan di
bawah rata-rata, penderita memiliki otak yang kecil (mikrochepal) sehingga bentuk kepala juga
kecil saat lahir, keterbelakangan mental (cacat intelektual), masalah perilaku seperti
hiperaktif, agresi, dan gerakan berulang-ulang, pertumbuhan badan dan kepala lambat. Ciri
fisik lain meliputi bentuk wajah bulat dengan pipi besar, jari-jari yang pendek, dan bentuk
kuping yang rendah letaknya.5,8,10,12,13,19

2.4.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pertama harus selalu dimulai dengan menilai kualitas suara pasien
untuk mencari tahu penyebab spesifik dari suara serak. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara
14
teliti dengan memperhatikan kepala dan leher. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak lupa
untuk melakukan perabaan kelenjar getah bening. Temuan yang dapat ditemukan sebagai
penyebab suara serak:
Tabel 1. Petunjuk klinis dalam menduga penyebab spesifik dari suara serak
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.11
No. Anamnesis dan temuan pemeriksaan Diagnosis yang dicurigai
fisik
1. Batuk Alergi, perokok, pengguna obat inhalasi
(iritan), infeksi saluran napas atas (ISPA)
2. Disfagia Karsinoma, artritis inflamasi,
laringofaringeal refluks (LPR)
3. Heart burn Karsinoma, laringofaringeal refluks (LPR)
4. Hemoptisis Karsinoma
5. Riwayat penggunaan alkohol Karsinoma, laringofaringeal refluks (LPR)
6. Riwayat perokok Karsinoma, laryngitis kronik, leukoplakia,
edema reinke
7. Odinofagia Karsinoma, artritis inflamasi, ISPA
8. Terabanya limfe nodi Karsinoma, ISPA
9. Pengguna suara professional atau Vocal abuse
penyanyi
10. Pasca operasi kepala, leher atau dada Cidera n. vagus atau n. laringeus rekuren
11. Pasca intubasi atau prosedur di daerah Trauma langsung
laring
12. Rinorea, bersin, mata berair Alergi, ISPA
13. Sensitif terhadap panas, makanan Leukoplakia
pedas dan jenis iritan
14. Stridor, gejala obstruksi saluran napas Karsinoma, papilomatosis laring
15. Penurunan berat badan Karsinoma
16. Wheezing, tanda asma lain Alergi, pengguna inhalasi steroid

Visualisasi bagian laring merupakan evaluasi komprehensif untuk keluhan pada suara.
Walaupun sebagian besar penyebab suara serak adalah karena kondisi self-limited, namun
15
identifikasi lebih awal terhadap beberapa gangguan yang muncul diperlukan pada pasien
dengan suara serak yang belum membaik setelah 3 bulan atau adanya kecurigaan terhadap
penyebab yang lebih serius. Waktu kapan harus dilakukan laringoskopi masih kontroversial,
the American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Foundation
merekomendasikan dilakukan laringoskopi pada rentang 3 bulan. Konteks serius ini
digambarkan pada etiologi yang memiliki prognosis buruk seperti keganasan.2,9
Penyebab utama suara serak biasanya karena infeksi virus. Gejala laryngitis akibat
virus biasanya berlangsung paling lama 1 sampai 3 minggu. Apabila gejala suara serak lebih
lama dari itu, maka perlu dievaluasi untuk memastikan adanya keganasan atau morbiditas
lain yang terlewat sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut tergantung spesifikasi
penyakit yang mendasari. Pada studi kohort suatu populasi, diagnosis kanker laring yang
terlambat berakibat ditemukannya diagnosis kanker pada tingkat yang lebih buruk.5

Gambar 1. Pita suara normal (FVF, False vocal fold; TVF, true vocal fold
(cord).13

16
Gambar 2. Nodul jinak pada pita suara.13

Gambar 3. Karsinoma pada pita suara.13

Gambar 4. Laringoskopi pada perokok berat dengan leukoplakia kronik.8

17
Gambar 5. Laringoskopi ditemukan paralisis pita suara unilateral, sebelah kiri
abduksi laring, sebelah kanan adduksi laring, tanda panah,
menunjukkan adanya paralisis.21

