Anda di halaman 1dari 21

Pre-eklampsia Berat

Kesehatan ibu hamil merupakan salah satu program kesehatan yang


diupayakan oleh seluruh tenaga kesehatan. Dalam mewujudkannya, terdapat
banyak hal yang harus dihadapi dan diatasi agar ibu hamil berada dalam kondisi
kesehatan yang optimal sejak awal kehamilan, kelahiran, hingga saat-saat
menyusui. Pre-eklampsia berat, merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada ibu hamil di Indonesia (Muhani dan Besral, 2015). Berdasarkan data dari
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2016, Jumlah kasus
Kematian ibu di Jawa Tengah tahun 2015 sebanyak 619 kasus dengan 3
penyebab kematian terbanyak yaitu perdarahan 21,14%, hipertensi pada
kehamilan 26,24%, dan infeksi 2,76%.

Pre-eklampsia Berat (PEB) merupakan gangguan yang hanya terjadi pada


ibu hamil, dan disebabkan oleh etiologi yang belum diketahui secara pasti
penyebabnya (Fatmawati, et al., 2017). Oleh karena itu pula, PEB masih disebut
sebagai ”the disease of theories” karena kejadiannya tetap tinggi yang
mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortilitas maternal (Manuaba,
2010; Fatmawati, et al., 2017). Pada dasarnya, pre-eklampsia merupakan kondisi
hipertensi yang muncul setelah 20 minggu masa kehamilan dan diikuti dengan
proteinuria (Sumampouw, et al., 2019). Gejala klinik yang dapat timbul dari
kondisi pre-eklampsia dibagi menjadi dua, yaitu pre-eklampsia ringan dan pre-
eklampsia berat. Kondisi ibu akan tergolong mengalami pre-eklampsia berat jika
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
110 mmHg disertai proteinuria > 5 g/24 jam (Angsar, 2016; Sumampouw,
2019).

Banyak faktor yang dapat memicu ibu hamil mengalami PEB, diantaranya
adalah primigravida, primipaternitas, umur, riwayat pre-eklampsia ayau eklampsia
sebelumnya, penyakit ginjal, kehamilan ganda, obesitas, dan hipertensi yang
sudah ada sejak sebelum kehamilan. (Palei, et al., 2013; Al-Jameil, et al., 2014;
Angsar, 2016). Gejala klinis yang dapat muncul pada PEB diantaranya adalah
penurunan fungsi hepar, trombositopenia, dan juga sindrom HELLP. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari “Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, Low
Platelet Count”. Sindrom ini merupakan gejala yang disebabkan oleh pre-
eklampsia yang sangat berbahaya dan dapat mengancam jiwa dan cukup jarang
ditemui (Al-Jameil, et al., 2014). Bagaimana kondisi atau gejala ini dapat terjadi
pada pre-eklampsia berat akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan penyakit ini.

Klasifikasi
Pre-eklampsia terjadi pada 3-5% kehamilan, dan sering diketahui dengan
hipertensi 140/90 mmHg atau lebih tinggi dan proteinuria hingga 0,3 gr/24 jam
atau dapat lebih tinggi, yang muncul setelah 20 minggu masa kehamilan, dan
berkurang setelah masa kehamilan. Menurut the International Society for the
Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP), pre-eklampsia dibagi menjadi dua,
yaitu pre-eklampsia ringan dan berat. Pre-eklampsia ringan diklasifikasikan ketika
tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih, dan disertai dengan proteinuria
0,3 gr/24 jam. Sementara itu, pre-eklampsia berat diklasifikasikan ketika pre-
eklampsia ringan muncul disertai dengan tanda-tanda lain, seperti tekanan darah
antara 160 dan 170/100 dan 110 mmHg, proteinuria 3-5 gr/hari, dan/atau disertai
dengan sakit kepala (von Dadelszen, et al., 2003).

Patofisiologi

 Hipertensi pada Pre-Eklampsia Berat

Hipertensi yang berkaitan dengan pre-eklampsia pada kehamilan akan


muncul pada masa kehamilan, namun akan menghilang setelah proses melahirkan,
yang mana hal ini melibatkan plasenta sebagai penyebab utama dari pre-
eklampsia (Palei, et al., 2013). Pre-eklampsia dimulai dengan menurunnya perfusi
plasenta, yang menyebabkan disfungsi pada endotel vaskuler ibu (Fukui, et al.,
2012; Palei, et al., 2013).
Gambar 1. Proses patofisiologi hipertensi pada pre-eklampsia (Palei, 2013).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi disfungsi vaskuler yang


terjadi, diantaranya adalah kinerja dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan
serpin proteinase inhibitor-9 intraseluler. Hal ini menyebabkan invasi abnormal
dari sitotrofoblas dan juga remodelling arteri spiral. Segera setelah itu, akan
terjadi iskemi plasenta, dimana plasenta kehilangan atau gagal dalam
mengirimkan oksigen dan nutrisi yang adekuat (Roberts, 2014). Pada ibu hamil,
terdapat remodeling dari arteri spiral yang menghasilkan perfusi dari spatium
intervili atau ruang diantara vili-vili pada plasenta. Arteri spiral pada wanita yang
tidak dalam masa kehamilan merupakan cabang dari arteri uterin yang mensuplai
darah menuju endometrium, yang memiliki sensitivitas cukup tinggi terhadap
sinyal humoral dan neural (Burton, et al., 2009; Roberts, 2014). Pada kehamilan
normal, struktur ini akan mengalami modifikasi, dimana akan terjadi pelebaran
diameter arteri, perubahan struktur dinding pembuluh, dan pengurangan
komponen muskular dan elastis yang menghasilkan struktur tabung yang lebih
lunak (Roberts, 2014). Dalam merespon sinyal humoral dan neural, modifikasi ini
disertai dengan hilangnya “sphingter fungsional”, yaitu struktur otot polos pada
vaskuler myometrium di bawah lapisan endometrium atau dapat disebut sebagai
lapisan desidua pada masa kehamilan. Lapisan otot ini berfungsi untuk mencegah
perdarahan yang berlebihan pada saat menstruasi pada wanita yang tidak dalam
masa kehamilan. Dengan hilangnya struktur otot polos ini, maka struktur tabung
hasil modifikasi akan menembus lapisan desidua hingga lapisan myometrium
(Pijnenborg, et al., 2006; Roberts, 2014).

Pada dasarnya, perubahan struktur ini bertujuan untuk meningkatkan perfusi


pada spatium intervili. Pelebaran struktur yang terjadi juga menurunkan kecepatan
aliran atau velocity darah yang dialirkan menuju spatium intervili,dari 1-2 m/detik
menjadi 10 cm/detik selama masa kehamilan. Penurunan kecepatan aliran darah
ini berfungsi untuk menjaga struktur vili plasenta. Selain itu, penurunan kecepatan
aliran darah ini bertujuan untuk memberikan waktu leih lama untuk terjadi
pertukaran oksigen dari ibu ke janin.

Namun, pada beberapa wanita hamil, modifikasi ini tidak terjadi, sehingga
pelebaran pembuluh yang terjadi tidak selebar seharusnya, otot halus masih
menetap pada dinding pembuluh, dan modifikasi yang terjadi, tidak sampai
melewati lapisan desidua, sehingga sphingter fungsional masih tetap ada. Kondisi
ini banyak dijumpai pada wanita hamil dengan penyulit seperti pre-eklampsia.

Gambar 2. Modifikasi arteri spiralis pada masa sebelum dan selama


kehamilan (Roberts, 2014).

Kondisi ini akan menyebabkan kerusakan pada vili-vili yang mana akan
meningkatkan terlepasnya fragmen-fragmen vili ke darah ibu dan akan
menurunkan pertukaran oksigen dari spatium intervili. Kerusakan dari vili yang
terjadi juga akan melepaskan agen prokoagulasi ke spatium intervili dan
mengaktifkan kaskade koagulasi, yang mana akan semakin menurunkan perfusi
pada pembuluh.

Peningkatan kecepatan aliran darah dikarenakan kegagalan modifikasi ini


juga akan berakibat pada menurunnya suplai oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin,
dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk pertukaran oksigen dan nutrisi menjadi
semakin singkat (Burton, et al., 2009). Hal ini menyebabkan darah pada spatium
intervili menjadi hiperoksik, namun pada saat yang sama plasenta dalam keadaan
hipoksik (Roberts, 2014).

Disamping itu, dalam kondisi hipoksia plasenta akan mulai memproduksi


faktor patogenik yang mana akan masuk ke dalam aliran darah ibu dan
menyebabkan disfungsi endotelial dan manifestasi klinis yang lain, seperti
hipertensi dan proteinuri (Gilbert, et al., 2008; Wang, et al., 2009). Molekul-
molekul yang paling banyak dilepaskan pada kondisi ini adalah faktor anti-
angiogenik dan autoimun/inflamasi. Salah satu molekul yang paling banyak
ditemukan pada pre-eklampsia adalah Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) dan Placental Growth Factor (PIGF). Molekul ini memiliki fungsi
penting dalam pemeliharaan lapisan endotelial (Gilbert, et al., 2008; Mutter and
Karumanchi, 2008; Wang, et al., 2009).

Namun, disamping itu, terdapat peningkatan fms-related tyrosine kinases


(sFlt)-1, bentuk terlarut dari reseptor VEGF dan PIGF. Dengan meningkatnya
sFIt-1, maka VEGF dan PIGF bebas akan berkurang, berakibat pada penurunan
kemampuan angiogenesis dan integritas lapisan edotelial (Mutter dan
Karumanchi, 2008; Wang, et al., 2009; Palei, 2013). Pada ginjal, inaktivasi dari
VEGF bebas akan berakibat pada endoteliosis dan proteiuria (Mutter dan
Karumanchi, 2008; Wang, et al., 2009). sFIt-1 dilepaskan dalam keadaan hipoksia
di vili plasenta dan sel tropoblas sebagai respon menurunnya tekanan oksigen di
plasenta. Selain itu, tumor necrosis factor (TNF)-α dan autoantibodi angiotensin II
type I receptor (AT1-AA) juga muncul pada kondisi ini (Palei, 2013)
Penurunan VEGF dan PIGF bebas pada darah dan terjadinya peningkatan
kecepatan aliran darah akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan
endotelial pada pembuluh plasenta. Kerusakan lapisan endotel dan kondisi
hipoksia ini memicu terjadinya stress oksidatif (Poston dan Raijmakers, 2004).

Proses inflamasi dan stress oksidatif yang telah terjadi, selanjutnya memicu
produksi dariendothelin-1 (ET-1). ET-1 merupakan agen vasokonstriktor yang
poten yang mana diketahui sebagai vasokonstriktor paling kuat. Pada ibu
hamildengan pre-eklampsia, kadar ET-1 dalam darah akan mengalami
peningkatan, yang mana dalam George dan Granger pada tahun 2011
mengemukakan bahwa kadar ET-1 berpengaruh pada derajat keparahan
manifestasi yang dapat muncul. Dalam prosesnya, iskemi plasenta, penigkatan
sFIt-1, TNF-α, dan AT1-AA memilikiperan untuk meningkatkan produksidari
ET-1. Dengan meningkatnya kadar ET-1 maka diameter pembuluh akansemakin
sempit dan meningkatkan tekanan darah dan semakin memperparah kerusakan
yang terjadi pada endotel pembuluh.

Disamping itu, pada kehamilan normal, kadar NO akan meningkat, yang


mana memiliki peran sebagai vasodilator yang membuat aliran darah tidak
terhambat serta suplai oksigen dan nutrisi dapat berlangsung dalam jumlah yang
adekuat (Gilbert, et al., 2011). Namun, pada ibuhamil dengan pre-eklampsia,
jumlah produksi dari NO menurun, sehingga disertai dengan eningkatan ET-1,
maka vasokonstriksi akan terjadi, dan meningkatkan tekanan darah pada
pembuluh.

 Proteinuria pada Pre-eklampsia Berat


Pada kehamilan normal, aliran darah pada ginjal dan filtrasi glomerular akan
meningkat (Cornelis, 2011; Conrad, 2014). Namun pada pre-eklampsia,perfusi
renal dan filtrasi glomerular akan menurun, yang mana akan mengakibatkan
penurunan volume plasma. Selain itu, terdapat perubahan karakteristik morfologi
dikarenakan penyumbatan barrier filtrasi akibat endoteliosis glomerular. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan serum kreatinin pada wanita yang tidak dalam
masa kehamilan hingga 1mg/mL, atau lebih tinggi (Lindheimer, 2008).
Pada wanita hamil dengan pre-eklampsia, konsentrasi ion natrium pada urin
akan meningkat. Selain itu, konsentrasi asam urat pada plasma juga akan
mengalami kenaikan. Pada pre-eklampsia, proteinuria akan muncul lebih lambat
dibanding yang lain, pada beberapa kasus, ibu hamil dengan pre-eklampsia akan
melahirkan atau mengalami eklampsia sebelum terjadi proteinuria (Sibai, 2004).
Ambang proteinuri pada pre-eklampsia adalah >300mg/24 jam (Task Force, 2013)
dan 300-500mg/24 jam pada pre-eklampsia berat.

Terdapat metode yang cukup akurat yang dapat digunakan untuk mengukur
proteinuria, serta tidak ada pemeriksaan yang mendeteksi semua jenis protein
yang diekskresikan pada kasus proteinuria (Nayeri, 2013). Metode yang lebih
akurat yang telah diguanakan adalah pengukuran protein albumin. Pada penyakit
yang melibatkan glomerulus seperti pre-eklampsia, filtrasi albumin akan melebihi
besar globulin, dan sebagian protein yang diekskresikan pada urin adalah albumin,
sehingga pada pemeriksaan tersebut, memungkinkan pengukuran cepat rasio
albumin urin : kreatinin pada rawat jalan (Kyle, 2008).
Faktor Resiko pada Pre-Eklampsia
Faktor resiko yang dapatmenyebabkan pre-eklampsia dapat dibagi menjadi
3 kelompok besar, yaitu faktor yang berkaitan dengan kehamilan, faktor maternal,
dan faktor paternal (Dekker, 2001; ACOG, 2002).
a. Faktor yang berkaitan dengan kehamilan
o Abnormalitas kromosom
o Molahidatidosa
o Hydrop fetalis
o Kehamilan multifetal
o Donasi oosit atau donor inseminasi
o Infeksi traktus urinaria
b. Faktor maternal
o Umur >35 tahun
o Umur <20 tahun
o Ras berkulit hitam
o Riwayat pre-eklampsi pada keluarga
o Nullipara
o Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
o Kondisi khusus:diabetes gestasional, DM tipe I, obesitas, hipertensi
kronik, penyakit ginjal, dan trombofilia
o stress
c. Faktor paternal
o Riwayat menjadi ayah pada kehamilan pre-eklamptik pada wanita yang
lain
Tanda dan Gejala
Terdapat beberapa tanda dan gejala yang daat ditemui pada wanita dengan
pre-eklampsia berat, dimana masing-masing sistem memiliki tanda dan gejala
masing-masing yang dapat dikenali (Peres, et al., 2018).
a. Sistem Saraf Pusat

Pada sistem saraf pusat, ibu hamil dapat mengalami sakit kepala,
gangguan penglihatan, dan juga seizure jika sudah masuk ke dalam stage
eklampsia

b. Ginjal

Pada sistem urinaria, tanda dan gejala yang dapat ditemukan adalah
adanya proteinuria, oliguria, adanya hasil abnormal pada tes ginjal, dan
hipertensi.

c. Sistem vaskuler
Hipertensi berat menjadi tanda dan gejala yang sangat jelas pada kasus
pre-eklampsia berat.
d. Sistem kardiorespirasi
Ibu dengan pre-eklampsia berat dapat merasakan adanya nyeri dada,
dyspnea, dan juga dapat ditemukan saturasai oksigen yang rendah, serta
oedema paru-paru.
e. Hepar
Pada hepar, akan ditemukan fungsi hepar yang abnormal, nyeri
epigastrik, dan juga nausea.
f. Hematologi
Pada sistemhematologi, tanda dan gejala yang dapat ditemukan adalah
adanya perdarahan, terganggunya proses koagulasi, diseminasi koagulasi
intravaskuler, serta syok.

Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis pada pre-eklampsia berat adalah sebagai berikut:
1. Tekanan darah systole 160 mmHg atau lebih; atau diastole 110 mmHg
atau lebih pada dua kali pemantauan berjarak selama 6 jam pada wanita
dengan tirah baring, pada saat umur kehamilan lebih dari 20 minggu.
2. Proteinuria 5 gr atau lebih per 24 jam atau 3+ atau lebih besar pada tes
dipstick pada dua sample random urin yang dikoleksi setidaknya
berjarak 4 jam
3. Tanda-tanda lain: oliguria (kurang dari 500 mL per 24 jam), gangguan
visual, oedema pulmo atau sianosis, nyeri perut quadran atas atau nyeri
epigastrik, penurunan fungsi hepar, trombositopenia.

Gambar 3. Algoritma penentuan gangguan hipertensif pada wanita


hamil.
Namun, pada pelaksanaannya dibutuhkan serangkaian pemeriksaan untuk
mengetahui lebih lanjut apakah pasien benar-benar mengalami pre-eklampsia
berat atau tidak.
a. Anamnesis
Pada asesmen ibu hamil, harus diketahui terkait ada atau tidaknya
potensi faktor resiko pre-eklampsia pada ibu. Riwayat yang perlu
diketahui meliputi riwayat persalinan, riwayat munculnya hipertensi
selama kehamilan, atau munculnya pre-eklampsi pada kehamilan
sebeumnya.
Selain itu perlu dipertanyakan apakah ibu mengalami berbagai
riwayat resiko pre-eklampsia, seperti diabetes mellitus, hipertensi,
penyakit vaskuler dan jaringan ikat sebelumnya, nefropati, dan
sindrom antibodi antifosfolipid.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah harus terukur pada tiap kali
visit. untuk meningkatkan keakuratan pemeriksaan tekanan darah,
maka perlu pengukuran sebanyak 3 kali.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada wanita dengan resiko tinggi
adalah pemeriksaan level hemoglobin, hematokrit, platelet count,
urine protein collection per 12 atau 24 jam, level kreatinin serum,
dan level asam urat pada serum.
Disamping itu, pemeriksaan yang dapat dilakukan pada ibu hamil
yang mengalami hipertensi setelah 20 minggu masa kehamilan
adalah pemeriksaan yang sama yang dapat dilakukan pada wanita
dengan resiko tinggi, kemudian level transaminase serum, albumin
serum, kadar asam laktat dehidrogenase, apusan darah tepi, dan
profil koagulan.
Pada wanita dengan pre-eklampsia yang tidak progresif, maka
seluruh pemeriksaan harus dilakukan setiap minggu, namun bila
ditemukan progresifitas, maka pemeriksaan harus dilakukan lebih
sering.

Langkah Assessment pada Ibu


1. Meskipun klasifikasi dari tingkat keparahan pre-eklampsia hanya
berdasarkan tingkat tekanan darah dan proteinuria, klinisi harus
waspada terhadap adanya kerusakan pada organ lain ketika
melakukan assessment terhadap resiko maternal, termasuk adanya
masalah pada plasenta dengan manifestasi pada janin. Dalam
assessment dan manajemen ini, senior obstetri dan staff anestesi
serta bidan senior perlu turut terlibat.
Beberapa pasien akan didapatkan adanya konvulsi, nyeri
abdomen atau malaise. Dalam kondisi ini, pre-eklampsia harus selalu
terpantau dan tekanan darah serta analisis urin harus segera
dilakukan. Kondisiyang semakin buruk dapat ditandai dengan
beberapa tanda klinis, seperti sakit kepala, dan peningkatan nyeri
abdomen. Selain itu, monitoring saturasi oksigen secara berkala juga
dibutuhkan sebagai tanda awal terjadinya oedem paru-paru.
2. Pada saat memeriksa tekanan darah, pasien harus diposisikan pada
posisi istirahat dan duduk dalam sudut 45o. Cuff tensimeter harus
dalam ukuran yang proposional dan diletakkan sejajar dengan posisi
jantung. Pengambilan data disarakan berulang kali untuk
menghilangkan bias. Korotkoff fase 5 merupakan pengukuranyang
tepat untukmengetahui tekanan darah diastol. Setelah pemeriksaan,
data yang didapat harus didokumentasikan atau dicatat.
3. Pemeriksaan yang sering dilakukan untukmengetahui kadar
proteinuria adalah dengan tes dipstick. Dua pemeriksaan dipstick
dengan hasil positif dapat dijadikan sebagai dasar penentuan
proteinuria.
4. Pada fase inisiasi selama assessment, tekanan darah harus dicek
selama 15 menit sekali dan kemudian ketika sudah stabil, diperiksa
kembalu selama 30 menit sekali. Jika pasien dalam kondisi stabil dan
asimptom, serta dalam manajemen konservatif maka tekanan darah
diperiksa setiap 4 jam.
5. Assessment padapasien memerlukan pemeriksaan hitung darah total,
fungsi hepar dan fungsi ginjal. Pemeriksaan iniharusdilakukan
setiaphari ketika dalam kondisi normal, namun harus lebih sering
ketika terdapat abnormalitas pada tanda klinis. Pemeriksaan blood
clotting tidak diperlukan jika platelet count lebih dari 100 x 106 /L.

Langkah Assessment pada Janin

1. Pada kondisi akut, inisiasi assessment menggunakan kardiotokografi


perlu dilakukan, langkah ini memberikan informasi mengenai
kondisi janin pada saat itu, namun tidak memberikan informasi
prediksi apapun. Selain itu, wanita yang melahirkan dengan
kondisipre-eklampsia berat harus diberikan monitoring
berkesinambungan pada bayi yang dilahirkan.
2. Jika perawatan konservatif akan dilakukan, maka assessment
lanjutan pada janin menggunakan USG untukmengukur ukuran
janin, doppler arteri umbilikalis dan volume cairan harus dilakukan.

Tatalaksana
Berikut adalah tatalaksana yang harus dilakukan berdasarkan guideline Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists pada tahun 2010.
 Pencegahan

Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah


terjadinya pre-eklampsia pada ibu hamil, diantaranya adalah:

1. Modifikasi Pola Makan dan Gaya Hidup


a. Diet rendah garam
Diet rendah garam berfungsi dalam kontrol tekanan darah.
Metode ini adalah salah satu metode yang paling lama
dilakukan, berdasarkan De Sono pada tahun 1937 dalam
William (2014).
b. Suplementasi kalsium
Berdasarkan penelitian oleh Patrelli, et al. pada 2012
menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi kalsium akan
menurunkan resiko terjadinya pre-eklampsia pada wanita
beresiko tinggi.
c. Olahraga
Olahraga secara rutin memiliki efek protektif pada wanita
beresiko tinggi mengalami pre-eklampsia (Kasawara, et al.,
2012)
 Perawatan Konservatif
1. Indikasi Pada kehamilan
a. sistole > = 180 mmHg atau
b. diastole > = 110 mmHg
2. Pengobatan
a. Di kamar bersalin (selama 24 jam)
1) Tirah baring
2) Infus RL (Ringer Laktat) yang mengandung 5% dekstrosa,
60-125 cc/jam,
3) 10 gr MgS04 50% i.m. sebagai dosis awal diulangi
dengan dosis 5 gr MgSO4 50% i.m. setiap 6 jam, s/d 24
jam pasca persalinan (kalau tidak ada kontra indikasi
pemberian MgS04 )
4) Diberikan anti hipertensi:
- Klonidin suntikan i.v. (1 ampul mengandung 0,15 mg/cc),
tersedia di kamar bersalin, dilanjutkan tablet
- Nifedipin 3 x 10 mg (pilihan pertama) atau tablet
Metildopa 3 x 250 mg)
- Bila sistole > = 180 mmHg atau diastole > = 110 mm Hg
digunakan injeksi 1 ampul Klonidin yang mengandung 0,15
mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan
aquadest (untuk suntikan). Disuntikan : mula-mula 5 cc i.v.
perlahan-lahan selama 5 menit. 5 menit kemudian tekanan
darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan
lagi sisanya 5 cc i.v. dalam 5 menit sampai tekanan darah
diastole normal.
5) Dilakukan pemeriksaan lab. tertentu (fungsi hepar dan
ginjal) dan produksi urine 24 jam.
6) Konsultasi dengan spesialis Mata, Jantung atau yang lain
sesuai indikasi.

b. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di Ruang


Bersalin setelah 24 jam masuk ruangan bersalin)
1) Tirah baring
2) Obat-obatan:
- Roboransia: multivitamin
- Aspirin dosis rendah 1 x 87,5 mg per hari
- Antihipertensi (Klonidin 0,15 mg i.v. dilanjutkan Nifedipin
3 x 10 mg atau Metildopa 3 x 250 mg)
3) Pemeriksaan lab.:
- Hb, PCV dan hapusan darah tepi
- Asam urat darah
- Trombosit
- Fungsi ginjal/hepar
- Urine lengkap
- Produksi urine per 24 jam, penimbangan BB setiap hari
- Diusahakan pemeriksaan AT III
- Pemeriksaan Lab dapat diulangi sesuai dengan keperluan.
4) Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
5) Dilakukan penilaian kesejahteraan janin.
6) Perawatan konservatif dianggap gagal bila:
- Adanya tanda-tanda impending eklampsia
- Kenaikan progresif dari tekanan darah
- Adanya Sindrom Hellp
- Adanya kelainan fungsi ginjal
- Penilaian kesejahteraan janin jelek.
 Perawatan Aktif
1. Indikasi
a. Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek
b. Adanya gejala-gejala impending eklamsia
c. Adanya Sindrom Hellp
d. Kehamilan aterm (> 38 mg)
Apabila perawatan konservatif gagal
2. Pengobatan medisinal
a. Segera rawat inap
b. Tirah baring miring kesatu sisi
c. Infus RL yang mengandung 5% Dekstrosa dengan 60-125 cc/jam
d. Pemberian anti kejang: MgS04
Dosis awal:
1) MgSO4 20% 2 gr.i.v.
2) MgSO4 50% 10 gr i.m. pada bokong kanan/kiri (masing
masing 5 gr)
Dosis ulangan:
1) MgSO4 50% 5 gr.i.m.diulangi tiap 6 jam setelah dosis awal
s/d 6 jam pasca persalinan.
Syarat pemberian:
- Refleks patela (+)
- Respirasi > 16/menit
- Urine sekurang-kurangnya 150 cc/6 jam
- Harus selalu tersedia kalsium glukonas 1 gr 10% (diberikan
i.v. pelan-pelan pada intoksikasi MgS04)
e. Antihipertensi dapat dipertimbangkan diberikan bila: (Klonidin i.v.
dilanjutkan Nifedipin 3 x 10 atau Metildopa 3 x 250 mg)
- Systole > 180 mmHg
- Diastole > 120 mmHg
 Melahirkan
Melahirkan membutuhkan perawatan yang maksimal bagi wanita dengan
pre-eklampsia berat seperti yang sudah dijelaskan pada bagian tatalaksana
sebelumnya diatas. Jika memungkinkan, maka melahirkan pervaginam adalah
metode yang lebih disarankan utuk menghindari stressor fisik tambahan akibat
melahirkan dengan metode caesar.
Namun, jika melahirkan dengan metode caesar dibutuhkan, anestesi
regional lebih disarankan dikarenakan memilikiresiko yang lebih kecil bagi ibu.
Pada kasus pre-eklampsia dnegan koagulopati, maka anestesi regional
akanmenjadi kontraindikasi (Wagner, 2004).
 Langkah Manajemen Pre-eklampsia Berat
1. Kontrol tekanan darah
 Perawatan antihipertensi harus mulai diberikan pada wanita dengan
tekana darah sistolik melebihi 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik melebihi 110 mmHg. Pada wanita dengan potensi penyakit
berat lainnya, perawatan dapat dimulai pada fase lebih awal.
 Labetalol diberikan secara intravena, sementara nifedipin dapat
diberikan secara oral atau intravena untuk manajemen akut pada
hipertensi berat
 Atenolol, ACE inhibitor, angiotensin receptor-blocking (ARB), dan
diuretik harus dihindari.
 Nifedipin harus diberikan secara oral, bukan sublingual
 Pada wanita dengan asma, labetalol harus dihindari
2. Perencanaan kelahiran
 Perencanaan kelahiran harus dilakukan ketika pasien sudah dalam
keadaan stabil dan harus dalam pantauan obstetri senior.
 Jika janin berumur kurang dari 34 minggu kehamilan dan persalinan
dapat ditunda, maka kortikosteroid seharusnya diberikan dengan
assessment manajemenkonservatif ulang setelah 24 jam
 Manajemen konservatif pada usia kehamilan yang lebih dini dapat
meningkatkan kondisi perinatal, namun tetap memperhatikan kondisi
ibu.
 Metode persalinan harus dilakukan setelah mempertimbangkan
kondisi dan presentasi janin, serta memperhatikan kemungkinan
keberhasilan induksi persalinan setelah pemeriksaan serviks.
 Ergometrine tidak boleh diberikan pada ibu dengan pre-eklampsia
berat untuk mencegah terjadinya perdarahan, mengingat bahwa
ergometrine dapat meningkatkan tekanan darah.
3. Setelah Kelahiran
 Klinisi harus waspada dengan resiko kejang yang dapat muncul dan
melakukan review kembali sebelum pasien dipulangkan dari rumah
sakit.
 Medikasi antihipertensi perlu dilanjutkan setelah melahirkan untuk
mengkontrol tekanan darah. Waktu yang diperlukan kurang lebih
selama 3 bulan, atau dapat dihentikan sebelum waktu tersebut sesuai
dengan pertimbangan dokter.
 Ibu dengan hipertensi yang menetap dan juga proteinuria selama 6
bulan mungkin mengalami kerusakan pada ginjal, dan harus
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
 Klinisi harus waspada dengan eklampsia yang dapat muncul post
partum pada pasien dengan pre-eklampsia berat, sehingga
assessment berulang diperukan.
4. Follow Up dan Diagnosis Final
 Assessment tekanan darah dan proteinuria selama 6 minggu
postnatal. Jika setelah 6 minggu hipertensi dan proteinuria masih
menetap perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
 Wanita dengan kehamilan disertai pre-eklampsia disarankan untuk
melakukan review postnatal untuk mengetahui kondisi selama
kehamilan

Komplikasi
 Sindrom HELLP
Sindrom HELLP merupakan singkatan dari “Hemolysis, Elevated Liver
enzymes, Low Platelet count”. Sindrom ini muncul pada 0,5-0,9% dari semua
kehamilan, namun 10-20% dari semua kasus yang ada disertai dengan pre-
eklampsia berat. Selain itu, pada 70% kasus, sindrom HELLP terjadi sebelum
kelahiran, pada minggu ke 27 hingga 37 masa kehamilan. Pada periode post-
partum, sindrom HELLP muncul setelah 48 jam pertama pada wanita dengan
proteinuria dan hipertensi selama kehamilan.
Tanda klinis yang dapat diamati antara lain adalah nyeri di quadrant atas
atau nyeri epigastrik, mual dan muntah. Selain itu, terjadi malaise di banyak
kasus, 30-60% wanita mengalami sakit kepala dan sekitar 20% mengalami gejala
visual.
DAFTAR PUSTAKA

ACOG Committee on Obstetric Practice. (2002). Diagnosis and management of


preeclampsia and eclampsia. ACOG practice bulletin. No. 33, January 2002.
American College of Obstetricians and Gynecologists. Obstet Gynecol
2002;99:159-67
Al-Jameil N, Khan FA, Khan MF, Tabassum H. A. (2014). Brief Overview of
Preeclampsia. [Diakses tanggal 12 Januari 2020].
http://www.jocmr.org/index.php/JOCMR/article/view/1682
Angsar MD. (2016). Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam: Ilmu Kebidanan
(Edisi 4). Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. h:54,531-54
Burton GJ, Woods AW, Jauniaux E, Kingdom JCP. (2009). Rheological and
physiological consequences of conversion of the maternal spiral arteries for
uteroplacental blood flow during human pregnancy. Placenta; 30(6):473–82.
[PubMed: 19375795]
Conrad, KP., Stillman I., Lindheimer MD. (2014). The kidney in
normalpregnancy and preeclampsia. In Taylor RN, Roberts JM,
Cunningham FG (eds): Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy,
4thed. Amsterdam, Academic Press

Cornelis T, Adutayo A, Keunen J, et al. (2011). The kidney in normalpregnancy


and preeclampsia. Semin Nephrol31:4

Dekker G, Sibai B. (2001). Primary, secondary, and tertiary prevention of pre-


eclampsia. Lancet;357:209-15.
Dinkes Jateng. (2016). Profil Kesehatan Jawa Tengah 2015. Semarang.
Fatmawati, L., Sulistyono, A., Notobroto, HB. (2017). PENGARUH STATUS
KESEHATAN IBU TERHADAP DERAJAT
PREEKLAMPSIA/EKLAMPSIA DI KABUPATEN GRESIK. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 20 No. 2 April 2017
Fukui A, Yokota M, Funamizu A, Nakamua R, Fukuhara R, Yamada K, Kimura
H, Fukuyama A, Kamoi M, Tanaka K, Mizunuma H. (2012). Changes of
NK cells in preeclampsia. Am J Reprod Immunol; 67:278–86. [PubMed:
22364232]
George EM, Granger JP. (2011). Endothelin: key mediator of hypertension in
preeclampsia. Am J Hypertens; 24:964–9. [PubMed: 21677700]
GILBERT JS, RYAN MJ, LAMARCA BB, SEDEEK M, MURPHY SR,
GRANGER JP. (2008). Pathophysiology of hypertension during
preeclampsia: linking placental ischemia with endothelial dysfunction. Am J
Physiol Heart Circ Physiol; 294:H541–50. [PubMed: 18055511]
Gilbert JS, Ryan MJ, Lamarca BB, Sedeek M, Murphy SR, Granger JP. (2008).
Pathophysiology of hypertension during preeclampsia: linking placental
ischemia with endothelial dysfunction. Am J Physiol Heart Circ Physiol;
294:H541–50. [PubMed: 18055511]
Kyle PM, Fielder JN, Pullar B, et al. (2008). Comparison ofmethods to identify
significant proteinuria in pregnancy in the outpatient setting. BJOG 115:523

Lindheimer MD, ConradK, Karumanchi SA. (2008). Renalphysiology and disease


in pregnancy. In Alpern RJ, Hebert SC (eds): Seldin andGiebisch’s The
Kidney: Physiology andPathophysiology, 4thed. New York, Elsevier, p2339

Manuaba., I. Gede B. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan


Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta, EGC.
Muhani, N., & Besral, B. (2015). Pre-eklampsia Berat dan Kematian Ibu. Kesmas:
National Public Health Journal, 10(2), 80-86.
doi:http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v10i2.884
MUTTER WP, KARUMANCHI SA. (2008). Molecular mechanisms of
preeclampsia. Microvasc Res; 75:1–8. [PubMed: 17553534]
Nayeri U, Buhimschi C, Hardy J, et al. (2013). Evaluation of“unquantifiable”
urine protein species in preeclampsia (PE). Abstract No. 659, Am J Obstet
Gynecol208(1 Suppl):S278

Palei AC, Spradley FT, Warrington JP, George EM, Granger JP. (2013).
Pathophysiology of Hypertension in Pre-Eclampsia: A Lesson in
Integrative Physiology. http://doi.org/10.1111/alpha.12106
Peres, G., Mariana, M., & Cairrão, E. (2018). Pre-Eclampsia and Eclampsia: An
Update on the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. Journal of
Cardiovascular Development and Disease, 5(1),
3. doi:10.3390/jcdd5010003
Pijnenborg R, Vercruysse L, Hanssens A. (2006). The uterine spiral arteries in
human pregnancy: Facts and controversies. Placenta; 27(9-10):939–58.
[PubMed: 16490251]
Poston L, Raijmakers MT. (2004).Trophoblast oxidative stress, antioxidants and
pregnancy outcome—a review. Placenta; 25(Suppl A):S72–8. [PubMed:
15033311]
Roberts, J. M. (2014). Pathophysiology of ischemic placental disease. Seminars in
Perinatology, 38(3), 139–145. doi:10.1053/j.semperi.2014.03.005
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. (2010). THE
MANAGEMENT OF SEVERE PRE-ECLAMPSIA/ECLAMPSIA.
Guideline No. 10(A)
Sibai BM. (2004). Diagnosis, controversies, andmanagement ofthe syndrome of
hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count. Obstet Gynecol
103:981

Sumampouw, CM., Tendean, HMM., Wagey, FW. (2019). GAMBARAN


PREEKLAMPSIA BERAT DAN EKLAMPSIA DITINJAU DARI
FAKTOR RISIKO DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO.
Jurnal Medik dan Rehabilitasi (JMR), Vol 1, No 3, Januari 2019
Task Force. (2013). Hypertension in pregnancy. Report ofthe American College
of Obstetricians andGynecologists’ TaskForce on Hypertension in
Pregnancy. Obstet Gynecol122:1122

Von Dadelszen, P., Magee, L. A., & Roberts, J. M. (2003). Subclassification of


Preeclampsia. Hypertension in Pregnancy, 22(2), 143–
148. doi:10.1081/prg-120021060
Wagner, LK. (2004). Diagnosis and Managementof Preeclampsia. American
Family Physician. Vol 70, No 12
WANG A, RANA S, KARUMANCHI SA. (2009). Preeclampsia: the role of
angiogenic factors in its pathogenesis. Physiology (Bethesda); 24:147–58.
[PubMed: 19509125]

Anda mungkin juga menyukai