LP BPH Turp
LP BPH Turp
Konsep BPH
1. Definisi
Pembesaran jinak kelenjar prostat adalah proses yang sangat umum terjadi pada
hampir semua laki-laki dengan testis yang berfungsi. Istilah pembesaran prostat jinak
didefinisikan sebagai pertumbuhan prostat yang cukup untuk mengobstruksi
(menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebaban gejala saluran kemih bawah
(LUTS) yang mengganggu, infeksi saluran kemih (ISK), hematuria atau gangguan
fungsi saluran kemih atas. Namun demikian, istilah hiperplasia prostat jinak (BPH),
yang didefinisikan sebagai pertumbuhan histologis nonmaligna elemen glanduler
prostat. Benigna Prostatic Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum pada sistem
genitourinari pada pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah
sel-sel epitel dan jaringan stroma di dalam kelenjar prostat (Andre, Terrence &
Eugene, 2011). Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat yang mengalami
pembesaran, yang dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo 2011).
4. Patofisiologi
Bukti histologis pembesaran prostat saja tidak menegakkan masalah yang
relevan secara klinis. Selain itu, gangguan klinis yang berkaitan dengan BPH terjadi
jika pembesaran ini mengobstruksi jalan keluar kandung kemih, menyebabkan LUTS
yang mengganggu, peningkatan risiko infeksi saluran kemih, dan mengganggu fungsi
saluran kemih atas. Dua proses menyebabkan obstruksi ini: hiperplasia dan hipertrofi.
Hiperplasia berawal pada sel-sel glanduler (stromal) di dekat uretra-zona transisi. Pada
tingkat mikroskopik, hiperplasia prostat tampak noduler, namun efek pada palpasi
adalah pembesaran kelenjar simetris yang bebas dari karakteristik nodus yang
terpalpasi pada kanker prostat. Obstruksi terjadi saat hiperplasia menyempitkan lumen
dari segmen uretra yang melalui prostat. Obstruksi juga terjadi saat prostat melampaui
di atas leher kandung kemih, menurunkan kemampuannya untuk menyalurkan urine
sebagai respons terhadap miksi, dan saat pertumbuhan dari lobus median prostat
meluas ke dalam uretra prostatika. BPH juga dipengaruhi oleh kapsul prostat (jaringan
ikat yang menutupi kelenjar); pada sebagian laki-laki kapsul ini memungkinkan
hiperplasia meluas keluar, meningkatkan ukuran prostat, selanjutnya tingkat keparahan
kompresi uretra dan obstruksi urine. Hipertrofi otot polos prostat juga berkontribusi
terhadap obstruksi uretra melalui tekanan aktif dan pasif. Hiperplasia prostat disertai
dengan hipertrofi otot polos kelenjar. Hipertrofi otot polos memicu obstruksi urine
dengan meningkatkan tonus otot pada leher kandung kemih dan uretra proksimal
(prostatika) dan meningkatkan secara mekanis jaringan yang mengonstriksi lumen
uretra.
Respon awal kandung kemih terhadap peningkatan resistensi uretra terhadap
aliran keluar adalah meningkatkan kekuatan kontraksi detrusor. Strategi ini sering kali
berhasil pada awalnya, sehingga banyak laki-laki yang melaporkan hilangnya LUTS
yang mengganggu yang dapat menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Namun, pertumbuhan prostat lebih lanjut dan eksaserbasi obstruksi uretra pada
akhirnya melampaui kemampuan otot detrusor untuk memastikan evakuasi kandung
kemih yang efektif melalui miksi. Hasilnya dapat berupa penurunan kekuatan aliran
urine, dan perasaan tidak lampias walaupun setelah berkemih. Selain LUTS ini, laki-
laki cenderung memperhatikan LUTS yang memengaruhi penyimpanan kandung
kemih, frekuensi berkemih pada siang hari, nokturia, dan urgensi. JIika klien tidak
mencari bantuan untuk LUTS ini dan proses pembesaran prostat berlanjut, detrusor
akan berdekompensasi menyebabkan volume residual urine, dan pada akhirnya
kelemahan kontraksi otot, bahkan setelah obstruksi uretra hilang.
