Anda di halaman 1dari 8

1

LEADER, FOLLOWER DAN SITUASIONAL DALAM ORGANISASI

A. LEADER

Leader/Kepemimpinan adalah bisa mempengaruhi bawahan untuk mencapai suatu tujuan


organisasi (Hersey &Campbell, 2004, hal. 12)
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu
situasitertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satuatau beberapa
tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961:24)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisir kearah
pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984:46)

Menurut Hersey & Campbell (2004), pemimpin harus mengembangkan tiga kompetensi
penting yaitu:
1. Kemampuan untuk mendiagnosa atau memahami situasi dan mempengaruh
pengikut/bawahan.
2. Beradaptasi agar dapat mengembangkan perilaku dan sumber daya lainnya untuk menutupi
kesenjangan antara situasi saat ini dan harapan masa depan.
3. Komunikasi. Jika pemimpin tidak dapat berkomunikasi secara efektif, tujuan organisasi tidak
akan tercapai.

Robert (1970), mengemukakan bahwa setiap manajer membutuhkan minimal tiga


keterampilan dasar. Ketiga keterampilan tersebut adalah:
1. Keterampilan konseptual (conceptional skill)
Manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk membuat
konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi. Gagasan atau ide serta konsep tersebut
kemudian haruslah dijabarkan menjadi suatu rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan
atau konsepnya itu. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret itu
biasanya disebut sebagai proses perencanaan atau planning. Oleh karena itu, keterampilan
konsepsional juga meruipakan keterampilan untuk membuat rencana kerja.
2. Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill)
Selain kemampuan konsepsional, manajer juga perlu dilengkapi dengan keterampilan
berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga
keterampilan kemanusiaan. Komunikasi yang persuasif harus selalu diciptakan oleh manajer
terhadap bawahan yang dipimpinnya. Dengan komunikasi yang persuasif, bersahabat, dan
kebapakan akan membuat karyawan merasa dihargai dan kemudian mereka akan bersikap
2

terbuka kepada atasan. Keterampilan berkomunikasi diperlukan, baik pada tingkatan


manajemen atas, menengah, maupun bawah.
3. Keterampilan teknis (technical skill)
Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang
lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan suatu
pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki mesin, membuat
kursi, akuntansi dan lain-lain.

Selain tiga keterampilan dasar di atas, Ricky W. Griffin menambahkan dua


keterampilan dasar yang perlu dimiliki manajer, yaitu:
1. Keterampilan manajemen waktu
Merupakan keterampilan yang merujuk pada kemampuan seorang manajer untuk
menggunakan waktu yang dimilikinya secara bijaksana

2. Keterampilan membuat keputusan


Merupakan kemampuan untuk mendefinisikan masalah dan menentukan cara
terbaik dalam memecahkannya. Kemampuan membuat keputusan adalah yang paling
utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok manajer atas (top manager).

Pemimpin perawat yang efektif adalah melibatkan orang lain untuk bekerja sama
secara efektif dalam mencapai suatu tujuan.

“good leader aren’t born, they are made”

B. FOLLOWER

Followership dan kepemimpinan adalah peran terpisah namun timbal balik. Tanpa
pengikut, seseorang tidak bisa menjadi Pemimpin, sebaliknya, seseorang tidak bisa menjadi
pengikut tanpa seorang pemimpin (Lyons, 2002).
Menjadi pengikut yang efektif adalah sama pentingnya dengan perawat baru seperti yang
menjadi pemimpin yang efektif. Bahkan, sebagian besar dari kita adalah pengikut: anggota tim,
peserta pada pertemuan, staf keperawatandan sebagainya.
3

Pengikut yang paling berharga menurut (Grossman & Valiga):


 Mempunyai keahlian
 Melibatkan diri secara langsung
 Berpartisipasi aktif dalam suatu kelompok/tim
 Menginvestasikan waktu dan tenaga dalam pekerjaan
 Berpikir kritis
 Memberitahukan ide-ide baru

Robert E Kelley membagi follower menjadi 5 tipe, yaitu:


1. Sheep (domba), pengikut yang pasif, tergantung, dan tidak kritis dalam pemikiran
sehingga hanya menjalankan apa yang diperintahkan pimpinan.
2. “yes” people, pengikut yang aktif tapi berpikir tidak kritis dan tidak bebas, berusaha
mengantisipasi setiap langkah serta siap untuk membuka¬kan pintu untuk atasannya
3. Alienated follower, pengikut yang bebas dalam berpikir tapi pasif dalam pendekatan, se-
ring kecewa terhadap pemimpin dan tidak memberikan selu¬ruh tenaga dan komitmennya
terhadap organisasi
4. Sur¬vivor, pengikut yang mudah menyesuaikan diri dengan segala kondisi organisasi.
5. Effective follower, pengikut yang aktif, mandiri, berpikir kritis, dan berkomitmen tinggi
ter-hadap organisasi. Tipe kelima merupakan tipe pengikut yang efektif dan dibutuhkan
suatu organisasi untuk mencapai tujuannya.

Menyadari arti penting pengikut bagi tujuan bisnis, mana¬jemen perlu secara serius
mengembangkannya. Terdapat 4 langkah untuk mengembangkan effective followership:
1. Mendefinisikan kembali peran pengikut dan pemimpin de¬ngan seimbang tetapi
dengan kesadaran bahwa aktivitas ke¬duanya berbeda
2. Mengembangkan keterampilan untuk menjadi pengikut yang efektif melalui
pendelegasian tugas
3. Mengimplementasikan evaluasi kinerja berdasarkan ka¬pasitas pengikut
4. Membangun struktur organisasi yang dapat menggali terciptanya pengikut yang
efektif dengan menciptakan kesempatan yang sama bagi semua pengikut untuk
menjadi pemimpin
4

 Karakteristik Pengikut

a. Pengikut berkarakter isolatif (Isolates)


Pengikut isolatif terletak pada kontinuum paling kiri pada model Kellerman.
Karakteristik pengikut isolatif adalah tidak mengetahui sama sekali tentang apa yang sedang
terjadi dalam organisasi, tidak memperdulikan tentang siapa yang sedang memimpin mereka,
dan memberikan respon yang acuh terhadap pemimpinnya. Selain itu mereka hanya terfokus
pada apa yang menjadi deskripsi kerja mereka (job description) namun dengan antusiasme
yang rendah, tanpa perduli mengenai mampu tidaknya rekan sekerja mereka mengerjakan hal
yang sama, atau tanpa perduli apakah hasil produksinya sesuai harapan atau tidak.

b. Pengikut berkarakter penonton (Bystanders)


Pengikut seperti ini berkarakteristik freerider (ie. menikmati situasi tanpa ikut
berpartisipasi), sengaja berdiri diluar ruang lingkup kejadian, dan tidak termotivasi untuk ikut
campur pada kondisi yang terjadi dalam organisasi. Pengikut dengan tipe ini juga mendukung
adanya status quo. Namun tidak seperti pengikut isolates, bystanders sangat waspada atau
menyadari situasi yang sedang terjadi, mengamati dan mengobservasi tanpa ikut
berpartisipasi didalamnya. Mereka menolak untuk ikut masuk dalam sebuah situasi, dan
hanya melakukan apa yang dianggap kewajiban dan menuntut apa yang menjadi hak.

c. Pengikut berkarakter partisipan (Participants)


Pengikut ini merupakan tipe pengikut efektif. Posisi para pengikut ini terdiri dari dua
jenis, yaitu mendukung secara penuh posisi si pemimpin berdasarkan kebijakan yang dibuat,
atau memilih sikap oposisi terhadap si pemimpin. Namun tanpa memperhatikan kedua posisi
tersebut, karakteristik dari pengikut partisipan adalah mengetahui dan perduli terhadap
kondisi yang tengah berlangsung dalam organisasi, dan menginvestasi waktu atau tenaga
yang mereka miliki dalam rangka memberikan efek terhadap situasi yang sedang
berlangsung. Selain itu, mereka memiliki prinsip yang jelas antara mendukung atau tidak
mendukung status quo, dimana kondisi ini tidak mampu dipenuhi oleh tipe pengikut isolates
dan bystanders.

d. Pengikut berkarakter aktivis (Activists)


Pengikut aktivitis merupakan pengikut yang enerjik, bersemangat dan mau turut serta
pada situasi yang sedang terjadi di organisasi. Secara umum, mereka memiliki karakteristik
yang sama dengan pengikut partisipan, namun mereka cenderung bergerak ekstra keras dalam
mencapai tujuan oleh karena motivasi mereka yang begitu tinggi pada pemimpinnya. Tujuan
5

mereka biasanya hanya satu yaitu untuk mengamankan pemimpin dan kebijakan mereka (pro
pemimpin), atau, mendongkel seseorang dari kursi pimpinan secepat mungkin apabila mereka
tidak menyukainya (kontra pemimpin). Dengan kata lain merekalah yang menggerakkan
situasi.

e. Pengikut berkarakter “berani mati” (Diehards)


Pengikut bertipe diehards merupakan pengikut yang berkarakteristik paling loyal dan
konsisten bagi si pemimpin. Mereka sangat dekat dengan pemimpinnya apabila mereka
mendapatkan kepuasan, atau malah sebaliknya, sangat termotivasi untuk mendongkel
pemimpinnya apabila tidak puas dengan gaya memimpin si pemimpin. Dedikasi mereka tidak
hanya ditujukan kepada individu (dalam hal ini pemimpin), atau kebijakannya, namun juga
sesuatu diluar hal-hal tersebut yang dirasa pantas dan dapat memberikan kesejahteraan bagi
mereka, dan biasanya mereka “berani mati” untuk mempertahankan yang dibelanya.

 Pahami Karakteristik Pengikut Anda


Pendekatan yang ditawarkan oleh Kellerman tersebut memberikan suatu pemahaman
bagi pemimpin mengenai apa-apa saja tipe-tipe pengikut (follower) dalam organisasi.
Berdasarkan beberapa penelitian, kontinuum sebelah kiri, yang terdiri dari karakteristik
isolates dan bystanders, merupakan karakteristik yang kurang menguntungkan bagi pemimpin
maupun organisasi, karena mereka tidak mau ambil bagian pada situasi yang sedang terjadi
dalam organisasi. Sedangkan pada kontinuum sebelah kanan (ie. activists dan diehards)
merupakan karakteristik yang paling menguntungkan bagi pemimpin karena mereka memiliki
pengikut yang sangat loyal, namun pemimpin tetap harus berhati-hati dengan loyalitas ini
karena mereka justru mampu menjadi bumerang bagi si pemimpin. Di tengah-tengah
kontinuum terdapat pengikut participants yang memiliki loyalitas untuk berpartisipasi
terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemimpin, dan secara aktif memberikan
masukan bagi pemimpin apabila terdapat kejanggalan pada kebijakan yang dibuat.

C. Situational Leadership

Situational Leadership, pertama kali diperkenalkan oleh Paul Hersey dan Ken
Blanchard di tahun 1977. Di tahun tersebut juga dibangun sebuah model atau instrumen yang
dapat menggambarkan cara untuk memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang
sedang dihadapi oleh seorang pimpinan. Teori ini kemudian disempurnakan kembali oleh Ken
Blanchard di tahun 1985 menjadi Situational leadership II dengan model dengan nama yang
sama.
6

Model tersebut pada dasarnya menghubungkan gaya kepemimpinan yang ideal


diterapkan pada suatu kondisi tertentu dengan pilihan kondisinya. Kondisi pada teori ini
merupakan implementasi dari employee development level atau dapat diistilahkan dengan tingkat
kematangan bawahan. Definis dari Employee development level adalah “the extent to which a
person has mastered the skills necessary for the task at hand and has developed a positive attitude
toward the task” (Blanchard dkk, 1993). Secara rinci, model tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut :
Dari model tersebut, dapat diketahui bahwa pada setiap development level bawahan yang
dihadapi dalam hal ini terdapat empat level maka pimpinan harus menerapkan gaya
kepemimpinan yang berbeda juga.
Gaya kepemimpinan tersebut pada dasarnya terbagi menjadi dua gaya yaitu directive
behavior dan supportive behavior yang selanjutnya didikombinasikan membentuk empat gaya
yaitu directing, coaching, supporting, dan delegating sementara kondisi yang dihadapi adalah
tingkat kematangan (employee depelopment) yang terdiri atas tingkat kompetensi (pengetahuan
dan keahlian) dan tingkat komitmen bawahan (kombinansi motivasi dan kepercayaan diri
seseorang dalam mencapai suatu tujuan atas melaksanakan tugas yang diembannya).
Secara umum gaya kepemimpinan, employee development level dan hubungan antara
keduanya dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Gaya Kepemimpinan

Directive behavior, merupakan gaya kepemimpinan yang memfokuskan apa dan


bagaimana yang harus dilaksanakan oleh bawahan. Gaya tersebut direpresentasikan dalam
bentuk menyampaikan dan menunjukan kepada bawahan apa, bagaimana, dan kapan tugas
yang harus mereka laksanakan selanjutnya melakukan monitoring dan menyediakan feedback
atas hasil yang telah dilaksanakan oleh bawahan. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya
ditujukan untuk membangun kompetensi pegawai;

2. Employee depelopment level


Didefinisikan sebagai tingkat/derajat yang mengindikasikan keahlian dan komitmen
bawahan yang dimiliki oleh seseorang dalam memandang dan menyelesaikan suatu tugas.
Tingkat kompetensi terdiri atas pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh seorang
pegawai. Kompetensi pada dasarnya diperoleh dari pendidikan formal, pelatihan, dan
pengalaman. Sedangkan tingkat komitmen bawahan terdiri atas kombinasi motivasi dan
kepercayaan diri seseorang dalam melaksanakan tugas yang diembannya. Motivasi pada teori
ini didefinisikan sebagai level dari minat atau antusiasme seseorang dalam melaksanakan
suatu pekerjaan sementara kepercayaan diri merupakan level dimana seseorang percaya akan
kemampuan dirinya sendiri dalam melaksanakan suatu tugas atau tujuan.
7

 Employee depelopment level dibedakan menjadi empat level, yaitu :


 level D1, yaitu suatu level kematangan bawahan yang mengkategorikan kompetensi
yang dimiliki bawahan adalah rendah namun komitmen yang dimiliki tinggi. Ciri-ciri
dari level ini antara lain adalah bawahan antusiasme dan siap untuk belajar atau
bawahan tidak punya kompetensi tertentu;
 level D2, mengkategorikan beberapa kompetensi yang dimiliki bawahan adalah rendah
dan komitmen yang dimiliki secara keseluruhan adalah sangat rendah. Ciri-ciri dari
level ini antara lain adalah tidak mampu dan mau bertanggungjawab atas pekerjaan
yang diberikan, demotivasi, demoralisasi;
 level D3, mengkategorikan kompetensi yang dimiliki pegawai mengarah ke kompetensi
yang tinggi namun beberapa komitmen yang dimiliki sangat rendah. Ciri-ciri dari level
ini antara lain adalah pegawai dapat dianggap sebagai pegawai yang berkompenten
namun kurang percaya diri atas kompetensi yang dimilikinya, mampu melaksanakan
suatu pekerjaan namun kemauannya kurang;
 level D4, pada level ini diketahui bahwa baik kompetensi maupun komitmen yang
dimiliki pegawai adalah tinggi. Ciri-ciri dari level ini antara lain adalah mempunyai
kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam menyelesaiakan pekerjaan yang diberikan.

3. Hubungan gaya kepemimpinan dengan development level bawahan


Terdapat dua hubungan antara gaya kepemimpinan dengan development level, yaitu
fleksibilitas dan efektivitas. Fleksibilitas gaya kepemimpinan merupakan variasi gaya yang
diterapkan oleh seorang pimpinan. Semakin sering seorang pimpinan menerapkan beberapa
gaya kepemimpinan maka gaya kepemimpinan atasan tersebut semakin fleksibel, begitu
sebaliknya semakin sering seorang pimpinan menerapkan gaya yang sama terhadap kondisi
tingkat perkembangan bawahan yang berbeda maka semakin tidak fleksibel gaya
kepemimpinan atasan tersebut.
Semantara itu, efektivitas kepemimpinan merupakan derajat ketepatan gaya
kepeimpinan seseorang dengan tingkat kematangan bawahan berada. Adapun ketepatan
antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan bawahan secara
8

DAFTAR PUSTAKA

Kotek.Lutfi(2016, September 22). Situational Leadership, sebagai salah satu teori kepemimpinan
pada behavior theorists. Dipetik Desember 17, 2019, dari blog LutfiKotek:
http://lutfikotek.blogspot.com/2016/09/situational-leadership-sebagai-salah.html

Wisanggeni.Dewi(2012, Februari 25).Situational Leadership.Dipetik Desember 17,2019, dari blog


Dewi Wisanggeni:https://yennywisang.wordpress.com/2012/03/27/situational-
leadership/

Risconsulting (2017). Situational Leadership. Dipetik Desember 17, 2019, dari blog Riconsulting:
https://www.ris.co.id/situational-leadership

Anda mungkin juga menyukai