18 Macam Kitab Purana

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 105

http://hindualukta.blogspot.com/2015/02/garuda-purana.

html

GARUDA PURANA
OLEH SALEPPANG KEPO
MINGGU, 01 FEBRUARI 2015

1. Suta Dan Para Rsi Yang Lainnya

Suta adalah seorang rsi terpelajar yang mahir dalam ajaran purana dan sastra yang
juga seorang
penyembah Visnu. Sebenarnya Suta bukanlah sebuah nama, tapi segolongan orang
yang lahir dari perkawinan seorang brahmana dengan ksatria. Para suta bertugas
menjaga kuda-kuda kerajaan dan menjadi kusir kereta kerajaan.

Vedavyasa mengajarkan purana pada salah satu siswanya yaitu Romaharsana. Ia


memiliki seorang putra bernama Suta. Rsi Sutalah yang menceritakan purana pada
Rsi yang lainnya.

Romaharsana datang ke hutan Naimisaranya. Dia duduk dan bermeditasi pada Dewa
Visnu. Rsi Saunaka dan beberapa rsi lainnya datang kedalam hutan dan bertanya
pada Romaharsana tentang siapa dewa dari dewa, siapa yang harus dipuja,siapa
yang menghancurkan kejahatan, bagaimana dunia diciptakan dan apa itu dharma.
Romaharsana mengawali jawabannya dengan memberikan daftar tentang dua puluh
dua inkarnasi Visnu.

2. Latar Belekang Garuda Purana

Romaharsana menceritakan asal mula garuda purana yang ia dapatkan dari rsi
Vedavyasa. Garuda adalah raja dari para burung. Ia berhasil membuat Visnu
berkenan pada tapanya dan memberikan anugerah padanya untuk menjadi
kendaraan ilahi Visnu dan bisa mengalahkan semua jenis ular naga, dan yang
terakhir mengetahui segala pengetahuan. Kemudian garuda menyusun garuda
purana dan mengajarkannya pada rsi Kasyapa.

3. Penciptaan

Awalnya segalanya adalah kosong. Brahman adalah asal seluruh alam semesta yang
tak berawal dan tak berakhir. Sebelum penciptaan, alam semesta tenggelam dalam
air bah. Kemudian dalam air muncul sebuah telur(anda) keemasan. Visnu berada
dalam telur itu yang mengambil wujud phisik untuk melakukan penciptaan.
Terciptalah Brahma dan Siva, yang hakikat ketiganya adalah Brahman dan seluruh
alam semesta.

4. Tentang Doa

Garuda purana memiliki teknik yang mengajarkan cara berdoa kepada dewa.
Mantra-mantra yang digunakan juga dilelaskan. Semua jenis doa dan mantra ini
sangat membantu. Tetapi, dikatakan bahwa mantra dan doa yang terbaik adalah
mengucapkan seribu nama Visnu.

5. Seribu Nama Suci Visnu

Ada seribu nama Visnu yang dibuat dalam kelompok yang terdiri dari sepuluh nama.
Sepuluh nama itu diantaranya adalah Vasudeva, Mahavisnu, Vamana, Vasava, Vasu,
Balacandranibha, Bala, Balabhadra, Valadhipa, Valibhandhanakrt. Mereka yang
mengucapkan seribu nama Visnu akan mendapatkan apa yang diinginkan hatinya.

6. Tentang Gigitan Ular


Ada sebuah mantra yang dinamakan Pranesvara yang bisa menyembuhkan gigitan
ular. Sebuah bunga teratai dengan delapan daun bisa digunakan dan aksara dari
mantra ini hendaknya ditulis pada masing-masing kelopak daun, kemudian
diletakkan pada bagian tubuh yang digigit ular lalu ia dimandikan. Akan sangat
membantu jika korban diberikan mentega murni yang hangat. Jika mantra ini
diucapkan dan sejumput gula dilemparkan pada sebuah rumah, maka rumah itu
akan terbebas dari ular.

7. Salagrama

Salaghrama adalah sebuah perwujudan yang mewakili wujud Visnu, terbuat dari
sebuah batu. Garuda purana menceritakan bentuk dan wujud batu
Salagrama.semua bentuk batu ini dianggap suci karena mewakili wujud Visnu. Salah
satunya adalah sebuah Salagrama yang memiliki tanda Sankha (terompet kerang),
cakra gada dan Padma disebut sebagai Kesava, dan urutannya haruslah sesuai
dengan yang disebutkan.

8. Membuat Gedung Bangunan

Sebelum membangun sebuah bangunan, maka harus ada sebuah upacara untuk
peletakan batu pondasi. Ada tiga puluh dua dewa yang harus dipuja saat upacara ini
dilakukan, beberapa diantaranya adalah Indra, Surya, Soma, Sarpa, dan Aditi.

Sebuah kuil hendaknya dibangun di depan rumah. Tetamanan bisa dibuat


menghadap ke Barat dan ruang tamu menghadap ke Selatan. Tinggi pintu
hendaknya berjumlah dua kali dari lebarnya. Rumah yang baik adalah rumah yang
memiliki delapan pintu.

9. Tentang Kuil

Kuil hendaknya memiliki satu, tiga atau lima atap puncak. Ada lima jenis kuil yang
berbeda bentuknya yaitu Vairaja, Puspaka, Kailasa, Malaka, dan Tripistapa. Di dekat
gerbang kuil hendaknya dibuat sebuah tempat untuk bermain. Kuil hendaknya
senantiasa dikelilingi dengan tanaman buah, bunga, dan tanaman hias.

10. Varnasrama Dharma

Varnasrama dikarakterisasikan oleh kewajiban dari empat golongan masyarakat dan


tingkatan dalam hidup ini. Kewjiban Brahmana adalah melakukan upacara agama,
ksatriya memerintah negara, vaisya berkewajiban dibidang pertanian dan
perdagangan, sudra menghibur yang lainnya. Pada tahapan pertama seseorang
diwajibkan menjadi Brahmacarya(siswa spiritual), selanjutnya Grhastya(berumah
tangga), kemudian tinggal di dalam hutan dan melakukan disiplin
spiritual(Vanaprastha), yang terakhir menjadi pertapa(Sannyasin) melakukan Yoga
berusaha mencapai persatuan jiwa dengan Brahman.

11. Menyumbangkan Sedekah

Menyumbangkan sedekah (Dana) adalah cara terbaik untuk melakukan dharma,


karena orang yang menyumbangkan sedekah akan diberkati dalam kehidupan ini
dan juga kehidupan setelahnya. Jenis Dana ada empat yaitu Nitya, Naimittika,
Kamya, Vimala. Seorang pendosa yang menghalangi orang lain untuk memberikan
sedekah akan lahir menjadi burung dalam kehidupan yang akan datang.

12. Prayascitta

Prayascitta dimaksudkan untuk melakukan penebusan dosa-dosa. Dosa terberat


adalah membunuh seorang Brahmana, dan tinggal di gubuk dari rerumputan selama
dua belas tahun untuk menebus dosanya. Seseorang yang kebetulan mati di tempat
suci akan mendapatkan penebusan dosa-dosanya. Seorang istri yang melayani
suaminya dengan penuh kesetiaan dinyatakan tidak melakukan dosa apapun.

13. Tentang Geograpy

Bumi dibagi menjadi tujuh wilayah(dvipa) yaitu Jambudvipa, Plaksadvipa,


Salmalidvipa, Kusadvipa, Krauncadvipa, Sakadvipa, dan Puskaradvipa, yang
dikelilingi oleh tujuh samudra yaitu Lavana, Iksu, Sura, Sarpi, Dadhi, Dugdha, dan
Jala. Disamping itu ada juga yang disebut alam bawah tanah(patala) yang
jumlahnya ada tujuh, yaitu Atala, Vitala, Nitala, Mahatala, Sutala, Patala dan
Gabhastimata. Para daitya dan Bhujanga(ular) tinggal disana.

14. Astronomy Dan Astrology

Kereta dewa matahari ditarik oleh tujuh kuda. Kereta dewa bulan ditarik oleh
sepuluh kuda berwarna putih. Ada dua puluh tujuh naksatra(bintang) di langit
diantaranya Asvini, Bharani, Rohini dan Ardra.

Tithi adalah hari yang terdapat dalam setiap bulan. Ada hari dimana bulan bersinar
penuh (Purnima). Hendaknya tidak ada tugas yang dimulai pada hari itu.
Ada dua belas tanda zodiak(rasi). Dua diantaranya adalah Vrscika(scorpio) dan
Mithuna(gemini). Zodiac yang menjadi bintang kelahiran seseorang disebut sebagai
Janma rasi.

15. Physiognomy(Ilmu tentang arti tanda tubuh atau sikap seseorang)

Physiogonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat seseorang dari


karakteristik phisik meraka. Pada dahi setiap orang akan nampak guratan-guratan
yang jumlahnya akan menunjukkan berapa lama ia akan hidup. Seorang wanita
yang memilikiwajah bundar akan membawa kesejahteraan pada rumah tangganya.
Orang yang hidungnya mancung akan memiliki keberuntungan. Orang yang memiliki
alis yang simetris adalah orang yang kaya dan bahagia. Pengetahuan seperti ini
dalam ajaran agama Hindu disebut sebagai Samudrika sastra.

16. Tentang Permata

Tersebutlah seorang asura yaitu Balasura yang berhasil mengalahkan dewa indra
dan dewa yang lainnya. Para dewa akan melakukan yajna dan meminta tubuh
Balasura sebagai persembahan dalam upacara itu. Balasura sangat dermawan dan
tidak pernah menolak permintaan apapun, maka ia memberikan tubuhnya. Saat
para dewa membawa Balasura terbang di angkasa, tubuhnya jatuh dan hancur di
bumi. Dimana pun potongan tubuh itu jatuh, maka tempat itu menjadi sumber
permata dan batu berharga.

Vajra(intan) terbentuk dari tulang-tulang Balasura. Mukta(mutiara) berasal dari gigi


Balasura. Darah Balasura yang jatuh ke sungai menjadi sumber keberadaan
ruby(permata merah delima) atau Padmaraga. Empedu Balasura berubah menjadi
batu permata marakata(jamrud). Semua mata Balasura menjadi permata
Indranila(sapphire). Kulitnya menjadi batu permata topaz(pusparaga), sedangkan
kukunya menjadi Karketana.

17. Tirtha (Tempat suci)

Tirtha adlah tempat suci yang digunakan sebagai tempat berziarah. Tempat-tempat
suci itu diantaranya adalah sungai Ganga, Varanasi, Kuruksetra, Prabhasa, Dvaraka,
Sarasvati dan Kedara. Selain itu ada juga tempat suci yang terkenal yaitu Gaya.

18. Tentang Manvantara


Manvantara adalah satu perioda waktu dan setiap manvantara dipimpin oleh
seorang penguasa utama yaitu Manu. Manu yang pertama adalah Svayambhuva,
kemudian Svarocisa, Outtama, Tamasa, Raivata, Caksusa, dan saat ini adalah
Vaivasta. Sedangkan tujuh Manvantara selanjutnya adalah yang akan datang yaitu
Savarni, Daksasavarni, Brahmasavarni, Dharmasavarni, Rudrasavarni, Roucya, dan
terakhir Indrasavarni yang akan membawa kita pada akhir kalpa saat seluruh dunia
akan dihancurkan.

19. Ruci

Tersebutlah seorang rsi bernama Ruciyang tidak pernah menikah dan menghabiskan
sisa hidupnya dengan mengembara. Para leluhurnya datang dan memintanya untuk
menikah. Ia menyetujui, tapi dengan siapa ia akan menikah? Kemudian berdoa
kepada Brahma agar diberikan penyelesaian masalahnya. Brahma berkenan
menampakkan diri dan menyuruhnya berdoa kepada para leluhur. Karena berkenan
dengan doa Ruci, para leluhur menciptakan seorang apsara bernama Pramloca.
Maka Ruci menikah dengan anak Pramloca yang bernama Manini dan mereka
dikaruniai banyak anak.

20. Perkawinan Dan Perkawinan Silang

Mempelai laki-laki dan perempuan hendaknya tidak memiliki ikatan darah satu sama
lain, lebih dari Sembilan generasi dari pihak ayah dan tujuh generasi dari pihak ibu.
Golongan Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya hendaknya tidak menikah dengan
golongan Sudra.

Seorang laki-laki Brahmana bisa menikah dengan golongan Brahmana, Ksatriya,


Vaisya. Golongan Ksatriya bisa menikah dengan golongan Ksatriya dan Vaisya.
Golongan Vaisya hanya boleh menikah dengan Vaisya. Sedangkan golongan Sudra
hanya boleh menikah dengan golongan sesamanya.

Ada berbagai jenis pernikahan diantaranya jenis Brahmana, Daivya, Arya,


Prajapatya, Asura, Gandharva, Raksasa, dan Paisaca.

21. Kelahiran Kembali

Setelah membayar segala dosa yang pernah dilakukannya di neraka, seorang


pendosa dilahirkan kembali untuk menerima sisa perbuatannya di masa lampau.
Pembunuh Brahmana akan lahir menjadi anjing. Pencuri emas menjadi cacing atau
insekta. Seorang pembohong akan menjadi orang bisu. Pencuri sayuran hijau akan
lahir menjadi burung merak. Pencuri buah-buahan menjadi kera. Masing-masing
akan menerima sesuai dengan apa yang menjadi haknya.

22. Tentang Raja

Seorang raja harus menaklukkan musuh-musuhnya dan memerintah dengan baik


sesuai dengan aturan Dharma. Sang raja harus memuja Visnu dan memberikan
pelayanan pada brahmana. Raja hendaknya memperlakukan rakyatnya seperti
memperlakukan anak-anaknya sendiri dan tidak boleh merasa goyah saat Negara
berada dalam bahaya. Raja hendaknya tidak pernah berbohong dan tidak
sewenang-wenang. Ada enam sifat yang harus dimiliki raja, yaitu inisiatif,
keberanian, kesabaran, kecerdasan, kekuatan dan kejayaan.

23. Tentang Vrata

Vrata adalah ritual khusus pada bulan atau hari tertentu. Misalnya, pada pratipada
(hari pertama dalam setiap dua mingguan), seseorang bisa melakukan puasa dan
doa pada dewa Agni dan dewa kekayaan yang akan me
mberikan kesejahteraan pada yang melakukannya.

Ada dua tithi dalam setiap bulannya, yaitu Suklapaksa dimana bulan bertambah
besar dan akan bersinar penuh dan Krsnapaksa saat bulan berkurang sinarnya.
Sebuah vrata yaitu Ananga trayodasi, ditujukan pada dewa cinta dan dilakukan
hanya pada perioda Suklapaksa. Vrata Akhanda dvadasi memberikan pahala berupa
keberuntungan yang baik. Vrata Bhisma pancaka, jika seseorang berhasil
melakukan ritual ini maka segala keinginannya akan tercapai. Sivarati
vatradilakukan dengan cara berpuasa di siang hari dan tidak tidur di malam hari.
Beberapa vrata yang lainnya adalah vrata yang dilakukan pada ekadasi tithi dan
Budhastami vrata.

24. Tentang Dinasty Raja-Raja

Dinasti Surya berasal dari dewa Surya. Putra dewa Surya adalah Manu dan putra
Mani adalah Iksvaku. Dari garis keturunan ini lahirlah Ramayang terkenal dalam
kisah Ramayana. Dinasti Candra berasal dari dewa Candra yang memiliki putra
Buddha. Dalam garis keturunan ini lahirlah para Kaurava dan para Yadava.

25. Tentang Obat-obatan


Banyak bab dalam Ayur Veda di ajarkan pada bagian ini. Ada beberapa langkah
untuk perawatan medis diantaranya Nidana dan Purvarupa. Ada jenis tanaman yang
dinamakan punarnava yang digunakan agar tidak ada ular yang berani masuk ke
dalam rumah. Gigitan ular bisa di sembuhkan dengan membuat jus dari tanaman
semak yang bernama Mahakala.

26. Ajimat

Sebuah kavaca atau jimat juga memiliki kegunaan yang besar dalam mengatasi
penyakit. Salah satu jimat yang sakti adalah jimat yang dikenal sebagai Visnu
kavaca. Jimat ini hanya bisa dipakai dengan mengucapkan sebua mantra tertentu.
Mantra yang berhubungan dengan ajimatnya hendaknya di pelihara dan dijaga
kerahasiaannya.

27. Tentang Gajah Dan Kuda

Seni mengenalikan kuda disebut Asvayurveda dan seni mengendalikan gajah disebut
Gajayurveda. Ada empat jenis kuda yaitu Uttama, Madhyama, Kanistha dan
Adhama. Semua obat yang digunakan pada kuda bisa digunakan pada gajah,
tetapidosisnya adalah empat kali lipat dari dosis kuda. Jika seekor gajah sedang
sakit maka setelah diberikan obatnya, member makan pada brahmana dan
menyumbangkan perhiasan pada sapi akan mempercepat proses penyembuhannya.

28.Upacara Penguburan

Garuda purana memiliki segala jenis mantrayang harus diucapkan pada saat
upacara penguburan (sraddha). Jika ritualnya dilakukan sesuai dengan persyaratan
dan diiringi dengan mantra-mantra itu,maka para leluhur akan terbebas dari segala
dosanya. Dan ritual yang sama diulangi setiap satu tahun meninggalnya sang
almarhum.

30. Tentang Yuga

Ada empat yuga yaitu Satya yuga, Tretayuga, Dvaparayuga dan Kaliyuga. Dalam
Satyayuga, dharma paling dominan. Nampak sikap mengasihi makhluk lain, para
brahmana akan dihormati, dan manusia akan hidup selama empat ribu tahun. Pada
jaman Tretayuga, nampak kebesaran para ksatriya, masih memuja Visnu,dan
manusia hidup hingga seribu tahun. Jaman Dvaparayuga, seorang vedavyasa akan
lahir dan manusia hidup hanya hingga empat ratus tahun. Terakhir, jaman Kaliyuga.
Orang-orang menjadi jahat dan kejam.Veda tidak lagi dihormati dan para pencuri
dan perampok ada dimana-mana. Serta tidak seorang pun yang ada yang memuja
Visnu.

31. Pengetahuan Sejati

Ketidaktahuan ibarat sebuah pohon. Benihnya adalah ego. Batang terbentuk dari
ego itu. Rumah dan kekayaan adalah cabangnya dan benda atau kepemilikan
lainnya adalah daunnya. Papa dan punya adalah bunganya serta kebahagiaan dan
penderitaan adalah buahnya. Orang yang terpelajar akan memotong pohon itu
sampai ke akarnya dengan kapak pengetahuan. Orang seperti itulah yang bisa
bersatu dengan Brahman dan benar-benar mencapai pembebasan.

32. SUTA DAN PARA RSI YANG LAINNYA

Para rsi bingung dengan apa yang telah mereka pelajari. Kemudian Romaharsana
menjawab kebingungan mereka dengan menceritakan percakapan antara Garuda
dengan dewa Visnu.

33. PERTANYAAN-PERTANYAAN GARUDA

Gauda bersujud pada dewa Visnu dan bertanya, mengapa makhluk lahir ke dunia
dan mengapa mereka mati? Kemanakah perginya orang yang meninggal itu? Apa
sebenarnya kematian itu?

34. JAWABAN DEWA VISNU

Seseorang yang tidak memiliki keturunan akan masuk neraka. Atman orang yang
meninggal akan menghadap dewa Yama.pertama ia akan dibawa ke neraka untuk
mempertanggung jawabkan segala dosanya, barulah ia akan lahir kembali dengan
wujud sesuai dengan karma masa lalunya. Ada beberapa neraka, yang utama
diantaranya adalah Rourava, Maharourava, Atisita, Nikrintana, Aprathistha,
Asiptravana, dan Taptakumbha. Dan setelah menikmati pahalanya di surga, maka ia
akan lahir kembali.

35. DARI KEMATIAN HINGGA KREMASI

Orang yang meninggal akan di bersihkan dan di bungkus dengan kain. Keluarga
yang ditinggalkan akan membawa biji wijen, rumput persembahan, mentega murni
dan kayu ke tanah kremasi. Mayat di tempatkan pada panggung untuk pembakaran
dengan posisi kepala menghadap ke selatan. Api dinyalakan di iringi dengan mantra.
Keluarga yang ditinggalkan hendaknya jangan bersedih karena akan menambah
beban roh almarhum yang menjadi terikat dengan kehidupan masa lalunya.

36. SETAHUN SETELAH KEMATIAN

Selama sepuluh hari setelah kematian, dianggap sebagai periode bersedih dimana
anak dan keluarga yang ditinggalkan dalam keadaan tidak suci (Asouca). Setiap hari
hendaknya sebuah panda dipersembahkan untuk almarhum. Setelah persembahan
panda yang kesepuluh, waktunya untuk keluarga yang ditinggalkan melakukan
penyucian diri. Setelah satu tahun berlalu, sang roh tiba di alam Yama. Ia tidak lagi
berupa roh, ia telah menjadi leluhur.

37. VRSOTSARGA

Garuda bertanya, apakah Vrsotsarga itu. Kemudian dewa Visnu menceritakan kisah
Viravahana yang memerintah kota Viradha dengan aturan Dharma. Dia meminta
petunjuk rsi Vasistha, bagaimana ia bisa menghindari neraka. Sang rsi menceritakan
kisah Dharmavatsa kepadanya. Setelah menceritakan kisah itu, rsi Vasistha
menyarankan Viravahana untuk melakukan ritual Vrsotsarga. Kemudian ia
melakukan ritual itu, dan ketika ia meninggal ia langsung dikirim ke sorgs oleh dewa
Yama.

38. SANTAPTAKA DAN PARA HANTU

Santaptaka adalah seorang brahmana yang telah kehilangan minatnya terhadap


keduniawian. Ia mtinggal di hutan dan melakukan tirthayatra. Tapi ia tersesat.
Sebuah mayat tergantung di sebuah pohon beringin dan lima hantu(preta) sedang
memakannya. Mereka kemudian menangkap Santaptaka dan berniat memakannya.
Santaptaka mulai ketakutan dan berdoa pada Visnu. Kemudian Visnu mengirim
Manibhadra utuk menolong Santaptaka. Kelima hantu itu langsung teringat masa
lalunya dan bersujud di kaki Santaptaka. Mereka kemudian menceritakan mengapa
mereka bisa menjadi hantu. Setelah kisah itu diceritakan, Visnu menampakkan diri-
Nya kemudian membawa Santaptaka dan kelima hantu itu kea lam Visnuloka.

39. SAPINDA

Garda bertanya lagi, siapa saja yang yang disebut sebagai para sapinda. Visnu
menjawabnya, sapinda dari orang yang telah meninggal adalah putra-putranya,
cucunya, cicit, saudara, keponakan, dan putra-putra mereka. Jika semuanya tidak
ada, istrinyalah yang berhak melakukan upacara kremasi.
40. BABHRUVAHANA

Babhruvahana adalah raja di kerajaan Banga. Suatu hari ia pergi ke hutan untuk
berburu. Ia membunuh banyak kijang dan mangejarnya. Ia beristirahat di sebuah
telaga dan tidur di bawah pohon beringin. Kemudian datanglah sesosok hantu diikuti
ratusan hantu dibelakangnya dan membuat raja terbangun. Sang hantu
menceritakan kisahnya dan meminta raja untuk melakukan upacara agar mereka
bisa terbebas. Babhruvahana kemudian kembali ke kerajaannya dan melakukan
upacara untuk para hantu itu. Maka demikianlah para hantu itu seketika masuk
surga.

41. KISAH RAMA DAN SITA

Garuda meminta penjelasan Visnu tentang leluhur yang menerima Pinda. Pada
setiap upacara Sraddha para brahmana senantiasa diundang dan para leluhur
memasuki tubuh mereka. Dengan demikian mereka mendapatkan bagian dari Pinda
itu. Visnu menceritakan kisah Rama dan Sita yang tinggal di hutan. Mereka
melakukan upacara untuk kematian Dasaratha, ayah Rama dan mereka megundang
beberapa orang rsi. Ketika makanan di persembahkan, Sita bersembunyi karena ia
melihat Dasaratha, kakek dan cicit Rama makan bersama para tamu, dan ia merasa
malu pada mereka.

42. HIRARKI MAKHLUK-MAKHLUK

Dinyatakan ada empat kelompok makhluk di dunia, yaitu Andaja, Svedaja, Udbhijja,
dan Jarayuja. Setiap Atman harus lahir dalam stiap wujud ini sebanyak duapuluh
satu laksa kali. Diantara mamalia, manusia adalah yang tertinggi kedudukannya.
Diantara manusia yang memiliki sifat dan kedudukan brahmana adalah yang
terbaik. Brahmana yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman adalah
yang terbaik dari semua brahmana.

43. TENTANG SUMBANGAN DAN NERAKA

Pada saat upacara Sraddha, benda pertama yang harus disumbangkan adalah
payung(Chatra), kedua sandal(paduka), ketiga tempat duduk(asana), keempat
kendi air(kamandalu), kelima pakaian(vastra), keenam cincin(mudrika).

44. TENTANG HANTU


Kadang-kadang, roh orang yang meninggal menjadi hantu dan mengganggu orang-
orang. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mereka kembali ke rumah lama merekadan
senang membuat orang-orang yang disayanginya menderita. Hantu adalah pendosa.
Orang yang mengetahui adanya hantu dan membiarkannya juga dianggap
melakukan dosa. Bentuk hantu yang paling menakutkan adalah pisaca. Jika
diketahui ada pisaca di suatu tempat, maka yang harus dilakukan adalah
memandikan diri di sebuah tempat suci. Dan hendaknya dilakukan upacara
persembahan yang mengundang brahmana yang terpelajar.

45. TENTANG HIDUP

Veda menyatakan bahwa kehidupan manusia berlangsung selama seratus tahun.


Tetapi itu hanyalah untuk kehidupan manusia secara umum. Tentang bagaimana
atau berapa lama seseorang akan hidup, maka itu tergantung pada dosa dan pahala
yang mereka perbuat.

46. TENTANG TUBUH MANUSIA

Tubuh manusia dibentuk oleh kulit(carma), darah(rakta), daging(mamsa),


lemak(meda), lender(majja), tulang(asti), dan kehidupan(jivana). Ada beberapa
bagian indera yaitu indera kecerdasan(buddhindriya) dan indera
perbuatan(karmendriya). Di dalam tubuh manusia terdapat sepuluh nadidan juga
sepuluh nafas.

Ada hubungan yang sempurna antara tubuh manusia dengan alam semesta. Dari
pinggang ke bawah melambangkan alam bawah tanah dan pinggang ke
atasmembentuk alam atas bumi.

47. EPILOG

Garuda mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya. Ia menyentuh kaki dewa


Visnu dan menyampaikan rasa terimakasihnya.

Garuda menyampaikan ajaran ini kepada rsi Kasyapa. Pengetahuan suci ini
kemudian turun temurun dalam satu garis keturunan rsi, dari Bhrgu pada Vasistha,
dari Vasistha pada Vamadeva, dari Vamadeva pada Parasara, dari Parasara pada
Vyasadeva, dan dari Vyasadeva pada Romaharsana.

Nilai Filosofis
 Ada dua puluh dua inkarnasi Visnu diantaranya dalam wujud babi hutan(Varaha)
dan dalam wujud seekor ikan(Matsya).
 Garuda adalah kendaraan ilahi Dewa Visnu.
 Proses penciptaan alam semesta berawal dari sebuah telur(Anda).
 Visnu telah dikutukmenjadi sebuah batu yang terdapat di pinggir sungai Gandaki
 Ada seribu nama suci Visnu

Nilai Etika
 Garuda mengajarkan Garuda purana kepada rsi Kasyapa.
 Vedavyasa mengajarkan purana kepada Romaharsana

Nilai Upacara
 Romaharsana duduk di hutan dan bermeditasi kepada keagungan dan misteri dari
dewa Visnu.
 Ada sebuah upacara untuk peletakan batu pondasi dan memuja tiga puluh dua
dewa.
 Ritual prayascitta untuk penebusan dosa-dosa.

Menelisik Sang Penjaga Tanah Jawa di Masa Kerajaan


Majapahit
OLEH SALEPPANG KEPO
KAMIS, 21 MEI 2015
ALUKTA-- Sabda Palon sering disebut dalam Serat Darmagandhul dan Jangka
Jayabaya atau ramalan Jayabaya. Dalam Serat Darmagandhul disebutkan Sabda
Palon merupakan penasihat spiritual yang berilmu tinggi dari Raja Brawijaya V, raja
Majapahit terakhir. Konon karena kedigjayaannya dia bisa memerintah seluruh
makhluk halus di tanah Jawa.

Di kitab kesusastraaan Jawa karya Ki Kalamwidi tersebut juga disebutkan kalau


Sabda Palon merupakan sosok yang sama dengan tokoh pewayangan bernama
Semar atau Manik Maya yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Sehingga konon
sosok Sabda Palon ini juga merupakan makhluk gaib yang menjadi pelindung dan
penjaga raja-raja di tanah Jawa sejak 525 tahun sebelum masehi (SM) yang bisa
menitis kepada seseorang.

Sang Manik Maya ini juga disebut-sebut dapat membuat kawah air panas di atas
sejumlah gunung berapi di tanah Jawa bergolak. Bagi orang Jawa yang berpegang
pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar.

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti
Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar
manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur serta
berjalan pada jalan kebaikan.
Patung Penggambaran Sabda Palon di Candi Cetho

Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa


”suara tanpa rupa”. Secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi,
keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya
dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di
setiap masa.

Dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai


sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa
dikenal adanya konsep “menitis” .
Namun kisah kedekatan sang penasihat spritual ini dengan Raja Brawijaya V
akhirnya berakhir saat sang raja memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Sehingga Sabda Palon meninggalkan raja yang dijaganya selama ini.

KESEMPATAN TERAKHIR MENEMUKAN JALAN


MENUJU ALAM SUCI
OLEH SALEPPANG KEPO
KAMIS, 19 MARET 201

Kalau semua jalan yang kita tempuh menemui kegagalan, janganlah berputus-asa.
Kita masih memiliki satu lagi kesempatan, atau kesempatan terakhir. Di alam
Antarabhava inilah kita memiliki kesempatan sekali lagi untuk dapat memasuki
alam-alam suci. Hanya saja kemungkinan butuh waktu atau tidak cepat.

Di dalam keadaan gelap pekat dan penuh suara-suara mengerikan yang seolah-olah
mengejar kita ini, segeralah kita meditasi. Karena sesungguhnya suara-suara ini
bukanlah suara setan, juga bukan suara Tuhan yang marah dan menghukum,
melainkan suara yang merupakan bayangan atau pantulan dari
samskara atau kecenderungan pikiran dia sendiri.

Inilah pengetahuan yang sangat penting untuk diketahui dalam moment ini, sangat
penting di tahap ini untuk tidak terseret oleh arus emosi dan perasaan seperti rasa
bersalah, rasa sedih, rasa takut, rasa marah, rasa tidak rela, dsb-nya. Bathin kita
harus tetap tenang-seimbang dan memandang semua pengalaman tersebut dengan
damai dan penuh welas asih. Karena sekali lagi, kondisi bathin kita yang akan
menjadi penentu ke alam mana atma kita selanjutnya akan pergi.

Apapun yang dialami di alam Antarabhava ini, apapun suara-suara yang muncul,
sesorang harus ingat satu hal bahwa di alam kematian dia tidak lagi punya tubuh
fisik. Di alam kematian tubuh adalah tubuh halus seperti ruang, yang kalau dihajar,
disiksa, dicincang, itu sama dengan seperti memukul atau menghajar ruang kosong.
Tapi karena umumnya kebanyakan orang masih ada dalam avidya [kebodohan] dia
tidak akan tahu. Dia bisa merasa kesakitan, bisa menangis, bisa ketakutan dan bisa
sangat menderita.

Kalau mengharapkan perjalanan kematian yang baik dan lancar di bagian gelap
alam antarabhava ini, harus sangat dihindari untuk merasa kesakitan, menangis,
ketakutan, dsb-nya. Walaupun ini mungkin akan sulit bagi yang semasa hidupnya
banyak melakukan pelanggaran dharma, tidak mengendalikan emosinya dan tidak
terlatih meditasi. Tapi bagaimanapun juga harus dihindari terseret oleh arus emosi
dan perasaan, sebab kalau terjebak di alam Antarabhava ini akan sangat sulit untuk
bisa keluar. Kalaupun bisa keluar cenderung akan memasuki alam-alam bawah atau
terlahir kembali sebagai binatang.

Tapi membicarakan hukum karma itu sesungguhnya amat sangat rumit. Kadang ada
orang yang walaupun semasa hidup bathinnya penuh kekotoran atau karma
buruknya banyak atau terikat sangat erat dengan keduniawian, tapi dia tetap bisa
melewati bagian gelap alam Antarabhava dengan baik. Ini semua bisa terjadi
disebabkan oleh akumulasi karma baik-nya di jutaan kehidupan-kehidupan
sebelumnya. Karena kita semua sesungguhnya sebelum masa kehidupan ini sudah
pernah terlahir ke dunia dalam jutaan kelahiran. Sehingga petunjuk cara melintasi
bagian gelap alam antarabhava ini berlaku untuk semua orang.

Mengenal Kitab Purana


http://www.mediahindu.com/ajaran/mengenal-kitab-purana.html

Semua umat Hindu diseluruh dunia pasti tak asing lagi dengan Kitab Purana, seperti yang sering
kita dengar kitab Purana ini berisikan tentang ramalan-ramalan penciptaan bumi beserta isinya,
seperti cerita-cerita Dasa Awatara yang sangat melegenda dan umat Hindu percaya dengan
segala kisah yang diceritakan dalam kitab Purana tersebut.

Walaupun kita sering dengar kutipan-kutipan cerita dari kitab Purana namun secara jelas
mungkin masih banyak yang belum tahu, nah bagi yang belum tahu tentang kitab Purana berikut
uraian dan sekaligus menjadi tulisan paling baru di situs ini :

Kitab purana merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan
silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara,
cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan
Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian
hukum yang pernah di jalankan.

Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra
kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa,
tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah
ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok
ajaran mengenai Theisme(Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun
kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana,
Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma
Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga
Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.

Purana juga dikenal dengan nama “pancama Veda” yaitu Veda kelima karena kitab ini
memberikan penjelasan ajaran veda di dalam bentuk cerita yang sangat mudah dipahami oleh
masyarakat umum khususnya di jaman Kali yuga ini. Di dalam bahasa sansekerta, kata purana
berarti “tua atau kuno”. Dalam hal ini kata purana berarti kitab yang menguraikan suatu kejadian
di masa lampau yang disajikan di dalam bentuk cerita da ajaran ajran mulia kemanusyaan. Jika
ditinjau dari pengertian puitis, kata purana juga bisa diambil dari kata ”purä –nawa” ( kuno-baru ).
Dengan kata lain purana adalah suatu kitab yang menguraikan suatu kejadian yang telah terjadi
dimasa lampau di dalam bentuk cerita yang berisi ajaran ajaran yang sesuai dengan ajaran Veda
ysng selalu baru dan bersifat segar serta tidak pernah membosankan.

Selalu segar dan tidak pernah membosankan maksudnya adalah meskipun jika cerita ini
didengarkan atau diceritakan berulang kali, namu kisah kisah di dalam purana selalu akan
menarik karena didalam kisah tersebut terklandung nilai rohani yang sangat kuat dan
memberikan kepuasan kepada sang roh yang bersemayam di dalam badan.

Secara umum, ketika seseorang membaca atau mendengarkan sebuah novel material atau
menulis novel material, facta telah membuktikan bahwa novel tersebut suatu hari akan
membosankan si pembaca sehinga pada akhirnya hilang tanpa jejak. Maksimal novel novel
sperti itu akan tenar atau tersedia di pasaran selama 100 tahun atau mungkin sedikit lebih dan
setelah itu tidak akan laku lagi alias kadaluwarsa. Tetapi purana, meskipun sudah dibacakan dan
di dengar oleh orang orang sejak beribu ribu tahun silam, namun kisah di dalam purana tidak
pernah membosankan para pembaca yang serius untuk mempelajari Purana.

Mereka yang dengan serius untuk mempelajari purana dibawah bimbingan yang benar akan
selalu mendapat keinsapan baru yang dikupas dari kalimat kalimat di dalam purana. Keinsapan
baru bukan berarti menemukan teory baru seperti para ilmuwan modern tetapi suatu hal yang
sebenarnya sudah ada namun belum pernah dirasakan atau dipahami oleh si pembaca. Hal ini
disebabkan oleh kekuatan rohani sang penulis. Selain itu, hal yang paling utama yang
menyebabkan purana tidak pernah kadaluwarsa adalah karena cerita ini mengandung kegiatan
tuhan yang maha kuasa yang selalu bersifat segar dan baru. Meskipun yang maha kuasa
merupakan kepribadian tertua atau orang pertama yang ada di alam semesta namun beliau
selalu segar.

Di dalam kitab Brahma samhita diuraikan “advaitam acyutam anädim ananta-rüpam ädyam puräna-
purusam nava-yauvanam ca.” “Beliau adalah tiada duanya, tidak pernah gagal, tanpa awal, yang
memiliki bentuk yang tak terhinga, awal dari segala sesuatu dan Meskipun beliau adalah
kepribadian tertua ( purana purusa) namun beliau selalu segar dan kelihatan muda ( nava
yauvanam ).”
Berdasarkan beberapa sumber termasuk kamus ‘amara kosa’, secara umum purana
menguraikan 10 pokok bahasan namun ada beberapa purana yang hanya menguraikan 5 dari
sepuluh pokok bahasan tersebut. Menurut Matsya Purana bab 53 ayat 65, suatu kitab bisa
disebut sebagai purana jika kitab tersbut menguraikan paling tidak lima pokok bahasan sebagai
berikut :

Sargasca pratisargas ca
vamso manvantaräni ca
vamsyänucaritam caiva
puränam panca-laksanam
lima poko bahasan yang memenuhi syarat sebagai purana adalah :
1. proses ciptaan (sargah)
2. peleburan (pratisargah)
3. silsilahketurunan raja raja yang mulia (vamsah)
4. masa pemerintahan para manu (manvantara)
5. kegiatan para raja yang agung (vamsya anucarita)

Ketika kitab menguraikan kelima pokok bahasan, maka kitab tersebut bisa dimasukan kedalam
katagory upa-purana. Jika sebuah purana mengandung lebih dari lima pokok bahasan ini, yaitu
sepuluh pokok bahasan maka purana tersebut digolongkan kedalam golongan maha-purana.
Sepuluh pokok bahasan purana diuraikan didalam Srimad Bhagavata Purana skanda dua belas
bab tujuh sloka nomor sembilan dan sepuluh sebagai berikut :

sargo ‘syätha visargas ca


vrtti-raksantaräni ca
vamso vamsänucaritam
samsthä hetur apäsrayah
dasabhir laksanair yuktam
puränam tad-vido viduh
kecit panca-vidham brahman
mahad-alpa-vyavasthayä
Para otoritas dalam sastra mengerti bahwa purana mengandung sepuluh pokok bahasan.
Beberapa ahli menguraikan bahwa maha purana menguraikan sepuluh sedangkan yang
menguraikan kurang dari sepuluh di sebut alpa-purana atau upa-purana. Sepuluh pokok
bahasan yang disebutkan didalam sloka diatas adalah sebagai berikut:
1.Proses ciptaan alam semesta ( sargah )
Proses ciptaan ini maksudnya adalah proses ciptaan yang diciptakan oleh tuhan yang maha esa
Sri Visnu atau Narayana. Pada awalnya yang ada hanya Kepribadian tuhan yang maha esa, Sri
Visnu. Kemudian beliau menciptakan unsur dari alam semesta material. Saat ini yang tercipta
adalah bahan bahan dari alam semesta yaitu mahat tatva termasuk panca maha bhuta.
2. proses ciptaan kedua ( visarga )
Proses ciptaan kedua yang dimaksud disini adalah ciptaan yang dilakukan oleh Deva Brahma.
Pertama tama tuhan yang maha esa Sri visnu menciptakan unsur dasar dari alam semesta
(sarga). Beliau juga menciptakan deva brahma yang lahir dari bungan padma yang keluar dari
pusar padma beliau. Karena itu Sri Visnu juga dikenal dengan nama “Padma nabha”. Kemudian
deva brahma yang dikenal sebagai Vidhi (hyang Vidhi) yang artinya makhluk hidup pertama
yang diciptakan oleh yang maha kuasa, mulai merancang unsur unsur tersebut kedalam
berbagai bentuk dibawah bimbingan yang maha kuasa, Sri Narayana.
Seperti halnya bahan bangunan sudah disediakan oleh alam namun para arsitek mengolah
bahan tesebut menjadi bentuk sebuah rumah dan sebagainya. Seperti itu pula deva brahma
menciptakan alam semesta dari bahan bahan yang sudah disediakan oleh tuhan. Proses ciptaan
kedua yang dilakukan oleh deva brahma yang di sini disebut Visarga.

3. Pemeliharaan dan perlindungan alam semesta beserta isinya (Vrtti)


Setelah alam semesta diciptakan kedua kalinya atau dengan kata lain setelah alam semesta
ditancang sedemikiaan rupa oleh deva brahma, maka alam semesta tersebut perlu dipelihara.
Didalam kehidupan sehari hari kita mengalami bahwa untuk memelihara sesuatu adalah hal
yang paling sulit. Untuk membuat dan menghancurkan adalah hal yang tidak begitu sulit tetapi
untuk memelihara memerlukan keahlian dan kesabaran. Hanya tuhan yang mampu untuk
memelihara, karena itu beliau mengexpansikan diri beliau sebagai Ksirodakasayi Visnu
(paratmatma) dan memelihara semua makhluk hidup. Kepribadian tuhan dalam bentuk ini
dikenal dengan nama Sri Visnu di dalam Tri Murti. Di dalam Upanisad, ada sebuah sloka yag
sangat umum yang menguraikan pemeliharaan yang dilakukan oleh tuhan kepada para makhluk
hidup. “ nityo nityanam cetanas cetananam eko bahunam vyadadati kaman” beliau seorang yang
memenuhi keperluan dari semua makhluk hidup di dalam berbagai bentuk. Diulas dari kata
narayana sendiri, kata tersebut bisa diartikan sebagai berikut, “narasya ayanam pravrttih yasmat
sah iti narayanah” “Narayana adalah beliau yang merupakan tempat perlindungan ( ayana) bagi
para makhluk hidup atau beliau yang merupakan sumber dari makhluk hidup.
4. Perlindungan (posana)
Posana dengan Vrtti mempunyai kemiripan yaitu sama sama memelihara dan melindungi. Tetapi
didalam hal ini, proses perlindungan yang diuraikan di dalam purana maksudya adalah
perlindungan yang diberikan oleh tuhan kepada para penyembahnya yang murni. Sedangkan
Vrtti merupakan perlindungan secara umum kepada setiap makhluk hidup seperti yang diuraikan
di atas.
Seperti misalnya Prahlada yang dilindungi oleh Sri Narasimha dari cengkraman raksasa
Hiranyakasipu. Uraian ini disebut Posana di dalam purana. Kenapa perlindungan kepada
penyembah murni dipisahkan dengan perlindungan secara umum karena penyembah murni
memiliki peran yang sangat penting di dalam kemunculan tuhan ke bumi ini sebagai avatara.
Tujuan tuhan beravatar bukan hanya untuk menegakkan dharma dan menghancurkan adharma
tetapi hal yang lebih penting dari itu semua adalah untuk memuaskan keinginan penyembah
beliau yang tulus dan murni.

5. Penyebab kehidupan yang berupa keinginan material (hetu)


Para makhluk hidup ( sang roh ) berkeliling dari satu badan yang satu ke badan yang lain di
sebabkan oleh keinginan mereka yang material untuk menikmati di dunia mateial ini. Namun
sangat disayangkan sekali bahwa dunia material ini bukanlah tempat untuk kenikmatan yang
sejati bagi sang roh.
Seperti halnya ikan tidak akan bisa menikmati kemewahan daratan sama halnya sang roh tidak
akan bisa menikmati kemewahan hidup di dunia material karena kedudukan dasar dari sang roh
adalah sebagai percikan terkecil tuhan yang maha esa seperti uraian bhagavad gita“ mama eva
amsah jiva loke jiva bhuta sanatanah.” Karena itu untuk mencapai kenikmatan sejati, sang roh
harus kembali pulang ke alam tuhan. Dengan kata lain, mereka harus mencapai moksa. Jadi
hetu ( penyebab) mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan semua makhluk
hidup yang sangat berhubungan erat dengan hukum karma phala.

6. Masa pemerintahan Manu (manvantara/antarani)


Di dalam satu kalpa ( satu hari bagi deva brahma) diuraikan terjadi pergantian manu sebanyak
14 kali. Satu hari bagi brahma diuraikan di dalam bhagavad gita sebagai berikut :
sahasra-yuga-paryantam
ahar yad brahmano viduh
rätrim yuga-sahasräntäm
te ‘ho-rätra-vido janäh
“Berdasarkan perhitungan manusya, seribu kali perputaran jaman ( satya, treta, dvapara, kali
yuga) merupakan satu hari bagi brahma. Dan satu malam juga mempunyai masa yang sama”.

Berdasarkan perhitungan di dunia ini, setiap kali yuga berlangsung selama 432.000 tahun,
dvapara yuga selama 864.000 tahun, treta yuga selama 1.296.000 tahun dan satya yuga
1.728.000 tahun. Jika keempat jaman ini berputar sebanyak seribu kali maka itu merupakan satu
hari bagi dewa brahma dan satu malam juga mempunyai waktu yang sama. Jika dipikirkan
berdasarkan pemikiran kita yang terbatas, kelihatannya ini hanyalah sekedar suatu hayalan.
Mana mungkin ada orang yang hidup sekian lama? Pemikiran seperti ini sama seperti pemikiran
seekor nyamuk yang hidup selama satu mingu. Kalau misalnya kita bisa berbicara dengan si
Nyamuk dan bilang bahwa kami manusya hidup 1 x 4 x 12 x 100 mingu, maka nyamuk itu ngak
akan percaya dengan pembicaraan kita karena mereka tidak perah mengalami hidup sepanjang
itu. Bagi kita mungkin seratus tahun sudah cukup lama tapi di planet lain, seratus tahun di bumi
ini bagi mereka hannya sekejap mata. Kalkulasi dari kehidupan dewa brahma ini bukan kalkulasi
oleh seorang yang berspekulasi pikiran tetapi kalkulasi yang dibenarkan oleh berbagai sastra
paling tidak berdasarkan bhagavad gita yang merupakan himpunan inti sari dari semua ajaran
kitab suci Veda.

Berdasarkan uraian sastra yang sama, saat sekarang ini, pemerintahan berada di bawah
Vaivasvata manu yang merupakan manu yang ke-7 dari empat belas manu. Uraian manu manu
lainya diuraikan lebih mendalam didalam purana. Karena purana menguraikan kejadian di dalam
berbagai pemerintahan manu, maka kadang kadang ada beberpa cerita yang tidak cocok antara
purana yang satu dengan purana yang lain . Seperti contoh, di dalam beberapa purana mungkin
diuraikan bahwa begitu pariksit dikutuk oleh brahmana Srengi, pariksit menjadi marah dan mulai
membangun bangunan dari batu untuk menghindari masuknya ular taksaka sedangkan di
purana lain diuraikan bahwa pariksit maharaj menerima kutukan itu dan duduk di tepi sungai
Ganga mendengarkan Bhagavata purana dari Sri Sukadeva Gosvami.

Menurut para acarya dan resi penerima wahyu Veda menguraikan bahwa dalam hal ini,
perbedaan terjadi karena kejadian tersebut terjadi didalam waktu berbeda. Dengan demikian,
kepribadian pariksit pun merupakan kepribadian berbeda antara yang satu dengan yang lain
dilihat dari sudut pandang perbedaan manvantara dan perbedaan yuga. Kepribadian yang
berbeda tetapi mengambil posisi yang sama. Seperti misalnya permainan drama, saat ini si A
berperan sebagai pariksit dan besok si B yang berperan sebagai pariksit. Karena karakter yang
berbeda maka aksi pun sedikit berbeda namun tujuan dari kemunculan kepribadian itu semua
adalah sama yaitu untuk memberikan jalan kepada yang maha kuasa untuk ikut berperan di
dalam suatu kejadian untuk menegakan dharma. Perbedaan seperti ini biasanya terjadi didalam
purana yang berbeda judul dan biasanya tidak di dalam purana dalam satu judul.

7. Uraian dynasty raja raja yang agung dan kegiatannya (Vamsänucarita)


Vamsanucarita adalah kisah para raja yang memerintah di berbagai tempat di bumi ini. Ini juga
menyangkut keterunan dan kegiatan dari masing masing keturunan raja raja yang mulia
tersebut.
8.Peleburan (samsthä)
Ada beberapa jenis peleburan. Peleburan pertama disebut dengan kanda pralaya yaitu
peleburan yang terjadi di malam hari bagi deva brahma. Saat ini peleburan yang terjadi hanya
dari planet bumi sampai ke tujuh susunanan planet bagaian bawah sedangkan tujuh susunan
planet keatas tidak akan terlebur. Kanda pralaya terjadi setiap malam hari brahma tiba dan
kemudian setelah deva Brahma terbangun dari tidur di pagi hari ( setelah tertidur selama seribu
perputaran yuga ) maka beliau melihat segala sesuatu telah terlebur dan beliau mulai
menciptakan lagi bagian alam semesta yang terlebur tersebut sehinga para makhluk hidup
memilik tempat untuk hidup kembali.
Kemudian yang kedua adalah maha pralaya. Maha pralaya terjadi setelah deva brahma
mencapai umur 100 tahun. Ketika deva brahma mencapai umur seratus tahun, maka beliau
harus mengakhiri post beliau sebagai deva brahma dan kembali pulang ke alam rohani melayani
kepribadian tuhan yag maha esa Sri Narayana. Sat ini terjadi peleburan seluruh alam semesta
yang berada di bawah tinjauan deva brahma masing masing. Kedua peleburan bhuana agung ini
dilakukan oleh deva siva yang berfungsi sebagai pelebur di dalam Tri Murti.

Itu merupakan peleburan di dalam bhuana agung alam semesta. Kemudian purana juga
menguraikan peleburan bhuana alit yang juga dibagi menjadi dua. Peleburan pertama (khanda
pralaya bagi bhuana alit) adalah perpindahan sang roh dari masa kanak kanak ke masak devasa
dan ke masa tua. Berdasarkan sastra, perubahan ini termasuk kedalam katagory perpindahan
badan karena badan yang sebelumnya sudah diangap meningal. Hal ini bahkan dibuktikan oleh
para ilmuwan secara ilmiah bahwa setiap 7 tahun, tidak satu sel pun yang menyusun badan kita
masih hidup. Dengan demikian sel penyusun badan kita yang sekarang adalah berbeda dengan
sel penyusun badan kita tujuh tahun yang lalu. Srimad Bhagavad gita juga menguraikan :

Dehino ‘smin yathä dehe


kaumäraà yauvanaà jarä
tathä dehäntara-präptir
dhéras tatra na muhyati
sang roh yang berada di dalam badan secara terus menerus berpindah dari masa kanak kanak
ke masa remaja dan dari masa remaja ke usia tua. Sama halnya, sang roh juga berpindah dari
badan yang satu ke badan yang lain setelah meningal. Orang bijaksana tidak terbingungkan oleh
perganttian seperti ini”.

Kemudian maha pralaya bagi bhuana alit adalah seperti bagian terakhir dari sloka di atas yaitu
perpindahan dari satu badan ke badan yang lain setelah meninggal dunia. Sang roh akan
menerima badan sesuai dengan keinginan yang mereka kembangkan selama berada di badan
sebelumnya. Maka dari itu ada proses punar janma. Kadang kadang sang roh menerima badan
binatang, kadang kadang menerima badan tumbuh tumbuhan dan kadang kadang menerima
badan manusya dan bahkan kadang kadang sebagai apsara dan gandharva ( bidadari bidadara
) dan bahkan kadang kadang sebagai para deva. Ini terantung pada perkembangan keinginan
dan aktivitas di dalam badan sebelumnya. Namun di dalam hal ini, badan halus yang sama (
Pikiran, kecedasan dan ego ) masih selalu bersama sang roh di dalam setiap badan. Yang
terlebur hanyalah badan kasar yang tersusun dari lima unsur alam.

9.pembebasan (mukti/moksa/samstha)
Pada dasarnya, pembebasan atau mukti juga merupakan proses peleburan (samstha ) namun di
dalam level yang lebih halus. Peleburan (Samstha ) yang termasuk kedalam katagory moksa
adalah peleburan yang terjadi pada badan kasar dan badan halus. Dengan demikian sang roh
mencapai kedudukannya yang sejati. Sastra menguraikan “ muktir hitva anyatha rupa svarupena
samasthitih”, mukti adalah proses dimana seseorang meningalkan berbagai bentuk badan di
dunia material ini ( anyatha rupa ) dan mengambil bentuk sejatinya di dunia rohani ( sva-rupa ).
Kedudukan sang roh yang sejati di dunia rohani adalah sebagai pelayan yang maha kuasa, Sri
Narayana. Ada berbagai rasa yang bisa dikembangkan di dalam hubungan seseorang denga
tuhan.
Moksa bukan hanya berarti menyatu dengan tuhan. Menyatu dengan tuhan adalah pengertian
yang masih dangkal tentang moksa atau dengan kata lain tahapan tersebut adalah tahapan awal
dari moksa. Menyatu dengan tuhan maksudnya adalah menyatu dengan brahma Jyoti ( sinar
suci tuhan). Kalau kita berbicara tentang sinar suci, maka mesti juga mengacu pada sumber dari
sinar suci tersebut yang juga merupakan kepribadian yang maha suci. Kepribadian berarti
berbentuk pribadi bukan tanpa bentuk. Seperti sinar matahari, adanya sinar matahari karena
adanya bola matahari. Sama halnya adanya sinar suci maka mesti ada sumber yang berbentuk
yang bersifat suci.

Menyatu dengan brahman adalah awalan dari kesempurnaan di dalam kehidupan rohani.
Kesempurnaan tertingi di dalam kehidupan rohani adalah kembali ke dalam bentuk sejati (
svarupena samasthitih) dan melakukan pengabdian kepada yag maha kuasa. Ketika seseorang
kembali ke dunia rohani atau alam tuhan maka mereka tidak akan kembali lagi ke dunia material
ini yang penuh dengan penderiataan sedangkan kalau seseorang yang hanya mencapai
tingkatan menyatu dengan brahman ( sinar suci tuhan ) masih ada kemungkinan seseorang
untuk kembali ke dunia material ini. Tingkatan brahman, seseorang hanya akan mencapai sifat
“Sat” yang berarti kekal, namun sifat “cid dan ananda” ( pengetahuan dan kebahagian ) hanya
akan bisa dicapai di dalam alam rohani bukan di dalam sinar suci.

Sastra juga menguraikan bahwa moksa merupakan tujuan dari dharma. “ moksa artham
jagadhitaya ca iti dharmah

10.Tempat perlindungan yang utama (apasraya)


Apasraya atau juga kadang kadang di sebut dengan ‘asraya’ merupakan pokok bahasasan yang
paling penting di dalam semua purana karena ini merupakan tujuan kehidupan rohani. Tempat
perlindungan yang paling tingi adalah kepribadian tuhan yang maha esa. Srimad Bhagavata
Purana skanda kedua bab sepuluh sloka nomber tujuh menguraikan :
äbhäsas ca nirodhas ca
yato ‘sty adhyavasiyate
sa äsrayah param brahma
paramätmeti sabdyate
“ kepribadian yang satu yang dikenal sebagai kepribadian yang paling utama atau roh yang
utama yag bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup merupakan sumber dari seluruh
manifestasi semesta, juga sebagai wadah alam semesta serta sebagai akhir dari alam semesta.
Dengan demikian beliau adalah sumber asli yang utama dan merupakan kebenaran mutlak”.

Di dalam veda diuraikan bahwa kepribadian yang merupakan sumber segala sesuatu adalah
Narayana. Urian tersebut adalah sebagai berikut :

candrama manaso jatas caksoh suryo ajayata; srotradayas ca pranas ca mukhad agnir
ajayata; narayanad brahma jayate, narayanad rudro jayate, narayanat prajapatih jayate,
narayanad indro jayate, narayanad astau vasavo jayante, narayanad ekadasa rudra
jayante.
” Deva bulan, candra, berasal dari pikiran Narayana. Deva matahari, Surya, berasal dari mata
padma Sri Narayana, deva pengontrol pendengaran dan nafas kehidupan berasal dari
Narayana. Deva api, Agni, berasal dari mulut padma Narayana, Prajapati dan deva brahma
berasal dari Narayana, Indra berasal dari Narayana, delapan vasu berasal dari
Narayana,sebelas rudra yang merupakan inkarnasi dari deva siva berasal dari Narayana, dua
belas aditya juga berasal dari narayana”.

Uraian lain dari bagian kitab atharva veda juga mendukung pernyataan tersebut diatas sebagai
berikut :

narayana evedam sarvam yad bhutam yac ca bhavyam


niskalanko niranjano nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko narayanah
na dvitiyo’sti kascit
sa visnur eva bhavati
sa visnur eva bhavati
ya evam veda ity upanisa
Jadi berdasarkan sumber sumber diatas, menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Narayana
adalah sumber segala sesuatu yang merupakan kepribadian yang paling utama, kepribadian
tuhan yang maha esa yang dikenal dengan sebutan ‘brahman’ oleh para yogi, ‘paramatma’ oleh
para jnani dan ‘bhagavan’ oleh para bhakti yogi. Ini merupakan keputusan dan kesimpulan kitab
suci yang otentik. Pernyataan apapun yang dinyatakan tanpa dasar sastra maka pernyataan
tersebut tidak bisa dipakai dasar argument karena pernyataan tersebut sudah pasti memiliki
kekurangan karena orang yang berpendapat sendiri tidak sempurna. Namun sastra Veda dan
berbagai suplementnya merupakan sabda brahman atau merupakan wahyu tuhan yang ditulis
oleh para resi yang mulia seperti Maha resi Vyasadeva dan lain lain. Sumber: Disini
Incoming search terms:
siwa purana,siwa purana hindu,kitab purana hindu,wisnu purana,kitab purana,pengertian
purana,purana hindu,kitab siwa purana,kitab purana dalam agama hindu,jalandhar esensi dewa
siwa

Purana
http://mudiartana.blogspot.com/2011/05/purana.html

Pengertian dan Keutamaan Purana


Kita dapat jumpai dalam Kitab – kitab Atharva Veda (XI.7.24 dan XV.7.11-12),

Sathapatha Brahmana (XI.5.6.8), Bhradaranyaka Upanisad (IV.5.11), Candogya Upanisad

(III,4.1-2) dan lain – lain oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa “Purana” telah muncul

sebelum ditetapkannya tahun masehi. Kitab – kitab Semerti menyatakan bahwa Purana

adalah buku – buku yang memberikan komentar (Penjelasan) tentag segala sesuatu dalam

Kitab Suci Veda. Dari berbagai pernyataan tersebut di atas dapat disebutkan bahwa “Purana”

benar – benar merupakan susastra Veda yang amat tua usianya disusun jauh dimasa lalu.

Sebagai jenis susastra Hindu, Purana telah ada sejak jaman Veda. Seperti telah disebutkan di

atas istilah Purana sebagai suatu karya sastra keagamaan yang di dalamnya di kandung ceritra

– ceritra kuno dapat pula kita jumpai didalam susastra Veda, di dalamnya Kitab – kitab

Itihasa, seperti dalam Ramayana (Karya Maha Rsi Valmiki) dan Mahabharata (Karya Maha

Rsi Vyasa). Dalam Kitab Manawa Dharmasastra (Karya Maha Rsi Manu) juga menyebutkan

tentang Purana.

Purana berasal dari kata : Pura + Ana menjadi kata “Purana”. “Pura” berarti kuno

atau jaman kuno dan “Ana” berarti menyatakan. Jadi Purana adalah sejarah kuno. Purana

isinya menceritakan Dewa – dewa, Raja – raja, dan Rsi – rsi kuno. Purana juga berarti ceritra

kuno dan setiap ceritra Purana intinya mengandung ajaran agama. Kata “Pura” di dalam

Purana mengandung dua pengertian yaitu yang lalu dan yang akan datang. Kata “Purana”

dapat dijumpai lebih dari puluhan kali di dalam Kitab Suci Rg Veda, sebagai kata sifat yang

berarti kuno atau tua. Kitab Nighantu (III.27) menyebutkan enam kata di dalam Veda yang

mengandung pengertian “Purana” antara lain : Pratnam, Pradirah, Pravayah, Sanemi,


Purvyam, Ahnaya. Yaska dalam Kitabnya Nirukta (III.9) menyatakan “Purana” berasal dari

kata “Pura” yakni Pura Nayan Bhavati artinya sesuatu yang baru di masa silam. Kata

“Purana” barangkali berasal dari kata “Puratana” kemudian dalam bentuknya berubah

menjadi “Purana”. Secara etimologi, istilah Purana dijumpai dalam Kitab Vayu Purana

(I.203) yakni berasal dari kata “Pura” (pada masa purba, terdahulu) dan dari kata “An”
artinya bernafas atau hidup, oleh karena itu kata “Purana” berarti mereka yang hidup dari

jaman purba (Yasmat Pura Hyamati dan Purana Tena Tatsmartam). Kitab Brahmanda Purana
(I.1.173) menyatakan disebut Purana karena keberadaannya di jaman yang sangat purba
(Yasmat Pura Hyabhucaitat Purana Tena Tatsmrtam). Sedangkan Padma Purana (V.2.253)

sedikit berbeda dalam menjelaskan etimologi Purana, yang menyatakan : hal tersebut

dinamakan “Purana” karena merindukan atau menginginkan (kehidupan) masa lampau, dari

kata “Pura” dan akar kata “Vas” yang berarti merindukan atau menginginkan (Pura Puram

Vasisteha Puranam Tena Vai Smrtam). Menurut Panini (4.2.23,2.1.4) “Purana” berasal dari

“Pura” (Purvasminkala), artinya yang telah ada di masa lalu. Matsya Purana (53.63)

menggambarkan bahwa Purana mengandung catatan kejadian – kejadian masa yang silam.

Walaupun di jaman yang sangat purba, kita belum menemukan susastra Purana,

sesungguhnya ceritra – ceritra yang terdapat dalam kitab – kitab Purana sudah di kenal jauh

sebelum sabda suci Veda dihimpun. (Pusalker 1959 :75). Dalam Ramayana karya Valmiki

(IV.62,13) kata Purana berarti ramalan yang dibuat pada jaman purba (Winternitz 1990 : 501

ff). Maha Rsi Kautilya pada kitabnya Artha Sastra (I.5.14) yang membahas tentang Itihasa

menyebutkan bahwa “Purana” dan Itivrtta dari segi isinya merupakan bagian dari Itihasa.

Itivrtta berarti peristiwa bersejarah, Purana berarti mitologi dan tradisi yang lama dalam

legenda. Di dalam Matsya Purana (I.203) dinyatakan bahwa kata “Purana” berasal dari kata :

(1) Puranyate, (2) Puraanati, (3) Purabhavam, ketiga kata – kata ini mengandung makna

keadaan yang lalu atau kedaan yang telah lalu. Selanjutnya dalam Kitab Laksikon Sabda

Kalpa Druma (III.179) secara gramatika kata “Purana” dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pura (Puvasmin kale) Bhavam (Panini 4.3.23 ; 2.1.29 atau 4.3.105)

2. Pura Niyate Iti (Tagore, 1992, Vol.7, Part I : XVII)

Seorang sarjana besar ahli Bahasa Sansekerta Rangacarya memberikan definisi tentang

“Purana” yang menyatakan bahwa terdiri dari dua kata yaitu : “Pura” dan “Nava”. Pura

berarti lama dan Nava berarti baru. Purana berarti segala sesuatu tradisi yang baik dan selalu

menarik untuk diceritakan kembali ada sejak jaman purba. Margaret dan James Stutly dalam

Harper’s Dictionary of Hinduism menyatakan : Purana merupakan kumpulan cerita kuno


setelah jaman Veda. Chakuntala Jagannathan menjelaskan tentang Kitab – kitab Purana

sebagai berikut : setelah Sruti, Smrti, dan Itihasa kita memiliki buku yang ke-4 yakni Kitab –
kitab Purana. Kitab – kitab Purana terdiri dari 18 macam. Berdasarkan dari berbagai pendapat
tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa Purana merupakan susatra Hindu yang di

dalamnya penuh dengan ceritra keagamaan, memberi tuntunan bagi kehidupan dan kehidupan

umat manusia.

Ruang Lingkup dan jumlah Kitab – kitab Purana


Beberapa Kitab Purana seperti : Matsya (53.3.11), Vayu (I.60-61) Brahmanda

(I.1.40-41), Lingga (I.2.2), Naradya (I.92.22-26), dan Padma Purana menyatakan aslinya

Kitab Purana hanyalah satu dan Brahma yang pertama kali mengajarkannya, kemudian

barulah Kitab Suci Veda diturunkan muncul dari bibir Brahma demikianlah asalnya yang

selanjutnya berkembang menjadi seratus karor sloka dan itulah inti sarinya yang diumumkan

pada setiap jaman Dvapara (Dvapara Yuga) oleh Maha Rsi Vyasa. Adapun unsur penting

dalam Kitab Purana tentang “Panca Laksana” seperti yang disebutkan dalam Kitab Kurma

Purana :

Sargas ca prati sargas ca

Vamso manvantarani ca

Vansanucaritam cai va

Puranam pancalaksanam
Kurma Purana (I.1-12)

Ada lima unsur penting dalam Kitab Purana yang disebut Panca Laksana yaitu : Sarga

(ciptaan alam semesta yang pertama), Prati Sarga (citaan alam semesta yang kedua), Vamsa
(keturunan raja – raja dan rsi – rsi), Manvantara (perubahan dari manu ke manu),

Vamsanucaritam (diskripsi keturunan yang akan datang.

Selanjutnya jumlah Kitab Purana sebanyak delapan belas buah (umumnya kitab – kitab ini

disebut Maha Purana). Kurma Purana (I.1.13-15) mengenai daftar urutan Kitab – kitab
Purana dari 1-18 sekaligus jumlah slokanya masing – masing seperti tercantum dalam tabel

(Purana-Dr.Titib, Hal 27). Di dalam satu sloka dari Devebhagavata Purana, kita menemukan
nama – nama Purana untuk mudah mengingatnya.
Madhvayam bhadvayam caiva

Bratrayam vacatustayam

Nalimpagnim kuskam garudam eva


Devibhagavata (I.3.2)

Adapun makna terjemahan sloka ini adalah menguraikan nama dan jumlah Kitab – kitab

Purana, sebagai berikut :

a. Dua dengan hurup “ma”

1. Matsya Purana 2. Markandeya Purana

b. Dua dengan hurup “bha”

1. Bhavisya Purana 2. Bhagavata Purana

c. Tiga dengan hurup “bra”

1. Brahma Purana 2. Brahmanda Purana

3. Brahma Vaivarta Purana

d. Empat dengan hurup “va”

1. Visnu Purana 2. Vayu Purana

3. Vamana Purana 4. Varaha Purana

e. Tujuah dengan hurup “na, lin, va, agnim, kuskam, dan garudam”, yaitu :

1. Narada Purana 2. Lingga Purana

3. Padma Purana 4. Agni Purana


5. Kurma Purana 6. Skanda Purana

7. Garuda Purana

Daftar ke delapan belas Purana diberikan pada masing – masing kitab tersebut sebagai

pertimbangannya, tak ada yang pertama dan tak ada yang terakhir namun kesemuanya sudah
eksis satu dengan yang lain sudah melengkapi. Pada Uttaradhyaya dari Padma Purana

(263.81) dapat dijumpai pengelompokan kitab – kitab Purana sesuai dengan Tri Guna Purusa
Avatara dari sudut pendirian pengikut Vaisnawa. Menurut pengelompokannya hanya kitab-
kitab Purana (Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda, Vadma dan Varaha) merupakan kualitas

“Ketuhanan” (Sattwika) dan menguasai pembebasan. Kitab – kitab Purana yang diabdikan

kepada Brahman (Brahmanda, Brahmavaivarta, Markendeya, Bhavisya, Wamana, dan

Brahma) merupakan kualifikasi “nafsu” (Rajasika) dan hanya mengantarkannya untuk

mencapai sorga, sedangkan Kitab – kitab Purana lainnya diabdikan kepada Dewa Siwa

(Matsya, Kurma, Lingga, Siva, Skanda, dan Agni) digambarkan sebagai “kegelapan”

(Tamasika) dan menguasai neraka.