Jika obstruksi yang berkaitan dengan BPH berkepanjangan dan parah, klien
akan mengalami gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal. Untungnya, kondisi ini,
kadang disebut sebagai prostatisme tersembunyi, hanya menyerang sebagian sangat
kecil laki-laki yang mengalami BPH (yaitu kurang dari 1%).
Infeksi saluran kemih dan hematuria juga dapat berkaitan dengan BPH.
Obstruksi jalan keluar kandung kemih dan retensi urine meningkatkan risiko ISK.
Risiko ini paling besar jika dilakukan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah transuretral,
yang memungkinkan bakteri di dalam asinus prostat mencapai kandung kemih. Retensi
dan obstruksi urine juga dapat mempersulit terapi ISK karena pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap mengganggu evakuasi urine, bakteri, dan toksin dari
kandung kemih.
Patofisiologi dari hematuria oleh BPH tidak sepenuhnya dimengerti. Diketahui
bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) adalah bagian dari hiperplasia dan
bahwa pembuluh ini rentan terhadap kerusakan dan perdarahan. Perdarahan yang
berkepanjangan juga dapat terjadi setelah kateterisasi, sistoskopi, atau bedah prostat
transuretral. Insiden hematuria pada laki-laki dengan BPH tidak diketahui, namun
tercatat bahwa hematuria adalah indikasi utama pembedahan transuretral pada BPH
pada 12% pria yang terdiagnosis BPH.
5. Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
h) Hasil Pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan adanya kelainan,
kecuali disertai dengan urosepsis yaitu adnya peningkatan leukosit.
i) Pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri patogen pada
kultur jika ada infeksi dan adanya eritrosit jika terjadi reptur pada
jaringan prostat.
j) Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau
TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urin akut
dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal
berdasarkan usia adalah:
c. Tindakan operasi
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP) prosedur pembedahan yang
dilakukan melalui endoskopi TURP dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada
lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit
jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat
dicegah dan kebutuhan waktu tidak terlalu lama.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih.
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara
memasukkan instrumen melalui uretra. Keuntungannya berupa tindakan lebih
cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko ejakulasi retrograde lebih rendah
(25%).
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang
apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk
adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang
menancap dijaringan prostat. (Sjamsuhidajat, 2011).
8. Konsep Askep
b. Pengkajian
1) Data demografi ( Nama,TTL, Pekerjaan, Jenis kelamin: ( Hanya dialami oleh
seorang laki laki )
2) Alasan masuk rumah sakit:
Biasanya pasien mecngeluh nyeri pada saat miksi dan perasaan ingin
miksi yang mendadak saat miksi harus menunggu lama dan kencing terputus-
putus.
3) Keluhan utama:
Nyeri saat miksi
4) Upaya yang dilakukan:
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor untuk
merelaksasikan otot polos prostat dan salura kemih agar terbuka
5) Status kesehatan saat ini
a) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadikan alasan pasien karena biasanya
nyeri saat miksi, pasien juga sering mengeluh saat miksi, pasien juga
sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan), terbangun ingin miksi
saat malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, kalau
miksi harus menunggu lama, harus mkencing terputus putus.
b) Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien mengeluh nyeri saat miksi,pasien merasakan jika
inginmiksi harus menunggu lama, harus mengedan dan kencing
terputus-putus.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui
metode PQRST dalam bentuk narasi
- P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi
dan harus menunggu lama dan harus mengedan.
- Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan
hubungan seks.
- R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah
kandung kemih
- S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan
mengeluh sering BAK berulang-ulang.
- T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada
saat malam hari.
6) Riwayat kesehatan terdahulu
a) Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah
dirawat dirumah sakit sebelumnya.
7) Riwayat penyakit keluarga:
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita
penyakit yang sama dengan penyakit sekarang.
8) Riwayat pengobatan :
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu
merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan
lebih terbuka.obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan
kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunya kadar
testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil.
9) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
b) Kesadaran
Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering
dialami dikenal dengan istilah LUTS (lower urunary tract symtoms)
yaitu pancaran urin lemah, intermitensi,ada sisa urin pasca miksi,
urgensi, frekuensi dan disuria.
c) Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
- Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk
kompensasi dari nyeri yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis
dan adanya distensi bladder.
- Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang
dirasakan pasien.
- Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama
seiring ditemukan adanya tanda gejala urosepsis.
d) Pemeriksaan body sistem
e) Sistem pernafasan
- Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas, frekuensi pernafasan
- Perkusi : biasanya suara paru tetap resonan di kedua lapang paru
- Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
- Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas.
f) Sistem kardiovaskular
- Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak
maupun pemeriksaan pada inspeksi.
- Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
- Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi
yang didapatkan pada thorax adalah redup.
g) Sistem persyarafan
- Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya
infeksi dapat terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik.
h) Sistem perkemihan
- Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi
kandung kemih)
- Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada
ginjal. Dan pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder
dan terdapat nyeri tekan.
- Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin
terdapat suara redup dikandung kemih karena terdapat residual
(urin).
i) Sistem pencernaan
- Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
- Abdomen : datar (simetris)
- Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
- Auskultasi : biasanya bising usus normal.
- Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran
permukaan halus.
- Perkusi ; tympani
j) Sistem integumen
- Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena
adanya tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun.
-
k) Sistem endokrin
- Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan
esterogen pada usia lanjut.
l) Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan
adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis
meatus. Pemeriksaan RC (rectal toucher) adalah pemeriksaan sederhana
yangpaling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya adalah untuk
menentukan konsistensi sistem persarafan unut vesiko uretra dan
besarnya prostate.
m) Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatkan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
n) Sistem pengindraan
- Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak
mengalami gangguan
o) Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Retensi urin b.d Peningkatan tekanan uretra
2) Nyeri Akut b.d agen pencedera biologis
3) Inkontinensia Urin Berlebih b.d ketidakadekuatan destrussor
B. Konsep TURP
1. Pengetian
Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Transurethral resection of the prostate (TURP) dapat dipakai sebagai criteria
standar untuk mengurangi “bladder outlet obstruction (BOO) secondary to BPH”.
TURP merupakan metode paling sering digunakan dimana jaringan prostat yang
menyumbat dibuang melalui sebuah alat yang dimasukkan melalui uretra (saluran
kencing). Merupakan salah satu jenis operasi endoskopi yang banyak dilakukan saat ini
adalah TURP (transurethral resection of the prostate) dimana kelenjar prostat dipotong
dengan cara dikerok dengan menggunakan energi listrik. Setelah TURP dipasang folley
kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml.
Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada
pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley
untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan
pendarahan. Ukuran kateter yang besar dipasang untuk memperlancar membuang
gumpalan darah dari kandung kemih.
2. Indikasi TURP
a) Pasien dengan gejala sumbatan menetap
b) Pembesaran prostat yang progesif dan tidak dapat di terapi dengan obat
c) Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran 30 – 60 gram dan
pasien cukup sehat.
3. Dampak TURP
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Timbulnya perubahan pemeliharaan
kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca turp. Adanya keluhan nyeri
karena spasme buli-buli memerlukan penggunaan antipasmodik sesuai terap
dokter.
b) Pola nutrisi dan metabolisme klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh
makan dan minum sebelum flatus
c) Pola eliminasi. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi
urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan
inkontinensia dapat terjadi setelah kateter dilepas.
d) Pola aktivitas dan latihan. Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang
lemah dan terpasang traksi keteter selama 6-24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e) Pola tidur dan istirahat. Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f) Pola kognitif dan perseptual. Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba
dan panghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP
g) Pola persepsi dan konsep diri. Klien dapat mengalami cemas karena kurang
pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP
h) Pola hubungan dan peran karena klien harus menjalani perawatan di RS, maka
dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja,
dan masyarakat.
i) Pola reproduksi sexual. Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan
ejakulasi retrograd.
4. Penatalaksanaan Post TURP
Continuous bladder irrigation adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk
mencegah formasi dan retensi clot sehubungan dengan dilakukannya TURP (Christine,
Ng, 2001). Afrainin, Syah (2010) menjelaskan Continuous Bladder Irrigation (CBI)
merupakan tindakan membilas atau mengalirkan cairan secara berkelanjutan pada
bladder untuk mencegah pembentukan dan retensi clot darah yang terjadi setelah
operasi transurethral resection of the prostate (TURP). Prosedur ini dilakukan dengan
memasukkan kateter threeway ke dalam uretra hingga ke kandung kemih. Prosedur ini
umumnya dilakukan pada 24 jam pertama post operasi TURP dan dilakukan sebagai
bagian dari perawatan post operatif post operasi TURP. Irigasi bladder tidak boleh
dianggap remeh oleh perawat karena risiko komplikasi yang dapat timbul seperti
perdarahan, retensi clot, infeksi genitourinari, dan kegagalan untuk mengosongkan
kandung kemih (Mebust, Holtgrewe, Cockett, and Petters, 1989 dalam Afrainin,
2010).Afrainin, Syah (2010) menyatakan bahwa penggunaan kateter tertutup dengan
aliran yang berkelanjutan dapat digunakan dengan kecepatan aliran yang
direkomendasikan 500 ml/jam. Normal saline juga sangat dianjurkan sebagai cairan
irigasi bukan glycine ataupun air steril, dengan kecepatan yang direkomendasikan
untuk mengurangi terjadinya hematuria. Air sebaiknya tidak digunakan sebagai cairan
irigasi, karena akan menyebabkan osmosis, dan akan mudah diabsorbsi dan
menyebabkan sindrom TUR.
Normal saline merupakan cairan yang paling baik karena merupakan cairan
isotonik dan tidak mudah diabsorbsi. Klien dengan irigasi kandung kemih harus
didokumentasikan intake dan output dalam sebuah chart irigasi bladder. Selain itu,
klien juga harus dipantau untuk mengetahui ada atau tidak hematuria dengan
memantau warna urin dan konsistensinya (Afrainin, 2010). Jika tidak terdapat
komplikasi, kecepatan aliran dapat dikurangi dan kateter dapat dilepas pada hari
pertama atau hari kedua post operasi. Pemantauan CBI penting untuk dilakukan guna
menghindari risiko yang mungkin terjadi. Risiko tersebut diantaranya infeksi saluran
kemih (Kennedy, 1984 dalam Afrainin, 2010), clot yang terkumpul yang dapat
menimbulkan obstruksi dan menyebabkan nyeri, kelebihan volume cairan, dan ruptur
kandung kemih (Gilbert and Gobbi, 1989 dalam Afrainin, 2010). Perawat bertanggung
jawab untuk memberikan perawatan klien yang efektif yang meliputi pemantauan
aliran berkelanjutan selama 24 jam masa kritis. Selain itu, perawat juga harus mampu
mengidentifikasi kateter yang tersumbat dan mengambil tindakan yang tepat untuk
mengatasi hal tersebut. Gilbert and Gobbi (1989) dalam Afrainin, Syah (2010)
menjelaskan tanda dari kateter yang tersumbat antara lain spasme kandung kemih,
kebocoran urin di sekitar kateter, distensi pada area suprapubik, terdapat clot pada
lumen. Selain itu, jumlah output drainase yang tidak sama dengan intake irigasi atau
klien mengeluh terdapat keinginan yang mendesak untuk BAB (Afrainin, 2010).
5. Komplikasi
a. Impotensi (disfungsi ereksi)
Efek dari pembengkakan prostat yang pertama adalah impotensi. Impotensi atau
disebut juga disfungsi ereksi merupakan kesulitan mencapai atau
mempertahankan ereksi (penis mengeras saat terangsang). Meskipun kondisi ini
umumnya disebabkan oleh masalah kesehatan lain seperti penyakit jantung,
diabetes, kadar testosteron yang rendah, serta masalah psikologis tertentu,
pembengkakan prostat bisa jadi salah satu pemicunya.
Selain itu, kondisi ini biasanya diakibatkan oleh prosedur transurethral resection
of the prostate (TURP). Prosedur bedah ini memang biasanya dilakukan pada
pasien BPH. Dikutip dari Healthline, sekitar 5-10 pria mengalami impotensi
setelah menjalani pembedahan ini.
Selain prosedur TURP, obat untuk mengobati pembengkakan prostat yakni
alpha blocker juga dapat menyebabkan kesulitan ejakulasi dan disfungsi ereksi.
Alpha blocker seperti doxazosin (Cardura) dan terazosin (Hytrin) membuat pria
lebih susah berejakulasi karena cara kerja obat ini yaitu mengendurkan kandung
kemih dan sel-sel otot prostat. Salah satu komplikasi pasca operasi yang dapat
ditimbulkan setelah TURP yakni dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Sejumlah
pasien mengalami DE 3 bulan setelah TURP (Choi, 2010). TURP yang diikuti
terjadinya impotensi dilaporkan terjadi antara 4% dan 30% (Tanagho and
McAnicnh, 1992).
b. Ejakulasi retrograde
Tak hanya itu, prosedur TURP juga menyebabkan ejakulasi retrogade atau yang
disebut juga dengan orgasme kering. Hal ini membuat air mani (sperma) yang
seharusnya keluar saat orgasme malah masuk kembali ke kandung kemih, bukan
keluar melalui penis seperti seharusnya.
Menurut Harvard Medical School, sebanyak 50-75 persen pria yang menjalani
TURP mengalami ejakulasi retrograde. Kondisi ini tidak berbahaya, hanya saja
bisa membuat pria tidak subur. Selain itu, hal ini juga bisa mengurangi kepuasan
seksual pasangan Anda. Ejakulasi retrograde tidak berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan infertilitas. Ini membuat inseminasi 'alami' menjadi tidak mungkin.
c. Gairah seksual menurun
Inhibitor alpha reductase seperti dutasteride dan finasteride diresepkan oleh
dokter untuk pasien pembengkakan prostat. Sayangnya, obat ini memiliki efek
samping yaitu menyebabkan penurunan gairan seksual pada pria. Pria yang
mengonsumsi obat-obatan ini juga dapat mengalami jumlah sperma yang lebih
rendah, volume sperma berkurang, dan gerakan sperma yang lebih lambat.
6. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian pre operatif
Kaji pemahaman pasien tentang
a) Penyakitnya
b) Pengalaman operasi sebelumnya
c) Tujuan dan operasi tindakan operasi
d) Persiapan operasi baik fisik maupaun penunjang
e) Situasi dan kondisi kamar operasi dan petugas
f) Latihan yang harus dlakukan sebelum operasi dan yang harus dijalankan
setelahnya, seperti latihan napas dalam, batuk efektif, ROM, dll
Kaji gejala yang dialami pasien
a) Kaji pola tidur pasien
b) Pemeriksaan fisik
- TTV sebelum masuk kamar operasi
- Kaji jalan napas : daerah kepala dan leher untuk melihat adanya tismus,
keadaan gigi geligi, adanya gig palsu, gangguan fleksi dan ekstensi leher,
devisiasi trachea, adanya massa.
- Jantung untuk mengevolusi kondisi jantung
- Paru-paru untuk menilai adanya, dispnea, ronci dan mengi
- Abdomen untuk menilai adany distensi, massa, achites, hernia, tanda
regurtitasi, faeses dicolon.
- Punggung untuk melihat deformitas, memar atau infeksi
- Neurologis : status mental, fungsi saraf cranial, kesadaran, fungsi
sensorimotorik
- Ekstrimitas,untuk melihat perfusi distal, jari tubuh, sianosis, kulit dan vena
serta fungsi vena.
c) Perisapan Klien
- Bila seorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa minggu
sebelum operasi, untuk menghindari gangguan proses penyembuhan
- Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti
paling tidak 2 minggu sebelu operasi; hal berhubungan dengan pembekuan
darah
- Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan; apakan punya medikal
atau surgucal history, seperti hipertensi, diabetes, anemia, pernah
mengalami operasi apa sebelumnya.
- Harus di informasikan tentang obat dan suplemen yang di konsumsi; baik
yang ada resepnya dari dokter atau non-resep.
- Menelaah identitas pasien (rekam medik)
- Mengkaji daerah pembedahan
d) Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPH kebanyakan lansia
- Pemeriksaan Radiologi: BNO (puasa minimal 8 jam sebelumnya), IVP (
sebelumnya pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara), Ronten thorax
e) Pemeriksaan laboratorium rutin
- Darah : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan darah, massa
pembedahan, dan pembekuan
- Urine : protein, reduksi, sedimen
b. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
a) Retensi urin berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra
b) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, agen
pencendera kimiawi, agen pencedera fisik.
c) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, krisis maturasional,
ancaman terhadap kematian, kekhawatiran mengalami kegagalan, kurang
terpapar informasi.
d) Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keteratasan kognitif, gangguan fungsi kognitif,
kurang terpapar informasi, kurang minat dalam belajar, kurang mampu
mengingat, ketidaktahuan menemukan sumber informasi.
2. Post Operasi
a) Nyeri kronis b.d infiltrasi tumor, kondisi pasca trauma, tekanan emosional.
b) Perdarahan post operasi b.d tindakan operasi
c) Resiko ketidakseimbangan cairan b.d post operasi
d) Resiko tinggi infeksi b.d dengan penyakit kronis, efek prosedur invasif,
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer dan sekunder.
e) Resiko tinggi cidera b.d transportasi, perubahan sensasi.
f) Resiko disfungsi seksual b.d gangguan urologi, ketidak adekuatan edukas.
g) Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan
c. Intervensi Keperawatan
1. Pre Operasi
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
a. Prilaku dan
pola hidup
berubah
menjadi
lebih baik.
b. Berpartisip
asi dalam
pengobatan
2. Post Operasi
No Tujuan Dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
d. Evaluasi Keperawatan
1. Pre Operasi
- Klien tidak cemas untuk menghadapi operasi
- TTV
- Klien telah memahami prosedur operasi dan penatalaksanaan Post Operasi
2. Post Operasi
- Rasa nyeri berkurang sampai hilang
- Tidak ada clot pada selang irigasi
- Pemenuhan kebutuhan tidur klien terpenuhi
- Nutrisi, Mobilisasi adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marylnn E., Moorhouse, Mary Frances, Gaissler, Alice C. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Edisi Ke-3. Jakarta : EGC
Gatriniggar, Esti. 2013. continuous bladder irrigation (cbi) pada klien benigna prostate
hyperplasia (bph) post transurethral resection prostate (turp) di ruang anggrek tengah
kanan rsup persahabata. Depok : UI
Indah, Puspita. 2016. Asuhan Keperawatan Pada Benigna Prostat Hiperplasia. Fakultas Ilmu
Kesehatan : UMP.
Nanda International. 2015. Diagnosa Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi
ke-10.Alih bahasa : Prof. Dr. Budi Anna K. Jakarta : EGC
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Indonesia.
Setiati, Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, dkk. 2016. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jilid II.
Jakarta : Internal Publishing