KEPERAWATAN ANAK II
Disusun Oleh :
1. Feni Wulandari 21117053
2. Fuji Lestari 21117054
3. Hani Nur azizah Batubara 21117058
4. Helison 21117059
5. Hesti Yuniarti 21117064
6. Indah Ayu Hoca 21117068
7. Jeihan Archya 21117070
8. Larisa 21117073
9. Meireza 21117081
10. Monica Ayu Stevani 21117085
11. Nur Azizah 21117089
12. Pariska Rahma Dia 21117093
KELAS 3 B
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
2
Penyebab dari Glomerulo nefritis Kronis yaitu :
C. KLASIFIKASI
1. Difus
3
2. Fokal
3. Lokal
Hanya sebagian rumbai glomerulus yang abnomral misalnya satu
sampai kapiler.
1. Congenital (herediter)
a. Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya
glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf
dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom
alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal
kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok
ginjal. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural,
dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru
tampak pada awal umur sepuluh tahunan.
b. Sindrom Nefrotik Kongenital
Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum
lahir. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik
(hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab
dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.
Klasifikasi sindrom nefrotik kongenital
Idiopatik : sindrom nefrotik congenital tipe finlandia, sklerosis
mesangal difus, jenis lain
sekunder : sifilis kongenital, infeksi perinatal, intoksikasi
merkuri
sindrom : sindrom drash dan sindrom malformasi lain
2. Glomerulonefritis Primer
a. Glomerulonefritis membrano proliferasif
4
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya
dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria
asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien
menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 %
berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan
hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45%
menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang
ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan
bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis
akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
b. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu
atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati
membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Tidak ada perbedaan jenis kelamin.
Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik
merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan,
sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
c. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan
glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal
ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus
dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala
nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan
ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria
makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau
infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
3. Glomerulonefritis sekunder
5
tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang
nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah
Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan
komplek antigen dan antibodi di kapiler- kapiler glomerulus.
Komplek biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau
kulit oleh Streptococcus (glomerulonephritis pascastreptococcus )
tetapi dapat timbul setelah infeksi lain. (Corwin, Elizabeth J, 2000 )
Glomerulonefritis kronik
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut
yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis
kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan
glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam
urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan, yang sering
menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik.
Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut
dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang
mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal
jangka panjang yang kurang baik. ( Corwin, Elizabeth, J. 2000 )
6
D. PATOFISIOLOGI
7
E. MANIFESTASI KLINIS
Dari segi klinis suatu kelainan glomerulus yang sering dijumpai adalah
hipertensi, sembab, dan penurunan fungsi ginjal. Meskipun gambaran klinis
biasanya telah dapat membedakan berbagai kelainan glomerulus dan non
glomerulus, biopsi ginjal masih sering dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis pasti.
Hematuria
Silinder sel darah merah didalam urin
Proteinuria lebih dari 3-5 mg/hari
Penurunan GFR
Penurunan volume urin
Retensi cairan
Apabila keadaan tersebut disebabkan oleh glomerulonefritis pasca
streptococcus akut, akan dijumpai enzim-enzim streptococcus, misalnya
antistreptolisin-O dan antistreptokinase.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4),
Hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita
Kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik
Leukosituria serta torak selulet
Granular
Eritrosit(++)
Albumin (+)
Silinder lekosit (+).
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan
tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia.
8
Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma
nefrotik. Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic
comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu
pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar
properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
aktivasi jalur alternatif komplomen.
9
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens
kreatinin dan radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati
faal ginjal yang sebenarnya (Sukandar, 2006).
d. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,
dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG) (Sukandar, 2006).
e. Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Diagnosis etiologi PGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
abdomen , ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography
(MCU) (Sukandar, 2006).
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG)
G. KOMPLIKASI
10
jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis
peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi
Merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa
gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema
otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
5. Ketidakseimbangan cairan dan eletrolit pada fase akut.
6. Malnutrisi
7. Hipertensi, congestive heart failure (CHF), endokarditis.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Medis
a. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih, dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama
10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
11
b. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi,
pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat
cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan
reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak
0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan
dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak
dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
c. Pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali)
dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal
dan filtrasi glomerulus.
d. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan
oksigen.
2. Keperawatan
a. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat
mutlah selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal
untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan
bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai
timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan
penyakitnya.
b. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari)
dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada
penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah
normal kembali.
c. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan
glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan
d. Bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan
oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
e. Transplantasi ginjal
12
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan program
transplantasi ginjal, yaitu:
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup (survival rate) lebih lama
Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
13
BAB III
KASUS
SKENARIO I
Ny. R mengeluhkan kondisi anaknya, An.D (5 tahun) yang sudah beberapa hari
ini tampak kurang sehat kepada Ners A. An.D masuk ke RS dengan proteinuria
2+ dan edema. Ny. R menyampaikan bahwa anaknya mengalami infeksi pada
tenggorokannya sejak kira-kira 2 minggu yang lalu, anak tampak lelah, tidak ada
keinginan untuk bermain dan hanya ingin tidur. Sejak beberapa hari yang lalu
An.D juga mengalami output urin yang sedikit. Hasil pengkajian Ners A
mengindikasikan adanya bilateral edema 1+ di kedua esktremitas bawah,
periorbital edema, hematuria, dan kepucatan. Tanda vital An. D diperoleh :
Data lab :
I. STEP I : ISTILAH
14
1. Proteinuria (Pariska) :
Suatu kondisi dimana urin mengandung jumlah protein yang tidak
normal (Fuji)
2. Edema (Hesti) :
Pembengkakan pada anggota tubuh yang terjadi karena penimbunan
cairan (Larisa)
3. Urinalisis (Monica) :
Tes yang dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang
melalui tes urin (Meireza)
4. Bilateral Edema (Hani) :
Istilah pembengkakan yang terjadi di satu pasang anggota tubuh,
misalkan terjadi pembengkakan di kaki kiri dan kanan (Nur Azizah)
5. Periorbital Edema (Feni) :
Istilah untuk pembengkakan di sekitar mata (Hesti)
6. Hematuria (Nur Azizah) :
Kondisi dimana urin mengandung sel darah merah, atau disebut
dengan kencing darah (Pariska)
7. Pemeriksaan BUN (Fuji) :
(Blood Urea Nitrogen) Pemeriksaan laboratorium yang bertujuan
untuk mengetahui kadar nitrogen ureum dalam darah (Hani)
8. Pemeriksaan Kreatine (Helison) :
Pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui jumlah
kreatinin dalam darah dan mengetahui adanya masalah pada fungsi
ginjal (Indah)
9. Pemeriksaan Aso Titer (Meireza):
Pemeriksaan darah yang berfungsi untuk mengetahui infeksi terhadap
bakteri Streptococcus A (Feni)
10. Serum Albumin (Jeihan) :
Sebuah tes yang bertujuan untuk mengetahui jumlah albumin dalam
darah (Helison)
11. P Kolesterol & Trigliserid(Indah):
15
Pemeriksaan Kolesterol dan Trigliserida adalah tes darah yang
digunakan untuk mengukur jumlah total zat lemak (Kolesterol dan
Trigliserida) dalam darah (Jeihan)
12. P. Hgb & HCT (Larisa) :
Pemeriksaan Hgb (Hemoglobin) adalah pemeriksaan darah yang
bertujuan untuk mengetahui adakah kelebihan atau kekurangan sel
darah merah dalam tubuh. Pemeriksaan Hct (Hematokrit) adalah
pemeriksaan untuk mendeteksi anemia, mendampingi pemeriksaan
Hgb (Monica)
16
b. Kurangi konsumsi protein dan kalium
c. Jaga berat badan yang sehat
d. Kendalikan kadar gula (Jeihan)
4. Tidak perlu, karena penyakit tersebut masih akut (Indah ayu)
5. Karena adanya kebocoran pada daerah kapiler glumerulonefritis yang
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar kedalam urin
(Hesti)
6. Karena adanya penurunan aliran darah ginjal yang mengakibatkan
adanya penurunan laju filtrasi ginjal (Larisa)
17
IV. STEP IV : PATHWAY
18
V. STEP V : LEARNING OBJEKTIF
1. Mahasiswa mampu memahami definisi Glumerulonefritis, glumerulos
2. Mahasiswa mampu memahami Tanda dan Gejala penyakit tersebut
3. Mahasiswa mampu mengetahu Faktor Penyebab penyakit tersebut
4. Mahasiswa mampu mengetahui Komplikasi apa saja yang terjadi pada
penyakit tersebut
5. Mahasiswa mampu mengetahui Pemerikasaan Penunjang pada
penyakit tersebut
6. Mahasiswa mampu mengetahui Pengobatan yang selektif agar tidak
menjadi penyakit kronis
7. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan infeksi tenggotokan dan ke
ginjal
8. Mahasiswa mampu mengetahui nursing care plan
9. Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan Hgb, HCT,
Kreatinin, Serum Albumin, Kolesterol, Trigliserid, dan ASO Titer
10. Mahasiswa mampu mengetahui nilai-nilai normal Hgb, HCT,
Proteinuria, Serum Albumin, Kolesterol, Trigliserid
11. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosa keperawatan tentang
penyakit tersebut
12. Mahasiswa mampu mengetahui Nursing Care Plan pada
glumerulonefritis
13. Mahasiswa mampu mengetahui apa yang harus dilakukan saat
perawatan dirumah
19
VII. STEP VII : MENJAWAB LEARNING OBJEKTIF
1. Glumerulonefritis berdasarkan definisi dari internasional
collaborative study of kidney disease in children (ISK DC) pada tahun
2003 adalah sekumpulan gejala-gejala yang timbul mendadak, terdiri
darin hematuria, proterunia, silinderuria (terutama silinder eritrosit),
dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema gejala-gejala dari
kongesti vaskulr atau gagal ginjal akut, sebagai akibat dari suatu
proses peradangan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologikn pada
ginjal yang secara spesifik mengenai glomerulus (Aditiawati et al,
2011). Glumerulonefritis umumnya disebabkan oleh infeksi, yang
sering terjadi pada anak-anak, seperti infeksi traktus respiratorius.
(Medula, Volume 1, Nomor 4, Oktober 2013)
20
tersebut dapat mengakibatkan reaksi peradangan akut yang benar serta
meningkatkan terbentuknya jaringan fibroris.
(Sari Pediatric, Vol.9 No.1, Juni 2007)
4. Komplikasi glumerulonefritis
a. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi
sebagai akibat berkurangnya fibrasi glomerulus. Gambaran
seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hyperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namum bila hal ini terjadi maka
dialisi peritoneum kadang-kadang di perlukan.
b. Ensafalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena
hipertensi. Terdapat gejal berupa gangguan pada penglihatan,
pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme
pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
c. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi
basah, pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan
saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan
oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar
dan terjadi gagal jantung akibat HT yang menetap dan kelainan
di myocardium.
Anemia karena adanya hypervolemia disamping adsnya sintesis
eritropoetik yang menurun. (Academia.edu)
5. Pemerikasaan penunjang :
a. Urinalisis
Pada pemerikasaan urin rutin ditemukan hematuria mikroskopis
(gros), proterunia. Proteinuria biasanya sesuai dengan derajat
hematurin dan bekisar antara ±sampai 2+ (100 mg/dL).
21
b. Darah
Kadang-kadang kadar ureum dan keratinin serum meningkat
dengan tanda gagal ginjal seperti hyperkalemia, asiolosis,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia.
c. Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak
spesifik. Foto toraks umunya menggambarkan adanya kongesti
vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai dengan
meningkatnya volume cairan ekstraseluler.
(Symposium Nasional II IDAI Cabang Lampung, 24 – 25 april
2010 Bandar Lampung)
22
a. Hemoglobin (Hgb) adalah komponen yang berfungsi sebagai alat
transportasi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb tersusun
dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dam
dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin :
suatu pigmen merah)
b. Hematokrit (HCT) adalah menujukkan persentase sel darah merah
terhadap volume darah total.
c. Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian otot dan
fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi
kreatinin konstan selama masa otot konstan. Penurunan fungsi
ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.
d. Serum Albumin adalah albumin di sintesa oleh hati dan
mempertahankan keseimbangan distribusi air dalam tubuh (tekanan
onkotik koloid). Albumin membanty transport beberapa komponen
darah, seperti : ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat.
e. Kolestrol adalah senyawa lemak kompleks yang 80% dihasilkan
dari dalam tubuh (organ hati) dan 20% sisanya dari luar tubuh (zat
makanan)
f. Trigliserid adalah salah satu jenis lemak yang banyak ditemukan
dalam darah. Trigliserida dihasilkan oleh organ hati.
g. ASO Titer adalah merupakan antibody terhadap antigen streptolisin
O yang dihasilkan oleh bakteri streptokukus β hemolitikus grup A.
( Pedoman Interpretasi Data Klinik )
23
11. Diagnosa Keperawatan
12. Nursing Care Plan
13. Perawatan Dirumah
a. Istirahat
Istrihat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang
biasanya timbul dalm minggu pertama perjalan penyakit GNAPS.
Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur,
tetapi tidak di izinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tegantung penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed
rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif,
penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat
tidak ada komplikasi.
b. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangka bila edema ringan,
pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1,0 gr/hari. Protein dibatasi
bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1,0 gr/kgbb/hari.
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada
penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan =
jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10
ml/kgbb/hari).
c. Antibiotik
Pemberian antibitotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak 1 hanya memberi antibitotik bila biakan
hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptococcus,
sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan
biakan negative belum dapat menyingkirkan infeksi streptococcus.
Biakan negative dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotic
24
sebelum masuk Rumah Sakit atau akibat periode laten yang terlalu
lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu amoksilin 50mg/kgbb
dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap
penisilin, dapat diberikan eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari
“Konsensus Glumerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (Unit
Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia)”
25
BAB IV
PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta :
EEC
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid: I. Edisi: IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
27