Di dalam Sivarahasyakanda dari Sansekerta Samhiti, dari Kitab Skanda Purana

nama – nama dari delapan belas Purana itu disebutkan satu demi satu serta

pengelompokannya sebagai berikut :

1. Sepuluh Purana berikut : Siva (Vayu), Darisya, Markandeya, Lingga, Varaha, Sekanda,

Matsya, Kurma, Vanana, dan Brahmanda Purana dinyatakan sebagai Purana yang Sivaistik

2. Empat Purana berikut : Visnu, Bhagavata, Naradiya, dan Garuda Purana dinyatakan sebagai

Visnuistik

3. Brahma dan Padma Purana dikatakan diabdikan untuk Brahman (Brahmanistik)

4. Agneya diabdikan untuk Agini

5. Brahma Vaivarta diabdikan untuk Savitri

Kitab – kitab Purana (Maha Purana) di atas disusun oleh Maha Rsi Vyasa. Buku – buku

Purana yang ditulis belakangan dikenal dengan nama “Upapurana” atau Purana Kecil (Minor

Purana)
Jumlah Upapurana juga 18, yaitu :

1. Sanathkumara 10. Kalika

2. Narasimha 11. Samba

3. Naradiya 12. Saura

4. Siva 13. Aditya


5. Durvasa 14. Mahesvara

6. Kapila 15. Devibhagavatam


7. Manawa 16. Vasistha
8. Usana 17. Visnu dharmottara

9. Varuna 18. Nelamata Purana

Masa Disusun dan Penyusun Kitab – kitab Purana


Kitab – kitab Purana merupakan susastra agama yakni : “Hinduisme” yang

mencapai jaman keemasan pada pemujaan terhadap Deva Visnu dan Deva Siva dan kitab –

kitab tersebut merupakan buku penting pada era Brahmanisme. Pendapat para tokoh tentang

Purana : H.H Wilson mengungkapkan sesuai dengan semua Purana baik yang merupakan

karya yang belakangan merupakan Susastra Sansekerta dan nampaknya berasal pada

beberapa ribu tahun yang lalu tanpa cara pemeliharaan.

Untuk karya sastra (puisi) Bana (sekitar 625 masehi) mengetahui Purana secara

pasti dan menuliskan dalam Novel sejarahnya yaitu : Harsacarita, Kumarila, yaitu seorang

filosop (sekitar 750 Masehi) menyatakan, Purana adalah sumber hukum. Sri Sankara (Abad

ke-9 Masehi) dan Ramanya (Abad ke-12 Masehi) menggolongkan Purana dalam kitab – kitab

suci dalam pengajaran pilsafat mereka. Seorang penjelajah Arab Alberumi (Sekitar 1030

Masehi) menggolongkan Purana menjadi 18 Purana dan mengutifp tak hanya Aditya, Vayu,

Matsya, dan Visnu Purana tetapi telah dikaji secara cermat salah satu kitab Purana yang

memilih bahwa Purana terakhir adalah Visnudharmottara (Vinternitz 1990 : 503).

Terdapat perbedaan pandangan yang sangat luas antara para sarjana India tentang

masa disusunnya Kitab – kitab Purana yang sebagian menyatakan bahwa Purana (Purana
Samhita) “yang asli” telah ditulis sebelum era masehi. Menurut VS Agrawala, Lomaharsana

adalah guru yang asli dari Purana, yang mengajarkan mula samhita yang jumlahnya masing

– masing 4.000-6.000 sloka, yang meguraikan 6 topik penting dan sangat mendasar (essensi)

yang setiap bagiannya terdiri dari 4 pada yakni : Sarga atau pencipta dunia, Prati Sarga atau

masa kehancuran, Manvantara atau masa – masa usia dunia dan Vanisa atau silsilah
keturunan suatu dinasti. Catur Pada atau Catur Laksana ini tetap terpelihara dan dapat

dijumpai dalam kitab Vayu Purana dan Brahmanda Purana.


Lebih jauh menurut R.C.Hazra (Loc.Cit) sisipan (interpolasi) tetang materi

terhadap kitab – kitab Ur-Purana telah terjadi antara abad ke-3 sampai abad ke-5 masehi yang

mengambilkannya dari kitab – kitab Semrti. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa

Kitab – kitab Purana telah ditulis antara 400 sampai 1.000 sebelum masehi, namun untuk

dimaklumi bahwa bentuknya tenunya tidak sama persisi dengan yang kita warisi dewasa ini.

Gyani dalam artikelnya, “Date on the Purana Litrature” (Vol. II, No.3.1-2) menguraikan

empat fase penulisan Kitab – kitab Purana sebagai berikut :

1. Fase Akhyana vamsa sekitar 1.200-950 sebelum masehi

2. Fase Perpecahan (terbagi menjadi 2 kelompok) sekitar 950-500 sebelum masehi

3. Fase Panca Laksana, sekita 500 sebelum masehi sampai awal masehi

4. Fase Sektarian atau fase ensiklopedi, mulai awal tahun masehi sampai 700 masehi

(Deshpande, Vol. 39, Part I 1988 : XVIII)

Seperti yang telah diuraikan di depan, dinyatakan bahwa penyusun Kitab – kitab

Purana adalah Maha Rsi Vyasa, Putra Parasara yang juga dikenal dengan nama Krsna

Dvipayana. Di Indonesia di Jawa maupun di Bali hanya ditemukan 1 dari 18 Purana yaitu :

berbentuk prosa yakni Brahmanda Purana yang mempergunakan Bahasa Bali dan Bahasa

Jawa Kuno. Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam penelitiannya tentang sastra Jawa Kuno Kitab

Brahmanda Purana sejaman dengan kitab Sang kamahayanikan yang ditulis 851-869 çaka

(929-947 masehi) berkarakter Sivaistik.

Purana Berbahasa Jawa Kuno (di Indonesia)


Kitab Brahmanda Purana berbahasa Jawa Kuno, yang satu – satunya Kitab Purana

dalam kasanah kepustakaan Jawa Kuno. Yang merupakan sumber ajaran Agama Hindu, yang

menurut P. Van Stein Callenfels dan Zoetmulder kitab ini seperti halnya Sarasamuscaya dan

Agastya Parwa merupakan karya religius (Hinduistilo). Di Indonesia telah diterjemahkan ke


dalam Bahasa Indonesia oleh I Gede Sandi, B.A dan I Gede Puja, MA. SH (1980) dan kajian

yang pertama, dilakukan oleh I Gonda yang dilaksanakan pada tahun 1932 (Zoetmulder
1953:59). Prof. Dr. Rajendra Mishra menyatakan bahwa Kitab Brahmanda Purana Berbahasa
Jawa Kuno tersebut bersumber pada Brahmanda Purana berbahasa Sansekerti karya Maha

Rsi Veda Vyasa (1989:84). Di masyarakat masih terjadi kerancuan menganggap kitab – kitab

Raja Purana seperti Raja Purana Pura Besakih sebagai juga kitab – kitab Purana (Maha atau

Upapurana), kerancuan ini meski segera diakhiri, karena kitab – kitab Raja Purana memuat

catatan tentang

Upacara – upacara di Pura tersebut, propertinya dan lain – lain, yang sangat jauh

berbeda dengan kitab – kitab Purana berbahasa Sanskerta sebagai sumber Komprehensif

ajaran Agama Hindu.

Penciptaan Menurut Lingga Purana


http://mgmplampung.blogspot.com/2014/12/penciptaan-menurut-lingga-purana.html

PROSES PENCIPTAAN DALAM LINGGA PURANA

Ladang Informasi - Esensi Ilahi yang memenuhi segalanya disebut


sebagaiBrahman. Pada permulaannya, satu-satunya obyek yang ada di alam
semseta ini adalah Brahman, tak aygda hal lain lagi hal lainnya. Brahman inilah
yang kemudian membagi dirinya menjadi tiga bagian utama,
yaitu Brahma, Visnu danSiva. Brahma memiliki tugas sebagai
pencipta, Visnu sebagai pemelihara dan Siva sebagai pemralina atau pelebur.
Selanjutnya yang memenuhi alam semesta ini adalah air, dan dalam air itu terdapat
telur (Anda) yang maha besar. Brahma muncul dari dalam telur ini dan dalam telur
inilah semua dunia tercipta.

Selama siang harinya Brahma, seluruh ciptaan berkembang. Akan tetapi jika malam
harinya Brahma telah tiba, maka terjadilah penghancuran (pralaya).
Ketika Brahma muncul dari telur abadi awal, ia terdiri dari seluruh proses penciptaan
(sarga). Akan tetapi ada proses berikutnya yang berupa penghancuran yang terjadi
pada malamnya Brahma, dan setelah itu juga aka nada proses penciptaan kembali
secara periodic (pratisarga).
Waktu dibagi menjadi empat jaman yaitu : Satyayuga berlangsung selama 4.000
tahun para dewa, Tretayuga berlangsung selama 3.000 para dewa, Dvaparayuga
berlangsung selama 2.000 tahun para dewa dan Kaliyuga yang berlangsung selama
seribu tahun para dewa. Satu masa mahayuga adalah periode dari mulainya
satyayuga sampai kaliyuga berakhir. Maka dengan demikian satu mahayuga
berlangsung selama sepuluh ribu tahun para dewa. Akan tetapi sebagai
tambahannya aka nada periode peralihan yang memisahkan antara satu yuga
dengan yuga selanjutnya yang disebut dengan samdhyamsa.

Samdhyamsa antara satyayuga dan tretayuga adalah 700 tahun, antara tretayuga
dan dvaparayuga adalah 500 tahun dan antara dvaparayuga, kaliyuga adalah 300
tahun dan antara kaliyuga dengan satyayuga yang baru adalah 500 tahun. Maka
dengan demikian, jumlah keseluruhan masa smdhyamsa ini adalah 2.000 tahun.
Dan secara keseluruhan satu mahayuga berlangsung selama 12.000 tahun dalam
perhitungan tahun dewa.
Berapa lamakah satu tahun para dewa? Untuk mengetahui hal itu, maka orang
harus mengetahui tentang satuan ukuran waktu.

Satuan ukuran waktu terkecil adalah nimesa, yaitu lama waktu yang dihabiskan saat
mengedipkan kelopak mata. 15 nimesa membentuk satu kastha, 30 kasta disebut
sebagai satu kala dan 30 kala membentuk satu muhurta. 30 muhurta membentuk
siang dan malam yang disebut sebagai ahoratra. Satu tahun manusia sama dengan
satu ahoratra para dewa. Dan 6 bulan waktu manusia dimana pada saat itu para
dewa sedang menikmati siang harinya disebut sebagai uttarayana, dan 6 bulan
selama para dewa menikmati malamnya disebut sebagai daksinayana. 360 tahun
manusia sama dengan 1 tahun para dewa. Maka dengan demikian 12.000 tahun
para dewa sama dengan 4.320.000 tahun manusia dan inilah rentang waktu satu
mahayuga.

Satyayuga berlangsung selama 1.440.000 tahun manusia, tretayuga berlangsung


selama 1.080.000 tahun, dvaparayuga berlangsung 720.000 tahun dan kaliyuga
berlangsung selama 360.000 tahun. Dan ini jika ditambahkan dengan masa
peralihan dari setiap yuga yang berjumlah 720.000 tahun, maka satu mahayuga
terdiri dari 4.320.000 tahun manusia.
Dalam satu manvantara terdapat 71 mahayuga. 71 mahayuga akan terdiri dari
296.720.000 tahun manusia. Maka dengan demikian aka nada 306.720.000 tahun
manusia dalam satu manvantara.

Seribu mahayuga membentuk satu kalpa, maka dengan demikian ada


4.320.000.000 tahun manusia dalam satu kalpa. Dengan demikianlah ada 14
manvantara yang membentuk satu kalpa. Satu kalpa akan membentuk satu
ahoratra Brahma.

Seribu kalpa adalah satu tahun Brahma dan 8.000 tahun adalah satu yuga
untuk Brahma. 1.000 yuga Brahma sama dengan 1 hari Visnu. 9.000
hari Visnusama dengan hanya satu hari Siva.

Pada akhir satu harinya Brahma, seluruh alam semesta dan semua mahkluk
dihancurkan. Sedangkan Brahma, Visnu dan Siva tetap tidak dihancurkan.. pada
saat ini yang ada hanya kegelapan dan air memenuhi semua ruang
danVisnu tertidur di atas air. Karena Nara berarti air dan Ayana berarti tempat
beristirahat, maka Visnu juga diberi nama Narayana.

Ketika matahari terbit dan fajar menyingsing, sang Brahma mulai melakukan
penciptaan dalam keadaan baru kembali.

Pertama Brahma menciptakan tiga orang putra melalui kekuatan bhatinnya. Nama
mereka adalah Sananda, Sanaka dan Sanatana dan mereka melakukan meditasi
yang dalam. Disamping itu, Brahma juga menciptakan Sembilan putra lainnya
melalui kekuatan bhatinnya, mereka adalah Marici, Brghu, Angira, Pulastya, Pulaha,
Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha.

Untuk menjamin penciptaan terus berlanjut, maka Brahma kemudian membagi


tubuhnya menjadi dua bagian yaitu bagian laki-laki menjadi Manu dan bagian wanita
menjadi Satarupa. Keduanya menikah dan memiliki dua orang putra yang bernama
Uttanapada dan Priyavrata, dan dua orang putri yang bernama Akuti dan Prasuti.

Daksa menikahi Prasuti dan memiliki 24 putri. Dan akhirnya manusia


berkembangbiak secara perlahan dan tetap proses penciptaan terjadi.

Salah satu putri Daksa yang bernama Sati dinikahi oleh dewa Siva dan ketika Sati
meninggal, dia terlahir kembali menjadi Parvati, putri dari Himalaya dan menikah
kembali dengan Siva.

Lingga Purana - Laingga Purana


Read more: http://serbaserbihindupurana.blogspot.com/2012/05/lingga-purana.html#ixzz3gnNZtD9d

Liòga atau Laiòga Puràóa


Puràóa ini diberi nama Liòga yang muncul sebagai sebuah simbol mistik dari Sang Hyang
Úiva dalam wujud-Nya sebagai sakala (berwujud) dan niûkala (tidak berwujud). Ada sebuah cerita
yang agak rancu tentang asal-usul tentang pemuja Liòga. Pada suatu hari ketika kunjungan Sang
Hyang Úiva ke hutan aúrama åûi Devadaru, para istri pertapa itu jatuh cinta kepada devatà itu (Sang
Hyang Úiva), yang selanjutnya dikutuk oleh para Muni.
Di dalam cerita penciptaan alam semesta, Sang Hyang Úiva mengambil peranan Sang Hyang
Viûóu, demikian juga diceritakan tentang 28 inkarnasi (Avatàra) dari Sang Hyang Úiva. Beberapa
bagian belum memperlihatkan pengaruh Tantràyaóa. Karya ini merupakan buku agama (pegangan)
bagi para penyembah Sang Hyang Úiva.

Liòga Puràóa dibagi menjadi dua bagian, masing-masing terdiri dari 108 dan 55 bab. Bagian
pertama, menggambarkan evolusi Liòga, wujud Sang Hyang Úiva sebagai phallus. Puràóa ini
menunjukkan perkembangan tradisi pemujaan kepada Liòga, yang merupakan bentuk dasar dari salah
satu pemujaan kepada Sang Hyang Úiva. Dalam kitab Puràóa ini juga diuraikan keadaan
geografi bumi yang terdiri dari 7 benua, flora dan faunanya, orang-orang yang mendiami bumi,
gunung-gunung dan sungai-sungai. Digambarkan juga ukuran lebarnya bumi, bintang-bintang dan
planet-planet, posisinya dan pergerakkannya di langit. Menguraikan juga sisilah dari dinasti raja-raja
terkenal, terutama Sùrya dan Candravaýúa. Diuraikan pula eksistensi para raksasa (Asura) usaha dan
kegiatannya menghancurkan dunia.

Bagian kedua terdiri dari ceritra-ceritra tentang keagungan Liòga, bentuknya secara
mendetail, konsepsi dan atibutnya, Vrata (pantangan/puasa) hadiah-hadiah dan mantra-mantra yang
berhubungan dengan pemujaan kepada Liòga. Pada bagian terakhir dijelaskan pula secara mendetail
prosedur ajaran Yoga Pàúupata dalam arti usaha untuk mencapai tujuan yang tertinggi, jiwa manusia
bersatu dengan Sang Hyang Úiva.

Bagian kedua terdiri dari ceritra-ceritra tentang keagungan Liòga, bentuknya secara
mendetail, konsepsi dan atibutnya, Vrata (pantangan/puasa) hadiah-hadiah dan mantra-mantra yang
berhubungan dengan pemujaan kepada Liòga. Pada bagian terakhir dijelaskan pula secara mendetail
prosedur ajaran Yoga Pàúupata dalam arti usaha untuk mencapai tujuan yang tertinggi, jiwa manusia
bersatu dengan Sang Hyang Úiva.

Baca juga :
Siwa Purana 1
Serba Serbi 18 Purana
bhagawata purana versi lain

Purana - Siwa Purana

1. Agni Puràóa
2. Båhannàradìya-Puràóa (Puràóa Agung Maharûi Nàrada)
3. Bhàgavata Puràóa
4. Bhaviûya atauBhaviûyat-Puràóa
5. Brahmà Puràóa
6. Brahmàóða Puràóa
7. BrahmavaivartaPuràóa
8. Garuða Puràóa
9. Kùrma atauKaurma Puràóa
10. Liòga atauLaiòga Puràóa
11. Màrkaóðeya-Puràóa
12. Màtûya Puràóa
13. Padma Puràóa
14. Skànda Puràóa
15. Vàmana-Puràóa
16. Varàha Puràóa
17. Vàyu Puràóa
18. Viûóu atauVaiûóava Puràóa

Manwantara - Bhagawata Purana


MANWANTARA
Setiap manwantara adalah sebuah era / jaman.
Setiap empat belas manwantara membentuk satu kalpa.
Alam semesta ini mengalami daur ulang setiap satu kalpa.

Seorang Manu akan memerintah pada setiap manwantara dan gelar Indra, atau
raja para dewa akan dipegang oleh seorang yang dinyatakan sesuai dalam setiap
manwantara.
Sekarang ini enam manwantara telah berlalu.
Manu yang pertama adalah

1. Swàyambhù manu, kemudian


2. Swarociûa,
3. Uttama,
4. Tamasa,
5. Raiwata,
6. Cakûuûa dan yang ketujuh adalah
7. Úraddadewa. Sekarang ini sedang berlangsung Manwantara yang ke
tujuh. Jadi akan ada tujuh Manwantara lagi yang akan berlangsung
sebelum dunia ini dihancurkan. Manu yang kedelapan adalah
8. Sawarói, kemudian
9. Dakûasawarói,
10. Brahmasawarói,
11. Dharmasawarói,
12. Rudhrasawarói,
13. Dewa-sawarói dan yang keempat belas adalah
14. Indrasawarói.

Dalam setiap manwantara adalah kewajiban para Manu untuk menegakkan


dharma dari empat kelompok dan empat tahap kehidupan.

Neraka - Bhagawata Purana

TENTANG NERAKA
Telah dijelaskan sebelumnya tentang berbagai neraka yang berbeda-beda.
Masing-masing diperuntukkan sesuai dengan dosa tertentu. Seluruh wilayah
neraka berada di dunia bawah.

Beberapa pendapat menyatakan ada dua puluh delapan jenis neraka. Yang
menguasai dan menentukan ke neraka mana seharusnya seseorang dimasukkan
adalah dewa Yama.

Seorang pencuri masuk ke neraka Tàmisra dan di sana mereka menderita haus
dan kelaparan. Mereka bersifat kejam tanpa perasaan akan masuk neraka
Rourawa. Neraka ini dihuni oleh mahluk yang menyerupai ular yang bernama
para Ruru. Oleh karena itulah neraka ini disebut Rourawa.

Para Ruru ini melakukan kekerasan dan kekejaman pada para pendosa yang
masuk ke neraka ini. Pendosa yang menyakiti seorang bràhmaóa akan masuk ke
neraka Kàlasùtra dan mereka dibakar di neraka ini.

Mereka yang menentang ajaran Weda, masuk ke neraka Asipatrawana dan


dicambuk di sana. Neraka ini dipenuhi dengan pohon palem yang memiliki
daun setajam pedang. Dan siapa saja yang mencoba melarikan diri dari cambuk
maka daun pohon itu akan jatuh dan melukai tubuhnya.

Mereka yang membunuh orang yang tidak bersalah akan masuk Úùkaramukha
dan digigit serangga jahat. Mereka yang makan tanpa melakukan persembahan
kepada para dewa dan leluhurnya, akan masuk ke neraka Kåmibhoja dan
dimakan oleh cacing jahat.

Mereka yang meramu racun atau zat yang berbahaya akan masuk ke neraka
yang berisikan seratus dua puluh anjing galak yang akan menggigitnya. Orang
yang menjadi saksi palsu akan dijatuhkan dari puncak pegunungan secara terus
menerus.

Seorang bràhmaóa yang minum minuman keras akan dipaksa meminum larutan
besi di sebuah neraka. Orang yang kikir akan masuk neraka Sùcìmukha. Di sana
para pelayan Yama akan menusukkan jarum dan benang di sekujur tubuhnya.

Sedangkan mereka yang melakukan kebaikan akan masuk Sorga. Karena


masing-masing orang memiliki tumpukan dosa dan pahala masing-masing,
pahala akan masuk sorga sedangkan dosa masuk neraka.
Namun jika timbangan antara kebaikan dan kejahatan seimbang maka, orang itu
harus terlahir kembali untuk menentukan apakah sorga atau neraka yang akan
menjadi tempat tinggalnya.

Padma Purana
Padma Puràóa
Terdapat dua resensi yang berbeda dari karya yang amat besar ini. Edisi yang
dicetak yang terdiri dari enam buku, yakni Àdi, Bhùmi, Brahmà, Pàtàla, Såûþi dan
Uttara Khaóða, adalah resensi yang kemudian. Khaóða yang lebih tua, yang telah
turun kepada kita hanya dalam naskah-naska bahasa Bengali, terdiri dari buku-buku
atau Khaóða sebagai berikut.

Buku I. Såûþikhaóða, yaitu “bagian penciptaan”, dengan pendahuluanyang bersifat umum.


Lomaharûaóa mengirimkan putranya, Úùta Ugraúrava, ke hutan Naimiúa untuk
mengidungkan kitab-kitab Puràóa itu kepada para åûi yang berkumpul di sana. Atas
permintaan dari Úaunaka, dia menceritakan kitab Padma Puràóa, yang digambarkan
posisinya di belakang bunga teratai (padma) pada saat itu sang Hyang Brahmà muncul pada
penciptaan itu. Kemudian Sang Úùta menghasilkan cerita penciptaan sebagaimana telah dia
dengar itu dari putra Sang Brahmà Pulastya. Ceritra-ceritra kosmologis dan kosmogonis juga
diuraikan dan dikaitkan secara sama seperti kitab-kitab Puràóa yang lain. Tetapi dalam buku
ini, bukannya Sang Hyang Viûóu yang dianggap sebagai sebab yang pertama, melainkan
Brahman yang maha tinggi dalam wujud-Nya sebagai Sang Hyang Brahmà yang personal.

Sekalipun demikian, bahkan buku ini bersifat Viûóuistik, dan di dalamnya diuraikan dengan
mitos-mitos dan legenda-legenda untuk pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu. Selanjutnya
sesudah cerita tentang penciptaan yang akan datang, juga diuraikan silsilah atau asal-usul
dari dinasti matahari (Sùryavaýúa) seperti biasanya, yang di dalamnya ada satu bagian yang
menguraikan tentang pitra, yakni para leluhur ras manusia yang dipuja dengan sarana
Úràddha telah terjalinkan sedemikian rupa dan dari dinasti Candra turan ke jaman Úrì Kåûóa.
Ceritra tentang konflik-konflik di antara para dewa dan raksasa (setan) yang disusul dengan
satu bab yang merupakan bertitik-tolak dari pandangan sejarah agama, dan akan diuraikan
suatu penjelasan inti yang sangat singkat:

Pertama-tama para dewa dikalahkan oleh para raksasa (bhùta), akan tetapi Båhaspati, guru
para devatà, menyebabkan pada akhirnya para dewa menang dengan cara sebagai berikut:
“Dalam penyamarannya Båhaspati sebagai åûi Úukra, guru para asura (raksasa) dia pergi
menemui para asura itu, dan dengan caranya yang menarik hati, pembicaraannya memikat
mereka, nampaknya sangat soleh dalam pengamalan ajaran Veda. Ia mengatakan kepada
mereka bahwa ajaran Veda dan ajaran-ajaran Vaiûóava dan Úaiva penuh dengan kekerasan
(himsa), dan mereka diberikan pelajaran oleh para guru mengalami kehidupan berkeluarga
(kawin).

Bagaimana mungkin ada kebaikan di dalam kehidupan yang demikian? Bagaimana Sang
Hyang Úiva, devatà dalam bentuknya setengah laki-laki dan setengah perempuan (Ardhanàrì-
ìúvaraá), yang dikelilingi oleh sekelompok para pengiringnya yang berjiwa jahat dan bahkan
yang menggunakan perhiasan tulang-tulang, mengajarkan jalan keselamatan? Kalau jalanan
setapak ke sorga dengan cara menebang sebatang pohon untuk membuat tonggak-pancang
pengorbanan membunuh binatang korban dan menyebabkan penyembelihan, apakah wujud
jalan setapak menuju neraka? Bagaimana mungkin mencapai sorga dengan melakukan
hubungan-seksual, atau pensucian diri dengan tanah dan abu? Soma menggoda Tara, istri
Båhaspati, Budha, seorang anak lahir dari padanya; Indra melakukan zinah dengan Ahalyà,
istri åûi Gautama.

Selanjutnya para bhùta (raksasa) memohon padanya untuk menceritakan pada mereka devatà
siapa bisa dimohon untuk memberikan perlindungan untuk keselamatan mereka. Båhaspati
menganggap jalan tersebut sebagai cara untuk merusak moral para raksasa itu. Viûóu kini
datang memberikan pertolongannya, dengan menyebabkan tokoh (tigur) dari seorang birawan
Jaina yang telanjang (Digambaran) dan seorang biarawan Buddha (Raktàmbara, “berselimut
merah”) untuk muncul, untuk menginisiasi para bhùta itu ke untuk mengikuti ajaran Jaina
dan ajaran Buddhisme, sesudah memberikan ajaran tersebut, mereka memutuskan untuk
mengikuti cara hidup mereka yang lama ( seperti para Bràhmaóa), mereka memberikan
kekuasaan kepada dewa Indra.

Salah satu dari bagian yang prinsip dari buku itu terdiri dari gambaran danau Puûkara
(Pokher di Ajmer) yang keramat didedikasikan kepada Brahman, yang direkomendasi dan
diagungkan sebagai sebuah temapat Tìrthayàtra. Sejumlah besar mithe dan legenda, banyak
yang saling berkaitan yang berbeda-beda diuraikan dalam dalam berbagai Puràóa,
diceritakan pula keutamaan dan pujian pada Puûkara. Lebih dari itu, beraneka upacara ritual
dan puasa atau “vrata” yang ditujukan untuk memuja dewi Durgà diuraikan dalam buku ini.
Di dalamnya juga diuraikan secara ringkas tentang penciptaan dunia secara berkelanjutan.
Buku itu berakhir dengan uraian tentang ceritra Sang Hyang Viûóu sebagai penghancur para
bhùta, kelahiran serta perkawinan Skanda. Pada bagian ini juga terdapat uraian tentang Àdi-
Khaóða yang hampir seluruhnya menguraikan Màhàtmya tentang berbagai “Tìrtha” dan
hanya pada bagian terakhir (bab 50-60) menguraikan tentang Viûóubhakti, tugas dan
kewajiban Catur Varna dan Àúrama.

Buku II, Bhùmikhaóða, yaitu “bagian bumi” mulai dengan legenda-legenda Somasarman,
yang dalam kelahiran yang kemudian menjadi pemuja Prahlàda. Tujuan dari legenda-legenda
itu adalah untuk menjelaskan mengapa di satu sisi dia lahir ditengah-tengah para bhùta, dan
sekalipun demikian, di sisi lain, mampu begitu besar menjadi seorang penganut (devote)
Viûóu. Di samping suatu uraian tentang bumi, buku ini menguraikan banyak legenda yang
berkaitan dengan kesucian beberapa “Tìrtha” atau tempat-tempat suci karena tìrtha-tìrtha itu
dianggap bukan hanya tempat-tempat yang sangat suci, tetapi juga orang-orang seperti para
guru, ayah, atau sang istri.

Untuk membuktikan bahwa seorang istri bisa jadi sebuah “tìrtha”, sebagai contoh kisah
diceritakan tentang Sukalà (Sukalàcarita), yang suaminya melakukan ziarah dan
meninggalkan dia ditinggal dalam kesengsaraan dan penderitaan, sekalipun dewa Kàma dewa
cinta dan Indra, raja para devatà mencoba menggoda dia dia tetap setia kepada suaminya.
Dan ketika datang kembali dari melaksanakan Tìrthayàtra, ia memperoleh anugrah sorga
untuk kebajikan-kebajikan dari istrinya. Juga diuraikan seorang putra dapat menjadi sebuah
Tìrtha, yang dilukiskan dengan sebvuah cerita sang Yayàti dan putranya Puru yang sangat
terkenal dalam kitab Mahàbhàrata.

Buku III Svarga Khaóða, yaitu “Bagian yang mengandung uraian mengenai sorga, yang
merupakan sthana berbagai devatà, tentang alam Sang Hyang Sùrya, Indra, Agni, Yama dan
lain-lain yang dijalin ke dalam sejumlah dongeng dan legenda. Disebutkan seorang raja
Bhàrata, yang melukiskan cerita tentang Úakuntalà, yang diceritrakan di sini tidak seperti
diuraikan dalam kitab Mahàbhàrata, tetapi sangat dengan drama Kàlidàsa. Sebuah
perbandingan drama karya Kàlidàsa dengan versi dari Mahàbhàrata dan dengan Padma
Puràóa memperlihatkan bahwa dalam semua kemungkinan Kàlidàsa menggunakan sumber
yang disebut terakhir itu sebagai sebuah bahan penulisan. Satu gambaran tentang dunia
Apsaras dan tentang legenda-legenda dari Purùrava dan Urvaúì. Banyak juga legenda-
legenda lainnya, yang kita kenal seperti termuat dalam berbagai epik, yang juga
dimunculkan di sini. Selanjutnya ia berisi ajaran-ajaran mengenai tugas-tugas Catur Varna
dan Catur Aúrama, tentang pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu dan banyak hal tentang
ritual dan ajaran moralitas.

Buku ke IV “Pàtàla Khaóða” yaitu “Bagian mengenai dunia bawah” menggambarkan


pertemuan-pertemuan wilayah-wilayah di bawah tanah teristimewa tempat-tempat para nàga
atau dewa-dewa ular. Penyebutan Ràvaóa dalam rangkaian kisah keseluruhan dari Úrì Ràma,
yang diuraikan di sini sebagian sesuai dengan ceritra Ràmàyaóa dan sebagian lainnya
hampuir sama persis seperti dalam karya epik Kàlidàsa yang bernama Raghuvaýúa, yang
menurut H. Úarma, kitab Padma Puràóa menjadikan Raghuvaýúa sebagai sumber
penulisannya. Di sini kita juga mendapati ceritra tentang Åûya-Úåòga dalam satu versi yang
lebih kuno dari pada ceritra di dalam Mahàbhàrata.

Ceritra Ràma yang sebenarnya di dahului cerita para leluhur Úrì Ràma yang mulai dari
Manu, putra dewa matahari dan pertolongan dari bahaya banjir besar. Pembantaian atas
Ràvaóa yang sebenarnya seorang Bràhmaóa, telah meletakkan kesalahan atas pembunuhan
itu pada Úrì Ràma dengan cara bertobat atas dosa-dosa yang dilakukan dengan mengadakan
korban kuda. Berkenaan dengan aturan-aturan yang ditentukan dalam upacara itu, kuda yang
dijadikan korban itu dibiarkan bebas berkeliaran ke mana saja selama setahun, yang ditemani
oleh satu rombongan pasukan, para prajurit dengan Úatrughna menjadi pucuk pimpinan
tertinggi.

Pengembaraan kuda dan para pengikutnya ke seluruh India, sangat banyak diuraikan dalam
bukuini, banyak ceritra tentang tempat-tempat keramat (suci), dan ceritra-ceritra yang terkait
dengan tempat-tempat suci itu. Diceritakan selanjutnya kuda yang dipakai upacara korban itu
itu sampai ke aúrama Vàlmìki, diuraikan tentang kisah Ràma yang berhubungan dengan dewi
Sìta, yang menurut Wilson, bagian ini sejalan dengan ceritra yang terdapat dalam kitab Uttara
Ràma Carita. Satu ajaran yang sangat luas yang terkandung dalam 18 kitab Puràóa, yang
merupakan bagian akhir dari Pàtàlakhaóða.

Di sini dikatakan bahwa Maharûi Vyàsa memproklamirkan Padma-Puràóa pertama kali, dan
kemudian 16 orang yang lain, dan akhirnya Bhàgavata-Puràóa, yang diagungkan sebagai
buku yang sangat rahasia bagi para pemuja Viûóu yang diyakini paling suci. Buku ini
berakhir dengan beberapa bab, yang barangkali ditambahkan pada suatu masa sesudahnya
juga mengenai Úrì Kåûóa, dan kumpulan gembala sapi, dengan menyebutkan Ràdhà,
termasuk pula mengenai tugas-tugas dari para pemuja Viûóu, kesucian batu Úalagràma dan
rincian lain dari rahasia memuja Sang Hyang Viûóu.

