B. BAGIAN ISI
Pertemuan 1
1. Tujuan Pembelajaran.
2. Uraian Singkat Materi
Matan :
Perkataan terakhir dari sanad atau pembicaraan atau materi berita yang diover
oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah, sahabat atau
tabi’in.
Rawi:
Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) hadits
Pertemuan 3
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui hadits sebagai sumber ajaran Islam, dalil-dalil
kehujahan, dan fungsi hadits terhadap Al Qur’an serta perbedaan Al Qur’an
dan Hadits sebagai sumber hukum Islam.
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1. Kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunnah rasul sebagai sumber
hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur’an didalam menetapkan sesuatu
keputusan hukum. Kehujahan sunnah berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan
sunnah rasulullah:
a. Dalil Al Qur’an (QS. Al Hasr ayat 7 dan Ali Imran ayat 31
b. Dalil Hadits
الرا ِش ِد ْينَال َم ْهدِي ْي َنتَ َم َّس ْكت ُ ْمبِ َها ِ َسنَةُال ُخلَف
َّ اء ُ َِعلَ ْي ُك ْمب
ُ سنَّ ِة َو
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar
Rasyidin yang mendapat petunjuk berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
Hadits-hadits di atas menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits
menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana
wajibnya berpegang teguh kepada al-Quran.
Pertemuan 4
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui sejarah Hadits Pra Kodifikasi: Hadits Pada Periode
Rasul; dan Hadits pada Periode Sahabat dan Tabi’in
2. Uraian singkat Materi Pembelajaran
2.1. Hadits Pada Periode Rasul
Aktivitas penulisan hadits pada masa ini sudah berjalan, namun intensitasnya
lebih kecil daripada penulisan Al Qur’an. Diantara sahabat yang menulis hadits
: Abdullah bin Amr ibn Ash, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al Anshori,
Anas bin Malik, Abu Hurairah ad Dausi dsb.
Ada larangan penulisan hadits pada masa ini, tapi larangan itu khusus untuk
penulisan hadits yang disatukan dengan Al Qur’an.
Menurut M.M. Azmi : (1) Nabi sendiri pernah mengimlakan haditsnya (2) Izin
nabi agar hadits-haditsnya ditulis.
Cara Sahabat menerima Hadits dari Rasulullah :
Al Majlis lirasul (majelis-majelis Rasul)
Hawadits taqa’u li rasul (Peristiwa kejadian pada diri Rasulullah
sendiri)
Hawadits kanat taqa’u lil muslimin (Peristiwa yang terjadi pada orang-
orang Islam)
Waqa’i’u wa hawadits syahidu fiha tasharufaati al rasul (Peristiwa
kejadian yang disaksikan oleh orang-orang muslim tentang prilaku
Rasul)
Pemeliharaan Hadits Pada Masa Rasulullah :
Melalui aktivitas menghafal. Alasanya : (1) Kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab, (2) mereka terkenal kuat hafalanya,
(3) Rasul sering memberikan dorongan moral melalui do’a-do’anya
agar mereka diberi kekuatan menghafal dan mendapat kedudukan
mulia, (4) Rasul sering menjajnjikan kebaikan akhirat kepada mereka
yang menghafal hadits dan menyampaikanya.
Melalui aktivitas menulis Hadits.
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Kodifikasi Hadits : Sejarah dan
Perkembanganya; Pembukuan Hadits Abad II, III, dan IV H dan Pembukuan
Hadits Abad V sampai sekarang
2. Uraian singkat Materi
2.1. Kodifikasi Hadits
Kodifikasi (tadwin) bermakna mengumpulkan undang-undang dan
menyusunya
Kodifikasi hadits adalah usaha mengumpulkan hadits dalam sebuah buku atas
prakarsa dari pemerintah (negara) serta digunakan oleh dan untuk kepentingan
umat Islam, bukan untuk kepentingan pribadi.
Penulisan (kitabah) hadits yang sudah ada sejak zaman nabi tidak termasuk
dalam pengertian tadwin (kodifikasi) hadits, karena penulisan pada masa nabi
hanya dilakukan oleh beberapa personil secara tidak beraturan.
Pertemuan 6
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ulumul Hadits dan Sejarah
Perkembanganya
Pertemuan 7
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Pembagian Hadits ditinjau dari segi Kuantitas
Sanad
Pertemuan 8
Pertemuan 9
1. Tujuan Pembelajaran
Hadits Dha’if, yaitu hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan syarat-syarat hadits hasan
Perawinya bersifat adil, yaitu suatu watak dan sifat yang kuat mampu
menggerakan orangnya kepada perbuatan taqwa.
Perawinya bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalanya apa yang didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalanya itu kepada siapa yang dikehendakinya
Terhindar dari kerancuan (syudzudz), yaitu suatu kondisi dimana seorang rawi
berbeda engan rawi yang lebih kuat
Terhindar dari ‘Illat (cacat), yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan
kualitas hadits
Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi
shahih karena ada perawi lain yang menguatkannya
Hasan Li Ghairihi, yaitu hadits yang didalam isnadnya terdapat orang yang tidak
diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan kelayakanya atau tidak layaknya, tapi ia
bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat
dusta sedang matanya didukung oleh muttabi’ atau syahid.
Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam
Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya
Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub,
Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al Qasim dan Abu Umamah.
Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya, Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi
Haiwih.
Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin
Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu Abbas
Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum
maupun untuk menetapkan keutamaan amal. Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in,
Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.
Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang
berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun yang dilarang. Pendapat ini diikuti
oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami
Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb.
Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.
Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah
kedha’ifanya.
Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga
tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama
sekali tidak mempunyai dalil pokok.
Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas
kepastian keberadaanya, untuk menghindari penyandaran kepada nabi sesuatu
yang tidak beliau katakan.
Pertemuan 10
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Dha’if dan Macam-macamnya
Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam
Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya
Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub,
Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al Qasim dan Abu Umamah.
Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya, Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi
Haiwih.
Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin
Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu Abbas
Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum
maupun untuk menetapkan keutamaan amal. Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in,
Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.
Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang
berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun yang dilarang. Pendapat ini diikuti
oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami
Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi
hadits Dha’if tersebut
Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb.
Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.
Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah
kedha’ifanya.
Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga
tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama
sekali tidak mempunyai dalil pokok.
Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas
kepastian keberadaanya, untuk menghindari penyandaran kepada nabi sesuatu
yang tidak beliau katakan.
Pertemuan 11
1. Tujuan Pembelajaan
Mahasiswa mampu memahami konsep Rawi dan Proses Transformasi Hadits
(Tahammul Ada)
2. Raiaan Materi Pelajaran
a. Perawi Hadits
Kata Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau emberikan Hadits. Sedangkan
menurut istilah Rawi adalah orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadits dengan sanadnya, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Adapun syarat-syarat Rawi adalah sebagai berikut: Muslim, Berakal, Dhabit, dan
Adil
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadits, yaitu :
-At Tahammul (kegiatan menerima Hadits dari periwayat Hadits
-Al ‘Ada (kegiatan menyampaikan Hadits kepada orang lain)
-Al Isnad (penyebutan susunan rangkaian periwayatanya ketika menyampaikan
Hadits)
b. Cara penyampaian (Tahammul) atau Proses Transformasi Hadits
Metode transmisi Hadits atau dikenal dengan istilah Jalan menerima Hadits
(Thuruq al Tahammul) dan penyampaianya yaitu cara-cara menerima Hadits,
mengambilnya dari Syekh atau gurunya.
Al Sima’, yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara
didiktekan maupun bukan, baik dari hafalanya maupun tulisanya. Lafadznya:
akhbarani, akhbarana, hadtsana, hadatsani, sami’tu dan sami’na.
Al Qira’ah atau ‘Aradl, yaitu pembaca menyuguhkan haditsnya ke hadapan
sang guru, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang
membacanya sedang ia mendengarkanya. Lafadznya : qara’tu ‘alaih, quri’a
‘ala fulan wa ana asma’, hadatsan au akhbarana qira’ah alaih.
Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadits daripadanya atau kitab-kitabnya. Ijazah ada tiga jenis: (1)
Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan seseuatu yang
tertentu kepada orang yang tertentu), (2) Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li
mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
tertentu), dan (3) Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (izin untuk
meriwayatkan ssuatu yang tidak tertentu kepada yang tidak tertentu).
Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kep. muridnya
atau salinan yg sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah ada dua
tipe: (1)dg dibarengi ijazah, dan (2)tanpa dibarengi ijazah. Adapun lafadz yg
digunakanya utk yg dibarengi jazah anba’ani, anbana, dan yg tidak dibarengi
ijazah: nawalani dan nawalana.
Mukatabah, yaitu seorang guru yg menulis sendiri atau menyuruh orang lain
menulis beberapa hadits kepada orang lain atau yg ada dihadapanya.
Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yg tk diriwayatkannya,
baik dg lafadz sima, qira’ah maupun lainya dr para pemilik hadits dan pemilik
tulisan.
Washiyah, yaitu pesan seseorang di kala akan mati atau bepergian, dg sebuah
kitab spy diriwayatkan.
I’lam, yaitu pemberitahuan guru kep. muridnya bhw hadits yg diriwayatkanya
adalah riwayatnya sendiri yg
Pertemuan 12
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil
Mahasiswa mampu menerapkan teori Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil
2.7.Lafadz-lafadz Ta’dil
(a) Kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa
seorang perawi itu tidak ada cacatnya atau ia dipercaya adalah
autsaqun nas (orang paling dapt dipercaya) atau ilaihi muntaha,
adlbatun nas dan la a’rifu lahu nadhiran fi al dunya (aku tidak
mengetahui tandinganya di dunia)
(b) Tingkat kedua spt. Kata fulan la’ yus’alu ‘anhu (si fulan tidak
dipertanyakan lagi)
(c) Tingkat ketiga spt. Kata tsiqah-tsiqah dan tsabat-tsabat dan juga kata-
kata tsiqah ma’mun, tsabat, hujjah, dan shahib hadits.
(d) Tingkat keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dhabit
dan hafidz.
(e) Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi. Kata ini
menunjukan perawi kurang hafalanya.
(f) Keenam adalah kata-kata laisa bi ba’idin min al shawab, jarwa
haditsuhu, muqarabatul hadits, shadiqun insya Allah atau arju an la’
ba’tsa bihi
Pertemuan 13
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Maudhu
Mahasiswa mampu membedakan hadits Maudhu dan yang lainya
Mahasiswa mampu memberikan contoh hadits Maudhu
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Definisi Hadits Maudhu’ (Palsu)
Kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a yang berarti mengada-
ada dan mendustakan.
Hadits Maudhu’ (terminologi) adalah hadits yang dibuat-buat oleh para
pendusta dan mereka menyandarkanya kepada Rasulullah saw.
Penggunaan terminologi hadits maudhu’ atau hadits palsu, tidaklah harus
difahami secara harfiah dan parsial dari masing-masing kata yang ada.
Justru penggabungan dua kata tersebut menjadi satu kesatuan yang telah
memberikan nuansa baru, sebagai yang berasal bukan dari Nabi, dan untuk
memudahkan bahasa pengungkapan riwayat palsu serta menjelaskan
kepalsuanya.
Pertemuan 14
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Takhrij Hadits
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Pengertian Takhrij, Ikhraj dan Istikhraj
Kata takhrij bentuk mashdar dari kata kharaja berarti keluar. Selain itu,
takhrij juga berarti ijtima’u amraini mutadladlaini fi syai’in wahidin artinya
bertemunya dua hal yang bertentangan pada suatu waktu. Ada juga yang
berpendapat, takhrij juga berarti : (1) al Istinbath yang berarti
mengeluarkan, (2) al Tadrib artinya hal melatiah atau pembiasaan, dan (3)
al Taujih yang berarti memperhadapkan.
Takhrij (terminologi) adalah petunjuk jalan ke tempat letak hadits pada
sumber-sumber yang orisinil takhrij-nya berikut sanad-nya, kemudian
dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan.
Ikhraj, berarti mengemukakan hadits kepada orang lain, dengan
menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yalah menyampaikan hadits
itu, dengan metode periwayatanya yang ditempuh.
2.2.Tiga pengertian Takhrij Menurut Ulama
Takhrij berarti sama dengan ikhraj, yaitu mengemukakan hadits kepada
orang lain dengan menyebutkan tempat pengambilanya. Misalnya hadits itu
ditakhrij oleh Bukhari, artinya Bukhari meriwayatkan suatu hadits serta
menyebutkan tempat keluarnya.
Takhrij berarti mengeluarkan hadits dan meriwayatkanya dari isi kitab-
kitab. Artinya ahli hadits mengeluarkan hadits dari gurunya atau kitab-kitab
dan lain sebagainya, lalu dikatakan dari periwayatan dirinya, atau dari
sebagaian gurunya, dari teman-temanya atau dari yang lain.
Takhrij berarti al dalalah, artinya menunjukan sumber asli suatu hadits
serta menyebutkan orang yang meriwayatkanya.
Sedangkan istikhraj, berarti mengeluarkan hadits dari kitab tertentu
dengan sanad-nya sendiri, dan dalam sanad-nya itu bertemu dengan guru-
guru diatasnya
Istikhraj, disyaratkan bertemu kedua sanad-nya pada guru atau di atasnya
sampai periwayatan pertama. Sedangkan takhrij dan ikhraj tidak
mensyaratkan demikian. Dengan demikian dapat difahami bahwa takhrij itu
adalah :
1. Usaha untuk menemukan suatu hadits dari sumber aslinya, dengan
mengeluarkan sanad dan matan-nya.
2. Usaha untuk mencarikan penilaian kualitas suatu hadits ketika diperlukan,
apakah suatu hadits shahih atau dha’if, atau bukan hadits Rasul, dan lain-
lainnya.
Tolok ukur penelitian matan menurut Shalah al Din al Adhabi: (1) Tidak
bertentangan dg petunjuk al Qur’an; (2) Tidak bertentangan dg hadits yg
kualitasnya lebih kuat; (3) Tidak bertentangan dg akal sehat, indera, dan sejarah;
(4) Susunan pernyataanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Pertemuan 15
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Inkarussunah
Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata
“Ingkar” berasal dari akar kata arab َِر َِ كر ِا ْنك
ُ ا َ ْنك ََر ِيُ ْنyang mempunyai
beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan
dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang
tidak tergambarkan dalam hati. Sedangkan pengertian Inkaru Sunnah
menurut Istilah adalah :
1) Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadist dan
sunah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-qur’an.
2) Pahan yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak
dasar hukum Islam dari sunah shahih baik sunah praktis atau yang secara
formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir ataupun
ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi berbagai macam Ingkar
sunah yang terjadi disebagai masyarakat belakang ini terutama, sedang
definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak
mungkin seorang muslim mengingkari sunah sebagai dasar hukum sunah.
Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga
kelompok pengingkar sunah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu
sebagai berikut:
1) Menolak sunah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-
qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
2) Tidak menerima sunah kecuali, yang semakna dengan Al-qur’an.
3) Hanya menerima sunah mutawatir saja dan menolak
selain mutawatir yakni sunah ahad.
b) Inkarusunnah Moderen
Sebagaimana pembahasan bahwa ingkar sunah klasik lahir di Irak (kurang lebih abad 2
H/ 7 M), kemudian menetes kembali pada abad modern di India (kurang lebih 19 M/ 13
H), setelah hilang dari peredaran kurang lebih 11 abad. Baru muncul ingkar sunah di
Mesir pada abad 20 M.
Al-Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasay seorang guru besar
fakultas tarbiyah Jamiah Ummmi Al-Qura Thaif demikian juga dikutip beberapa ahli
hadits juga mengatakan bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India. Setelah kelahirannya
pertama di Irak masa klasik. Maka timbullah kelompok-kelompok sempalan Al-
Quraniyyun seperti Ahl- Ad- Dzikir wa Al-Qur’an didirikan oleh Abdullah umat
muslimah didirikan oleh Ahmad Ad-Din, Thulu Al-Islam yang didirikan oleh Parwez dan
gerakan Ta’mir Insaniyat yang didirikan oleh Abdul Khalik Mawadar.
Pada awal timbulnya ingkar sunah modern ini adalah akibat pengaruh kolonialisme
yang semakin dahsyat sejak awal 19 M di dunia Islam. Terutama di India setelah
terjadinya pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M berbagai usaha dilakukan
kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, penyimpangan aqidah melalui
pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori baarat untuk
memberikan interpretasi hakekat Islam.
Tokoh-tokoh kelompok ingkar sunah modern akhir abad ke 19 dan 20 yang
terkenal adalah Taufik Siddqi (wafat 1920 dari Mesir Ghulam Ahmad Parvez dari India,
Rasyad khalifah kelahiran mesir yang menetap di Amerika serikat dan Kasasim Ahmad
mantan ketua partai sosialis rakyat Malaysia. Argumen yang mereka keluarkan pada
dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah klasik, untuk lebih jelasnya
daapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taufik Sidqi dari Mesir
Beliau berpendapat bahwa tidak ada satupun hadits nabi SAW yang dicatat pada
zamannya.
Pencatatan hadits nabi SAW dilakukan setelah nabi SAW wafat. Dalam masa tidak
tertulisnya hadits nabi tersebut manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak
hadits seperti yang terjadi.
2. Ghulam Ahmad Parvez dari India
Ia adalah pengikut setia Taufik Sidqi, pendapatnya yang terkenal adalah mengenai tata
cara sholat yang terserah pada pemimpin umat untuk menentukan secara musyawarah
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Rasyad Khalifah dari Amerika Serikat
Ia mengakui bahwa al-quran adalah satu-satunya sumber ajaran islam, namun ia menolak
al-hadits bahkan menilainya sebagai buatan iblis yang di bisikan kepada Nabi Muhammad
SAW.
4. Kasim Ahmad dari Malaysia
Menurut pendapatnya asal mula hadits Nabi SAW yang di himpun dalam kitab-kitab
hadist adalah dongeng-dongeng semata, karena hadits nabi tersebut ditulis seteleah nabi
SAW wafat
5. Ingkar Sunnah di Indonesia
Tokoh-Tokoh Ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain:
Lukman Sa’ad, Dadang Setio Groho, Safran Batu Bara dan Dalimi Lubis.
Pertemuan 16
REFERENSI
1. Wajib
a. Muhammad Ajaj Al Khatib, Al Sunnah Qabla wa Al Tadwin, Beirut : Dar al Fikr,
1971
b. ----------------------------------, Ushul Al Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut
: Dar
c. Subhi Shalih, Ulum Al Hadits wa Musthalahuhu, Beirut : Dar al Ilmu li al Malayin,
1977
d. Mahmud At Tahhan, Ushulut Takhrij Wa Dirasatu Asanid, Terj. Metode Takhrij
dan Penelitian Sanad Hadits, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1995
e. Suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,
Jakarta : Gema Insan Press, 1995
f. ------------------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992
2. Pendukung
a. M. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : PT. Ma’arif, 1990
b. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,
1981
c. ------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,
1993
d. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama 1996
e. Said Agil Husain Al Munawar, Al Qur’an Membangun Keshalehan Hakiki, Jakarta
: Ciputat Prss, 2002