Anda di halaman 1dari 35

A.

Konsep BPH
1. Definisi
Pembesaran jinak kelenjar prostat adalah proses yang sangat umum terjadi pada
hampir semua laki-laki dengan testis yang berfungsi. Istilah pembesaran prostat jinak
didefinisikan sebagai pertumbuhan prostat yang cukup untuk mengobstruksi
(menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebaban gejala saluran kemih bawah
(LUTS) yang mengganggu, infeksi saluran kemih (ISK), hematuria atau gangguan
fungsi saluran kemih atas. Namun demikian, istilah hiperplasia prostat jinak (BPH),
yang didefinisikan sebagai pertumbuhan histologis nonmaligna elemen glanduler
prostat. Benigna Prostatic Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum pada sistem
genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah
sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam kelenjar prostat (Andre, Terrence &
Eugene, 2011). Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat yang mengalami
pembesaran, yang dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo 2011).

2. Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi BPH hanya dimengerti sebagian. Walaupun pembesaran prostat hampir
pada umumnya dialami oleh laki-laki dengan testis yang berfungsi, didapatkan bahwa
hal ini terjadi setelah orkiektomi bilateral. Walaupun androgen, dan terutama
testosteron, bukan penyebab langsung BPH, keberadaannya sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan prostat normal serta BPH.
Analisis prospektif terhadap 2115 laki-laki dari Olmstead Country, Minnesota,
menunjukkan bahwa walaupun laki-laki dengan diabetes melitus cenderung
mengalami LUTS yang mengganggu dibandingkan laki-laki non-diabetes, mereka
menunjukkan peningkatan ukuran prostat yang diragukan. Aktivitas flsik telah
diketahui memberikan efek protektif terhadap pembesaran prostat, kemungkinan
karena efek tidak langsung terhadap obesitas. Penelitian yang dilakukan pada RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou didapatkan bahwa pasien BPH terbanyak pada tahun 2016
yaitu 15 pasien (38,46%), disusul tahun 2014 sebanyak 11 pasien (28,21%), dan tahun
2017 sebanyak 10 pasien (25,64%), dan yang paling sedikit tahun 2015 sebanyak 3
pasien (7,69%). Hasil ini menunjukkan bahwa tahun 2016 dengan angka kejadian
BPH tertinggi. Pasien BPH dengan jumlah tertingg yaitui pada kelompok usia 61-70
tahun 18 pasien (46,15%). Sekitar 5 juta laki-laki di Indonesia berusia 60 tahun
menderita gejala saluran kemih bagian bawah akibat BPH. Gejala awal BPH
meningkat 50% pada usia 60 tahun dan akan sangat tinggi 90% pada usia >80 tahun.
Etiologi yang belum jelas maka terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
timbulnya BPH meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem. (Purnomo,
2011).
a) Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) di
bawah pengaruh enzim 5α -reduktase. DHT adalah bentuk aktif testosteron yang
mendukung pertumbuhan dan perkembangan prostat selama kehidupan, dan
prostat tetap sensitif terhadap produksi androgen selama kehidupan untuk
mempertahankan ukuran dan fungsi prostat.
Saat laki-laki menjadi tua dan pembesaran prostat terjadi, kadar 5α -
reduktase dan DHT tetap serupa dengan yang tampak pada laki-laki lebih muda,
namun bukti terbaru menunjukkan bahwa keseimbangan antara kedua bentuk
enzim dapat terganggu, yang berkontribusi terhadap pembesaran prostat.
(Brunner & Suddarth, 2002)
b) Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan
kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-
sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
c) Faktor interaksi Stroma dan epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth faktor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun
sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma
karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
d) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
e) Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon androgen
kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
3. Manifestasi Klinis
Obstruki prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih (Arora P. Et al,2006).
a) Gejala iritatif meliputi :
1) Peningkatan frekuensi berkemih
2) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
4) Nyeri pada saat miksi (disuria)
b) Gejala obstruktif meliputi :
1) Pancaran urin melemah
2) Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
3) Kalau mau miksi harus menunggu lama
4) Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
5) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
6) Urin terus menetes setelah berkemih
7) Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
8) Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.
9) Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

4. Patofisiologi
Bukti histologis pembesaran prostat saja tidak menegakkan masalah yang
relevan secara klinis. Selain itu, gangguan klinis yang berkaitan dengan BPH terjadi
jika pembesaran ini mengobstruksi jalan keluar kandung kemih, menyebabkan LUTS
yang mengganggu, peningkatan risiko infeksi saluran kemih, dan mengganggu fungsi
saluran kemih atas. Dua proses menyebabkan obstruksi ini: hiperplasia dan hipertrofi.
Hiperplasia berawal pada sel-sel glanduler (stromal) di dekat uretra-zona transisi. Pada
tingkat mikroskopik, hiperplasia prostat tampak noduler, namun efek pada palpasi
adalah pembesaran kelenjar simetris yang bebas dari karakteristik nodus yang
terpalpasi pada kanker prostat. Obstruksi terjadi saat hiperplasia menyempitkan lumen
dari segmen uretra yang melalui prostat. Obstruksi juga terjadi saat prostat melampaui
di atas leher kandung kemih, menurunkan kemampuannya untuk menyalurkan urine
sebagai respons terhadap miksi, dan saat pertumbuhan dari lobus median prostat
meluas ke dalam uretra prostatika. BPH juga dipengaruhi oleh kapsul prostat (jaringan
ikat yang menutupi kelenjar); pada sebagian laki-laki kapsul ini memungkinkan
hiperplasia meluas keluar, meningkatkan ukuran prostat, selanjutnya tingkat keparahan
kompresi uretra dan obstruksi urine. Hipertrofi otot polos prostat juga berkontribusi
terhadap obstruksi uretra melalui tekanan aktif dan pasif. Hiperplasia prostat disertai
dengan hipertrofi otot polos kelenjar. Hipertrofi otot polos memicu obstruksi urine
dengan meningkatkan tonus otot pada leher kandung kemih dan uretra proksimal
(prostatika) dan meningkatkan secara mekanis jaringan yang mengonstriksi lumen
uretra.
Respon awal kandung kemih terhadap peningkatan resistensi uretra terhadap
aliran keluar adalah meningkatkan kekuatan kontraksi detrusor. Strategi ini sering kali
berhasil pada awalnya, sehingga banyak laki-laki yang melaporkan hilangnya LUTS
yang mengganggu yang dapat menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Namun, pertumbuhan prostat lebih lanjut dan eksaserbasi obstruksi uretra pada
akhirnya melampaui kemampuan otot detrusor untuk memastikan evakuasi kandung
kemih yang efektif melalui miksi. Hasilnya dapat berupa penurunan kekuatan aliran
urine, dan perasaan tidak lampias walaupun setelah berkemih. Selain LUTS ini, laki-
laki cenderung memperhatikan LUTS yang memengaruhi penyimpanan kandung
kemih, frekuensi berkemih pada siang hari, nokturia, dan urgensi. JIika klien tidak
mencari bantuan untuk LUTS ini dan proses pembesaran prostat berlanjut, detrusor
akan berdekompensasi menyebabkan volume residual urine, dan pada akhirnya
kelemahan kontraksi otot, bahkan setelah obstruksi uretra hilang.
Jika obstruksi yang berkaitan dengan BPH berkepanjangan dan parah, klien
akan mengalami gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal. Untungnya, kondisi ini,
kadang disebut sebagai prostatisme tersembunyi, hanya menyerang sebagian sangat
kecil laki-laki yang mengalami BPH (yaitu kurang dari 1%).
Infeksi saluran kemih dan hematuria juga dapat berkaitan dengan BPH.
Obstruksi jalan keluar kandung kemih dan retensi urine meningkatkan risiko ISK.
Risiko ini paling besar jika dilakukan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah transuretral,
yang memungkinkan bakteri di dalam asinus prostat mencapai kandung kemih. Retensi
dan obstruksi urine juga dapat mempersulit terapi ISK karena pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap mengganggu evakuasi urine, bakteri, dan toksin dari
kandung kemih.
Patofisiologi dari hematuria oleh BPH tidak sepenuhnya dimengerti. Diketahui
bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) adalah bagian dari hiperplasia dan
bahwa pembuluh ini rentan terhadap kerusakan dan perdarahan. Perdarahan yang
berkepanjangan juga dapat terjadi setelah kateterisasi, sistoskopi, atau bedah prostat
transuretral. Insiden hematuria pada laki-laki dengan BPH tidak diketahui, namun
tercatat bahwa hematuria adalah indikasi utama pembedahan transuretral pada BPH
pada 12% pria yang terdiagnosis BPH.

5. Pathway

6. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan penunjang (Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI))


Pemeriksaan lainya yang bisa membantu penegakan diagnosis BPH
adalah USG ginjal ( melihat komplikasi) dan vesika urinaria (tampak
pembesaran jaringan prostat). Pemeriksaan uroflowmetri sangat penting
dengan melihat pancaran urin.berikut penilaian dari pemeriksaan
uroflowmwtri :
a) Flow rate maksimal > 15ml/detik = non ostruktif
b) Flow rate maksimal 10-15ml/detik = border line
c) Flow rate maksimal < 15ml/detik = obstruktif.
Pemeriksaan penunjang antara lainnya :
d) BNO/ IVP : untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.
e) USG dengan Transuretral Ultrasonografi prostat (TRUS P) unruk
menentukan volume prostat.
f) Trans-abdomal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol
ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi
apabila ada batu dalam vesika.
g) Dilakukan pemeriksaan colok dubur (rektaltuse) untuk merasakan /
meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan inni bias diketahui adanya
pembesaran prostat. Benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri
tekan (menunjukan adanya infeksi).
- Grade 0 : Penonjolan prosrat 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Uretrosistoskopi, pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaaan uretra
prostatika dan buli-buli. Uretrosistoskopi dilakukan pada saat akan dilakukan tindakan
pembedahan untuk menentukan tindakan yang akan diambil yakni TUIP, TURP atau
prostatektomi terbuka.

Pemeriksaan laboratorium
h) Hasil Pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan adanya kelainan,
kecuali disertai dengan urosepsis yaitu adnya peningkatan leukosit.
i) Pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada
kultur jika ada infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi reptur pada
jaringan prostat.
j) Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau
TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urin akut
dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal
berdasarkan usia adalah:

- 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml


- 50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
- 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
- 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml

7. Penatalaksaan berdasarkan Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)


a. Waiting Watchful,
Waiting artinya klien tidak mendapatkan terapi apapun namun perkembangan
penyakitnya selalu di pantau oleh dokter. Pada watchful waiting ini, klien
diberikan penjelasan mengenai hal yang dapat memperburuk keluhannya,
misalnya mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, membatasi
konsumsi obat-obatan influenza yang mengandung fenilpropanolamin, makan
makanan pedas dan asin, dan menahan kencing yang terlalu lama. Setiap 6 bulan,
klien diminta untuk memeriksakan diri dan memberitahukan mengenai perubahan
keluhan yang dirasakannya. Watchful waiting dilakukan jika klien belum
bermasalah dengan pembesaran prostat yang dialami
b. Medikamentosa
Terapi medikasi dilakukan jika BPH mulai bergejala dan mencapai tahap
tertenu. Dalam pengobatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya
jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dasar pertimbangan terapi, dan
evaluasi selama pemberian obat. Beberapa obat yang biasa digunakan adalah
antagonis adregenik α yang bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat
sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Beberapa obat
dari golongan antagonis adregenik α diantaranya pirazosin, terazosin (Hytrin,
Hytroz), doksazosin (Cardura), dan tamsulosin (Harnal Ocas, Flomax). Selain itu
ada obat dari golongan inhibitor 5 α-reduktase yang bekerja dengan cara
menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) contoh obat, Prostacom,
Alopros, Finpro. Phospodhytrase 5 Enzyme Inhibitors diantaranya tadalafil
(Cialis, Slidenafil),

c. Tindakan operasi
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP) prosedur pembedahan yang
dilakukan melalui endoskopi TURP dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada
lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit
jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat
dicegah dan kebutuhan waktu tidak terlalu lama.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih.
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara
memasukkan instrumen melalui uretra. Keuntungannya berupa tindakan lebih
cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko ejakulasi retrograde lebih rendah
(25%).
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang
apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk
adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang
menancap dijaringan prostat. (Sjamsuhidajat, 2011).

8. Konsep Askep
b. Pengkajian
1) Data demografi ( Nama,TTL, Pekerjaan, Jenis kelamin: ( Hanya dialami oleh
seorang laki laki )
2) Alasan masuk rumah sakit:
Biasanya pasien mecngeluh nyeri pada saat miksi dan perasaan ingin
miksi yang mendadak saat miksi harus menunggu lama dan kencing terputus-
putus.
3) Keluhan utama:
Nyeri saat miksi
4) Upaya yang dilakukan:
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor untuk
merelaksasikan otot polos prostat dan salura kemih agar terbuka
5) Status kesehatan saat ini
a) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadikan alasan pasien karena biasanya
nyeri saat miksi, pasien juga sering mengeluh saat miksi, pasien juga
sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan), terbangun ingin miksi
saat malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, kalau
miksi harus menunggu lama, harus mkencing terputus putus.
b) Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien mengeluh nyeri saat miksi,pasien merasakan jika
inginmiksi harus menunggu lama, harus mengedan dan kencing
terputus-putus.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui
metode PQRST dalam bentuk narasi
- P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi
dan harus menunggu lama dan harus mengedan.
- Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan
hubungan seks.
- R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah
kandung kemih
- S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan
mengeluh sering BAK berulang-ulang.
- T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada
saat malam hari.
6) Riwayat kesehatan terdahulu
a) Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah
dirawat dirumah sakit sebelumnya.
7) Riwayat penyakit keluarga:
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita
penyakit yang sama dengan penyakit sekarang.
8) Riwayat pengobatan :
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu
merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan
lebih terbuka.obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan
kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunya kadar
testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil.
9) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
b) Kesadaran
Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering
dialami dikenal dengan istilah LUTS (lower urunary tract symtoms)
yaitu pancaran urin lemah, intermitensi,ada sisa urin pasca miksi,
urgensi, frekuensi dan disuria.
c) Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
- Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk
kompensasi dari nyeri yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis
dan adanya distensi bladder.
- Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang
dirasakan pasien.
- Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama
seiring ditemukan adanya tanda gejala urosepsis.
d) Pemeriksaan body sistem
e) Sistem pernafasan
- Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas, frekuensi pernafasan
- Perkusi : biasanya suara paru tetap resonan di kedua lapang paru
- Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
- Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas.
f) Sistem kardiovaskular
- Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak
maupun pemeriksaan pada inspeksi.
- Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
- Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi
yang didapatkan pada thorax adalah redup.
g) Sistem persyarafan
- Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya
infeksi dapat terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik.
h) Sistem perkemihan
- Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi
kandung kemih)
- Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada
ginjal. Dan pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder
dan terdapat nyeri tekan.
- Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin
terdapat suara redup dikandung kemih karena terdapat residual
(urin).
i) Sistem pencernaan
- Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
- Abdomen : datar (simetris)
- Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
- Auskultasi : biasanya bising usus normal.
- Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran
permukaan halus.
- Perkusi ; tympani
j) Sistem integumen
- Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena
adanya tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun.
-
k) Sistem endokrin
- Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan
esterogen pada usia lanjut.
l) Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan
adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis
meatus. Pemeriksaan RC (rectal toucher) adalah pemeriksaan sederhana
yangpaling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya adalah untuk
menentukan konsistensi sistem persarafan unut vesiko uretra dan
besarnya prostate.
m) Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatkan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
n) Sistem pengindraan
- Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak
mengalami gangguan
o) Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH.

c. Diagnosa Keperawatan
1) Retensi urin b.d Peningkatan tekanan uretra
2) Nyeri Akut b.d agen pencedera biologis
3) Inkontinensia Urin Berlebih b.d ketidakadekuatan destrussor

B. Konsep TURP
1. Pengetian
Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Transurethral resection of the prostate (TURP) dapat dipakai sebagai criteria
standar untuk mengurangi “bladder outlet obstruction (BOO) secondary to BPH”.
TURP merupakan metode paling sering digunakan dimana jaringan prostat yang
menyumbat dibuang melalui sebuah alat yang dimasukkan melalui uretra (saluran
kencing). Merupakan salah satu jenis operasi endoskopi yang banyak dilakukan saat ini
adalah TURP (transurethral resection of the prostate) dimana kelenjar prostat dipotong
dengan cara dikerok dengan menggunakan energi listrik. Setelah TURP dipasang folley
kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml.
Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada
pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley
untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan
pendarahan. Ukuran kateter yang besar dipasang untuk memperlancar membuang
gumpalan darah dari kandung kemih.
2. Indikasi TURP
a) Pasien dengan gejala sumbatan menetap
b) Pembesaran prostat yang progesif dan tidak dapat di terapi dengan obat
c) Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran 30 – 60 gram dan
pasien cukup sehat.
3. Dampak TURP
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Timbulnya perubahan pemeliharaan
kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca turp. Adanya keluhan nyeri
karena spasme buli-buli memerlukan penggunaan antipasmodik sesuai terap
dokter.
b) Pola nutrisi dan metabolisme klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh
makan dan minum sebelum flatus
c) Pola eliminasi. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi
urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan
inkontinensia dapat terjadi setelah kateter dilepas.
d) Pola aktivitas dan latihan. Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang
lemah dan terpasang traksi keteter selama 6-24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e) Pola tidur dan istirahat. Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f) Pola kognitif dan perseptual. Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba
dan panghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP
g) Pola persepsi dan konsep diri. Klien dapat mengalami cemas karena kurang
pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP
h) Pola hubungan dan peran karena klien harus menjalani perawatan di RS, maka
dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja,
dan masyarakat.
i) Pola reproduksi sexual. Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan
ejakulasi retrograd.
4. Penatalaksanaan Post TURP
Continuous bladder irrigation adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk
mencegah formasi dan retensi clot sehubungan dengan dilakukannya TURP (Christine,
Ng, 2001). Afrainin, Syah (2010) menjelaskan Continuous Bladder Irrigation (CBI)
merupakan tindakan membilas atau mengalirkan cairan secara berkelanjutan pada
bladder untuk mencegah pembentukan dan retensi clot darah yang terjadi setelah
operasi transurethral resection of the prostate (TURP). Prosedur ini dilakukan dengan
memasukkan kateter threeway ke dalam uretra hingga ke kandung kemih. Prosedur ini
umumnya dilakukan pada 24 jam pertama post operasi TURP dan dilakukan sebagai
bagian dari perawatan post operatif post operasi TURP. Irigasi bladder tidak boleh
dianggap remeh oleh perawat karena risiko komplikasi yang dapat timbul seperti
perdarahan, retensi clot, infeksi genitourinari, dan kegagalan untuk mengosongkan
kandung kemih (Mebust, Holtgrewe, Cockett, and Petters, 1989 dalam Afrainin,
2010).Afrainin, Syah (2010) menyatakan bahwa penggunaan kateter tertutup dengan
aliran yang berkelanjutan dapat digunakan dengan kecepatan aliran yang
direkomendasikan 500 ml/jam. Normal saline juga sangat dianjurkan sebagai cairan
irigasi bukan glycine ataupun air steril, dengan kecepatan yang direkomendasikan
untuk mengurangi terjadinya hematuria. Air sebaiknya tidak digunakan sebagai cairan
irigasi, karena akan menyebabkan osmosis, dan akan mudah diabsorbsi dan
menyebabkan sindrom TUR.
Normal saline merupakan cairan yang paling baik karena merupakan cairan
isotonik dan tidak mudah diabsorbsi. Klien dengan irigasi kandung kemih harus
didokumentasikan intake dan output dalam sebuah chart irigasi bladder. Selain itu,
klien juga harus dipantau untuk mengetahui ada atau tidak hematuria dengan
memantau warna urin dan konsistensinya (Afrainin, 2010). Jika tidak terdapat
komplikasi, kecepatan aliran dapat dikurangi dan kateter dapat dilepas pada hari
pertama atau hari kedua post operasi. Pemantauan CBI penting untuk dilakukan guna
menghindari risiko yang mungkin terjadi. Risiko tersebut diantaranya infeksi saluran
kemih (Kennedy, 1984 dalam Afrainin, 2010), clot yang terkumpul yang dapat
menimbulkan obstruksi dan menyebabkan nyeri, kelebihan volume cairan, dan ruptur
kandung kemih (Gilbert and Gobbi, 1989 dalam Afrainin, 2010). Perawat bertanggung
jawab untuk memberikan perawatan klien yang efektif yang meliputi pemantauan
aliran berkelanjutan selama 24 jam masa kritis. Selain itu, perawat juga harus mampu
mengidentifikasi kateter yang tersumbat dan mengambil tindakan yang tepat untuk
mengatasi hal tersebut. Gilbert and Gobbi (1989) dalam Afrainin, Syah (2010)
menjelaskan tanda dari kateter yang tersumbat antara lain spasme kandung kemih,
kebocoran urin di sekitar kateter, distensi pada area suprapubik, terdapat clot pada
lumen. Selain itu, jumlah output drainase yang tidak sama dengan intake irigasi atau
klien mengeluh terdapat keinginan yang mendesak untuk BAB (Afrainin, 2010).
5. Komplikasi
a. Impotensi (disfungsi ereksi)
Efek dari pembengkakan prostat yang pertama adalah impotensi. Impotensi atau
disebut juga disfungsi ereksi merupakan kesulitan mencapai atau
mempertahankan ereksi (penis mengeras saat terangsang). Meskipun kondisi ini
umumnya disebabkan oleh masalah kesehatan lain seperti penyakit jantung,
diabetes, kadar testosteron yang rendah, serta masalah psikologis tertentu,
pembengkakan prostat bisa jadi salah satu pemicunya.
Selain itu, kondisi ini biasanya diakibatkan oleh prosedur transurethral resection
of the prostate (TURP). Prosedur bedah ini memang biasanya dilakukan pada
pasien BPH. Dikutip dari Healthline, sekitar 5-10 pria mengalami impotensi
setelah menjalani pembedahan ini.
Selain prosedur TURP, obat untuk mengobati pembengkakan prostat yakni
alpha blocker juga dapat menyebabkan kesulitan ejakulasi dan disfungsi ereksi.
Alpha blocker seperti doxazosin (Cardura) dan terazosin (Hytrin) membuat pria
lebih susah berejakulasi karena cara kerja obat ini yaitu mengendurkan kandung
kemih dan sel-sel otot prostat. Salah satu komplikasi pasca operasi yang dapat
ditimbulkan setelah TURP yakni dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Sejumlah
pasien mengalami DE 3 bulan setelah TURP (Choi, 2010). TURP yang diikuti
terjadinya impotensi dilaporkan terjadi antara 4% dan 30% (Tanagho and
McAnicnh, 1992).
b. Ejakulasi retrograde
Tak hanya itu, prosedur TURP juga menyebabkan ejakulasi retrogade atau yang
disebut juga dengan orgasme kering. Hal ini membuat air mani (sperma) yang
seharusnya keluar saat orgasme malah masuk kembali ke kandung kemih, bukan
keluar melalui penis seperti seharusnya.
Menurut Harvard Medical School, sebanyak 50-75 persen pria yang menjalani
TURP mengalami ejakulasi retrograde. Kondisi ini tidak berbahaya, hanya saja
bisa membuat pria tidak subur. Selain itu, hal ini juga bisa mengurangi kepuasan
seksual pasangan Anda. Ejakulasi retrograde tidak berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan infertilitas. Ini membuat inseminasi 'alami' menjadi tidak mungkin.
c. Gairah seksual menurun
Inhibitor alpha reductase seperti dutasteride dan finasteride diresepkan oleh
dokter untuk pasien pembengkakan prostat. Sayangnya, obat ini memiliki efek
samping yaitu menyebabkan penurunan gairan seksual pada pria. Pria yang
mengonsumsi obat-obatan ini juga dapat mengalami jumlah sperma yang lebih
rendah, volume sperma berkurang, dan gerakan sperma yang lebih lambat.
6. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian pre operatif
Kaji pemahaman pasien tentang
a) Penyakitnya
b) Pengalaman operasi sebelumnya
c) Tujuan dan operasi tindakan operasi
d) Persiapan operasi baik fisik maupaun penunjang
e) Situasi dan kondisi kamar operasi dan petugas
f) Latihan yang harus dlakukan sebelum operasi dan yang harus dijalankan
setelahnya, seperti latihan napas dalam, batuk efektif, ROM, dll
Kaji gejala yang dialami pasien
a) Kaji pola tidur pasien
b) Pemeriksaan fisik
- TTV sebelum masuk kamar operasi
- Kaji jalan napas : daerah kepala dan leher untuk melihat adanya tismus,
keadaan gigi geligi, adanya gig palsu, gangguan fleksi dan ekstensi leher,
devisiasi trachea, adanya massa.
- Jantung untuk mengevolusi kondisi jantung
- Paru-paru untuk menilai adanya, dispnea, ronci dan mengi
- Abdomen untuk menilai adany distensi, massa, achites, hernia, tanda
regurtitasi, faeses dicolon.
- Punggung untuk melihat deformitas, memar atau infeksi
- Neurologis : status mental, fungsi saraf cranial, kesadaran, fungsi
sensorimotorik
- Ekstrimitas,untuk melihat perfusi distal, jari tubuh, sianosis, kulit dan vena
serta fungsi vena.
c) Perisapan Klien
- Bila seorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa minggu
sebelum operasi, untuk menghindari gangguan proses penyembuhan
- Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti
paling tidak 2 minggu sebelu operasi; hal berhubungan dengan pembekuan
darah
- Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan; apakan punya medikal
atau surgucal history, seperti hipertensi, diabetes, anemia, pernah
mengalami operasi apa sebelumnya.
- Harus di informasikan tentang obat dan suplemen yang di konsumsi; baik
yang ada resepnya dari dokter atau non-resep.
- Menelaah identitas pasien (rekam medik)
- Mengkaji daerah pembedahan

d) Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPH kebanyakan lansia
- Pemeriksaan Radiologi: BNO (puasa minimal 8 jam sebelumnya), IVP (
sebelumnya pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara), Ronten thorax
e) Pemeriksaan laboratorium rutin
- Darah : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan darah, massa
pembedahan, dan pembekuan
- Urine : protein, reduksi, sedimen

2) Pengkajian post operasi


a) kaji ttv selama 24 jam pasca operasi
b) kaji kondisi area operasi
- kondisi balutan
- adanya perdarahan
- insisi atau jahitan
- kaji tanda-tanda inflamasi
- pertahankan kondisi luka tetap kering
- hindari menyentuh luka dengan tangan atau benda yang tidak steril
- berikan kondisi tinggi protein, vitamin dan mineral
- kaji kemampuan pasien dalam bernapas dan adanya gangguan napas
- kaji intake dan output nutrisi dan cairan
- kaji tanda dan gejala infeksi
- kaji respon pasien terhadap pembedahan
- evaluasi efektifitas dari askep diruang operasi
- menentukan status psikologi pasien adakah disorientasi
c) Pengelolaan pasien (Irigasi/Spoling dengan Nacl)
- Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
- Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
- Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
- Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
- Hari ke 4 post operasi diklem
- Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
- Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis 50cc) ‘
- Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
- Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
- Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin
- Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
- DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
- Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
- Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
- Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter.
- Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu
menghilangkan spasme.
- Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan
- Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
- Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
- Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih
gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
a) Retensi urin berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra
b) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, agen
pencendera kimiawi, agen pencedera fisik.
c) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, krisis maturasional,
ancaman terhadap kematian, kekhawatiran mengalami kegagalan, kurang
terpapar informasi.
d) Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keteratasan kognitif, gangguan fungsi kognitif,
kurang terpapar informasi, kurang minat dalam belajar, kurang mampu
mengingat, ketidaktahuan menemukan sumber informasi.
2. Post Operasi
a) Nyeri kronis b.d infiltrasi tumor, kondisi pasca trauma, tekanan emosional.
b) Perdarahan post operasi b.d tindakan operasi
c) Resiko ketidakseimbangan cairan b.d post operasi
d) Resiko tinggi infeksi b.d dengan penyakit kronis, efek prosedur invasif,
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer dan sekunder.
e) Resiko tinggi cidera b.d transportasi, perubahan sensasi.
f) Resiko disfungsi seksual b.d gangguan urologi, ketidak adekuatan edukas.
g) Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan
c. Intervensi Keperawatan
1. Pre Operasi
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

1. Tujuan : 1. Dorong klien untuk 1. Untuk meminimalkan


Klien menu berkemih tiap 2-4 retensi urin distensi
jukkan jam dan bila tiba- berlebihan pada vesika
pengurangan tiba dirasakan. urinari.
penumpukkan 2. Observasi aliran
urine pada urin, perhatian 2. Untuk mengevaluasi
bladder dalam 3 x jumlah urin dan obstruksi dan pilihan
24 jam kekuatan intervensi
Kriteria hasil: pancarannya. 3. Retensi urine
3. Awasi dan catat meningkatkan tekanan
a. Berkemih
waktu serta jumlah dalam saluran
dalam jumlah
setiap kali perkemihan yang dapat
yang
berkemih mempengaruhi fungsi
cukup/normal
ginjal

b. Tidak terapa 4. Berikan cairan 4. Untuk meningkatkan


distensi sampai 3000 ml aliran cairan,
vesika urinari sehari dalam meningkatkan perfusi
toleransi jantung. ginjal serta
5. Berikan obat sesuai membersihkan ginjal,
indikasi vesika urinari dari
(antispamodik) pertumbuhan bakteri.
5. Untuk mengurangi
spasme vesika urinari
dan mempercepat
penyembuhan
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

2. Tujuan : 1. Kaji nyeri, 1. Untuk menentukan


Klien tidak perhatikan lokasi intervensi selanjutnya
menunjukkan dan intensitas 2. Untuk menurunkan
wajah nyeri (1-10). tegangan otot,
meingis 2. Berikan tindakan memfokusksn
dalam 2 x 24 kenyamanan kembali perhatian dan
jam (sentuhan dapat meningkatkan
Kriteria Hasil terapeutik, kemampuan koping.
: pengubahan 3. Diperlukan selama
posisi, pijatan fase awal dan fase
a. Menunju
punggung ) dan akut
kkan
aktivitas
nyeri
terapeutik.
berkurang
3. Pertahankan tirah
/hilang
baring jika
diindikasikan
b. Ekspresi 4. Pertahankan 4. Mempertahankan
wajah patensi kateter fungsi kateter dan
rileks dan sistem drainase sistem,
drainase. menurunkan resiko
Pertahankan distensi / spasme buli
selang bebas dari - buli.
lekukan dan 5. Untuk Menghilangkan
bekuan spasme
5. Kolaborasi dalam
pemberian
antispasmodik
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

3. Tujuan : 1. Pantau keluaran 1. Diuresisi yang cepat


Klien urin tiap jam bila dapat mengurangkan
.
menunjukkan diindikasikan. volume total karena
tanda-tamda Perhatikan ketidakcukupan
keseimbangan keluaran 100-200 jumlah natrium
cairan tubuh ml/. diabsorbsi tubulus
dapat dikontrol 2. Pantau masukan ginjal
dalam 2 x 24 dan kaluaran 2. Indikator
jam cairan. keseimangan cairan
Kriteria hasil: 3. Awasi tanda-tanda dan kebutuhan
vital, perhatikan penggantian.
1. TTV stabil
peningkatan nadi 3. Deteksi dini terhadap
2. Membran
dan pernapasan, hipovolemik
mukosa
penurunan tekanan sistemik.
lembab
darah, diaforesis
3. Keluaran
dan pucat. 4. Menurunkan kerja
urin tepat
4. Tingkatkan tirah jantung
baring dengan memudahkan
kepala lebih tinggi. hemeostatis
5. Kolaborasi dalam sirkulasi.
memantau 5. Berguna dalam
pemeriksaan evaluasi kehilangan
laboratorium darah / kebutuhan
sesuai indikasi. penggantian. Serta
contoh: Hb / Ht, dapat
jumlah sel darah mengindikasikan
merah. terjadinya
Pemeriksaan komplikasi misalnya
koagulasi, jumlah penurunan faktor
trombosit. pembekuan darah,
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

4. Tujuan : 1. Dampingi klien 1. Menunjukka


Klien dan bina hubungan perhatian dan
menunjukkan saling percaya. keinginan untuk
keceemasan 2. Memberikan membantu.
berkurang atau informasi tentang 2. Membantu klien
hilang dalam 1 prosedur tindakan dalam memahami
x 24 jam yang akan tujuan dari suatu
Kriteria hasil: dilakukan. tindakan.
3. Dorong klien atau 3. Memberikan
a. Klien tidak
orang terdekat kesempatan pada
cemas lagi
untuk menyatakan klien dan konsep
b. Klien sudah
masalah atau solusi pemecahan
bisa
perasaan. masalah.
menerima
keadaannya
sekarang
c. Klien sudah
memahami
tujuan dari
pembedaha
n
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

5. Tujuan : Klien 1. Dorong klien 1. Membantu klien


paham tentang menyatakan rasa dalam mengalami
proses takut persaan dan perasaan.
penyakitnya perhatian. 2. Memberikan dasar
dan 2. Kaji ulang proses pengetahuan dimana
prognosisnya penyakit, dan klien dapat
dalam 1x 24 pengalaman klien. membuat pilihan
jam informasi terapi.
Kriteria hasil:

a. Prilaku dan
pola hidup
berubah
menjadi
lebih baik.
b. Berpartisip
asi dalam
pengobatan
2. Post Operasi
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

1. Tujuan : 1. Jelaskan pada 1. Kien dapat


Klien klien tentang mendeteksi gajala
.
mengatakan gejala dini dini spasmus
nyeri spasmus kandung kandung kemih.
berkurang/hila kemih. 2. Menentukan
ng dalam 3 x 2. Pemantauan klien terdapatnya
24 jam pada interval yang spasmus sehingga
Kriteria hasil: teratur selama 48 obat – obatan bisa
jam, untuk diberikan.
a. Klien
mengenal gejala – 3. Memberitahu klien
mengatak
gejala dini dari bahwa
an nyeri
spasmus kandung ketidaknyamanan
berkuran
kemih. hanya temporer.
g/hilang.
3. Jelaskan pada 4. Mengurang
b. Ekspresi
klien bahwa kemungkinan
wajah
intensitas nyeri spasmus.
klien
dan frekuensinya 5. Menurunkan
tenang.
akan berkurang tegangan otot,
c. Klien
dalam 24 sampai memfokuskan
menunju
48 jam. kembali perhatian
kkan
4. Beri penyuluhan dan dapat
ketrampil
pada klien agar meningkatkan
an
tidak berkemih ke kemampuan
relaksasi
seputar kateter. koping.
5. Ajarkan 6. Sumbatan pada
penggunaan selang kateter oleh
teknik relaksasi. bekuan darah dapat
6. Menjaga selang menyebabkan
drainase urine distensi kandung
tetap aman dipaha kemih dengan
untuk mencegah peningkatan
peningkatan spasme.
tekanan pada 7. Mengurangi
kandung kemih. tekanan pada luka
Irigasi kateter jika insisi.
terlihat bekuan 8. Menghilangkan
pada selang nyeri dan mencegah
7. Anjurkan pada spasmus kandung
klien untuk tidak kemih.
duduk dalam
waktu yang lama
sesudah tindakan
TUR-P.
8. Kolaborasi
dengan dokter
untuk memberi
obat – obatan
(analgesik atau
anti spasmodik )

No Tujuan Dan Intervensi Rasional


Kriteria Hasil

2. Tujuan : Klien 1. Pertahankan 1. Mencegah


tidak sistem kateter masuknya bakteri
.
menunjukkan steril, berikan dan virus yang
tanda-tanda perawatan kateter menyebabkan
infeksi dengan steril. infeksi.
.
Kriteria hasil: 2. Anjurkan intake 2. Meningkatkan
cairan yang cukup output urine
a. Klien tidak
( 2500 – 3000 ) sehingga resiko
mengalami
sehingga dapat terjadi ISK
infeksi
menurunkan dikurangi dan
b. TTV normal
potensial infeksi. mempertahankan
dan tidak
3. Pertahankan fungsi ginjal.
menunjukkan
posisi urin bag 3. Menghindari
tanda-tanda
dibawah. refleks balik urine
shock
4. Observasi tanda – yang dapat
c. Waktu
tanda vital, memasukkan
penyembuhan
laporkan tanda – bakteri ke kandung
sesuai dengan
tanda shock dan kemih.
yang
demam. 4. Mencegah sebelum
direncanakan
5. Observasi urine: terjadi shock.
warna, jumlah, 5. Mengidentifikasi
bau. adanya infeksi.
6. Kolaborasi 6. Untuk mencegah
dengan dokter infeksi dan
untuk memberi membantu proses
obat antibiotik. penyembuhan.
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

3. Tujuan : 1. Jelaskan pada 1. Menurunkan


Klien tidak klien tentang kecemasan klien
menunjukkan sebab terjadi dan mengetahui
terjadinya perdarahan setelah tanda – tanda
pendarahan pembedahan dan perdarahan
dalam 1 x 24 jam tanda – tanda 2. Gumpalan dapat
Kriteria hasil: perdarahan menyumbat kateter,
2. Irigasi aliran menyebabkan
a. Klien tidak
kateter jika peregangan dan
menunjukkan
terdeteksi perdarahan
tanda-tanda
gumpalan dalm kandung kemih
pendarahan.
saluran kateter 3. Dengan
b. TTV dalam
3. Sediakan diet peningkatan
batas normal.
makanan tinggi tekanan pada fosa
c. Urin lancar
serat dan memberi prostatik yang akan
lewat kateter
obat untuk mengendapkan
memudahkan perdarahan .
defekasi . 4. Dapat
4. Mencegah menimbulkan
pemakaian perdarahan prostat .
termometer rektal, 5. Traksi kateter
pemeriksaan menyebabkan
rektal atau pengembangan
huknah, untuk balon ke sisi fosa
sekurang – prostatik,
kurangnya satu menurunkan
minggu . perdarahan.
5. Pantau traksi Umumnya dilepas
kateter: catat 3 – 6 jam setelah
waktu traksi di pembedahan .
pasang dan kapan
traksi dilepas . 6. Deteksi awal
6. Observasi: Tanda terhadap
– tanda vital tiap 4 komplikasi, dengan
jam, pemasukan intervensi yang
dan pengeluaran tepat mencegah
dan warna urin. kerusakan jaringan
yang permanen .

No Tujuan Dan Intervensi Rasional


Kriteria Hasil

4. Tujuan : 1. Beri kesempatan 1. Untuk mengetahui


Klien dapat pada klien untuk masalah klien.
mempertahank memperbincangk 2. Kurang
an fungsi an tentang pengetahuan dapat
seksual dalam pengaruh TUR – membangkitkan
3 x 24 jam. P terhadap cemas dan
Kriteria hasil: seksual. berdampak
2. Jelaskan tentang : disfungsi seksual.
a. Klien
kemungkinan 3. Bisa terjadi
tampak
kembali ketingkat perdarahan dan
rileks dan
tinggi seperti ketidaknyamanan.
melaporka
semula dan 4. Untuk
n
kejadian ejakulasi mengklarifikasi
kecemasan
retrograd (air kekhatiran dan
menurun .
kemih seperti memberikan akses
b. Klien
susu). kepada penjelasan
menyataka
3. Mencegah yang spesifik.
n
hubungan seksual
pemahama
n situasi
individual 3-4 minggu
. setelah operasi .
c. Klien 4. Dorong klien
menunjuk untuk
kan menanyakan
keterampil kedokter salama
an di rawat di rumah
pemecaha sakit dan
n masalah. kunjungan
d. Klien lanjutan .
mengerti
tentang
pengaruh
TUR -P
pada
seksual.

No Tujuan Dan Intervensi Rasional


Kriteria Hasil

5. Tujuan : 1. Jelaskan pada 1. Meningkatkan


Klien klien dan pengetahuan klien
memiliki keluarga sehingga mau
kebutuhan penyebab kooperatif dalam
beristirahat/tid gangguan tidur tindakan perawatan
ur cukup dan kemungkinan .
dalam 1 x 24 cara untuk
jam menghindari.
Kriteria hasil: 2. Ciptakan suasana 2. Suasana tenang
yang mendukung, akan mendukung
a. Klien
suasana tenang istirahat
mampu
dengan 3. Menentukan
beristiraha
mengurangi rencana mengatasi
t/tidur
kebisingan gangguan
dalam
3. Beri kesempatan 4. Mengurangi nyeri
waktu
klien untuk sehingga klien bisa
yang
mengungkapkan istirahat dengan
cukup.
penyebab cukup .
b. Klien
gangguan tidur.
mengungk
4. Kolaborasi
apan sudah
dengan dokter
bisa tidur .
untuk pemberian
c. Klien
obat yang dapat
mampu
mengurangi nyeri
menjelask
( analgesik ).
an faktor
penghamb
at tidur .

d. Evaluasi Keperawatan
1. Pre Operasi
- Klien tidak cemas untuk menghadapi operasi
- TTV
- Klien telah memahami prosedur operasi dan penatalaksanaan Post Operasi
2. Post Operasi
- Rasa nyeri berkurang sampai hilang
- Tidak ada clot pada selang irigasi
- Pemenuhan kebutuhan tidur klien terpenuhi
- Nutrisi, Mobilisasi adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Rizki. 2007. FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA PEMBESARAN PROSTAT


JINAK (Studi Kasus Di RS Dr. Kariadi, RS Roemani Dan RSI Sultan Agung Semarang).
Semarang : UNDIP.
Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi ke-8.
Singapore : Elsevier.

Buleheck. 2013. Nursing Intervensions Classification NIC. Jakarta: EGC


De. Jong, Syamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : ECC

Doenges, Marylnn E., Moorhouse, Mary Frances, Gaissler, Alice C. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Edisi Ke-3. Jakarta : EGC

Gatriniggar, Esti. 2013. continuous bladder irrigation (cbi) pada klien benigna prostate
hyperplasia (bph) post transurethral resection prostate (turp) di ruang anggrek tengah
kanan rsup persahabata. Depok : UI

Indah, Puspita. 2016. Asuhan Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia. Fakultas Ilmu
Kesehatan : UMP.
Nanda International. 2015. Diagnosa Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi
ke-10.Alih bahasa : Prof. Dr. Budi Anna K. Jakarta : EGC

Potter & Perry. 2012. Fundamental of Nursing. Jakarta : EGC.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Indonesia.

S Bhatia, S Tewari, C Gomez, B Kava, V Sinha, G Narayanan. 2016. Prostate artery


embolization may improve erectile function with no deleterious effect on ejaculation: a
retrospective review of 53 patients. Miami : University of Miami.
Smeltzer, S.C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &Suddarth.
Vol 2. EGC : Jakarta
Suharyanto, Toto, Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : TIM

Setiati, Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, dkk. 2016. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jilid II.
Jakarta : Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai