Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN SENIOR

SEORANG WANITA USIA 39 TAHUN DENGAN DISFONIA

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior


Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji : dr. Kanti Yunika, Sp.THT-KL(K)


Pembimbing : dr. Lusia
Dibacakan oleh : Nida Cika Oktarina (22010119220120)
Vanessa Andhani Putri (22010119220135)

Dibacakan pada : Maret 2020

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus seorang wanita 39 Tahun dengan Disfonia

Penguji : dr. Kanti Yunika, Sp.THT-KL(K)


Pembimbing : dr. Lusia
Dibacakan oleh : Nida Cika Oktarina (22010119220120)
Vanessa Andhani Putri (22010119220135)
Dibacakan pada : Maret 2020

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, Maret 2020


Mengetahui,

Penguji, Pembimbing,

dr. Kanti Yunika, Sp.THT-KL(K) dr. Lusia

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II. LAPORAN KASUS.............................................................................. 3
2.1 Identitas penderita...................................................................................... 3
2.2 Data dasar.................................................................................................. 3
a. Anamnesis.......................................................................................... 3
b. Pemeriksaan fisik................................................................................ 5
2.3 Ringkasan..................................................................................................10
2.4 Diagnosis banding..................................................................................... 11
2.5 Diagnosis sementara.................................................................................. 11
2.6 Rencana pengelolaan................................................................................. 11
a. Pemeriksaan diagnostik...................................................................... 11
b. Terapi.................................................................................................. 11
c. Pemantauan......................................................................................... 12
d. Penyuluhan......................................................................................... 12
2.7 Prognosis................................................................................................... 12
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 13
3.1 Anatomi laring............................................................................................. 13
3.2 Fisiologi laring............................................................................................. 24
3.3 Disfonia........................................................................................................ 26
BAB IV. PEMBAHASAN.................................................................................. 33
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 35
5.1 Simpulan.................................................................................................... 35
5.2 Saran.......................................................................................................... 35
...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................36

iii
LAMPIRAN........................................................................................................37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara


yang disebabkan oleh kelainan pada organ–organ fonasi, terutama laring
baik yang bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau
kelainan pada laring.1
Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik.
Gangguannya dapat berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan
nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara
(afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau
ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.1
Berdasarkan penelitian sebelumnya, disfonia mempengaruhi 1 dari 13
orang dewasa setiap tahunnya.2 Studi epidemiologis dari disfonia telah
menunjukkan bahwa hal itu mempengaruhi sekitar 6% anak di bawah 14
tahun, dan 3-9% dari populasi orang dewasa. 3 Tetapi relatif sedikit pasien
yang mencari perawatan medis untuk masalah suara. 2
Berdasarkan data (Cohen.2012) di San fransisco, California ,
hampir 55 juta orang dalam database, 536.943 (tingkat prevalensi 0,98
persen) mengalami disfonia. Prevalensi lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria (1,2 % vs 0,7 %). Diagnosis yang paling sering
ditemukan ialah laringitis akut, disfonia nonspesifik, lesi pita suara jinak
dan laringitis kronis.4
Penyebab disfonia bermacam-macam, yaitu radang, neoplasma,
paralisis otot-otot laring, kelainan laring misal sikatriks akibat operasi.

1
Penatalaksanaan disfonia meliputi diagnosis etiologi, dan pemeriksaan
klinik serta penunjang untuk membantu diagnosis, juga terapi yang
sesuai dengan etiologi tersebut.1
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara
menegakkan diagnosis disfonia, diagnosis banding disfonia, tatalaksana pasien
disfonia dan prognosis pasien disfonia

2
BAB II
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Penderita


Nama pasien : Ny. I
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kecamatan Bonang Kabupaten Demak
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
No.RM : C805459

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Suara Serak  5,6
2. Air lendir di tengorok  6
3. Rasa mengganjal di tenggorok  6
4. Mendeham 6
5. Disfonia
6. LPR

1.2. Data Dasar


a. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 25 Februari 2020 pukul 12.00
WIB di Poli THT Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi.

3
Keluhan utama: Suara serak
Perjalanan penyakit sekarang :
± Sejak sepuluh bulan yang lalu pasien mengeluhkan suara mulai serak (skor
4). Suara serak dirasakan sepanjang hari dan memberat saat pagi hari saat bangun
tidur. Suara serak tersebut mengganggu kenyamanan pasien saat berbicara. Suara
serak tidak didahului dengan batuk pilek sebelumnya. Pasien sering merasa air ada
lendir kental yang mengganjal di tenggorokan yang sulit dikeluarkan (skor 4). Pasien
merasa ada riak yang mengganjal di tenggorokan (skor 3). Pasien sering berdeham
untuk membersihkan tenggorokan(skor 4). Keluhan batuk, pilek, kering di
tenggorokan dan batuk kering disangkal. Pasien sering mengaji di saat pagi dan
malam hari kurang lebih selama satu jam. Pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman
saat terlalu banyak bicara. Pasien masih bisa makan dan minum dengan baik tanpa
ada keluhan sulit menelan, nyeri telan dan tersedak. Keluhan hidung tersumbat, dan
nyeri di wajah disangkal. Keluhan sesak nafas, nyeri dada disangkal. Keluhan
benjolan di leher disangkal. Keluhan rasa kering, nyeri tenggorokan yang menjalar ke
telinga disangkal. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan yang signifikan
dalam beberapa bulan ini. Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol.
Pasien sudah memeriksakan diri di puskesmas mendapatkan obat batuk dan
amoksisilin namun tidak ada perbaikan. Lalu pasien memeriksakan diri ke RSI
Demak, karena keterbatasan fasilitas peralatan lalu pasien dirujuk ke RSUP Kariadi.
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat keluhan suara serak sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat operasi telinga, hidung, dan tenggorok sebelumnya disangkal.
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat TB paru disangkal
Riwayat penyakit keluarga:

4
 Riwayat anggota keluarga dengan keluhan suara serak disangkal.
 Riwayat anggota keluarga menderita alergi disangkal.
 Riwayat anggota keluarga menderita TB paru disangkal.

Riwayat sosial ekonomi:


Pasien bekerja sebagai petani. Pembiayaan menggunakan BPJS PBI. Kesan
ekonomi kurang.
b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 25 Februari 2020 pukul 12.00 WIB
di Poli THT RSUP dari.Kariadi
Status generalis :
Keadaan umum Baik
Kesadaran Composmentis
Tanda vital TD : tidak dilakukan
Nadi : tidak dilakukan
RR : tidak dilakukan
Suhu : afebris
Pemeriksaan fisik Aktivitas : baik
BB/TB : 53 kg/155cm
Kesan gizi : normoweight
Kepala : mesosefal
Leher : pembesaran nnll leher (-)
Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan
Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : dalam batas normal

Status lokalis (THT) :

5
1. Telinga
Dekstra Sinistra

CAE/MAE CAE/MAE
MT MT

Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Preaurikula Fistula (-) Fistula (-)
Abses (-) Abses (-)
Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Normotia Normotia
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Aurikula
Edema (-) Edema (-)
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Retroaurikula Fistula (-) Fistula (-)
Abses (-) Abses (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Mastoid
Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)
Fistel (-) Fistel (-)
CAE/MAE Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Discharge mukus (-) Discharge mukus (-)

6
Granula (-) Granula (-)
Furunkel (-) Furunkel (-)
Serumen (-) Serumen (-)
Bau (-) Bau (-)
Warna putih mengkilap Warna putih mengkilap
Membran Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Timpani Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Serumen (-) Serumen (-)

2. Hidung

Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Inspeksi :
Bentuk (N)
Simetris
Hidung Luar Deformitas (-)
Warna sama dengan kulit sekitar
Palpasi :
Os.nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi
Hidung Kanan Hidung Kiri
Anterior

7
Discharge Tidak ada Tidak ada
Mukosa Hiperemis(-) Hiperemis(-)
Konka Edema(-) Hipertrofi (-) Edema(-) Hipertrofi (-)
Tumor Tidak ada Tidak ada
Septum Nasi Deviasi (-)

3. Tenggorok

Orofaring Keterangan
Hiperemis (-)
Massa (-)
Palatum
Fistula (-)
Bombans (-)
Arkus Simetris
Faring Uvula di tengah
Hiperemis (-)
Mukosa Granulasi (-)
Post nasal drip (-)
Ukuran T1 Ukuran T1
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan rata Permukaan rata
Tonsil
Kripte melebar (-) Kripte melebar (-)
Detritus (-) Detritus (-)
Membran (-) Membran (-)
Peritonsil Edema (-)

8
Abses (-)

Pemeriksaan rinoskopi posterior tidak dilakukan.

Laringoskop indirek
Mukosa
Hiperemis(-) granulasi (+) mukus(+)
Laring
Epiglotis Hiperemis(-) massa(-)
Plika
Sulit dinilai
vokalis

4. Kepala dan leher


Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-)

5. Gigi dan mulut


Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (+), gigi goyang (-), oral higiene cukup
Lidah : Simetris, deviasi (-), papil atrofi (-)
Palatum : Bombans (-)
Pipi : Mukosa bukalhiperemis (-), stomatitis (-)
1.3. Ringkasan
Sejak sepuluh bulan yang lalu pasien mengeluhkan suara mulai serak
(skor 4). Suara serak dirasakan sepanjang hari dan memberat saat pagi ± Sejak

9
sepuluh bulan yang lalu pasien mengeluhkan suara mulai serak (skor 4). Suara
serak dirasakan sepanjang hari dan memberat saat pagi hari saat bangun tidur.
Suara serak tersebut mengganggu kenyamanan pasien saat berbicara. Suara
serak tidak didahului dengan batuk pilek sebelumnya. Pasien sering merasa air
ada lendir kental yang mengganjal di tenggorokan yang sulit dikeluarkan (skor
4). Pasien merasa ada riak yang mengganjal di tenggorokan (skor 3). Pasien
sering berdeham untuk membersihkan tenggorokan(skor 4). Keluhan batuk,
pilek, kering di tenggorokan dan batuk kering disangkal. Pasien sering mengaji
di saat pagi dan malam hari kurang lebih selama satu jam. Pasien mengeluhkan
rasa tidak nyaman saat terlalu banyak bicara. Pasien masih bisa makan dan
minum dengan baik tanpa ada keluhan sulit menelan, nyeri telan dan tersedak.
Keluhan hidung tersumbat, dan nyeri di wajah disangkal. Keluhan sesak nafas,
nyeri dada disangkal. Keluhan benjolan di leher disangkal. Keluhan rasa kering,
nyeri tenggorokan yang menjalar ke telinga disangkal. Pasien tidak mengalami
penurunan berat badan yang signifikan dalam beberapa bulan ini. Pasien tidak
merokok, tidak minum alkohol.
Riwayat keluhan suara serak sebelumnya disangkal. Riwayat alergi
disangkal. Riwayat operasi telinga, hidung, dan tenggorok sebelumnya
disangkal. Riwayat penyakit hipertensi disangkal. Riwayat penyakit TB Paru
disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat anggota keluarga
dengan keluhan suara serak pada keluarga pasien disangkal. Riwayat anggota
keluarga menderita alergi disangkal. Riwayat keluarga menderita TB paru
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik tenggorok terdapat jaringan granulasi dan
mukus. Plika vokalis sulit dinilai.

