Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TENTANG

ASMA
Untuk Memenuhi Tugas Belajar
Mata Kuliah Patofisiologi

Disusun oleh:
Azzah Azaria Wulandari 180106014
Farah Fildzah Rosadi 180106013

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pernapasan atau respirasi adalah proses mulai dari pengambilan oksigen,
pengeluaran karbondioksida hingga penggunaan energi di dalam tubuh. Manusia
dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan membuang
karbondioksida ke lingkungan. Sistem pernapasan pada dasarnya dibentuk oleh jalan
atau saluran napas dan paru-paru beserta pembungkusnya (pleura) dan rongga dada
yang melindunginya.
Normalnya manusia butuh kurang lebih 300 liter oksigen per hari. Dalam
keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O2 yang diperlukan pun menjadi
berlipat-lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15 kali lipat. Namun dalam pernapasan
juga dapat mengalami gangguan atau kelainan salah satunya yang kita kenal dengan
penyakit asma.
Asma adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran napas
sehingga penderita mengalami keluhan sesak napas atau kesulitan bernapas. Tingkat
keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan
oksigen. Asma merupakan penyakit yang tidak bisa dianggap sepele. Berdasarkan
data WHO tahun 2006, sebanyak 300 juta orang menderita asma dan 225 ribu
penderita meninggal karena asma di seluruh dunia. Angka kejadian asma 80 % terjadi
di negara berkembang akibat kemiskinan, kurangnya tingkat pendidikan, pengetahuan
dan fasilitas pengobatan. Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit asma di
seluruh dunia diperkirakan akan meningkat 20 persen untuk sepuluh tahun mendatang,
jika tidak terkontrol dengan baik.
Hasil penelitian International study on asthma an alergies in childhood pada
tahun 2006, menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma tidak
dapat disembuhkan, namun dalam penggunaan obat-obat yang ada saat ini hanya
berfungsi untuk menghilangkan gejala saja. Kontrol yang baik diperlukan oleh
penderita untuk terbebas dari gejala serangan asma dan bisa menjalani aktivitas hidup
sehari-hari. Untuk mengontrol gejala asma secara baik, maka penderita harus bisa
merawat penyakitnya, dengan cara mengenali lebih jauh tentang penyakit tersebut
(Sundaru, 2008).

B. RUMUSAN MASALAH
Apa definisi dari asma, bagaimana etiologi asma, bagaimana tanda dan gejala
asma, bagaimana patofisiologi dan pathway asma, apa saja pemeriksaan penunjang
yang berkaitan dengan asma, bagaimana peran penata anestesi bila menghadapi
pasien dengan asma.

C. TUJUAN
Penulis dan audience diharapkan dapat mengerti, memahami dan mampu
menyebutkan serta mampu menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan Asma.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Smeltzer 2002 : 611)
Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus
mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48).
Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh
periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan
bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Dari pernyataan di atas, dapat di ketahui bahwa asma adalah penyakit pernafasan
obstruktif yang di tandai inflamasi saluran nafas dan spasme akut otot bronkiolus. Kondisi ini
menyebabkan produksi mucus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan
penurunan ventilasi alveolus.
Asma terjadi pada individu tertentu yang berespons secara agresif terhadap berbagai jenis
iritan di jalan nafas. Factor resiko untuk salah satu jenis gangguan hiper-responsif ini adalah
riwayat asma atau alergi dalam keluarga penderita, yang mengisyaratkan adanya kecenderungan
genetik. Pajanan yang berulang atau terus-menerus terhadap beberapa rangsangan iritan,
kemungkinan pada masa penting perkembangan, juga dapat meningkatkan resiko penyakit ini.
Meskipun kebanyakan kasus asma di diagnosis pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa dapat
menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma awitan dewasa
seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk. Infeksi pernafasan atas yang
berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa, seperti yang dapat terjadi akibat pajanan
okupasional terhadap debu di lingkungan akibat kerja.

B. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang yang
menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma
sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau
faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau alergen yang
dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti common cold,
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan
serangan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
Asma Bronkhial yaitu :
a) Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar
dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa
diturunkan.

b) Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b. Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c. Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan

2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan Asma. Kadang - kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti
musim hujan, musim kemarau.

3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping gejala
Asma yang timbul harus segera diobati penderita Asma yang mengalami stres
atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.

4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma.
Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.

5. Olah raga atau aktifitas jasmani


Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C. Tanda dan gejala
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea, dan
wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula mendadak
dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi
selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien unutk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan
dispnea. Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang
secara spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang
lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup (Smeltzer & Bare,
2002).
Asma ekstrinsik biasanya disertai gejala dan tanda klinis atopi ( alergi tipe 1 yang di
antarai oleh Ig E ) seperti eczema serta ranitis alergika. Umumnya bentuk serangan asma ini
timbul setelah terjadi infeksi saluran nafas yang berat, khususnya pada pasien dewasa.
Serangan asma akut di awali secara dramatis disertai lebih dari 1 gejala berat dengan
awitan bersamaan dan kemudia secara berangsur akan terjadi peningkatan kegawatan nafas. Asma
yang terjadi di sertai gejala sianosis, konfusi, serta letargi menunjukan awitan status asmatikus dan
gagal nafas yang bisa membawa kematian.
Tanda dan gejala asma meliputi :
1. Dyspnea mendadak, mengi, dan rasa berat pada dada
2. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning
3. Takipnea,bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi aksesorius
4. Denyut nadi yang cepat
5. Pengeluaran keringat ( perspirasi ) yang banyak
6. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
7. Bunyi nafas yang berkurang

Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten ringan :

1. Keluhan dan gejala asma terjadi kurang dari 2 kali perminggu


2. Pasien tampak asimptomatik disertai PEEF ( Peak Ekpiratory Flow ) normal di
antara serangan eksaserbasi
3. Eksaserbasi singkat ( selama beberapa jam hingga beberapa hari ) dengan intensitas
bervariasi
4. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi kurang dari 2x/bulan
5. Hasil pemeriksaan FAAL paru memperlihatkan FEV atau PEF melebihi 80% nilai
normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran kurang dari 20%

Gambaran klinis pada penyakit asma persisten sedang :

1. Keluhan dan gejala asma terjadi lebih dari 2x/minggu tetapi kurang dari 1x/hari ;
eksaserbasi dapat memengaruhi aktivitas pasien
2. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari 2x/bulan
3. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF yang melebihi 80%
nilai normal; PEF dengan bervariasi dengan kisaran 20% hingga 30%

Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten sedang :

1. Keluhan dan gejala asma terjadi tiap hari


2. Eksaserbasi terjadi lebih dari 2x/minggu dan dapat berlangsung selama berhari-hari
; eksaserbasi memengaruhi aktivitas pasien
3. Terapi bronkodilator digunakan setiap hari.
4. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebihdari 1 x/minggu
5. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF sebesar 60% hingga
80% nilai normal; PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebihi 30%

Gambaran klinis pada penyakit asma intermiten berat :

1. Keluhan dan gejala asma terjadi secara terus-menerus


2. Eksaserbasi sering terjadi dan membatasi aktivitas pasien
3. Keluhan dan gejala pada malam hari sering terjadi
4. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan FEV atau PEF < 60% nilai normal ;
PEF dapat bervariasi dengan kisaran > 30%

Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :

1. Tingkat I
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru. Timbul bila ada
faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di
laboratorium.
2. Tingkat II
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya
tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III
Tanpa keluhan.Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan
nafas.Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing. Pemeriksaan fisik dan
fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang
berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Asma pada
dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang
berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan
kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.

D. Patofisiologi
Ada dua pengaruh genetik yang ditemukan pada penyakit asma, yaitu kemampuan
seseorang untuk mengalami asma ( atopi ) dan kecenderungan untuk mengalami hiperaktivitas
jalan nafas yang tidak bergantung pada atopi. Lokasi kromosom 11 yang berkaitan dengan atopi
mengandung gen abnormal yang mengode bagian reseptor Ig E. Faktor-faktor lingkungan
berinterkasi dengan faktor-faktor keturunan untuk menimbulkan reaksi asmatik yang disertai
bronkospasme.
Pada asma, dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai
rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodik dan menimbulkan kontriksi jalan
napas berat. Antibodi Ig E yang melekat pada sel-sel mast yang mengandung histamin dan pada
reseptor membrane sel akan memulai serangan asma intrinsic. Ketika terpajan suatu antigen,
seperti polen, antibody Ig E akan berikatan dengan antigen ini.
Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel-sel mast mengalami degranulasi dan
melepaskan mediator. Sel-sel mast dalam jaringan interstisial paru akan terangsang untuk
melepaskan histamine dan leukotriene. Histamine terikat pada tempat-tempat reseptor dalam
bronkus yang besar tempat substansi ini menyebabkan pembengkakan pada otot polos. Membran
mukosa mengalami inflamasi,iritasi, dan pembengkakan. Pasien dapat mengalami
dyspnea,ekspirasi yang memanjang, dan frekuensi respirasi yang meningkat.
Leukotriene melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan
menyebabkan pembengkakan local otot polos. Leukotriene juga menyebabkan prostaglandin
bermigrasi melalui aliran darah kedalam paru-paru dan dalam organ ini prostaglandin
meningkatkan efek kerja histamin. Bunyi mengi (wheezing) dapat terdengar pada saat
batuk,semakin tinggi nadanya,semakin sempit lumen bronkus.histamin menstimulasi membrane
mukosa untuk menyekresi mucus secara berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus
menjadi sempit. Sel-sel goblet menyekresi mucus yang sangat lengket dan sulit dibatukkan keluar
sehingga pasien semakin batuk,memperdengarkan bunyi ronki serta mengi bernada tinggi dan
mengalami distress pernafasan yang bertambah berat. Selanjutnya edema mukosa dan secret yang
kental akan menyumbat jalan napas.
Pada saat inspirasi,lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang sehingga
udara dapat masuk kedalam alveoli. Pada saat ekspirasi, peningkatan tekanan intratorakal
menyebabkan penutupan total lumen bronkus. Udara bisa masuk,tetapi tidak bisa keluar. Dada
pasien akan mengembang dan menyerupai tong sehingga diberi nama dada tong ( barrel chest )
sementara pada perkusi dada,didapatkan bunyi hipersonor ( hiperesonan ).
Mucus akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah di pintas
kedalam alveoli pada bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini masih tidak mampu
mengimbangi penurunan ventilasi.
Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru-paru untuk meningkatkan volume paru dan di
sebabkan oleh udara yang terperangkap serta obstruksi jalan nafas. Tekana gas intrapleural serta
alveolar meningkat dan peningkatan ini menyebabkan penurunan perfusi pada alveoli paru.
Peningkatan tekanan gas alveolar, penurunan ventilasi, dan perfusi mengakibatkan rasio ventilasi
perfusi tidak merata dan tidak cocok di berbagai segmen paru.
Hipoksia memicu hiperventilasi melalui stimulasi pusat pernafasan yang selanjutnya akan
menurunkan tekanan parsial karbondioksida arteri ( PaCO2 ) dan meningkatkan pH sehingga
terjadi alkalosis respiratorik. Seiring semakin berat obstruksi jalan nafas, semakin banyak pula
alveoli paru yang tersumbat. Ventilasi serta perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah retensi
karbondioksida. Akibatnya, akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami
gagal nafas.
PATHWAY
E. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20%
menunjukkan diagnosis Asma.

b) Pemeriksaan tes kulit


Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.

c) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru
atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.

d) Pemeriksaan analisa gas darah


Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan Asma
berat.

e) Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral Churschmann, pemeriksaan
sputum penting untuk menilai adanya miselium Aspergilus fumigatus.

f) Pemeriksaan eosinophil
Pada penderita Asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan Asma dari Bronchitis kronik
(Sundaru, 2006)

F. Penatalaksanaan
a) Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala-gejala yang timbul saat
serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan optimal
yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien segera mengalami
relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau terbutalin 10
mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap 20 menit sampai 1
jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara subcutan atau intravena
dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam
sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon segera atau
dalam serangan sangat berat
e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya golongan
beta adrenergik dan anti kolinergik.

b) Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis


Menurut doenges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu:
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari faktor pencetus

G. Peran penata anestesi pada pasien asma


a. Pada fase pre op peran penata anestesi adalah berkolaborasi dengan dokter spesialis
anestesi sesuai SOP, terkait prosedur tindakan anestesi yang nanti akan dilakukan terhadap
pasien tersebut. Kemudian sebagai motivator dan educator mengenai prosedur yang akan
dijalani, resiko, dan prognosa post prosedur tindakan.
b. Pada fase intra operatif peran penata adalah berkolaborasi dengan doktrer spesialis anestesi
sesuai SOP sebagai tim terkait tindakan invasif terhadap pasien supaya tidak memperburuk
kondisi. Disamping itu, penata anestesi juga mempunyai tugas untuk mengobservasi serta
mempertahankan hemodinamik selama tindakan operasi.
c. Pada fase pasca operasi, penata anestesi sebagai tim sesuai SOP mempunyai peranan
sangat penting yaitu memonitor dan memastikan Airway, Breathing dan Circulation dalam
batas normal sampai dengan ditransfer ke unit selanjutnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang
timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh
karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang
dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul.
Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu,
pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-
obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan
agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

B. SARAN
Dengan mengetahui apa dan bagaimana penyakit asma maka dapat lebih mengenali cara
penanganannya.

Anda mungkin juga menyukai