Budidaya Udang Vaname
Budidaya Udang Vaname
Artemia sp (Dekapsulasi)
Oleh:
MAHENDRA
D3050486
2007
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas segala kelimpahan rahmat dan
karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan segala tugas dan tanggung jawab kami dalam
melaksanakan kegiatan magang di industri untuk memenuhi syarat akademik tahun kedua pada
program Diploma III Guru Kejuruan Agribisnis pertanian, Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
dan Kelautan dimana merupakan program bersama antara Pusat Pengembangan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur Jawa Barat, Joint program
dengan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto Jawa Tengah.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua
pihak yang turut berpartisipasi dalam menyelesaikan laporan ini. Terutama kami tujukan kepada
yang terhormat:
2. Ir. Slamet Subjakto, M.Si. Selaku kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo.
3. Ir. Anton Sugiri M.P. Selaku kepala instalasi Pendidikan Diploma III PPPPTK Pertanian Cianjur
4. Khoironi, S.Pi, M.Si. Selaku penanggung jawab bidang peminatan Budidaya Perairan (BDP).
5. Ir. Moh. Affandi Selaku pembimbing lapangan atau pembimbing I dari Balai Budidaya Air
Payau (BBAP) Situbondo
6. Intan Rahima Sary, S.St.Pi. Selaku pembimbing II dari D III GK VEDCA Cianjur.
Dan tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan kegiatan magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo.
Kami menyadari dengan sepenuh hati, bahwa laporan yang kami susun masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan kami sangat dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca guna kesempurnaan dalam pembuatan laporan seperti ini dimasa
mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. ix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Tujuan...............................................................................................3
1. Tujuan Umum............................................................................. 3
2. Tujuan Khusus............................................................................ 3
C. Sasaran..............................................................................................4
2. Morfologi.................................................................................... 7
1. Persiapan Bak.............................................................................. 12
6. Penebaran Nauplius.................................................................... 15
8. Pengelolaan Pakan...................................................................... 17
Halaman
9. Pengendalian Penyakit................................................................ 22
10. Pemanenan.................................................................................. 23
1. Persiapan Tambak....................................................................... 24
3. Pengelolaan Pakan...................................................................... 25
5. Sampling.....................................................................................26
7. Pemanenan.................................................................................. 27
A. Pelaksanaan Magang......................................................................... 28
1. Waktu.......................................................................................... 28
2. Tempat........................................................................................ 28
3. Pengumpulan Data...................................................................... 29
4. Analisa Data................................................................................ 29
B. Keadaan Umum................................................................................ 29
a. Fasilitas Utama...................................................................... 33
b. Fasilitas Pendukung.............................................................. 37
c. Sumber Air............................................................................ 38
Halaman
C. Pembahasan....................................................................................... 60
1. Kegiatan Pembenihan................................................................. 60
c. Pemeliharaan Induk.............................................................. 62
d. Ablasi Mata........................................................................... 63
e. Sampling Induk..................................................................... 64
f. Penetasan Telur..................................................................... 65
h. Pemeliharaan Larva.............................................................. 67
j. Pengeloalaan Pakan.............................................................. 73
m. Pengepakan Benur................................................................ 81
n. Pemasaran Benur.................................................................. 81
a. Keadaan Tambak.................................................................. 82
b. Persiapan Tambak................................................................. 82
e. Pemanenan............................................................................ 94
g. Pemasaran ..............................................................................97
A. Kesimpulan....................................................................................... 99
B. Saran.................................................................................................. 101
LAMPIRAN ...................................................................................................104
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 16.Artemia........................................................................................ 76
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengusahakan jenis udang baru yang dianggap
memiliki peluang pasar ekspor, cepat tumbuh dan tahan terhadap penyakit. Untuk mencapai
tujuan tersebut, telah dikembangkan jenis udang putih (Litopenaeus vannamei).
Udang putih merupakan udang introduksi yang secara resmi ditetapkan sebagai salah satu
komoditas unggulan perikanan budidaya oleh Menteri DKP pada tahun 2001, dan sejak itu
perkembangan budidaya sangat cepat. Saat ini budidaya udang putih telah dikomersialkan dan
berkembang sangat pesat, dikarenakan peminatnya yang semakin meningkat baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri. Selain Indonesia, negara-negara yang telah mengembangkan
udang putih antara lain China, Taiwan, dan Thailand. Udang putih mempunyai ciri-ciri mampu
hidup pada kisaran salinitas 5-45 ppt dengan salinitas optimal 10-30 ppt; kisaran suhu 24-32 0C
dengan suhu optimal 28-30 0C; mampu bertahan pada oksigen 0,8 ppm selama 3-4 hari tetapi
disarankan DO 4 ppm. pH air 7-8,5; kebutuhan protein rendah yaitu 32 % dengan FCR <1,5>
Kehadiran varietas udang putih tidak hanya menambah pilihan bagi petani tetapi juga dapat
menopang kebangkitan usaha udang di Indonesia, akan tetapi budidaya udang putih tidak
semudah dibayangkan. Kegiatan pembesaran merupakan bagian penting dalam budidaya
udang putih yang harus diperhatikan dengan baik, karena banyak kegagalan dalam budidaya
udang putih diakibatkan oleh kelalaian dalam proses pembesaran, terutama dari manejemen
pakan, kualitas air media pemeliharaan, penanganan maupun genetiknya, sehingga serangan
penyakit tidak dapat dihindarkan.
Pakan alami digolongkan menjadi dua golongan, yaitu plankton hewani (zooplankton) dan
pakan nabati (phytoplankton). Dari kedua jenis pakan alami tersebut sangat memegang
peranan penting sebagai dasar pemenuhan gizi pada saat awal-awal kehidupan larva (udang,
ikan, kekerangan dll)
Namun diantara kedua jenis plankton tersebut, phytoplankton merupakan sumber produsen
pertama pada jaringan rantai makanan. Dari sinilah awal mula sumber energi utama yang terus
digali dan di kembangkan dari berbagai macam jenis /species.
Chaetoceros dan Artemia merupakan pakan alami yang berupa plankton nabati
(phytoplankton) dan plankton hewani (zooplankton) yang sangat berperan bagi kehidupan
larva udang putih.
Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo merupakan tempat yang cocok
untuk melaksanakan kegiatan magang industri. Maka akhirnya, penulis merasa tertarik untuk
mempelajari dan mengenal lebih dalam teknik pembenihan dan pembesaran udang vaname
serta budidaya pakan alami. Dengan pengalaman tersebut diharapkan penulis mendapatkan
bekal untuk mendidik dan menyalurkan ilmu yang diperoleh kepada siswa dan masyarakat
ketika menjadi tenaga pengajar.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pelaksanaan magang industri pada bidang peminatan budidaya perairan
adalah:
a. Mahasiswa mampu membenihkan komoditas perikanan baik dari jenis ikan maupun non
ikan
b. Mahasiswa mampu membudidayakan komoditas perikanan baik dari jenis ikan maupun
non ikan
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari kegiatan magang industri pada budidaya udang Vannamei adalah:
b. Mahasiswa dapat mengetahui sarana dan prasarana yang diperlukan untuk budidaya
udang.
c. Mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri udang yang dapat digunakan sebagai induk dalam
pembenihan udang.
d. Mahasiswa dapat mengetahui jenis pakan yang dapat diberikan untuk udang.
e. Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan menejemen kualitas air dan pengelolaan
pakan dalam pembenihan udang.
h. Mahasiswa dapat mengetahui cara memanen, mengepak dan transportasi benih udang.
j. Mahasiswa dapat mengetahui cara mengkultur pakan alami yang akan diberikan untuk
pakan larva udang.
k. Mahasiswa dapat mengetahui nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan pakan alami.
l. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis pakan buatan yang diberikan untuk larva udang
p. Mahasiswa dapat mengetahui cara memanen, mengepak dan transportasi untuk udang.
C. Sasaran
Adapun sasaran yang ingin dicapai setelah mengikuti kegiatan magang industri “Pembenihan
dan Pembesaran Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)” di Balai Budidaya Air Payau (BBAP)
Situbondo adalah agar mahasiswa /i mampu menerapakan ilmu yang diperoleh untuk dijadikan
bekal kemasyarakatan dalam menyongsong dunia kerja.
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki
pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih
kecil dibandingkan udang windu (Paneus monodon), habitat aslinya adalah di perairan
Amerika, tetapi spesies ini hidup dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Di pilihnya
udang Vannamei ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) sangat diminati dipasar
Amerika, (2) lebih tahan terhadap penyakit dibanding udang putih lainnya, (3) pertumbuhan
lebih cepat dalam budidaya, (4) mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan
(Ditjenkan, 2006).
Udang Vannamei termasuk genus paneus, namun yang membedakan dengan genus paneus lain
adalah mempunyai sub genus litopenaeus yang dicirikan oleh bentuk thelicum terbuka tetapi
tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma (Ditjenkan, 2006). Adadua spesies yang termasuk
sub genus Litopenaeus yakniLitopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris (wiban dan
sweeney, 1991).
Phylum = Arthropoda
Class = Crutacea
Series = Eumalacostraca
Ordo = Decapoda
Genus = Pneaeus
Species = Vannamei
Udang Vannamei termasuk crustacea, ordo decapoda seperti halnya udang lainnya, lobster
dan kepiting. Dengan kata lain decapoda dicirikan mempunyai 10
kaki, carapace berkembang baik menutup seluruh kepala. Udang paneid berbeda dengan
decapoda lainnya. Dimana perkembangan larva dimulai dari stadia nauplis dan betina
menyimpan telur didalan tubuhnya (Ditjenkan, 2006).
Udang vaname termasuk genus penaeus dicirikan oleh adanya gigi pada rostrum bagian
atas dan bawah, mempunyai dua gigi dibagian ventral dari rostrum dan gigi 8-9 di bagian
dorsal serta mempunyai antena panjang (Elovaara, 2001).
2. Morfologi
Udang putih vaname sama halnya seperti udang penaid lainnya, binatang air yang ruas-
ruas dimana pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Anggota ini pada
umumnya bercabang dua atau biramus. Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan
menjadi dua bagian yaitu cepalothorax atau bagian kepala dan dada serta
bagian abdomen atau perut. Bagiancephalothorax terlindungi oleh kulit chitin yang tebal
yang disebut carapace. Secara anatomi cephalotorax dan abdomen, terdiri dari segmen-
segmen atau ruas-ruas. Masing-masing segmen memiliki anggota badan yang mempunyai
fungsi sendiri-sendiri (Elovaara, 2001).
Kulit chitin pada udang penaidae akan mengelupas (ganti kulit) setiap kali tubuhnya akan
membesar, setelah itu kulitnya mengeras kembali (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1980;
Tricahyo, 1995; Suyanto dan Mujiman,1990).
Menurut Martosudarmo et al., (1983), tubuh udang penaeid terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Kepala
Kepala terdiri dari enam ruas, pada ruas kepala pertama terdapat mata majemuk yang
bertangkai, beberapa ahli berpendapat bahwa mata bertangkai ini bukan suatu anggota
badan seperti pada ruas-ruas yang lain, sehingga ruas kepala dianggap
berjumlah lima buah. Pada ruas kedua terdapat antena I atau antenules yang
mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium.
Ruas ketiga yaitu antena II atauantennae mempunyai dua buah cabang yaitu cabang
pertama (exopodite) yang berbentuk pipih dan tidak beruas dinamakan prosertama.
Sedangkan yang lain (Endopodite) berupa cambuk yang panjang yang berfungsi
sebagai alat perasa dan peraba. Tiga ruas terakhir dari bagian kepala mempunyai
anggota badan yang berfungsi sebagai pembantu yaitu sepasang mandibula yang
bertugas menghancurkan makanan yang keras dan dua pasangmaxilla yang berfungsi
sebagai pembawa makanan kemandibula. Ketiga pasang anggota badan ini letaknya
berdekatan satu dengan lainnya sehingga terjadi kerjasama yang harmonis antara
ketiganya.
b. Dada
Bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang
anggota badan yang disebutThoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga
dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam
memegang makanan. Thoracopodalainnya (ke-5 s/d ke-8) berfungsi sebagai kaki jalan
yang disebut pereipoda. Pereipoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil
yang merupakan ciri khas dari jenis udang penaeid.
c. Perut
Bagian perut atau abdomen terdiri dari enam ruas. Ruas yang pertama sampai dengan
ruas kelima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang
dinamakanpleopoda. Pleopoda berfungsi sebagai alat untuk berenang oleh karena itu
bentuknya pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu (setae) pada ruas yang
keenam pleopodaberubah bentuk menjadi pipih dan melebar yang dinamakanuropoda,
yang bersama-sama dengan telson berfungsi sebagai kemudi.
Warna dari udang Vannamei ini putih transparan dengan warna biru yang terdapat dekat
dengan bagian telson dan uropoda(Lightner et al., 1996).
Alat kelamin udang jantan disebut petasma, yang terletak pada pangkal kaki renang
pertama. Sedangkan alat kelamin udang betina disebut juga dengan thelicum terbuka yang
terletak diantara pangkal kaki jalan ke empat dan ke lima (Tricahyo, 1995; Wyban dan
Sweeney, 1991).
