Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMATIC BRAIN INJURY

Disusun oleh:

Dede Dhazreka 19400010


Endri Puspita Intani 19400011
Rizkiyanto Ruhim 19400037

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNA BANGSA
YOGYAKARTA
2019
DAFTAR ISI

Halaman judul .................................................................................................. i


Daftar Isi........................................................................................................... ii
Laporan pendahuluan ....................................................................................... 1
A. Anatomi dan fisiologis .............................................................................. 1
B. Definisi ...................................................................................................... 7
C. Tanda dan gejala ....................................................................................... 8
D. Klasifikasi ................................................................................................. 10
E. Etiologi ...................................................................................................... 11
F. Patofisiologi .............................................................................................. 11
G. Pathway ..................................................................................................... 13
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 14
I. Komplikasi ................................................................................................ 15
Konsep Asuhan Keperawatan .......................................................................... 16
A. Pengkajian ................................................................................................. 16
B. Diagnosa keperawatan .............................................................................. 17
C. Rencana Keperawatan ............................................................................... 17
Daftar pustaka

ii
A. Anatomi dan fisiologi sistem syaraf
1. Cerebrum (Otak besar)
Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan
menempati fossa cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut
dengan cerebral cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan
bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum
membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa,
kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan fisual. Kecerdasan
intelektual atau IQ manusia juga ditentukan oleh kualitas cerebrum (Snell,
2009).
Cerebrum dibagi oleh suatu celah yang dalam, fisura serebri
longitudinal, menjadi hemisferkiri dan kanan, dimana setiap hemisfer ini
berisi satu ventrikel lateral. Di otak bagian dalam, hemisfer dihubungkan
oleh massa substansi albikan (serat saraf) yang disebut korpus kalosum
(corpus callosum). Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan sel
syaraf atau substansi grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan
dalam yang terdiri atas serat syaraf atau substansi albikan (Snell, 2009).
Secara umum, belahan belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh,
dan belahan orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat
dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk
logika dan berpikir rasional (Snell, 2009).

1
Cerebrum dibagi menjadi 4 bagian yang disebut lobus. Bagian lobus
yang menonjol disebut girus dan bagian lekukan yang menyerupai parit
disebut sulcus. Ke-4 lobus tersebut yaitu:
Lobus Lokasi Fungsi
Lobus Frontal Lobus frontal, terletak di Emosi, perencanaan,
daerah otak sekitar dahi kreativitas, penilaian,
Anda. gerakan dan pemecahan
masalah dikendalikan di
lobus frontal.
Lobus frontal dibagi lagi
ke dalam korteks
prefrontal, area premotor,
dan area motor.
Lobus Parietal Lobus parietal Pengaturan suhu, rasa,
terletak di belakang lobus tekanan, sentuhan dan
frontal dan di bagian rasa sakit dikendalikan di
belakang atas otak. lobus parietal. Beberapa
fungsi bahasa juga dapat
dikendalikan di lobus
parietal.

Lobus Temporal Sesuai namanya, lobus Kebanyakan pendengaran


temporal terletak di setiap dan fungsi bahasa
sisi otak dikendalikan di lobus
temporal. Proses emosi,
belajar dan pendengaran
juga terletak di lobus
temporal.

2
Lobus Oksipital Lobus oksipital terletak di Penglihatan dan
bagian punggung bawah kemampuan untuk
otak di bagian belakang mengenali obyek
kepala. dikendalikan di lobus
oksipital. Retina mata
mengirimkan masukan ke
lobus oksipital otak yang
kemudian menafsirkan
sinyal sebagai gambar
2. Cerebellum (Otak kecil)
Cerebellum (otak kecil) terletak di fossa cranii posterior dan bagian
superiornya ditutupi oleh tentorium cerebelli. Cerebellum adalah bagian
terbesar otak belakang dan terletak posterior dari ventriculus quartus, pons,
dan medulla oblongata. Cerebellum berbentuk agak lonjong dan
menyempit pada bagian tengahnya, serta terdiri dari dua hemispherium
cerebelli yang dihubungkan oleh bagian tengah yang sempit, yaitu vermis.
Cerebellum berhubungan dengan aspek posterior batang otak melalui tiga
berkas serabut saraf yang simetris, disebut pedunculus cerebellaris
superior, medius dan inferior (Snell, 2009).
Cerebellum dibagi menjadi tiga lobus utama: lobus anterior(fungsi:
regulasi tonus otot dan mempertahankan sikap badan), lobus medius/ lobus
posterior (fungsi: koordinasi berbagai gerakan lincah), dan lobus
flocculonodularis(fungsi: mempertahankan keseimbangan). Lobus
anterior dapat dilihat pada permukaan superior cerebellum dan dipisahkan
dari lobus medius oleh sebuh fissura yang berbentuk huruf “V”, disebut
fissura prima. Lobus medius (kadang-kadang disebut lobus posterior),
yang merupakan bain cerebellum yang paling besar, terletak di antara
fissura prima dan fissura uvulonodularis. Lobus flocculonodularis terletak
di posterior fissura uvulonodularis. Fissura horizontalis yang dalam
ditemukan disepanjang pinggir cerebellum dan memisahkan permukaan

3
superior dari permukaan inferior; tidak mempuyai arti morfologis atau
fungsional yang penting (Snell, 2009).
3. Batang otak
Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior(belakang) otak.
Pada gerak volunter, batang otak merupakan jalur yang dilalui impuls
rangsang sebelum mencapai cerebrum. Impuls rangsang diantarkan oleh
traktus ascendentes ( serat-serat saraf yang menghantarkan impuls ke otak)
untuk diolah diotak, lalu impuls respons dihantarakan oleh traktus
descendentes. Pada perbatasan antara batang otak dan sumsum tulang
belakang medulla spinalis terjadi deccusatio (penyilangan) serat-serat
kortikospinal (serat-serat saraf descendentes) dari cerebrum ke modulla
spinalis. Serat-serat kortokospinal dari otak kiri menyilang kebagian kanan
medula spinalis dan serat dari otak kanan menyilang kebagian kiri.
Penyilangan ini menyebabkan bagian tubuh kanan di kendalikan oleh otak
kiri dan bagian tubuh kiri dikendalikan oleh otak kanan (Snell, 2009).
4. Nervus kranialis
Syaraf kranialis terdapat 12 pasang syaraf cranial, yaitu:
No Nama Jenis Fungsi
I Olfaktorius Sensori Menerima rangsang dari hidung dan
menghantarkannya ke otak untuk diproses
sebagai sensasi bau
II Optikus Sensori Menerima rangsang dari mata dan
menghantarkannya ke otak untuk diproses
sebagai persepsi visual
III Okulomotor Motorik Menggerakkan sebagian besar otot mata

IV Troklearis Motorik Menggerakkan beberapa otot mata

V Trigeminus Gabungan Sensori: Menerima rangsangan dari wajah


untuk diproses di otak sebagai sentuhan
Motorik: Menggerakkan rahang
VI Abdusen Motorink Abduksi mata

VII Fasialis Gabungan Sensorik: Menerima rangsang dari bagian


anterior lidah untuk diproses di otak sebagai

4
sensasi rasa Motorik: Mengendalikan otot
wajah untuk menciptakan ekspresi wajah
VIII Vestibulokokl Sensori Sensori sistem vestibular: Mengendalikan
earis keseimbanganSensori koklea: Menerima
rangsang untuk diproses di otak sebagai suara
IX Glosofaringeal Gabungan Sensori: Menerima rangsang dari bagian
posterior lidah untuk diproses di otak sebagai
sensasi rasa
Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam
X Vagus Gabungan Sensori: Menerima rangsang dari organ
dalam Motorik: Mengendalikan organ-organ
dalam
XI Aksesorius Motorik Mengendalikan pergerakan kepala

XII Hipoglossus Motorik Mengendalikan pergerakan lidah

5. Nervus spinalis
Sumsum tulang belakang adalah struktur yang paling penting antara
tubuh dan otak. Sumsum tulang belakang membentang dari foramen
magnum dimana ia kontinu dengan medulla ke tingkat pertama atau kedua
vertebra lumbalis (Snell, 2009).
Serabut saraf sumsum tulang belakang (nervus spinalis) berjumlah 31
pasang saraf gabungan (sensorik-motorik). Sistem saraf spinal (tulang
belakang) berasal dari arah dorsal, sehingga sifatnya sensorik (Snell,
2009).
Adapun ke 31 saraf spinalis, yaitu:
1. Nervus hipoglossus, Nervus yang mempersarafi lidah dan sekitarnya.
2. Nervus occipitalis minor, Nervus yang mempersarafi bagian otak
belakang dalam trungkusnya.
3. Nervus thoracicus, Nervus yang mempersarafi otot serratus anterior.
4. Nervus radialis, Nervus yang mempersyarafi otot lengan bawah
bagian posterior,mempersarafi otot triceps brachii, otot anconeus, otot
brachioradialis dan otot ekstensor lengan bawah dan mempersarafi

5
kulit bagian posterior lengan atas dan lengan bawah. Merupakan saraf
terbesar dari plexus.
5. Nervus thoracicus longus, Nervus yang mempersarafi otot subclavius,
Nervus thoracicus longus. berasal dari ramus C5, C6, dan C7,
mempersarafi otot serratus anterior.
6. Nervus thoracodorsalis, Nervus yang mempersarafi otot deltoideus
dan otot trapezius, otot latissimus dorsi.
7. Nervus axillaris, Nervus ini bersandar pada collum chirurgicum
humeri.
8. Nervus subciavius, Nervus subclavius berasal dari ramus C5 dan C6,
mempersarafi otot subclavius.
9. Nervus supcapulari, Nervus ini bersal dari ramus C5, mempersarafi
otot rhomboideus major dan minor serta otot levator scapulae,
10. Nervus supracaplaris, Berasal dari trunkus superior, mempersarafi
otot supraspinatus dan infraspinatus.
11. Nervusphrenicus, Nervus phrenicus mempersyarafi diafragma.
12. Nervus intercostalis
13. Nervus intercostobrachialis, Mempersyarafi kelenjar getah bening.
14. Nervus cutaneus brachii medialis, Nervus ini mempersarafi kulit sisi
medial lengan atas.
15. Nervus cutaneus antebrachii medialis, Mempersarafi kulit sisi medial
lengan bawah.
16. Nervus ulnaris, Mempersarafi satu setengah otot fleksor lengan bawah
dan otot-otot kecil tangan, dan kulit tangan di sebelah medial.
17. Nervus medianus, Memberikan cabang C5, C6, C7 untuk nervus
medianus.
18. Nervus musculocutaneus, Berasal dari C5 dan C6, mempersarafi otot
coracobrachialis, otot brachialis, dan otot biceps brachii. Selanjutnya
cabang ini akan menjadi nervus cutaneus lateralis dari lengan atas.
19. Nervusdorsalis scapulae, Nervus dorsalis scapulae bersal dari ramus
C5, mempersarafi otot rhomboideus.

6
20. Nervus transverses colli
21. Nervus nuricularis, Nervus auricularis posterior berjalan berdekatan
menuju foramen, Letakanatomisnya: sebelah atas dengan lamina
terminalis,
22. NervusSubcostalis, Mempersarafi sistem kerja ginjal dan letaknya.
23. Nervus Iliochypogastricus, Nervus iliohypogastricusberpusat pada
medulla spinalis.
24. Nervus Iliongnalis, Nervus yang mempersyarafi system genetal, atau
kelamin manusia.
25. Nervus Genitofemularis, Nervus genitofemoralis berpusat pada
medulla spinalis L1-2, berjalan ke caudal, menembus m. Psoas major
setinggi vertebra lumbalis ¾.
26. Nervus Cutaneus Femoris Lateralis, Mempersyarafi tungkai atas,
bagian lateral tungkai bawah, serta bagian lateral kaki.
27. NervusFemoralis, Nervus yang mempersyarafi daerah paha dan otot
paha.
28. NervusGluteus Superior, Nervus gluteus superior (L4, 5, dan paha,
walaupun sering dijumpai percabangan dengan letak yang lebih
tinggi.
29. Nervus Ischiadicus, Nervus yang mempersyarafi pangkal paha
30. NervusCutaneus Femoris Inferior, Nervus yang mempersyarafi
bagian (s2 dan s3) pada bagian lengan bawah.
31. Nervus Pudendus, Letak nervus pudendus berdekatan dengan ujung
spina ischiadica. Nervus pudendus, Nervus pudendus menyarafi otot
levator ani, dan otot perineum(ke kiri / kanan), sedangkan letak
kepalanya dibuat sedikit lebih rendah.

B. Definisi
Trauma Captis atau Cidera Kepala adalah kerusakan neurologis yang
terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung
maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2005).

7
Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) terdiri atas
kerusakan primer dan sekunder. Kerusakan primer terjadi akibat benturan,
menyebabkan laserasi permukaan dan kontusio pada jaringan dan pembuluh
darah otak. Kerusakan sekunder terlihat setelah enema muncul, yang
meningkatkan tekanan intracranial dan menyebabkan hipoksia. Infeksi terjadi
sebagai akibat dari kontaminasi organisme yang masuk dari cedera tembus atau
cedera intracranial akibat naiknya organisme dari rongga hidung atau mulut
(Hurst, 2016).

C. Tanda dan gejala


Menurut Price (2005) Tanda dan gejalanya yaitu:
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Menurut Hurst (2016) tanda dan gejala traumatic brain injury bergantung
pada jenis derajat kerusakan di dalam otak setelah cedera traumatis, nilai GCS
(Glasgow Come Scale) pasien beragam sesuai dengan kemampuannya untuk
terjaga, memproses informasi, dan mengikuti perintah. GCS merupakan alat
baku yang telah distandarisasi untuk mengukur, merekam, dan menyampaikan
tingkat keparahan trauma otak dengan cepat kepada anggota tim tenaga
kesehatan lain. GCS menetapkan angka 3 hingga 15 berdasarkan tiga kategori
perilaku pasien yang diobservasi:
1. Membuka mata = berkisar dari 1 (tidak ada respons) hingga 4 (spontan)

8
2. Motorik = berkisar dari 1 (tidak ada respons) hingga 6 (mengikuti perintah)
3. Verbal = berkisar dari 1 (tidak ada respons) hingga 5 (percakapan memiliki
orientasi yang tepat)
Jumlah setiap kategori ditotal untuk mendapatkan nilai GCS, ketika
mengevaluasi nilai GCS pasien, catatan: jika kurang dari 8, lakukan intubasi,
karena pasien ini umumnya memerlukan ventilasi akibat keparahan cedera otak
traumatis (TBI) meraka.
TBI Ringan TBI Sedang TBI Berat
Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis
mengungkapkan adanya dapat menunjukkan dapat mengungkap
konkusio dengan nilai adanya cedera koup- terjadinya fraktur
GCS normal (14-15) dan kontrakoup: kontusio tengkorak, kontusio
kerusakan otak yang yang disetai intracranial, hematoma
minimal hingga tidak kemungkinan atau robekan otak
terjadi kerusakan pembentukan dianggap berat. Cedera
hematoma ekstra- aksonal difusi dapat
aksial (epidural, terjadi nilai GCS
subdural) seberat 8 atau kurang
nilai gcs (9-13), tetapi
dapat meburuk
kemudian kerana
cedera sekunder
Tanda dan gejala pasien Tanda dan gejala pada tanda dan gejala pasien
mecakup:
pasien mencakup: menunjukkan:
1. Kemungkinan
kehilangan 1. Kemungkinan 1. Pola kehilangan
kesadaran
hilangnya kesadaran, terjaga
2. Tidak ada
bukti trauma kesadaraan sesaat selama interval
eksternal
2. Kemungkinan pola pikir yang
langsung
3. Sadar dan kejang pasca jernih, dilanjutkan
tergaja
trauma sesaat dengan penurunan
4. Sakit kepala

9
Geja sindrom 3. Sakit kepala fungsi kesadaran
pascakonkusif
memburuk kembali
adalah:
1. Waktu reaksi 4. Biasanya terdapat 2. Paralisis atau
yang lebih
trauma pada kelamahan pada
lama
2. Peningkatan wajah sisi yang
distraktibilitas
5. Defisit neurologis berlawanan
3. Penurunan
rentang fokal terhadap cedera
perhatian
6. Mual dan muntah (kontralateral)
4. Penurunan
kosentrasi 7. Gelisah 3. Dilatasi pupil di
5. Gangguan
8. Agitasi sisi yang sama
keseimbangan
dan 9. Mudah marah dengan cedera
koordinasi
10. Kebingungan (ipsilateral)
6. Penurunan
memori 11. Kehilangan 4. Kesulitan bernapas
7. Pusing
memori Refleksi cushing (juga
8. Tinitus
9. Sendivitas disebut fenomena
sensori
chusing), yang terdiri
10. Gangguan
tidur atas tiga tanda klinis
(traid):
1. Hipertensi
2. Bradikardi
3. Penurunan
pernapasan
Fenomena chusing
berarti tekanan
intracranial (TIK) yang
teramat tinggi dan
dapat menjadi
peringatan terjadinya
sindrom herniasi.

10
D. Klasifikasi
Menurut Hurst (2016) TBI di klasifikasikan sebagai TBI terbuka dan tertutup.
Luka terbuka benar-benar menembus tengkorak, tetapi tengkorak utuh pada
cedera kepala tertutup. Jenis cedera spesifik yang terjadi pada TBI terdiri atas:
1. Fraktur tengkorak: fraktur sederhana, remuk, depresi (atap tengkorak
cekung ke dalam) atatu basilar (pada dasar tengkorak).
2. Cedera coup-countrecoup: otak naik dengan cepat hingga menghantam
kubah cranial bagian dalam, dan kemudian terhempas ke belakang pada arah
yang berlawanan, menghasilkan cedera pada kedua sisi, menyebabkan
memar otak, dan merobek pembuluh darah.
3. Konkusi: disfungsi neurologi sementara tanpa kerusakan otak structural atau
residual.
4. Kontusio: memar pada jaringan otak dalam satu atau beberapa area tempat
otak bersentuhan dengan bagian dalam tulang tengkorak yang keras.
5. Hematoma: perdarahan epidural, subdural atau intraserebral kedalam ruang
tetutup
6. Cedera aksonal difus: sel saraf di dalam substansia alba otak teregang dan
robek

E. Etiologi
Penyebab umum cedera otak traumatis adalah (Hurst, 2016) :
1. Kecelakaan lalu lintas atau berkendara (termasuk kendraan mobil, sepeda
motor, dan kendaraan off-road)
2. Gaya akselerasi/deselerasi pada kepala, seperti cedera olahraga (sepak bola)
atau sindrom bayi terguncang (shaken baby syndrome).
3. Setiap benturan langsung ke kepala, yang dapat berupa cedera tak sengaja
dalam olahrga atau akibat tindakan kekerasan.
4. Cedera akibat ledakan atau luka tembak, seperti yang dialami oleh tentara
selama perang.
Menuut Price (2005), etiologi dikelompokan berdasarkan mekanisme injury:
1. Trauma tumpul.

11
2. Trauma tajam (penetrasi).

F. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak (Price, 2005).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi (Price, 2005).
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”
dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak

12
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya (Price,
2005).

13
G. Pathway
Trauma Kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya kontinuitas Resiko pendarahan Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak


Jaringan Kulit, Otot, dan jaringan tulang (kontusio laserasi)
Vaskuler

- Perubahan autoregulasi
- Oedema serebral
Perdarahan Hemastoma Gangguan Suplai Darah Resiko Infeksi Nyeri Akut
Kejang
Iskemia
Kerusakan memori

Peningkatan TIK Hipoksia


Resiko ketidakefektifan Gangguan neurologis - Bersihan jalan nafas
perfusi jaringan otak vokal - Obstruksi jalan nafas
- Dispnea
Gilus medialis lobus - Mual muntah
Temporalis tergeser - Papilodema - Henti nafas
Defisit neurologis
- Pandangan kabur - Perubahan pola nafas
Resiko kekurangan
- Penurunan fungsi volume cairan
- Pendengaran
Herniasi unkus - Nyeri kepala Gangguan persepsi
sensori Ketidakefektifan bersihan
Kompresi medulla
jalan nafas
oblongata

Resiko cedera Tonsil cerebrum bergeser


Mesenfalon tertekan

Imobilisasi Hambatan mobilitas fisik 14


Gangguan kesadaran
Ansietas
H. Penatalaksanaan
Menurut Price (2005) penatalaksanaan terapi pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Prioritas untuk pasien dengan TBI berat adalah dengan menggunakan
pendekatan perlangkah dan mencakup langkah-langkah berikut ini (Hurst,
2016):
1. Amankan jalan napas dengan intubasi dan ventilasi dengan cepat dan
berurutan, terutama jika terdapat agitasi dan perilaku melawan
2. Petahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg dengan memberikan cairan
dan produk darah karena pasien trauma cenderung akan mengalami cedera
lain.
3. Bagian agens yang telah diresepkan (misalnya, monitol atau salin
hipertonik) untuk mengurangi pembengkakan otak dan TIK
4. Berikan profilaksis kejang (benzodiazepine aksi cepat seperti lorazepam
atau diazepam) sesuai yang diresepkan.
Cedera otak traumatic ringan hingga sedang memerlukan pemantauan ketat
untuk mendeteksi perburukan yang dapat terjadi pada cedera sekunder.
1. Pengkajian selalu menjadi fase yang utama dalam pengkajian
keperawatan, dan pengkajian “saraf” yang menjadi prioritas adalah tingkat
kesadaran.
2. Lakukan pemeriksaan neurologi secara berkala (biasanya tiap dua jam):
pupil, refleks, tanda-tanda vital, dan tingkat kesadaran.
3. Hitung dan catat nilai GCS pada setiap pemeriksaan neurologi.

15
4. Selain observasi nilai GCS, juga harus memperhatikan adanya perubahan
perilaku atau perubahan kognisi.
5. Rentang perhatian, kosentrasi dan memori dapat dipantau dengan
percakapan selama lima menit saat memeriksa tanda-tanda vital.
6. Ajukan pertanyaan yang dapat mengevaluasi adanya perubahan gaya
bicara dan bahasa pasien.
7. Efek, suasana hati dan perilaku harus diperhatikan pada setiap
pemeriksaan saraf yang telah dijadwalkan.
8. TBI berat akan memerlukan pemantauan tekanan intracranial dalam
tatanan perawatan intensif.
9. Risiko infeksi akibat pemantauan TIK (kateter ventrikel atau skrup
subrakhnoid) memerlukan balutan kering dan sambungan yang ketat setiap
waktu.
10. Tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure (CPP)) dihitung
dengan mengurangi TIK dari tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure (MAP)).
11. Setiap drainase dari telinga, hidung atau balutan disekitar kepala diperiksa
untuk melihat adanya glukosa guna mengidentifikasi adanya cairan
cerebrospinal.

I. Komplikasi
Cedera otak ringan menyebabkan perubahan perilaku, pola pikir, persepsi
sensori, suasana hati, dan emosi akibat perubahan structural yang tidak terdeksi
dengan MRI konvensional. Karena cedera otak menyebabkan gejala yang
mencakup semua aspek kehidupan, pasien dapat mengalami (Hurst, 2016) :
1. Depresi
2. Ide bunuh diri
3. Kejang
4. Kerusakan kognitif
5. Perubahan gaya berjalan dan mobilitas
6. Kurang tidur

16
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Mengkaji riwayat kesehatan mencakup:
1. Waktu terjadinya cedera, Apakah terjadi ketidaksadaran, GCS berfungsi
sebagai petunjuk yang baik sekali untuk mengkaji tingkat kesadaran untuk
yang didasarkan pada tiga kriteria yaitu membuka mata, respon verbal,
respons motorik terhadap perintah verbal atau rangsangan yang
menimbulkan nyeri.
2. Pantau tanda-tanda vital
a. Pantau pada interval yang sering untuk mengkaji status intracranial.
b. Kaji peningkatan TIK termasuk pelambatan denyut, peningkatan
tekanan sistolik, dan pelebaran tekanan denyut.
c. Jaga suhu dibawah 38°C untuk menghindari kebutuhan metabolisme
yang menigkat pada otak
d. Takikardia dan hipotensi dapat mengindikasikan perdarahan di suatu
tempat dalam tubuh
3. Fungsi motorik
a. Amati gerakan yang spontan, mintalah pasien untuk mengangkat dan
menurunkan ekstremitas, bandingkan kekuatan dari pegangan tangan
pada interval periodic
b. Catat ada atau tidak adanya gerakan yang spontan dari masing-masing
eksremitas.
c. Kaji respons-respons terhadap rangsangan yang menimbulkan nyeri
pada tidak adanya gerakan spontan, respon yang abnormal
menunjukkan prognosis yang buruk
d. Tentukan kemampan pasien untuk bicara, catat kualitas pembicaraan
4. Tanda pada mata
a. Evaluasi pembukaan mata yang spontan
b. Evaluasi ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya pupil (pupil yang
berdilatasi tidak sama dan pupil yang merespons dengan buruk dapat

17
mengindikasikan hematoma). Jika kedua pupil dilatasi biasanya
mengindikasikan cedera dan prognosis yang buruk
5. Pantau komplikasi (edema serebral dan herniasi)
a. Memburuknya kondisi dapat disebabkan oleh hematoma intracranial
yang melebar, edema otak yang progresif dan herniasi otak.
b. Puncak pembengkakan terjadi pada kira-kira 72 jam setelah cedera
yang menyebabkan peningkatan TIK.
c. Lakukan tindakan untuk mengendalikan TIK: angkat kepala dari
tempat tidur setinggi 30 derajat, pertahankan kepala dan leher segaris
(tidak boleh ada pelipatan), gunakan obat-obatan untuk menurunkan
TIK, pertahankan suhu normal, pertahankan pembatasan cairan,
hindari rangsang yang mencemaskan
6. Pantau komplikasi lain
a. Komplikasi lain mencakup infeksi sistemik atau infeksi bedah neuro
contohnya infeksi luka atau meningitis
b. Setelah cedera beberapa pasien mengalami paralisis saraf lokal
(setempat) seperti anosmia yaitu tidak adanya indera penciuman atau
abnormalitas pergerakan mata dan defek neurologis fokal seperti
afasia (gangguan ingatan) dan kejang-kejang
c. Pasien dapat mengalami defisit psikososial organic dan tidak ada
respons emosional.

B. Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Penurunan kapasitas adaptif intracranial berhubungan dengan cedera otak
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

C. Rencana Asuhan Keperawatan

Rencana Keperawatan
Diagnosis Definisi:
Keperawatan:

18
Penurunan Mekanisme dinamika cairan intracranial yang
kapasitas adaptif normalnya melakukan kompensasi untuk meningkatkan
intracranial volume intracranial, mengalami gangguan yang
berhubungan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (TIK)
dengan cedera otak secara tidak proporsional dalam berespon terhadap
berbagai stimuli yang berbahaya dan tidak berbahaya
Batasan Tujuan dan Kriteria
Intervensi (NIC)
karakteristik Hasil (NOC)
Status Sirkulasi : Monitor tekanan
1. Bentuk intracranial
gelombang Setelah dilakukan 1. Bantu menyisipkan
tekanan tindakan keperawatan, perangkat pemantauan
intracranial (TIK) diharapkan tidak terjadi TIK
menunjukkan ketidakefektifan perfusi 2. Monitor kualitas dan
amplitude yang jaringan serebral, karakteristik gelombang
tinggi dengan kriteria hasil: TIK
2. Kenaikan bentuk 1. Tekanan intrakranial 3. Monitor tekanan aliran
gelombang tidal tidak terganggu darah otak
wave intracranial 2. Tekanan darah 4. Monitor status neurologis
pressure (P2 TIK) dalam rentang 5. Letakkan kepala dan leher
3. Peningkatan normal pasien dalam posisi
tekanan 3. Tingkat kesadaran netral, hindari fleksi
intracranial (TIK) membaik pinggang yang berlebihan
> 10 mmHg 4. Komunikasi yang 6. Sesuaikan kepala tempat
secara berulang tepat dengan situasi tidur untuk
selama lebih dari mengoptimalkan perfusi
5 menit setelah serebral
adanya berbagai
stimuli eksternal Monitor Tanda-tanda Vital
4. Peningkatan 1. Monitor tekanan darah,
tekanan nadi, suhu, dan status
intracranial (TIK) pernafasan dengan tepat
tidak proporsional 2. Monitor tekanan darah
setelah terjadi setelah pasien minum obat
stimulus jika memungkinkan
5. Tekanan 3. Monitor pola pernapasan
intracranial (TIK) yang abnormal
dasar ≥ 10 mmHg
6. Uji respons Manajemen sensasi perifer
tekanan volume 1. Monitor adanya daerah
yang beragam tertentu yang hanya peka
(volume: rasio terhadap panas atau dingin,
tekanan 2, indeks tajam atau tumpul
volume tekanan < 2. Batasi gerakan pada
10) kepala, leher, dan
punggung

19
Faktor yang 3. Monitor kemampuan BAB
berhubungan 4. Kolaborasi pemberian
1. Cedera otak (mis., analgesik
kerusakan 5. Monitor adanya
serebrovaskuler, tromboplebitis
penyakit
neurologis,
trauma, tumor)
2. Hipotensi
sistemik disertai
hipertensi
intracranial
3. Peningkatan
tekanan
intracranial (TIK)
secara kontinu 10-
15 mmHg
4. Penurunan perfusi
serebral ≤ 50-60
mmHg
Rencana Keperawatan
Diagnosis Definisi:
Keperawatan: Rentan mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak
Risiko yang dapat mengganggu kesehatan
ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Batasan Tujuan dan Kriteria
Intervensi (NIC)
karakteristik Hasil (NOC)
Faktor Risiko Perfusi jaringan: Monitor neurologi
serebral (0406) (2020):
7. Agens 1. Tekanan intrakranial 1. Monitor tingkat
farmaseutikal dipertahankan dalam kesadaran
8. Aterosklerosis kisaran normal/level 5 2. Memonitor tingkat
aortic (040602) orientasi
9. Baru terjadi infark 2. Tekanan darah sistolik 3. Monitor
miokardium dipertahankan dalam kecenderungan GCS
10. Diseksi arteri kisaran normal/level 5 4. Monitor ingatan saat
11. Embolisme (040613) ini, rentang perhatian,
12. Endocarditis 3. Tekanan darah ingatan di masa lalu,
infektif diastolic dipertahankan suasana perasaan, afek
13. Fibrilasi atrium dalam kisaran dan perilaku
14. Hiperkolesterolem normal/level 5 5. Monitor tanda-tanda
ia (040614) vital : suhu, tekanan
15. Hipertensi 4. Nilai rata-rata tekanan darah, denyut nadi, dan
darah dipertahankan respirasi

20
16. Kardiomiopati dalam kisaran 6. Monitor status
dilatasi normal/level 5 pernapasan : nilai
17. Katup prostetik (040617) ABG, tingkat
mekanis 5. Sakit kepala menurun oksimetri, kedalaman,
18. Koagulasi dari level berat/1 pola, laju/tingkat, dan
intravascular menjadi level tidak usaha bernafas
diseminata ada/5 7. monitor reflex batuk
19. Koagulopati (mis., 6. Kegelisahan menurun dan muntah
anemia sel sabit) dari level berat/1 8. monitor tonjolan lidah
20. Masa protombin menjadi level tidak 9. monitor gangguan
abnormal ada/5 visual: diplopia,
21. Masa 7. Kelesuan menurun dari nistagmus,
tromboplastin level berat/1 menjadi penyempitan lapangan
parsial abnormal level tidak ada/5 pandang, penglihatan
22. Miksoma atrium 8. Kecemasan yang tidak kabur, dan ketajaman
23. Neoplasma otak dijelaskan menurun visual
24. Penyalahgunaan dari level berat/1 10. catat keluhan sakit
zat menjadi level tidak kepala
25. Segmen ventrikel ada/5 11. monitor karakteristik
kiri akinetik 9. Agitasi menurun dari berbicara : kelancaran,
26. Sindrom sick sinus level berat/1 menjadi adanya aphasia, atau
27. Stenosis carotid level tidak ada/5 kesulitan menemukan
28. Stenosis mitral 10. Muntah menurun dari kata
29. Terapi trombolik level berat/1 menjadi 12. hindari kegiatan yang
30. Tumor otak (mis., level tidak ada/5 bisa meningkatkan
gangguang 11. Cegukan menurun dari tekanan intracranial
serebrovaskular, level berat/1 menjadi
penyakit level tidak ada/5
neurologis, 12. Demam menurun dari
trauma, tumor) level berat/1 menjadi
level tidak ada/5
13. Penurunan tingkat
kesadaran menurun
dari level berat/1
menjadi level tidak
ada/5

RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosis Definisi:
Keperawatan: Pengalaman sensori dan emosional tidak
Nyeri akut menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
aktual atau potensial atau yang digambarkan sebagai
kerusakan (international Association for the Study of
Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas

21
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi
Batasan Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
kerakteristik Hasil (NOC)
1. Bukti nyeri dengan 1. Kontrol nyeri Manjemen
menggunakan 2. Tingkat nyeri lingkungan:kenyamanan
standar daftar 3. Kepuasan klien: 1. Ciptakan lingkungan
periksa nyeri untuk manajemen nyeri yang tenang dan
pasien yang tidak 4. Nyeri:respon mendukung
dapat psikologis tambahan 2. Sesuaikan suhu
mengungkapkannya 5. Nyeri: efek yang lingkungan yang
(mis., Neonatal menggangggu nyaman untuk pasien
Infant Pain 6. Integritas kulit dan 3. Sesuaikan pencahaan
Assessment membran mukosa ruangan untuk
Checklist for 7. Perfusi jaringan membantu klien dalam
Senior with 8. Penyembuhan beraktivitas
Limited abiity tu luka:primer 4. Fasilitasi tindakan
Communicate) 9. Penyembuhan luka : kebersihan untuk
2. Diaforesis sekunder kenyamanan individu.
3. Dilatasi pupil 5. berikan edukasi
4. Ekspresi wajah Setelah dilakukan intervensi kepada keluarga
nyeri (misalkan selama 1x24 jam nyeri terkait manajemen
wajah kurang berkurang atau teratasi penyakit
bercahaya, tampak dengan kriteria hasil:
kacau, gerakan klien dapat Pengaturan posisi
mata berpencar atau 1. mengenali kapan terjadi 1. Berikan posisi yang
tetap pada satu nyeri tidak menyebabkan
fokus, meringis) 2. mengenali faktor nyeri bertambah
5. Megekspresikan penyebab nyeri 2. Tinggikan kepala
perilaku (mis., 3. melaporkan nyeri tempat tidur
gelisah, merengek, terkontrol 3. Posisikan pasien ntuk
menangis, 4. melaporkan jika meningkatkan
waspada) mengalami nyeri drainase urin
6. Perilaku distraksi 5. mengambil tindakan 4. Meminimalisir
7. Perubahan posisi untuk mengurangi nyeri gesekan dan cedera
untuk menghindari 6. melakukan manajemen ketikan memposisikan
nyeri nyeri sesuai dengan atau membalikkan
8. Perubahan selera keyakinan budaya tubuh pasien
makan 7. mengatasi rasa marah 5. Jangan berikan posisi
9. Putus asa terhdapat dampak nyeri yang dapat
10. Sikap melindungi yang menyebabkan menyebabkan
area nyeri ketidakmampuan penekanan pada luka.
11. Sikap tubuh 8. lesi pada kulit dan
melindungi membran mukosa Terapi relaksasi
berkurang 1. minta klien untuk
rileks

22
Faktor yang 9. suhu dalam batas normal2. ajarkan teknik
berhubungan (36-37,5 C) relaksasi napas dalam
1. Agen cedera 10. kulit wajah tidak pucat 3. Ciptakan lingkungan
biologis (mis., 11. peradangan pada luka yang tenang
infeksi, iskemia, berkurang 4. Berikan waktu yang
neoplasma) 12. menunjukkan terjadi tidak terganggu
2. Agen cedera fisik ( pembentukan bekas luka
mis., abses, 13. terdapat jaringan Pemijatan
amputasi, luka granulasi 1. Cuci tangan dengan
bakar, terpotong, 14. eritema disekitar luka air hangat
mengangkat berat, 2. Gunakan lotion,
prosedur bedah, minyak hangat, bedak
trauma, olah raga kering
belebihan) 3. Pijat secara terus-
3. Agen cedera menerus, halus,
kimiawi (mis., luka usapan yang panjang,
bakar, kapsaisin, meremas, atau getakan
metilen klorida, di telapak kaki
agen mustard) 4. Sesuaikan area
pemijatan, teknik dan
tekanan sesuai
persepsi kenyamanan
pasien.
5. Dorong klien
melakukan nafas
dalam dan rileks
selama pemijatan.

Tindakan kolaborasi:
Terapi oksigen
1. Bersihkan mulut,
hidung dan sekresi
2. Pertahankan
kepatenan jalan napas
3. Siapkan peralatan
oksigen dan berikan
melalui sitem
humidifier
4. Berikan oksigen
tambahan sesuai
instruksi
5. Monitoring aliran
oksigen

23
6. Pantau adanya tanda-
tanda keracunan
oksigen
7. Monitor kerusakan
kulit terhadap gesekan
perangkat oksigen.

Pemberian obat
1. Kaji adanya riwayat
alergi terhadap obat
tertentu
2. Pastikan mengikuti
prinsip 6 benar
pemberian obat
3. Cek tanggal
kadaluarsa obat
4. Monitor respon klien

24
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (NIC). United States of America:
Elsevier.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses:
Defenitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier.
Hurst, M. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Price and Wilson. (2005). Patofisiologi. Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC.
Snell. Richard S. (2009). Neuroanatomi Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai