Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KEPERAWATAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah


Etika dan Hukum Keperawatan

Disusun Oleh:
Ade Herawati 1906337633
Annisa Rahmi Galleryzki 1906337652
Atik
Dadan Bardah 1906337740
Dedi
Eva Yuliana 1906427862
Welsi Layuhibu 1906428045

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Bab satu akan menguraikan tentang latar belakang penulisan, tujuan umum dan
tujuan khusus, manfaat penulisan serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan dan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok
serta masyarakat, baik sehat maupun sakit. Praktik keperawatan adalah
pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk Asuhan
Keperawatan (Undang-undang Keperawatan, 2014). Praktik keperawatan
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat lainnya sesuai
dengan klien sasarannya. Praktik keperawatan harus didasarkan pada kode
etik, standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional.
Dalam praktik keperawatan, klien berhak mendapatkan pelayanan
keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan perundang-undangan
(Undang-undang Keperawatan, 2014). Aspek hukum praktik keperawatan
merupakan perangkat hukum atau aturan-aturan hukum yang secara khusus
menentukan yang seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan sesuatu bagi
profesi perawatan dalam menjalankan profesinya. Aspek hukum yang terkait
langsung dengan praktik keperawatan diantaranya adalah Undang-undang
Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK. 02. 02/ MENKES/ 148/ I/ 2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, Kode Etik Keperawatan,
Standar Pelayanan Keperawatan, Standar Profesi Keperawatan. Pada tanggal
25 september 2014 undang-undang keperawatan telah disahkan, telah
dibunyikan juga dalam undang-undang keperawatan nomor 38 tahun 2014
pasal 38 bagian kedua tentang hak-hak dan kewajiban klien. Maka, dengan
tidak terpenuhinya hak-hak pelayanan klien dalam praktik keperawatan akan
berdampak hukum tertentu kepada tenaga keperawatan. Seorang perawat harus
berpengetahuan tentang hukum praktik keperawatan sebagai perlindungan atas
kasus hukum, tuntutan pasien dan keluarga pasien.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Menjelaskan aspek hukum dalam keperawatan, undang-undang
keperawatan, peraturan perundang-undangan terkait keperawatan,
kelalayan dan malpraktek.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan Menjelaskan aspek hukum dalam keperawatan.
b. Menjelaskan undang-undang keperawatan.
c. Menjelaskan peraturan perundang-undangan terkait keperawatan.
d. Menjelaskan kelalayan dan malpraktek.
1.3 Manfaat penulisan
Makalah ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa sebagai dasar pembelajaran pada
mata etik dan hukum keperawatan.
1.4 Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab 1 berisi pendahuluan yang menjelaskan
tentang latar belakang, tujuan penulisan, manfaat dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisi tentang penjelasan mengenai teori aspek hokum dalam
keperawatan. Bab 3 merupakan analisis kasus. Bab 4 yang merupakan bab
terakhir berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI

BAB II menguraikan tentang pengertian hukum, kelalaian dan malpraktik, dan aspek
hukum dalam praktik keperawatan.
2.1 Pengertian Hukum
Hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan
laranan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan harus ditaati
oleh masyarakat (Huijbers, 1995). Hukum adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup, Interaksi
manusia di dalam bermasyarakat yang semakin berkembang tidak cukup dengan
mengadopsi dari kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat orang terdahulu untuk
menetapkan suatu peraturan. Maka dari permasalahan inilah Negara hadir untuk
mengatur perilaku masyarakat dan hubungan antar sesame perlu ditetapkan secara
tertulis melalui undang-undang (Sampurno et al, 2011).
Hukum kesehatan adalah segala peraturan yang mengatur semua aspek
yang berkaitan dengan area kesehatan baik dari segi pelayanan kepada masyarakat
atau pasien, juga mengatur pada pemberi layanan yang diakui berdasarkan
undang-undang no. 36 tahun 2009 dari profesi dokter, perawat dan tenaga
kesahatan lainnya yang telah ditetapkan didalam undang-undang kesehatan
tersebut. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai
hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien atau
kelompok masyarakat.
Hukum juga berlaku bagi profesi keperawatan dalam mengatur praktik
keperawatan. Aspek hukum praktik keperawatan merupakan perangkat hukum
atau aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal yang
seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan sesuatu bagi profesi perawat dalam
menjalankan profesinya. Pemahaman perawat tentang aspek hukum tersebut akan
menuntun perawat untuk melaksanakan praktiknya secara profesional, bertangung
jawab dan tanggung gugat (Sudrajat, 2008).
2.2 Aspek Hukum dalam Praktik Keperawatan
Di Indonesia salah satu bentuk aturan yang menunjukan adanya hubungan
hukum dengan perawat adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, merupakan undang-undang yang memberikan kesempatan bagi
perkembangan profesi keperawatan, dimana dinyatakan standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan
termasuk keperawatan.
Pelaksanaan praktik pelayanan keperatan diatur dalam suatu pedoman
yang dikenal dengan instrument normatif. Instrumen normatif berisi norma-norma
yang harus dipatuhi oleh perawat agar terhindar dari kesalahan yang berdampak
pada pertanggungjawaban dan gugatan ganti kerugian apabila pasien tidak
menerima kegagalan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat
dalam menjalankan proses keperawatan harus berpedoman pada lafal sumpah
perawat, standar profesi perawat, standar asuhan keperawatan, dan kode etika
keperawatan (Sudrajat, 2008).
Selain instrument normatif, profesi keperawatan juga memiliki undang-
undang keperawatan yang tertuang dalam UU No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan. Pelaksanaan UU ini diatur dalam PMK Nomor 26 tahun 2019
tentang peraturan pelaksanaan perundang-undangan No. 38 Tahun 2014 tentang
keperawatan merupakan payung hukum lingkungan kementrian kesehatan untuk
menjalankan Undang-undang Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.148 Tahun 2010 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Dijelaskan pada peraturan tersebut
bahwa perawat wajib memiliki STR dan saat melakukan praktik keperawatan
wajib mengurus SIPP ditempatnya bekerja.

2.3 Perbedaan Kelalaian dan Malpraktik


2.3.1 Kelalaian
Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar
standar sehingga mengakibatkan cedera/kerugian orang lain (Sampurno,
2005). Kelalaian dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak
hati-hati) (Aiken, 2004). Kelalaian termasuk kedalam tindakan mapraktik,
namun tidak sama dengan malpraktik.
Bentuk-bentuk kelalaian menurut Sampurno tahun 2005 adalah
Malefeasance merupakan tindakan yang dilakukan melanggar hukum atau
tidak tepat/layak. Misalnya: melakukan keperawatan tanpa indikasi yang
memadai/tepat. Misfeasance adalah melakukan pilihan tindakan keperawatan
yang tidak tepat. Misalnya; melakukan tindakan keperawatan dengan
menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan
keperawatan yang merupakan kewajibannya. Misalnya: pasien seharusnya
dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.
2.3.2 Malpraktik
Secara harfiah ‘mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek”
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan sehingga malpraktek berarti
pelaksanaan atau tindakan yang salah. Malpraktek dapat terjadi karena
tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005).
Malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Tindakan malpraktik dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu malpraktik etika,
malpraktik yuridis, dan malpraktik administratif. Malpraktik etika adalah
melakkan tindakan yang bertentangan dengan etika profesi sebagai tenaga
kesehatan. Malpraktik yuridis dibedakan menjadi dua yaitu malpraktik perdata
(Civil Malpractice), jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (inkar
janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
dan malpraktik pidana (Criminal Malpractice), merupkan kesengajaan dapat
dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi,
hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan
kesengajaan yang merugikan pasien, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib
simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang
belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya,
dll.

BAB III
PEMBAHASAN
BAB III akan membahas terkait kasus yang terjadi di Rumah Sakit dan analisa
penyelesaian dari kasus tersebut sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia.
3.1 Kasus Salah Transfusi Darah
Pada tanggal 28 Februari 2016 yang lalu seorang pasien Ny. B (57 tahun)
dibawa keluarganya ke Rumah Sakit Arun Lhokseumawe Aceh karena pada kaki
kiri pasien terdapat luka yang sudah terlihat parah, keluarga mengatakan pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus. Setelah beberapa hari dirawat, pihak rumah
sakit mengatakan bahwa pasien harus menjalani operasi kecil untuk
membersihkan luka yang dialami, namun pasien saat itu sedang mengalami
kekurangan trombosit, sehingga dokter menyatakan pasien harus diberikan
transfusi darah.
Pada tanggal 3 Maret 2016 pihak keluarga membawa surat permintaan
darah yang ditulis oleh pihak rumah sakit, yang ditujukan kepada unit UPTD PMI
Kota Lhokseumawe. Kemudian, petugas PMI memberikan sekantong darah dan
menyerahkan pada keluarga pasien. Dengan tidak menaruh keraguan sedikitpun,
darah diserahkan keluarga pasien kepada pihak rumah sakit, dengan harapan agar
pasien segera mendapat transfusi dan tindakan medis selanjutnya dapat berjalan
semestinya. Selanjutnya pihak rumah sakit memberikan transfusi kepada pasien.
Setelah dilakukan transfusi, pasien terlihat menggigil. Kemudian diketahui setelah
dilakukan pengecekan, ternyata darah yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien
tidak sesuai dengan golongan darah yang dia miliki. Pasien memiliki golongan
darah O, dan darah yang ditransfusi golongannya B.
Keluarga pasien kemudian melaporkan kasus ini kepada Polres
Lhokseumawe. Kemudian, kepolisian melakukan pemeriksaan kasus dan pada
tanggal 11 April 2016 menetapkan perawat M serta dua petugas UPTD PMI Kota
Lhokseumawe sebagai tersangka. Pada tanggal 14 Juni 2016, penyidik Polres
Lhokseumawe sempat melimpahkan berkas ke Kejaksaan Negeri (Kejari)
Lhokseumawe. Namun berkas dikembalikan karena belum lengkap.
Sebelumnya pada tanggal 10 April 2016, PPNI Aceh dan PPNI Kota
Lhokseumawe langsung melakukan investigasi pada perawat M. Adapun hasil
yang diperoleh dalam pertemuan itu, diantaranya tentang kronologi kejadian
transfusi darah tersebut : (1) Pada saat kejadian, yang bertugas adalah perawat M
dan dua orang bidan di ruang penyakit dalam; (2) Adapun yang memberikan
transfuse bukan perawat M tetapi bidan, perawat M bertugas sebagai leader; (3)
Tranfusi darah dilaksanakan atas order dr.MF, Sp.PD tanggal 2 Maret 2016, dalam
bentuk tulisan di status pasien; (4) Permintaan darah ke UPTD PMI dilaksanakan
tanggal 3 Maret 2016, pukul 18.00 WIB, disertai sampel darah; (5) Tanggal 3
Maret 2016, pukul 22.00 WIB, kantong darah tiba di ruang perawatan. Perawat M
melihat label golongan darah B, kemudian perawat M menghubungi pihak UPTD
dan petugas laboratorium untuk konfirmasi bahwa golongan darah pasien O (hasil
pemeriksaan RS). Jawaban UPTD bahwa hasil cross check UPTD golongan darah
B bukan O, kemudian petugas laboratorium juga menguatkan bahwa golongan
darah B bukan O. Lalu pihak laboratorium RS Arun/PMI meminta perawat M
mencoret surat permintaan darah dari tulisan O menjadi B; (6) Tanggal 3 Maret
2016, pukul 23.00 WIB, darah ditranfusi pada pasien, reaksi pasien menggigil dan
dokter meminta diberikan suntikan obat dan pasien tidak menggigil lagi setelah
disuntikkan obat tersebut; (7) Tanggal 7 Maret 2016, pasien pulang dengan kondisi
baik; (8) Tanggal 8 Maret 2016, pasien dibawa kembali ke RS Arun dengan
kondisi hipoglikemia (KGD 45).
3.2 Analisis Kasus Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2014 tentang Keperawatan
Pasal 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1980 tentang
Transfusi Darah menyebutkan bahwa: “Transfusi darah adalah tindakan medik
memberikan darah kepada seorang penderita, yang darahnya telah tersedia dalam
botol atau plastik.” Pasal 1 huruf (c) Permenkes RI No. 478/Menkes/Perat/X/1990
Tentang Upaya Kesehatan Di Bidang Transfusi Darah menyebutkan bahwa:
“Transfusi darah adalah tindakan medik memberikan darah kepada penderita
yang darahnya telah tersedia dalam kemasan yang memenuhi syarat kesehatan,
secara langsung ataupun tidak langsung.”
Menurut UU RI Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, pada
kasus salah transfuse darah ini, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan
beberapa pasal berikut, yaitu:
3.2.1 Pasal 2 (d) tentang praktik keperawatan harus berasaskan manfaat.
Arti dari asas manfaat ini adalah bahwa keperawatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Adapun tindakan yang dilakukan perawat M tidak memberikan manfaat
kepada pasien, sebaliknya hal ini memberikan kerugian pada pasien.
3.2.2 Pasal 28 ayat 3 yang isinya bahwa praktik keperawatan harus
didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi dan
standar prosedur operasional. Adapun tindakan yang dilakukan perawat
M telah melanggar pasal 28 ayat 3 ini, karena perawat M tidak
melakukan tindakan sesuai standar prosedur operasional (SPO),
yaitu kewajiban untuk melakukan pengecekan terhadap segala hal
tentang darah yang akan diberikan untuk transfusi baik itu tanggal
kadaluarsa darah, serta golongan darah, walaupun tindakan dilakukan
oleh bidan, namun perawat M sebagai leader berdasarkan pemaparan di
kasus telah mengetahui adanya perbedaan golongan darah dari UPTD
PMI dan tetap memberikan darah kepada pasien tanpa melakukan
kroscek ulang
Perawat M telah melakukan tindakan sesuai dengan:
1. Pasal 29 ayat 1 huruf e yaitu dalam menyelenggarakan praktik
keperawatan, perawat bertugas sebagai pelaksana tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang
2. Pasal 32 ayat 1, pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29 ayat 1 huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga
medis kepada perawat untuk melakukan suatu tindakan medis dan
melakukan evaluasi pelaksanaannya. Sesuai dengan bunyi ayat ini, perawat
telah mendapat mandat secara tertulis dari dokter untuk melakukan
transfuse darah. Namun, saying sekali yang melakukan adalah bidan,
padahal perawat adalah yang berwenang menerima pelimpahan wewenang
ini. Selain itu, pada kasus ini tidak ada yang melakukan pengawasan
terhadap tindakan yang dilakukan perawat, sebagaimana yang tertulis pada
pasal 32 ayat 5 bahwa pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh
tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di
bawah pengawasan. Jadi, seharusnya ada yang melakukan pengawasan
terhadap tindakan berdasarkan pelimpahan wewenang ini.
Kepolisian menetapkan tersangka hanya pada perawat M, dan dua petugas
UPTD PMI, padahal menurut pasal 32 ayat 6 yang isinya adalah tanggung jawab
atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang. Dalam hal ini dokter
adalah yang melimpahkan wewenang, sehingga seharusnya dokter juga
bertanggung jawab atas terjadinya malpraktek ini.
Perawat M memiliki hak seperti yang tertuang dalam pasal 36 huruf a yaitu
perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berhak memperoleh
pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, namun karena pada kasus ini perawat M tidak melakukan
tindakan sesuai SPO maka perawat M tidak dapat memperoleh hak atas
perlindungan hukum ini.
Perawat M dalam kasus ini disimpulkan melakukan kelalaian yang
mengakibatkan kerugian kepada orang lain. Kelalaian adalah segala tindakan
yang dilakukan oleh yang dilakukan dan dapat melanggar standar sehingga
menyebabkan cidera atau kerugian kepada orang lain (Sampurno, 2005).
Kelalaian yang dilakuan perawat M berbentuk misfeasance, yaitu kelalaian dalam
melaukan tindakan keperawatan yang tidak tepat, salah satunya adalah
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar.
Selain melanggar hukum, perawat M pada kasus diatas juga melanggar etik
mengenai non-maleficience dan beneficience. Perawat M telah melakukan
tindakan yang membahayakan dan dapat merugikan pasien, karena tidak
mengikuti SOP. Jika perawat memilih untuk mementingkan prinsip beneficience
dan non-maleficience akan menimbulkan manfaat berupa peningkatan kualitas
perawatan kepada pasien, bukan sebaliknya. Etik dan hukum berkaitan satu sama
lain. Jika perawat melakukan pekerjaan sesuai dengan etik dan kode etik
keperawatan yang berlaku, perawat tentunya akan melaksanakan tugas sesuai
wewenang dan sesuai dengan SOP, tentunya kelalaian tersebut tidak akan terjadi.
Oleh karena itu perawat dalam pelaksanaan praktik keperawatan tetap harus
berpegang teguh kepada prinsip etik dan pilar etik keperawatan.
Jika terdapat masalah seperti diatas kembali, RS harus memastikan perawat
melakukan tindakan sesuai dengan prosedur yang berlaku daan melakukan
pengkajian masalah menggunakan POSAC. Berikut adalah penjelasannya:
1. Fungsi planning: RS melakukan pengkajian apakah maslalah tersebut
terjadi karena kurangnya standar yang berlaku di RS, jika jawabannya ya,
RS harus segera membuat regulasi yang mengatur tentang standar transfusi
darah dan regulasi mengenai kewenangan dalam pendelagasian transfusi
darah. Jika jawaban sudah tersedia, RS perlu mengkaji fungsi organizing
dari RS.
2. Fungsi organizing: RS melakukan pengkajian mengenai pengelompokan
aktivitas dalam standarisasi pemberian transfuse kepada pasien
3. Fungsi staffing: RS melakukan pengkajian bagaimana pengembangan staff
dan sosialisasi mengenai kebijakan transfuse
4. Fungsi actuating: RS melakukan pengkajian bagaimana proses
pendelegasian berlangsung, bagaimana mengatasi konflik dan komunikasi
kolaborasi yang terjadi di RS
5. Fungsi controlling: RS melakukan pengkajiian mengenai pengawasan
dalam tindakan-tindakan atau kebijakan yang dilaksanakan (Marquis &
Huston, 2012).
Jika RS sudah melakukan pengkajian dari fungsi POSAC, dan menemukan
terdapat masalah dalam salah satu proses, RS harus segera melakukan
penyelesaian ketimpangan tersebut. Selain itu RS harus menilai permasalah
tesebut berada pada tingkat individu yanhg melakukan kelalaian, kelompok kerja
atau tim, atau RS sendiri yang tidak menjalankan fungsi nya dengan baik.
Misalnya, dalam kasus diatas sudah terdapat SOP, pendelegasian sudah
dilakukan, dan pengawasan dilakukan dengan baik, namun perawat tetap
melakukan kelalaian, maka yang harus dibina adalah indiviudu tersebut.

3.3 Analisis kontra


Pasien transfusi darah sebagai subyek hukum yang hak kewajibannya
dilindungi sebagaimana diatur dalam atau oleh seperangkat aturan hukum yang
terdiri dari: Pertama, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Kedua, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah.
Ketiga, Peraturan Menteri Kesehatan No. 478 Tahun 1990 tentang Upaya
Kesehatan di Bidang Transfusi Darah. Keempat, Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 622/Menkes/SK/1992 Tentang Kewajiban Pemeriksaan HIV pada
Darah Donor.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yang berbunyi
sebagai berikut: “setiap pasien mempunyai hak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit. ”Apabila
dihubungkan dengan transfusi darah, setiap kegiatan pelayanan transfusi darah
harus dikerjakan sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO).
Pasal 13 Undang-Undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah sakit,
ditentukan bahwa: “ Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus
bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar
prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan keselamatan pasien.”
Di rumah sakit, petugas yang biasanya memberikan transfusi kepada
pasien adalah perawat atas delegasi dari dokter. Sehubungan dengan itu, sebelum
perawat memasukkan darah ke tubuh pasien, perawat wajib mengecek ulang
nama dan golongan darah pasien agar tidak terjadi kesalahan pemberian transfusi
darah. Dengan demikian, dalam proses pemberian transfusi darah harus
diperhatikan standar prosedur operasional (SPO) yang harus diikuti secara
konsisten. Sebelum perawat memasukkan darah ke tubuh resipien, maka perawat
tersebut harus mengecek ulang nama dan golongan darah resipien sehingga tidak
terjadi kesalahan pemberian transfusi.
Kasus salah mentransfusikan darah kepada pasien merupakan kelalaian
perawat atau negligence. Kelalaian ini termasuk misfeance atau melakukan
tindakan tidak sesuai dengan prosedur. Dalam hal ini rumah sakit harus
bertanggung jawab, karena rumah sakit berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-
Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit, beberapa kewajiban rumah
sakit dalam pemberian transfusi darah diantaranya harus memenuhi kewajiban
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) yaitu
harus memiliki peralatan medik dan non medik, kemudian harus mengawasi dan
membina tenaga kesehatannya karena berdasarkan Pasal 13 ayat (1) setiap tenaga
kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai standar pelayanan
rumah sakit. Kemudian berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf b rumah sakit wajib
memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, sesuai standar rumah
sakit (Sri Ratna, 2011).

3.4 Analisis pro


Dalam kaitannya dengan kasus kesalahan pemberian transfusi darah, maka
harus dipastikan oleh hakim apakah perawat sengaja melakukan kesalahan
(malpracrice) atau melakukan kelalaian (negligence). Hal ini dikarenakan
perbedaan hukuman yang diberikan antara 2 kesalahan yang dapat dilakukan
oleh tenaga medis. Pertimbangan berikutnya, dalam kasus pemberian darah B
pada resipien begolongan darh O adalah konsep foresee ability yaitu kemampuan
menentukan sebab – akibat apakah tindakan tertentu mempunyai kemungkinan
besar menyebabkan kerugian atau tidak. Semakin banyak kemungkinan tindakan
bisa dipastikan mencederai, semakin besar kelalaian ditetapkan (Kadivar et al.,
2017). Harus dipastikan terlebih dahulu kerusakan atau kerugian yang terjadi
disebabkan oleh tindakan keperawatan.
Dalam Esq (2013) disebutkan bahwa bukan semua kesalahan praktisi
medis uang terlibat dalam praktik transfusi darah di rumah sakit yang dapat
dihukum menurut hukum, tetapi yang dapat dihukum adalah kesalahan yang
terjadi karena kecerobohan dan kelalaian (Esq, 2013). Dinamakan kelalaian jika
ada 3 unsur yang saling bertemu yakni tugas perawatan, pelanggaran tugas dan
adanya kerusakan yang muncul.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Aspek hukum praktik keperawatan merupakan perangkat hukum atau aturan-
aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal yang seharusnya dilakukan
atau larangan perbuatan sesuatu bagi profesi perawat dalam menjalankan
profesinya. Aturan-aturan ini tertulis dalam undang-undang keperawatan dan
aturan normatif seperti kode etik keperawatan, lafal sumpah, standar profesi, dan
standar asuhan keperawatan
4.2 Undang-undang keperawatan merupakan dasar hukum praktik keperawatan yang
diatur dalam undang-undang keperawatan no. 38 tahun 2014. Pelaksanaan
undang-undang tersebut diatur dalam PMK Nomor 26 tahun 2019 tentang
peraturan pelaksanaan perundang-undangan No. 38 Tahun 2014
4.3 Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar
sehingga mengakibatkan cedera/kerugian orang lain.
4.4 Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, Tonia Dandry. (2003). Legal, ethical and political issues in nursing 2nd edition.
Philadelphia: Davis Company
Esq, B. A. (2013). Legal Implications of Ethical Breaches in Medical Practice: Nigeria
a Case Study. Asian Journal of Humanities and Social Sciences, 1(3), 69-87.
Huijbers, T. (1995). Pustaka filsafat: filsafat hukum. Yogyakarta: Kanisius
Kadivar, M., Manookian, A., Asghari, F., Niknafs, N., Okazi, A., & Zarvani, A. (2017).
Ethical and legal aspects of patient's safety: a clinical case report. Journal of
medical ethics and history of medicine, 10, 15-15.
Marquis, B. L., & Huston, C. J. (2012). Leadership roles and management functions
in nursing: Theory and application (7th ed.). Philadelpia: Wolters Kluwer
Health.
Peraturan Menteri Kesehatann Nomor 26 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan
Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran: Materi seminar tidak
diterbitkan.
Sampurno et al, 2011. Kompendium Hukum Kesehatan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Sri Ratna, S. (2011). Analisis Hukum terhadap Pemberian Transfusi Darah di Rumah
Sakit Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Syiar Hukum, 13(3), 247-264.
Sudrajat, D. A. (2008). Aspek hukum dalam keperawatan. Jurnal Kesehatan Kartika
Stikes Ahmad Yani.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai