Anda di halaman 1dari 30

HANDOUT PENGANTAR STUDI HADITS

A. IDENTITAS MATA KULIAH


1. Nama Matakuliah : Pengantar Studi Hadits
2. Kode Matakuliah : Sta.105
3. Semster/SKS : 1 (Satu)/ 2 SKS
4. Jurusan/Fakultas : PAI/
5. Jenis Matakuliah : Wajib
6. Prasyarat :-
7. Dosen : H. Mahbub Nuryadien, M.Ag.

B. BAGIAN ISI
Pertemuan 1
1. Tujuan Pembelajaran.
2. Uraian Singkat Materi

Bagian pendahuluan ini berisi tentang :


A. Kontrak Belajar :
1. Sistem pekuliahan,
2. Pendekatan yang digunakan,
3. Kewajiban dan larangan dalam perkuliahan serta
4. Sistem penilaian
a. Kehadiran/Proses : 20%
b. Tugas mandiri (Turi) : 15%
c. Tugas Terstruktur (Tutur) : 15%
d. Ujian Tengah Semester (UTS) : 20%
e. Ujian Akhir Semester (UAS) : 30%
B. Pemaparan Silabus Perkuliahan selama satu semester
Pertemuan 2
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu membedakan terminology sunnah, hadits, khabar dan atsar,
serta struktur hadits (sanad, matan, dan rawi)
2. Uraian Saingkat Materi
2.1. Pengertian Sunnah,Hadits, Khabar dan Atsar
Sunnah munurut bahasa berarti jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan
tersebut ada yang baik dan ada yg buruk. Sunnah juga berarti undang-undang atau
peraturan yang berlaku, jalan yang telah dijalani, dan keterangan.
Sunnah menurut istilah adalah sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh nabi
Muhammad, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan oleh nabi dari pada
ditinggalkan.
Hadits menurut bahasa adalah al-jadid (baru), qarib (dekat), dan khabar (berita).
Hadits menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi
Muhammad saw. baik dalm bentuk ucapan, perbuatan dan maupun ketetapan
(taqrir) nabi.
Khabar adalah , ucapan, perbuatan dan ketetapan para sahabat.
Atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan para tabi’in
Menurut jumhur ulama mengartikan sunnah, hadits, khabar dan atsar sama saja
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun ketetapan Nabi.
Pengertian Hadits menurut ulama ahli ushul fiqih adalah segala yang diriwayatkan
dari nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi yang
berkaitan dengan hukum
Menurut Ahli Hadits mendefinisikan Hadits sebagai segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at budi pekerti,
atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul seperti bersemidi
di gua hiro.
2.2. Pembagian Sunnah
a. Sunnah Qauliyah, yaitu yang sering dinamakan dengan khabar atau berita berupa
perkataan nabi saw. yang di dengar dan disampaikan oleh seseorang atau beberapa
sahabat kepada orang lain. Sunnah qauliyah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
(1) diyakini benarnya; (2) diyakini dustanya; dan (3) yang tidak diyakini benarnya
dan dustanya.
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh nabi saw. yang
diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan
dihadapan atau sepengetahuan nabi saw. tetapi nabi hanya diam dan tidak
mencegah
2.3.Struktur Hadits/Sunnah
Sanad:
Sanad atau Thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul Hadits
kepada jungjungan nabi Muhammad saw. Urutan para perawi hadits yang
kemudian berlanjut kepada matan. (jalan menuju kepada matan, yaitu para perawi
yang menyampaikan matan)

Matan :
Perkataan terakhir dari sanad atau pembicaraan atau materi berita yang diover
oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah, sahabat atau
tabi’in.

Rawi:

Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) hadits

Pertemuan 3

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui hadits sebagai sumber ajaran Islam, dalil-dalil
kehujahan, dan fungsi hadits terhadap Al Qur’an serta perbedaan Al Qur’an
dan Hadits sebagai sumber hukum Islam.
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1. Kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunnah rasul sebagai sumber
hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur’an didalam menetapkan sesuatu
keputusan hukum. Kehujahan sunnah berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan
sunnah rasulullah:
a. Dalil Al Qur’an (QS. Al Hasr ayat 7 dan Ali Imran ayat 31
b. Dalil Hadits

َّ ‫َصلُّ ْواأَبَدًا َما ِإنَّت َ َم‬


ِ ‫س ْكت ُ ْم ِكت َابَا‬
ِ‫لل‬ ِ ‫ت ََر ْكت ُ ِف ْي ُك ْمأ َ ْم َر ْينِلَ ْنت‬
"Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya yaitu berupa kitab Allah dan sunnah rasulnya".
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:

‫الرا ِش ِد ْينَال َم ْهدِي ْي َنتَ َم َّس ْكت ُ ْمبِ َها‬ ِ َ‫سنَةُال ُخلَف‬
َّ ‫اء‬ ُ ِ‫َعلَ ْي ُك ْمب‬
ُ ‫سنَّ ِة َو‬

“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar
Rasyidin yang mendapat petunjuk berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
Hadits-hadits di atas menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits
menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana
wajibnya berpegang teguh kepada al-Quran.

2.2. Fungsi Sunnah/Hadits Hubungannya dengan Al Qur’an


2.2.1. Sebagai Bayan Tafsir, Sunnah berfungsi untuk menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti pelaksanaan shalat 5 waktu.
2.2.2. Sebagai Bayan Taqrir, Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan al-Qur’an.
2.2.3. Sebagai Bayan Taudhih, Sunnah berfungsi untuk menerangkan maksud dan
tujuan sesuatu ayat al-Qur’an.
2.2.4. Sebagai Musyar’i, Sunnah berfungsi sebagai pembuat syari’at (hukum) yang
tidak ada dalam al-Qur’an, spt diwajibakan zakat fitrah, disunnahkan aqiqah
dsb.
2.3. Perbedaan Sunnah/Hadits dengan Al Qur’an
2.3.1. Al-Qur’an nilai kebenaranya bersifat qath’i (absolut), sedangkan
sunnah/hadits bersifat dzani, kecuali hadits mutawatir
2.3.2. Seluruh ayat al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak
semua hadits mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada
sunnah yang tasyri’ ada juga yang ghair tasyri’, ada hadits shahih dan ada
hadits dha’if.
2.3.3. Al-Qur’an sudah pasti otentik lafadz dan maknanya, sedangkan hadits tidak
demikian adanya.
2.3.4. Apa bila al-Qur’an berbicara masalah aqidah atau hal-hal yang gaib maka
setiap muslim wajib mengimaninya, tetap tidak demikian dengan hadits

Pertemuan 4

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui sejarah Hadits Pra Kodifikasi: Hadits Pada Periode
Rasul; dan Hadits pada Periode Sahabat dan Tabi’in
2. Uraian singkat Materi Pembelajaran
2.1. Hadits Pada Periode Rasul
Aktivitas penulisan hadits pada masa ini sudah berjalan, namun intensitasnya
lebih kecil daripada penulisan Al Qur’an. Diantara sahabat yang menulis hadits
: Abdullah bin Amr ibn Ash, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al Anshori,
Anas bin Malik, Abu Hurairah ad Dausi dsb.
Ada larangan penulisan hadits pada masa ini, tapi larangan itu khusus untuk
penulisan hadits yang disatukan dengan Al Qur’an.
Menurut M.M. Azmi : (1) Nabi sendiri pernah mengimlakan haditsnya (2) Izin
nabi agar hadits-haditsnya ditulis.
Cara Sahabat menerima Hadits dari Rasulullah :
 Al Majlis lirasul (majelis-majelis Rasul)
 Hawadits taqa’u li rasul (Peristiwa kejadian pada diri Rasulullah
sendiri)
 Hawadits kanat taqa’u lil muslimin (Peristiwa yang terjadi pada orang-
orang Islam)
 Waqa’i’u wa hawadits syahidu fiha tasharufaati al rasul (Peristiwa
kejadian yang disaksikan oleh orang-orang muslim tentang prilaku
Rasul)
Pemeliharaan Hadits Pada Masa Rasulullah :
 Melalui aktivitas menghafal. Alasanya : (1) Kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab, (2) mereka terkenal kuat hafalanya,
(3) Rasul sering memberikan dorongan moral melalui do’a-do’anya
agar mereka diberi kekuatan menghafal dan mendapat kedudukan
mulia, (4) Rasul sering menjajnjikan kebaikan akhirat kepada mereka
yang menghafal hadits dan menyampaikanya.
 Melalui aktivitas menulis Hadits.

2.2. Hadits Pada Periode Sahabat dan Tabi’in


Sahabat berasal dari kata shahib = empunya dan yang menyertai (Lughah)
Sahabat adalah yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah minimal satu
tahun lamanya (Ahli Ushul)
Sahabat adalah yang bertemu Rasulullah dengan ;pertemuan yang wajar
sewaktu Rasulullah masih hidup, dalam keadaan Islam dan iman.(Al
Muhaditsun)
Tabi’in berarti pengikut. Adapun Tabi’in (istilah) adalah orang-orang
yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam
keadaan islam, baik perjumpaannya lama maupun sebentar. (Ahli Hadits)

Metode sahabat dalam mencari Hadits :


 Thariqul Musyafahah (berdialog)
 Thariqul Musyahadah (menyaksikan)
 Thariqu al Sima’ (mendengar)

Cara Shahabat Menyampaikan Hadits :


1. Forum Musyafahah (dialog secara lisan)
2. Melalui tulisan (spt surat menyurat)
Pertemuan 5

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Kodifikasi Hadits : Sejarah dan
Perkembanganya; Pembukuan Hadits Abad II, III, dan IV H dan Pembukuan
Hadits Abad V sampai sekarang
2. Uraian singkat Materi
2.1. Kodifikasi Hadits
Kodifikasi (tadwin) bermakna mengumpulkan undang-undang dan
menyusunya
Kodifikasi hadits adalah usaha mengumpulkan hadits dalam sebuah buku atas
prakarsa dari pemerintah (negara) serta digunakan oleh dan untuk kepentingan
umat Islam, bukan untuk kepentingan pribadi.
Penulisan (kitabah) hadits yang sudah ada sejak zaman nabi tidak termasuk
dalam pengertian tadwin (kodifikasi) hadits, karena penulisan pada masa nabi
hanya dilakukan oleh beberapa personil secara tidak beraturan.

2.2. Sejarah dan perkembangannya


Kegiatan kodifikasi hadits tidak terlepas dari peran yang diberikan oleh
Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, sebagai khalifah Bani Umayyah pada tahun
99 H. Dialah yang paling berjasa menyelamatkan hadits dari kepunahan, ia
seorang pencatat hadits dan terkenal keshalehanya sehingga sering dipandang
sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.
Pada masa Kalifah Umar bin Abdul ‘Aziz inilah penghimpunan hadits secara
massal atas perintah beliau. Beliau banyak memberikan perhatian terhadap
hadits, yaitu terbukti dengan dikelurkanya instruksi kepada para ulama dan
umara untuk meneliti dan membukukan hadits nabi. Beliau juga ikut serta
mendiskusikan hadits-hadits yang telah dikumpulkan.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz dapat dikatakan sebagai periode
pengkodifikasian hadits secara resmi oleh negara
Orang yang pertama melaksanakan instruksi pentadwinan hadits Umar bin
Abdul ‘Aziz adalah Imam Al Zuhri. Menurut sejarawan dan muhaditsin
bahwa orang pertama yang melakukan kodifikasi hadits secara resmi adalah
Imam Al Juhri.
Faktor yang mendorong Imam Al Zuhri untuk menulis hadits adalah :
1. Banyaknya Hadits yang diterimanya
2. Apabila kodifikasi tidak dilakukan maka umat Islam pada masa mendatang
akan banyak kesulitan untuk mengenal dan mempelajari hadits.

2.3. Pembukuan Hadits pada abad II, III, IV sampai sekarang


2.3.1. Pembukuan dan Penulisan Hadits Abad II
Pada abad ke 2, ulama dalam mengumpulkan Hadits tidak dengan
menyaringnya secara ketat. Mereka tidak hanya membukukan hadits saja
tetapi fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabi’in semua itu dilakukan
secara bersama-sama. Maka dalam kitab-kitab hadits tersebut terdapat
hadits-hadits marfu’ dan hadits maqtu’.
Peristiwa yang menonjol pada periode ini adalah: (a) Melemahnya daya
hafal di kalangan umat Islam; (b) Panjang dan bercabangnya sanad-sanad
Hadits, lantaran bentangan jarak dan waktu serta semakin banyaknya rawi;
dan (c) Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari
jalan kebenaran. Dengan adanya ketiga peristiwa tersebut, para Imam umat
Islam bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan beberapa
langkah, diantaranya : (1) Pembukuan Hadits secara resmi; (2) Sikap para
ulama yang lebih kritis terhadap para perawi Hadits dalam upaya Jarh wa al
Ta’dil; (3) Sikap Tawaquf (tidak menolak dan tidak menerima) bila
mendapat Hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli
Hadits; dan (4) Sikap menelusuri sejumlah Hadits untuk mengungkap
kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.
2.3.2. Masa pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadits Abad III H
Abad III H merupakan masa pembukuan Hadits dan merupakan
zaman keemasan sunnah, sebab pada masa ini sunnah danilmu-
ilmunya dibukukan dengan sempurna. Para ahli Hadits berusaha
menyisihkan Hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka
menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Pada
pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab Hadits yang hanya
memuat Hadits Shahih, dan pada perkembanganya dikenal dengan
Kutub al Sittah, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Daud, Sunan at Tirmidi, Sunan an Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.
2.3.3. Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan dalam Penulisan
Hadits Abad IV s/d Abad 7 H
Abad ini merupakan abad pemisah antara ulama mutaqaddimin,
yang dalam menyusun kitab Hadits mereka berusaha menemui para
sahabat atau tabi’in penghafal Hadits dan kemudian menelitinya
sendiri, dengan Ulama Muta’akhirin, yang dalam usahanya
menyusun kitab-kitab Hadits, mereka hanya menukil dari kitab-
kitab yang telah disusun oleh ulama Mutaqadimin.
Usaha ulama Hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan
untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits
yang sejenis kandunganya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu
kitab Hadits, mensyarahkan dan mengikhtisarkan kitab-kitab
Hadits.
2.3.4. Pensyarahan, Penghimpunan dan Pembahasan Hadits Abad VII
sampai sekarang
Periwayatan Hadits pada masa ini lebih banyak dilakukan dengan
cara Ijazah dan Mukatabah. Sedikit sekali dari ulama Hadits
melakukan periwayatan Hadits secara hafalan. Pada masa ini para
ulama Hadits umumnya mempelajari kitab-kitab Hadits yang sudah
ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya
sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah,
Mukhtasyar, Zawaid, Takhrij dan lain-lain.

Pertemuan 6

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ulumul Hadits dan Sejarah
Perkembanganya

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Ilmu Hadits
Para ulama berbeda pendapat tentang penyebutan istilah yang mengkaji
Hadits. Ada yang menyebut Ilmu Hadits, Ilmu Diroyah Hadits, Ulum al
Hadits, Musthalahu al Hadits dan Ushul al Hadits. Ulama mutaqaddimin
lebih suka menyebuit Ilmu Hadits. Sedangkan ulama Muta’akhirin
menyebutnyta dengan istilah Ilmu Diroyah Hadits.
Ilmu Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang metode penyampaian
Hadits Nabi saw dari aspek pengetahuan mengenai keadaan perawi,
kedudukan dan keadilanya serta keadaan sanad dari segi kemuttashilan dan
kemunqathi’an-nya dan sebagainya.
Ilmu Diroyah Hadits adalah Ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan perawi,
syarat-syarat perawi, macam-macam yang diriwayatkan dan segalah hal
yang berkaitan dengan hal tersebut.
2.2.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Pembicaraan mengenai Ilmu Hadits sebenarnya sudah dimulai sejak masa
sahabat. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya salah cabang ilmu Hadits,
yakni Jarh wa At Ta’dil. Pada periode ini pembicaraan tentang perawi, baik
dari segi positif (Ta’dil) maupun negatif (jarh).
Pada masa Tabi’in kajian Imu Hadits ini berkembang dengan munculnya
berbagai kitab Hadits seperti Thabaqat Ibnu Sa’ad bin Mani’, Gharib al
Hadits karya Abu Ubaid al Qasim bin Salam dsb. Namun kitab-kitab
tersebut pembahasanya belum mengarah kepada kajian Ilmu Hadits secara
khusus sebagai sebuah kitab yang berdiri sendiri. Munculnya kitab Al
Muhaddits al Fashil baina Rawi wa Al Wa’i karya Al Qadhi Abu
Muhammad al Ramahkhurmuzy (360 H0, menjadi tonggak sejarah bagi
lahirnya Ilmu Hadits. Kitab ini membahas pokok kajian Ilmu Hadits secara
khusus dan menyeluruh serta menempatkannya sebagai sebuah Ilmu yang
berdiri sendiri. Jejak al Ramahkhurmuzy kemudian diikuti oleh ulama-
ulama yang lain.
2.3.Pembagian Ilmu Hadits
Menurut para Muhadditsun Ilmu Hadits dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Ilmu
Hadits Riwayah dan (2) Ilmu Hadits Diroyah.
Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukilkan segala apa yang
disandarkan kepada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, taqrir, sifat
khalqiyah maupun khulqiyah.
Jumhur Ulama memberikan definisi Ilm Hadits riwayah sebagai suatu ilmu
untuk mengetahui sabda-sabda Nabi, perbuatan taqrir maupun sifat-
sifatnya..
Obyek Kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah :
b. Cara periwayatan Hadits yang meliputi bagaimana cara penerimaan Hadits
dan penyampaianya kepada orang lain.
c. Penulisan atau pembukuan Hadits’
Ilmu Hadits Diroyah ialah Ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-
syarat, macam-macam dan hukumnya, keadaan perawi dan pwersyaratnya,
kelompok yang diriwayatkanya dan segala apa yang berkaiatan dengan hal
tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa Ilmu hadits diroyah adalah
kaidah-kaidah yang menjelaskan mengenai keadaan Rawi dan Marwi.
2.4.Cabang-cabang Ilmu Hadits
Adapun cabang-cabang Ilmu Hadits pada pokok masalah yang dibahasnya
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2.4.1.Cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya berpangkal pada
sanad dan rawi.
(1) Ilmu Rijal al Hadits membahas secara umum tentang keadaan
perawi an kehidupanya. Hadits
(2) Ilmu Thabaqat ar Ruwah, ilmu yang membahas tentang keadaan
rawi berdasarkan pengelompokan.
(3) Ilmu Tarikh Rijal Al Hadits, membahas tentang rawi yang
menjadi sanad suatu hadits mengenai tanggal lahirnya, silsilah
keturunanya, guru-gurunya, jumlah hadits yang diriwayatkanya
serta murid-muridnya.
(4) Ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu yang membahas tentang hal ihwal para
perawi dalam mengkritik keaiban dan memuji keadilanya.
2.4.2.Cabang-cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya
berpangkal pada matan :
(1) Ilmu Gharib al Hadits
(2) Ilmu Asbab al Wurud al Hadits
(3) Ilmu Tawarikh al Matan
(4) Ilmu Nasikh wa Al Mansukh
(5) Ilmu Thariq Al Hadits
(6) Ilmu Tashif wa Tahrif
2.4.3. Cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya berpangkal
pada sanad dan matan.
(1) Ilmu Ilahi al Hadits, menjelaskan sebab-sebab yang samar
yang dapat mencacatkan suatu Hadits.
(2) Ilmu Fann al Mubhamat, menerangkan tentang nama-nama
orang yang tidak disebutkan namanya di dalam sanad dan
matan.

2.5.Tokoh-tokoh dan kitab-kitabnya


a. Al Qadi Abu Muhammad ar Ramahurmuzy menyusun kitab al
Muhadditsu al Fashil baina Rawi wa al Wa’i.
b. Al Hakim Abu Abdillah an Naisabury kitabnya Ma’rifat Ulum al
Hadits.
c. Al Khatib Abu Bakar Ahmad bin Ali al Bagdadi kitabnya: Al Kifayah fi
Al Qawanin ar Riwayah.
d. Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany kitabnya: Al Ishabah wa Al Idhah
e. Ibnu Katsir kitabnya: At Tamil
f. As Suyuthi kitabnya: Tadribu ar Rawi
g. Ibnu Hajar kitabnya: Tahdibu at Tahdib.
h. Ibnu Abi Hatim kitabnya: Illahi al Hadits
i. Ibnul Jauzy kitabnya: Adh Dhu’afa
j. Abu Ahmad al Asykary kitabnya: At Tashhif wa At Tahrif
k. Muhammad Ibnu Musa al Hazimy kitabnya: Al I’tibar
l. Majduddin Ibnu Atsir kitabnya: An Nihayah fi Gharib al Hadits

Pertemuan 7

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Pembagian Hadits ditinjau dari segi Kuantitas
Sanad

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


Hadits Mutawatir, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus
menerus tanpa terputus hingga tercatat dalam sebuah kitab
Hadits Masyhur, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus
menerus tanpa terputus hingga tercatat dalam sebuah kitab, tapi tidak samapi
derajat mutawatir
Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oelh dua orang dan seterusnya
demikian, hingga tercatat dalam sebuah kitab
Hadits Gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan seorang kepada seorang dan
setrusnya
Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau lebih, tetapi
tidak mencapai mutawatir
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
 Diriwayatkan oleh perawi yang banyak. Kata banyak ulama berselisih pendapat
ada 4 sesuai jumlah khulafaurasyidin, atau 5 sesuai saksi li’an, atau 10 sebab ia
adalah awal jam’al katsrah. Bahkan ada yang mengatakan 313 atau 1400 perawi.
 Kwantitas jumlah perawi sebagaimana tersebut diatas, ada pada setiap thabaqatnya.
 Adanya suatu keyakinan bahwa para perawi tersebut mustahil untuk berbohong.
 Sandaran berita tersebut bersifat indrawi. Artinya berita yang mereka sampaikan
haruslah benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan langsung
Macam-macam Hadits Mutawatir
 Mutawatir Lafdzi: Ma tawatara lafdzuhu wa ma’nahu
 Mutawatir Ma’nawi : Ma ittafaqa naqalathu ‘ala manahu min gairi
muthabaqatin fi al lafdzi.
Kehujahan hadits mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah al ‘ilmu al dlaruri, yakni sutu keyakinan
dan pengetahuan yang pasti yang mengharuskan umat islam menerima dan
mengamalkanya. Sebab sesuatu yang ditetapkan dengan jalan tawatur sama
kedudukanya dengan sesuatu yang ditetapkan dg jalan penglihtan. Oleh karena
itu semua hadits mutawatir dapat diterima sebagai sumber tasyri’ dan dalil
hukum tanpa penelitian terhadap sanad-sanadnya.
Macam-macam Hadits Ahad
 Hadits Masyhur, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus
menerus tanpa terputus hingga tercatat dalam sebuah kitab, tapi tidak samapi
derajat mutawatir
 Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oelh dua orang dan seterusnya
demikian, hingga tercatat dalam sebuah kitab
 Hadits Gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan seorang kepada seorang dan
setrusnya

Pertemuan 8

Ujian Tengah Semester (UTS)

Pertemuan 9

1. Tujuan Pembelajaran

Mahasiswa mampu memahami Pembagian Hadits ditinjau dari segi Kualitas


2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran

Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas

 Hadits Shahih, yaitu hadits yang bersambung sanadnya (sampai Nabi),


diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (didalam
hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘Illat)
 Hadits Hasan, yaitu hadits yang bersambung sanad-sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil, hadits yang rendah tingkat kekuatan hafalanya, tidak rancu dan
tidak cacat

 Hadits Dha’if, yaitu hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan syarat-syarat hadits hasan

Syarat-Syarat Hadits Shahih

 Sanadnya bersambung, yaitu setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar


menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutanya sampai
rawi pertama.

 Perawinya bersifat adil, yaitu suatu watak dan sifat yang kuat mampu
menggerakan orangnya kepada perbuatan taqwa.

 Perawinya bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalanya apa yang didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalanya itu kepada siapa yang dikehendakinya

 Terhindar dari kerancuan (syudzudz), yaitu suatu kondisi dimana seorang rawi
berbeda engan rawi yang lebih kuat

 Terhindar dari ‘Illat (cacat), yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan
kualitas hadits

Pembagian Hadits Shahih

 Shaihi Li Dzatihi, hadits shahih yang mencapai tingkatan keshahihan dengan


sendirinya tanpa dukungan hadit lain yang menguatkanya sertra memiliki lima
kriteria.

 Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi
shahih karena ada perawi lain yang menguatkannya

Pembagian Hadits Hasan

 Hasan Li Dzatihi, yaitu hadits yang bersambung sanad-sanadnya, diriwayatkan


oleh rawi yang adil, hadits yang rendah tingkat kekuatan hafalanya, tidak rancu
dan tidak cacat.

 Hasan Li Ghairihi, yaitu hadits yang didalam isnadnya terdapat orang yang tidak
diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan kelayakanya atau tidak layaknya, tapi ia
bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat
dusta sedang matanya didukung oleh muttabi’ atau syahid.

Macam-macam Hadits Dha’if


 Beberapa ahli hadits menghimpun macam-macam hadits dha’if berjumlah 381.
Pendapat ini dibantah oleh Subhi Shalih dengan alasan tidak aktual dan tidak
memenuhi ciri-ciri tertentu.

 Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam

 Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya

 Menurut Al Ustadz Syaikh Muhammad al Simahi hadits dha’if berjumlah 510


macam

Sebab-sebab yang menjadikan suatu Hadits Dha’if

 Ketidakmustahilan (tidak bersambung) Sanad, spt. Hadits Mursal, Munqathi’,


Mu’dhal, Mudallas, dan Hadits Mu’allal.

 Selain Ketidakmustahilan Sanad spt., Hadits Mudha’af, Mudhtharib, Maqlub,


Syadz, Munkar, dan Hadits Matruk.

Tingkatan Sanad yang Paling Lemah

 Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub,
Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al Qasim dan Abu Umamah.

 Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya, Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi
Haiwih.

 Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin
Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu Abbas

Kehujjahan Hadits Dha’if

 Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum
maupun untuk menetapkan keutamaan amal. Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in,
Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.

 Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang
berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun yang dilarang. Pendapat ini diikuti
oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami

Hadits Dha’if dapat dijadikan Hujjah dengan syarat-syarat

 Kandungan Hadits tersebut berkenaan dg kisah, nasihat, keutamaan, dan


sejenisnya, serta tidak berkaitan dg sifat-sifat Allah, tafsir ayat Al Qur’an, hukum
halal haram dan yang semacamnya.

 Kedha’ifan Hadits tersebut tidak parah


 Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi
hadits Dha’if tersebut

 Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb.
Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.

Syarat-syarat mengamalkan Hadits Dha’if Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani :

 Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah
kedha’ifanya.

 Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga
tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama
sekali tidak mempunyai dalil pokok.

 Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas
kepastian keberadaanya, untuk menghindari penyandaran kepada nabi sesuatu
yang tidak beliau katakan.

Pertemuan 10

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Dha’if dan Macam-macamnya

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran

Hadits Dha’if, yaitu hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat


hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan

Macam-macam Hadits Dha’if :

 Beberapa ahli hadits menghimpun macam-macam hadits dha’if berjumlah 381.


Pendapat ini dibantah oleh Subhi Shalih dengan alasan tidak aktual dan tidak
memenuhi ciri-ciri tertentu.

 Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam

 Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya

 Menurut Al Ustadz Syaikh Muhammad al Simahi hadits dha’if berjumlah 510


macam

Sebab-sebab yang menjadikan suatu Hadits Dha’if :

 Ketidakmustahilan (tidak bersambung) Sanad, spt. Hadits Mursal, Munqathi’,


Mu’dhal, Mudallas, dan Hadits Mu’allal.
 Selain Ketidakmustahilan Sanad spt., Hadits Mudha’af, Mudhtharib, Maqlub,
Syadz, Munkar, dan Hadits Matruk.

Tingkatan Sanad yang Paling Lemah adalah sebagai berikut :

 Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub,
Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al Qasim dan Abu Umamah.

 Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya, Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi
Haiwih.

 Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin
Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu Abbas

Kehujjahan Hadits Dha’if :

 Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum
maupun untuk menetapkan keutamaan amal. Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in,
Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.

 Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang
berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun yang dilarang. Pendapat ini diikuti
oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami

Hadits Dha’if dapat dijadikan Hujjah dengan syarat-syarat :

 Kandungan Hadits tersebut berkenaan dg kisah, nasihat, keutamaan, dan


sejenisnya, serta tidak berkaitan dg sifat-sifat Allah, tafsir ayat Al Qur’an, hukum
halal haram dan yang semacamnya.

 Kedha’ifan Hadits tersebut tidak parah

 Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi
hadits Dha’if tersebut

 Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb.
Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.

Syarat-syarat Mengamalkan Hadits Dha’if merurut pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar


adalah :

 Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah
kedha’ifanya.

 Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga
tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama
sekali tidak mempunyai dalil pokok.
 Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas
kepastian keberadaanya, untuk menghindari penyandaran kepada nabi sesuatu
yang tidak beliau katakan.

Pertemuan 11

1. Tujuan Pembelajaan
Mahasiswa mampu memahami konsep Rawi dan Proses Transformasi Hadits
(Tahammul Ada)
2. Raiaan Materi Pelajaran
a. Perawi Hadits
Kata Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau emberikan Hadits. Sedangkan
menurut istilah Rawi adalah orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadits dengan sanadnya, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Adapun syarat-syarat Rawi adalah sebagai berikut: Muslim, Berakal, Dhabit, dan
Adil
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadits, yaitu :
-At Tahammul (kegiatan menerima Hadits dari periwayat Hadits
-Al ‘Ada (kegiatan menyampaikan Hadits kepada orang lain)
-Al Isnad (penyebutan susunan rangkaian periwayatanya ketika menyampaikan
Hadits)
b. Cara penyampaian (Tahammul) atau Proses Transformasi Hadits
Metode transmisi Hadits atau dikenal dengan istilah Jalan menerima Hadits
(Thuruq al Tahammul) dan penyampaianya yaitu cara-cara menerima Hadits,
mengambilnya dari Syekh atau gurunya.
 Al Sima’, yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara
didiktekan maupun bukan, baik dari hafalanya maupun tulisanya. Lafadznya:
akhbarani, akhbarana, hadtsana, hadatsani, sami’tu dan sami’na.
 Al Qira’ah atau ‘Aradl, yaitu pembaca menyuguhkan haditsnya ke hadapan
sang guru, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang
membacanya sedang ia mendengarkanya. Lafadznya : qara’tu ‘alaih, quri’a
‘ala fulan wa ana asma’, hadatsan au akhbarana qira’ah alaih.
 Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadits daripadanya atau kitab-kitabnya. Ijazah ada tiga jenis: (1)
Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan seseuatu yang
tertentu kepada orang yang tertentu), (2) Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li
mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
tertentu), dan (3) Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (izin untuk
meriwayatkan ssuatu yang tidak tertentu kepada yang tidak tertentu).
 Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kep. muridnya
atau salinan yg sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah ada dua
tipe: (1)dg dibarengi ijazah, dan (2)tanpa dibarengi ijazah. Adapun lafadz yg
digunakanya utk yg dibarengi jazah anba’ani, anbana, dan yg tidak dibarengi
ijazah: nawalani dan nawalana.
 Mukatabah, yaitu seorang guru yg menulis sendiri atau menyuruh orang lain
menulis beberapa hadits kepada orang lain atau yg ada dihadapanya.
 Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yg tk diriwayatkannya,
baik dg lafadz sima, qira’ah maupun lainya dr para pemilik hadits dan pemilik
tulisan.
 Washiyah, yaitu pesan seseorang di kala akan mati atau bepergian, dg sebuah
kitab spy diriwayatkan.
 I’lam, yaitu pemberitahuan guru kep. muridnya bhw hadits yg diriwayatkanya
adalah riwayatnya sendiri yg

Pertemuan 12

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil
Mahasiswa mampu menerapkan teori Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Ilmu Jarh wa At Ta’dil
Jarh berasal dari kata jaraha yang berarti melukai tubuh ataupun yang
lainya dengan menggunakan benda tajam,pisau, pedang dll.. Jarh juga
berarti memakai atau menistai, baik di muka maupun di belakang.
Jarh menurut istilah adalah nampaknya suatu sifat dalam diri perawi yang
mencacatkan keadilanya atau merusak hafalan dan ingatanya, yang dapat
menyebabkan riwayatnya batal dan lemah atau ditolak.
Jarh menurut ahli hadits adalah sifat seorang perawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan hafalanya.
Ta’dil berasal dari kata t‘adala yang berarti menyamaratakan, mengimbangi
sesuatu dengan yang lain dan menegakan keadilan atau berlaku adil
Ta’dil menurut istilah adalah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang
dengan karenanya memandang adil, yang menjadi sumbu perimaan
riwayatnya.
lmu Jarh wa Ta’dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-
catatan yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilanya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
tentang martabat kata-kata itu.
2.2.Metode Jarh dan Ta’dil
3. Al Amanah wa an Naz’ahah fi al Hukmi (obyektif dalam melakukan
penilaian terhadap rawi)
4. Al Diqqah fi al Bahtsi wa al Hukmi (cermat dan teliti dalam
penelitiannya)
5. Iltizam al Adab fi al Jarh (Tetap memegang meskipun dalam menilai
cacat perawi)
6. Al Ijmal fi at Ta’dil wa at Tafshil (Ta’dil dilakukan secara global
sedangkan dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi
bwersangkutan)

2.3.Kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil


(a) Bersandar pada cara-cara periwayatan hadits, syahnya periwayatan,
keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka. Ini dinamakan
Naqd Kharijun atau kritik ekstern (yang datang dari luar)
(b) Berkenaan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih atau
tidak, dan apa jalan-jalan keshahihanya dan ketidakshahihanya. Ini
dinamakan Naqd Dakhliyun atau kritik intern, yang mengenai diri
hadits itu sendiri.
2.4.Sejarah dan Perkembang Ilmu Jarh dan Ta’dil
Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-
catatan yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilanya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
tentang martabat kata-kata itu. (Hasbi Ash Shidiqi)
Ilmu ini merupakan salah satu bagian dari ilmu rijal al Hadits dan ilmu ini
dipandang sebagai bagian terpenting dalam ilmu-ilmu Hadits dan suatu
ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya periwayatan Hadits. Dan
berkembangnya lebih nyata sejak terjadinya al fitnah al Kubra atau
pembunuhan thdp Khalifah Utsman bin Affan tahun 36 H. Pada waktu itu,
umat muslimin telah terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, masing-
masing mencari legitimasi dg mengutip hadits Rasul. Jika tidak ditemukan
mereka membuat hadits palsu. Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi
hadits Rasul baik dari segi matan maupun kritik sanadnya.

2.5.Perkembangan Ilmu Jarh dan Ta’dil


Menurut Ibnu Adi ilmu ini telah ada sejak zaman sahabat.
Menurut Muhammad Ajjaj al Khatib, perkembangan ilmu jarh dan ta’dil
sejalan dengan perkembangan periwayatan dalam Islam.
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah jarh wa
ta’dil, diantaranya Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin al Musyayyab.
Pada abad 2 H, perkembangan ilmu jarh dan ta’dil mengalami kemajuan
dengan bukti aktivitas para ahli semakin giat men-tajdid dan men-ta’wil
para rawi, diantaranya Yahya bin Sa’id Qaththan dan Abdurrahman bin
Mahdi.
Pada abad 3 H, baru dilakukan penyusunan kitab jarh dan ta’dil,
diantaranya Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Sa’ad,
Ali bin Madini, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Ishaq bin Rahawaih.

2.6.Lafadz-lafadz Jarh dan Tingkatanya


(a) Kalimat atau kata-kata yang menunjukan cela perawi pada tingkat
pertama adalah Akdzabun nas atau orang yang paling dusta.
(b) Selanjutnya kata-kata di bawah tingkatan pertama adalah seperti dajjal,
kadzdzab atau wudlula’. Kata-kata yudla’u atau yakdzibu.
(c) Tingkatan ketiga biasanya menggunakan kata-kata seperti fulan
yasyriqul hadits (ia mencuri hadits), fulan muttaham bil kadzib (ia
tertuduh dusta), atu saqith, matruk, balik atau dzahibul hadits.
(d) Keempat adalah kata-kata fulan rudda haditsuhu, mardudul Hadits,
dlo’if jiddan
(e) Kata-kata tingkatan kelima adalah fulan la yubtajju bihi, dla’afahu,
mudztharibul hadits, lahu ma yunkar.
(f) Tingkatan ke enam adalah kata-kata yang paling ringan dalam
mentarjih, Kata yang digunakan adalah fihi maqaal adna maqal.

2.7.Lafadz-lafadz Ta’dil
(a) Kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa
seorang perawi itu tidak ada cacatnya atau ia dipercaya adalah
autsaqun nas (orang paling dapt dipercaya) atau ilaihi muntaha,
adlbatun nas dan la a’rifu lahu nadhiran fi al dunya (aku tidak
mengetahui tandinganya di dunia)
(b) Tingkat kedua spt. Kata fulan la’ yus’alu ‘anhu (si fulan tidak
dipertanyakan lagi)
(c) Tingkat ketiga spt. Kata tsiqah-tsiqah dan tsabat-tsabat dan juga kata-
kata tsiqah ma’mun, tsabat, hujjah, dan shahib hadits.
(d) Tingkat keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dhabit
dan hafidz.
(e) Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi. Kata ini
menunjukan perawi kurang hafalanya.
(f) Keenam adalah kata-kata laisa bi ba’idin min al shawab, jarwa
haditsuhu, muqarabatul hadits, shadiqun insya Allah atau arju an la’
ba’tsa bihi

2.8.Kitab-kitab Jarh dan Ta’dil


(a) Al Jarh wa At Ta’dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim ar Rasi, terdiri
dari 4 jilid dan memuat 10.050 perawi.
(b) Mizan al I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad adz Dzahabi,
terdiri dari 3 jilid dan memuat 10 907 rijal al Sanad.
(c) Lisan al Mizan karya Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, yang
mencakup isi Mizan al I’tida, terdiri dari 6 jilid dan memuat 14.343
perawi.
(d) Ma’rifat al Rijal karya Yahya ibn Ma’in.
(e) At Thabaqat karya Muhammad ibn Sa’ad al Zuhri al Bashri
(f) Al Kamil fi at Tarikh karya Ibnu Katsir

2.9.Ilmu-ilmu yang terkait dengan Jarh dan Ta’dil


(a) Ilmu Rijal al Hadits. Ilmu jarh wa ta’dil merupakan bagian dari ilmu
rijal al hadits.
(b) Takhrij al Hadits. Di dalam mentakhrij hadits harus mengetahui
apakah hadits yang ditakhrijnya dapat diterima atau ditolak

2.10. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil


(a) Jumhur ulama mengatakan bahwa jarh harus didahulukan daripada
ta’dil, karena didalam jarh orang menerangkan sifat-sifat yang
tersembunyi dari perawi itu.
(b) Sebagian Ulama berbeda pendapat ttg jarh dan ta’dil:
1. Jarh didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih
banyak, sebab jarih memiliki pengetahuan yang lebih banyak. (jumhur
ulama)
2. Ta’dil didahulukan dari tarjih jika jumlah mu’addilnya lebih banyak
dari pada jarih. Jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka.
3. Pertentangan itu masih tetap dalam pertentanganya selama belum
ada yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus didahulukan dari tarjih karena jarih masih mungkin
terpengaruh oleh subyektivitas pribadionalnya.

Pertemuan 13

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Maudhu
Mahasiswa mampu membedakan hadits Maudhu dan yang lainya
Mahasiswa mampu memberikan contoh hadits Maudhu
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Definisi Hadits Maudhu’ (Palsu)
Kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a yang berarti mengada-
ada dan mendustakan.
Hadits Maudhu’ (terminologi) adalah hadits yang dibuat-buat oleh para
pendusta dan mereka menyandarkanya kepada Rasulullah saw.
Penggunaan terminologi hadits maudhu’ atau hadits palsu, tidaklah harus
difahami secara harfiah dan parsial dari masing-masing kata yang ada.
Justru penggabungan dua kata tersebut menjadi satu kesatuan yang telah
memberikan nuansa baru, sebagai yang berasal bukan dari Nabi, dan untuk
memudahkan bahasa pengungkapan riwayat palsu serta menjelaskan
kepalsuanya.

2.2.Sejarah dan Perkembangan Hadits Palsu


Pemalsuan hadits telah terjadi sejak masa Nabi saw. didasarkan kepada
hadits Nabi.
Menurut riwayat al Thahawi dan al Thabari, pada masa Rasul ada
seseorang yang mengaku telah diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu
masalah kelompok masyarkat di Madinah. Setela di cek ternyata Rasul
tidak pernah menyuruh.
Pendapat lain mengatakan pemalsuan Hadits telah terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertentangan antara khalifah Ali dengan
gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sofyan mempunyai pengaruh besar
dalam perpecahan umat dan munculnya partai politik serta sekte-sekte
keagamaan.

2.3.Latar Belakang Orang Memalsukan Hadits


(a) Politik
(b) Ekonomi
(c) Golongan (mazhab fiqh ataupun Teologi)
(d) Mencari Muka kepada Penguasa
(e) Hidup Kezuhudan
(f) Daya Tarik dalam berdakwah
2.4.Faktor-faktor Munculnya Hadits Palsu
7. Pertentangan Politik. Peepecahan umat Islam akibat perbedaan
pandangan politik memberikan pengaruh yang besar dalam penyebaran
hadits palsu.
8. Usaha Musuh Islam. Permusuhan terhadap Islam dan untuk
menjelekanya dilakukan oleh orang-orang zindiq, lebih-lebih oleh
keturunan bangsa-bangsa yang dikalahkannumat Islam.
9. Mendorong berbuat baik. Ini dilakukan oleh para ahli tasawuf.
Tujuanya agar lebih dekat dengan Allah
10. Upaya untuk memperoleh fasilitas Duniawi
11. Kepalsuan yang tidak disengaja. Ini terjadi pada rawi

2.5.Tokoh-tokoh Hadits Palsu


(a) Abdul Karim Ibn Abu Al Auja’. Ia telah memalsukan hadits sebanyak
4.000 buah
(b) Muhammad bin Ahmad bin Halib, seorang zahid yang menjauhi
kesenangan duniawi dan hanya makan kacang-kacang sebagai makanan
pokok.
(c) Zakaria bin Yahya al Waqqar, seorang faqih yang rajin beribadah dan
mempunyai majelis ta’lim.
(d) Ghiyats bin Ibrahim, seorang penjilat yang mengeruk keuntungan
duniawi dengan hadits-hadits palsunya.
2.6.Ciri-ciri Hadits Palsu Pada Rawi
(a) Pengakuan dari Rawi bahwa ia telah memalsukan hadits, seperti Abu
Ismah Nuh bin Abi Maryam.
(b) Adanya indikasi bahwa rawi tersebut memalsukan Haditsd, seperti
seorang rafidhah yang meriwayatkan hadits ahlul bait

2.7.Ciri Hadits Palsu pada Matan


(a) Kerancuan redaksi atau matan hadits
(b) Setelah diadakan penelitian terhadap suatu hadits, ternyata menurut ahli
hadts tidak terdapat pada hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam
kitab-kitab hadits.
(c) Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan telah ditetapkan.
(d) Haditsnya bertentangan dengan petunjuk al Qur’an yang pasti, sunnah
mutawatir, atau ijma’ yang pasti dan tidak dapat dikompromikan.

2.8.Kitab yang menghimpun hadits Palsu


(a) Al La’ah al Mashnu’ah fi al Ahadits al Maudhu’ah, karya Al Hafidz
Jalaluddin al Suyuti
(b) Al Maudhu’ah, karya Imam al Hafidz Abu al Faraj Abdurrahman bin Al
Jauzi
(c) Al Mashnu’ fi al Hadits Maudhu’, karya Ali al Qarri

Pertemuan 14

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Takhrij Hadits
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Pengertian Takhrij, Ikhraj dan Istikhraj
Kata takhrij bentuk mashdar dari kata kharaja berarti keluar. Selain itu,
takhrij juga berarti ijtima’u amraini mutadladlaini fi syai’in wahidin artinya
bertemunya dua hal yang bertentangan pada suatu waktu. Ada juga yang
berpendapat, takhrij juga berarti : (1) al Istinbath yang berarti
mengeluarkan, (2) al Tadrib artinya hal melatiah atau pembiasaan, dan (3)
al Taujih yang berarti memperhadapkan.
Takhrij (terminologi) adalah petunjuk jalan ke tempat letak hadits pada
sumber-sumber yang orisinil takhrij-nya berikut sanad-nya, kemudian
dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan.
Ikhraj, berarti mengemukakan hadits kepada orang lain, dengan
menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yalah menyampaikan hadits
itu, dengan metode periwayatanya yang ditempuh.
2.2.Tiga pengertian Takhrij Menurut Ulama
Takhrij berarti sama dengan ikhraj, yaitu mengemukakan hadits kepada
orang lain dengan menyebutkan tempat pengambilanya. Misalnya hadits itu
ditakhrij oleh Bukhari, artinya Bukhari meriwayatkan suatu hadits serta
menyebutkan tempat keluarnya.
Takhrij berarti mengeluarkan hadits dan meriwayatkanya dari isi kitab-
kitab. Artinya ahli hadits mengeluarkan hadits dari gurunya atau kitab-kitab
dan lain sebagainya, lalu dikatakan dari periwayatan dirinya, atau dari
sebagaian gurunya, dari teman-temanya atau dari yang lain.
Takhrij berarti al dalalah, artinya menunjukan sumber asli suatu hadits
serta menyebutkan orang yang meriwayatkanya.
Sedangkan istikhraj, berarti mengeluarkan hadits dari kitab tertentu
dengan sanad-nya sendiri, dan dalam sanad-nya itu bertemu dengan guru-
guru diatasnya
Istikhraj, disyaratkan bertemu kedua sanad-nya pada guru atau di atasnya
sampai periwayatan pertama. Sedangkan takhrij dan ikhraj tidak
mensyaratkan demikian. Dengan demikian dapat difahami bahwa takhrij itu
adalah :
1. Usaha untuk menemukan suatu hadits dari sumber aslinya, dengan
mengeluarkan sanad dan matan-nya.
2. Usaha untuk mencarikan penilaian kualitas suatu hadits ketika diperlukan,
apakah suatu hadits shahih atau dha’if, atau bukan hadits Rasul, dan lain-
lainnya.

2.3.Sejarah Perkembangan Ilmu Takhrij


Ilmu takhrij pada mulanya hanyalah berupa tuturan kata-kata yang belum
tertulis dalam kitab dan tidak banyak dibutuhkan oleh para ulama pada
masa itu.
Keterbatasan para ulama dan peminat hadits untuk menelaah kitab-kitab
sunnah, mereka mengalami kesulitan untuk mengetahui letak hadits yang
dijadikan penguat dalam menyusun kitab ilmu syari’ah dan ilmu lainya spt.,
tafsir, fiqh, sejarah dll. Sejak peristiwa ini terjadi mulailah muncul suatu
ilmu takhrij al hadits.
Ulama yang pertama melakukan takhrij adalah al Khatib al Bagdadi (463
H). Kemudian diikuti oleh Muhammad bin Musa al Hazimi al Syafi’iy (584
H) dengan karyanya “Takhrij al Ahadits al Mahazzab”.
Periode selanjutnya sekitar abad 4-7 H kegiatan takhrij berupa perbaikan
susunan kitab-kitab hadits sudah ada, spt. Kitab Jami’, Istidrak dan Istikhraj
sudah disusun.
Pada abad 8 – 11 H muncul kitab Takhrij yang besar, spt., “Takhrij Ahadits
al Mukhtasar al Kabir karya Ibnu al Hajib.

2.4.5 Metode Takhrij Hadits


2.4.5.1.Metode takhrij hadits melalui perawi hadits yang pertama
2.4.5.2.Melalui lafadz matan pertama hadits
2.4.5.3.Melalui kata-kata dalam matan hadits
2.4.5.4.Melalui tema hadits
2.4.5.5.Berdasarkan status hadits
Menurut Syuhudi Ismail menawarkan dua jenis metode:
-Metode penelusuran hadits melalui lafal.
-Metode penelusuran hadits melalui topik masalah.

2.5.Metode Takhrij melalui Perawi Pertama


Metode ini dilakukan dg terlebih dahulu mengetahui secara cermat dan
pasti siapa perawi pertama sebuah hadits yang akan ditakhrij. Perawi
pertama itu dpt berupa para sahabat atau tabi’in. Caranya dg mencari nama
pertama itu dlm kitab Hadits tertentu. Setelah ditemukan, langkah
selanjutnya mencari hadits yang diinginkan dlm kitab kumpulan hadits yg
diriwayatkan oleh perawi itu.
Kitab-kitab yg membantu ada 3: (1) Kitab al Masanid; (2) Kitab al
Ma’ajim; (3) Kitab al Atraf
Kitab al Masanid adalah ktab-kitab hadts yg disusun bersandar kepada
nama-nama sahabat
Kitab al Atraf adalah kitab hadits dimana penyusun hadits itu membatasi
diri hanya menyebutkan permulaan hadits untuk mengindifikasikan bunyi
selanjutnya. Kitab ini menyebutkan sanad-sanadnya setiap matan

2.6.Metode Takhrij melalui Lafadz Pertama Hadits


Penggunaan metode ini tergantung kepada lafadz pertama Matan hadits,
sesuai urutan huruf-huruf hijaiyah.
Kitab-kitab penunjang metode ini ada tiga jenis: (1) Kitab yang khusus
memuat hadits-hadits terkenal yg beredar luas dari mulut ke mulut; (2)
Kitab yang memuat hadits-hadits yang tersusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam (ensiklopedi); (3) Kunci-kunci daftar isi yg disusun para ulama
untuk kitab tertentu.
Kelebihan metode ini adalah hadits dpt ditelusuri sumber aslinya, sanad dan
matanya secara lengkap mudah dan cepat. Kesulitanya adalah bila terdapat
kelainan lafadz pertama tersebut meskipun ma’nanya sama.

2.7.Takhrij melalui Kata-kata Dlm Matan Hadits


Metode ini tergantung kepada kata-kata yg terdapat dalam hadits, baik
berupa isim atau fa’il serta mengutamakan kata-kata yg agak asing.
Metode ini menggunakan kitab-kitab diantaranya al Mu’jam al mufahras li
al Fadzil Hadits al Nawawi. Kitab Mu’jam merupakan kamus untuk 9 kitab
hadits, yaitu Shahih Bukhari dg kode Kha, Shahih Muslim dg kode mim,
sunan Turmudz dg kode Ta’, Sunan Abu Dawud kode Dal dll.

2.8.Metode Takhrij Melalui Tema Hadits


Metode ini bersandar kepada pengenalan tema-tema hadits. Setelah
mengetahui tema hadits yang akan ditakhrij, lalu mencarinya pada kitab-
kitab yg dpt dipakai.
Kitab-kitab yg digunakan : (1) Kitab takhrij hadits secara umum, (2) Kitab-
kitab takhrij hadits dari beberapa kitab tertentu, (3) Kitab-kitab Fiqh, (4)
Kitab-kitab hadits hukum, (5) Kitab-kitab hadits Targib wa Tarhib, (6)
Kitab-kitab Tafsir, dan (7) Kitab-kitab takhrij hadits sejarah hidup dan sifat-
sifat-sifat nabi

2.9.Metode Takhrij Berdasarkan status Hadits


Metode ini sangat memperhatikan hal ihwal dan sifat-sifatnya yg terdapat
pada matan dan sanad.
Kitab-kitab yang berkaitan adalah ......
1. Sekitar hadits mutawatir
2. Sekitar hadits qudsi
3. Sekitar hadits mursal
4. Sekitar hadits maudhu’

KRITIK SANAD DAN MATAN


 Latar Belakang : Hadits Nabi terjadi pemalsuan hadits terutama pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib, proses penghimpunan hadits ke dalam kitab-kitab
hadits, dan telah terjadi periayatan hadits secara makna, serta adanya keharusan
penelitian sanad dan matan dalam kedudukan hadits sebagai hujjah

Kaidah dan Langkah Kritik Sanad dan Matan


 Unsur-unsur Kaidah Mayor Kritik sanad yaitu : 1. Sanadnya bersambung; 2.
Perawinya bersifat adil; 3. Perawinya bersifat dhabith; 4. Tidak ada kejanggalan
(syudud); dan 5. Tidak terdapat ‘Illat.
 Unsur-unsur Kaidah Mayor Kritik Matan, yaitu tidak terdapat Syudud dan Illat

Unsur Kaidah Minor Kritik Sanad


 Kaidah Mayor Sanad bersambung, mengandung unsur kaidah Minor : (a) Muttashil
(bersambung); (b) Marfu’ (bersandar kepada Nabi); (c) Mahfuzh (terhindar dari
syudzudz; dan (d) Bukan Mu’all (bercacat).
 Kaidah Mayor Periwayat bersifat Adil, mengandung unsur kaidah Minor: (a)
beragama Islam; (b) Mukallaf (balig dan berakal); (c) melaksanakan ketentuan
agama Islam; (d) memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yg membawa
pemeliharaan manusia kep. Tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan)
 Unsur Kaidah Mayor Periwayat bersifat Dhabith, mengandung unsur kaidah
Minor: (a) Hafal dengan baik hadits yg diriwayatkanya; (b) Mampu dg baik
meyampaikan riwayat hadits yg dihafalnya kep orang lain; (c) Terhindar dari
syudzudz dan (d) Terhindar dari ‘illat

Unsur Kaidah Minor Kritik Matan


 Tolok ukur penelitian matan menurut Al Khathib Al Bagdadi adalah: (1) Tidak
bertentangan dg akal yg sehat; (2) Tidak bertentangan dg hukum Al Qur’an yg
telah muhkam; (3) Tidak bertentang dg hadits mutawatir; (4) Tidak bertentangan
dg amalan yg telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu; (5) Tidak bertentang dg
dalil yg sudah pasti; dan (6) Tidak bertentang dg hadits ahad yg kualitas
keshahihanya lebih kuat.

Tolok ukur penelitian matan menurut Shalah al Din al Adhabi: (1) Tidak
bertentangan dg petunjuk al Qur’an; (2) Tidak bertentangan dg hadits yg
kualitasnya lebih kuat; (3) Tidak bertentangan dg akal sehat, indera, dan sejarah;
(4) Susunan pernyataanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Pertemuan 15

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Inkarussunah

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Inkaru Sunnah

Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata
“Ingkar” berasal dari akar kata arab ِ‫َر‬ َِ ‫كر ِا ْنك‬
ُ ‫ ا َ ْنك ََر ِيُ ْن‬yang mempunyai
beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan
dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang
tidak tergambarkan dalam hati. Sedangkan pengertian Inkaru Sunnah
menurut Istilah adalah :
1) Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadist dan
sunah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-qur’an.
2) Pahan yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak
dasar hukum Islam dari sunah shahih baik sunah praktis atau yang secara
formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir ataupun
ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi berbagai macam Ingkar
sunah yang terjadi disebagai masyarakat belakang ini terutama, sedang
definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak
mungkin seorang muslim mengingkari sunah sebagai dasar hukum sunah.

2.2.Sejarah Inkaru Sunnah


3. Sejarah perkembangan Ingkar Sunah hanya terjadi dua kali masa, yaitu
masa klasik dan masa modern. Menurut Prof. Dr. M. Mushthafa Al-
Azhami sejarah Ingkar sunah klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’i (w.204
H) abad ke-2 H/7 M. Kemudian pada abad modern ingkar sunah timbul
kembali di India dan Mesir dari abad 19 M/13 H sampai masa sekarang.
4. a) Inggkar Sunah Klasik
Ingkar Sunah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i ( w. 204 H), yang
menolak kehujjhan sunah dan menolak sunah sebagai sumber hukum Islam
baik mutawatir atau ahad. Imam Asy-syafi’i yang dikenal sebagai nashir
sunah (pembela sunah) pernah didatangi oleh seseorang yang disebut
sebagai ahli tentang mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunah,
baik mutawatir atau ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan
Asy-syafi’i secara panjang dan lebar dengan berbagai argumentasi yang
diajukan.

Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga
kelompok pengingkar sunah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu
sebagai berikut:
1) Menolak sunah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-
qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
2) Tidak menerima sunah kecuali, yang semakna dengan Al-qur’an.
3) Hanya menerima sunah mutawatir saja dan menolak
selain mutawatir yakni sunah ahad.

Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa formulasi ingkar sunah


adalah mereka yang menolak sunah secara total dan mereka yang menolak
hadist ahad dan menerima hadist mutawatir. Para ahli hadist menyebut para
kelompok ini sebagai kelompok ingkar sunah, seperti yang diformulasikan
oleh Imam Syafi’i sebagai kelompok ingkar sunah klasik untuk
membedakannya dengan kelompok ingkar sunah yang muncul pada abad
ke-14 yang disebut kelompok ingkar sunah di abad modern.

b) Inkarusunnah Moderen

Sebagaimana pembahasan bahwa ingkar sunah klasik lahir di Irak (kurang lebih abad 2
H/ 7 M), kemudian menetes kembali pada abad modern di India (kurang lebih 19 M/ 13
H), setelah hilang dari peredaran kurang lebih 11 abad. Baru muncul ingkar sunah di
Mesir pada abad 20 M.
Al-Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasay seorang guru besar
fakultas tarbiyah Jamiah Ummmi Al-Qura Thaif demikian juga dikutip beberapa ahli
hadits juga mengatakan bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India. Setelah kelahirannya
pertama di Irak masa klasik. Maka timbullah kelompok-kelompok sempalan Al-
Quraniyyun seperti Ahl- Ad- Dzikir wa Al-Qur’an didirikan oleh Abdullah umat
muslimah didirikan oleh Ahmad Ad-Din, Thulu Al-Islam yang didirikan oleh Parwez dan
gerakan Ta’mir Insaniyat yang didirikan oleh Abdul Khalik Mawadar.
Pada awal timbulnya ingkar sunah modern ini adalah akibat pengaruh kolonialisme
yang semakin dahsyat sejak awal 19 M di dunia Islam. Terutama di India setelah
terjadinya pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M berbagai usaha dilakukan
kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, penyimpangan aqidah melalui
pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori baarat untuk
memberikan interpretasi hakekat Islam.
Tokoh-tokoh kelompok ingkar sunah modern akhir abad ke 19 dan 20 yang
terkenal adalah Taufik Siddqi (wafat 1920 dari Mesir Ghulam Ahmad Parvez dari India,
Rasyad khalifah kelahiran mesir yang menetap di Amerika serikat dan Kasasim Ahmad
mantan ketua partai sosialis rakyat Malaysia. Argumen yang mereka keluarkan pada
dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah klasik, untuk lebih jelasnya
daapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taufik Sidqi dari Mesir
Beliau berpendapat bahwa tidak ada satupun hadits nabi SAW yang dicatat pada
zamannya.
Pencatatan hadits nabi SAW dilakukan setelah nabi SAW wafat. Dalam masa tidak
tertulisnya hadits nabi tersebut manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak
hadits seperti yang terjadi.
2. Ghulam Ahmad Parvez dari India
Ia adalah pengikut setia Taufik Sidqi, pendapatnya yang terkenal adalah mengenai tata
cara sholat yang terserah pada pemimpin umat untuk menentukan secara musyawarah
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Rasyad Khalifah dari Amerika Serikat
Ia mengakui bahwa al-quran adalah satu-satunya sumber ajaran islam, namun ia menolak
al-hadits bahkan menilainya sebagai buatan iblis yang di bisikan kepada Nabi Muhammad
SAW.
4. Kasim Ahmad dari Malaysia
Menurut pendapatnya asal mula hadits Nabi SAW yang di himpun dalam kitab-kitab
hadist adalah dongeng-dongeng semata, karena hadits nabi tersebut ditulis seteleah nabi
SAW wafat
5. Ingkar Sunnah di Indonesia
Tokoh-Tokoh Ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain:
Lukman Sa’ad, Dadang Setio Groho, Safran Batu Bara dan Dalimi Lubis.
Pertemuan 16

Ujian Akhir Semester (UAS)

REFERENSI

1. Wajib
a. Muhammad Ajaj Al Khatib, Al Sunnah Qabla wa Al Tadwin, Beirut : Dar al Fikr,
1971
b. ----------------------------------, Ushul Al Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut
: Dar
c. Subhi Shalih, Ulum Al Hadits wa Musthalahuhu, Beirut : Dar al Ilmu li al Malayin,
1977
d. Mahmud At Tahhan, Ushulut Takhrij Wa Dirasatu Asanid, Terj. Metode Takhrij
dan Penelitian Sanad Hadits, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1995
e. Suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,
Jakarta : Gema Insan Press, 1995
f. ------------------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992
2. Pendukung
a. M. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : PT. Ma’arif, 1990
b. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,
1981
c. ------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,
1993
d. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama 1996
e. Said Agil Husain Al Munawar, Al Qur’an Membangun Keshalehan Hakiki, Jakarta
: Ciputat Prss, 2002

Cirebon, September 2016


Dosen Pengampu,

(Mahbub Nuryadien, M Ag)


Nip. 196710092003121001
Mengetahui,

Ketua Jurusan, Gugus Mutu,

(Dr. H. Suteja, MAg) (Dr. Hj Nurlaela, M.Ag)


Nip. 196303051999031001 Nip. 196106271986032001

Anda mungkin juga menyukai