1.4. Diagnosis Banding


o Disfonia ec nodul plika vokalis

10
ec Laringitis kronik dd non spesifik
spesifik TB Paru
ec parese plika vokalis

1.5. Diagnosis Sementara


Disfonia ec LPR

1.6. Rencana Pengelolaan


a. Pemeriksaan diagnostik
 Laringoskop fleksibel
 PPI Test

b. Terapi
 Modifikasi gaya hidup
Pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum
berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan
tonus otot sfingter esofagus seperti makanan berlemak, gorengan, kopi, soda,
alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat
menganjurkan pola diet bebas asam atau rendah asam
 Medikamentosa
Omeprazole 20mg setiap 12jam selama 2 minggu
 Non Medikamentosa
Voice Rest
c. Pemantauan
 Keadaan umum
 Tanda vital
 Progresivitas penyakit

11
Kualitas serak, sesak nafas.
d. Penyuluhan
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai penyebab suara
serak yang dialami pasien.
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai pemeriksaan
lanjutan yang dilakukan.
 Menjelaskan mengenai pemenuhan nutrisi melalui makanan yang
dikonsumsi pasien.
 Menjelaskan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan voice rest, tata
cara voice rest.
 Menjelaskan untuk kontrol lagi pada 2 minggu kemudian untuk evaluasi
ulang obat
 Menjelaskan apabila keluhan memberat seperti suara bertambah serak,
batuk yang progresif segera kontrol ke dokter.

2.7 Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad fungsionam : ad bonam
 Quo ad sanam : ad bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI LARING

Laring atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan.


Laring membentang dari laryngoesophageal junction dan menghubungkan
faring dengan trakea. Laring terletak setinggi Vertebra servical IV – VI.5
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroid
di sebelah atas dan kartilago krikoid di sebelah bawahnya.

Gambar 1. Anatomi laring

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior
dipisahkan dari vertebra servicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan
kavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fasia, jaringan lemak,
dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot
sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.

13
3.1.1 Kavum Laring

Kavum laring dapat dibagi menjadi supraglotis, glotis dan


subglotis. Supra glotis (vestibulum superior) adalah ruangan diantara
permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring. Glotis (pars media)
ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta
membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni. Subglotis
(pars inferior) adalah ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah
kartilago krikoidea.

3.1.2 Bangunan di Laring

1. Aditus Laringeus  Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk


di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika,
posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas otot
aritenoideus.

2. Rima Vestibuli  Merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima glottis  Di depan merupakan celah antara pita suara


sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago

aritenoid.

4. Valekula  Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis


dengan basis lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial

dan lateral.

5. Plika Ariepiglotika  Dibentuk oleh tepi atas ligamen


kuadariingulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke
kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata.

14
6. Sinus Pyriformis (Hipofaring)  Terletak antara plika
ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroid

7. Incisura Interaritenoid  Suatu lekukan atau takik diantara


tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

8. Vestibulum Laring  Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis,


membrana kuadariingularis, kartilago aritenoid, permukaan atas

prosesus vokalis, kartilago aritenoid dan otot interaritenoidea.

9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu)  pita suara palsu yang


bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk
menutup glotis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan
tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
Pada saat kelahiran sampai 6 bulan pertama kehidupan pita suara
palsu dilapisi oleh sel kolumnar bersilia, yang seiring
pertumbuhan akan muncul sedikit bagian yang akan dilapisi sel
skuamosa bertingkat.

10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)  ruangan antara


pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel
terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita
suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi
epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar
seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,

disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

11. Plika Vokalis (pita suara sejati)  Terdapat di bagian bawah


laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis
dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima

15
belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago
aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

Gambar 2. Plika vokalis

Plika vokalis terlindungi oleh suatu lapisan tipis epitel


skuamus bertingkat, berlainan dari lapisan epitel dari permukaan
lain dari laring dan trakea. Dibawahnya terdapat lamina propria,
yang dikenal sebagai Reinke’s space, adalah suatu lapisan lembut
yang terdiri dari protein termasuk elastin, kolagen dan elemen
ekstraseluler lainnya.

Lamina propria dari pita suara sejati adalah jaringan ikat


longgar atau padat yang terletak di antara ligamentum vokal dan
epitel skuamosa. Lamina propria pada pita suara sejati yang
disebut juga sebagai Reinke’s space berisi beberapa sedikit
pembuluh darah kapiler retapi hampir tidak memiliki saluran
limfatik dan hanya jarang memiliki sedikit kelenjar seromusinosa.
Karena akses vaskular terbatas, karsinoma terbatas pada pita suara
sejati dan cenderung tetap terlokalisasi sehingga radiasi atau
eksisi lokal sangat dimungkinkan. Dariainase limfatik Reinke’s
space yang jumlahnya secara histologis memang sedikit juga

16
mungkin memberikan kontribusi terhadap perkembangan nodul
pita suara dan polip ketika sejumlah cairan abnormal mengumpul
di wilayah ini. Penyalahgunaan vokal atau infeksi saluran
pernapasan atas sering menghasilkan edema pada wilayah ini dan
bermanifestasi klinis sebagai suara serak atau disfonia.

3.1.3 Kartilago penyusun laring

Laring tersusun atas 9 kartilago. Lokasi laring dapat


ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya
kartilago tiroid (merupakan kartilago terbesar yang berbentuk
seperti kapal). Pada pria dewasa bagian depannya lebih menonjol
kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga
Adam’s apple atau jakun. Kartilago yang terdapat pada laring
yaitu: Kartilago Tiroid (1 buah), Kartilago Krikoid (1 buah),
Kartilago Aritenoid (2 buah), Kartilago Kornikulata Santorini (2
buah), Kartilago Kuneiforme Wrisberg (2 buah), Kartilago
Epiglotis (1 buah)

17
Gambar 3. Tulang pembentuk laring

i. Kartilago epiglotika

Kartilago elastis berbentuk daun terletak di posterior dari radiks


lingua. Berhubungan dengan kartilago hyoid di sebelah anterior
dan kartilago tiroid di posterior. Sedangkan di superiornya bebas
dan membran mukosa nya melipat ke depan dan berlanjut
meliputi permukaan posterior lidah sebagai plika glosoepiglotika
media dan lateral yang diantaranya terdapat cekungan (valekula).5

ii. Kartilago Tiroid

Terdiri atas 2 lamina kartilago hyalin yang bertemu di linea media


anterior menjadi sebuah tonjolan sudut V yang disebut dengan
Adam’s apple/ jakun. Pinggir posterior tiap lamina menjorok ke
atas membentuk kornu superior dan ke bawah membentuk kornu
inferior. Pada permukaan luar lamina terdapat line oblik sebagai
tempat melekatnya otot sternotiroideus, otot tirohyoid, dan otot
konstriktor faring inferior.5

iii. Cartilago cricoidea

Merupakan kartilago yang berbentuk cincin utuh dan terletak di


bawah dari kartilago tiroid. Kartilago ini mempunyai arkus
anterior yag sempit

iv. Cartilago arytenoidea

Merupakan kartilago kecil berbentuk piramid yang terletak di


belakang laring pada pinggir atas lamina kartilago krikoid.
Masing-masing kartilago memiliki apeks di bagian atas dan basis
di bagian bawahnya. Dimana bagian apeksnya ini akan

18
menyangga kartilago kornikulata, sedangkan pada bagian basis
nya bersendi dengan kartilago krikoid. Pada basisnya terdapat 2
tonjolan yaitu prosesus vocalis yang menonjol horizontal ke
depan merupakn perlekatan dari ligamen vocal, dan prosesus
muscularis yang menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan
dari otot krikoaritenoid lateral dan posterior.

v. Cartilago cuneiformis (Wrisbergi)

Merupakan kartilago kecil berbentuk batang yang terdapat di


dalam 1 plica aryepiglotika yang berfungsi untuk menyokong
plika tersebut.

vi. Cartilago Korniculata (Santorini)

Tempat melekat plika aryepiglotika sehingga menyebabkan


pinggir atas plika aryepiglotika kanan dan kiri agak meninggi.

3.1.4 Otot-otot Laring

a. Otot-Otot Intrinsik Laring

Otot yang perlekatan di bagian laring. Otot ini memiliki


peranan untuk mengubah panjang dan ketegangan plika
vokalis dalam produksi suara dan mengubah ukuran rima
glottidis untuk masuknya udara ke paru. Otot-otot yang
termasuk dan innervasinya yakni adalah :
1. Otot Cricothyroideus
2. Otot Cricoarytenoidea posterior
3. Otot Cricoarytenoidea lateral
4. Otot Arytenoidea transversus
5. Otot arytenoidea obliquus

19
6. Otot Thyroarytenoidea

Adapun fungsinya :

1. Mengatur Rima Glottidis

Otot cricoarytenoidea posterior untuk membuka rima


glotidis, sedangkan otot cricoarytenoidea lateral, otot
arytenoidea transversa, otot cricothyroidea, dan otot
thyroarytenoidea untuk menutup rima glotis.

2. Mengatur ketegangan ligamentum vokal

Otot cricotiroidea untuk menegangkan ligamentum vokal


dan otot thyroarytenoidea untuk mengendorkan ligamentum
vokal

3. Mengatur aditus laryngeus

Otot thyroepiglotticus untuk membuka aditus laryngeus


serta otot aryepiglotikus dan otot arytenoideus obliquus
untuk menutup aditus laryngeus.

b. Otot-Otot Ekstrinsik Laring

Merupakan otot-otot di sekitar laring yang mempunyai salah


satu perlekatan pada laring atau kartilago hyoid. Berfungsi
untuk menggerakkan laryng secara keseluruhan. Otot
ekstrinsik laring terbagi atas :
i. Otot-otot Depressor : otot omohyoideus, otot
sternohyoideus, otot sternothyroideus
ii. Otot-otot Elevator : Otot mylohyoideus, otot
stylohyoideus, otot thyrohyoideus , otot
stylopharyngeus, otot palatopharyngeus, otot

20
constrictor pharyngeus medius, otot constrictor
pharyngeus inferior.

3.1.5 Innervasi Laring

Di atas dari plika vokalis dinnervasi oleh n. Laryngis


internus cabang dari nervus laryngis superior cabang dari
nervus vagus (X). Sedangkan di bawahnya diinnervasi oleh
nervus leryngis recurrens, kecuali otot krikotiroid yang
diinnervasi oleh ramus laryngeus externus nervus laryngeus
superior.
Syndesmosis Laryngeus adalah jaringan ikat yang
menghubungkan antara skelet laring yang berupa ligamen
ataupun membran. Syndesmosis laryngeus terbagi menjadi :
membrana atau ligamen ekstrinsik : menghubungkan skeleton
laring dengan bangunan sekitar

3.1.6 Vaskularisasi Laring

Suplai arteri berasal dari ramus laryngeus superior arteri


tiroid superior. Dan bagian bawah divaskularisasi oleh ramus
laringeus inferior arteri tiroid inferior. Sedangkan aliran limfe
nya bermuara ke nodi limfoid servikalis profunda.

21
Gambar 4. Vaskularisasi laring
3.2 FISIOLOGI LARING
Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori, proteksi,
fungsi menelan dan fungsi sirkulasi.

1. Fungsi fonasi
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan
dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari
laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik
dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga
mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Fungsi
laring untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis, bila plika vokalis dalam keadaan aduksi,
maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah
dan ke depan menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang
bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik
kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid
akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika
vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika
vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada.
2. Fungsi respiratori
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan otot krikoaritenoideus posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis
terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2

arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat

22
pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi


laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,
sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan

menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan

pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.


3. Fungsi proteksi
Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke
dalam trakea dengan adanya refleks dari otot-otot yang bersifat
adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap
reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen
nervus laringeal superior sehingga sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal
laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan
ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke
introitus esofagus.
4. Fungsi menelan.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk
ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan
penutupan laring oleh epiglotis. Sehingga makanan atau minuman
terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus
piriformis lalu ke hiatus esofagus.
5. Fungsi sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous

23
return. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari
laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di
aorta. Impuls dikirim melalui Nervus Laringeus Rekurens dan
Ramus Komunikans ervus. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan
denyut jantung.

3.3 DISFONIA
3.3.4 Definisi

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara


yang disebabkan kelainan pada organ–organ fonasi, terutama
laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional.1
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran,
gangguan dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan
(adduksi) kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan
disfonia.

Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik.


Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara yang terdengar
kasar dengan nada lebih rendah dari biasanya (suara parau), suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan sulit
keluar (spastik), suara yang terdiri dari beberapa nada (diplofonia),
nyeri saat bersuara (odinofonia)

3.3.5 Etiologi

1. Kelainan kongenital
Dapat disebabkan karena laringomalasia, laryngeal web, cri du chat

24
syndariome dan Down sindrom dan paralisis pita suara
2. Infeksi
Infeksi dapat disebabkan karena virus, bakteri dan jamur. Infeksi
virus menjadi penyebab tersering pada proses peradangan akut.
Virus yang menjadi penyebab tersering adalah rinovirus (common
cold), adenovirus, influenza virus. Infeksi bakteri juga bisa terjadi
seperti epiglottitis bacterial oleh Haemophilus influenza type B
merupakan salah satu penyebab tersering. Penyebab lain
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus. Infeksi jamur
seperti candida pada mulut dan tenggorok, ini merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada anak atau orang dewasa dengan
imunosupresi (HIV, kemoterapi, dll).
3. Inflamasi
Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat
diakibatkan oleh iritasi dan inflamasi yang kronis pada pita suara
yang sering terjadi pada perokok, terpapar racun dari lingkungan,
dan penyalahgunaan suara. Pada pasien LPR terjadi inflamasi
kronik di laring karena regurgitasi asam lambung. Nodul paling
sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada hubungan
dengan penyalahgunaan suara. Nodul ini timbul bilateral, lembut,
lesinya bulat terletak pada sepertiga anterior dan dua pertiga
posterior dari pita suara
4. Neoplasma
Keganasan dapat menjadi etiologi terjadinya suara serak. Salah
satunya papilloma yang termasuk tumor jinak yang sering
didapatkan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh HPV.
Tumor ganas lainnya yang dapat ditemukan pada orang dengan
suara serak misalnya karsinoma laring
5. Trauma

25
Beberapa kondisi trauma yang dapat menyebabkan terjadinya suara
serak antara lain pemasangan intubasi endotracheal, fraktur pada
laring, benda asing di laring.
6. Sistemik
Kondisi penyakit sistemik dari berbagai sistem organ juga dapat
menyebabkan terjadinya suara serak. Seperti hipotiroidisme,
akromegali, rheumatoid arthritis yang berdampak pada kaitan antar
sendi pada laring, sarkoid.

3.3.6 Diferential Diagnosis

a. Disfonia ec Laryngopharingeal Reflux (LPR)


Refluks laringofaring adalah kelainan klinis yang timbul akibat adanya refluks
cairan lambung yang bersifat asam naik melalui esofagus sampai ke laring.
Pada keadaan normal sfingter esofagus berfungsi menahan isi lambung agar
tidak dapat kembali ke esofagus.
 Anamnesis
Keluhan suara serak sering ditemui pada LPR. Suara serak sering
memberat pada pagi hari. The American Academy of
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery menyatakan bahwa
diagnosis LPR pada orang dewasa dapat ditegakkan secara empiris
berdasarkan gejala dan pemeriksaan laring. Penilaian gejala dengan
sistem skoring Reflux Simptomps Index (RSI). Dengan menanyakan
adanya permasalahan di suara atau suara serak, mendeham, lendir di
tengorokan, kesusahan menelan, batuk setelah makan atau berbaring,
kesukaran bernafas, batuk yang mengganggu, rasa mengganjal di
tenggorokan dan rasa terbakar di dada atau adanya gangguan di
pencernaan. Dinyatakan kemungkinan besar pasien menderita LPR

26
apabila skornya lebih dari 13.

 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya granuloma dan
ulkus kontak ditemukan di bagian posterior dari laring. Granuloma
dan ulkus kontak sering berkaitan berkaitan dengan pembersihan
tenggorokan kronis dan kebiasaan nada rendah.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan
laringoskopi fleksibel yang dilengkapi dengan fitur video untuk
merekam hasil pemeriksaan. Pemeriksaan digunakan untuk menilai
kondisi laring dengan kuesioner terstandarisasi yaitu Reflux Finding
Score (RFS). Penilaian antara lain: edema subglotik, obliterasi
ventrikular, eritema, edema plika vokalis, edema laring difus,
hipertrofi komisura posterior, granuloma atau jaringan granulasi, dan
mukus endolaringeal.

27
Dapat juga dilakukan pemeriksaan pH dengan pemeriksaan
ambulatory 24 hour double-probe (pharyngeal and esophageal) pH
monitoring yang merupakan gold standard untuk mendiagnosis LPR.
Tes PPI Terapi empirik dengan proton pump inhibitor(PPI) disarankan
sebagai tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan
merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat
memberikan efek terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg
perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama
dengan pemeriksaan pH metri 24 jam

b. Disfonia ec laringitis kronik proses non spesifik


Terjadi karena proses peradangan kronis yang difus di seluruh laring
termasuk pita suara, plika ventrikularis, regio interaritenoid dan pangkal
epiglotis. Laringitis kronik merupakan lanjutan dari laringitis akut yang
tidak sembuh secara sempurna atau adanya kekambuhan kembali. Atau
bisa disebabkkan karena infeksi kronis pada sinus paranasal, tonsil atau

28
saluran nafas bawah.

 Gejala
Keluhan suara serak merupakan keluhan utama yaitu suara
serak, kadang bisa memberat pada malam hari menjadi afoni
karena pita suara yang lelah. Sering merasa kering dan gatal
pada tengorokan dan ada batuk kering. Ditanyakan riwayat
merokok, minum alkohol, riwayat pekerjaan (paparan debu atau
penggunaan suara yang berlebih seperti guru dsb)
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis,
membengkak, terutama diatas dan dibawah pita suara. Bisa juga
didapatkan adanya lendir kental di sekitar pita suara atau aritenoid
Didapatkan tanda infeksi di hidung, atau sinus paranasal,
tenggorok. Dapat juga disertai tanda deviasi septum yang berat,
polip hidung sesuai dengan penyebabnya. Pemeriksaan paru
dapat ditemukan tanda bronkitis.

c. Disfonia ec laringitis kronik proses spesifik TBC


Proses peradangan kronik dapat disebabkan karena adanya inflamasi di
laring yang disebabkan karena infeksi Mycobacterium tuberculosis
melalui aliran darah atau udara ekspirasi. Biasanya merupakan
sekunder tuberkulosis paru. Lebih sering mengenai bagian posterior
laring, plika intraritenoid, plika ventrikularis, pita suara dan ulserasi.
 Gejala
Gejala yang timbul diawali suara lemah yang diikuti suara
serak yang menetap. Apabila sudah terjadi ulserasi, dapat timbul
rasa nyeri yang menjalar sampai ke telinga, rasa kering, panas
dan tertekan didaerah laring, suara parau selama berminggu-

29
minggu dan dapat berlanjut menjadi afoni, hemoptisis, nyeri
menelan yang sangat hebat, batuk kronis, berat badan menurun,
dan keringat pada malam hari.
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik laringitis kronis yang penyebabnya
akibat TBC bisa terdapat ulkus yang terjadi karena tuberkel yang
pecah di mukosa laring, pita suara, regio aritenoid, regio
intraritenoid, pseudoedema pada epiglotis, mukosa sekitar
tampak pucat.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sputum BTA, X foto thorax.

d. Polip/nodul Plika Vokalis

 Anamnesis:
Pada anamnesis, pasien mengeluhkan suara serak yang dirasakan
terus menerus dan lebih dirasakan saat penggunaan suara yang
berlebihan. Keluhan kadang disertai rasa lelah bila berbicara.
Pada polip yang ukuran besar bisa menimbulkan batuk iritatif
dan bila sangat besar atau multipel dapat menimbulkan sumbatan
jalan nafas.
 Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan laring dengan kaca laring
atau laringoskop dengan atau tanpa stroboskopi. Polip pita suara
bisa tampak berwarna putih keabu-abuan, transparan, edematous
dan bisa juga berwarna kemerahan. Bisa berbentuk bulat,
panjang, irreguler atau polipoid.Predileksinya lebih dari 80%
unilateral dan 20% bilateral atau multipel. Lesi ini biasanya
terletak di sepertiga anterior atau sepertiga tengah.

30
e. Parese Plika Vokalis
 Anamnesis

Gejala kelumpuhan pita suara adalah suara parau, stridor atau


bahkan disertai kesulitan menelan yang tergantung pada
penyebabnya. Jika penyebabnya lesi intrakranial, maka akan
muncul gejala kelainan neurologik. Jika penyebabnya adalah
perifer, seperti tumor tiroid, penyakit jantung, maka gejalanya
akan disertai gejala yang sesuai dengan penyebabnya.
 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Paralisis pita suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang
sering ditemukan. Dalam menilai tingkat pembukaan rimaglotis
dibedakan dalam 5 posisi pita suara, yaitu posisi median (kedua
pita suara berkisar 3-5 mm), posisi paramedian, posisi intermedian
(kedua pita suara berkisar 7 mm), posisi abduksi ringan
(pembukaan pita suara kira-kira 14 mm) dan posisi abduksi penuh
(pembukaan pita suara berkisar 18-19 mm). gambaran posisi pita
suara dapat bermacam-macam tergantung dari otot mana yang
terkena, penggolongan menurut lokasi misalnya paralisis unilateral
atau bilateral. Menurut jenis otot yang terkena dikenal paralisis
abductor, sedangkan menurut jumlah otot yang terkena, paralisis
sempurna atau tidak sempurna.

31
Etiologi Anamnesis dan Gejala Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
LPR  Dengan skor Reflex  Granuloma dan  Laringoskopi
Simptom Index (RSI) ulkus kontak flexibel untuk
diatas 13, antara lain: ditemukan di menilai Reflux
suara serak, mendeham, bagian posterior Finding Score:
lendir di tengorokan, dari laring Edema subglotik,
kesusahan menelan, obliterasi
batuk setelah makan atau ventrikular,
berbaring, kesukaran eritema, edema
bernafas, batuk yang plika vokalis,
mengganggu, rasa edema laring
mengganjal di difus, hipertrofi
tenggorokan dan rasa komisura
terbakar di dada atau posterior,
adanya gangguan di granuloma atau
pencernaan jaringan granulasi,
 Lebih memberat di pagi dan mukus
hari endolaringeal
 PPI Test
Laringitis kronik non  Riwayat laringitis akut  Infeksi kronik di  Pemeriksaan untuk
spesifik sebelumnya sinusparanasal mencari infeksi di
 Rasa gatal di  Infeksi tonsil daerah hidung,
tenggorokan  Laring hiperemis tonsil, saluran nafas
 Rasa kering di  Pita suara bawah
tenggorokan membengkak dan
 Memberat di malam hari hiperemis
karena kelelahan pita
suara
 Riwayat merokok dan
minum alkohol
 Pekerjaan
Laringitis kronik  Diawali dengan suara  Plika vokalis  Laringoskopi
spesifik (TBC) lemah diikuti suara serak hiperemis dan fleksibel
 Nyeri tenggorokan yang adanya gangguan  X Foto Thorax
menyebar ke telinga adduksi  Pemeriksaan
 Nyeri telan  Ulserasi pita suara sputum
 Disfagia dan aritenoid
 Pseudoedema pada
epiglotis
Nodul plika vokalis  Suara serak  Adanya polip/nodul  Laringoskopi
 Suara tidak tahan lama terutama di fleksibel
 Nyeri leher jika bicara sepertiga posterior
banyak plika vokalis
 Stridor
Parese plika vokalis  Suara serak/parau  Menilai pembukaan
 Stridor rima glotis
 Sulit menelan, tersedak
 Gejala neurologi lain

32
3.3.7 Terapi pada Disfonia

1. Voice rest
Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi
berlebihan harus dinasehati mengenai metode-metode voice rest. Voice
rest memungkinkan perbaikan pembengkakan jaringan, namun
perbaikan suara bersifat sementara dan disfonia dapat kembali sampai
perilaku vokal lebih tepat dipelajari.
Voice rest adalah metode yang lebih praktis dan realistis mengurangi
penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan penyalahgunaan vokal
perilaku. Mengurangi sumber yang jelas dari penyalahgunaan vokal
(misalnya, berteriak dan menjerit) hanya bagian dari program.
pembersihan tenggorokan berulang seperti berdeham adalah iritan plika
vokalis dan harus dihindari.

2. Terapi Perilaku Suara


Terapi perilaku suara juga dapat diindikasikan untuk meningkatkan
aspek teknis penggunaan suara. Terapi perilaku mencakup dukungan
napas perut, penggunaan level intensitas ‘pitch’ yang tepat,
memperbaiki kalimat, dan teknik khusus lainnya.

3. Intervensi Medis 6

a. PPI (Proton Pump Inhibitor)


PPI test merupakan penatalaksanaan awal terjadinya LPR. PPI
merupakan pilihan terbaik untuk mengatasi reflux dari isi lambung.
Cara kerja PPI adalah dengan menghambat enzim H+/K+ ATPase
yang berlokasi pada sepanjang permukaan luminal sel parietal gaster,

33
jalur akhir dimana semua stimulator sekresi asam lambung bekerja.
Dosis pemberiannya dapat diberikan sebanyak 2x20mg selama dua
minggu. Setelah itu dapat dievaluasi untuk keberhasilan terapinya,
apabila terdapat efek yang diinginkan obat dapat dilanjutkan selama 2
bulan.

b. Indikasi untuk penggunaan antibiotik digunakan untuk proses yang


melibatkan infeksi bakteri. Tergantung pada kondisi disfonia yang
mendasarinya.
c. Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengurangi edema pada tingkat
glotik sehingga mengurangi tingkat suara serak. Kortikosteroid tidak
boleh diresepkan lebih dari 4-5 hari. Biasanya, pasien diberitahu untuk
mengistirahatkan suara.
d. OAT dapat diberikan pada kondisi disfonia dengan penyebab penyakit
TB. Dengan pilihan regimen isoniazid, rifampisin, pyrazinamide,
enthambutol. Dengan kombinasi obat dan jangka waktu sesuai dengan
pengobatan TB.
e. Pembedahan dapat dilakukan pada kasus kegansan, polip, nodul, dan
apabila terapi konservatif tidak berhasil.

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Sejak sepuluh bulan yang lalu pasien mengeluhkan suara mulai serak (skor
4). Suara serak dirasakan sepanjang hari dan memberat saat pagi hari saat
bangun tidur. Suara serak tersebut mengganggu kenyamanan pasien saat
berbicara. Pasien sering merasa air ada lendir kental yang mengganjal di
tenggorokan yang sulit dikeluarkan (skor 4). Pasien sering berdeham untuk
membersihkan tenggorokan dari riak yang mengganjal di tenggorokan (skor 3).
Pasien sering berdeham untuk membersihkan tenggorokan(skor 4). Pasien
sering mengaji di saat pagi dan malam hari kurang lebih selama satu jam.
Pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman saat terlalu banyak bicara. Pasien masih
bisa makan dan minum dengan baik tanpa ada keluhan sulit menelan. Keluhan
batuk dan pilek disangkal. Keluhan sesak nafas, nyeri dada disangkal. Keluhan
nyeri telan, tersedak dan benjolan di leher disangkal. Keluhan batuk dan pilek
sebelumnya disangkal. Keluhan hidung tersumbat, dan nyeri di wajah
disangkal. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan yang signifikan
dalam beberapa bulan ini.
Riwayat keluhan suara serak sebelumnya disangkal. Riwayat alergi
disangkal. Riwayat operasi telinga, hidung, dan tenggorok sebelumnya
disangkal. Riwayat penyakit hipertensi disangkal. Riwayat penyakit TB Paru
disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat anggota keluarga
dengan keluhan suara serak pada keluarga pasien disangkal. Riwayat anggota
keluarga menderita alergi disangkal. Riwayat keluarga menderita TB paru
disangkal. Pada pemeriksaan fisik tenggorok tidak didapatkan kelainan.
Diagnosis disfonia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik. Pada
kasus ini gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien adalah suara serak. Hal ini

35
dapat terjadi karena adanya gangguan di plika vokalis. Adanya keadaan yang
menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan pendekatan kedua pita
suara kiri dan kanan akan menimbulkan suara serak. Gangguan dalam
bersuara seperti suara serak, biasanya disebabkan berbagai macam faktor
yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Pada kasus ini
penyebabnya adalah karena proses inflamasi kronik akibat
Laringopharingeal Reflux (LPR). Hal tersebut dapat dinilai dari skoring RSI
dengan skor 15 (>13) yang menunjukkan kecurigaan penyebab LPR yang
menyebabkan adanya proses peradangan akibat refluks isi lambung ke
daerah laring. Pilihan terapi pada disfonia meliputi terapi medikamentosa dan
non medikamentosa. Terapi medikamentosa dapat diberikan omeprazole dan
terapi nonfarmakologi dapat diberikan voice rest serta modifikasi gaya hidup.

36
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Disfonia merupakan kelainan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Disfonia dapat disebabkan oleh etiologi infeksi maupun non-infeksi.
Pasien dengan disfonia sering mengeluh suara serak, atau suara yang hilang.
Terapi disfonia terdiri atas terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
4.2. Saran
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada laporan
kasus ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
guna penyusunan laporan kasus yang lebih baik di kemudian hari. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta:
FKUI; 2012. 209-14 p.

2. Stachler RJ, Francis DO, Schwartz SR, Damask CC, Digoy GP, Krouse HJ, et
al. Clinical Practice Guideline: Hoarseness (Dysphonia) (Update). Vol. 158,
Otolaryngology - Head and Neck Surgery (United States). 2018. S1-S42 p.

3. Aremu SK, Adegbiji WA, Nwawolo C, Olajuyin OA, Olatoke F. Diagnosis


and Management of Hoarseness in Developing Country. Open Sci J.
2018;3(2):1–10.

4. Cohen SM, Kim J, Roy N, Asche C, Courey M. Prevalence and causes of


dysphonia in a large treatment-seeking population. Laryngoscope.
2012;122(2):343–8.

5. Paulsen, Waschke. Atlas anatomi manusia sobotta. 23rd ed. Jakarta: EGC;
2010.

6. House SA, Fisher EL. Hoarseness in Adults. Am Fam Physician.


2017;96(11):720–8.

1
LAMPIRAN

1X

Anda mungkin juga menyukai