Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama natriurn tetraborat, berbentuk kristal
lunak. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi natrium hidroksida serta asam
borat. Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik, dan biasa digunakan oleh
industri farmasi sebagai ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles
mulut dan obat pencuci mata. Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' (berbentuk larutan
atau padatan/kristal) dan ternyata digunakan sebagai pengawet misalnya pada pembuatan mie
basah, lontong dan bakso.
Penggunaan boraks ternyata telah disalahgunakan sebagai pengawet makanan, antara lain
digunakan sebagai pengawet dalam bakso dan mie. Boraks juga dapat menimbulkan efek
racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas
boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks
yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam
hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi. Berikut
beberapa pengaruh boraks pada kesehatan.
a. Tanda dan gejala akut :
Boraks dilarang dalam penggunaan bahan tambahan pangan karena bagi anak kecil
dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan
kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 g
atau lebih.
Asam salisilat sering disebut aspirin. Pada aspirin ini adalah analgetik dan anti-
inflamasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa aspirin dapat mengurangi jumlah asam folat
dalam darah, meskipun kepastian perubahan belum terbukti.
Asam salisilat ditambahkan kedalam bedak dan salep sebagai zat antifungi (anti
jamur). Zat ini juga digunakan sebagai obat untuk penyakit kulit. Selain itu, asam salisilat
juga ditambahkan dalam sampo karena mengikis lapisan ketombe dan secara aktif
menghambat pertumbuhan mikroorganisme di kepala. Penggunaan asam salisilat sebagai
bahan pengawet dapat menimbulkan iritasi dan sakit lambung.
C. Dietilpirokarbonat (DEP)
D. Dulsin
Pemanis buatan yang dilarang adalah Dulsin yang dalam bahasa dagang disebut
dengan sucrol. Dulsin adalah pemanis sintetik yang memiliki ras manis kira-kira 250 kali dari
sukrosa atau gula tebu, yang tidak ditemukan pada produk-produk pemanis alami lainnya.
Dulsin telah diusulkan untuk digunakan sebagai pemanis tiruan. Dalam prakteknya Dulsin
dicampurkan dalam bahan pangan untuk mengganti Sukrosa (gula) bagi orang yang perlu
berdiet.
Dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan tentang bahaya dulsin dijelaskan
konsumsi dulsin yang berlebihan akan menimbulkan dan membahayakan kesehatan. Dalam
penelitian terhadap anjing bahwa dosis letal (kematian) dulsin adalah 1 gram/2kg berat
badan. Yang artinya pemeberian 1 gram / 2 kg berat badan dapat menimbulkan kematian
pada anjing sehingga ada kekhawatiran jika digunakan untuk manusia dikhawatirkan akan
menggangu kesehatan .
Dulsin ditarik total dari peredaran pada tahun 1954 setelah dilakukan pengetesan
dulsin pada hewan dan menampakkan sifat karsinogenik yang dapat memicu munculnya
kanker.
E. Kalium Klorat
Kalium klorat (KClO3) salah satu fungsinya sebagai pemutih, sehingga sering
dimasukkan dalam obat kumur pemutih dan pasta gigi. Sejak tahun 1988, Pemerintah
Indonesia sudah melarang penggunaan kalium klorat sebagai bahan tambahan makanan
karena senyawa ini dapat merusak tubuh bahkan kematian. Jika terpapar dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan methemoglobinemia (kelainan dalam darah), kerusakan hati dan
ginjal, iritasi pada kulit, mata, dan saluran pernapasan. Bila dimakan bersamaan dengan
produk pangan, kalium klorat dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan, gejalanya
mual, muntah dan diare. Brominated vegetabl oil, kloramfenikol dan Nitrofurazon merupakan
bahan tambahan yang dilarang penggunaannya.
F. Chloroamphenicol
Chloramphenicol juga dikenal menyebabkan suatu penyakit manusia yang serius yang
disebut" anemia aplastic," di mana terjadi penghentian sumsum tulang yang memproduksi sel
darah putih dan merah. Kondisinya sering fatal dan tidak dapat diubah. FAO telah
memperingatkan bahwa suatu konsentrasi chloramphenicol yang sangat rendah bisa jadi
cukup untuk menimbulkan penyakit yang fatal itu.
Minyak nabati yang dibrominasi adalah bahan tambahan pangan yang digunakan
sebagai stabiliser dan pengemulsi pada minuman ringan. Penelitian menunjukkan bahwa pada
tikus yang diberi ransum minyak yang dibrominasi menyebabkan kematian.
H. Nitrofurazon
Efek farmakologi nitrofuran dari hasil penelitian terhadap tikus, maka LD50 datri zat ini
adalah 0,59 g/kg pemberian secara oral dapat menyebabkan skin lessison pada kulit serta
infeksi pada kandung kemih.
I. Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam
larutan formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air dan merupakan anggota
paling sederhana dan termasuk kelompok aldehid dengan rumus kimia HCHO. Formalin
biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda antara lain yaitu: Formol,
Morbicid, Methanal, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, Methylene aldehyde,
Oxomethane, Formoform, Formalith, Karsan, Methyleneglycol, Paraforin, Polyoxymethylene
glycols, Superlysoform, Tetraoxymethylene, dan Trioxane.
Formalin digunakan pada :
Bidang kesehatan : desinfektan dan pengawet mayat
Industri perkayuan dan plywood : sebagai perekat
Industri plastik : bahan campuran produksi
Industri tekstil, resin, karet dan fotografi : mempercepat pewarnaan.
Dampak formalin pada kesehatan manusia, dapat bersifat akut dan kronik.
Formalin tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada
Codex Alimentarius, maupun yang dikeluarkan oleh Depkes. Humas Pengurus Besar
Perhimpunan Dokter spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) menyatakan
formalin mengandung 37% formalin dalam pelarut air dan biasanya juga mengandung 10
persen methanol. Formalin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena dapat
menyebabkan kanker, mutagen yang menyebabkan perubahan sel dan jaringan tubuh,
korosif dan iritatif. Berdasarkan penelitian WHO, kandungan formalin yang
membahayakan sebesar 6 gram. Padahal rata-rata kandungan formalin yang terdapat pada
mie basah 20 mg/kg mie.
KONTOVERSI MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)
Jurnal Chemistry Senses menyebutkan, Monosodium Glutamate (MSG) mulai
terkenal tahun 1960-an, tetapi sebenarnya memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad
orang Jepang mampu menyajikan masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan
sejenis rumput laut bernama Laminaria japonica. Pada tahun 1908, Kikunae Ikeda, seorang
profesor di Universitas Tokyo, menemukan kunci kelezatan itu pada kandungan asam
glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya – asam, manis, asin dan pahit –
dengan umami (dari akar kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat). Sementara
menurut beberapa media populer, sebelumnya di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga
berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium
glutamate (MSG), tetapi belum tahu kegunaannya sebagai penyedap rasa. Sejak penemuan
itu, Jepang memproduksi asam glutamat melalui ekstraksi dari bahan alamiah. Tetapi karena
permintaan pasar terus melonjak, tahun 1956 mulai ditemukan cara produksi L-glutamic acid
melalui fermentasi. L-glutamic acid inilah inti dari MSG, yang berbentuk butiran putih mirip
garam. MSG sendiri sebenarnya tidak memiliki rasa. Tetapi bila ditambahkan ke dalam
makanan, akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus di otak
dan mempresentasikan rasa dasar dalam makanan itu menjadi jauh lebih lezat dan gurih.
Sejak tahun 1963, Jepang bersama Korea mempelopori produksi masal MSG yang kemudian
berkembang ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Setidaknya sampai tahun 1997
sebelum krisis, setiap tahun produksi MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun dengan
konsumsi mengalami kenaikan rata-rata sekitar 24,1% per tahun.
Pada scientific meeting Persagi DIY (28 Februari 2008) dengan tema “Kontroversi
Monosodium Glutamate (MSG) pada Kesehatan dan Kecerdasan”, seminar tersebut
diungkapkan oleh Turiadi dari PT Ajinomoto sebagai pembicara ketiga, masalah-masalah
kesehatan yang kerap dihubungkan dengan MSG adalah kerusakan otak, Chinese Restaurant
Syndrome, asma, akumulasi dalam darah, kanker, dan akibatnya pada janin.
A. KERUSAKAN OTAK
Olney (1969) mengungkapkan MSG dosis tinggi mungkin merusak fungsi otak
manusia. Ia mengatakan hal ini karena penelitiannya pada bayi tikus (mencit) yang diberikan
MSG dosis 0.5-4.0 g/kg berat badan (setara dengan 30-240 g/60 kg, ini merupakan dosis
yang sangat tinggi). Hasilnya, terjadi kerusakan otak pada mencit tersebut. Penelitian ini di-
counter dengan pernyataan, “suntikan dan makan paksa MSG sangat tidak relevan dengan
konsumsi MSG secara normal bersama makanan. Pengaruh negatif tidak ada ketika MSG
dosis tinggi ditambahkan ke dalam makanan.”
Y Takasaki et. al. (1978) mengungkapkan bahwa ketika MSG diberikan secara oral
kepada makanan, kadar plasma glutamate tidak berubah.
Y Takasaki et. al. (1979) mengadakan penelitian yang hasilnya MSG di dalam
makanan tidak menyebabkan pengaruh akut atau pun kerusakan otak jangka panjang.
W Partridge (1979) meneliti: glutamat di dalam makanan tidak dapat menembus otak
karena mekanisme blood-brain barrier.
J Fernstorm (1994) mengungkapkan bahwa glutamat dalam makanan tidak
berpengaruh buruk terhadap fungsi normal otak.
Q Smith (2000) menemukan bahwa glutamat di dalam otak selalu terjaga konstan
terpisah dari glutamat di dalam sistem peredaran dalam tubuh
C. ASMA
Konsumsi MSG dalam jangka panjang tidak menyebabkan akumulasi dalam darah.
Hal ini dibuktikan oleh Vichai et al., 2000, yang melakukan penelitian terhadap 10 orang
subjek yang mengkonsumsi MSG selama 1 tahun, dan 10 orang yang tidak mengkonsumsi
MSG, sebagai kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa glutamat tidak terakumulasi di
dalam plasma pemakai MSG dan meyakinkan keamanan konsumsi MSG dalam jangka
panjang.
E. KANKER
Belum ada penelitian yang membuktikan MSG sebagai penyebab kanker. Sejauh ini,
penyebab kanker adalah radikal bebas yang terbentuk dari Heterocyclic Amines (HCAs, dari
pembakaran daging), Polycyclic Hydrocarbon (PAH), dan bahan-bahan karsinogenik lainnya.
Eksperimen pada kera rhesus (Reeds et al., 2000) yang disuntik MSG pada trimester
akhir menunjukkan bahwa cairan MSG yang diinjeksikan ke induk tidak mempengaruhi janin
karena perlindungan placenta, kecuali cairan MSG yang diinjeksikan dosisnya sangat tinggi
(di atas 200 mikromol/dl, di atas nilai ambang batas).
Sejauh ini, belum banyak penelitian langsung terhadap manusia. Hasil dari penelitian
dari hewan, memang diupayakan untuk dicoba pada manusia. Tetapi hasilnya masih
bervariasi. Sebagian menunjukkan efek negatif MSG seperti pada hewan, tetapi sebagian juga
tidak berhasil membuktikan. Yang sudah cukup jelas adalah efek ke terjadinya migren
terutama pada usia anak-anak dan remaja seperti laporan Jurnal Pediatric Neurology.
Memang disepakati bahwa usia anak-anak atau masa pertumbuhan lebih sensitif terhadap
efek MSG daripada kelompok dewasa. Sementara untuk efek terjadinya kejang dan urtikaria
(gatal-gatal dan bengkak di kulit seperti pada kasus alergi makanan), masih belum bisa
dibuktikan.
Di sisi lain, Jurnal Appetite tahun 2002 melaporkan, faktor psikologis juga
berpengaruh. Bila seseorang sudah merasa dirinya sensitif, maka berapapun kadar yang ada,
MSG Complex Syndrome akan terjadi. Sebaliknya, ada kelompok lain yang memerlukan
dosis MSG lebih tinggi dibanding rata-rata orang, untuk mendapatkan sensasi rasa lezat.
Diduga, paparan terus menerus menyebabkan peninggian ambang rangsang reseptor di otak
untuk asam glutamat.
Begitupun, menyadari tingginya konsumsi MSG di wilayah Asia, WHO
menggunakan MSG untuk program fortifikasi vitamin A. Di Indonesia pernah dilakukan pada
tahun 1996. Juga, penggunaan MSG bisa menjadi salah satu pilihan dalam menurunkan
konsumsi garam (sodium) yang berhubungan dengan kejadian hipertensi khususnya pada
golongan manula. Hal ini karena untuk mencapai efek rasa yang sama, MSG hanya
mengandung 30% natrium dibanding garam.
Sementara itu, Jurnal Nutritional Sciences tahun 2000 melaporkan, kadar asam
glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah konsumsi MSG 30 mg/kg berat
badan/hari, yang berarti sudah mulai melampaui kemampuan metabolisme tubuh. Bila masih
dalam batas terkendali, peningkatan kadar ini akan menurun kembali ke kadar normal atau
seperti kadar semula dalam 3 jam. Peningkatan yang signifikan baru mulai terjadi pada
konsumsi 150 mg/kg berat badan/hari. Efek ini makin kuat bila konsumsi ini bersifat jangka
pendek dan besar atau dalam dosis tinggi (3 gr atau lebih dalam sekali makan). Juga ternyata
MSG lebih mudah menimbulkan efek bila tersaji dalam bentuk makanan berkuah.
Sebenarnya hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat. Dalam
urutan makin tinggi, beberapa diantaranya mengandung kadar tinggi seperti : susu, telur,
daging, ikan, ayam, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju.
Termasuk dalam hal ini juga bumbu-bumbu penyedap alami seperti vanili atau daun pandan.
Melihat hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30 mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam
sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5 – 3,5 g MSG (berat badan 50 – 70 kg), dan tidak
boleh dalam dosis tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok teh rata-rata berisi 4 - 6 gram
MSG. Masalahnya, sumber penambahan MSG sering tidak disadari pada beberapa sajian
berkuah, sehingga tidak semata-mata penambahan dari MSG yang sengaja ditambahkan atau
yang dari sediaan di meja makan. Masih belum dicapai kesepakatan mengenai glutamat dari
sumber alamiah dan non alamiah ini. Sejauh ini dinyatakan tidak ada perbedaan proses
metabolisme di dalam tubuh diantara keduanya. Yang jelas, aturan FDA tidak mengharuskan
pencantuman dalam label untuk glutamat dalam bahan-bahan alamiah tersebut.
Yang perlu disadari, seringkali makanan kemasan tidak mencantumkan MSG ini
secara jelas. Banyak nama lain yang sebenarnya juga mengandung MSG seperti: penyedap
rasa, hydrolized protein, yeast food, natural flavoring, modified starch, textured protein,
autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan istilah-istilah sejenis. Akibatnya, kadar asam
glutamat sesungguhnya, seringkali tidak seperti yang dicantumkan. Aturan mengharuskan
pencantuman komposisi dalam kemasan harus jelas agar konsumen dapat
mempertimbangkannya sesuai kondisi masing-masing.
Mensikapi hasil penelitian yang masih diliputi kontroversi, ada satu kekhawatiran
bahwa efek MSG ini memang bersifat lambat. Seperti pada penelitian terhadap hewan, efek
tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi setelah konsumsi jangka panjang meski dalam dosis
rendah. Sayang penelitian jangka panjang tentu saja sulit dilakukan pada manusia. Diduga,
akumulasi terus menerus dalam dosis rendah ini yang perlu diwaspadai. Di sisi lain,
sebenarnya berusaha beralih ke penyedap rasa alami, memang lebih baik. Meski begitu, bagi
yang sudah terbiasa memang tidak mudah, karena ada semacam kecanduan terhadap efek
MSG ini terhadap reseptor di otak pemberi rasa sedap.
Sumber :
http://www.pustakasekolah.com/benzena.html#ixzz2vHECcSue
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/538/jbptunikompp-gdl-ajiedwipra-26860-4-unikom_a-i.pdf
http://ipbkpm.wordpress.com/2011/08/02/kenali-pemanis-buatan-yang-dilarang/
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/peki4422/bag%204.htm
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/197807162006042-
AI_MAHMUDATUSSA'ADAH/BAHAN_TAMBAHAN_PANGAN.pdf
http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/322-bahaya-formalin-untuk-kesehatan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31027/3/Chapter%20II.pdf
http://eprints.uns.ac.id/713/1/MSG_dan_Kesehatan_Sejarah,_Efek_dan_Kontroversinya.pdf
http://geasy.wordpress.com/2008/03/07/msg-mengapa-masih-kontroversi/
BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) YANG
DILARANG DAN KONTROVERSI
MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)
OLEH :
1303410037