Pada stadia larva, udang putih mamiliki enam stadia naupli, tiga stadia zoea, dan tiga stadia
mysis dalam daur hidupnya (Elovaara, 2001).
Pada udang putih, ciri-ciri telur yang telah matang adalah dimana telur akan terlihat
berwarna coklat keemasan (Wyban dan Sweeney,1991).
Udang putih mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari perkembangan
ovarinya jelas terlihat. Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna
keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari
pemijahan (Lightner et al., 1996).
Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, untuk udang dengan berat 30 gram
sampai dengan 45 gram telur yang di hasilkan 100.000 sampai 250.000 butir telur. Telur
yang mempunyai diameter 0,22 mm, cleaveage pada tingkat nauplis terjadi kira-kira 14
jam setelah proses bertelur (Anonymous, 1979).
Menurut Lim et al., (1989), perkembangan larva udang penaeid terdiri dari beberapa stadia
yaitu:
a. Stadia nauplius
Nauplius bersifat planktonik dan phototaxis positif. Dalam stadia ini masih memiliki
kuning telur sehingga belum memerlukan makanan. Perkembangan stadia nauplius
terdiri dari enam sub stadium. Nauplius memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena
pertama, antena kedua danmandible. Antena pertama uniramous, sedangkan 2 alat
lainnya biramous.
b. Stadia Zoea
Perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40 jam
setelah penetasan. Pada stadia ini larva dengan cepat bertambah besar. Tambahan
makanan yang diberikan sangat berperan dan mereka aktif memakan phytoplankton.
Stadia akhir zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya
yang kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut.
Zoea terdiri dari tiga substadia secara kasar tubuhnya di bagi kedalam tiga bagian,
yaitu carapace, thorax danabdomen. Tiga substadia tersebut dapat dibedakan
berdasarkan segmentasi abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal pada setiap
segmen.
c. Stadia mysis
Larva mencapai stadia mysis pada hari ke lima setelah penetasan. Larva pada stadia ini
kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis lebih kuat dari stadia
zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis memakan phytoplankton dan
zooplankton, akan tetapi lebih menyukai zooplankton menjelang stadia mysis akhir
(M3). Mysis memilki tiga sub stadia dimana satu dengan lainnya dapat dibedakan dari
perkembangan bagian dada dan kaki renang.
Perubahan bentuk dari mysis menjadi post larva terjadi pada hari kesembilan. Stadia
post larva mirip dengan udang dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat bertahan
dalam penanganan. Kaki renang pada stadia post larva bertambah menjadi tiga segmen
yang lebih lengkung. Post larva bersifat planktonik, dimana mulai mencari jasad hidup
sebagai makanan.
Makanan udang penaeid terdiri dari crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam
pencernaan makanan dan 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme
penyusun detritus, udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora
dan scavenger (pemakan bangkai). Makanannya biasanya berupa crustacea
kecil, amphipouda dan plychacetesatau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih
lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang putih 16
% dari berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan empat kali perhari.
Udang mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan
mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya.
Di alam larva udang biasanya memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora,
balanos, veliger, copepoda, dan larva polychaeta(Tricahyo, 1995).
Udang putih termasuk golongan udang penaeid. Maka sifatnya antara lain bersifat
nocturnal artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya
berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam pada rumpon
yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana et al.,
1989).
1. Persiapan bak
Persiapan bak walaupun kelihatannya sederhana namun memegang peranan penting dalam
menentukan berhasil tidaknya usaha pemeliharaan induk. Sebelum dipergunakan bak
dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang mungkin berpengaruh terhadap kehidupan
larva (Nurdjana et al.,1983).
Untuk mendukung kehidupan larva, bak pemeliharaan harus bersih dan bebas dari segala
jenis organisme pathogen, bak dan sarana aerasi tersebut dicuci /disikat sampai bersih,
kemudian dikeringkan 2-3 hari hingga benar-benar kering. Pengeringan ini dimaksudkan
untuk mematikan organisme yang menempel pada media pemeliharaan serta mencegah
timbulnya suatu penyakit (Ditjenkan, 1983)
Persiapan dilakukan secara kimiawi, terhadap bak larva dan sarana aerasi, dengan cara
mengusap atau merendam sarana tersebut dengan bahan desinfektan, seperti chlorin 150
ppm. Perlakuan bahan ini dapat memantapkan kegiatan selanjutnya karena dengan
merendam atau mengusap bahan kimia tersebut semua jenis bakteri dan organisme
pathogen dapat mati. Mengingat chlorin, kaporit dan desinfektan lain dalam kosentrasi
tertentu dapat meracuni udang, maka pengisian air kedalam bak pemeliharaan larva
dilakukan 1-2 jam setelah bak tersebut dibilas. Bahan desinfektan lain yang dapat
digunakan diantaranya adalah formalin 50 ppm, kalium permanganat 100
ppm (Wahyono et el., 1993)
Jumlah batu aerasi yang diperlukan dalam tiap meter persegi berkisar antara 10-12 buah
atau setiap panjang dan lebar 40 cm ditempatkan satu buah aerasi. Kemudian dalam
pemasangannya diusahakan bergantung pada jarak 5-10 cm dari dasar bak, sehingga
sirkulasi oksigen tidak mengaduk endapan kotoran yang ada didasar (Sutaman, 1993)
Ukuran calon induk betina yang baik untuk diablasi adalah lebih besar dari 40 gr dan untuk
udang jantan diatas 35 gr. Udang putih betina yang ideal untuk dipergunakan dalam
pembenihan adalah yang berukuran antara 40-50 gr (Wyban dan Sweeney, 1991).
Ukuran panjang tubuh udang putih betina yang termasuk kriteria produktif antara 20 cm
hingga 25 cm (diukur mulai dari ujung telson hingga pangkal mat atau panjang standar).
Sedangkan untuk pemilih calon induk udang putih jantan sebaiknya berukuran sedang,
yang memiliki panjang tubuh antara 15 cm hingga 20 cm (Wyban dan Sweeney,1991).
Sebelum ditebar kantong pengangkutan induk dimasukkan kedalam bak yang telah di isi
air dan di aerasi selama ± 30 menit, setelah itu suhu air kantong ataupun suhu air bak
diperiksa. Apabila sudah tidak ada perbedaan suhu atau apabila perbedaannya hanya 1-
2 0C, maka induk dapat dilepaskan dalam bak. Begitupun untuk salinitas, apabila
perbedaan salinitas antara air dalam kantong dengan air dalam bak kurang dari 5 ppt maka
induk sudah dapat ditebar (Suyanto, 1986)
Induk udang putih akan mulai matang gonad sekitar 5-6 hari setelah proses pengablasian
dilakukan, untuk mempercepat pematangan gonad ini biasanya induk udang diberi pakan
segar lebih banyak (Lightner et al., 1996; Wyban dan Sweeney,1991).
Selanjutnya Murtidjo (2003), menyatakan bahwa cara yang paling praktis dan efektif serta
menunjukan hasil yang baik adalah dengan melakukan pemotongan tangkai mata (ablai)
dengan gunting.
Pada udang putih, yang agak berbeda dari udang penaeus umumnya yaitu, pada betina
telikumnya terbuka, dimana jantan hanya menempelkan sperma pada waktu
pemijahan.Perkawinan terjadi pada saat kulit atau kerapasnya keras dan ketika telur sudah
matang. Pemijahan terjadi setelah beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari
3 jam (Elovaara, 2001).
Perkawinan udang vaname dilakukan diluar tubuh. Perkawinan pada udang vaname
biasanya terjadi sebelum dan sesudah matahari terbenam, dan terjadi 3-16
detik. (Ditjenkan, 2006)
Derajat pembuahan dan penetasan sangat ditentukan oleh kualitas sperma dan kemampuan
penempelan pada telikum serta media penetasan (suhu dan salinitas). Beberapa kegagalan
yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya pembuahan yang disebabkan induk betina
belum matang telur atau rusaknya spermatofor (Djunaidah, 1986)
Induk yang telah dikawin, ditandai dengan adanya penempelan sperma pada telikum,
dipindahkan kedalam bak spawning /pemijahan dengan kepadatan 4 ekor /m2. 1-2 jam
kemudian induk akan melepaskan telurnya (Ditjenkan, 2006).
Telur akan menetas menjadi naupli dalam waktu 12-16 jam. Setelah pemijahan biasanya
induk betina akan moulting. Telur udang putih akan menetas pada kisaran suhu 28-30 0C,
satu induk udang putih menghasilkan 100-200 ribu telur (Wyban dan Sweeney,1991).
6. Penebaran nauplius
Telur yang telah menetas dan menjadi naupli kemudian dipindahkan kedalam bak larva.
Naupli udang penaeid pada umumnya mengalami 6 kali metamorfhose dalam waktu 45-50
jam dan tumbuh menjadi zoea, selanjutnya berkembang menjadi mysis dan post larva
(Nurdjana et al., 1983).
Penebaran nauplius dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan
suhu yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi 30 menit atau sampai suhu didalam
wadah dengan suhu diuar wadah sama (Ditjenkan, 2006).
Menurut (Wyban dan Sweeney,1991), pemindahan naupli sebaiknya dilakukan pada saat
naupli sudah dianggap cukup kuat, hal ini tidak berbeda dengan larva udang windu.
Pengelolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional
pemeliharaan larva. Kualitas air pada bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik
mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Beberapa parameter yang
dapat di amati langsung dengan mata dan peralatan yang sederhana yaitu salinitas,
kekeruhan, blooming alga, dan warna air (Ditjenkan, 1998).
Selama masa pemeliharaan dimungkinkan untuk tidak dilakukan pergantian air, maka
pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada pada bak pemeliharaan larva harus
benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari
pada pagi, siang dan sore hari. Usaha-usaha yang dapat dilakukan selama proses ini antara
lain sistem persiapan air yang steril, pengaturan ketinggian air, sirkulasi, pengelolaan
pakan yang tepat jumlah, pengaturan aerasi, pengaturan salinitas, pengaturan temperatur
dan jika terdapat sisa makanan maka dilakukan penyiponan secara hati-hati (Nurdjana et
al., 1989).
8. Pengelolaan pakan
Agustin et al., (1999) mengatakan bahwa pakan di berikan enam kali dalam sehari dengan
perincian empat kali kepiting, 1 kali cumi-cumi, dan 1 kali tiram atau udang krosok.
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vaname selama proses pemeliharaan ada dua
jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan buatan (Ditjenkan,
2006).
Menurut Agustin et al., (1999), pakan buatan yang diberikan dapat berupa Nosan RI dan
Too dengan frekuensi sebanyak 8 kali yaitu pada pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, 21.00,
23.00, 01.00 dan 05.00 WIB. Pemberian pakan buatan terlebih dahulu diencerkan dan
disaring dengan saringan dengan mesh 250, 200, 150, dan 100 mikron.
Pemberian Chaetoceros dilakukan mulai dari stadia zoea 1 sampai dengan mysis 3.
Sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva udang
putih vaname masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Pemanenan Chaetoceros dilakukan dengan menggunakan pompa celup dan dialirkan
melalui pipa transper alga ke bak pemeliharaan larva (Ditjenkan, 2006).
Menurut Nurdjana et al., (1983) bila terlalu padat pada bak pemeliharaan larva dapat
menyebabkan feses yang dikeluarkan pada stadia zoea panjang-panjang yang dapat
menyulitkan pergerakan pada larva dan dapat menyebabkan kematian.
Menurut Elovaara (2001), menyatakan bahwa untuk peningkatan daya tetas cyste
Artemia perlu dilakukan pendekapsulasian.
a. Biologi Chaetoceros.sp
Phylum = Bacillariophyta
Kelas = Bacillariophyceae
Ordo = Bacillareiles
Famili = Chaetoceraceae
Genus = Chaetoceros
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat diameter 4-6 mikron dan berbentuk segi empat
dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Dinding sel dibentuk dari silika.
ReproduksiChaetoceros dapat secara aseksual dan seksual. Silikat mempunyai peranan
penting dalam proses reproduksi plankton sebagai bahan pembentuk cangkang baru.
Kandungan gizi protein 35 % lemak 6,9 %, karbohidrat 6,6 %, dan kadar abu 28 %
(Inansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu air 40 0C masih dapat
hidup tetapi tidak bisa berkembang. Chaetoceros tumbuh hidup optimal pada kisaran
suhu 25-30 0C
Kultur skala semi massal dimulai dari volume 100/150 liter hingga 500 liter dan
1000 liter yang diletakkan di luar laboratorium (outdoor) (Ditjenkan 2005).
Pupuk yang digunakan yaitu 40-50 ppm KNO3, 20-25 ppm Na2HPO4, 10-15
ppm NA2SiO3, 1-5 ppm FeCl3 dan 1-5 ppm EDTA (tergantung kandungan
zat organik terlarut di perairan tersebut.
b. Biologi Artemia.sp
Phylum = Arthopoda
Kelas = Crustacea
Ordo = Anostraca
Famili = Artemidae
Genus = Artemia
Spesies = Artemia.sp
Pada perairan bersalinitas tinggi, telur Artemia tidak menetas, tetapi lapisan luar telur
bentuk cangkang ataukorion yang kemiudian di sebut kista (Cyst). Kista dapat diartikan
sebagai telur yang mengalami fase istirahat atauCryptobiosis
Cangkang kista terbagi dalam 2 lapisan yaitu lapisan korion (bagian luar) dan
lapisan kutikula embrionik (bagian dalam), kedua lapisan tersebut dipisahkan oleh
selaput kutikula luar dengan ketebalan 0,5 m yang tersusun 3 lapis selaput.
Lapisan korion mempunyai tebal 6-8 m berfungsi melindungiembrio dari kerusakan
mekanis dimana molekul air dan ogsigen mampu menembus lapisan ini. Korion terdiri
dua lapisan yaitu periferal di bagian luar dan lapisanalveolar terletak
dibawah periferal berfungsi sebagai pengapung karena susunan selnya tidak teratur
dan berongga. Lapisan kutikula embrionik mempunyai ketebalan1,8 – 2,2 m
berfungsi melindungi embrio dan terdapat enzim penetasan, lapisan ini terdiri dua lapis
yaitu fibrosa di bagian luar dan selaput kutikula dalam. kista bersifathigroskopis dan
dapat menyerap uap dari udara, tenggelam dalam air tawar dan air laut namun terapung
dalam larutan garam jenuh.
9. Pengendalian penyakit
Dalam proses pemeliharaan larva, serangan penyakit merupakan kendala teknis utama.
Penyebab timbulnya penyakit tidak selalu dapat diketahui. Timbulnya penyakit pada larva
udang yang dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil,
misalnya pada waktu musim penghujan dimana kondisi suhu dan salinitas labil serta sering
berfluktuktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah terserang
penyakit (Ditjenkan, 2001)
Menurut Sumarwan (2005), pengelolaan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara:
Naupli pada umumnya bersifat fototaksis positif, artinya naupli akan berkumpul karena
tertarik oleh sinar (Suyanto, 1986). Sifat ini dimiliki juga oleh naupli udang putih. Sifat ini
biasanya dipergunakan untuk teknik pemanenan naupli. Sinar elektrik diletakkan pada
suatu tempat diluar dinding bak sehingga dapat menembus dinding bak dan merangsang
naupli untuk mendekati sinar. Kemudian air tempat berkumpulnya naupli dapat dihisap
dengan menggunakan selang plastik, sehingga naupli akan ikut terhisap dan masuk
kedalam bak penampung yang telah disiapkan sebelumnya (Suyanto, 1986). Bak
penampungan naupli tersebut selanjutnya diberi aerasi.
1. Persiapan tambak
Persiapan tambak bekas yang perlu dilakukan yaitu pembersihan dan pengeringan tambak
dengan bantuan sinar matahari. Sinar matahari berfungsi sebagai desinfektan, membantu
proses oksidasi yang dapat menetralkan sifat keasaman tanah, menghilangkan gas-gas
beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang tertinggal (Rubiyanto dan Dian,
2006)
Persiapan sarana tambak meliputi: a) penataan dan pemasangan pompa air; b) setting kincir
air; c) pemasangan (perbaikan) PVC central drain /pintu monik dan saringan pembuangan
air; d) pembuatan dan pemasangan jembatan untuk kontrol pemberian pakan dan kondisi
udang; e) Pengisian air laut didalam tambak sampai kedalaman 130-150 cm bila lahan
sudah siap; f) setting dan pemasangan sarana dan fasilitas lainnya (Ditjenkan, 2003)
Persiapan plankton segera tumbuh meliputi: 1) Menggunakan pupuk organik. Selain itu,
bisa ditambahkan bahan probiotik (bakteri pengurai) yang mengandung Bacillus sp. karena
secara tidak langsung bisa mempercepat proses pembentukan plankton; 2) Bila kondisi
cuaca mendukung lingkungan tambak, plankton akan terbentuk dalam waktu 3-5 hari
(Rubiyanto dan Dian, 2006)
Menurut Rubiyanto dan Dian, (2006), tips memilih benur vaname yaitu:
- Benur vaname dipanen setelah mencapalai PL 10 atau organ insang telah sempurna
3. Pengelolaan pakan
Pakan yang umum diberikan berupa pakan buatan dengan jenis crumble dan pellet dan
dapat diberikan jenis pakan tambahan lainnya (pakan segar). Pemberian pakan dimulai
sejak udang ditebar ke tambak hingga pemanenan hasil. Pengaturan dan pemberian pakan
disesuaikan berdasarkan hasil pengamatan dan sampling di lapangan. Selain pakan buatan
yang di berikan, diberikan pula pakan segar berupa cumi segar dengan dosis 2-4 %
(Ditjenkan, 2003)
Pemberian pakan berlebih bisa menimbulkan pencemaran air. Akibatnya, udang mudah
stress sehingga pertumbuhan udang terhambat. Selain itu, daya tahan udang terhadap
penyakit pun menurun sehingga angka mortalitasnya meningkat (Rubiyanto dan Dian,
2006)
Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan udang khususnya jenis phytoplankton
yang menguntungkan dan sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragamannya
maupun kelimpahannya. Fungsi dan peran plankton pada air media pemeliharaan
diantaranya yaitu: 1) Sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara;
2) Sebagai penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) Sebagai
indikator kestabilan lingkungan air media pemeliharaan (Ditjenkan, 2003)
Untuk mendapatkan parameter kualitas air yang optimal dan kondisi prima, maka selama
masa pemeliharaan dilakukan penggantian volume air secara terprogram dengan
memperhatikan kualitas air yang penting seperti suhu, O2, pH, nitrit, salinitas, dan gas-gas
beracun lainnya (Ditjenkan, 2003)
5. Sampling
Pengamatan udang selama masa pemeliharaan merupakan suatu kegiatan yang harus
dilakukan untuk mengetahui; 1) Kesehatan dan kondisi udang; 2) Pertambahan berat
harian; 3) Tingkat kelangsungan hidup; dan 4) Biomasa. Pengamatan pertumbuhan
umumnya dilakukan pengamatan pada anco dan penjalaan dengan cara mengambil
beberapa contoh sampel udang (Ditjenkan, 2003)
Penyakit dapat muncul dan menyerang udang vanamei. Beberapa jenis penyakit yang
menyerang udang vaname disebabkan oleh predator, parasit, bakteri dan jamur serta virus.
7. Pemanenan
Pada umumnya pemanenan udang dilakukan setelah umur pemeliharaan > 100 hari, akan
tetapi pelaksanaan panen dapat memperhatikan pertumbuhan serta harga udang di pasaran.
Teknik panen yang sering dilakukan adalah dengan cara menurunkan volume air secara
bertahap dengan gravitasi atau pompa air, bersamaan itu, dilakukan penangkapan udang
secara bertahap pula dengan kemampuan peralatan yang tersedia dan akhirnya dilakukan
penangkapan secara manual apabila kontruksi dasar tambak tidak tuntas keringnya.
Pemanenan dilakukan malam hingga pagi hari atau diusahakan pada suhu rendah dengan
tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang (Ditjenkan, 2003)
A. Pelaksanaan Magang
1. Waktu
Kegiatan magang industri budidaya udang Vaname dilaksanakan dari tanggal 1 Maret s/d
5 Juli 2007.
2. Tempat
Kegiatan magang industri Budidaya Udang Vaname dilaksanakan di Brostock Center dan
Tambak Udang Vaname milik Balai Budidaya Air Payau Situbondo, tempatnya di Dusun
Pecaron, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo. Jawa timur
3. Pengumpulan Data
a. Metode survai
Metode survai dilakukan melalui pengamatan dan kegiatan langsung di lapangan serta
mewawancarai pembimbing dan pelaksana teknis di lapangan.
b. Metode praktik
Metode kerja dilakukan dengan cara mengikuti langsung tahap kegiatan dalam
membudidayakan udang vaname, mulai dari pembenihan sampai pembesaran. Adapun
tahap-tahap kegiatan dalam budidaya udang vaname adalah sebagai berikut:
Pembenihan :
Persiapan wadah
Pengelolaan induk
Penetasan telur
Pemeliharaan larva
Pemanenan
Pembesaran :
Persiapan kolam
Penebaran benih
Pemeliharaan benih
Pemanenan
4. Analisa data
Data yang di ambil adalah data primer dan data sekunder.Pengumpulan data primer
dilakukan dengan cara mengamati dan mengikuti secara langsung kegiatan yang sedang
berlangsung. Sedangkan data sekunder diambil dengan cara mengumpulkan literatur-
literatur yang ada di perpustakaan dan instalasi lainnya.
B. Keadaan Umum
Balai Budidaya Air Payau Situbondo pada awalnya bernama Sub Center Udang Jawa
Timur, berdiri pada tahun 1986. Proyek Sub Center Udang melepaskan diri dari BBAP
Jepara dan berganti nama menjadi Loka Budidaya Air Payau (LBAP) Situbondo pada
tanggal 18 April 1994 di bawah SK Menteri Pertanian no.264/Kpts/07/210/94. Dalam
menunjang pelaksanaan program pembangunan dan peningkatan produksi perikanan. Pada
tanggal 1 Mei 2000, status LBAP Situbondo meningkat menjadi BBAP Situbondo (dalam
SK Menteri no.26/D/MEN/05/2000).
BBAP Situbondo menempati lahan seluas 3,8 ha. Secara umum lokasi BBAP Situbondo
memiliki batasan sebelah utara dengan Selat Madura, sebelah barat dan sebelah selatan
berbatasan dengan perumahan penduduk serta sebelah timur berbatasan dengan
perusahaan-perusahaan pembenihan udang windu.
Secara geografis BBAP Situbondo terletak pada posisi 1130,55’58”BT – 114000”BT dan
070 40’32”LS – 07042’35”LS
Lokasi BBAP Situbondo berjarak 5 meter dari garis pantai dengan ketinggian 0,5 1 meter
dari permukaan laut. Pada siang hari suhu berkisar 29-310C, sedangkan malam hari
berkisar 28-290C. BBAP Situbondo beriklim tropis dengan angin laut yang bertiup dari
Selat Madura dengan kecepatan rata-rata 5,8 km/jam. Bentuk pantai BBAP Situbondo
adalah pantai berpasir dan berkarang. Lokasi BBAP Situbondo berada dekat dari daerah
pengembangan industri perikanan, bebas dari pencemaran, terhindar dari ombak besar dan
arus pantai yang besar, persediaan air tawar cukup, dan dekat dengan transportasi darat.
BBAP Situbondo terdiri dari 3 divisi yaitu divisi pembesaran ikan dan udang. Divisi udang
terpusat di Desa Blitok, Kecamatan Mlandingan (28 km dari Ibu kota Kabupaten
Situbondo). Pembesaran ikan dan udang berlokasi di Pasuruan (Desa Pulokerto, kecamatan
Kraton) dan divisi ikan sekaligus kantor utama BBAP Situbondo yang juga merupakan
tempat pembesaran dan Brostock udang vaname, berlokasi di Dusun Pecaron, Desa
Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo. Jawa Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor: KEP.26 D/
MEN /2001 tentang 1 Mei 2001 tentang organisasi dan Tata kerja Balai Budidaya Air
Payau Situbondo terdiri dari:
Susunan Organisasi Balai Budidaya Air Payau Situbondo secara lengkap dapat dilihat pada
gambar dengan uraian tugas sebagai berikut:
Seksi Standardisasi dan Informasi mempunyai tugas menyiapkan bahan standar teknik
dan pengawasan pembenihan dan pembudidayaan ikan air payau,
pengendalian hama dan penyakit ikan, lingkungan, sumber daya induk dan benih, serta
pengelolaan jaringan informasi dan perpustakaan.
Struktur organisasi di BBAP Situbondo dapat terlihat pada bagan di bawah ini:
Kepala Seksi
Pelayanan Teknik
a. Fasilitas utama
1) Wadah
Fasilitas pembenihan utama terdiri dari wadah budidaya. Wadah tersebut berupa
bak pemeliharaan induk, bak pemeliharaan larva, bak penetasan telur dan bak kultur
pakan alami serta penampungan air (tandon) yang dilengkapi dengan bak
filternya. Adapun gambar dan kegunaan masing-masing bak dapat dilihat pada
Gambar 3 dan Tabel 1 dibawah ini:
(a) (b) (c)
Gambar 4. Wadah unit pembenihan, (a) Bak induk, (b) Bak penetasan telur, (c) Bak
pemeliharaan larva, (d) Bak tendon, (e) Bak pakan alami (massal), (f) Penetasan Artemia
Bentuk dan
Bak/Tempat Kapasitas Jumlah Fungsi Ket
Bahan
Bak induk Persegi 8 ton 4 unit Untuk 2 bak induk
empat terbuat pematangan jantan dan
dari semen gonad induk 2 bak induk
dan setelah betina
matang gonad
dilakukan
pemijahan
Bak Persegi 12 ton 12 unit Untuk 3 bak yang
pemeliharaan panjang dan pemeliharaan di gunakan
larva terbuat dari larva
semen
Bak penetasan Bulat dan 1-2 ton 3 unit Untuk
telur terbuat dari memproduksi
fiber glass nauplius
Bak kultur Bulat dan 1-5 ton 8 unit Untuk kultur 4 bak untuk
pakan alami terbuat dari pakan alami intermediet
fiber glass dan 4 bak
dan semen untuk
massal.
Bak tandon Persegi 32 ton 1 unit Untuk
panjang penampungan
terbuat dari air
semen
Penetasan Bulat dan 20 liter 2 unit Untuk Wadah
artemia terbuat dari menetaskan berupa
plastik artemia ember
Bentuk dan
Petak Luas Jumlah Fungsi ket
bahan
Petak Persegi 1800 m2 6 petak Untuk 5 petak
pemeliharaan panjang dan pemeliharaan yang di
terbuat dari udang Vanname gunakan
semen dan
cor semen
b. Fasilitas pendukung
1) Sumber energi
Ketersediaan tenaga listrik merupakan sarana yang sangat vital dalam suatu usaha
budidaya karena hampir sebagian besar peralatan yang di operasikan membutuhkan
tenaga listrik. Oleh karena itu, tenaga listrik harus tersedia selama 24 jam.
Tenaga listrik berasal dari PT.PLN Cabang Situbondo sebesar 80 KVA dan
cadangan bila terjadi gangguan aliran listrik digunakan genset.
Oksigen merupakan faktor yang sangat dibutuhkan oleh ikan untuk melakukan
respirasi, sehingga keberadaannya sangat penting. Oleh sebab itu, untuk memenuhi
kebutuhan oksigen digunakan blower yang dihubungkan dengan pipa PVC 1 inchi,
yang dilengkapi selang aerasi dan batu pemberat. Kegunaan blower ini untuk
mensuplai udara ke dalam air yang berada dalam wadah budidaya, sehingga udang
yang dipelihara tidak kekurangan oksigen terlarut.
Sedangkan di tambak intensif milik BBAP Situbondo untuk mensuplai udara ke
dalam air dalam petak pemeliharaan menggunakan kincir. Setiap petak terdapat 2
buah kincir, dengan bantuan tenaga listrik.
3) Bangunan
c. Sumber Air
Air merupakan faktor terpenting dalam proses kegiatan budidaya perikanan, karena air
adalah media ikan dan udang untuk hidup dan melakukan segala aktifitasnya sebagai
makhluk hidup. Oleh karena itu, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air sangat penting
dalam kegiatan budidaya.
1) Air laut
Air laut diperoleh dari laut sejauh 250 – 300 m dari garis pantai melalui pipa PVC
berdiameter 8 inchi, menggunakan pompa merek EBARA menuju ke tandon yang
di lengkapi dengan bak filter. Susunan bahan penyaring (dari bawah ke atas) pada
bak filter adalah batu kali, batu kerikil, arang kayu, ijuk dan pasir dengan ketebalan
masing-masing antara 20-35 cm. Batu kali dan ijuk berfungsi sebagai menyaring
kotoran atau lumpur yang berukuran besar. Batu kerikil berfungsi sebagai
menyaring kotoran atau lumpur yang berukuran lebih kecil. Arang kayu berfungsi
sebagai pengikat bahan-bahan organik dan anorganik yang merugikan. Pasir selain
berfungsi sebagai penyaring partikel lumpur yang utama juga berfungsi sebagai
pengikat bahan organik dan anorganik. Setiap lapisan dilapisi dengan screen atau
waring. Untuk memudahkan pencucian setiap bahan dapat dimasukkan kedalam
kantong yang terbuat dari bahan waring terutama arang kayu dan pasir. Air yang
disedot langsung dari laut masuk ke sand filter, kemudian air di lewatkan UV. UV
berfungsi untuk membunuh mikroorganisme yang terbawa dalam air, sehingga
didapatkan air yang steril. Air yang telah di UV ditutup terpal agar tidak
terkontaminasi. Kemudian air yang telah steril tersebut di pompa ke tower yang
dilengkapi UV juga, dan siap di distribusikan dengan sistem gravitasi.
Gambar 7. Sirkulasi air laut untuk
skala pembenihan
Sedangkan untuk kegiatan pembesaran di tambak air laut di peroleh sama halnya
dengan kegiatan pembenihan, akan tetapi air laut dapat digunakan langsung
dialirkan ke saluran petak pemeliharaan.
2) Air tawar
Air tawar berasal dari sumur sedalam 10 m yang di peroleh dengan menggunakan
pompa merek Grundfoss sebanyak 1 unit dan dialirkan melalui pipa berukuran 1,8
inchi menuju bak penampungan berkapasitas 20 ton. Selanjutnya, air tawar yang
akan digunakan dialirkan menggunakan pompa Grundfoss melalui pipa
berukuran 0,9 inchi. Air tawar digunakan untuk mencuci bak dan peralatan
pemeliharaan lainnya.
5. Strategi Pelaksanaan
a. Kegiatan Pembenihan
Pencucian bak menggunakan larutan detergen dan kaporit (3:2). Larutan tersebut
dilarutkan dengan air tawar pada wadah berupa ember.
Larutan kaporit dan detergen disiram ke dinding dan dasar bak sampai merata.
Bak pemeliharaan induk dipasang aerasi sebanyak 13 buah titik setiap baknya,
untuk menambah oksigen.
2) Pengadaan dan seleksi induk
Seleksi induk merupakan upaya untuk mendapatkan induk yang siap untuk
dipijahkan dan mengetahui tingkat kematangan telur. Induk udang vaname barasal
dari tambak di BBAP Situbondo. Induk yang baik untuk dipijahkan meliputi:
Mempunyai ukuran >18 cm/40 gr untuk betina sedangkan yang jantan >17 cm/35
gr
Rostrum lurus
3) Pemeliharaan induk
Induk udang vaname dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina
Induk diberi pakan segar berupa cumi-cumi, cacing laut, dan tiram atau
kekerangan.
Selain pakan, faktor utama yang juga diperhatikan untuk mendukung kematangan
gonad dari induk-induk yang dipelihara adalah kualitas air.
Selama pemeliharaan, setiap hari pada pagi hari dilakukan penyiponan dan
pergantian air.
Penyiponan dilakukan dengan mengangkat sisa-sisa pakan dan kotoran serta kulit
udang bekas molting diserok dengan menggunakan serokan.
Pergantian air dilakukan dengan membuang air lama dan memasukkan air baru
dengan ketinggian seperti semula. Disamping pakan dan kualitas air juga
dilakukan proses ablasi mata terhadap induk betina yang dapat memacu
kematangan gonad.
4) Ablasi mata
Pegang induk, kemudian oleskan alcohol pada mata dan juga pada gunting, udang
yang sudah dipotong matanya diberikan alcohol lagi pada bekas potongan.
5) Sampling induk
Kemudian induk yang sudah diseleksi matang gonadnya dipindah ke bak induk
jantan
Jika spermanya sudah menempel pada telicum induk betina, maka induk tersebut
di pindah ke bak penetasan (fiber 1 ton ketinggian 60 – 80 %).
Induk yang telah kawin dicirikan adanya penempelan sperma pada telicum,
Induk di pindahkan kedalam bak fiber bervolume 2 ton yang diisi air laut dengan
ketinggian 60 – 80 %, kemudian di beri penutup plastik diatas bak tersebut
(untuk menghindari induk tidak loncat /keluar).
Induk udang vaname biasanya melepaskan telurnya pada tengah malam sampai
dini hari.
6) Penetasan Telur
Induk yang telah memijah dikembalikan pada bak pemeliharaan induk agar tidak
mengganggu telur-telur yang ada di dalam bak pemijahan.
Telur didalam bak fiber diberi aerasi merata dan dibersihkan dari kotoran dan
lendir-lendir yang tertinggal.
Selama proses berlangsung telur yang berada didalam bak fiber di aduk tiap 2
jam.
Telur akan menetas 14-18 jam dari pemijahan dan dipanen keesokan harinya.
Pemanenan dilakukan pada pagi hari. Pemanenan larva dilakukan dengan cara:
Setelah kotorannya tidak ada lagi maka yang hanya tinggal larva.
Lakukan dan ulangi kegiatan tersebut beberapa kali sehingga larva didalam bak
fiber tidak ada lagi
Dan dihitung dengan menggunakan piring kecil putih, sambil dihitung sambil
ditebar di bak pemeliharaan larva
Volume sample
= 300 x 15 liter
= 22.500 ekor
Larva yang telah dihitung kemudian dimasukkan dalam bak pemeliharaan larva.
8) Pemeliharaan larva
Kegiatan peliharaan larva dimulai dari stadia naupli hingga mencapai stadia post
larva (PL) 10-12 yang dikenal sebagai benih udang atau benur. Termasuk
didalamnya kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran
larva, pengembangan dan pengamatan kondisi larva, pengelolaan pakan,
pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit dan proses pemanenan.
Dinding dan dasar bak digosok-gosok menggunakan scoring pad dan dibilas
dengan air tawar hingga bersih dan kemudian bak dikeringkan sampai bau
klorin dan detergen hilang..
Penebaran dilakukan pada pagi hari. Penebaran larva dilakukan dengan cara:
Ambil larva yang telah di hitung dari bak fiber glass yang sudah mencapai
stadia PL
Pengelolaan kualitas air merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam usaha
pembenihan udang. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan terhadap media
pemeliharaan induk dan media pemeliharaan larva.
Pergantian air sebanyak 50 – 80 % setiap hari yang dilakukan pada pagi hari.
Selain pergantian air dilakukan juga pembuangan sisa pakan dan kotoran
udang serta kulit udang yang sudah moulting, dengan menyeroknya didasar
bak induk menggunakan serokan
Setelah itu, dilakukan pengisian air baru. Dari pengukuran parameter kualitas
air yang telah dilakukan pada bak pemeliharaan induk diperoleh suhu 28 –
30 0C, salinitas 28 – 32 ppt, pH 7,5 – 8,5, DO 4-5 ppm
Pengecekan kualitas air lainnya yaitu pH berkisar pada 7,5 – 8,5. Salinitas 29
– 34, dan kadar niterit maksimum 0,1 ppm, (dilakukan oleh petugas
laboratorium hama dan penyakit milik BBAP Situbondo)
Penyiponan
Pengelolaan pakan pada induk udang vaname dilakukan 3 kali sehari yaitu pada
pukul 08.00, 13.00, dan 21.30 WIB. Hal ini dilakukan untuk memacu
perkembangan gonad. Pemberian pakan untuk induk dilakukan dengan cara:
Pakan yang diberikan berupa cumi-cumi pada pagi hari, cacing laut siang hari dan
tiram atau kerang-kerangan pada malam hari.
Pakan yang belum sempat diberikan disimpan dalam freezer (pendingin) dengan
tujuan untuk mencegah pembusukan dan sebagai persediaan untuk pemberian
berikutnya.
Media yang di gunakan pada kultur ini sama dengan media kultur dalam
1 liter, proses kulturnya sebagai berikut:
Bilas toples terlebih dahulu dengan larutan kaporit dan air tawar
kemudian di isi air laut.
Kultur outdoor meliputi kultur dalam aquarium, bak fiber glass 1 ton dan
bak antara 4-30 ton atau kultur masal.
Aquarium di isi dengan air laut yang disaring dengan filter bag
Inkubasi 5 – 7 hari.
Bak di isi dengan air laut yang di saring menggunakan filter bag
Stater yang berasal dari aquarium dimasukkan kedalam bak fiber glass
menggunakan selang siphon 3 inchi.
Penyiapan wadah sama dengan kultur di bak fiber glass. Adapun cara
kultur skala masal sebagai berikut:
Bak di isi dengan air laut yang di saring menggunakan filter bag
Stater yang berasal dari bak fiber glass 1 ton di transfer ke bak 5 ton
dengan menggunakan pompa celup
Waktu pemberian chaetoceros adalah setiap hari pagi pukul 08.00 – 10.00 WIB.
Cyste artemia di tampung dalam ember dan diberi air tawar secukupnya.
Cyste di saring dan dibilas dengan air tawar, kemudian masukkan dalam ember
dan tungkan larutan klorin sedikit demi sedikit sambil di aduk. Jaga suhu di
bawah 40 0C.
Ulangi sampai terjadi perubahan warna cyste dari coklat menjadi orange.
Setelah terjadi perubahan warna, segera di saring dan di bilas dengan air tawar
sampai bersih dan tidak bau klorin.
Proses cyste tersebut sampai kering dan masukkan ke jantong plastik untuk
disimpan pada suhu dingin selama maksimal 1 minggu.
Pakan yang diberikan berupa pakan cair yaitu liqualife ZM dan MB1 diberikan
pada stadia zoea memasuki mysis serta liqualife MPL dan MB2 diberikan pada
stadia mysis memasuki PL.
Larutkan pakan buatan tersebut menggunakan air laut terlebih dahulu hingga
homogen, kemudian tampung di ember
Pemberian obat-obatan yang aman seperti treplan, iodine atau EDTA setiap tiga
hari sekali sesuai dengan dosis.
Panen dibedakan menjadi dua, yaitu panen secara total dan panen sebagian.
Setelah mencapai volume 50% pipa saringan dibuka dan air dari saluran
pengeluaran ditampung pada ember berscren.
Pembuangan air beserta benur dilakukan pada ember berscren sampai air yang
ada pada bak pemeliharaan benar-benar habis.
Ambil benur menggunakan gelas ukur plastik dengan volume air 2 liter
b. Kegiatan Pembesaran
1) Persiapan Tambak
Bersihkan kotoran yang ada dipermukaan dalam tambak dengan menyikat dan
menyerok
Balut pipa central drain dengan saringan diluar permukaan kemudian pasang
ditengah dasar tambak.
Hidupkan kincir
Mematikan kincir
Menghidupkan kincir
b). Sampling
Tunggu hasilnya
Pengendalian hama dan penyakit pada tambak udang vaname dilakukan dengan
cara :
e). Pemanenan
Panen Sebagian
Panen Pilih
Pilih udang yang baik dan sehat sambil di hitung (pembeli yang pilih)
Afkhirkan udang yang tidak baik dan sehat untuk dikonsumsi atau dijual
Panen Total
Setelah air didalam tambak sudah habis atau udang sudah masuk semua
ke dalam jaring.
Cek suhu dan salinitas di dalam blong agar sama dengan air di dalam
tambak
C. Pembahasan
1. Kegiatan Pembenihan
Persiapan di mulai dengan membersihkan bak dari lumut dan kotoran yang menempel
pada bak dengan menyikat dengan menggunakan scoring ped. Ke seluruh permukaan
bagian dalam bak hingga bersih dengan menggunakan larutan detergen dan kaporit.
Larutan tersebut dilarutkan dengan air tawar pada wadah berupa ember. Kemudian di
bilas menggunakan air tawar hingga bersih dan kemudian dilakukan pengeringan
selama beberapa hari. Selang, pemberat dan batu aerasi direndam dan dicuci kemudian
di jemur guna untuk menghilangkan dan mematikan mikroorganisme pembawa
penyakit yang kemungkinan besar bisa terbawa oleh selang aerasi tersebut.
Pencucian dan pembilasan bak dengan air tawar di maksudkan agar bau dan kosentrasi
bahan tersebut hilang. Pencucian dan pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan
dan mematikan mikroorganisme pembawa penyakit.
Di BBAP Situbondo pencucian bak menggunakan larutan kaporit. Hal ini sesuai
dengan Wahyono (1991), bahwa perlakuan bahan ini dapat memantapkan kegiatan
selanjutnya karena dengan merendam atau mengusap bahan kimia tersebut semua jenis
bakteri dan organisme pathogen dapat mati.
Pengisian air laut kedalam bak pemeliharaan dilakukan secara bertahap. Sebelum air
di masukkan, maka dilakukan pemasangan pipa paralon dengan panjang 50-80 cm.
pada lubang pengeluaran air yang terletak di bagian pinggir bak dengan tujuan agar air
didalam bak pemeliharaan tidak keluar dan berkurang. Pemasangan pipa paralon
dilakukan secara vertikal.
Bak pemeliharaan induk di pasang aerasi sebanyak 13 buah titik setiap baknya, untuk
menambah oksigen, terutama di sudut-sudut bak, ini dimaksudkan agar pemberian
oksigen merata ke dalam bak.
Seleksi induk merupakan upaya untuk mendapatkan induk yang siap untuk dipijahkan
dan mengetahui tingkat kematangan telur. Induk udang vaname barasal dari tambak di
BBAP Situbondo.
Seleksi induk harus dilakukan secara selektif dan memenuhi syarat agar telur yang
dihasilkan bermutu sehingga naupli yang dihasilkan juga baik dan menjamin tingkat
kelulushidupan yang tinggi.
Di BBAP Situbondo ukuran induk udang Vaname berkisar >18 cm dengan berat 40 gr
untuk betina sedangkan untuk jantan >17 cm dengan berat 35 gr. Hal ini tidak jauh
beda dengan pendapat Wyban and Sweeney (1991), ia mengatakan ukuran calon induk
betina yang baik untuk di ablasi adalah lebih besar dari 40 gr dan untuk udang jantan
berukuran antara 40-50 gr, ia juga mengatakan ukuran panjang tubuh udang induk
betina yang termasuk kriteria produktif antara 20- 25 cm. Sedangkan untuk induk
jantan antara 15-20 cm.
Perkembangan gonad udang Vaname dapat dipacu dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas pakan, yaitu dengan memberikan pakan yang mengandung protein tinggi.
Pakan segar yang dapat memacu perkembangan gonad udang Vaname adalah cumi-
cumi, cacing laut, dan tiram /kerang-kerangan dengan dosis 4 % dari total biomasa per
hari. Disamping intensif pakan juga dilakukan ablasi mata terhadap induk betina.
Agustin et al (1999) mengatakan bahwa pakan di berikan enam kali dalam sehari
dengan perincian empat kali kepiting, 1 kali cumi-cumi, dan 1 kali tiram atau udang
krosok.
Di BBAP Situbondo pemberian pakan untuk induk dilakukan sebanyak tiga kali dalam
sehari yaitu pada pukul 08.00, 13.00, dan 21.30 WIB. Jenis pakan yang diberikan
adalah cumi-cumi pada pagi hari, cacing laut pada siang hari, dan tiram/kerang-
kerangan pada malam hari. Pemberian pakan cumi-cumi berfungsi untuk meningkatkan
kualitas sperma, pakan cacing laut berfungsi untuk mempercepat kematangan gonad
pada induk betina. Sedangkan pakan tiram/kerang-kerangan berfungsi untuk memacu
perkembangan gonad baik induk jantan maupun betina.
Selain pakan, faktor utama yang juga diperhatikan untuk mendukung kematangan
gonad dari induk-induk yang dipelihara adalah kualitas air. Jika kualitas air buruk maka
nafsu makan berkurang sehingga akan memperhambat kematangan gonad. Kualitas air
yang buruk diakibatkan karena kotoran udang dan sisa pakan yang tidak termakan oleh
udang sehingga sampai busuk karena pakan yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan
Rubyanto dan Dian (2006) ia mengatakan pemberian pakan berlebih bisa menimbulkan
pencemaran air. Yang juga akan berpengaruh terhadap perkembangan gonad. Untuk
itu, Selama pemeliharaan, setiap hari pada pagi hari dilakukan penyiponan dan
pergantian air. Penyiponan dilakukan dengan mengangkat sisa-sisa pakan dan kotoran
serta kulit udang bekas molting diserok dengan menggunakan serokan. Pergantian air
dilakukan dengan membuang air lama dan memasukkan air baru dengan ketinggian
seperti semula. Disamping pakan dan kualitas air juga dilakukan proses ablasi mata
terhadap induk betina yang dapat memacu kematangan gonad.
d. Ablasi Mata
Induk udang betina mempunyai X-organ yang terdapat pada tangkai mata. Organ
tersebut manghasilkan Gonad Inhibiting Hormon (GIH) yang menghambat proses
kematangan gonad. Hal ini menghambat Y-organ yang menghasilkan Gonad
Stimulating Hormon (GSH) untuk kematangan gonad. Untuk memperlancar kerja Y-
organ maka perlu dilakukan pengrusakan X-organ agar kerja Y-organ tidak terhambat.
Kegiatan tersebut dilakukan dengan ablasi yaitu pemotongan atau pengrusakan salah
satu tangkai mata induk udang betina. Induk yang diablasi adalah induk yang belum
matang gonad. Berikut ciri-ciri induk yang baik untuk diablasi yaitu:
Pergerakan lincah
Ablasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan menggunakan
pemecetan tankai dan bola mata, pemanasan tangkai mata dengan pemanas atau pinset
yang dibakar, pengikatan tangkai mata dengan benang dan pemotongan mata dengan
menggunakan gunting.
Di BBAP Situbondo ablasi dilakukan dengan tehnik pemotongan tangkai mata dengan
menggunakan gunting yang diolesi alcohol, karena dengan cara ini proses ablasi lebih
cepat dan luka pada tangkai mata dapat lebih cepat tertutup, sehingga resiko induk yang
mati setelah ablasi sangat sedikit. Hal ini sesuai dengan Murtidjo (2003), bahwa cara
yang praktis dan efektif serta menunjukan hasil yang baik adalah melakukan
pemotongan tangkai mata (ablasi) dengan menggunakan gunting.
Alcohol digunakan supaya mata udang yang diablasi tidak mengalami infeksi.
Kegiatan ablasi dilakukan tidak terlalu lama agar udang tidak mengalami stress.
Keberhasilan ablasi sangat tergantung pada ketepatan dan kecepatan dalam
penanganan sehingga tingkat stress udang sangat kecil.
e. Sampling Induk
Pemeriksaan ovari induk dilaksanakan setelah tiga hari sampai satu minggu setelah
ablasi, dan selanjutnya dilakukan setiap hari. Pemeriksaan ovari dilakukan setiap hari
yaitu pada pukul 14.00 WIB. Perkembangan gonad di tandai dengan perkembangan
ovari yang terletak dibagian dorsal tubuh udang dan berwarna orange. Sedangkan pada
udang jantan kematangan gonad terlihat jelas pada kantong sperma yang berwarna
putih penuh berisi sperma.
f. Penetasan Telur
Induk udang vaname biasanya melepaskan telurnya pada tengah malam sampai dini
hari. Pada pagi hari dilakukan pengecekan telur udang vaname. Induk udang betina
yang telah melepaskan semua telurnya, ditandai dengan ovari induk yang kosong dan
terlihatnya plasenta pada dinding bak atau mengapung pada permukaan air, serta
bagian punggung terlihat kosong atau transparan. Induk yang telah memijah
dikembalikan pada bak pemeliharaan induk agar tidak mengganggu telur-telur yang
ada di dalam bak pemijahan. Telur didalam bak fiber diberi aerasi merata dan
dibersihkan dari kotoran dan lendir-lendir yang tertinggal dengan cara menyeseer
kotoran dan lendir tersebut dengan serokan agar kualitas air tetap terjaga dengan baik
dan untuk mempercepat proses penetasan telur serta mengurangi mortalitas telur udang
Vaname.
Pengadukan telur selain dengan bantuan aearasi juga dilakukan dengan cara manual
yaitu dengan menggunakan sapu pembersih air. Frekuensi pengadukan adalah 2 jam
sekali dengan cara mengaduk dengan bantuan tangan manusia. Fungsi pengadukan
agar telur tersebut tetap melayang dipermukaan air, karena jika tidak diaduk telur akan
mengendap didasar bak dan akan terserang jamur yang menyebabkan telur tidak
menetas dan mati.
Telur yang telah menetas ditandai dengan adanya naupli yang melayang dipermukaan
air pada saat aerasi di matikan karena sifatnya fototaksis positif atau bisa dilihat dengan
gelas transparan. Sedangkan telur yang tidak menetas atau lemah telah mengendap
didasar bak. Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh seekor induk udang betina
tergantung pada ukuran badannya dan usia (9 – 12 bulan). Makin besar induk
kemungkinan makin banyak telur yang akan di keluarkan. Menurut Wyban dan
Sweeney (1991), bahwa satu induk udang putih biasanya menghasilkan 100-200 ribu
telur.
Panen dan transfer larva dilakukan untuk pemeliharaan selanjutnya yaitu pemeliharaan
lanjutan dari bak fiber glass ke bak pemeliharaan larva, ini dimaksudkan untuk
memudah pemeliharaannya, baik dengan kepadatan larva udang Vaname yang tidak
sesuai ruang gerak pada fiber glass, maka larva dipindahklan ke bak pemeliharaan larva
yang lebih besar dari bak fiber glass.
Sebelum dipanen aerasi diangkat, ini bertujuan untuk memudahkan dalam pemanenan,
karena media air yang tenang tanpa aerasi mengakibatkan larva akan mencari oksigen
kepermukaan, sehingga waktu penyiponan akan mudah dan terlihat jelas larva dan
endapan kotoran yang otomatis berada didasar wadah.
Pemanenan di awali dengan penyiponan larva. Benur akan keluar bersamaan dengan
aliran air yang keluar melalui selang pipa pengeluaran, dan akan tersaring didalam
baskom berscreen (baskom yang dilubangi dan diberi net dipinggirnya). Jika kondisi
benur dalam baskom berscreen padat, lakukan penuangan ke dalam baskom berikutnya
khususnya berwarna putih, kemudian airnya diputar supaya kotoran terkumpul
ditengah dan penyiponan larva lebih mudah, baskom berwarna putih untuk
mempermudah melihat larva pada saat penyiponan, setelah kotorannya tidak ada lagi
maka yang hanya tinggal larva, kemudian tuangkan kedalam baskom besar yang diberi
aerasi.
Kepadatan benur dalam ember plastik tidak boleh terlalu padat. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari agar benur tidak stress. Lakukan penyeseran dalam
baskom kemudian dituangkan ke baskom-baskom berikutnya yang telah diisi air laut
dan diberi aerasi. Lakukan dan ulangi kegiatan tersebut beberapa kali sehingga larva
didalam bak fiber tidak ada lagi. Kemudian satu persatu ember yang berisi larva hasil
panen langsung di transfer ke bak pemeliharaan larva. Ambil sampel larva udang untuk
dihitung dengan menggunakan piring kecil putih, sambil dihitung sambil ditebar ke
dalm bak pemeliharaan larva.
h. Pemeliharaan Larva
1) Persiapan Bak
Di BBAP Situbondo bak pemeliharaan larva dilapisi dengan cat berwarna biru
muda dam dilengkapi dengan pipa saluran udara (instalasi aerasi), instalasi air laut,
instalasi alga, dan saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan sirkulasi dan pipa
goyang, serta terpal sebagai penutup agar suhu stabil selama proses pemeliharaan
larva. Kemiringan bak adalah 2-5 %, hal ini, bertujuan untuk memudahkan dalam
pengeringan. Adapun sistem aerasi pada bak pemeliharaan larva menggunakan
aerasi gantung dengan jarak 5 cm dari dasar bak agar sisa pakan dan kotoran tidak
teraduk.
Persiapan bak pemeliharaan larva dilakukan sama dengan bak pemeliharaan induk,
yang mana pencucian bak dilakukan dengan menggunakan kaporit dan detergen
dan dilaarutkan dengan air tawar pada wadah berupa ember kemudian dinding dan
dasar bak digosok-gosok dengan menggunakan scoring pad dan dibilas dengan air
tawar hingga bersih dan kemudian dilakukan pengeringan selama beberapa hari.
Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan
mikroorganisme pembawa penyakit. Selang, pemberat dan batu aerasi direndam
dan dicuci kemudian di jemur guna untuk menghilangkan dan mematikan
mikroorganisme pembawa penyakit yang kemungkinan besar bisa terbawa oleh
selang aerasi tersebut. Pembilasan bak dengan air tawar dimaksudkan agar bau dan
kosentrasi bahan tersebut hilang.
2) Penebaran Larva
Penebaram larva dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari
perubahan suhu yang terlalu tinggi. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi sampai
suhu di dalam wadah dengan suhu di luar wadah sama. Aklimatisasi ini bertujuan
untuk menyesuaikan larva dengan perubahan kondisi lingkungan air di bak
pemeliharaan larva.
Di BBAP Situbondo tidak dilakukan aklimatisasi karena nilai kualitas air media di
bak pemeliharaan larva dengan media di fiber glass sama, sehingga tidak dilakukan
aklimatisasi pada larva.
Jumlah larva yang ditebar adalah PL 5-6 dengan jumlah 22.500 ekor. Perhitungan
populasi ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan larva sehingga tingkat
mortalitas larva dapat diketahui, dengan demikian makanan yang akan diberikan
dapat sesuai dengan jumlah larva yang hidup.
Pengamatan kondisi dan perkembangan larva penting dilakukan karena larva udang
dalam hidupnya mengalami beberapa stadia. Tujuan dari pengamatan ini adalah
untuk mengetahui kondisi fisik dan perkembangan tubuh larva yang dapat di
gunakan untuk menghitung populasi sehingga dapat menentukan jumlah pakan
yang diberikan.
Untuk mengetahui kondisi perkembangan larva dan kondisi air pemeliharaan larva
maka dilakukan pengamatan harian mengenai suhu, salinitas, dan keaktifan
gerakannya. Sedangkan untuk pengamatan mingguan yang meliputi pengamatan
suhu, pH, DO, salinitas dan NH3, yang dilakukan pada pagi hari sebelum
penyiponan dan pergantian air.
Gambar 13. Pengamatan kondisi larva
Pengelolaan kualitas air merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam usaha
pembenihan udang. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan terhadap media
pemeliharaan induk dan media pemeliharaan larva.
Pengelolaan kualitas air dalam media pemeliharaan induk udang vaname merupakan
bagian yang penting karena berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses budidaya
selanjutnya. Untuk menjaga kualitas air agar tetap stabil pada saat pemeliharaan induk
dilakukan pergantian air lama dengan air baru sebanyak 50 – 80% setiap hari yang
dilakukan pada pagi hari. Pengamatan air dilakukan bersamaan dengan pembuangan
sisa pakan dan kotoran udang serta kulit udang yang sudah moulting, dengan
menyeroknya didasar bak induk menggunakan serokan, sebelum penyerokan sisa
pakan dan kotoran udang, aerasi terlebih dahulu dimatikan agar mudah melakukan
penyerokan karena sisa pakan dan kotoran udang tersebut tidak berberai.
Lakukan pengisian air baru, hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh yaitu suhu 28
– 30 0C, salinitas 28 – 32 ppt, pH 7,5 – 8,5, DO 4-5 ppm. Hal ini tidak jauh beda dengan
SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu suhu 29 – 32 0C, salinitas 29 – 34 ppt, pH 7,5
– 8,5, dan DO 5 ppm.
Hasil itu didapat karena dilakukan pengelolaan kualitas air yang baik, dengan
pergantian air setiap pagi hari dan pembuangan sisa pakan dan kotoran udang, serta
pengontrolan aerasi secara rutin.
Pengelolaan kualitas air pada media pemeliharaan larva udang vaname dilakukan
dengan memonitoring kualitas air, dimana dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari.
Parameter yang dilakukan monitoring rutin adalah suhu dengan tujuan agar selama
masa pemeliharaan proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar yaitu berkisar
29 – 30 0C.
Sedangkan untuk pengecekan parameter kualitas air lainnya selama pemeliharaan larva
dilakukan oleh petugas laboratorium hama dan penyakit milik BBAP Situbondo.
Parameter lainnya yaitu pH berkisar pada 7,5 – 8,5. Salinitas 29 – 34, dan kadar nitrit
maksimum 0,1 ppm, hal ini tidak jauh beda dengan SNI (Standar Nasional Indonesia)
yaitu suhu 29 – 32 0C, salinitas 29 – 34 ppt, pH 7,5 – 8,5, dan DO 5 ppm. Hasil itu juga
didapat karena dilakukan pengelolaan kualitas air yang baik, dengan pergantian air
setiap pagi hari dan pembuangan sisa pakan dan kotoran udang, serta pengontrolan
aerasi secara rutin.
Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai dengan PL 5 berkisar
10 – 30 %. Pergantian ini dilakukan karena mysis 3 sudah termasuk udang remaja
sehingga anggota tubuh sudah sempurna dan tahan terhadap guncangan air dan juga
tidak lolos dalam penyiponan. Pergantian air ini dilakukan dengan membuang air
didalam serokan yang berukuran paling kecil dengan menggunakan gayung, jika sudah
memasuki stadia MP (mysis ke PL) pergantian air dilakukan dengan cara penyiponan
yang diujungnya dibalut kain kasa yang berukuran kecil, dan PL 5 sampai dengan
panen 30 – 50 % dari volume wadah yang terisi, serta penambahan air dari wadah alga.
Sebelum dilakukan penambahan alga dilakukan pergantian air dengan membuang air
dengan gayung didalam serokan agar naupli tidak ikut keluar. Hal ini terjadi bila warna
air berubah coklat akibat pakan yang menumpuk dan melayang-layang
Sedangkan pada bak pemeliharaan larva pergantian air dilakukan bersamaan dengan
penyiponan sisa pakan dimana air dikeluarkan bersama kotoran yang terbawa oleh
selang sipon. Pergantian air dilakukan setiap pagi hari sebanyak 20 %. Pergantian air
dilakukan untuk mengganti air lama dengan air baru dan penyiponan dilakukan untuk
membuang sisa-sisa endapan yang berasal dari kotoran udang (feses dan kulit udang
hasil moulting) dan sisa pakan yang tidak dimakan atau sudah busuk. Sedangkan
penyiponan dilakukan dengan menggunakan pipa PVC yang berdiameter ½ inchi.
Penyiponan dilakukan dengan cara melihat secara visual bila dasar bak pemeliharaan
larva telah mengendap banyak kotoran. Sebelumnya aerasi di matikan terlebih dahulu
agar larva tersebut berada dipermukaan air.
Kegiatan pemeliharaan air didalam pemeliharaan larva harus dilakukan, karena hal ini
sangat sensitif terhadap tingkat kehidupan larva harus dapat dipertahankan agar tetap
stabil sehingga tidak terjadi perubahan yang drastis terhadap persyaratan fisik dan
kimia air. Untuk menjaga kualitas air dalam media pemeliharaan, bak pemeliharaan
ditutupi dengan terpal. Pada saat pagi sampai sore hari terpal dibuka untuk menjaga
kestabilan suhu dan plankton dalam wadah pemeliharaan larva dapat berfotosintesis.
j. Pengelolaan Pakan
Perkembangan gonad udang Vaname dapat dipacu dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas pakan, yaitu dengan memberikan pakan yang mengandung protein tinggi.
Pakan segar yang dapat memacu perkembangan gonad udang Vaname adalah cumi-
cumi, cacing laut, dan tiram /kerang-kerangan dengan dosis 4 % dari total biomasa per
hari. Disamping intensif pakan juga dilakukan ablasi mata terhadap induk betina.
Agustin et al (1999) mengatakan bahwa pakan di berikan enam kali dalam sehari
dengan perincian empat kali kepiting, 1 kali cumi-cumi, dan 1 kali tiram atau udang
krosok.
Di BBAP Situbondo pemberian pakan untuk induk dilakukan sebanyak tiga kali dalam
sehari yaitu pada pukul 08.00, 13.00, dan 21.30 WIB. Jenis pakan yang diberikan
adalah cumi-cumi pada pagi hari, cacing laut pada siang hari, dan tiram/kerang-
kerangan pada malam hari. Pemberian pakan cumi-cumi berfungsi untuk meningkatkan
kualitas sperma, pakan cacing laut berfungsi untuk mempercepat kematangan gonad
pada induk betina. Sedangkan pakan tiram/kerang-kerangan berfungsi untuk memacu
perkembangan gonad baik induk jantan maupun betina.
Sebelum pakan diberikan, pakan tersebut harus dibersihkan dan dipotong-potong kecil
supaya pakan tersebut bersih, tidak mengandung penyakit dan udang mudah
memakannya. Pakan yang belum sempat diberikan disimpan dalam freezer (pendingin)
dengan tujuan untuk mencegah pembusukan dan sebagai persediaan untuk pemberian
berikutnya.
Dosis pemberian pakan untuk setiap harinya dihitung berdasarkan populasi dan berat
rata-rata setiap induk (ABW) dalam setiap bak pemeliharaan induk.
Keterangan :
Pengelolaan pakan yang diberikan pada larva udang vaname selama proses
pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan
pakan buatan masing-masing pakan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi
tertentu sesuai dengan stadia larva. Jenis pakan alami dikultur
adalah Chaetoceros dan Artemia.
Pemberian Chaetoceros dilakukan pada saat naupli masuk zoea. Sedangkan pada
stadia naupli belum diberikan pakan karena pada stadia ini larva udang vaname masih
memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Menurut Nurdjana et al., (1983) bila terlalu padat pada bak pemeliharaan larva dapat
menyebabkan feses yang dikeluarkan pada stadia zoea panjang-panjang yang dapat
menyulitkan pergerakan pada larva dan dapat menyebabkan kematian. Hal ini juga
dilakukan di BBAP Situbondo untuk menghindari kematian dan blooming alga yang
akan mengganggu kehidupan larva, makaChaetoceros yang diberikan tidak terlalu
padat.
Kelebihan Chaetoceros mengakibatkan kualitas air buruk karena terjadi blooming alga
yang akan menggangu kehidupan larva karena jika terlalu padat dapat menyebabkan
feses yang dikeluarkan pada stadia zoea berbentuk panjang sehingga akan menyulitkan
pergerakan larva dan menyebabkan kematian larva. KekuranganChaetoceros juga
mengakibatkan kekurangan pakan alami sehingga akan terjadi kanibalisme (saling
memakan teman sendiri), sehingga jika kekurangan pakan membuat pertumbuhan
lambat serta tidak ada terjadi difusi udara yang dihasilkan melalui fotosintesis pakan
alami. Dan juga tidak ada penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari
didalam bak pemeliharaan karena kualitas air yang cerah.
Pakan alami dari jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang vaname
adalah Artemia dengan cara pendekapsulaisan. Tujuan dekapsulasi adalah untuk
menipiskan lapisan luar cangkang tanpa mempengaruhi embrio hidupnya.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 14. Proses dekapsulasi (a) Pembilasan Artemia dengan air tawar, (b)
Pengadukan Artemia, (c) Perubahan warna cyste dari coklat menjadi orange, (d) Artemia yang
dimasukkan ke dalam kantong plastik
Gambar 15. Penetasan Artemia
Untuk mengkultur Artemia masukkan cyste dalam wadah penetasan yang diberi air
laut, kemudian diaerasi kencang. Penetasan cyste yang di dekapsulasi memerlukan
waktu antara 18 – 30 jam. Panen di mulai dengan menghentikan aerasi dan di angkat
kemudian di diamkan beberapa saat agar cyste Artemia yang belum menetas
mengendap ke dasar wadah. Kemudian Artemia di sipon menggunakan selang
berukuran setengah inchi dan di tampung pada saringan 100 mikron, selanjutnya
dilakukan pembagianArtemia. Artemia siap diberikan pada post larva (PL), sedangkan
sisa atau endapan telur Artemia yang belum menetas di tampung pada wadah tertentu
untuk dilakukan penetasan kembali.
Selain pakan alami, pakan buatan juga memegang peranan penting dalam
mempengaruhi keberhasilan. Pakan buatan yang diberikan berupa pakan cair yaitu
liqualife ZM dan MB1 diberikan pada stadia zoea memasuki mysis serta liqualife MPL
dan MB2 diberikan pada stadia mysis memasuki PL.
Gambar 17. Pakan buatan untuk larva, liqualife (kiri), dan MB (kanan)
Pakan buatan diberikan dengan cara melarutkan pakan buatan tersebut menggunakan
air laut terlebih dahulu hingga homogen, kemudian tampung di ember. Tebarkan pakan
tersebut ke dalam bak pemeliharaan benur menggunakan gayung sesuai dengan dosis
pemberian pakan yang telah ditentukan. Menejemen pemberian pakan pada udang
vaname dapat dilihatpada Lampiran.
Dalam kegiatan pembenihan, penyakit merupakan salah satu permasalahan yang dapat
mengakibatkan kerugian. Dengan demikian, pengendalian penyakit mutlak dilakukan
dalam kegiatan usaha pembenihan udang vaname. Pengendalian penyakit dilakukan
dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan.
Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharaan larva
udang vaname yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme
patogen umumnya memiliki siklus hidup yang pendek namun cepat berkembang.
Selama melakukan praktek lapangan induk udang dalam keadaan sehat, hal ini telah di
antisipasi mulai dari seleksi induk dengan memilih induk yang sehat. Selain itu,
penanganan induk dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari timbulnya luka pada
induk udang yang dapat menimbulkan infeksi.
Pengendalian hama dan penyakit pada larva persiapan bak, media, pengelolaan kualitas
air, serta pemeliharaan nauplius yang baik merupakan tindakan yang sangat
berpengaruh pada pengendalian penyakit. Selain itu penggunaan obat-obatan juga
dapat diberikan sebagai alternatif.
Untuk mencegah timbulnya penyakit pada pemeliharaan larva dilakukan juga
pemberian obat-obatan yang aman seperti treplan, iodin, atau EDTA setiap tiga hari
sekali, sesuai dengan dosis.
Jenis organisme yang umumnya menyerang larva udang vaname adalah dari golongan
protozoa, virus, jamur, bakteri dan cacing. Oleh karena itu harus dilakukan dengan
cermat, karena merupakan pusat proses produksi. Baik itu input dari induk, pakan
alami, pakan buatan maupun air media pemeliharaan.
Salah satu penyakit larva yang sulit untuk dilakukan pencegahan dan pengobatan
adalah dari golongan virus yaitu IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic
Necrosis Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), WSSV atau SEMBV (White Spote
Syndrome Virus) dan YHV (Yellow Head Virus).
Selama melakukan praktek tidak ada penyakit serius yang menyerang larva udang
vaname. Akan tetapi, perlu diwaspadai adanya serangan penyakit. Salah satu
pencegahan dilakukan adalah dengan membersihkan lingkungan yaitu melalui
penerapan biosecuriti dengan menggunakan PK atau kaporit secukupnya ditempatkan
pada awal pitu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan dan sanitasi
peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan serta dilakukan
pergantian air dan menyipon sisa-sisa pakan serta kotoran udang yang ada didalam bak.
l. Pemanenan
Panen total dilakukan karena konsumen meminta atau membeli benur dengan jumlah
yang banyak atau panen total dilakukan atau panen total dilakukan untuk mentransfer
larva udang vaname ke tambak milik BBAP Situbondo (hal ini dipraktekkan pada
udang remaja). Sedangkan panen sebagian dilakukan karena konsumen meminta atau
membeli benur dengan jumlah yang diinginkannya. Benur yang sudah di panen
dipindahkan ketempat pengepakan atau pengemasan dengan diberi aerasi.
Pemanena total diawali dengan menurunkan volume air sampai 50 % dan memasang
pipa saringan, pipa saringan dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung pada
ember berscren, terlebih dahulu mematikan aerasi. Pembuangan air beserta benur
dilakukan pada ember berscren sampai air yang ada pada bak pemeliharaan benar-benar
habis.
Selanjutnya dilakukan penyiraman bak agar sisa-sisa benur tidak menempel pada bak.
Kemudian di tampung pada ember plastik yang diberi aerasi.
Sedangkan pemanenan sebagian diawali dengan mematikan aerasi terlebih dahulu dan
air dikeluarkan kurang lebih 60 – 70 % sehingga benur akan berenang kepermukaan
air untuk mempermudah penyeseran yang dilakukan menggunakan seser. Hasil seseran
di tampung pada ember plastik untuk dilakukan sampling. Kemudian satu persatu
ember yang berisi benur hasil panen langsung ditransfer ke bagian pemackingan untuk
dilakukan pananganan selanjutnya.
m. Pengepakan Benur
Proses pengepakan /pengemasan benur dimulai dengan sampling benur. Pada waktu
sampling benur dibagi secara merata kedalam ember plastik, sehingga jumlah benur
perember mempunyai jumlah yang sama.
Packing dilakukan dengan menggunakan kantong plastik berlapis dua yang diisi air
laut sebanyak 2 liter. Kepadatan benur dalam kantong tergantung umur benur tersebut.
Jika PL 10 keatas kepadatannya maksimum 2000 ekor /liter. Selanjutnya
diberi oksigen untuk pernapasan udang selama pengangkutan. Dengan perbandingan
air dan oksigen 1:2 atau 1:3. Selanjutnya plastik diikat dengan kuat menggunakan karet
gelang. Hasil paking dimasukkan ke dalam kardus yang berisi antara 4 – 8 kantong
plastik. Untuk pengangkutan jarak jauh ditambahkan kantong es di antara kantong
benur dengan tujuan untuk menurunkan suhu sehingga tingkat metabolisme udang
menurun, karena mengurangi aktifitas dan kanibalisme sesamanya. Setelah semuanya
dimasukkan kedalam kardus dan di tutup dengan rapi.
n. Pemasaran Benur
a. Keadaan Tambak
Lokasi tambak udang vaname di BBAP Situbondo terletak didaerah pantai. Luas
seluruh lahan tambak di BBAP Situbondo adalah 10.000 m2. Tambak di BBAP
merupakan tambak intensif yang terbuat dari semen pada dinding hingga dasar tambak
dan berbentuk persegi panjang. Jumlah tambak untuk pemeliharaan udang ada 6 petak
dengan luas masing-masing 1800 m2 dan untuk tandon air 4 petak, 1 petak di pakai
untuk pemeliharaan induk dengan luas masing-masing 1600 m2. Di sekitar tambak
diberi pagar dan disekitar lahan tambak terdapat 1 rumah jaga di sertai gudang.
b. Persiapan Tambak
Benur vaname yang akan budidayakan harus di pilih yang terlihat sehat. Kriteria benur
yang sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi dan uji PCR, berdasarkan
pengujian visual (kasat mata), mikroskopik (dibawah mikroskop), dan daya ketahanan
tubuh. Hal tersebut dapat dilihat dari warna, ukuran panjang dan bobot sesuai umur
post larva, kulit dan tubuh bersih dari parasit dan patogen, tidak cacat, tubuh tidak
pucat, gesit, merespon cahaya, bergerak aktif dan menyebar di dalam wadah.
Benur sehat dengan tubuh transparan, bergerak aktif, dan hepatopankreas terlihat
jelas.
Saat berenang sirip ekor (uropoda) benur sehat mengembang seperti kipas pada saat
berukuran PL 15
Gambar 21. Larva udang vaname
Saat benur ditebar dalam tambak kincir air dimatikan agar arus air didalam tambak
terhenti. Hal ini bertujuan agar air di tambak menjadi tenang sehingga benur yang di
tebar tidak stress akibat arus air tambak yang kencang.
Persiapan lain yang perlu dilakukan yaitu pengukuran parameter air. Seperti suhu, pH,
oksigen terlarut, dan nitrit. Pengukuran dilakukan sebelum dilakukan aklimatisasi.
Agar benur lebih mudah beradaptasi dengan media air yang baru maka penebaran
dilakukan pada pagi atau malam hari. Penebaran dilakukan dengan teknik aklimatisasi,
yaitu dengan cara meletakkan atau mengapungkan plastik pengemas yang berisi benur
kedalam petakan tambak selama 30 – 60 menit. Tindakan tersebut dilakukan hingga
suhu air dalam kemasan plastik mendekati atau sama dengan suhu air petakan yang di
cirikan dengan munculnya embun didalam plastik kemasan, Setelah itu masukkan air
tambak sedikit demi sedikit kedalam air kantong plastik yang berisi benur, kemudian
langsung di tebar.
1) Pemberian Pakan
Sumber pakan bagi benih udang yang baru ditebar berasal dari pakan alami yang
tersedia di tambak dan pakan buatan. Pemberian pakan dilakukan dari setelah
penebaran hingga pemanenan. Jenis pakan yang diberikan adalah berupa pakan
buatan merk Feng Li. Ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan
secara cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan atau
kelebihan pakan. Kekurangan pakan bisa menyebabkan pertumbuhan udang
menjadi lambat, ukuran udang tidak seragam, tubuh tampak keropos, dan timbul
kanibalisme, sementara kelebihan pakan bisa menyebabkan kualitas air tambak
menjadi jelek.
Gambar 22. Pakan udang vaname
Fat
Code Paking Protein Fiber Ash Moisture Digestibility
(FengLi) (kg) min % max % max % max % min%
min %
FL 0 10 40 5 3 16 11 93
FL 1 10 40 5 3 16 11 93
FL 2 10 40 5 3 16 11 93
FL 3AC 25 40 5 3 16 11 93
FL 3AP 25 40 5 3 16 11 93
FL 3B 25 40 5 3 16 11 93
FL A 25 39 5 3 16 11 93
FL B 25 38 5 3 16 11 93
FL C 25 37 5 3 16 11 93
Code (Feng Li) Type Size Weight
FL 0 Powder 0,32 PL 15 – 0,6 gr
Program pemberian pakan yang di buat di BBAP Situbondo dengan asumsi 100.000
benur dengan pemberian pakan 2 kg/hari dan penambahan pakan 3 ons/hari sampai
udang berumur 1 bulan. Udang kecil lebih banyak mengkonsumsi pakan, namun
demikian dapat dilakukan perhitungan jumlah pakan berdasarkan estimasi. Acuan
yang dipakai antara lain jumlah udang yang naik ke anco, keseragaman
pertumbuhan ukuran, dan tingkah laku udang. Selain itu, pemberian pakan udang
bisa didasarkan pada nafsu makan udang yang dipengaruhi beberapa faktor, seperti
kualitas pakan, kondisi lingkungan dan kesehatan udang. Frekuensi pemberian
pakan 4 kali sehari pada pukul 05.30, 10.30 13.30 dan 21.30 WIB.
Saat pemberian pakan kincir air di matikan untuk menghindari terbawanya pakan
oleh arus air. Karena kincir dihidupkan kembali pada interval 1-2 jam setelah
pemberian pakan untuk membantu suplai oksigen
Pakan diberikan didaerah pakan, dengan tujuan udang akan menemukan pakan
yang disebar dan pakan yang disebar tidak terbuang percuma, tetapi dapat
dikonsumsi udang. Areal daerah pantai berkisar 4-6 meter dari tepi tambak, dan
pakan juga diberikan pada sebuah anco yang diletakkan di tepi tambak untuk
mengamati keadaan udang. Jika pakan dalam anco habis dapat dipastikan bahwa
pakan dalam tambak pun sudah habis. Jumlah pakan yang ditebar kedalam anco
sebanyak 1 % dari pakan yang di tebar. Hal ini merupakan tindakan kontrol
terhadap aktivitas memakan udang. Dalam interval 1-2 jam, anco dapat diangkat
dan diperiksa sisa pakan yang ada, dengan demikian dapat diprediksi kebutuhan
pakan udang. Bila pakan yang diberikan terlalu banyak, pemberian selanjutnya
dikurangi. Demikian pula pemberian pakan terlalu sedikit, pemberian berikutnya
bisa ditambah.
2) Sampling
Kualitas air tambak yang baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan
udang vaname secara optimal. Oleh karena itu, kualitas air tambak perlu dikontrol
setiap hari.
Suhu
Suhu air selama kegiatan pembesaran udang vaname berkisar antara 28-30 0C.
Kisaran ini cukup baik dalam mendukung pertumbuhan udang yang dipelihara,
karena kisaran tersebut sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) dalam Standar Nasinal Indonesia (SNI), yaitu 28-
30 0C.
Salinitas
Angka salinitas selama kegiatan pembesaran udang vaname berkisar antara 28-
34 ppt. Adanya kondisi salinitas tersebut dapat memacu pertumbuhan udang
vaname yang dipelihara. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan udang
vaname melambat karena energi lebih banyak terserap proses osmoregulasi
dibandingkan untuk pertumbuhan.
pH
Nilai pH air (derajat keasaman) selama masa pemeliharaan udang vaname pada
tambak berada pada kisaran 7,5-8,5. Adanya kondisi pH tersebut dapat memacu
pertumbuhan udang yang dipelihara. Hal ini di karenakan nilai pH mempunyai
pengaruh terhadap proses dan kecepatan reaksi kimia dalam air.
DO (oksigen terlarut)
Amoniak
Kadar amonia pada tambak pembesaran udang vaname berkisar antara 0,01-
0,05 ppm. Kisaran ini cukup baik dan tidak membahayakan bagi kehidupan
udang vaname, karena gangguan amonia akan di rasakan oleh udang bila berada
nilai > 0,6 ppm.
Salah satu cara untuk mencegahnya yaitu dengan cara pemberian probiotik
yang mengandung bakteri yang dibutuhkan, dan jika amonia terlalu tinggi
dilakukan penyiponan didalam dasar tambak. Penyiponan didalam tambak
dilakukan 1-2 minggu sekali. Atau dilakukan pada saat amonia tinggi.
Kesehatan udang vaname salah satunya dipengaruhi oleh kualitas air. Bila nilai-
nilai parameter kualitas air tidak sesuai standar maka udang akan mudah stres.
Dengan demikian, daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang
penyakit.
Di BBAP Situbondo, pengendalian hama dan penyakit pada tambak udang vaname
dilakukan dengan cara :
Selama kegiatan praktek tidak ada terjadinya penyakit yang serius, hal ini
disebakan karena sering dilakukan pengontrolan dan pengecekan baik berupa
kualitas air, pemberian pakan yang sesuai dosis, serta pemberian probiotik, dan juga
benur yang di tebar dalam kondisi sehat.
Aquazim : 50 gr
MBP : 1 kg
Starbio : 100 gr
(a) (b)
Gambar 27. Bahan probiotik; (a) starbio dan aquazime dalam bungkus, (b) starbio dan aquazime
dalam serbuk
Pengujian PCR di lakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit pada
udang vaname. Pengujian dilakukan dengan mengambil sampel kaki renang udang
yang dipotong/digunting. Pemeriksaan ini di lakukan oleh pihak laboratorium hama
dan penyakit BBAP Situbondo setiap 1-2 bulan sekali.
e. Pemanenan
Pemanenan udang vaname dilakukan setelah umur pemeliharaan > 100 hari, tetapi
pelaksanaan panen dapat memperhatikan pertumbuhan serta harga udang di pasar.
Pemanenan dilakukan pada sore hari hingga malam hari atau diusahakan pada suhu
rendah dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang.
1) Panen sebagian
2) Panen pilih
Panen pilih dilakukan setelah calon induk sudah menjadi induk yang siap di
pijahkan, dengan memilih induk betina dan jantan yang baik dan sehat. Kebanyakan
para konsumen meminta induk udang betina. Panen dilakukan dengan cara
perjalaan didalam tmbak, selanjutnya hasil tangkapan dimasukkan kedalam ember
dan dipilih induk betina dan jantan yang baik dan sehat.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 29. Tahap panen pilih dan panen sebagian; (a) penjalaan, (b) Penampungan dalam
ember, (c) pilih udang vaname, (d) udang yang sudah dipilih
3) Panen total
Panen total adalah panen yang dilakukan setelah udang dipilih untuk dijadikan
induk. Setelah tangkapan didalam tambak sudah tidak dapat lagi hasil
tangkapannya, maka dilakukan panen total. Panen total dilakukan dengan cara:
- Setelah air didalam tambak sudah habis atau udang sudah masuk semua ke dalam
jaring.
Untuk pengangkutan induk udang vanamei jarak dekat atau di sekitar Situbondo,
pengangkutan dilakukan dengan cara memasukkan udang yang sudah dipilih oleh
pembeli kedalam blong yang berkapasitas 700 liter. Sebelumnya dilakukan
pengecekan suhu dan salinitas agar sama dengan air didalam tambak. Kemudian
masukkan udang kedalam blong dengan kepadatan 300 – 500 ekor/blong. Air
dalam blong tersebut di beri aerasi dan diangkut dengan menggunakan mobil.
Gambar 31. pengangkutan udang vaname jarak dekat
Untuk perjalanan jauh atau diluar pulau jawa, induk udang di karantina didalam
brostock yang di transfer dari tambak. Sebelum dilakukan pengemasan, suhu
didalam bak harus dalam keadaan dingin dengan memasukan balok es, setelah suhu
dingin sekitar 20-240C kemudian dilakukan pengemasan.
g. Pemasaran
Pemasaran induk udang vaname berasal dari pulau jawa, dan di luar pulau jawa seperti
Nusa Tanggara Timur(NTT) dan Bangka Belitung. Harga 1 induk ekor udang antara
20.000-25.000 rupiah/ekor. Dengan biaya trnsportasi di tanggung sesuai dengan
perjanjian yang di sepakati. Jika pihak Balai yang menanggung biaya transportasi maka
harga induk lebih tinggi. Induk yang banyak di minta oleh konsumen adalah induk
betina dari pada induk jantan yaitu perbandingan 3:1.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Induk udang vaname berasal dari Hawaii dan Florida. Induk vaname yang digunakan
Brostock Center adalah hasil dari pembesaran induk di tambak milik BBAP Situbondo
yang sudah di ketahui asal usulnya.
2. Untuk merangsang gonad dari induk-induk betina udang vaname dilakukan pemberian
pakan segar berupa cumi-cumi, cacing laut, dan tiram, juga dilakukan proses ablasi mata
serta pengelolaan kualitas air.
3. Perkawinan udang vaname dilakukan dengan memisahkan betina dan jantan, setelah matang
gonad di pindah ke bak jantan, setelah mating induk segera di ambil dan di pindah ke bak
spawning.
4. Sampling skala pembenihan dilakukan hanya mengamati telikum induk betina sampling di
tambak untuk mengamati pertumbuhan serta jumlah dan beratnya.
5. Pengukuran kualitas air yang dilakukan di skala pembenihan adalah suhu yang diperoleh
yaitu pada bak pemeliharaan induk 28 – 30 0C, pada bak pemeliharaan larva 30-33 0C, dan
pada tambak pengukuran kualitas air yang dilakukan adalah suhu 29-30, amoniak 0,017-
0,077, salinitas 31-33, nitrit, 0,000-0,001 dan pH 7,52-8,31.
6. Pemberian pakan yang di berikan pada induk berupa pakan segar yaitu cumi, cacing laut,
dan tiram atau kekerangan, pada larva pakan alami Chaetoceros dan Artemia serta paka
cair (MB dan Liqualife). Untuk tambak pakan yang di berikan berupa pakan buatan merk
Feng Li.
7. Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara penerapan biosecurity, sanitasi peralatan yang
dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan, pemberian obat-obatan, melakukan
analisa kualitas air, pemberian prebiotik untu tambak serta melakukan pengujian PCR
8. Pemanenan pada larva udang vaname dilakukan setelah larva seluruhnya menjadi post larva.
Panen di lakukan pada pagi atau sore hari dengan teknik penyiponan dan penyerokan.
Pemanenan di tambak dilakukan setelah umur pemeliharaan > 100 hari, pemanenan
dilakukan dengan cara penjalaan didalam tambak untuk panen pilih dan sebagian, dan
memasang jaring kondom di pintu monik untuk panen total.
9. Tahap kultur alga yang dilakukan BBAP Situbondo meliputi: Kultur test tube, Kultur
erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, Kultur botol 1000 ml, Kultur carboy /toples 10 liter, Kultur
dalam aquarium 100 liter, Kultur dalam bak fiber glass 1 ton dan Kultur masal
10. Tambak di BBAP Situbondo merupakan tambak intensif dengan jumlah 10 petak, 6 petak
untukpemeliharaan udang vaname, 4petak untuk tandon air (1 petak digunakan untuk
pemeliharaan induk vaname). Tambak pemeliharaan menggunakan central drain agar
kotoran dalam tambak dapat keluar dengan penempatan kincir di sudut-sudut tambak yang
berputar searah agar kotoran berkumpul di tengah.
11. Agar benur mudah beradaptasi dengan media air tambak maka dilakukan pengukuran
parameter kualitas air (suhu dan salinitas) serta saat benur di tebar dalam tambak kincir air
di matikan agar arus air dalam tambak terhenti sehingga benur bisa istirahat dan
beradaptasi.
12. Pakan di berikan dalam anco untuk tindakan kontrol terhadap aktifitas udang, dan
keseragaman pertumbuhan ukuran.
B. Saran
1. Padat penebaran pada larva di usahakan tidak terlalu tinggi guna mencegah tingginya tingkat
kematian larva udang vaname akibat kanibalisme dan kompetitor.
2. Pemeriksaan kualitas air sebaiknya dilakukan lebih sering secara rutin. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui timbulnya masalah secara dini, sehingga dapat lebih cepat di tanggulangi
3. Sebaiknya dilakukan penelitian dengan menggunakan jenis pakan alami yang lain seperti
skeletonema sp, karena chaetoceros sp bisa berakibat kematian pada lerva udang vaname
dan juga dari jenis artemia sp mengingat harga dari cyste artemia yang cukup mahal.
4. pada kegiatan pembesaran, jumlah pakan yang diberikan sebaiknya di sesuaikan dengan
kebutuhan udang yang dipelihara. pemberian pakan yang tidak sesuai dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan dari udang yang di pelihara, sehingga nilai output (keuangan)
yang di peroleh tidak akan maksimal.
5. Dalam kultur alga perlu adanya sterilisasi ruangan /tempat, bibit, dan manusia yang
mengerjakan agar dapat berjalan dengan baik, serta peralatan yang digunakan untuk
masing-masing spesies pakan alami di bedakan agar tidak mudah terkontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, 2003. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang
Rostris. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jepara.
Cahyaningsih, 2005. Live Feed Production (Phytoplankton) Culture of Algae Pure and Mass
Culture, Paper for Naca Training 2005
Cheong Li, Heng H H, dan Lim C L, 1989. Petunjuk Dalam Perkembangbiakan Udang Putih
(Banana prawn). INFIS seri no.1. Direktorat Jenderal Perikanan dan Internasional
Development Research Centre (terjemahan).
Dela P.JR, Dioscoro T, Edgardo P, Emilia T, Fernando G, Gabasa, Porfirio, Quinitio, Victoria,
RR, 1985. Petunjuk Teknis Rancangan dan Pengoperasional Pembibitan (Hatchery)
Udang. INFIS seri no 10. Direktorat Jenderal Perikanan dan Internasional
Development Research Centre. (terjemahan). 60 hlm Colt, J.E. dan J.R Tomasso. 2001.
Hatchery Water Suplly and Treatment, hal 91 – 186. Dalam G.A. Wedwmeyer, ed. Fish
Hatchery Management. Z nd edition. American Fisheries Society. Bethesda. Maryland.
Djunaidah IS, Sumartono B dan Nurdjana M L, 1989. Paket Teknologi Pembenihan Udang Skala
Rumah Tangga. INFIS seri no 2. Direktorat Jenderal Perikanan dan Internasional
Development Research Centre.
Elovoora A.K, 2001. Shrimp Forming Manual. Practical Tecnology Intensive Commercial Shrimp
Production. United States Of Amerika, 2001.
FAO/NACA, 2004. Introductions and Movement of Penaeus Vannamei and Penaeus Stylirostris
in Asia and the Pasific. NACABangkok.
Fegan D F, 2003. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Asia Gold Coin
Indonesia Specialities Jakarta.
Halim, Rubiyanto Widodo dan Dian Adijaya S. Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya
2006.
Haryanti, 2003. Konsep Breeding Program Udang Introduksi. Materi Pertemuan Pengembangan
Jaringan Pembenihan dan Genetika Udang. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton Zooplankton. Pakan Alami
untuk Pembenihan Organisme Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Kamiso, H.N., Triyanto dan C. Kokarkin, 1998. Penggunaan Bibit Udang Bebas Vibrio dan
Vaksinisasi Palipalen untuk Menanggulangi Penyakit Vibriosis. Laporan RUT IV
(1996 – 1998).
Kokarkin C, 2000. Pemahaman benar Aplikasi Probiotik. Trobos Edisi September 2000. Halaman
57 – 58 Lawson, T.B. 1995. Fundamentals of Aquaculture Engineering Chapman &
Hall, Nem York.
Lightner D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Prosedures for Diseases
of Cultured Penaeid Shrimp. BatonRouqe, Louisiana, USA. The World Aquaculture
Society.
Matsudarmo, B dan B.S. Ranoemahardjo. 1980. Biologi Udang Penaeid. Direktorat Jenderal
Perikanan Departemen Pertanian.
Sukardi, M.F, 2004. Vannamei, Fenomena Baru dalam Bisnis Budidaya Udang Buletin
Departemen Kelautan dan Perikanan. Mina Bahari. Agustus 2004.
Sutaman 1993. Petunjuk Praktik Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga, Kanisius
Jakarta.
Sutanto, I. 2000 Keseimbangan Lingkungan Jawaban Terkini Sukses Bertambak Udang. Trobos
Edisi November 2000.
Suwanto, A. 2000. Prebiotik di Tambak Udang Solusi atau Bom Waktu.Trobos Edisi September
2000.
Wyban, J.A dan Sweeney, J. 1991 Intensif Shrimp Production Tecnology.Honolulu Hawaii, USA.
Wyban, J.A. 1992. Selective Breeding of Specifik Pathogen Free (SPF) Shrimp Health and
Increased Growth in Diseases of Cultural Penaeid Shrimp in Asia and United State.
Proc. Of Workshop in. Honolulu.