Gambar 6. Pada laringoskopi ditemukan polip pada pita suara.21

Gambar 7. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek ditemukan kista pada pita


suara, bentukan kista menyerupai nodul atau polip pada laring.22

18
Tabel 2. Temuan laringoskopi yang berhubungan dengan penyebab suara
serak.11
No. Temuan laringoskopi Etiologi
1. Kista Vocal abuse
2. Eksofitik atau lesi ulserasi Karsinoma
3. Granuloma Trauma langsung (intubasi), inhalasi
kortikosteroid, LPR, voval abuse
4. Inflamasi laring Alergi, trauma langsung (intubasi), infeksi,
inhalasi kortikosteroid, LPR, perokok dan
iritan lain
5. Leukoplakia (keputihan, penebalan Leukoplakia jinak, karsinoma, displasia
lapisan epitel)
6. Plika vokalis tidak dapat aduksi Afoni konversi
selama fonasi, namun aduksi saat
batuk
7. Nodul Vocal abuse
8. Papiloma Laring papilomatosis
9. Polip Alergi, perokok atau pengguna iritan lain,
vocal abuse
10. Edema reinke (pembengkakan di LPR, perokok dan iritan lain, vocal abuse
lamina propria superfisial pada plika
vokalis)
11. Translusen, kekuningan, perlunakan Amiloidosis laring
pada plika vokalis

2.4.4. Pemeriksaan Penunjang


Laringoskopi adalah modalitas diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan suara serak. Studi pencitraan, termasuk CT dan MRI, juga telah digunakan,
tetapi tidak diperlukan pada kebanyakan pasien karena kebanyakan suara serak
bersifat self-limited atau disebabkan oleh patologi yang dapat diidentifikasi dengan
19
laringoskopi. Nilai modalitas prosedur imaging sebelum laringoskopi tidak
didokumentasikan. Tidak ada artikel yang ditemukan atau systematic reviews yang
mengutamakan imaging sebagai pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan laring.
Sebaliknya, risiko imaging berupa radiasi yang menginduksi keganasan dari
penggunaan CT-Scan dan MRI dapat memberikan risiko yang lebih berat.4,5

2.5. Diagnosis Banding

Tabel 3. Diagnosis banding dari hoarseness.11

No. Kualitas suara Diagnosis banding

1. Suara serak Lesi pada pita suara, disfonia akibat penekanan pada otot, LPR

2. Nada rendah Edema reinke, vocal abuse, LPR, paralisis pita suara, disfonia akibat
tekanan pada otot

3. Menegang adductor spasmodic dysphonia, disfonia akibat tekanan otot, LPR

4. Tremor Penyakit Parkinson, tremor esensial pada kepala dan leher, disfonia
spasmodik, disfonia akibat tekanan otot

5. Vocal fatigue Disfonia akibat tekanan otot, paralisis pita suara, LPR, vocal abuse

2.6. Penatalaksanaan

Tatalaksana suara serak meliputi identifikasi dan tatalaksana yang mendasarinya


kondisi, vocal hygiene, vocal therapy, dan pengobatan khusus lesi pita suara. Ketika
penyebab yang mendasari dapat diobati, seperti alergi atau hipotiroidisme, pengobatan
kondisi tersebut dapat meringankan suara serak. Pasien yang membutuhkan

20
kortikosteroid inhalasi harus diberikan mulai dosis terendah dan menghindari flutikason
jika memungkinkan. Meskipun penggunaan proton pump inhibitor (PPI) telah banyak
dipromosikan untuk pengobatan gejala laring yang diduga disebabkan
olehalaringofaringeal refluks (LPR). Cochrane memberikan ulasan bahwa bukti
keefektifannya kurang. Ulasan terbaru dari penelitian lain menunjukkan bahwa, ketika
PPI digunakan untuk tujuan mengurangi keluhan LPR maka PPI ditentukan dalam dosis
yang relatif tinggi, atau apakah suara serak dan gejala laring lainnya belum sembuh
setelah tiga atau empat bulan, dokter harus mempertanyakan diagnosis dan pencarian
etiologi lain. Ini juga mengasumsikan bahwa pasien telah menjalani laringoskopi
selama evaluasi.11

a. Vocal hygiene

Ada beberapa bukti bahwa edukasi vocal hygiene efektif dalam pengelolaan suara
serak. Program vocal hygiene yang dievaluasi di Indonesia termasuk perubahan
lingkungan misalnya, kelembapan udara, menghindari asap, debu, dan iritasi inhalasi
lainnya, perubahan perilaku misalnya, menghindari batuk yang terlalu sering,
perubahan kebiasaan vokal misalnya, menghindari berteriak atau berbicara dengan
keras dalam waktu yang lama, dan perubahan pola makan misalnya, meningkatkan
asupan cairan, menghindari makan-makanan terlalu banyak, penggunaan kafein dan
alkohol berlebihan, serta makanan pedas.4,11

b. Vocal therapy (terapi suara)

Terapi suara atau latihan suara, mengarah ke dalam teknik non-bedah yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas suara. Tujuan dari terapi suara adalah untuk
memperbaiki sikap bersuara untuk mengurangi trauma laring. Namun program ini
belum bisa dimulai sebelum diagnosis ditegakkan. Komponen terapi suara mencakup
terapi suara dan latihan fisik untuk merubah sikap individu seperti vocal hygiene,
mengistirahatkan suara, relaksasi otot, dan melatih pernapasan. Sesi terapi suara
biasanya selama 30 sampai 60 menit dalam seminggu, dalam total delapan sampai
sepuluh minggu. Keberhasilan dari terapi suara bergantung besar terhadap partisipasi
aktif pasien dalam melakukan setiap sesi terapi, mempertahankan vocal hygiene, dan
kebiasaan melatihnya di luar sesi.11
21
Terapi suara efektif untuk menangani disfonia pada anak dan orang dewasa.
Meskipun pada anak dibawah dua tahun belum dapat efektif melakukan berbagai
teknik terapi suara. Pada situasi ini, edukasi dan konseling pada keluarga
dibutuhkan. Terapi suara efektif pada penanganan disfonia akibat tekanan otot,
disfonia akibat penyakit parkinson dan kondisi lain yang mengenai laring
(insufisiensi glottis). Evaluasi dari terapi suara diperlukan untuk mengidentifikasi
penyakit, menilai struktur dan fungsi dari saluran napas.4

c. Pembedahan

Tujuan dari tindakan pembedahan merupakan suatu pilihan untuk


penanganan pasien disfonia dengan etiologi seperti keganasan, lesi jinak pita suara
yang simptomatik namun belum berespon dengan penanganan konservatif,
papilomatosis pada saluran napas yang rekuren, insufisiensi glottis. Pembedahan
bukan penangan primer namun mayoritas pasien dengan disfonia harus memiliki
target patologi spesifik yang ditangani.4

2.7. Prognosis
Prognosis suara serak tergantung dari penyebab yang mendasari penyakit
tersebut. Suara serak yang dialami lebih dari 3 minggu memerlukan rujukan ke spesialis
telinga hidung dan tenggorokan untuk menilai pita suara dan menyingkirkan ke arah
keganasan. Pada banyak kasus, dapat diterapi dengan istirahat berbicara dan
penggunaan suara yang tepat banyak mengalami perbaikan.8

22
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Hoarseness atau suara serak atau suara parau adalah suatu keadaan dimana terdapat
kesulitan dalam memproduksi suara ketika mencoba berbicara, atau perubahan suara pada
nada dan kualitasnya. Prevalensi hoarseness mencapai 6% dari populasi umum dan semakin
meningkat menjadi 11% pada pengguna suara professional. Menurut International
Classification of Diseases, Ninth Revision angka kejadian disfonia banyak didiagnosis dokter
dengan laringitis akut, disfonia non-spesifik, lesi jinak pada pita suara/plika vokalis (misalnya
kista, polip, nodul), dan laringitis kronik.

Penegakkan diagnosis pasien dengan hoarseness harus dilaporkan melalui keluhan


dan disertai adanya gejala klinis yang mendasari, tergantung dari penyebab utama munculnya
perubahan suara menjadi serak tersebut. Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan pada
kepala dan leher dengan seksama, untuk pemeriksaan lebih khususnya bisa menggunakan
laringoskopi sebagai pemeriksasan visualisasi bagian laring sebagai sarana evaluasi
komprehensif, namun untuk pemeriksaan penunjang berupa imaging CT Scan maupun MRI
masih kontroversial.

Penatalaksaanaan hoarseness meliputi identifikasi dan tatalaksana yang


mendasarinya kondisi, vocal hygiene, vocal therapy, pengobatan khusus lesi pita suara
bahkan prosedur pembedahan untuk kasus-kasus tertentu. Pada pasien yang membutuhkan
kortikosteroid inhalasi harus diberikan mulai dosis terendah dan menghindari flutikason jika
memungkinkan. Meskipun penggunaan proton pump inhibitor (PPI) telah telah banyak
dipromosikan untuk pengobatan gejala laring yang diduga disebabkan oleh laringofaringeal
refluks (LPR).

Suara serak yang dialami lebih dari 3 minggu memerlukan rujukan ke spesialis
telinga hidung dan tenggorokan untuk menilai pita suara dan menyingkirkan ke arah

23
keganasan. Pada banyak kasus, dapat diterapi dengan istirahat berbicara dan penggunaan
suara yang tepat banyak mengalami perbaikan.

24
25
DAFTAR PUSTAKA

1. Roy, DebaJyoti. And Moran, Nirupama. The Evaluation of Hoarseness And Its
Treatment. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS). 2017:16
(8):12-15.
2. Cohen SM, Dupont WD, Courey MS. Quality-of-life impact of nonneoplastic voice
disorders: a meta-analysis. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2006:115:128-134.
3. Francis DO, McKiever ME, Garrett CG, et al. Assessment of patient experience with
unilateral vocal fold immobility: a preliminary study. J Voice. 2014:28:636-643.
4. Stachler, MD , David O. Francis, MD, MS , Seth R. Schwartz, MD, MPH , Cecelia C.
Damask, DO, German P. Digoy, MD, et al. Clinical Practice Guideline: Hoarseness
(Dysphonia) (Update). American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery Foundation. Oto journal. 2018:1(42).
5. Schwartz, S. R., Cohen, S. M., Dailey, S. H., Rosenfeld, R. M., Deutsch, E. S.,
Gillespie, M. B., Patel, M. M. Clinical practice guideline: Hoarseness (Dysphonia).
Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2009:6:744.
6. O Judd, I B Colvin. Hoarse voice. BMJ. 2010:340:522.
7. Rameshkumar, Edakkattil and Rosmi, Tony Kalliath. Prevalence of age, gender and
pathological conditions of vocal cords leading to hoarseness of voice in a tertiary care
hospital. Int J Adv Med 2016:3(2):345-348.
8. Reiter, Rudolf. Hoffmann, Thomas Karl, and Anja Pickhard, Sibylle Brosch.
Hoarseness—Causes and Treatments. Deutsches Ärzteblatt International Dtsch
Arztebl Int 2015:112: 329-37.
9. Trottier, Amy M. Emad Massoud, and Timothy Brown. A case of hoarseness and
vocal cord immobility. CMAJ. 2013:185(17):1520-1524.
10. Huntzinger, Amber. Guidelines for the Diagnosis and Management of Hoarseness.
Am Fam Physician. 2010:81(10):1292-1296.
11. Feierabend Raymond H., And Malik , Shahram N. Hoarseness in Adults. American
Family Physician. 2009:80 (4).
12. Kataria, Gaurav. Saxena, Aditi, Baldev Singh, et al. Hoarseness of voice: Etiological
spectrum. ISSN. 2015:5(15): 2250-0359.

26
13. Agar, Nicholas J M and Vallance, Neil A. Hoarseness, What is the voice trying to tell
you? Australian Family Physician. 2008:37: (4).
14. Faust RA. Childhood voice disorders: ambulatory evaluation and operative diagnosis.
Clin Pediat. 2003:42:1-9.
15. Cooper, Lauren and Quested, Rachele A. Hoarseness: An approach for the general
practitioner. RACGP. 2016:45(6):378-381.
16. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment in otolaryngology head & neck surgery.
3rd ed New York (NY): McGraw Hill. 2011.
17. Wang CP, Chen TC, Lou PJ, et al. Neck ultrasonography for the evaluation of the
etiology of adult unilateral vocal fold paralysis. Wiley Online Library. 2012:34:643-8.
18. Tewlik, Ted L. Congenital Malformations of the Larynx. 2019. American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery; Medscape, [Cited access on 5 July 2019].
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/837630-overview#a1.
19. Longubuco, CEG. Reis, HLB, Cavalcante, FS. Pinho, CRP. Oliberia, NS, et al. BMC
Res Notes. 2014:7:898.
20. Mastronikolis, NS; Papadas, TA; Goumas, PD; Triantaphyllidou, IE; Theocharis, DA;
Papageorgakopoulou, N; Vynios, DH. Head, neck: Laryngeal tumors: an overview.
Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol. 2011:13(11):888-893.
21. Buckmire, RA. Meyers, AD. Schweinfurth, J. Vocal Polyps and Nodules. [Cited
access on 5 July 2019] Available at:https://emedicine.medscape.com/article/864565-
overview.
22. Schweinfurth, J. Meyers, AD. Rosen, CA. [Cited access on 5 July 2019].
https://emedicine.medscape.com/article/866019-overview.

27

Anda mungkin juga menyukai