Buku V Uttara Khaóða, yaitu “bagian akhir” adalah buku yang amat panjang yang
menguraikan secara rinci cara memuja Viûóu dan upacara-upacara yang dikaitkan dengan itu
dengan cara yang amat mengesankan. Uraian yang sangat luas diabdikan untuk melukiskan
keagungan bulan Màgha, teristimewa tentang kesucian yang ditujukan kepada Sang Hyang
Viûóu. Ceritra yang dihubungkan dengan bukti tentang keutamaan pahala mandi (suci) pada
bulan ini.
Bagian yang lain menguraikan keutamaan bulan Kàrttikeya, yakni pemberian lampu kepada
orang lain sangat berpahala. Dalam kaitannya dengan keunggulan Sang Hyang Viûóu sebagai
titik awal, pengarang melukiskan Sang Hyang Úiva dalam percakapannya dengan dewi
Pàrvatì menyatakan keagungan Sang Hyang Viûóu dengan uraian yang panjang tentang
Avatàra-Avatàra Sang Hyang Viûóu, yang meliputi abuah pengulangan tentang ceritra
ringkas Úrì Ràma dan tentang Úrì Kåûóa yang diuraikan lebih mendetail. Dalam jawaban
atas pertanyaan dewi Pàrvatì, adalah Úiva sendiri yang menyatakan bahwa para guru Úivaite
dan para pengikut sekte Úivaite Pàúupate ada di tengah-tengah para orang-orang saleh.

Pada bagian yang lain kita temukan uraian tentang dewi Durga yang membicarakan Ahimsà.
Úiva juga menjelaskan tentang Viûóu Bhakti, dan beraneka bentuk dari cara memuja Sang
Hyang Viûóu. Buku ini juga berisi satu pujian atas keutamaan Bhagavadgita (Gitàmàhmya,
yang menguraikan keagungan Bhàgavatapuràóa. Dalam bagian yang lain terdapat ceritra
yang melukiskan kebaikan membaca bagian (canto) secara mandiri (terlepas). Satu bab
(canto) berisi penyebutan satu persatu dari ribuan nama dari Sang Hyang Viûóu
(Viûóusahasranàma), pada bagian lainnya Ràdhà diidentifikasikan dengan dewi
Lakûmì yang agung, diuraikan pula hari kelahirannya (Janmûþami) yang nampaknya
sektarian, seperti ceritra berikut ini:

Pada suatu hari timbul pertengkaran di antara Åûi mengenai tiga devatà utama,
yakni Brahmà, Viûóu atau Úiva, yang pantas mendapat pemujaan paling utama. Untuk
melenyapkan keragu-raguan mereka. Mereka memohon kepada pertapa besar åûi Bhågu
untuk pergi menghadap para devatà dan yang mengakibatkan dirinya sendiri secara
pribadi menjadi yang terbaik. Demikianlah åûi Bhågu pertama-pertama pergi ke pegunungan
Kailàsa untuk mengunjungi Sang Hyang Úiva, dan dipermaklumkan oleh penjaga istana Sang
Hyang Úiva yang bernama Nandi. Tetapi Sang Hyang Úiva saat itu sedang bercengkrama
dengan sakti (istrinya), dan sama sekali tidak mengakui åûi (yang datang) itu. Dihina
sedemikian rupa, sang åûi mengucapkan kutukan kepada Sang Hyang Úiva agar sang Hyang
Úiva berubah wujud menjadi organ pertumbuhan, yang menunjukkan pemujaan kepada
Liòga dan Yoni sebagai simbol Sang Hyang Úiva dan disembah oleh bukan para Bràhmaóa,
tetapi hanya oleh para orang kebanyakan. selanjutnya åûi Bhågu pergi ke istana Sang Hyang
Brahmà. Sang Hyang Brahmà distanakan di atas singasana teratai yang dikeliling oleh para
devatà. Åûi Bhågu bersujud di depannya dengan diam dan penuh kesujudan, diikuti dengan
kebanggaan.

Sang Hyang Brahmà sama sekali tidak bangkit untuk menyampaikan penghormatan atas
tamunya itu. Didorong kemarahan åûi Bhågu mengucapkan satu kutukan yang menyatakan
bahwa Sang Hyang Brahmà tidak menikmati persembahan sama sekali dari umat manusia.
hal ini menunjukkan bahwa di India sangat jarang pemujaan ditujuakan kepada Sang Hyang
Úiva. Orang suci itu melanjutkan perjalanan pergi kepegunungan Mandara di Viûóuloka. Di
sana dia melihat para devatà yang beristirahat (berbaring) di atas ular-ular naga, sementara itu
Lakûmì memeluk kaki Sang Hyang Viûóu. Åûi Bhågu membangunkan Sang Hyang Viûóu
secara kasar dengan menendang dadanya. Sang Hyang Viûóu bangun dengan lembut serta
membelai kaki åûi Bhågu dan menyatakan bahwa dia merasa bahagia dan dihormati dengan
menyentuh kakinya.

Sang Hyang Viûóu dan saktinya tergesa bangun dan memberikan penghormatan kepada sang
åûi dengan kalungan bunga kedevatàan, minyak cendana, dan sebagainya. Kemudian petapa
agung itu meledak ke dalam tangis kegembiraan, bersujud di depan bunga rampai kemurahan
hati dan memuja Viûóu sebagai devatà tertinggi, selanjutnya mereka berseru: “Dikau sendiri
akan dipuja oleh para Bràhmaóa, tidak satupun para devatà lainnya yang patut
disembah, mereka tidak akan disembah oleh para Bràhmaóa. Mereka tidak akan disembah.
Brahmà dan Úiva serta para devatà lainnya, karenanya mereka diliputi dengan nafsu (rajas)
dan kegelapan (tamas): dikau sendiri yang diberkati dengan sifat kebaikan (sattva), akan
disembah oleh yang lahir pertama (yaitu para Bràhmaóa. Biarkan dia yang menyembah para
devatà yang lain, dihitung di antara para orang-orang saleh. Kemudian Rûi Bhågu kembali ke
kelompok para åûi itu dan menceritakan kepada mereka hasil dari kunjungannya kepada para
devatà itu.

Semacam tambahan pada Uttarakhaóða dibentuk oleh seorang Kriyàyogasàra, yaitu “intisari
ajaran yoga dengan prakteknya” yang mengajarkan bahwa Viûóu akan disembah bukan
dengan jalan meditasi (dhyànayoga), tetapi dengan perbuatan saleh, di atas segalanya dengan
melakukan perjalanan ke tempat-tempat suci (Tìrthayàtra) ke sungai Gaògà dan banyak
ceritra-ceritra tentang keajaiban merayakan hari-hari raya yang di abdikan kepada Sang
Hyang Viûóu. Banyak bukti menunjukkan bahwa terpenuhinya semua keinginan
dapat dicapai dengan menyembah Sang Hyang Viûóu bertempat di tepi sungai Gangà,
banyak ceritra-ceritra yang nampaknya konyol diceritakan, tetapi juga cerita cinta yang
indah tentang Màdhava dan Sulocanà.

Sungguh tak mungkin untuk menentukan secara pasti tentang tanggal ditulisnya Padma
Puràóa. Adalah merupakan suatu kopilasi yang agak longgar, bagian-bagian dari padanya
sepenuhnya termasuk ke periode (jangkawaktu) yang berbeda-beda. Dan barang kali berabad-
abad perpisahan. Karakteristik yang umum dari lima atau enam buku adalah hanya watak
sektarian mereka yang kaku, karena mereka itu semuanya menekankan cara-cara memuja
Sang Hyang Viûóu. Lebih dari pada itu, semua buku-buku ini berisi referensi-referensi
tentang aspek-aspek yang lumayan modern dari cara-memuja Viûóu, seperti misalnya
pemujaan atas Ràdhà sebagai seorang dewi, kesucian batu Sàlagràma,. tanaman Tulsi (Tulasì)
dan sejenisnya. Bagian-bagian yang paling akhir tentu lebih kemudian dari pada Bhàgavata
Puràóa, termasuk karya-karya kesusastraan Puràóa. Namun demikian ada peristiwa setidak-
tidaknya ada satu inti yang kuno di dalam Såûþi, Bhùmi, Svarga dan Pàtàla Khaóða. Hal ini
merupakan bagian dari tugas riset yang akan datang untuk menguraikan inti ajaran yang
sangat kuno ini.

Markandeya Purana
Màrkaóðeya-Puràóa
Puràóa ini adalah salah satu karya dari karya yang paling
penting, menarik dan barang kali juga yang tertua dari
keseluruhan literatur Puràóa. Bahkan Puràóa ini, bukan karya
kesatuan, tetapi terdiri dari bagian-bagian yang tidak semua
berasal dari nilai yang sama dan juga rupanya tersusun dalam
beberapa kurun waktu tertentu.
Karya ini dinamakan Màrkaóðeya, mengambil nama seorang mahàûi pada masa yang sangat kuno,
seperti tersebut, yang menikmati masa mudanya yang abadi (awet muda) yang juga muncul sebagai salah
seorang tokoh yang memberikan wejangan dalam satu bab yang besar di dalam kitab Mahàbhàrata. Dan kita
boleh menganggap sebagai unsur pokok tertua dalam bab-bab itu Maharûi Màkaóðeya sebagai pembicara yang
sebenarnya dan memberi pencerahankepada para siswanya, mengenai penciuptaan alam semesta, kurun-kurun
waktu atau masa (umur) dunia, sislsilah dan asal-usul para raja dan topik-topik lannya yang
merupakan karakteristik dari kitab-kitab Puràóa pada umumnya. Hal yang sangat istimewa sebagai fakta bahwa
di dalam kitab ini, baik Viûóu maupun Úiva tidak menempati posisi yang sangat menjolok, tetapi agaknya
Indra dan Brahman mendapat tempat ketermuka dan para devatà yang mula-mula disebutkan dalam kitab suci
Veda, seperti Agni (api) dan Sùrya (matahari) diagungkan melalui lagu-lagu pujian dalam beberapa bagian dari
kitab ini dan sejumlah besar lagu pujaan yang ditujukan kepada Sang Hyang Sùrya juga disebutkan. Semua
sependapat bahwa sebagian besar dari bab-bab yang tercatum itu merupakan karakter dari Puràóa lama,
sebagaimana perkiraan Pagiter, berasal di abad ke 2 Masehi, tetapi bisa juga lebih tua dari masa itu. Moralitas
dan cerita-cerita yang mendatangkan keberuntungan juga juga merupakan bagian yang besar seperti diuraikan di
bawah ini.

Dalam bab-bab awal dari karya ini, sangat dekat mengikuti Mahàbhàrata dan pada umumnya punya
amat banyak persamaan dengan buku ke 12 dari epik itu. Màrkaóya Puràóa secara khusus mulai dengan bagian
ini, bahwa Jaimini, seorang siswa dari Maharûi Vyàsa mendekati Màrkaóðeya dan sesudah pujian tertentu pada
Mahàbhàrata, memohon kepadanya untuk menjawab empat pertanyaan yang di dalam epik besar itu belum
terjawab. Pertanyaan pertama adalah, bagaimana Draupadì bisa menjadi istri bersama dari Pañca Pandava, yang
terakhir mengapa anak-anak Draupadi dibunuh pada suatu usia yang muda. Màrkaóðeya tidak menjawab sendiri
pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi menunjukkannya kepada empat burung yang bijak, yang sebenarnya adalah
para Brahmana yang lahir sebagai burung-burung sebagai hasil dari suatu kutukan. Ceritra burung-burung itu
rupanya sesuai dengan ceritra di dalam Mahàbhàrata (I.229), dan salah satu burung itu bernama Droóa dan
menurut Màrkaóðeya Puràóa burung-burung tersebut adalah anak dari Droóa.

Burung-burung ini menceritakannya kepada Jaimini sederetan legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada mereka. Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang terakhir dikatakan bahwa lima devatà
(Viúvedeva) pernah mengalahkan orang suci yang besar Viúvàmitra ketika dia memperlakukan Hariúcandra
dengan kasar, kepada mereka dikutuk oleh orang suci itu untuk lahir lagi sebagai umat manusia, kutukan itu
tidak akan berakibat fatal bila mengatakan bahwa mereka akan meninggal muda dan tidak kawin. Lima orang
putra Draupadì itu adalah para devatà itu. Dikaitkan dengan legenda menyedihkan tetapi secara murni
bersifat ke-Brahmana-an tentang seorang raja bernama Hariúcandra, yang tidak takut terhadap kemarahan dan
kutukan Maharûi Viúvàmitra, mengalami penderitaan dan penghinaan sampai pada akhirnya dia dibimbing
masuk surga oleh Sang Hyang Indra sendiri.

Sesudah uraian tentang jawaban terhadap empat pertanyaan itu, sebuah bab baru mulai (bab 10–44)
merupakan percakapan antara seorang ayah dan putranya. Hal ini merupakan suatu pencaharian yang luas dari
percakapan ayah dan putra itu, yang dapat dilihat di dalam kitab Mahàbhàrata. Merupakan salah satau
karakteristik di dalam Mahàbhàrata, seorang putra disebut “cerdas” (Medhàvin), sedangkan di dalam kitab
Puràóa ia disebut dengan nama Jada, yang artinya orang yang “bodoh”.
Seperti di dalam Mahàbhàrata, di sini juga seorang putra menyesali cara hidup para Brahmana yang
salah, seperti dicita-citakan oleh seorang ayah, mengingatnya kembali pada semua kelahiran yang dahulu dan
melihat penyelamatan hanya dengan jalan menghindarkan diri Saýsàra. Dan “orang yang bodoh” itu
menguraikan tentang Saýsàra dan akibat dari berbagai dosa muncul dalam berbagai kelahiran, teristimewa
hukuman di neraka yang menantikan kedatangan para pelaku dosa. Di tengah-tengah uraian tentang tentang
berbagai neraka, yang bagus dengan caranya sendiri sekalipun jauh dari menyenangkan, kita temukan salah satu
dari mutiara-mutiara terbaik dari legenda-legenda Hindu tentang kisah raja Vipaúcit (yang bijak) yang
sebenarnya pantas diuraikan di sini secara singkat:

Raja Vipaúcit yang sungguh-sungguh saleh dan bajik, di masukan ke neraka sesudah kematiannya oleh
seorang pembantu dewa Yama. Ketika dia menanyakan dengan keherannya mengapa ia di bawa kesana,
pembantu dewa Yama menjawab kepadanya, dia pernah gagal untuk berhubungan dengan istrinya pada suatu
hari yang menguntungkan untuk proses penghamilan, karena pelanggaran kecil terhadap ajaran agama, ia
setidak-tidaknya harus menebusnya dengan tinggal sebentar di neraka. Lalu dia mampu memberikan pencerahan
kepada seorang raja berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (úubhàúubha karma) yang
yang berpahala kebaikan atau hukuman di dalam neraka, yang menentukan untuk setiap perbuatan dosa bagi
setiap individu. Setelah penjelasan ini pembantu dewa kematian itu hendak membimbingnya ke luar dari
neraka. Sang raja meninggalkanya untuk pergi, kemudian teriakan-teriakan tatapan yang mengerikan sampai
ketelinganya dan para penghuni neraka mengganggu dia untuk tetap tinggal kembali untuk waktu yang lebih
lebih lama lagi, karena bau yang amat menyenangkan keluar dari tubuhnya, yang meringankan siksaan-siksaan
neraka. Terhadap pertanyaanya yang mengherankan itui, pembantu Yama memberikan penjelasan bahwa karma
yang baik dari seseorang merupakan hembusan angin yang menyegarkan, berhembus dan mengurangi siksaan-
siksaan para penghuni neraka itu, kemudian lalu sang raja berkata :
“Tidak di sorga tidak pula di dunia Brahmà begitu terpikir olehku, adakah manusia (atman) menemukan
kebahagiaan semacam itu, bagaimana ketika dia, pada mahluk-mahluk yang disiksa bisa memberikan
kesenangan. Jika melalui kehadiranku menjadi lebih lembut atau ringan. Siksaan para mahluk celaka ini, aku
akan tinggal di sini sahabatku. Seperti pilar aku tidak pergi dari sini. Pembantu Yama berkata: “Ayolah kemari
wahai raja, mari kita pergi nikmati buah-buah dari perbuat-perbuatan anda yang baik dan biarkan siksaan-
siksaan terhadap mereka yang pantas terima, sebab merupakan pahala dari perbuatan-perbuatan jahatnya”

Sang raja berbicara : “Tidak, dari sini aku tak mau pergi, selama penghuni-penghuni neraka yang celaka ini
melalui kebersamaanku memperoleh kesejukkan (keberuntungan). Mengerikan dan memalukan adanya
kehidupan seorang manusia yang tidak bersipanti dengan yang disiksa dan yang diinjak-injak, yang meminta
pertolongan kepadanya bahkan kepada musuh-musuhnya yangkejam. Korban suci, pemberian (danapuóya) dan
pelaksanaan Tapa tidak berguna sekarang maupun sesudah mati.
Manusia yang tak punya hati nurani untuk melindungi orang-orang yang tersiksa, yang hatinya tertanam
kebencian terhadap anak-anak, orang usia lanjut dan yang lemah. Dia bukan manusia, kupikir dia adalah setan.
Bahkan kalau kebersamaan pada penghuni neraka ini, yang menderita siksaan api neraka, yang berbau busuk
itu. Dan kepedihan-kepedihan, lapar dan haus merampok aku. Kepadanya memberi pertolongan kepada yang
tersiksa dan perlindungan sebagai hadiah, apabila melalui penderitaanku, orang-orang yang sengsara menjadi
berbahagia, apakah yang lebih dari hal itu yang aku inginkan? Jangan ragu-ragu, pergilah dan tinggalkan aku!

Pembantu Yama berkata :


“Lihat ini, Sang Hyang Dharma datang dan diikuti oleh Sang Hyang Úakra, untuk mengajak anda, memang
anda harus pergi, wahai rRaja, berdirilah pergi dari sini”.
“Biarlah aku temani dikau ke sorga, yang pantas kau terima, naiklah ke dalam kereta kedewaan ini dan segera
pergi dari sini!”
Raja berkata
“Di sini, di neraka ini, Dharma, orang-orang disiksa ribuan kali, lindungilah kami, mereka berteriak menangis
memanggil aku dalam kesakitan, aku tak bergerak dari tempat ini”.
Úakra bersabda:
“Pahala bagi perbuatan mereka orang-orang yang jahat ini diperoleh di dalam neraka, wahai raja, pahala bagi
perbuatanmu yang baik, dikau harus pergi ke atas, ke sorga”
Akan tetapi karena seorang raja, para penghuni neraka bukanlah para pendosa tetapi hanya para
penderita dan pada pertanyaaan betapa besar pahala perbuatan baiknya. Dharma sendiri memberikan jawaban
bahwa mereka sebanyak ‘seperti tetes-tetes air di laut, bintang-bintang di langit bagaikan butir-butir pasir di
sungai Gangga”. Kemudian dia hanya punya keinginan, yaitu melalui perbuatan-perbuatannya yang baik para
penghuni neraka boleh dibebaskan dari siksaan di neraka. Raja para devatà itu mengabulkan keinginannya, dan
sementara dia naik ke sorga semua mereka yang tersiksa di dalam neraka dilepaskan dari penderitaan mereka.

Cerita tentang kunjungan Yudhiûþhira ke neraka dan perjalanan ke sorga diuraikan pada buku ke 18
Mahàbhàrata adalah salinan dan barangkali, hanya tiruan yang lemah dan buruk dari ceritra Vipaúcit. Bahkan
Yudiûþhira hanya mempunyai satu visi (maya) tentang neraka, adalah satu kelemahan yang esensial. Di dalam
Padma Puràóa sebagai hukuman karena telah membunuh seekor sapi, raja Janaka pergi ke neraka untuk
memelihara bentuk dan dia lalu meringankan seperti tersebut di atas, roh-roh yang dihukum di sana.

Raja Janaka pergi ke neraka seperti bentuk biasa, karena dia telah memukul seekor sapi, dan melepaskan roh-
roh yang di hukum dengan cara yang serupa, Sebuah cerita-dongeng Yahudi menceritakan tentang seorang
yang tak mementingkan diri sendiri yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam memberi pertolongan kaum
yang menderita, dan setelah kematiannya menolak pergi ke taman Firdaus (Paradise) sebab tak ada seorangpun
di sana yang memerlukan pertolongan; dia lebih suka pergi ke neraka yang merupakan tempat mahluk-mahluk
menderita, bisa merasa simpati dan dia bisa memberi pertolongan. Sumber orisinil dari semua legenda ini
barang kali harus ditemukan pula di dalam legenda Buddhis Mahàyana dari Bodhisattva Aralokiteúvara.

Dalam bahasa dan gaya dialog yang amat bagus ini dalam banyak hal mengingatkan kita kepada syair
Sàvitrì dari Mahàbhàrata. Seperti halnya dalam kasus epik besar itu, begitu juga dalam Puràóa saling
berdampingan dengan pecahan-pecahan persajakan yang paling indah yang kita temukan produk-produk yang
paling tak bermutu dari kesusastraan kepanditaan. Segera sesudah legenda seperti diceritakan di atas, kita
temukan legenda Anasùya seperti sebuah karikatur dari legenda-Sàvitrì.

Anasùya (namanya berarti yang tidak cemburuan) adalah istri yang luar biasa setianya dari seorang
Brahmana yang menjijikan, kasar dan berpikiran kotor dan menderita sakit kusta. Mengikuti prinsip Brahmana,
“Suami adalah dewa bagi seorang istri”, perempuan itu melayani dia dengan cinta dan perhatian yang
sepenuhnya dan menderita perlakuan-perlakuan yang kasar dengan kesabaran. Pada suatu hari lelaki yang baik
ini, yang adalah juga seorang yang tidak menghormati wanita, mengabaikan keinginanya yang mendesak untuk
mengunjungi seorang pelacur yang disukainya. Karena dia sendiri terlalu sakit untuk pergi, istrinya yang setia
menggendong dia dipunggungnya untuk mengantarnya ke tempat pelacur itu.

Di perjalanan, dengan tidak sengaja dia menendang seorang, yang ternyata orang suci dengan kakinya dan orang
suci itu mengutuk dia untuk mati sebelum matahari terbit. Lalu Anasùya berkata : “Matahari tidak akan terbit”
sebagai hasil dari ketulusannya, matahari benar-benar tidak terbit, akibatnya para dewa banyak yang kecewa
karena mereka tidak memproleh pesembahan. Lalu mereka terpaksa melihat bahwa suami Anusùya yang amat
ramah itu tetap hidup.
Sebenarnya, hal yang disebutkan seperti di dalam Mahàbhàrata, kita temukan di sini juga, dengan
tambahan yang secara murni merupakan dialog-dialog tentang pendidikan, mengenai tugas-tugas rumah-tangga,
upacara Úràddha, kelakuan orang dalam kehidupannya sehari-hari, persembahan yang teratur, perayaan-
perayaan dan berbagai upacara, seperti juga ajaran yoga (bab 36 – 43). Khusus mengenai upacara Úràddha
sama persis seperti tersebut di dalam kitab Gautamasmåti.
Màrkaóðeya Puràóa sebagai sebuah karya yang lengkap, di dalam buku tersebut juga disisipkan Devì
Màhàtnya. Ssispan ini rupanya dilakukan belakangan yang merupakan suatu pujian untuk mengagungkan dewi
Durgà yang disembah sampai saat ini. Di dalam pura dewi Durgà yang menyeramkan ini, Devì Màhàtmya
dibaca setiap hari dan pada waktu perayaan Durgàpùjà di Bengala, buku ini dibaca dengan kekhususkan
dikaitkan sepenuhnya dengan upacara.

Pada bab 81-93, juga terdapat bagian dengan judul Caóði, Caóðimàhàtmya, Durgàmàhàtmya dan
Saptaúatì dan terdapat dalam naskah-naskah yang tak terhitung jumlahnya, sebagai karya bebas, juga ada
banyak komentar kepada naskah itu. Naskah Devìmàhàtnya bertahun 998 Masehi, sudah diterjemahkan dalam
bahasa Prancis oleh Burnouf (Journal Asiatique IV, 1824, h. 24 tt) dan selengkapnya ke bahasa Inggris oleh
Wortham (JRAS XIII, 1881, h. 3555 tt). Syair karya Bana “Caóðìúataka”, dan drama karya Bhavabhùti
“Màlatimàdhava” barangkali mensyaratkan bersumber pada Devìmàhàtmya, merupakan sisipan kedalam
Màrkaóðeya Puràóa mestinya sudah ada sebelum abad ke 7 Masehi (Band. Pargite h. XII dan XX).

Bhagawata Purana
Bhàgavata Puràóa
Tidak dapat dipungkiri lagi adalah karya sastra. Puràóa ini
merupakan karya yang paling terkenal di India. Bahkan
sampai dewasa ini ia memberikan bimbingan yang sangat
mempengaruhi kehidupan dan pemikiran pada para pengikut
yang tak terhitung jumlahnya dari sekta Bhàgavata (para
pemuja Sang Hyang Viûóu di bawah nama Bhàgavat).

Tidak biasanya sejumlah manuskrip dan juga terbitan naskah-naskah itu sendiri dan juga banyaknya komentar
kepada keseluruhan karya dan secara individua menjelaskan bagian-bagian dari itu isi kitab tersebut.

Dalam tambahan penjelasan beraneka terjemahan ke dalam bahasa-bahasa daerah India, mendukung kesaksian
popularitasnya yang besar dan penghargaan yang tinggi dari karya ini telah pertama kali memikat seorang editor
dan menerjemahkannya di Eropa. Namun demikian karya ini salah satu dari produk-produk yang kemudian dari
kesusastraan Puràóa.

Isi kitab ini sangat dekat berkaitan dengan Viûóu Puràóa dalam beberapa hal sangat sesuai kata demi kata dan
pasti mengambil sumber dari buku tersebut. Keragu-raguan telah dinyatakan bahwa di India tentang “keaslian”
dari kitab Bhàgavata sebagai salah satu dari delapan belas Puràóa kuno “yang digubah oleh mahàrû Vyàsa” dan
muncul pula berbagai pemikiran polemik dalam persoalan persoalan yang diperbincangkan. Akah Bhàgavata
atau Devì Bhàgavata Puràóa sebuah karya Úivaistik, termasuk ke dalam “delapan belas Puràóa”.
Dalam konteks ini persoalan pokok juga dibahas dan didiskusikan, apakah seorang ahli tatabahasa Vopadeva
seorang penulis Bhàgavata-Puràóa. Collbrookc, Burnouf dan Wilson telah menyimpulkan (terlalu cepat dari sini
bahwa Vopadeva sebenarnya adalah penulis Puràóa itu dan karenanya ini telah berasal dari abad ke 13 (Ia hidup
sejaman dengan Hemàdri, antara tahun 11260 dan 1309 Masehi). Kita tidak bisa menganggap karya itu sebagai
karya yang akhir tentang asal mulanya yang telah melalui proses panjang sebagai sebuah buku suci pada abad
ke 13. Terdapat landasan yang baik untuk menetapkan hal itu ke abad ke 10 Masehi.

Ràmànuja, seorang filosof (abad ke 12) yang begitu dekat dikaitkan dengan Bhàgavata, tidak menyebut karya
ini, tetapi hanya mengutip Viûóu Puràóa. Tetapi sekalipun mungkin telah berasal pada suatu masa yang
belakangan, dapat dipastikan mempergunakan bahan-bahan yang amat kuno, lebih dari itu, buku ini merupakan
satu Puràóa yang memiliki nilai lebih dari pada kitab-kitab Puràóa yang lain, menunjukkan suatu komposisi
yang disatukan, dan pantas dihargai sebagai hasil kesusastraan karena bahasa, gaya dan iramanya yang indah.
Inkarnasi Sang Hyang Viûóu, khususnya sebagai seekor babi digambarkan secara mendalam. Adalah
patut juga diperhatikan bahwa åûi Kapila, pendiri filsafat Saýkhyà disebutkan sebagai seorang inkarnasi Sang
Hyang Viûóu, dan (pada akhir buku ketiga) menyampaikan suatu ulasan yang panjang mengenai Yoga, dan
Buddha juga sudah muncul di antara inkarnasi-inkarnasi Sang Hyang Viûóu.

Banyak sekali legenda-legenda yang diceritakan untuk mengagungkan Sang Hyang Viûóu. Di antaranya:
Dhruva, Prahlàda, dan sebagainya. Ceritra-ceritra tentang hal tersebut telah dikenal melalui kitab Viûóu Puràóa.
Bahkan juga melalui Mahàbhàrata, karya itu pada umumnya mengutip beberapa úloka dari Bhàgavadgìtà yang
dikutip secara harfiah.

Cerita singkat dari episode Úàkuntala (IX. 20) barangkali diambil sumber yang amat kuno. Buku ke sepuluh
rupanya paling populer dan paling luas dibaca dibandingkan dengan bagian lainnya. Bagian ini berisi uraian
tentang kehidupan Úrì Kåûna, yang lebih luas diuraikan dibandingkan dengan yang termuat di dalam Viûóu
Puràóa dan di dalam Harivaýúa.

Adegan-adegan cinta dengan para gadis gembala sapi (Gopì) khususnya menempati ruang yang lebih panjang
dalam Bhàgavata Puràóa. Buku ini diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa daerah India dan sangat
populer dan paling disukai dari semua anggota masyarakat India. Buku (Canto) yang ke sebelas menceritakan
kehancuran bangsa Yàdava dan kematian Úrì Kåûóa sedang buku yang terakhir berisi uraian tentang Kaliyuga
dan kehancuran alam semesta.

Kurma Purana
Kùrma atau Kaurma Puràóa
Kitab Puràóa ini terdiri dari empat Saýhità, yaitu Bràhmì,
Bhàgavatì, Saurì dan Vaiûóavì, tetapi Bràhmì Saýhità adalah
satu-satunya yang ditulis di bawah judul “Kùrma Puràóa”.
Karya ini mulai dengan suatu lagu pujian kepada inkarnasi
Viûóu sebagai seekor penyu (kùrma) yang dijadikan landasan
gunung Mandara ketika lautan susu diputar-putar (obok-obok)
untuk memperoleh amåta.
Pada saat itu dewi Lakûmì muncul dari tengah lautan dan kemudian menjadi sakti Sang Hyang Viûóu.
Ketika para åûi menanyakan siapa sesungguhnya dewi ini, Sang Hyang Viûóu menjawab bahwa ia adalah sakti-
Nya yang tertinggi. Pada bagian awal menceritakan lebih jauh bagaimana Indradyumna, yang dalam hidupnya
yang terdahulu menjadi seorang raja, tetapi lahir lagi sebagai seorang Bràhmaóa sebagai pahala atas kebaktian
dan kesetiaannya kepada Sang Hyang Viûóu, ia menginginkan untuk mencapai pengetahuan tentang keagungan
Sang Hyang Úiva.

Dewi Lakûmì menunjukkan kepadanya untuk memuja Sang Hyang Viûóu sebagai devatà alam
semesta, sebagai pencipta dan sekaligus pemelihara alam semesta, tetapi juga sebagai “Mahàdeva”, “Úiva” dan
“sebagai ayah dan ibu segala mahluk”, akhirnya ketika Sang Hyang Viûóu dalam inkarnasinya sebagai seekor
labi-labi (empas) ia memperoleh pengetahuan dari Sang Hyang Kùrmaràja yang kemudian menjadi nama dari
kitab Puràóa ini, seperti juga telah diungkapkan pada bagian awal kitab ini disebutkan juga Úiva adalah mahluk
tertinggi dari seluruh karya itu, tetapi ia berkali-kali ditekankan bahwa dalam kenyataan Bràma, Viûóu dan Úiva
itu sesungguhnya satu (esa). Pemujaan kepada úakti yaitu “Kekuatan Tenaga” atau “kekuatan penciptaan”
digambarkan dalam wujud dewi, juga memperoleh penekanan. Devì, devatà tertinggi (Parameúvarì), istri dan
úaktinya Sang Hyang Úiva, dipuja dengan 8.000 nama. Sebagaimana Sang Hyang Viûóu sesungguhnya Sang
Hyang Úiva sendiri, Lakûmì adalah úaktinya Sang Hyang Viûóu, dalam kenyataan tidak terpisah dari sang
Devì. Prahlàda memuja Sang Hyang Viûóu dan Lakûmì sebagai úaktinya Sang Hyang Viûóu. Putra-putra
Kàrttavìrya, beberapa dari mereka menyembah Sang Hyang Viûóu dan yang lainnya menyembah Sang Hyang
Úiva, tidaklah kita setuju terhadap pandangan bahwa devatà yang satu lebih tinggi dengan yang lainnya atau
lebih cocok untuk disembah dan sebagainya.

Tujuh orang åûi memutuskan perbedaan pandangan itu dengan menyatakan bahwa dewa yang
disembah oleh siapapun adalah devatà bagi orang yang bersangkutan, dan bahwa semua dewa-dewa itu pantas
dipuja oleh setiap individu. Meskipun demikian, Sang Hyang Úiva adalah devatà tertinggi, di atas semua devatà.
Sekalipun Úrì Kåûóa disembah sebagai Viûóu Naràyaóa, dia memperoleh seorang putra untuk istrinya
Jàmbavatì hanya sesudah mampu melaksanakan pertapaan yang berat dan dengan kemurahan hati Sang Hyang
Úiva. Lebih dari itu, meskipun toleransi mengenai pengakuan terhadap semua devatà itu, terdapat juga kiasan-
kiasan di beberapa tempat terhadap ajaran tersebut yang dikatakan palsu, yang telah diturunkan ke dunia untuk
menipu manusia, dan untuk membingungkan umat manusia dalam existensi selama Kaliyuga.

Lima tema dari kitab-kitab Puràóa, yaitu: penciptaan, sisilah atau keturunan raja-raja dan åûi dan
seterusnya, juga disebutkan di dalam kitab Kùrma Puràóa, dan dalam kaitan ini beberapa dari Avatàra-avatàra
Sang Hyang Viûóu disinggung akan tetapi, sebuah bab yang seluruhnya (I.53) sangat setia menguraikan
inkarnasi Sang Hyang Úiva. Bagian yang luas dari bagian pertama terdiri dari sebuah uraian dan pengagungan
tempat-tempat suci seperti: Benares (Kàúimàhàtmya) dan Allahabad (Prayàgumàhàtnya).

Bagian kedua mulai dengan sebuah gìtà, yaitu: Ìúvaragìtà (sebuah patner kitab Bhagavadgìtà), yang
mengajarkan pengetahuan tentangketuhanan, yaitu Sang Hyang Úiva, melalui meditasi. Bagian ini diikuti oleh
Vyàsagìtà, satu bagian yang lebih lauas yang di dalamnya Maharûi Vyàsa mengajarkan pencapaian pengetahuan
tertinggi melalui kerja dan kebajikan serta upacara-upacara yang tulus, dan hal itu dismpaikan sebagai sebuah
pendidikan mengenai tugas-tugas mereka yang berumah tangga, sebagai pertapa hutan dan aúram.
Beberapa bab menguraikan upacara-upacara penebusan dosa bagi semua jenis kejahatan, juga terdapat cara
untuk memperoleh kesucian. Di dalam kitab Puràóa ini terdapat dorongan terhadap cerita dewi Sìtà (yang tidak
terdapat di dalam kitab Ràmàyaóa) bagaimana dia diselamatkan dari tangan Ravana oleh Sang Hyang Agni.

Wayu Purana
Vàyu Puràóa
Vàyu Puràóa, Vàyava Puràóa atau Puràóa Sang Hyang Vàyu ini dikenal dengan nama Úaiva atau Úiva
Puràóa, judul yang berkaitan terhadap pemujaan kepada Sang Hyang Úiva. Sebuah Puràóa yang diwedarkan
oleh dewa Vàyu, dikutip dalam Mahàbhàrata seperti juga di Harivaýúa, dan Harivaýúa dalam segala hal sangat
sesuai dengan isi kitab Vàyu Puràóa.

Sudah diketahui umum bahwa penyair Bàóa (sekitar 625 Masehi) telah membaca Vàyu Puràóa, yang
memerintah saat itu, pada Puràóa itu dijelaskan dinasti Gupta sudah memerintah pada abad ke 4 Masehi.
Tentunya merupakan sebuah Puràóa yang lama, dengan nama dan tanpa keragu-raguan, bahkan di dalam
naskah-naskah, masih ada banyak karya-karya sastra, yang barangkali tidak lebih lambat dari abad ke 5 Masehi.

Di dalam karya ini, dijelaskan pula topik yang sama yang merupakan karakteristik dari kitab-kitab
Puràóa yang lama, yaitu penciptaan dunia, silsilah atau asal-usul raja-raja dan sebagainya, sebagimana
disebutkan di dalam Visnu Puràóa. Hanya legenda-legenda itu menceritakan keagungan Sang Hyang Úiva,
bukan Viûóu. Seperti Viûóu Puràóa, Vàyu Puràóa itu juga melipati bagian sebuah uraian tentang akhir dunia,
ajaran tentang efisiensinya Yoga, yang diakhiri dengan suatu penggambaran dari kemegahan Úivapura, “kota
Sang Hyang Úiva”, kemana saja seorang Yogi pergi, secara total terpesona dalam meditasi kepada Sang Hyang
Úiva. terdapat juga banyak Màhàtmya. Stotra dan naskah-naskah ritual yang merupakan bagian dari Vàyu
Puràóa. Kita tidak bisa tanpa ragu-ragu menamakan seluruh Vàyu Puràóa sebagai Puràóa yang “tua”.

Puràóa ini amat panjang lebar menguraikan tentang roh-roh dari orang yang telah meninggal dunia
(Pitå) dan cara melakukan pemujaan kepada mereka (Úràddha). Satu bab dari Puràóa ini diabdikan kepada seni
nyanyi (Gìtà), akan tetapi, dalam karya Úivaisme ini kita dapati dua bab uraian mengenai Sang Hyang Viûóu.

amana Purana
Vàmana Puràóa
Kitab Puràóa ini tidak sampai kepada kita dalam
bentuknya asli, karena lima karakteristik atau thema kitab-
kitab Puràóa itu, yaitu: penciptaan, dan seterusnya hampir
tidak disebutkan, dan informasi yang diberikan di dalam
Matsya-Puràóa mengenai isi dan panjang karya itu tidak
cocok dengan teks yang kita warisi.
Teks itu mulai dengan sebuah kisah inkarnasi Sang Hyang Viûóu yang menjelma sebagai seorang
cebol (Vàmaóa), sesuai dengan nama kitab Puràóa itu. Beberapa bab menguraikan Avatàra-avatàra Sang Hyang
Viûóu pada umumnya.

Di lain pihak, satu bagian yang luas menguraikan penyembahan terhadap Liòga. Dalam hubungan
dengan tempat-tempat suci, legenda-legenda Úivaistik, perkawinannya Úiva dengan dewi Umà, asal-usul
Gaóeúa dan lahirnya Karttikeya atau Skànda diceritakan dalam kitab Puràóa ini.

Cerita lengkapnya, bisa dilihat dalam naskah tersendiri: Wamana Awatara

Bhawisya Purana
Bhaviûya atau Bhaviûyat-Puràóa
Sesuai dengan judul kitab Puràóa ini, menunjukkan
sebuah karya yang berisi ramalan-ramalan tentang masa
depan (Bhaviûya). Naskah yang diwariskan kepada kita dalam
bentuk manuskrip di bawah judul tersebut, tentu bukanlah
sebuah karya yang sangat kuno, yang dikutip dalam
Àpastambìya Dharmasùtra. Uraian tentang penciptaan alam
semesta diambil dari buku hukum Manu
(Manavadharmaúàstra) yang ditempatkan sedemikian rupa
yang digunakan ditempat lainnya.
Bagian terbesar dari karya itu berurusan dengan upacara-upacara dan perayaan-perayaan yang bersifat
Brahmanik, tugas-tugas dari berbagai profesi (varna) dan hal-hal lainnya yangserupa. Terdapat beberapa
legenda yang diceritakan dalam buku ini. Satu uraian tentang perayaan Nàgapañcamì, yang diabdikan kepada
pemujaan ular raksasa, ceritra tentang mitologi ular naga. Satu bab yang lumayan besarnya berkenaasn dengan
pemujaan kepada Sang Hyang Sùrya (dewanya matahari) di negeri “Sabadvipa” (Negeri orang-orang
Seythian?) juga yang patut mendapat perhatian. Di dalam inikitab ada penyebutan para pendeta pemuja Sùrya
(matahari) yang dinamakan Bhojaka dan Maga yang tanpa keragu-raguan dapat dihubungkan dengan pemujaan
kepada dewa matahari dan upacara api suci menurut agama Zoroastrian.

Isi kitab Puràóa ini rupanya dengan cara tertentu berlanjut di dalam kitab Bhaviûyottara-Puràóa,
sekalipun berisi beberapa ceritra lama, malahan lebih banyak mengandung tuntunan upacarakeagamaan. Amat
banyak Màhàtmya dan naskah-naskah modern lainnya yang mengklaimnya sebagai bagian dari Bhaviûya, dan
khususnya dari Bhaviûyottara Puràóa.

AGNI PURANA
Agni Puràóa
Agni Puràóa atau Àgneya, dinamakan demikian karena dianggap merupakan wejangan Sang Hyang
Agni kepada Maharûi Vasiûþha. Puràóa ini menggambarkan inkarnasi (Avatàra) Sang Hyang Viûóu. di
antaranya adalah Úrì Ràma dan Úrì Kåûóa, dan tidak dapat diragukan lagi sejalan dengan ceritra Ràmàyaóa,
Mahàbhàrata dan Harivaýúa.

Sekalipun mulai dengan pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu, secara garis besar merupakan Puràóa yang
bersifat Úivaistik dan menguraikan secara mendalam tata cara pemuja mistis dari sebuah Liòga (phallus) dan
pemujaan kepada dewi Durgà. Tetapi Bab-bab di dalamnya tidak kurang membahas kosmologi, geneologi dan
geografi yang merupakan karakteristik dari kitab-kitab Puràóa.

Adapun karateristik istimewa dari kitab Puràóa ini adalah karakter ensiklopedisnya. Kitab ini benar-
benar menguraikan bermacam-macam hal. Di dalamnya kita menemukan pengetahuan astronomi dan astrologi,
tentang perkawinan dan upacara kematian, tanda-tanda dan isyarat-isyarat, konstruksi rumah dan kebiasaan-
kebiasaan hidup sehari-hari lainnya, dan juga mengenai politik (nìti) dan seni memajukan kesejahtraan, hukum (
sangat dekat mengikuti kitab hukum karya Yàjñavalakya), tentang obat-obatan, prosody (persajakan), puisi-
puisi dan bahkan mengenai tata-bahasa.

Termasuk bermanfaat untuk abad ini, ensiklopedi yang dikandungnya luar biasa, bagian-bagian secara
mendetail tidak mungkin dikatakan, sekalipun karya itu sendiri berisi bermacam-macam hal yang beraneka, ada
banyak Màhàtmya di dalamnya, seperti halnya naskah-naskah yang serupa, yang merupakan bagian-bagian
tertentu yang dapat dimasukkan ke dalam Agni Puràóa, tetapi tidak ditemukan di dalam naskah-naskah karya
itu sendiri.

Narada Purana
Båhannàradìya-Puràóa (Puràóa Agung Maharûi
Nàrada)
Umumnya ia dinamakan demikian untuk membedakannya dengan Nàrada atau
Nàradìya Upapuràóa. Akan tetapi ada yang meragukan bahkan apakah Båhannàradìya Puràóa
pantas untuk dimasukkan ke dalam Mahàpuràóa (Puràóa yang kuno) karena secara murni
adalah sebuah naskah sektarian, yang di dalamnya Úùta mengulangi percakapan atara
mahàrûi Nàrada dan Sanatkumàra, dan Maharûi Nàrada muncul dalam karakter sebagai
seorang guru Viûóubhakti, penyembahan Viûóu yang saleh.

Temanya yang nyata tidak seperti kitab-kitab Puràóa lainnya, menguraikan tentang
penciptaan dunia dan sejenisnya. Hal tersebut tidak disentuh sama sekali; tema-temanya
yang utama adalah uraian tentang dari festival (utsava), upacara-upacara dari cara memuja
Sang Hyang Viûóu yang diilustrasikan dengan bermacam-macam legenda, atau disisipkan
dalam legenda-legenda, juga menemukan bagian didaktik yang menjunjung tinggi suatu
disiplin hidup sebagai seorang Bràhmaóa yang agak tidak tolerant. Bab XIV, satu bab yang
panjang berisi suatu katalog tentang dosa-dosa dan hukuman-hukuman neraka yang harus
diterima. Dengan contoh berikut, dimaksukkan di antara mereka yang berbuat dosa namun
tidak bertobat, dan hukumannya tidak dapat dibatalkan, karenanya menerima hukuman di
neraka.

Orang-orang yang berdosa dan tidak melakukan penebusan dosa (bertobat), tidak
hanya dihukum panggang di alam neraka selama ratusan dan ribuan tahun, dalam kitab itu
diuraikan secara detail satu persatu siksa-siksa neraka tetapi sesudah di neraka,
mereka dilahirkan kembali sebagai cacing-cacing dan binatang lainnya, sebagai orang yang
tidak beriman. Namun demikian, berlawanan dengan semua kutukan atau hukuman di atas,
pada bagian yang sama itu mengajarkan bahwa Viûóubhakti menghapuskan semua dosa,
demikian pula air sungai Gangga juga mencucikan dosa-dosa yang paling hitam sekalipun.

Beberapa bab (22-28) secara rinci memperlakukan tugas-tugas dari profesi (varna) dan aúrama-aúrama, dengan
upacara Úràaddha dan upacara-upacara penebusan dosa (Pràyaúcita). Bab-bab terakhir menguraikan tentang
kesengsaraan dari penjelmaan (saýsàra) dan upaya mencapai keselamatan (mokûa) melalui sarana yoga dan
Bhakti. kepada Sang Hyang Viûóu dinyatakan kembali, sebagai satu-satunya jalan keselamatan, demikianlah
diuraikan pada bab 28,116. “Apa faedahnya mantra suci Veda, ajaran sastra-sastra yang utama, penyucian
diri di tempat-tempat mandi suci suci (tìrthayàtra), atau pertapaan dan upacara korban kepada mereka yang
tanpa melaksanakan kebaktian kepada Sang Hyang Viûóu (Viûóu Bhakti)”.

Nàradìya Upapuràóa memasukkan ceritra Rukmàògadacarita, yang juga merupakan sebuah buku yang juga
sejalan dan berdiri sendiri. Ceritra yang mendatangkan keberuntungan dari raja Rukmàògada diceritakan di
dalam 46 bab. Raja Rumàògada telah menjanjikan putrinya Mohinì, bahwa ia mau mengabulkan satu keinginan
apapun yang memungkinkan untuk itu. Dia (putri itu) memohon bahwa sang rajaakan menghentikan puasanya
pada hari Ekadasi (hari ke 11 dari setengah bulan yang dikeramatkan untuk Sang Hyang Viûóu) atau
menyembelih putranya; dan akhirnya raja memutuskan pada keputusan yang disebut terakhir itu, sebab hal itu
nilainya lebih kecil dari dosa itu.

Brahma Purana
Brahmà Puràóa
Brahmà Puràóa atau Puràóa dewa Brahmà. Berdasarkan jumlah dan daftar dari seluruh Puràóa,
Brahmà Puràóa dinamakan juga Àdi Puràóa yang berarti “Puràóa yang pertama”.

Di dalam pengantarnya disebutkan para åûi yang berada di hutan Naimiûa dikunjungi oleh
Romaharûaóa (Lomaharûaóa), seorang Úùta dan mereka memohon kepadanya untuk menceritrakan
kepada mereka tentang asal-usul dan akhir dunia.

Kemudian sang Úùta mengatakan bahwa dia siap menceritrakan kepada mereka sebuah ceritra Puràóa
yang menguraikan Sang Maha Pencipta Brahmà mengatakan kepada Dakûa salah satu dari para bapak
ras manusia pada jaman purba kemudian menyusul legenda-legenda penciptaan dunia, kelahiran Sang
Hyang Manu, manusia pertama, dan keturunan-keturunannya, turunnya para dewa, para setengah
dewa dan para mahluk lainnya, semua legenda-legenda ini yang menjadi menjadi sangat umum dalam
semua kitab Puràóa. Kemudian kita mendapatkan satu gambaran tentang bumi dengan bagian-
bagiannya yang berbeda, tentang neraka-neraka dan sorga-sorga, ceritra ini diikuti oleh penyebutan
satu persatu tempat-tempat suci yang merupakan tempat ziarah (Tìrtha atau Tìrthayàtra).

Di dalam kitab Puràóa ini diuraikan keutamaan serta keagungan tempat suci Utkala (sekarang
bernama Orissa), yang mengisi sebagian besar dari keseluruhan karya Puràóa ini. Utkala
menganugrahkan kesuciaannya kepada pemujaan matahari, di sini kita temukan juga ceritra(mitos)
tentang kelahiran para Àditya (devatà penguasa cahaya) dan dewa Sùrya, dewa Matahari. Gambaran
hutan suci di Utkala yang sangat suci ditujukan kepada keagungan Sang Hyang Úiva dan merupakan
tempat kelahiran (turunnya) dewi Umà, putriSang Hyang Himàlaya, dan perkawinan dewi Umà
dengan Sang Hyang Úiva dan ceritra-ceritra tentang Sang Hyang Úiva lainnya.

Sebuah kidung pujian kepada Úiva (Bab 37) juga disisipkan di sini. Namun demikian Puràóa ini
sama sekali bukan bersifat Úivaistik, karena pada bagian Màrkaóðeyàkhyàna (Bab 52ff) berisi
sejumlah ceritra tentang Sang Hyang Viûóu, ritual-ritual dan stotra-stotra yang memuja Sang Hyang
Viûóu. Di sini juga kita temukan cerita yang mempesona tentang Kaóðu, yang sangat menyesal
karena menggunakan waktunya beratus-ratus tahun untuk bermalas-malas untuk menikmati
kenikmatan erotis, akhirnya bangun dari ekstasi dan cintanya, berpikir bahwa hanya beberapa jam dari
satu hari yang ia telah habiskan.

Sebuah uraian singkat tentang inkarnasi-inkarnasi (Avatàra) Sang Hyang Viûóu diikuti dengan kisah-
kisah tentang Úrì Kåûóa yang sangat umum dan sering dikutip dari Viûóu Puràóa secara utuh. Bagian
ini diikuti oleh sejumlah bab-bab mengenai upacara-upacara Úràddha (persembahan kepada para
leluhur) dan lain-lain khususnya upacara-upacara yang Vaiûóavaistik (bersifat Vaiûóava),
menguraikan tentang pembagian waktu, Yuga (panjangnya waktu). Kemerosotan kemanusiaan di
jaman Kaliyuga dan kehancuran dunia yang secara periodik dan diakhiri dengan uraian tentang yoga
dan filsat-filsafat Sàýkhya.

Gautamìmàhàatmya, pujuan terhadap tempat-tempat suci di sungai Gangga (Bab 70-175), seringkali
muncul dalam naskah-naskah (manuscripts) sebagai satu naskah yang bebas. Uttara Khaóða ( “bagian
terakhir”) dari Brahmà Puràóa yang terdapat di dalam beberapa naskah-naskah, adalah merupakan hal
yang umum, kecuali sebuah màhàtnya tentang keutamaan sungai suci Balajà (Banas di Marwar?).

Tentu hanya sebagian kecil yang dapat kita warisi sebagai Brahmà Puràóa yang dapat dijadikan
sebagai Puràóa yang kuno dan murni (asli). Sekitar pertengahan abad ke 7 Sesudah Masehi Hsuan-
Tsang menemukan lebih dari seratus Biara Buddha dengan beribu-ribu biarawan, tetapi juga ia
menemukan 50 tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di Orissa. Úivaisme diperkenalkan di
Orissa pada abad ke 6 dan Vaiûóava pada masa berikutnya Viûóuisme. Sebagaimana tempat suci
untuk Sang Hyang Sùrya Konarka, yang disebutkan di dalam Puràóaini, tidak dibangun sampai tahun
1241, setidak-tidaknya bagi yang besar di tempat-tempat suci di Orissa tidak bisa lebih dulu dari pada
abad ke 13, akan tetapi kiranya Màhàtmya tidak termasuk ke dalam Puràóa yang asli.

Saura Puràóa yang merupakan sebuah sisipan (Khila) dari Brahmà Puràóa, tetapi dikutip sebagai satu
otoritas oleh Hemadri sekitar abad ke 13, membuktikan bahwa harus ada suatu Brahmà Puràóa yang
lebih tua. Saura Puràóa (“Puràóa Sang Hyang Sùrya”). yang disebutkan di dalam daftar kitab-kitab
Upa Puràóa, sangat bernilai terutama mengenai pengetahuan kita tentang Úivaisme, khususnya
tentang cara memuja Liòga (lingga suci).

Tujuannya yang utama adalah untuk memuja Sang Hyang Úiva, akan tetapi pada banyak tempat
(bagian lainnya), Sang Hyang Úiva diidentifikasi dengan dewa Sùrya yang mengungkapkan isi kitab
Puràóa itu, atau paling tidak Sang Hyang Sùrya menganjurkan pemujaan kepada Sang Hyang Úiva.
Keutamaan dan pahala pemujaan kepada Sang Hyang Úiva dipuji dengan istilah-istila yang luar
biasa.
Petunjuk-petunjuk diberikan untuk pemujaan Sang Hyang Úiva dan “liòga” dan banyak ceritra-ceritra
tentang Sang Hyang Úiva diungkapkan. Beberapa bab juga menguraikan silsilah atau asal-usul
keturunan raja atau pandita tertentu; pada bab 31 menguraikan tentang keturunan Yadu, ada juga
sebuah versi tentang Urvasì. Pada bagian falsafah, karya itu mengambil suatu posisi yang serta marta
di antara sistim-sistim ortodok. Pada sisi yang lain Sang Hyang Úiva dijelaskan sebagai Sang Hyang
Atman menurut Vedànta, dan pada lain sisi penciptaan dari Zat yang pertama (Prakåti) juga
dijelaskan, seperti halnya di dalam filsafat Sàýkhya. Tiga bab (38-40) diabdikan sebagai polemik
melawan sistim Madhva (1197-1276), yang penting terutama dari titik pandang kronologi.

Brahmanda Purana
Brahmàóða Puràóa
Dalam daftar yang terdapat pada Kùrma Puràóa, Puràóa
yang kedelapan belas ini dinamakan “Vàyavìya Brahmàóða”,
“Puràóanya telor-telor/planet-planet Brahman yang
diwedarkan oleh Sang Hyang Vàyu”, dan adalah mungkin
bahwa Brahmàóða yang asli adalah sebuah versi lain dari
Vàyu Puràóa yang lebih tua.
Menurut Màtûya Puràóa (53,55f) bahwa Puràóa
diwedarkan oleh Brahman, dan berisi pangagungan terhadap
planet-planet Brahman. Kitab-kitab Bràhmaóa dan kitab-kitab
Upaniûad terlebih dahulu sudah menyatakan tentang
eksistensi telur emas yang merupakan asal mula alam semesta
yang diciptakan oleh Brahman.
Kitab-kitab dimaksud antara lain: Úatapatha Bràmaóa (
XI.1.6.) dan Chàndogya Upaniûad (III.9.1). Menurut
kosmogoni dari kitab Puràóa ini, Brahman (Viûóu dalam
wujud-Nya sebagai Brahman) bertempat di dalam telur yang
di dalamnya berada keseluruhan alam-semesta dalam kondisi
tertutup, dan yang keluar dan membuka dirinya kekuasaan
Sang Maha Pencipta. Hal yang sama juga disebutkan
dalam kitab Viûóu Puràóa I.2, Vàyu Puràóa 4.76 dan
Manusmåti atau Manavadharmaúàstra I.9.
Seperti juga kitab-kitab Puràóa yang lain secara rinci
menguraikan kalpa-kalpa yang akan datang dalam 12.200
úloka. Akan tetapi, tampaknya karya yang asli dari dari kitab
Puràóa ini rupanya telah hilang, naskah yang kita miliki,
bagian terbanyak hanya berisi Màhànya-màhàtnya, Stotra-
stotra dan Upàkhyàna-upàkhyàna yang mengklaim dirinya
sebagai bagian dari kitab Brahmàóða Puràóa.
Àdhyàtma-Ràmàyaóa, yaitu “Ràmàyaóa yang di dalamnya
menempatkan Úrì Ràma sebagai Àtman yang tertinggi”, yang
di dalam Advaita (Monisme dari Vedànta) dan Ràma Bhakti
diajarkan sebagai salah jalan menuju keselamatan, adalah
buku yang amat terkenal, yang dianggap sebagai bagian dari
kitab Brahmàóða Puràóa. Seperti halnya dalam karya sastra
Maharûi Vàlmìki, Ràmàyaóa, karya itu dibagi menjadi tujuh
buku, yang mengandung judul-judul yang sama seperti di
dalam epik yang kuno, tetapi hanya sebuah epik dalam bentuk
luarnya dan dalam kenyataannya adalah buku tuntunan
kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan warna
Tàntrik. Seperti kitab-kitab Tantra, umumnya dalam bentuk
sebuah dialog antara Sang Hyang Úiva dengan úaktinya dewi
Umà.
Keseluruhan menurut karya itu , Ràma pada dasarnya
Aang Hyang Viûóu, dan dewi Sìtà yang diculik oleh raja
raksasa Ràvaóa adalah hanya ilusi, sedang dewi Sìtà yang
sebenarnya, yang identik dengan dewi Lakûmì dan Prakerti,
tidak muncul sampai setelah cobaan berat dengan Sìta yang
palsu menceburkan ke dalam api unggun untuk membuktikan
kesucian dirinya yang merupakan bagian akhir dari buku
tersebut. Ràmahådaya (I.1) dan Ràmagìtà (VII.5) adalah
naskah-naskah yang dihapalkan oleh para penyembah setia
Úrì Ràma. Fakta, bahwa penyair suci suku bangsa Marathi
yang bernama Ekanàtha, yang hidup pada abad ke 16, yang
menyebutkannya bahwa karya itu adalah modern, tidak dapat
disebut sebagai amat kuno.
Nàciketopàkhyàna yang juga menyatakan dirinya
merupakan satu bagian dari kitab Brahmàóða Puràóa, rupanya
merupakan satu versi yang paling hambar, jelas dan kurang
indah dibandingkan dengan legenda Nàciketa lama yang
indah.

Garuda Purana
Garuða Puràóa
Kitab Gàruða Puràóa adalah kitab Puràóa Vaiûóava.
Gàruða adalah nama dari burung mitos, seperti diwedarkan
oleh Sang Hyang Viûóu sendiri, dan kemudian disampaikan
kepada Kaúyapa.
Di dalamnya dijelaskan beberapa dari lima tema atau
karakter kitab-kitab Puràóa, yaitu: penciptaan, masa
kehidupan dunia (yuga), genealogi (silsilah raja-raja dari
dinasti matahari dan bulan dan åûi-åûi); tetapi perhatian yang
jauh lebih banyak diberikan kepada pemujaan kepada Sang
Hyang Viûóu, uraian-uraian tentang upacara bagi Vaiûóava
dan Vratas (puasa), upacara penebusan dosa (Prayaúcita) dan
pengagungan tempat-tempat suci.
Ia juga mengakui pemujaan kepada úakti, dan
mengandung aturan untuk pemujaan kepada “Pañyatana (lima
devatà, yaitu: Viûóu, Úiva, Durgà, Sùrya dan Gaóeúa). Lebih
dari pada itu, Gàruða Puràóa seperti halnya Agni Puràóa,
adalah sejenis Puràóic ensiklopendi, di dalamnya dibahas
berbagai macam hal, isi dari kitab Ràmàyana, Mahàbhàrata
dan Harivaýúa, juga terdapat bagian mengenai kosmografi,
astronomi dan astrologi, tanda-tanda dan isyarat, ilmu rajah
tangan, obat-obatan, ukuran metrik, tatabahasa, pengetahuan
tentang batu-batu mulia (ratnaparìkûa) dan politik (nìti). Satu
bagian yang sangat panjang dari Yàjñavàlkya Dharmaúàstra
dimasukkan dalam bahasan Gàruða Puràóa.
Uttarakhaóða atau bagian kedua dari Gàruða Puràóa
adalah Pretakalpa, sebuah karya yang besar sekali sekalipun
seluruhnya tidak sistematik, yang menguraikan segala
hal yang berkaitan dengan kematian, orang yang meninggal
dan alam baka. Dalam kerancuan yang beraneka ragam, kita
temukan doktrin-doktrin mengenai jiwa (àtmà) sesudah
kematian, Karma, kelahiran kembali dan kelepasan dari
kelahiran kembali, keinginan atau nafsu merupakan sebab
seseorang memperoleh Saýsàra (penderitaan dan kelahiran
kembali), mengenai tanda-tanda kematian, jalan menuju Sang
Hyang Yama, perjalanan para Preta (yaitu, orang yang
meninggal yang rohnya masih mengembara mengelilingi
bumi, dan belum menemukan jalan ke alam alam baka),
siksaan-siksaan di alam neraka, dan Preta itu sepertinya
menyebabkan pertanda-pertanda dan mimpi-mimpi buruk.
Diselang-selingi, kita temukan aturan-aturan dari segala
jenis tentang ritus-ritus untuk dilaksanakan pada saat
mendekati kematian, perlakuan pada seseorang yang
meninggal dan jenazah, ritus-ritus penguburan dan pemujaan
terhadap roh leluhur, Satì, yaitu perempuan yang
menceburkan diri ke dalam api-unggun saat pembakaran
jenasah suaminya. Di sana-sini kita juga menemukan legenda-
legenda yang mengingatkan kepada Petavatthu Buddhis, yang
menceritakan kisah-kisah tentang Preta-preta yang berkaitan
dengan eksistensi mereka yang susah sekali (akibat dosa yang
mereka lakukan pada waktu hidup mereka. Sebuah “saripati”
(Sàroddhàra) dari karya ini bukan sekedar saripati dilakukan
oleh Naunidhiràma. Meskipun demikian judulnya, bagian ini
bukanlah sepenuhnya saripati dari Pretakalpa, karena penulis
juga mempergunakan material dari kitab-kitab Puràóa lainnya,
dan menguraikan pokok persoalan secara lebih sistematis. Di
antara karya-karya lainnya kitab ini menggambarkan
Bhàgavnta Puràóa, menunjukkan bahwa Puràóa lebih
kemudian daripada Bhàgavata Puràóa.
Di antara Màhàtmya-màhàtmya yang megklaim
sebagai bagian dari Gàruða Puràóa, penyebutan secara
khusus seharusnya ditujukan kepada Gayà Màhàtmya dalam
pemujaan atau pengagungan tempat suci Gayà, yang
merupakan tempat berjiarah (tìrthayàtra), secara khusus
ditujukan untuk melaksanakan upacara Úràddha (pemujaan
untuk mensthanakan roh suci leluhur).

Matsya Purana
Màtûya Puràóa
Màtûya Puràóa adalah salah satu dari kitab-kitab Puràóa
Kuno, atau setidak-tidaknya salah satu dari karya-karya yang
telah mengawetkan kebanyakan naskah kuno itu melalui
pertimbangan yang jujur terhadap definisi sebuah Puràóa.
Bermula dengan ceritra banjir besar, dari banjir itu keluar
Sang Hyang Viûóu dalam wujud seekor ikan besar (Màtûya)
yang bertujuan untuk menyelamatkan Manu sendiri.

Sedangkan kapal tempat Manu berlayar terus ditarik oleh ikan itu. Percakapan antara Manu dan Sang Hyang
Viûóu dalam wujudnya sebagai seekor ikan merupakan bahan penyusunan kitab Puràóa ini. Uraian tentang
penciptaan dijelaskan secara rinci, disusul dengan genealogi (silsilah asal-usul para raja dan åûi) yang di
dalamnya disisipkan suatu bagian tentang kakek moyang-moyang (para leluhur) dan cara memuja mereka (bab
14-22). Tak ada satupun bagian-bagian geografis, astronomis, dan kronologis yang biasa dan merupakan sebuah
karakter dari kitab-kitab Puràóa itu tidak disebutkan, dan menurut V.A. Smith data-data para raja yang
tercantum dalam Puràóa ini khususnya, dapat bisa dipercaya terutama tentang dinasti Àndhra.

Kitab Puràóa dalam banyak hal mepunyai banyak persamaan dengan kitab Mahàbhàrata dan Harivaýúa,
sepeert: ceritra-ceritra tentang raja Yayati (Bab 24-43), Sàvitrì (Bab 208-214), Inkarnasi Sang Hyang Viûóu
(Bab 161-179, 244-248); dan seringkali terdapat kecocokan yang sangat harfiah, akan tetapi, terdapat amat
banyak tambahan dan sisipan yang ditambahkan belakangan, misalnya, kita temukan satu bagian yang luar
biasa tentang cara-cara merayakan perayaan dan aktivitas ritual berupa Vrata (puasa) yang diuraikan bab 54-
102, pengagungan tempat-tempat suci Allahabad (Prayàgamàhàtnya, bab 103-112), Benares (Varanasi dan
Avimuktamàhàtnya), pada bab 180-185, dan keutamaan sungai Narmada (bab 186-194); lalu bagian
berikutnya mengenai tugas dan kewajiban seorang raja (bab 215-227), mengenai tanda-tanda di langit (omen)
dan isyarat-isyarat tertentu seperti gempa bumi (bab 228-238), upacara-upacara pada pembangunan rumah (bab
252-257) dan dedikasi pada pembuatan arca para dewa, pembangunan pura dan taman-taman (bab 258-270),
enam belas macam sumbangan yang dirakhmati (danapuóya) pada bab 274-289, dst.

Sepanjang isinya Màtûya Puràóa menunjukkan karakter Úivaistik, dengan banyak alasan sepertinya dapat
digolongkan sebagai Viûóuistik. Perayaan-perayaan keagamaan dari Vaiûóava diuraikan berdampingan dengan
perayaan-perayaan keagamaan dari saýpradàya Úaivaistik, dan kedua-dua mitos Sang Hyang Viûóu dan Sang
Hyang Úiva dikisahkan berdampingan. Dalam bab 13 Devì (Gaurì úakti Sang Hyang Úiva) menyebutkan satu
persatu kepada Daksa seribu delapan nama dengan nama-nama Gaurì diagungkan, adalah jelas bahwa kedua
sekta baik Úiva maupun Vaiûóava menggunakan karya itu sebagai sebuah buku suci.

Skanda Purana
Skanda Puràóa
Puràóa ini dinamakan Skanda, yakni mengambil nama
putra Sang Hyang Úiva dan komandan pasukan kahyangan
yang dikatakan mengandung ajaran Úivaisme di dalamnya.
Puràóa kuno ini, betapapun, barang kali seluruhnya telah
hilang, karena walaupun ada sejumlah banyak dari karya-
karya yang lebih atau kurang luas yang mengklaim dirinya
sebagai Saýhità dan Khaóða dari Skanda-Puràóa, dan
sejumlah besar Màhàtmya yang hampir melimpah
menunjukkan dirinya sebagai bagian dari kitab Puràóa.
Hanya satu manuskrip yang amat kuno berisi sebuah teks yang menamakannya “Skanda-Puràóa”.
Bahkan teks ini, bagaimanapun, hampir tidak pernah identik dengan Puràóa kuno itu, karena sekalipun berisi
semua cara pemujaan dan legenda-legenda dari Sang Hyang Úiva, teristimewa dari pertempuran-pertempuran
dengan Andhaka dan raksasa-raksasa lainnya. Beberapa bab mengenai berbagai neraka dan Saýsàra, dan satu
bagian mengenai Yoga, hampir tidak ada sesuatupun di dalamnya yang sesuai dengan lima karakteristik dari
kitab-kitab Puràóa pada umumnya.

Teks-teks yang dianggap termasuk bagian Skànda Puràóa menunjukkan kita bahwa ada enam Saýhità,
yaitu Sanatkumàrìya, Sùta, Bràhmì, Vaiûóavì, Úàòkarì dan Saurì Saýhità, dan lima puluh Khaóða dari Skànda-
Puràóa. Úùta Saýhità adalah sebuah karya yang merupakan bagian terbesar. Terdiri dari empat Khaóða, yang
pertama seluruhnya diabdikan kepada penyembahan trhadap Sang Hyang Úiva, bagian kedua
(Jñànayogakhaóða) menguraikan bukan hanya tentang Yoga, tapi juga tentang tugas-tugas profesi (varna) dan
Aúrama. Bagian ketiga mengajarkan cara-cara dan upaya-upaya mencapai keselamatan; dan bagian keempat
mulai dengan aturan-aturan tentang upacara-upacara Vedic Brahmana, dan kemudian menguraikan tentang
“pengorbanan melalui meditasi” dan “pengorbanan melalui pengetahuan”, juga seperti kesetiaan dan kebaktian
kepada Úiva (Úivabhakti). bagian yang kedua berisi uraian tentang Brahmagìtà yang Úivaistik dan Úùtagìtà
Vedàntis.

Sanatkumàra Saýhità juga berisi legenda-legenda tentang sang Hyang Úiva, lebih khusus yang
berkaitan kepada tempat-tempat suci dan kramat seperti wilayah suci Benares. Saura Saýhità, yang dianggap
sudah diungkapkan kepada Yàjñavalkya oleh Sang Hyang Sùrya (dewa-matahari), yang pada pokoknya berisi
teori-teori kosmogoni. Úaòkara Saýhità juga dinamakan Agastya Saýhità, karena Skànda diduga telah
mengkomunikasikannya kepada Agastya.

Tidak perlu diragukan yang mengajarkan tatacara Saýpradaya Viûóu khususnya dalam inkarnasinya
sebagai Úrì Ràma. Pada bagian lain terdapat Kàsìkhaóða yang menguraikan pura untuk memuja Sang Hyang
Úiva yang merupakan tetangga Benares dan dengan kesucian dari kota itu sendiri. Gaògàsahasranàma,
serangkaian doa-doa dari “seribu nama Gaògà” termasuk ke bagian yang sama. Yang disebutkan di atas hanya
beberapa dari banyak teks yang dikatakan termasuk kepada Skàóða Puràóa ini.

Waraha Purana
Varàha Puràóa
Varàha Puràóa adalah sebuah Puràóa yang dianggap
sebagai salah satu dari kitab-kitab Mahà Puràóa sesuai dengan
kandungan yang terdapat di dalam kitab Puràóa tersebut.
Walaupun dinyatakan pada bagian awal dari kitab Puràóa ini
tentang Pañcalakûaóa, namun kenyataannya tidak
mengandung semua unsur dari hal tersebut, sebuah bukti yang
menunjukkan kaitan dengan kitab-kitab Puràóa lainnya.

Kandungan yang pertama, di dalamnya membahas dua hal yaitu penciptaan dan penciptaan kembali alam
semesta (sarga dan pratisarga), tetapi bagian yang lainnya yang menyangkut vaýúa,
manvantara dan vaýúànucarita, uraiannya sangat terbatas.

Kandungan kitab ini penuh dengan ajaran agama dan teologi untuk mengagungkan Sang Hyang Viûóu, dan
tempat-tempat Patìrthan yang suci dan aturan untuk melaksanakan berbagai bentuk pantangan ataupun puasa.
Walaupun demikian, kitab ini merupakan Puràóa yang tua yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang sangat
esensial, seperti halnya kitab-kitab Puràóa lainnya, terdapat banyak bagian yang ditambahkan dari masa ke masa
sebagai bukti terjadinya pengulangan-pengulangan di dalamnya, tidak konsisten tentang yang sepatutnya
muncul dan merupakan materi yang tidak relevan di dalam konteknya.
Kitab ini, mestinya jauh lebih tua dan Wilson memperkirakan berasal dari abnad ke-12 Masehi, dan
tidak dapat dipastikan tentang kebenarannya. Bagian awalnya rupanya tidak lewat dari abad ke 10 seperti
ditunjukkan oleh P.V.Kane dan pendapat ini didukung oleh beberapa sarjana seperti R.C. Hazra, yang
menganggap beberapa sisipan kemungkinan dilakukan pada abad ke-15.
Puràóa ini merupakan percakapan antara Varàha, inkarnasi Sang Hyang Viûóu sebagai seekor babi
hutan, dan Dharaóì (Påtivì/bumi) diangkat dengan ujung taringnya, yang diceritrakan kembali oleh Sùta,
seorang juru ceritra yang mistis. Keseluruhannya merupakan percakapan sebagai jawaban atas pertanyaan Påtivì
kepada Tuhan Yang Maha Agung, yang mencari pencerahan, seperti halnya penciptaan alam semesta,
kelangsungan dan peleburannya kembali, juga ajaran tentang perbuatan baik, perbuatan yang penuh rakhmat
untuk kebahagiaan hidup dan tujuan kebebasan tertinggi, bebas dari keterikatan dunia (Venkitasubramonia, I,
l985: XV).
Kitab ini bukanlah Puràóa dalam pengertian kata yang asli. Kitab ini hanya berisi naskah-naskah
dengan purwakanti (kata-kata yang permulaannya sama bunyinya) dan permainan kata-kata mengenai
penciptaan, mengenai genealogi-genealogi, dan seterusnya. Ditaburkan keseluruh karya itu. Sebenarnya tak ada
apapun kecuali satu buku pegangan dari para penyembah dan aturan-aturan bagi para penyembah Sang Hyang
Viûóu. Beberapa legenda diselingi dengan beberapa ceritra yang berhubungan dengan Sang Hyang Úiva dan
dewi Durgà, meskipun karakter kitab Puràóa ini Vaiûóavaistik. Sebagian besar dari karya ini berisi 20 bab
(193-212) menceritakan legenda Naciketa. Di dalamnya berisi uraian tentang sorga dan neraka yang merupakan
tema utama.

Brahmawaiwarta Purana
Brahmavaivarta Puràóa
Judul Brahmavaivarta Puràóa dapat diterjemahkan
“Puràóa tentang trensformasi Brahman” (Maurice Winternitz,
I, 1990: 542). Nama dari kitab Puràóa ini adalah nama yang
digunakan di India Selatan, karya yang sangat kompleks ini
dibagi menjadi empat buku.

Buku pertama adalah Brahmakhaóða, uraiannya mulai dengan penciptaan alam semesta oleh Brahman,
mahluk pertama yang tiada lain adalah Úrì Kåûóa. Buku kedua, Prakåtikhaóða, menguraikan tentang Prakåti,
bahan asli, yang muncul untuk dipahami sepenuhnya secara mitologis, dengan dipadukan menjadi lima dewi
(Durgà, Lakûmì, Sarasvatì, Savitrì dan Ràdhà) yang diperintahkan oleh Úrì Kåûóa. Buku ketiga, Gaóeúakhaóða,
menceritakan ceritra tentang dewa Gaóeúa yang berkepala gajah, yang lenyap dalam pantheon Hindu Kuno
tertua, tetapi paling populer dalam dewa pujaan bagi umat Hindu modern.

Buku terakhir dan sangat besar adalah Kåûóajanmakhaóða, “bab tentang kelahiran Úrì Kåûóa”, tidak
hanya menguraikan tentang kelahiran tetapi juga dengan keseluruhan hidup Úrì Kåûóa, khususnya
pertempuran-pertempuran yang dimenangkan-Nya dan petualangan-petualangan asmaranya (lìla-Nya) dengan
gadis-gadis gembala sapi (Gopi), dan hal ini adalah bagian utama dari keseluruhan kitab Puràóa yang rupanya
tidak ada sasaran yang lain kecuali untuk mengagungkan Úrì Kåûóa dan kekasih kesayangan-Nya Ràdhà,
melalui berbagai mitos dan nyanyian puji-pujian. Ràdhà adalah úakti Úrì Kåûóa.
Menurut kitab Puràóa ini, Úrì Kåûóa adalah dewa dari semua devatà yang legenda-legenda-Nya yang
dikisahkan tidak hanya Brahmà dan Úiva tetapi bahkan Viûóu sendiri berada di bawah Úrì Kåûóa. Sejumlah
besar Màhàtmyas mengklaim dirinya merupakan bagian dari kitab Puràóa ini.

Wisnu atau Waisnawa Purana


Viûóu atau Vaiûóava Puràóa
Viûóu atau Vaiûóava Puràóa. Buku ini merupakan karya
utama dari para pemuja Viûóu atau Vaiûóava dan dikutip oleh
Ràmànuja, seorang filosof, pendiri sekte Vaiûóava, di dalam
komentarnya kepada Vedànta Sùtra, menunjukkan bahwa ia
adalah seorang ahli yang penting. Dalam karya sastra ini
Viûóu dipuja dan diagungkan sebagai Yang Tertinggi, sebagai
salah satu dan satu satunya devatà yang diidentikkan dengan
Brahmà dan Úiva.

Sang Hyang Viûóu adalah juga sang maha pencipta dan pelindung dunia. Di dalam kitab
Puràóa ini kita tidak menemukan satu petunjukpun berkenaan dengan perayaan, pengorbanan
(persembahan) dan upacara yang di abdikan kepada Sang Hyang Viûóu secara khusus,
bahkan tidak pula kita tempukan informasi tentang pura yang ditujukan untuk memuja Sang
Hyang Viûóu, bahkan tidak ada informasi tentang tempat-tempat yang disucikan untuk
kemuliaan Sang Hyang Viûóu. Dari karya sastra ini kita dapat menduga bahwa karya ini
merupakan satu Puràóa yang sangat kuno.

Demikian pula bila dikaitkan dengan pengertian atau definisi lama dari konsep Puràóa
tersebut. Kitab Viûóu Puràóa nampaknya tidak sepenuhnya menunjukkan karakter “Pañca
Lakûaóa”. Judul Viûóu Puràóa tidak diklaim sebagai karya yang kemudian. Màhàtmya yang
terdapat di dalam Viûóu Puràóa mengandung sedikit atau beberapa stotra dan naskah yang
kecil yang disebut sebagai bagian dari kitab ini, demikian pula selanjutnya. Hal ini
menandakan bahwa kitab ini adalah karya kesusastraan Puràóa yang lebih tua yang setidak-
tidaknya telah mampu memelihara bentuk orisinilnya sampai sejumlah besar
pengembangannya.

Suatu penelitian yang lebih besar tentang isi kandungan kitab-kitab Puràóa juga akan
memberikan gambaran kepada pembaca ide terbaik terhadap isi dan arti dari kitab-kitab
Puràóa itu pada umumnya. Karya ini terdiri dari enam bab, dimulai dengan suatu dialog
antara Paràúara yang tidak lain adalah cucu dari Maharûi Vasiûþha dan muridnya yang lain
bernama Maitreya. Yang disebut belakangan menanyai gurunya tentang asal-usul dan
karakter dari alam-semesta, selanjutnya Paràúara menjawab bahwa pertanyaan ini
mengingatkan dia tentang apa yang pernah dia dengar dari Vasiûþha, kakeknya dan dia
mulai untuk mengulangi apa yang telah dia dengar.

Bertentangan dengan tradisi (juga ditemukan semua Viûóu Puràóa) yang disebutkan sebagai
sumbangan dari maharûi Vyàsa, di sini Paràúara disebutkan secara khusus sebagai penulis
karya itu. Sesudah mengagungkan Sang Hyang Viûóu dalam sebuah lagu-pujian pertama-
tama diuraikan tentang penciptaan dunia, sebagaimana ia muncul ber ulang-ulang kembali
dalam bentuk yang agak identik dari kebanyakan kitab-kitab Puràóa. Dan hal yang luar biasa
diuraikan ajaran filsafat Sàýkhya dipadukan dengan ceritra-ceritra yang biasa kita temukan
banyak persamaan dengan ceritra-ceritra pada masyarakat primitif.

Laporan mengenai penciptaan para dewa dan para raksasa, para pahlawan dan para
nenekmoyang ras umat manusia diikuti oleh sejumlah besar cerita-cerita mitologi, alegori dan
ceritra-ceritra para raja dan orang-orang bijaksana dari jaman-jaman pra sejarah. Banyak dari
cerita-cerita ini telah kita lihat di dalam Mahàbhàrata, sebagai contoh cerita tentang
pemuteran (pengadukan) samudra. Digambarkan dewi keberuntungan dewi Úrì yang sangat
cantik gemerlapan muncul dari samudra susu yang diaduk, dan merebahkan dirinya ke dalam
pangkuan tangan Sang Hyang Viûóu.

Dalam lagu pujian yang sangat bagus, Indra menyapanya sebagai ibu dari semua mahluk dan
memuja dia sebagai sumber dari segala yang baik dan indah serta penganugrah semua
kebahagiaan. Bagian ini pada pokoknya diabdikan untuk mengagungkan Sang Hyang Viûóu,
yang didampingi oleh istrinya yang sangat setia dewi Úrì, demikian pula di dalam cerita-
ceritra lainnya selalu ditujukan kepada Sang Hyang Viûóu, yang oleh penyembahnya
didendangkan kidung yang menumbuhkan kegembriaan, sementara itu dilukiskan pula
kekuatan yang bisa diproleh orang dengan cara menyembah Viûóu, yang tak mengenal
batas.

Satu contoh dari ini adalah ceritra maharaja Dhruva, yang membuat perlakuan yang istimewa
yang diperlihatkan kepada abangnya, mengabdikan dirinya bahkan sebagai abdi yang
sepenuh hati untuk mel;akukan penebusan atas dosa-dosa dengan menjadi penyembah Sang
Hyang Viûóu, sehingga Sang Hyang Viûóu berkewajiban untuk mengabulkannya keinginan
untuk menjadi sesuatu yang lebih tinggi dari abangnya dan bahkan ayahnya, dia membuat
dirinya sebagai bintang kutub yang lebih tinggi dan berdurasi sangat kekal dari pada semua
bintang-bintang lain dari sorga.

Akan tetapi kekuatan penyembahan terhadap Sang Hyang Viûóu didendangkan dengan cara
yang paling baik di dalam ceritra abdi Prahlàda (I.17-20) kepada ayahnya, seorang raja
raksasa yang bangga dengan sia-sia mencoba untuk untuk menggoyahkan keimanan dari
penyembahan Sang Hyang Viûó. Tak ada senjata yangbisa membunuhnya, tidak pula ular-
ular ataupun gajah-gajah liar, tidak juga api maupun racun ataupun kutukan gaib yang bisa
menyakiti dia. Dilemparkan dari balkon istana, dia jatuh dengan lembut di haribaan bumi.
Diikat dengan belenggu, selanjutnya dia dilemparkan ke dalam samudra dan gunung-
gunung, ditimbun di atasnya dan di dasar laut, ia menyanyikan lagu-l;agu pemujaan kepada
Sang Hyang Viûóu, belenggu-belenggunya berguguran, dan sebaliknya dia lemparkan
gunung-gunung itu, dengan kekuatan yang muncul dari dirinya. Ditanya oleh ayahnya, dari
mana kekuatan-kekuatan yang hebat diperoleh, Prahlàda menjawab:
“Kekuatan apapun yang aku miliki ayah, adalah bukan hasil dari ritus-ritus gaib, bukan pula
bisa dipisahkan dari sifat-sifatku, ia tidak lebih dari kekuatan yang dimiliki oleh semua yang
dalam hatinya bertempat Acyuta (nama lain dari Sang Hyang Viûóu). Dia yang
bermeditasi, tidak berbuat salah terhdap orang-orang lain, tetapi menganggap mereka
sebagai dirinya, bebas dari segala pahala dosa, yang menimbulkan kepedihan kepada orang-
orang lain, dengan perbuatan, pikiran, atau ucapan, menaburkan benih kebajikan pada
kelahiran yang akan datang, dan buahnya yang dinantikan adalah kebahagiaan.

Aku tidak inginkan kejahatan kepada siapapun, tidak melakukan atau mengcapkan kata-kata
penghinaan, karena aku melihat Sang Hyang Keúava pada setiap mahluk, sebagaimana di
dalam jiwaku sendiri. Darimana penderitaan atau kepedihan jasmani atau rohani yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alam atau para devatà mempengaruhi aku, yang hatinya
sepenuhnya disucikan olehnya? Cinta kasih yang dalam, bagi semua mahluk akan dihargai
oleh semua orang yang bijaksana dalam pengetahuan bahwa Sang Hyang Viûóu ada di dalam
segalanya.

Buku kedua dari Viûóu-Puràóa Bab 1-12) membicarakan satu gambaran yang fantastis
tentang dunia. Tujuh benua dan tujuh samudra digambarkan, Jambùdvìpa berada di tengah-
tengah, dengan pegunungan Meru yang warnanya keemasan, sebagai sthana para dewa. Pada
benua yang disebut Jambùdvìpa terletak Bhàratavarûa, India yang desa-desa, gunung-gunung
dan sungai-sungainya diuraikan satu persatu. Penggambaran bumi ini disusul oleh satu uraian
tentang Pàtàla, dunia bawah.

Tempat para dewa ular tinggal dan kemudian pengambaran satu-persatu tentang neraka-
neraka yang terletak masih lebih dalam di bawah bumi. Uraian selanjutnya adalah tentang
lingkup angkasa, tentang matahari tentang kereta dan kuda-kuda dewa Sùrya (dewa matahari)
bersama-sama dengan perbincangan tentang jalannya matahari, sistim planet dan matahari
sebagai pemberi tujuan dan pelindung kehidupan. Kemudian menyusul uraian tentang bulan
(dewi Candra) tentang kereta, kuda-kuda dewi Candra, tentang orbit dan tentang
hubungannya dengan matahari dan planet-planet lainnya. Bab itu ditutup dengan penjelasan
bahwa keseluruhan dunia adalah hanya Viûóu dan dia sendirilah yang maha esa dan yang
nyata.

Dalam kaitannya dengan nama Bhàratavarsa (Bab 13 sampai 16) diceritakan tentang raja
jaman kuno bernama Bhàrata hanya menyajikan satu pengantar diaolog filosofis, yakni
doktrin kesatuan yang sama yang diajarkan dari titik pandang Vaiûóava.. Model dari
keseluruhan bab itu mengingatkan kita tentang banyak cara dalam kitab-kitab Upaniûad.
Ceritanya sebagai berikut:

“Raja Bhàrata adalah penganut Viûóu yangsetia dan saleh. Pada suatu hari dia pergi mandi di
sungai, ketika ia sedang mandi seekor manjangan dalam keadaan hamil datang dari hutan
belantara untuk minum air, pada saat yang sama raungan lantang seekor singa terdengar
mengelegar di sekitar tempat itu. Menjangan itu takut dan lari menjauh dari tempat itu dan
dengan loncatan yang sangat kuat dia melarikan diri. Sebagai akibat dari loncatan itu, bayi
yang dikandungnya lahir dan dia sendiri mati, Bhàrata mengambil anak menjangan itu dan
membesarkannya di tempat pertapaannya. Sejak memelihara menjangan itu, terus-menerus
perhatiannya hanya kepada menjangan itu, dia tidak peduli terhadap yang lain, kecuali anak
manjangan itu. Itulah satu-satunya pikirannya, itulah satu-satunya yang diurusnya, dan ketika
akhirnya ia meninggal dunia, karena selalu memikirkan anak menjangan, dia lahir lagi segera
sesudahnya dalam wujud seekor menjangan. (Ceritra ini juga dapat dijumpai dalam
Bhàgavata Puràóa V.8).

Betapapun dia punya kenangan-kenangan dari kehidupan yang sebelumnya. Dalam


kehidupannya sebagai menjangan, dia juga tetap menyembah Sang Hyang Viûóu dan
mengabdikan dirinya kepada latihan-latihan spiritual, suka melakukan pertobatan, hingga
dalam kelahiran yang berikutnya dia lahir kembali sebagai seorang putra Bràhmaóa yang
saleh. Sekalipun ia memperoleh pengetahuan doktrin kesatuan sebagai orang Bràhmaóa,
namun demikian dia tidak peduli terhadap studi Veda, dia tidak melaksanakan ritus-ritus
Bràhmaóa, berbicara tak keruan dan tidak dengan tata bahasa yang baik, pergi keliling
dengan pakaian kotor dan compang-camping, pendeknya dia berkelakuan sepenuhnya seperti
seorang yang sangat bodoh.

Orang-orang secara mudah menamakan dia “Jaða Bhàrata” Bhàrata yang bodoh. Umumnya
dia dipandang hina dan dipekerjakan untuk tugas-tugas kasar sebagai seorang budak.
demikianlah kejadiannya, dia pernah juga dipekerjakan untuk memikul tandu raja dari
Sauvìra. Pada kesempatan ini terjadi suatu percakapan antara orang yang berpenampilan
bodoh dengan seorang raja. Dalam percakapan ini, Bhàrata segera mengungkapkan dirinya
sebagai seorang åûi agung yang bijaksana, dan mengumumkan dengan kegembiraannya
kepada raja itu tentang ajaran kesatuan. Dalam penjelasan ini, dia bercerita kepadanya
tentang Åbhu dan Nidàgha.

Åbhu yang bijaksana dan suci, putra Brahmà, sang maha pencipta telah menjadi guru
Nidàgha. Sesudah seribu tahun, suatu hari dia mengunjungi muridnya, secara ramah dan
hormat disambut olehnya dan ditanyai tempat tinggalnya, dari mana datangnya dan akan
pergi ke mana. Åbhu menjawab bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan orang bodoh, karena
manusia (yaitu Sang Àtman) ada dimana-mana, baginya tidak ada yang datang dan tidak ada
pergi, dan dia membuat doktrin kesatuan begitu jelas kepadanya sehingga Nidàgha jatuh
terpikat hatinya di kakinya dan bertanya siapa dia sesungguhnya.

Sekarang dia belajar bahwa Åbhu adalah gurunya yang lama, yang telah datang untuk
mengajar dia sekali lagi di kota tempat tinggal Nidàgha. Di sana dia lihat sekumpulan besar
orang-orang dan seorang raja yang memasuki kota itu dengan pengikut yang banyak
jumlahnya. Jauh dari kerumunan orang banyak itu, muridnya yang dulu, yakni Nidagha
sedang berdiri, Åbhu mendekatinya dan menanyainya mengapa ia berdiri menyisihkan diri.

Setelah itu Nidàgha menjawab “seorang raja sedang datang ke kota, ada kerumunan orang
banyak, karena itu saya berdiri menjauh.

Åbhu bertanya, “lalu, siapa raja itu?”

Nidàgha menjawab: “Sang raja adalah orang yang duduk di atas gajah kenegaraan yang
besar”.

“Baiklah” kata Åbhu “tetapi siapa gajah itu dan siapa Sang Raja ?”

Nidàgha : “Di bawah adalah gajah itu dan di atas Sang Raja”.

Åbhu bertanya: “Apa dimaksud dengan di bawah dan apa dimaksud dengan di atas?”

Selanjutnya Nidàgha melompat ke punggung Åbhu dan berkata: “Saya yang di atas seperti
raja, anda di bawah seperti gajah itu!”

“Baik, sangat baik!”, jawab Åbhu, selanjutnya ceritrakan kepada saya wahai muridku
tercinta, siapakah kita keduanya, siapa kamu dan siapa aku?”.

Saat itu, barulah Nidàgha sadar dan mengakui gurunya yang lama, karena tidak seorang pun
yang mampu menyerap ajaran seperti itu. Selanjutnya ajaran tentang kesatuan alam semesta
menarik perhatian Nidàgha dan seterusnya ia menganggap seluruh mahluk satu dengan
dirinya sendiri dan ia mencapai kebahagiaan yang sempurna.

Buku ketiga dari Viûóu Puràóa mulai dengan satu cerita tentang Manu (nenek moyang ras
manusia) dan tentang masa berkuasanya Manu (Manvantara). Kemudian menyusul satu
diskusi mengenai Veda (Catur Veda Saýhità), pembagian kitab suci Veda menurut Maharûi
Vyàsa dan para muridnya dan mengenai asal-usul dari beraneka sekolah-sekolah Veda
(Vedaúàkha). Uraian satu persatu dari 18 Puràóa dan diikuti satu daftar dari semua cabang
ilmu-pengetahuan.

Selanjutnya muncul pertanyaan dan didiskusikan, mengenai cara seseorang mencapai


keselamatan sebagai seorang penyembah Viûóu yang saleh. Dengan dialog yang indah (Bab
7) antara Yama, dewa kematian dan salah seorang dari para pelayannya itu digambarkan
bahwa yang suci hati dan menjalani hidup yang bajik, yang mengarahkan pikiran kepada
Sang Hyang Viûóu adalah seorang penyembah Viûóu yang sejati dan karena itu bebas dari
ikatan dewa Kematian.

Uraian ini disusul dengan suatu percakapan mengenai tugas-tugas dari Catur Varóa (empat
profesi dalam masyarakat), Aúrama-aúrama, upacara kelahiran dan perkawinan, mandi suci,
upacara sehari-hari, tugas-tugas dan keramahan dalam penyambutan tamu, tingkah laku pada
waktu makan dan sebagainya. Satu ajaran yang panjang (Bab 13-17) mengenai upacara serta
sesaji untuk orang mati dan upacara-upacara lain untuk memuja roh-roh dari orang yang telah
meninggal (Úràddha) yang menutup uraian dalam bab ini, menunjukkan praktek-pratek
keagamaan yang bersifat Vedic-Brahmanic disajikan sebagai satu macam pemujaan kepada
Sang Hyang Viûóu yang benar. Dua bab yang terakhir dari buku ini menceritakan kelahiran
sekte-sekte orang yang menentang ajaran Veda yang para pengikutnya, khususnya pengikut
Jaina, yang disebut Digambaras, dan pengikut Buddha yang dikenal sebagai Raktàmbara
(yang berarti yang berjubah merah) disajikan sebagai pelaku-pelaku yang jahat.

Untuk memperlihatkan betapa berdosa adanya bahkan untuk memelihara hubungan dengan
semacam orang-orang yang menentang Veda, cerita raja Úatadhanu diceritakan (bab 18),
yang adalah penyembah Viûóu yang saleh, tetapi untuk menggantikan beberapa kata dengan
orang-orang yang menetang Veda, yang keluar di luar batas kesopanan dan konskuensi yang
diterima adalah lahir sebagai seekor anjing, anjing hutan, serigala, burung kondor, burung
gagak, dan burung merak susul menyusul, yang sampai pada akhirnya, karena kemauannya
yang keras dan berlangsung lama, kesalahan dari istrinya Úaibyà, dia lahir kembali sebagai
seorang raja.

Buku keempat dari Viûóu Puràóa secara garis besarnya berisi daftar silsilah dari raja-raja
kuno, dari dinasti Sùrya yang asal-usulnya adalah dewa matahari dan dari dinasti Candra
yang asalnya adalah dewa Bulan. Daftar yang panjang para raja kuno banyak dan sebagian
besar murni merupakan ceritra mitos, beberapa raja dapat dilacak secara historis namun
sekali-sekali diselingi dengan ceritra tertentu tentang raja-raja tertentu pula dan yang lain dari
dinasti mereka. Dalam semua ceritra tersebut, unsur keajaiban memainkan peranan yang
penting.

Ada Dakûa yang lahir dari ibu jari kanan Sang Hyang Brahmà; putri Manu yang bernama Ilà,
yang berubah menjadi lelaki; Ikûvàku, yang menunjukkan dirinya dari bersinnya Manu; raja
Raivata yang pergi ke sorga dengan putrinya bernama Revatì, memohon perkenan Sang
Hyang Brahmà supaya putrinya memperoleh seorang suami, bahkan raja Yuvanàúva, yang
menjadi hamil dan melahirkan seorang putra, selanjutnya dewa Indra memberinya susu
berupa minuman keabadian dengan cara anak itu meletakkan jarinya di dalam mulut devatà
dan mengisapnya. Oleh karena dewa Indra mengatakan, “Dia akan disusui oleh aku” (Màý
dhàsyati), anak itu kemudian diberi nama Màndhàtå.

Dia menjadi seorang raja yang kuat dan ayah dari tiga putra dan lima puluh putri. Bagaimana
dia memperoleh seorang menantu laki-laki, diceritakan dengan humor aneh yang kadang-
kadang diselingi keseriusan yang umumnya populer di dalam ceritra-ceritra orang-suci
Hindu, di dalam ceritra Saubharì yang mempraktekkan tapa selama dua belas tahun di dalam
air sampai pandangan dari raja ikan yang menikmati kegembiraan pengikut teman dari anak-
anaknya membangkitkan dirinya keinganan untuk menikmati kepuasan menjadi ayah.

Banyak dari ceritra yang demikian populer dari epik (Itihàsa) ditemukan lagi di dalam buku
ini, sebagai contoh ceritra Purùrava dan Urvasì dari Yayati, dan sebagainya. Sebuah ikhtisar
singkat dari ceritra Ràma juga ditemukan di sini . Demikian pula ceritra kelahiran para
Pandava dan Úrì Kåûna juga diuraikan dan cerita Mahàbhàrata secara singkat diuraikan
dalam buku ini. Silsilah asal-usul yang amat luas, ramalan-ramalan mengenai para raja
Magadha “yang mendatang”, para raja Úaiúunàga, Nanda, Maurya, Suòga, Kaóvàyana, dan
Àndhrabhåtya, mengenai para raja asing yang biadab yang menyusul mereka pada kurun
waktu yang buruk, satu jaman tanpa agama dan tanpa moral hanya Sang Hyang Viûóu dalam
inkarnasi-Nya sebagai Kalki akan mengakhiri mereka.

Buku kelima merupakan satu buku yang melengkapi semuanya. Ia hanya berisi suatu uraian
yang tersendiri tentang kehidupan seorang pengembala sapi milik Úrì Kåûóa dan di dalamnya
petualangan-petualangan yang sama diceritakan dengan urutan yang sama seperti disebutkan
di dalam kitab Harivaýúa.

Sekali lagi kurun waktu (Yuga) dunia yang jumlahnya empat, yakni: Kåta, Traita, Dvàpara
dan Kali. Juga digambarkan ramalan Kali Yuga yang amat buruk, yang kemudian disusul
oleh suatu penggambaran beraneka macam masa kehancuran (pralaya) alam semesta. Dengan
sikap yang pesimis lalu (bab 5), keburukan-keburukan dari eksistensi, kepedihan dari
kelahiran, masa anak-anak, masa dewasa, berumah tangga, usia tua dan kematian, siksaan
neraka dan ketidak sempurnaan dari kebahagiaan di sorga diceritakandalam buku ini, dan
disimpulkan bahwa hanya keselamatan dari eksistensi, bebas dari kelahiran lagi adalah
keberuntungan terbesar.

Untuk ini adalah perlu mengenal kembali esensinya Tuhan Maha Esa, karena hanya
pengetahuan yang sempurna, Tuhan akan dapat dilihat, segalanya yang lain adalah
ketidaktahuan, tetapi sarana untuk mencapai kebijaksanaan ini adalah Yoga, meditasi pada
Sang Hyang Viûóu. Dua bab yang ke dua dari belakang dari buku itu memberikan informasi
mengenai sarana ini. Bab yang terakhir berisi satu pengulangan yang lebih singkat dari
seluruh Puràóa dan berakhir dengan satu pemujaan kepada Sang Hyang Viûóu diakhiri
dengan satu doa penutup.

Bhavisya Purana Versi Lain


BHAVIÛYA PURÀÓA
PROLOG
Diceritakan åûi Vedavyàsa memiliki seorang murid yang bernama Úatànìka. Para åûi mendatangi
Úatànìka dan berkata, “Kami sangat ingin mempelajari tentang berbagai jenis tata susila. Anda adalah siswa
seorang Åûi agung seperti Vedavyàsa dan anda tentu telah mempelajari berbagai kebijaksanaan dari beliau.
Mohon ceritakanlah kepada kami tentang pengetahuan suci tersebut”
“Memang benar aku telah banyak belajar dari åûi Vedavyàsa, “jawab Úatànìka.”Akan tetapi apa yang
ingin kalian pelajari masih terlalu umum maka ijinkanlah saya untuk bertanya pada åûi agung tersebut terlebih
dahulu tentang apa yang harus saya beritahukan pada kalian.”
Åûi Úatànìka kemudian pergi menemui Vedavyàsa, gurunya.
“Aku telah mengajarkan semua itu pada muridku yang bernama Sumantu “Kata åûi Vedavyàsa kepada
Úatànìka “mengapa kau tidak langsung saja menemui Sumantu? Karena dia akan sanggup memberitahukan
semua yang ingin kalian pelajari itu”
(Sebenarnya Vedavyàsa memiliki enam murid utama yaitu Åûi Sumantu, Jaimini, Paila, Vaiúampàyana,
Úukadeva dan Lomaharûaóa).
Ketika Úatànìka pergi menemui Sumantu maka terjadilah diskusi panjang antara keduanya, dimana dari
hasil diskusi ini lahirlah kitab Bhaviûya Puràóa.

BRAHMA
“Brahmà” kata Sumantu, “menciptakan, melindungi dan menghancurkan seluruh semesta. Tidak ada
dewa yang seperti Brahmà, tidak ada guru pembimbing yang seperti beliau. Pemahaman beliau terjewantahkan
dalam seluruh veda. Beliau adalah dewa kebijaksanaan. Permaisuri beliau yaitu dewi Sarasvatì adalah dewi
kebijaksanaan.
(Sebagai salah satu dari kitab yang termasuk golongan Ràjasika Puràóa, maka Bhaviûya Puràóa ini
tentu saja mengagungkan Brahmà. Seperti kita ketahui ada tiga kualitas dasar, dimana dua diantaranya adalah
Sattvam yang mewakili sifat kebaikan, dan Tamas yang mewakili sifat buruk. Sedangkan sifat ràjasika adalah
yang menengahi kedua sifat tadi. Ràjasika mewakili sifat kenafsuan dan pemuasan kenikmatan. Dalam sifat ini,
pengaruh nafsu dan kenikmatan adalah yang paling mendominasi dan kadang-kadang dipengaruhi oleh sifat
sattvam atau tamas. Sifat-sifat inilah yang diasosiasikan dengan Brahmà dan penciptaan itu sendiri. Dari sudut
pandang inilah Bhaviûya Puràóa kemudian dikatagorikan sebagai Ràjasika Puràóa atau ‘Brahmà’ Puràóa.
Orang-orang terpelajar hendaknya mengabdikan diri kepada atau memuja Brahmà. Dan hanya mereka
yang telah memahami semua Veda yang berhak memasang sebuah patung atau mendirikan sebuah kuil untuk
beliau. Orang yang mendirikan sebuah kuil untuk brahma akan masuk surga dan menikmati kebahagiaan disana.
Jika seseorang member-sihkan kuil Brahmà maka semua keinginannya akan terpenuhi. Ini juga berlaku pada
orang yang meskipun menyimpan maksud-maksud jahat.
Pada masa sebelum penciptaan alam semesta, dimana-mana yang ada hanyalah air dan kegelapan
memenuhi semua tempat. Dalam situasi inilah brahma kemudian menciptakan dirinya melalui kekuatannya
saktinya. Karena beliau lahir (bhù) dari dirinya sendiri (svayam) maka beliau juga bergelar Svayambhù.
Brahmà lah yang telah menciptakan seluruh penghuni alam semesta ini. Dan dengan kekuatan bathinnya
beliau menciptakan tujuh åûi agung yaitu Marìci, Atri, Aògira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasiûþha, Bhågu dan
Nàrada. (Dalam Puràóa lain sering disebutkan bahwa Brahmà lahir dari teratai yang menjulur dari pusar
Nàràyaóa. Pada sumber lain juga ada yang menyatakan bahwa kelahiran Brahmà berhubungan dengan
terciptanya telur mahabesar (Brahmàóða) namun tidak satupun alasan ini terdapat dalam Bhaviûya Puràóa)
GAÓEÚA
Pada jaman dahulu, setiap usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh manusia selalu membawa hasil yang
sukses. Hampir tidak diperlukan bantuan dari kekuatan ilahi. Orang-orang dapat melakukan apa saja yang ingin
mereka lakukan tanpa menghadapi kesulitan. Atau meskipun ada kesulitan namun semua akan dengan mudah
bisa diatasinya.
Maka mulailah manusia menjadi besar kepala dan merasa dirinya mengatasi segalanya. Mereka menjadi
terlalu bangga, angkuh dan tidak menghormati.
Mengetahui hal ini, Brahmà mulai berpikir, “Aku harus melakukan sesuatu terhadap hal ini. Aku harus
menurunkan kesombongan manusia. Aku akan menciptakan seorang dewa yang bernama Gaóeúa. Manusia
harus memujanya jika mereka menginginkan keberhasilan dalam usahanya.”
Maka Brahmà kemudian menciptakan Gaóeúa.
Setelah itu manusia, laki ataupun perempuan tidak bisa lagi mengatasi kesulitan yang mereka hadapi
sendirian. Sekarang mereka memerlukan bantuan Gaóeúa. Mereka harus senantiasa harus berusaha untuk
membuat dewa ini berkenan pada mereka. Dan sebelum melakukan setiap kegiatan atau pekerjaan, maka
mereka harus memuja Gaóeúa terlebih dahulu. Gaóeúa menjadi dewa pertama yang harus dipuja sebelum
melakukan setiap usaha atau tugas. Maka Gaóeúa kemudian bergelar ‘Vighnahara’ yang berarti penghancur
segala halangan dan ‘Siddhidata’ yang berarti yang menganugrahi kesuksesan.
Diyakini bahwa Gaóeúa akan memberikan kekuatan tertentu pada mereka yang menjadi pemujanya.
Untuk memuja Gaóeúa maka seseorang hendaknya menyucikan diri dengan melakukan permandian suci dan
mempersembahkan sesajen berupa buah-buahan dan bunga pada beliau. Dengan memberikan sumbangan pada
mereka yang membutuhkan atau orang suci juga merupakan bagian dari persmbahan pada Gaóeúa.
Akan tetapi jika Gaóeúa tidak berkenan maka orang itu akan bermimpi mandi minyak atau sedih tanpa
alasan. Beliau juga tidak akan berkenan jika para pemimpin tidak memimpin dengan baik dan jika seorang guru
tidak mengajar dengan baik atau siswa yang tidak belajar dengan baik. Jika Gaóeúa tida berkenan maka
pertanian, perdagangan tidak akan berkembang dalam daerah itu.
(Purana-Puràóa lainnya menyatakan bahwa Gaóeúa adalah putra dari Úiva dan permaisuri beliau yaitu
Pàrvatì. Dalam hal ini Bhaviûya Puràóa memang cukup aneh dengan pernyataan bahwa Gaóeúa tercipta oleh
Brahmà.)

SÙRYA DAN SAÝJÑA


Dewa yang paling penting yang disebutkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah dewa matahari atau Sùrya.
Untuk memastikan bahwa proses penciptaannya akan berlanjut maka Brahmà kemudian membagi
tubuhnya menjadi dua bagian. Bagian yang berwujud laki-laki bernama Svàyambhuva manu sedangkan yang
berwujud wanita bernama Úatarùpà.
Dengan kekuatan bathinnya, Manu kemudian melahirkan sepuluh orang putra. Karena kesepuluh anak ini
menjadi penguasa (pati) dari semua benda atau hal (prajà) maka mereka dikenal bergelar para Prajàpati. Dan
salah satu dari para prajàpati ini adalah yang bernama Dakûa.
(Dalam Mahàbhàrata dan Bhàgavata Puràóa, Dakûa dinyatakan sebagai putra dari dewa Brahmà).
Dakûa memiliki seorang putri yang bernama Aditi. Åûi Kaúyapa adalah putra dewa Brahmà dan menikah
dengan Aditi. Dari persatuan ini lahirlah sebuah telur yang maha besar. Selama berhari-hari tidak terjadi
perubahan apa-apa pada telur itu hingga telur itu dianggap telah mati. Akan tetapi åûi Kaúyapa mengetahui
bahwa telur itu belum mati dan berseru,” Telur (aóða) itu tidak mati (amåta)”
Ketika dewa Matahari bangkit dari telur itu, maka beliau kemudian dinamakan Màrtàóða, dari
kata måta dan aóða yaitu dua kata yang digunakan oleh ayahnya untuk menyatakan bahwa telur itu tidak mati.
Màrtàóða juga kemudian dikenal bernama Sùrya.
Viúvakarma adalah arsiteknya para dewa dan memiliki seorang putri yang bernama Saýjña. Saýjña
kemudian dinikahkan dengan Sùrya. Dari pernikahan mereka ini lahirlah Yama dan Yamunà. (Dalam sumber
lain dinyatakan bahwa Sùrya dan Saýjña memiliki putra yang lain yang bernama Manu. Ini adalah Sàvarói
Manu yang kemudian disalah artikan sebagai Svayambhù Manu)
Akan tetapi sinar dewa Sùrya yang begitu panas membuat Saýjña tidak tahan lagi bersama suaminya. Ia
kemudian menciptakan seorang wanita yang bernama Chàyà (bayangan) atau Nikûubhà dari tubuhnya sendiri.
Chàyà nampak sangat persis seperti Saýjña hingga sulit untuk membedakan mereka berdua.
“Aku tidak sanggup lagi menahan panas sinar suamiku” kata Saýjña pada Chàyà. Tinggallah disini dan
berpura-puralah menjadi aku. Rawatlah anak-anakku, dan ingatlah, jangan sekali-kali membuka rahasiamu”
“Aku akan melakukan seperti apa yang kau inginkan selama tidak ada yang mengutuk aku. Namun jika
ada yang mengutukku maka aku terpaksa harus membuka rahasia bahwa aku bukanlah Saýjña”
Saýjña menyetujui persyaratan itu dan kemudian meninggalkan tempat itu. Selama beberapa waktu ia
tinggal bersama ayahnya, Viúvakarma. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa sebenarnya ia telah
meninggalkan suaminya. Maka Viúvakarma mengira bahwa Saýjña datang untuk menjenguknya. Akan tetapi
ketika berhari-hari telah berlalu dan Saýjña sama sekali tidak menampakkan keinginan untuk kembali pada
suaminya. Maka kecurigaan ayahnya mulai timbul, dan untuk menghindari kecurigaan ayahnya maka Saýjña
meninggalkan rumah ayahnya. Ia mengambil wujud seekor kuda betina dan mulai tinggal di sebuah kerajaan
yang terkenal bernama Uttarakuru.
(Matsya Puràóa menyatakan bahwa Saýjña tinggal dikerajaan yang bernama Maru (gurun pasir), dan
bukan di Uttarakuru.)
Karena tidak mengetahui kebenaran yang sesungguh-nya, maka Sùrya memperlakukan Chàyà sebagai
Saýjña. Yang berarti beliau menerima ilusi sebagai kenyataan. Dari Chàyà lahirlah tiga anak yaitu Úrutaúrava,
Úrutakarma dan Tapatì. Úrutaúrava dikenal bernama Sàvarói manu dan Úrutakarma menjadi planet (graha)
Úani atau Saturnus.
(Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa agak membi-ngungkan dimana setelah sebelumnya menyebutkan
bahwa Sàvarói Manu adalah putra dari Sùrya dan Saýjña. Sebenarnya inilah yang juga dikatakan dalam Puràóa-
Puràóa lainnya. Sàvarói manu tidak pernah dinyatakan sebagai putra dari Chàyà dan Sùrya. Namun untuk
membenarkan pernyataannya Bhaviûya Puràóa, memberikan penjelasan yang tampak agak nyata sebagai
kebenaran dimana nama Sàvarói diberikan pada putranya adalah karena ayah dan ibunya memiliki warna kulit
(sa- sama dan varóa- warna) yang sama.
Kita kembali pada cerita tadi. Perlakukan Chàyà pada anak-anak Saýjña adalah sebagaimana perlakukan
seorang ibu tiri. Ia bersikap berat sebelah pada anak-anak Saýjña.
Pada suatu hari Tapatì dan Yamunà bertengkar.
“Aku kutuk kau menjadi sebuah sungai” kata Tapatì.
“Aku juga mengutukmu menjadi sebuah sungai” balas Yamunà.
(Màrkaóðeya Puràóa menyatakan cerita yang agak berbeda tentang hal ini. Bahwa Saýjña tidak sanggup
menahan panas sinar dewa Sùrya kemudian menutup matanya. Ini kemudian membuat Sùrya marah besar dan
mengutuk bahwa putra Saýjña yang bernama Yama akan menjadi dewa kematian. Setelah mendapat kutukan itu
maka Saýjña tidak lagi menutup matanya dan terus mengedipkan matanya. Dan karena hal ini maka Sùrya
mengutuknya bahwa anaknya yang bernama Yamunà akan menjadi sebuah sungai)
Ketika Tapatì menjadi sebuah sungai, Chàyà me-numpahkan kemarahannya pada Yama karena kebetulan
Yama adalah kakak dari Yamunà. Yama merasa tidak terima atas perlakukan ibunya pada dirinya dan adiknya.
Dan ini membuatnya terpaksa mengangkat kaki hendak menendang ibunya.
Chàyà kemudian mengutuk Yama. “Segera setelah kau menginjakkan kakimu ke tanah maka serangga
akan memakannya, hingga kakimu tinggal tulangnya saja.” kata Chàyà.
Pada saat itu kebetulan Sùrya sedang lewat di tempat kejadian, dan Yama mengadu pada ayahnya bahwa
Chàyà berlaku tidak adil pada dirinya.
“Mungkin aku melakukan kesalahan atau dosa dengan berusaha untuk menendang ibuku” kata Yama,
“tapi layakkah seorang mengutuk anaknya sendiri? Aku khawatir kalau-kalau dia bukanlah ibu kami. Mohon
lakukanlah sesuatu atas kutukan yang baru saja dilemparkan padaku”
“Aku khawatir kalau aku tidak sanggup membatalkan kutukan itu sama sekali” jawab Sùrya “Biarkan
saja serangga itu mengisap darah dan memakan daging kakimu agar kutukan ibumu bisa menjadi kenyataan.
Tapi aku mem-berkatimu bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada kakimu jika serangga-serangga itu telah
menghabiskan semua daging di kakimu. Aku berkati engkau bahwa kakimu tidak akan apa-apa. Sedangkan
putriku Tapatì dan Yamunà, aku memberkati mereka bahwa mereka akan menjadi sungai yang suci dan
membersihkan dosa-dosa umat manusia. Yamunà akan menjadi sungai suci seperti sungai Gaògà dan Tapatì
akan menjadi sesuci sungai Narmadà.”
Selanjutnya Sùrya kemudian menanyai Chàyà tentang kebenaran dari apa yang telah dilakukannya.
Bagaimana pun juga seorang ibu tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap anaknya. Dan karena dia
telah melakukannya maka Sùrya mengancam akan mengutuknya. Akan tetapi ketika Sùrya hendak
mengutuknya, Chàyà mulai mengatakan yang sebenarnya dan melanggar janjinya pada Saýjña. Ia mengatakan
pada Sùrya bahwa dia bukanlah Saýjña namun Chàyà atau ilusi Saýjña, bahwa Saýjña telah pergi.
Maka Sùrya kemudian pergi kepada ayah mertuanya, Viúvakarma untuk mencari Saýjña. Sedangkan
Viúvakarma melalui kekuatan batinnya mengetahui apa yang telah terjadi. Maka ia memberitahukan Sùrya
bahwa Saýjña meninggalkannya karena sinarnya yang terlalu panas dan Saýjña tidak sanggup menahannya.
“Ijinkan saya mengurangi panas sinar anda dan membuatnya menjadi lebih lembut. Ijinkan saya memutar
tubuh anda pada alat pemotong ini agar saya bisa memotong kelebihan energi yang ada pada tubuh anda.
Dengan demikian anda akan dengan mudah bisa diterima oleh Saýjña”
Sùrya setuju untuk melakukan usul itu. Tubuhnya kemudian dilumuri pasta sandal merah dan bunga agar
menjadi sedikit lembut, lalu ia diputar pada sebuah alat pemotong energi. Kelebihan energi Sùrya kini telah
dipotong sedemikian rupa sehingga Sùrya tampak sangat tampan. Peristiwa ini terjadi di tanah Úakadvìpa.
Viúvakarma kemudian memberitahu Sùrya bahwa istrinya berada di Uttarakuru, dalam wujud seekor
kuda betina. Maka Sùrya kemudian mengambil wujud seekor kuda jantan dan menemui istrinya. Dalam wujud
kuda (Aúva) mereka melahirkan dua orang putra kembar yang mereka namakan Aúvinikumàra. Anak-anak ini
lahir dari lubang hidung ibunya (dalam wujud seekor kuda betina). Keduanya berwajah amat mirip dan amat
tampan. Mereka kemudian menjadi tabib para dewa.
(Menurut Mahàbhàrata, dua Aúvini ini kemudian berinkarnasi menjadi Nakula dan Sahadeva, dua
diantara lima pàóðava)
Setelah Sùrya dan Saýjña kembali ke wujud asalnya, mereka kembali memiliki putra yang lain yang
bernama Revanta atau Raivanta. Anak ini lahir dengan menunggang kuda dan bersenjata serta memiliki perisai
perang. Selanjutnya ia kemudian menjadi raja para Guhyaka.
Dalam berbagai bagian dalam Bhaviûya Puràóa, Sùrya diagungkan sebagai dwa tertinggi, sedangkan
Brahmà, Viûóu dan Úiva dinyatakan sebagai dewa bawahan atau bagian dari dewa Sùrya.
Bahkan Brahmà sendiri yang memberitahukan åûi Yàjñavalkya, “Sùrya adalah dewa yang menghalau
kegelapan di seluruh dunia dan menyalakan ketiga dunia. Beliau adlah cahaya dari segalanya. Beliau abadi, tak
terhancurkan dan mahakuasa. Beliau adalah pencipta, pemelihara dan penghancur seluruh alam semesta. Beliau
adalah dewa dari para dewa beliau adalah yang tertinggi dan tidak ada dewa yang mengimbanginya.”
Beliau akan memberikan pembebasan pada mereka yang memujanya dengan penuh hormat dan
ketulusan hati. Dan dalam suntingan dari sabda dewa Sùrya sendiri dinyatakan “Bersujudlah padaku, menjadilah
pemujaku penuhi pikiranmu dengan pikiran tentang aku. Orang yang memikirkan aku akan bersatu denganku
pada akhirnya nanti.”

PARA PEMUJA SÙRYA


Pada bagian ini, Bhaviûya Puràóa menceritakan tentang tiga kelas atau golongan pemuja Sùrya. Mereka
adalah para Maga yang memuja Sùrya, para Maga yang memuja Sùrya dan para Bhojaka yang memuja Sùrya.
Siapakah para Maga itu ? Bhaviûya Puràóa menyatakan bahwa suku kata ‘ma’ melambangkan dewa
Sùrya. Orang yang bermeditasi pada suku kata ‘ma’disebut para Maga. Seorang Maga adalah pemuja dewa
Sùrya.
Sùrya adalah dewa tertinggi dari para Maga. Mereka memasak makanan hanya untuk Sùrya dan akan
mema-kannya jika telah memberikan persembahan pada Sùrya. Mereka tinggal di Úakadvìpa yang terletak jauh
dari Jambùdvìpa, di hulu samudra luas (Lavaóa Samudra). Úakadvìpa dikelilingi oleh samudra luas lainnya
yang dikenal bernama Kûìroda samudra.
Diceritakan bahwa Kåûóa menikah dengan Jàmbavatì dan mereka memiliki seorang putra yang bernama
Sàmba. Sebagai hasil dari kutukan yang ditimpakan padanya oleh ayahnya, Sàmba menderita lepra. (Tentang
kutukan ini diceritakan dalam Sàmba Puràóa )
Sàmba diberitahukan bahwa ia akan sembuh dari lepra yang dideritanya jika ia memuja dewa Matahari.
Maka ia kemudian mendirikan sebuah kuil untuk memuja dewa Sùrya di pinggir sungai Candrabhàga (Chenab).
Para pendeta yang ada di daerah Úakadvìpa adalah pendeta yang mahir dalam puja pada dewa Sùrya dan mereka
diundang oleh Sàmba dan bertindak sebagai pendeta pemimpin dalam kuil itu.
Jika hendak makan maka orang-orang suci di Úakadvìpa melakukannya dengan diam dan sunyi. Hal ini
juga diikuti oleh mereka yang tinggal di Úakadvìpa. Para Bràhmaóa dari golongan Maga selalu memakai
benang suci yang dikenal sebagai Avyaòga, yang mengikat pinggangnya. Mereka juga memelihara jenggot dan
tidak menyentuh benda-benda yang tidak suci. Mereka diharuskan ber-keturunan untuk menambah jumlahnya
dan menyumbangkan sebagian dari pendapatannya. Mereka menjadi vegetaris dan hanya memakan sayuran dan
buah-buahan saja. Mereka harus berpenampilan baik dan teguh hati seimbang dan memiliki pengendalian diri
yang penuh.
Silsilah tentang adanya Bràhmaóa golongan Maga adalah sebagai berikut.
Tersebutlah seorang åûi yang bernama Rijihva yang merupakan pemuja dewa Agni. Putri åûi Rijihva
adalah Nikûubhà. Sebelumnya Nikûubhà telah diidentikkan sebagai Chàyà. Sebenarnya secara diam-diam Sùrya
telah menikahi Nikûubhà dan memiliki seorang putra yang bernama Jaraúabda.
Ketika Rijihva mengetahui bahwa Nikûubhà telah menikah dengan Sùrya tanpa sepengetahuannya, maka
beliau menjadi amat marah. Meskipun beliau amat mencintai putrinya, namun beliau tetap mengutuknya. “Aku
mengutuk anakmu kelak akan menjadi orang yang tidak berguna” katanya.
Dengan berlinang air mata Nikûubhà memohon pada Sùrya dan beliaupun berkenan untuk menampakkan
diri dihadapannya. “Aku tidak bisa membatalkan kutukan ayahmu” kata dewa Sùrya “bagaimanapun juga ia
adalah seorang åûi. Akan tetapi aku memberkatimu bahwa kelak keturunan anakmu akan menjadi golongan
orang yang mempelajari Veda dengan serius dan memakai benang suci yang dinamakan Avyaòga.Tidak usah
memikirkan apa yang terjadi pada putra-putramu karena keturunan mereka akan menjadi orang yang berguna”
Keturunan Jaraúabda inilah yang kemudian menjadi para Maga Bràhmaóa.
Bhaviûya Puràóa juga menyediakan penjelasan dan keterangan tentang para Maga yang memuja dewa
Agni sebagai ritual sehari-hari mereka.
(Para sarjana telah menyelidiki bahwa para Maga yang diterangkan dalam Bhaviûya Puràóa adalah para
pendeta Magi yang terdapat di Iran. Orang-orang ini kemudian bermigrasi ke India pada tahun-tahun awal,
mungkin sekitar masa para Kushana. Meskipun kata Iran tidak terdapat dalam kitab Bhaviûya Puràóa, namun
kata Úakadvìpa sebenarnya menunjuk pada Iran. Para penduduk Iran pada masa lampau adalah para pemuja api
dan matahari. Bhaviûya Puràóa menyebutkan ada lima jenis api (agni). Sedangkan kitab suci golongan Avesta
juga mengenal adanya lima jenis api ini. Bahkan nama salah satu nabi para Zarathustra hampir mirip dengan
Jaraúabda. Orang-orang Persia yang merupakan keturunan bangsa Iran juga memakai benang suci di
pinggangnya. Bhaviûya Puràóa merupakan contoh adanya sintesis dan asimilasi budaya lain dengan budaya
Hindu).
Bagaimana dengan golongan Bhojaka yang juga disebutkan sebagai pemuja matahari dalam Bhaviûya
Puràóa? Seperti para Maga, mereka juga berasal dari Úakadvìpa. Akan tetapi ada banyak perbedaan antara
Maga dengan Bhojaka.
Para Bhojaka membuat persembahan sehari-hari yang terdiri dari makanan pada Sùrya. Mereka juga
memper-sembahkan dupa, kalung bunga, dan berbagai persembahan lainnya. Mereka mempelajari veda, mandi
tiga kali sehari dan memuja Sùrya sebanyak lima kali sehari dan menolak makanan yang diberikan oleh
golongan úùdra. Seorang Bhojaka harus memakai benang suci Avyaòga setiap saat. Karena dengan memakai
benang suci inilah seorang bhojaka akan mencapai kesucian dan mendapatkan berkah dari dewa Sùrya. Seorang
bhojaka yang tidak memakai benang suci ini akan kehilangan kesuciannya dan tidak diperkenankan untuk
memuja Sùrya. Jika ia menanggalkan benang suci itu, maka kesehatannya tidak akan terjaga dengan baik, tidak
memiliki keturunan, dan tidak akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan surga. Bhaviûya Puràóa
menyatakan bahwa benang suci ini berhubungan dengan semua kitab veda, para dewa, dan semua mahluk yang
ada di bumi ini. Dikatakan bahwa Viûóu berada d dasar benang itu, Brahmà di tengahnya dan Úiva berada di
ujungnya.
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa para bhojaka telah mendapatkan status yang lebih
tinggi dari para Maga. Pengabdian para Bhojaka dijunjung setinggi langit. Sebagaimana seorang istri melayani
suaminya, seorang murid melayani gurunya, demikianlah seorang bhojaka melayani Sùrya. Sebagaimana tidak
ada kitab suci yang melebihi Veda, tidak ada sungai yang mengatai kesucian sungai Gaògà, tidak ada
persembahan yang mengalahkan upacara Àúvamedha, maka demikianlah bagi para Bhojaka, Sùrya adalah dewa
yang tertinggi, sebagaimana tidak ada mahluk yang lebih tinggi dari para Bhojaka, bagi dewa Sùrya. Semua
yang dilakukan oleh para bhojaka hendaknya dianggap sebagai dewa Sùrya sendiri yang telah mela-kukannya.
Tak seorangpun bisa mencapai pembebasan sebelum menjadi seorang bhojaka.
Ini juga berlaku bagi setiap kelahiran seorang bhojaka.
Pangeran Priyavrata adalah putra Svàyambhuva manu dan Priyavrata membangun sebuah kuil untuk
dewa Sùrya di Úakadvìpa. Beliau membuat sebuah patung Sùrya yang terbuat dari emas. Akan tetapi meskipun
telah berusaha sekuat tenaga ia tidak bisa mendapatkan pendeta untuk melakukan puja pada kuil itu. Dan dalam
rasa putus asa yang dalam beliau mulai berdoa pada dewa Sùrya.
Dewa Sùrya berkenan atas doa-doa Priyavrata dan menampakkan diri dihadapan Priyavrata.
“Anugrah apa yang kau minta ?” tanya dewa Sùrya
“Mohon berikanlah hamba anugrah agar ada beberapa pendeta yang akan melakukan puja di kuil ini”
kata Priyavrata.
Dewa Matahari setuju atas permintaan itu. Dan beliau kemudian menciptakan delapan orang suci dari
tubuh beliau sendiri. Dua lahir dari dahi beliau, dua dari tangan, dua dari kaki dan dua dari sinar beliau. Mereka
adalah para Bhojaka yang kemudian berdiam dan memimpin setiap ritual di Úakadvìpa.
Sebuah kuil juga telah dibangun di Kalapriya, di pinggir selatan sungai Yamunà.

YAMA
Kembali kepada kisah tentang Yama yang telah dikutuk menjadi dewa kematian.
Yama memiliki wujud yang menakutkan dengan jenggotnya yang panjang dan kumisnya yang tebal.
Bibirnya bergetar karena murka dan ia memakai kalung bunga yang berwarna merah.
Di istana Yama juga ada para utusan dan pelayan Yama yang bergelar Yamadhùta. Mereka menggunakan
berbagai jenis senjata. Pemimpin dari para pelayan dan pekerja di istana Yama bernama Citragupta. Ia
memegang catatan dari dosa dan pahala yang dilakukan oleh seseorang selama di bumi. Dosa harus dibayar di
tempat yang disebut sebagai neraka dan pahala akan dinikmati di Surga.
Bumi adalah tempat untuk melakukan berbagai jenis perbuatan atau pekerjaan. Hasil dari perbuatan itu
tidak hanya akan dinikmati di bumi namun juga di neraka dan surga. Hanya mereka yang berbuat banyak pahala
yang akan bisa masuk surga dan menikmati berbagai kenikmatan yang ditawarkan disana.
Sebelum pergi ke neraka seorang pendosa akan dibawa untuk menghadap pada Yama terlebih dahulu.
Jalan menuju kesana dipenuhi dengan duri berserakan, jarum, bebatuan, banyak ular berbisa yang berkeliaran,
binatang buas, dan serangga pemakan daging. Para pendosa tidak mendapat tempat berlindung dalam terik
matahari. Mereka juga tidak di berikan makanan dan minuman.
Para pelayan Yama menyeret para pendosa tanpa memperdulikan jerit tangis atau rintihan mereka.
Mereka malah dipukuli dan disiksa oleh para pelayan Yama. Bebatuan yang tajam dan berbagai senjata
dilemparkan pada mereka.
Ketika mereka telah sampai di istana Yama maka mereka dihadapkan pada Yama yang kemudian
menentukan ke neraka mana sang pendosa akan dimasukkan sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Di neraka-
neraka itu mereka diberikan berbagai jenis hukuman dan siksaan. Ada yang dimasukkan ke dalam minyak
mendidih atau dipaksa untuk memeluk pilar besi yang panas membara. Kemudian ada yang dilemparkan ke
dalam lubang yang berisikan kotoran dan air seni. Beberapa pendosa di panah tubuhnya dan ada yang dipotong-
potong dengan pedang yang tajam menjadi beberapa potongan. Mereka tidak mendapat makanan dan minuman.
Kadang ada pendosa yang disuruh berguling di atas pasir yang panas. Kadang mereka juga dilemparkan dari
puncak lembah yang tinggi.
Kegelapan, penuh sesak dan bau busuk memenuhi tempat dimana para pendosa berada. Ada berbagai
jenis hukuman yang diberikan pada para pendosa sesuai dengan dosa yang dilakukannya. Biasanya hukuman
diutamakan pada bagian tubuh yang melakukan dosa. Mungkin dipotong, di rebus, atau di berikan pada binatang
buas. Para Yamadhùta tidak pernah mengeluh merasa iba melakukan tugasnya. Jerit tangis serta rintihan para
pendosa malah akan memba-ngunkan semangatnya untuk melakukan hukuman lebih keras lagi.

TEMPAT SUCI DAN SIMBOL SUCI


Bhaviûya Puràóa juga memiliki bagian yang men-ceritakan tentang tempat suci dan benda-benda suci.
Perbuatan membangun tempat suci juga merupakan perbuatan yang jauh lebih berpahala dibandingkan
dengan membangun fasilitas umum seperti sumur untuk menyimpan air. Mereka yang membangun tempat suci
akan mendapatkan surga setelah meninggal nanti.
Dikatakan bahwa para dewa menyenangi tempat-tempat yang indah seperti di tengah telaga, taman
bunga, pepohonan yang indah, dan tempat dimana bisa didengar suara burung angsa yang berkicau. Oleh karena
itulah, sebuah kuil hendaknya sedemikian rupa diatur agar bisa memberikan suasana yang menyenangkan. Maka
kuil hendaknya dibangun dengan perhatian yang ekstra.
Tidak semua tanah bisa dipakai untuk membangun sebuah kuil. Tanah dimana ada benda-benda seperti
bulu, tulang, batu bara, tumbuhan parasit, semak dan yang sejenis maka tempat seperti itu tidak boleh dipakai
untuk mem-bangun sebuah kuil. Tanah yang subur dimana semua benih bisa tumbuh dengan baik, apalagi jika
tanah itu bersuara jika di tumbuk.
Untuk masing-masing kasta telah ditentukan tanah yang sesuai untuk membangun kuil mereka. Bagi para
Bràhmaóa yang merupakan kasta yang tertinggi maka tanah putih adalah yang sesuai untuk mereka. Bagi kasta
kûatriya, vaiúya dan úùdra secara berurutan hendaknya memilih tanah yang berwarna merah, kuning dan yang
berwarna hitam.
Sebelum membangun sebuah kuil hendaknya diperiksa terlebih dahulu jenis tanahnya. Untuk menguji
jenis tanah itu hendaknya seseorang menggali sebuah lubang ukuran sedang, kemudian tanah di tempat dimana
ia akan mendirikan kuil diambil dengan bagian yang sama, seperti tanah yang diambil untuk membuat lubang
itu. Kemudian tanah itu dimasukkan kedalam lubang tadi dan jika sisanya cukup banyak, termasuk
golongan Uttama. Maka tanah itu termasuk jenis tanah yang bagus untuk membangun kuil. Namun jika tanah
yang tersisa hanya sedikit maka tanah itu adalah jenis menengah (Madhyama) maka kuil bisa dibangun disini
meskipun ini tidak dianjurkan. Namun jika tanah yang dipakai untuk menutupi lubang itu malah kurang, ini
adalah jenis tanah Adhama, maka jangan sekali-kali membangun kuil di tempat itu.
Dalam usaha membangun kuil untuk dewa Sùrya, hendaknya seseorang memberikan perhatian yang
ekstra dalam setiap tahapnya.
Gerbang kuil hendaknya menghadap ke arah timur. Jika ini tidak memungkinkan maka hendaknya
menghadap ke barat. Hendaknya dibangun sebuah tempat permandian suci di arah selatan kuil itu. Dan tempat
untuk melakukan puja memanjang ke utara. Kuil untuk memuja Brahmà, Viûóu, dan Úiva masing-masing
menghadap ke utara, timur dan barat dari kuil untuk memuja dewa Sùrya. Di kuil itu juga harus dibuat tempat-
tempat khusus yang ukurannya lebih kecil untuk memuja dewa-dewa minor. Semua itu hendaknya selalu
melengkapi sebuah kuil dan juga sebuah tempat duduk untuk orang suci atau mereka yang bertugas untuk
membacakan kisah Puràóa.
Persembahan (Arghya) hendaknya dibuat dari dua kopula (mandapa). Disisi kanannya hendaknya dibuat
untuk persembahan pada saat matahari terbit dan di sebelah kirinya hendaknya dibuat untuk persembahan pada
saat matahari terbenam.
Menurut Viúvakarma, arsiteknya para dewa, ada 3000 jenis cara yang bisa digunakan untuk membangun
kuil Meskipun itu semua tidak mungkin untuk disebutkan, namun ada beberapa yang merupakan patokan utama.
: bertingkat banyak dengan beberapa puncak.
ara : bertingkat banyak dengan satu puncak.
sa : bertingkat banyak satu puncak.
nachanda : bertingkat banyak dengan beberapa puncak.
ana : bertingkat banyak tanpa puncak atau tangga.
dra : satu tingkat dengan bentuk bundar.
: satu tingkat dengan bentuk bundar.
: satu tingkat dengan bentuk bundar.
siýha : satu tingkat dan berbentuk bundar.
ma : satu tingkat dan berbentuk seperti bunga teratai.
uða : berbentuk seperti burung garuda.
di : berbentuk seperti seekor lembu.
akuñjara : berbentuk seperti punggung seekor gajah.
aràja : beerbentuk seperti sebuah gua.
sa : berbentuk seperti angsa terbang dengan dasar berbentuk elips.
bhaghaþa : dengan rancangan yang berbentuk seperti sebuah pot.
atobhadra : bertingkat lima dengan bnyak puncak dan dasar yang berbentuk segi empat.
uraúra Vavåkûaþ Catuûkoóa : satu tingkat dengan dasar yang berbentuk segi empat.
ashra : bertingkat satu dengan delapan sisi.
aûasra : bertingkat satu dengan enam belas sisi.
Kemudian disini dijelaskan tentang benda-benda suci khususnya patung. Patung bisa terbuat dari emas
(kañcana), perak (rajata), tembaga (tamra), tanah (påthivì), batu (úailaja), kayu (varkûi), aûþadhatu (bahan
yang berupa logam yang lebih rendah mutunya).
Benda-benda suci seperti patung yang dibuat dengan bahan-bahan tertentu memiliki pahala yang tertentu
pula. Patung yang terbuat dari kayu akan memberikan umur panjang dan kekayaan. Patung yang terbuat dari
tanah akan memberikan kenikmatan duniawi. Patung yang dihiasi dengan permata dan dan batu berharga akan
memberikan kesejahteraan. Patung yang terbuat dari emas akan memberikan kekuatan, terbuat dari perak akan
memberikan nama besar, sedangkan yang terbuat dari tembaga akan memberikan keturunan. Kesenangan
duniawi dan kese-jahteraan adalah hasil yang didapatkan apabila membuat dari bahan batu.
Kayu yang digunakan untuk membuat patung hendaknya di potong dengan penuh perhatian. Sebelum
memotongnya hendaknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli yang mengetahui hari baik untuk hal itu.
Sebelum memotong hendaknya diadakan upacara kecil. Hanya setelah melakukan upacara tertentu maka
seseorang boleh pergi ke hutan untuk memilih kayu yang terbaik. Patung hendaknya tidak dibuat dari kayu yang
merupakan kualitas rendah. Oleh karena itulah seseorang hendaknya tidak memotong kayu yang kecil, kayu
yang tumbuh di kuil atau tempat kremasi, pohon yang didiami banyak burung, kayu yang roboh oleh karena
badai, kayu bekas kebakaran hutan atau yang terbakar oleh petir, atau yang roboh karena ditabrak gajah. Kayu
yang hanya terdiri dari satu atau dua cabang, kayu yang telah kering atau yang lapuk, yang mudah patah, dan
kayu yang mengeluarkan getah, atau madu, minyak atau darah ketika dipotong.
Janis kayu yang merupakan bahan yang baik untuk membuat patung adalah Devadàru (sejenis
cemara), candana (cendana), Bilva (sebuah pohon yang suci untuk
Úiva), amra (mangga), nimba, panasa (nangka) dan raktacandana (cendana merah).

Patung Sùrya hendaknya dibuat seperti dibawah ini.


Patung itu hendaknya berukuran delapa puluh delapan jari (aòguli) wajahnya berukuran duabelas jari,
yang sepertiganya adalah ukuran dagu, dan sisanya adalah untuk hidung dan dahi. Kedua mata harus berukuran
dua jari yang setengahnya adalah ukuran retina. Pupilnya berukuran sepertiga dari retina. Ukuran hidung
hendaknya sama dengan ukuran leher.
Tangan dengan lengan, kaki dengan paha harus seimbang ukurannya. Kaki sepanjang enam aòguli dan
lebarnya adalah ampat jari. Jempol kaki dan kukunya harus berukuran hampir seimbang.
Pundak, dada, paha, alis mata, dahi, hidung dan pipi harus dibuat tegak. Matanya harus tampak bulat dan
besar, bibir merah dan wajah seperti bunga teratai.
Patung itu harus dihiasi dengan permata, anting, kalung bunga, mahkota, dan sebuah benang suci. Beliau
digam-barkan memegang sebuah bunga teratai dan kalung di tangannya.
Patung ang dibuat dari bahan atau wujud yang dibuat tidak seperti persyaratannya, hanya akan membuat
beliau tidak berkenan dan membawa malapetaka bgi pembuatnya. Jika ada salah satu bagian yang cacat atau
kepanjangan maka bahaya akan mengancam kerajaan. Jika ada bagian yang tampak kekecilan maka kerajaan
akan diserang bencana wabah penyakit. Jika patung itu tampak besar pada bagian perut maka kerajaan itu akan
diancam bahaya kelaparan. Dan jika perut beliau tampak kecil maka kemiskinan akan mengancam kerajaan itu.
Perang yang akan terjadi pada negara tersebut ditandai dengan retaknya perut beliau dan kematian atau
kehancuran ditandai dengan hancurnya bagian ini. Jika patung itu tampak bengkok dan bengkok kekanan maka
itu adalah pertanda bahwa umur pemiliknya akan berkurang. Jika bengkok ke kiri maka itu adalah pertanda
bahwa anak yang telah menikah akan bercerai. Jika mata patung itu mendelik keatas maka yang membuatnya
akan buta. Dan jika mendelik ke bawah maka yang membuat patung itu akan mengahadapi banyak masalah.
Oleh karena itulah seseorang harus profesional jika hedak membuat patung dewa.

UPACARA AGAMA
Untuk mendapatkan berkah dari para dewa maka manusia harus melakukan upacara agama (vrata),
berpuasa secara periodik (upavasa) dan menyumbangkan sedekah.
Sebuah vrata adalah sebuah keputusan yang diambil untuk melakukan sebuah tirakat pada jangka waktu
tertentu dan dimulai pada hari tertentu juga.
Sebelum melakukan sebuah vrata, seseorang hen-daknya melakukan upacara atau ritual pendahuluan
sebelum melakukan vrata, ini dimaksudkan untuk menyucikan diri sendiri. Ia harus bangun pada pagi hari dan
membersihkan diri kemudian mempersembahkan sesajen dupa dan makanan pada patung dewa kemudian
memberikan sedekah pada para Bràhmaóa. Pada saat melakukan vrata itu, seseorang hendaknya tidak berbicara
dan mengendalikan diri serta seluruh inderanya.
Vrata sebenarnya berasal dari kebudayaan para åûi dan para dewa. Merekalah yang mengajarkan umat
manusia untuk melakukan vrata agar keinginan mereka bisa tercapai. Kemudian dari mereka yang telah
mendapatkan berbagai hasil dari vrata yang mereka lakukan telah menurunkan kebiasaan itu pada yang lainnya
dan demikianlah seterusnya.
Dan ini kebetulan terjadi pada Úyàmala dalam kisah dibawah ini.

ÚYÀMALA
Di kota Mithila hiduplah seorang wanita yang bernama Ùrmilà. Ùrmilà memiliki seorang putra dan
seorang putri. Karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi mencari nafkah disana maka ia mencoba
keberuntungannya di tempat lain.
Maka Ùrmilà kemudian pergi ke kota Avanti dan mulai kerja di rumah seorang Bràhmaóa.
Pada suatu kesempatan, anak-anaknya sangat lapar dan ia terpaksa harus mencuri beberapa makanan
milik tuannya.
Beberapa waktu berlalu dan putri Ùrmilà yang bernama Úyàmala, tumbuh besar menjadi seorang gadis
yang cantik dan menikah dengan Yama.
Yama memberitahu Úyàmala,” sebagai istriku, kau bisa tinggal dimana saja di rumahku ini. Namun ada
tujuh ruangan yang tidak boleh untuk dimasuki oleh siapapun, termasuk kau. Kamar-kamar itu selalu terkunci,
kau tidak boleh memasukinya. Tidak boleh seorangpun membuka pintu untuk menuju ketujuh ruangan itu.
Sementara itu, karena usianya Ùrmilà akhirnya meninggal.
Sedangkan Úyàmala mengikuti apa yang telah dikatakan oleh Yama untuk beberapa waktu. Ia tidak
pernah memasuki tujuh kamar itu. Akan tetapi keingintahuannya mulai tumbuh.
Maka ia mulai membuka pintu kamar yang terlarang itu, namun apa yang dilihatnya sungguh di luar
dugaannya, dimana ia melihat para pelayan Yama menyeret ibunya ke dalam jambangan minyak yang
mendidih.
Karena tidak sanggup melihat pemandangan itu, maka ia membuka ruangan berikutnya dimana ia
melihat tubuh ibunya sendiri sedang di hancurkan dengan sebuah batu besar.
Úyàmala menutup pintu itu dan membuka pintu kamar berikutnya. Di kamar ini ia melihat paku sedang
ditancapkan pada kepala ibunya.
Pada kamar yang keempat, tubuh Ùrmilà sedang dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan
dagingnya di berikan pada beberapa ekor anjing.
Pemandangan yang sama juga dilihat oleh Úyàmala pada kamar yang ke lima, enam dan yang ketujuh.
Setiap kamar menyajikan pemandangan yang sama dimana ibunya terlihat tersiksa dalam berbagai neraka.
Úyàmala kemudian menghadap pada suaminya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dan
menceritakan shok yang dialaminya atas pemandangan yang baru saja dilihatnya. “Mengapa ibuku disiksa
seperti itu? Apakah dosanya?”
“Kau memang benar-benar tidak taat padaku, aku dengan tegas telah mengatakan bahwa kau tidak boleh
memasuki tujuh kamar itu. Ibumu sedang menjalani hukuman yang merupakan hasil dari perbuatannya dimasa
lalu. Ia pernah mencuri tepung yang merupakan milik seorang Bràhmaóa yang kebetulan adalah majikannya.
Mencuri barang-barang yang menjadi milik seorang Bràhmaóa adalah sebuah dosa besar. Sedangkan telah
menjadi peraturan kami bahwa seseorang yang mencuri barang milik seorang Bràhmaóa harus dihukum
selamanya”
“Aku tidak sanggup melihat ibuku berada di neraka “kata Úyàmala, “mohon katakanlah bagaimana aku
dapat mengurangi hukuman yang didapatkannya, bagaimana aku dapat mengurangi penderitaannya?”
“Dalam kelahiran sebelumnya kau telah melakukan budhàûþami vrata delapan kali” jawab Yama “pahala
yang didapatkan dari melakukan ritual ini masih ada padamu, dan belum habis. Jika kau memberikan pahala itu
pada ibumu maka dia akan terbebas dari neraka”
(Aûþami adalah hari yang ke delapan dalam setiap bulan. Sebuah ritual yang dilakukan pada hari aûþami
ini disebut sebagai aûþami vrata. Jika hari ini kebetulan jatuh pada hari rabu maka itu di sebut
sebagai Buddhàûþami vrata).
Úyàmala kemudian mengikuti saran suaminya. Dan sebagai hasilnya, Ùrmilà tidak hanya dibebaskan
dari neraka dan berbagai siksaannya, namun ia juga mendapatkan sebuah tempat yang abadi di surga dengan
memakai wujud yang baru pula.
Demikianlah hasil dari pelaksanaan Buddhàûþami vrata.

SANG BRÀHMAÓA DAN SANG HANTU


Sungai Vetravati adalah sungai yang mengalir di sepanjang kota Vidiúà.
Pada suatu hari seorang Bràhmaóa kebetulan bertemu dengan seorang hantu yang sedang terkapar di
pesisir sungai Vetravati. Saat itu adalah musim panas dan pasir disana terasa sangat panas. Sang hantu tampak
sedang terpanggang di pesisir sungai itu. Tubuhnya tampak seolah direbus oleh panasnya pasir dan ia menjerit
kepanasan.
Sang Bràhmaóa merasa tergugah hatinya untuk membantu sang hantu, “Mengapa anda disiksa seperti itu
?” tanya sang Bràhmaóa.
“Dalam kelahiran sebelumnya aku adalah seorang vaiúya yang bernama Úailabhadra” jawab sang hantu,
“Aku tinggal di kota Vidiúà. Aku adalah orang kaya dan berhasil memelihara rumah tanggaku dengan baik. Aku
menyimpan semua kekayaanku. Namun aku memiliki keterikatan yang amat besar pada benda-benda itu hingga
aku tidak pernah membantu para Bràhmaóa dengan memberikan sumbangan pada mereka. Aku bahkan tidak
menghormati mereka. Aku juga tidak pernah memuja Tuhan. Aku sama sekali tidak menghormati mereka yang
bukan keluarga atau familiku. Karena aku tidak pernah berbuat baik pada mereka yang bukan keluargaku, maka
setelah meninggal aku dihukum seperti ini. Aku dibiarkan terpanggang seperti ini di pesisir sungai Vetravati.
Aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini lagi. Tolong selamatkanlah aku dari kutukan ini”
Sepuluh tahun yang lalu aku telah melakukan Úukradvàdaúi vrata,” jawab sang Bràhmaóa, “pahala yang
kau dapatkan belum habis sampai sekarang. Aku akan memberikannya padamu agar kau bisa terbebas dari
hukumanmu “
(Dvàdaúi adalah hari yang keduabelas dalam satu bulan dan tirakat yang dilakukan pada hari ini di sebut
sebagai Dvàdaúi vrata. Jika hari itu kebetulan jatuh pada hari jumat maka hari itu disebut
sebagai Shukradvadasi vrata. Selain berpuasa pada hari ini seseorang hendaknya memuja Viûóu)
Setelah mendapatkan pahala yang diberikan oleh sang Bràhmaóa maka hantu itu terbebas dan berhasil
mencapai surga. Demikianlah hebatnya hasil dari melakukan Úukradvàdaúi vrata.

VRATA-VRATA LAINNYA
Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan beberapa vrata yang lainnya, meskipun tidak menyebutkan secara
terperinci tentang keseluruhan ritualnya.
Ubhayadvàdaúi vrata memberikan pahala yang melebihi tìrthayàtrà ke tempat-tempat suci seperti Gayà,
Puûkara, Vàràóasì dan Prayàga.
Dengan melakukan Tilaka vrata dengan ritual pemakaian tilaka (sebuah tanda) pada dahi seseorang
maka musuh dan roh jahat tidak dapat berkutik.
Jàtismara vrata yaitu melakukan tirakat tidak berbicara hingga bula menampakkan diri di langit, pada
malam harinya. Pada saat itu berbagai dewa harus dipuja. Seorang Jàtismara adalah seseorang yang mengetahui
semua kejadian pada kelahiran sebelumnya. Orang yang melakukan vrata ini dengan penuh ketulusan akan
diberikan kekuatan ini.
Untuk mendapatkan pahala seseorang tidak harus selalu melakukan vrata yang dimaksud. Meskipun
hanya dengan membaca dan mengetahui (vidhi) persyaratannya saja maka seseorang juga sudah mendapatkan
sedikit pahalanya. Misalnya, Rasakalyàóì vrata, dimana dewi Pàrvatì harus dimandikan (dalam wujud patung
beliau) dengan mentega murni kemudian dilakukan puja untuk beliau. Orang yang mendengarkan penuturan
dari ritual ini atau mengajak orang lain untuk melakukan hal ini, maka akan mendapat tempat tinggal di alam
dewi Pàrvatì setelah meninggal nanti. Semua dosanya seketika itu juga akan dimaafkan.
Ardranandakari vrata meliputi pemujaan kepada Úiva dan Pàrvatì. Orang yang
mendengarkan Vidhi (persyaratan) dari ritual ini atau mengajak orang lain untuk melakukannya, maka ia akan
mendapat tempat tinggal di kahyangan dewa Indra setelah meninggal nanti.
Orang yang mendengarkan vidhi dari Mandaraúaûþhi vrata akan mendapatkan pembebasan dari dosa-
dosanya.
Demikianlah diantara vrata yang memiliki keampuhan. Akan tetapi vrata yang dilakukan setengah hati
dan dilakukan tidak sesuai dengan prosedurnya hanya akan membawa kemarahan sang dewa. Jika hal ini sampai
terjadi maka kemarahan sang dewa bisa dilunakkan dengan melakukan akhandadvàdaúi vrata. Tirakat ini
meliputi pemujaan Viûóu dengan pesembahan dan pengucapan mantra-mantra Viûóu.
Banyak vrata yang khusus dilakukan oleh para wanita. Contohnya, seorang wanita bisa mendapatkan
pahala sebesar pahala Aúvamedha Yajña jika dia melakukan anantatritìya vrata pada musim dingin. Dalam
melakukan vrata ini dia harus memakai pakaian serba merah, jika doa seorang janda maka dia harus memakai
pakaian kuning, dan mereka yang belum menikah harus memakai pakaian putih. Seorang wanita bisa mencapai
moksa dengan memuja Viûóu dan membuatkan makanan untuk para Bràhmaóa dalam ritual araóyadvàdaúi
vrata.

VRATA YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEWA SÙRYA


Ada beberapa vrata yang secara khusus dikaitkan dengan dewa Sùrya. Beberapa diantaranya.
1) Abhaya pakûa saptami vrata : Saptami adalah hari ketujuh dalam satu bulan dan pada hari inilah vrata ini harus
dilakukan. Yang dipuja adalah dewa Sùrya dan juga disertai dengan ritual memberi makan para Bràhmaóa dan
orang suci pada musim dingin dalam bulan Pouûa. Pahala dari pelaksaaan vrata ini adalah tercapainya empat
tujuan hidup manusia yaitu Dharma (kebajikan), Artha (keka-yaan), Kàma (keinginan)
danMokûa (pembebasan).
2) Abhaya saptami vrata : Úuklapakûa adalah perioda dua mingguan dimana sinar bulan ber-tambah besar dan ritual
ini dilak-sanakan dalam bulan Úravaóà. Sebagai hasilnya maka orang yang mela-kukannya akan mendapatkan
tempat di kahyangan dewa Sùrya setelah meninggal nanti.
3) Ananta saptami vrata : vrata ini dilaksanakan pada penanggalan bulan yang disebut sebagai Úuklabhàdrapada. Ini
jatuh pada perioda Úuklapakûa dimana bintang Bhàdrapada tampak di langit. Dan hasilnya adalah seseorang
akan mendapat tinggal di kahyangan dewa Sùrya (Sùryaloka) setelah meninggal nanti.
4) Bhadra vrata : Dalam vrata ini patung dewa Sùrya harus dimandikan dengan mentega murni kemudian dipuja
sebagaimana mestinya. Pada hari ini seseorang tidak boleh tidur siang dan tidak boleh bergaul dengan orang
atau lingkungan jahat. Pahalanya juga tinggal di Sùryaloka.
5) Kamata saptami vrata : penjelasan secara mendetail tentang vrata ini tidak diberikan namun ritual ni dilakukan
pada hari saptami.
6) Kamala ûaûþhi vrata : penjelasan secara mendetail tidak diberikan namun ritual ini biasanya dilakukan pada hari
keenam setiap bulannya.
7) Mahàsaptami vrata : penjelasan yang lebih mendetail tidak diterangkan namun ritual ini dilakukan pada hari yang
ketujuh dalam setiap bulan.
8) Mahàjaya saptami vrata : Penjelasan selain pelak-sanaannya yang biasanya dilakukan pada hari yang ketujuh tidak
dijelaskan disini.
9) Maheúvetàdityavana vrata : tidak ada penjelasan khusus tentang ritual ini.
10) Màrtàóða saptami vrata : tidak ada penjelasan tentang ritual ini, meskipun upacara ni dilakukan pada hari ke
tujuh. Màrtàóða adalah nama lain dari dewa Sùrya.
11) Ubhaya saptami vrata : ritual ini dilakukan pada hari saptami, dan penjelasan lebih lanjut tidak terdapat
didalamnya.
12) Durgàndha naúana vrata : ritual ini memungkinkan seseorang membasmi penyakit yang terdapat dalam
tubuhnya. Pohon-pohon yang menjadi favorit dewa Sùrya harus dipuja pada hari khusus yang disebut Jyeûþha
Úukla. Ini jatuh pada Úuklapakûa bulan Jyeûþha. (Terjadi pada sekitar bulan Juni)
13) Hådayàdityavana vrata : dalam vrata ini, pemujaan pada dewa Sùrya tidak terlalu khusus. Dan pahalanya adalah
pemenuhan segala keperluan duniawi.
14) Jaya vrata : tidak ada penjelasan lebih lanjut.
15) Jaya saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami dan tidak diberikan penjelasan lebih lanjut.
16) Kàmapradàdityana vrata : ini meliputi pemujaan kepada Sùrya dan memberikan pemenuhan segala keinginan
duniawi.
17) Kàmada vrata : Ini juga meliputi ritual pemujaan kepada dewa Sùrya dan memung-kinkan seseorang untuk
mendapatkan keinginannya sebagai hasil dari pelaksanannya.
18) Mandara ûaûþhi vrata : Ritual ini dilaksanakan pada hari keenam pada setiap bulannya dalam perioda
Úuklapakûa dan pada bulan Margaúira. Dewa Sùrya dipuja dengan menggunakan bunga dari pohon Mandara.
Jika ritual ini di-lakukan dengan baik maka ia akan dipastikan akan lahir dalam keluarga yang baik pada
kelahiran berikutnya.
19) Nanda saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami dan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini.
20) Narijana vrata : vrata ini memberikan pahala ter-capainya surga oleh mereka yang melakukannya.
21) Nikûubhàrka vrata : Ini juga memberikan surga pada mereka yang melakukannya.
22) Úarkara saptami vrata : Ini dilakukan pada hari saptami pada bulan Aúvina. Mereka yang melakukan upacara ini
melakukan permandian susu dan berpakaian serba putih. Dewa Sùrya harus dipuja dan melakukan ritual
memberimakan pada orang suci dan sedekah pada para Bràhmaóa.
23) Sarvartha saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda Kåûóapakûa (perioda dua mingguan dimana bulan mulai
berkurang sinarnya), pada bulan Margaúirûa. Yang melakukannya tidak boleh memakan-makanan yang terbuat
dari minyak dan garam, memuja Sùrya dan mem-berikan sedekah pada para Bràhmaóa. Ini menuntun seseorang
pada pen-capaian surga.
24) Trivarga saptami vrata : Ini dilakukan pada perioda Úuklapakûa pada bulan Phalguna. Ini akan menghindarkan
seseorang dari pengaruh-pengaruh orang jahat.
25) Pàpànaúini saptami vrata : Orang yang melakukan puja Sùrya pada ritual ini akan terbebaskan dari segala dosa.
26) Bhàdrapada Úuklapakûa vrata : Ini adalah ritual yang diperuntukkan bagi orang miskin yang ingin menjadi kaya.
Ini meliputi pengendalian semua indera, angkara dan memuja Sùrya, Vrata ini dilakukan pada perioda
Úuklapakûa saat nakûatra Bhàdrapada nampak dilangit.
27) Rahasya saptami vrata : Pada hari saptami, seseorang memuja dewa matahari, menghindari makanan berminyak,
pakaian biru, dan segala jenis daging. Jika ini berhasil dilakukan dengan baik maka seseorang akan
mendapatkan segala keinginan duniawinya.
28) Ratha saptami vrata : Vrata ini dilakukan pada hari saptami pada perioda Úuklapakûa pada bulan Marghaúirûa.
Dewa Sùrya dan ekreta kesayangan beliau harus dipuja. Para Bràhmaóa diberikan sedekah dan makanan. Ritual
ini memungkinkan seseorang untuk mencapai kedudukan dan golongan yang lebih tinggi pada kelahiran
berikutnya.
29) Saýkranti vrata : vrata ini memastikan umur panjang, kesehatan yang baik. Dewa Sùrya harus dipuja, Bràhmaóa
diberikan sedekah dan makanan.
30) Rogaharàdityavana vrata : Yang hendak melakukan ritual ini hendaknya hanya meminum susu, dan tidur diatas
tanah dan memuja Sùrya dengan berbagai jenis bunga. Jaminan dari pelaksanan vrata ini adalah kesembuhan
dari segala jenis penyakit.
31) Saptami vrata : Ini memerlukan puja pada Sùrya selama tujuh hari dalam setiap bulannya. Dan berkhasiat untuk
menyembuhkan segala penyakit.
32) Sùrya vrata : Ini juga berkhasiat untuk menghi-langkan segala jenis penyakit dan hanya memerlukan pemujaan
yang sederhana saja.
33) Siddha ratha saptami vrata : Melalui pemujaan kepada Sùrya, maka vrata ini memberikan kemenangan pada
yang melaku-kannya.
(Dari keterangan diatas dapat kita perhatikan bahwa semua vrata itu kebanyakan dilakukan pada hari
yang ketujuh dalam setiap bulannya dan dalam perioda Úuklapakûa)

VRATA YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEWA YANG LAIN.


Vrata yang berhubungan dengan pemujaan kepada dewa lain selain Sùrya juga dijelaskan dalam
Bhaviûya Puràóa. Beberapa diantaranya adalah :
1. Ananta caturdaúi vrata : Caturdaúi vrata adalah hari keempatbelas dalam setiap bulan. Pada hari ni, patung dewa
Viûóu harus dimandikan dengan menggunakan mentega murni kemudian diadakan pemujaan kepada beliau. Ini
me-mungkinkan seseorang mendapatkan keturunan yang banyak. Dalam bentuk lain dari vrata ini, ia juga bisa
memuja Úiva dalam perioda Úuklapakûa ketika nakûatranya adalah Bhàdrapada ada di langit. Ini menuntun
seseorang pada pencapaian segala keinginan.
2. Bhìûmapañcaka vrata : Ini dilakukan pada bulan Karttika pada perioda Úuklapakûa. Minuman keras, daging dan
wanita serta lingkungan yang buruk harus dihindari pada hari ini. Seseorang harus memuja Viûóu. Vrata ini
diakukan untuk menebus dosa membunuh seorang Bràhmaóa.
3. Aúoka vrata : Saat ini seseorang harus memuja pohon Aúoka untuk menghilangkan segala kesedihan (úoka).
4. Goûapada tritìya vrata : Ini dilakukan pada tritìya (hari ketiga pada setiap dua mingguan) dalam periode
Úuklapakûa, saat nakshatra Bhàdrapada sedang ada di langit. Sapi-sapi dipuja, semua makanan yang dimasak
dengan minyak dan garam harus dihindari. Ini memungkinkan seseorang untuk bisa memasuki
alam Goloka. Goloka adalah sebenarnya berarti tempat tinggal sapi, yang diidentikkan dengan Kåûóa yang juga
adalah Viûóu sendiri, jadi Goloka tiada lain dalah tempat tinggal Viûóu)
5. Govatsa Dvàdaúi vrata : seekor sapi dan anaknya harus dipuja pada saat ini, dalam periode Kåûóapakûa selama
bulan Karttika. Pada saat ini seseorang harus menghindari melakukan hubungan sex dan harus tidur dilantai.
Vrata ini juga memungkinkan seseorang untuk mencapai alam Goloka.
6. Govinda Dvàdaúi vrata : Ini dilakukan pada pada hari yang ke duabelas pada setiap bulannya, dalam periode
Úuklapakûa pada bulan Pouûa. Sapi diberi makan, dan orang yang melakukan ritual ini hanya meminum susu
dan menghindari penggunaan garam.
7. Kukkuþi vrata : dalam vrata ini Úiva dan Pàrvatì harus dipuja ketika nakûatra Bhàdrapada sedang berada di
langit. Jika seseorang menyertakan penggunaan benang suci pada upacara ini maka kematian bayi yang
prematur bisa dihindari.
8. Madhuka Tritìya vrata : ini dilakukan pada hari yang ketiga dalam setiap bulan Bhàdrapada. Yang melakukan
harus memuja dewa Gouri dan pohon madhuka ntuk bisa mendapatkan seorang anak.
9. Nàga pañcami vrata : pada pañcami (hari yang kelima), ia juga harus memandikan sebuah patung ular yang
melambangkan raja para ular dalam susu dan memujanya untuk mendapatkan perlindungan dari gigitan ular.
10. Ulka dvàdaúi vrata : vrata ini dilakukan pada hari yang kedua belas pada bulan Marghaúirûa. Pada saat ini Viûóu
dipuja untuk penyembuhan cacat seperti kebutaan dan tidak mendengar atau penyakit seperti lepra.
11. Vinàyaka caturthi vrata ; pada hari yang keempat dalam setiap bulan seseorang harus memuja Vinàyaka
(Gaóeúa). Ia harus membuat persembahan berupa biji wijen dan memberikan persembahan pada dewa Agni.
Vrata ini memberikan efek penghancuran terhadap segala kesulitan dan halangan.
12. Úànti vrata : vrata ini melibatkan pemujaan kepada Nàràyaóa dalam periode Úuklapakûa pada bulan Karttika.
Sebagai tam-bahannya, ia harus melakukan tirakat untuk tidak memakan makanan yang asam selama satu tahun.
Vrata ini memungkinkannya untuk menghar-moniskan hubungan keluarga.
13. Sarasvatì vrata : yang hendak melakukannya harus berpuasa secara periodik selama tiga belas bulan dan memuja
Sarasvatì, dewi kebijaksanaan. Pelaksanaan vrata ini memungkinkan seseorang untuk menjadi cerdas dan
terpelajar.
14. Aúùnyaúayana vrata : yang hendak melakukannya harus melakukan puasa secara periodik selama empat bulan
dan menyembah berbagai dewa dengan persembahan yang berupa buah-buahan musiman. Vrata ini
memungkinkan sebuah pasangan akan menjadi abadi.
15. Aviyoga tritìya vrata : vrata ini juga menjamin keharmonisan hubungan keluarga dan dilakukan pada hari ketiga
pada periode Úuklapakûa dalam bulan Marghaúirûa. Berbagai dewa harus dipuja pada pelaksanaan vrata ini.
16. Vàtasavitri vrata : Diawali pada hari yang ketigabelas, saat nakûatra Bhàdrapada sedang ada di langit, maka ia
harus melakukan puasa selama tiga hari dan men-ceritakan kisah Sàvitrì dan Satyavana. (kisah ini bisa
didapatkan dalam Puràóa lain, atau dalam Mahàbhàrata. Suami Sàvitrì yang bernama Satyavana telah
meninggal. Dalam hal ini Sàvitrì telah berhasil meyakinkan Yama dengan ketulusan hatinya untuk
menghidupkan kembali suaminya yang telah meninggal) Pelaksanaan vrata ini menghasilkan keharmonisan
dalam hubungan keluarga.
17. Yama vrata : dewa Yama dipuja untuk mendapatkan segala keinginan duniawi.

SUMBANGAN SEDEKAH
Sebagai tambahan dari pelaksanaan vrata, Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan banyak referensi tentang
sumbangan dan sedekah (dàna).
Kekayaan yang disumbangkan tidak akan pernah sia-sia. Apalagi kekayaan material tidak akan berguna
jika kematian telah menjemput seseorang. Oleh karena itulah adalah tindakan yang terbaik jika kekayaan itu di-
sumbangkan. Penggunaan yang terbaik dari kekayaan adalah dengan menyumbangkannya. Badan yang sehat
dan kuat serta umur yang panjang tidak akan ada gunanya jika tidak digunakan untuk membantu orang yang
membutuhkannya. Orang yang tidak menyumbangkan emas, pakaian, makanan dan minuman pada para
Bràhmaóa, kutukan dan ketidak-beruntungan akan menunggunya. Mereka akan lahir dalam keadaan
berpenyakitan, miskin dan menjadi pengemis dalam setiap kelahirannya.
Lebih jauh lagi, sebuah dakûióa (biaya) harus diberikan ketika hendak memberikan sumbangan tertentu.
Dalam setiap upacara agama, Yajña (persembahan), dàna (sedekah, sumbangan) dan vrata (tirakat tertentu)
serta dakûióa selalu dilibatkan. Karena kalau tidak maka upacara seperti itu tidak akan sempurna atau lengkap.
Untuk melakukan sebuah Yajña maka seseorang harus menyeimbangkan delapan keping emas atau tujuh keping
perak. Dakûióa yang disertai dengan sumbangan sebuah kebun harus disertai dengan emas dua keping,
sedangkan sumbangan sebuah sumur penampungan air harus disertai dengan uang emas setengah keping.
Beberapa bentuk sumbangan yang utama adalah sebagai berikut:

1. Godana : seekor sapi yang sehat dan anaknya disumbangkan kepada seorang yang terpelajar dan Bràhmaóa
miskin untuk menjamin seseorang bisa mendapat surga selama batas waktu yang tidak terbatas.
2. Våûabha dàna : sebuah sapi jantan disumbangkan, untuk membersihkan dosa selama tujuh turunan.
3. Mahiûì dàna : sebuah sapi betina (Mahiûì) yang menghasilkan susu harus disum-bangkan. Maka ini akan
menghasilkan pemenuhan keinginan duniawi.
4. Bhùmì dàna : sumbangan berupa tanah yang akan memberikan penghapusan segala dosa.
5. Halapamkti dàna : sebuah cangkul yang dihiasi dengan berbagai permata dan emas, empat-puluh sapi yang
dideretkan dengan cangkul tadi. Ini kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa untuk mendapatkan
pahala menda-patkan surga selama tujuh turunan.
6. Apaka dàna : seribu jenis peralatan disumbangkan untuk mendapatkan keturunan, pelayan dan kekayaan.
7. Gåhadàna : sebuah rumah yang dihiasi dengan baik, ini akan memungkinkan sese-orang untuk tinggal di
kahyangan Úiva.
8. Anna dàna : Makanan (anna) disumbangkan pada mereka yang membutuhkannya. Ini akan memungkinkan
seseorang untuk bisa tinggal di alam Viûóu.
9. Sthali dàna : sebuah piringan perak atau tanah yang dipenuhi dengan makanan dan benda sumbangan lainnya
untuk disum-bangkan. Ini akan membuatnya tidak akan pernah kehabisan makanan.
10. Úayya dàna : sumbangan yang berupa tempat tidur pada seorang Bràhmaóa. Ini akan menuntun seseorang pada
pencapaian surga.
11. Prapà dàna : prapà adalah sebuah tempat air yang bisa digunakan oleh para pengembara. Ini biasanya dibangun
pada jalan yang biasa dilalui oleh para pengembara atau di bawah sebuah pohon. Penam-pungan air itu harus
dilengkapi beberapa lubang air yang dijaga oleh seorang Bràhmaóa. Ini adalah sum-bangan yang akan
membawa sese-orang pada pencapaian surga.
12. Agniûþika dàna : biasanya pada musim dingin, sebuah perapian dinyalakan pada pagi hari dan malam harinya
untuk mendi-nginkan tubuh dan menyumbangkan sebuah perapian akan memberikan pencapaian keinginan pada
seseorang.
13. Dàsi dàna : seorang pelayan wanita (dàsi), diberikan pada seorang Bràhmaóa, pelayan ini dihias dengan
berbagai permata dan pakaian sutra. Seorang yang memberikan sumbangan seperti itu akan dilayani oleh
seorang apsara dari surga.
14. Vidyà dàna : Ini adalah sumbangan pengetahuan yang berupa buku, pena emas, atau tinta yang tempatnya
terbuat dari perak pada seorang Bràhmaóa akan me-nuntun seseorang menuju surga.
15. Hiraóyagarbha dàna : Mereka yang kelaparan, diberi makanan, dan sebuah patung dewa disumbangkan pada
seorang Bràh-maóa. Ini juga menjamin tiket menuju surga.
16. Brahmàóða dàna : Sebuah telur buatan yang terbuat dari emas disiapkan dan sebuah patung Brahmà, Viûóu dan
Úiva ditempatkan pada telur itu. Kemudian telur itu disumbangkan pada seorang Bràh-maóa bersama jagung,
sepatu dan sebuah payung. Ini akan mengha-puskan segala dosa dan memberikan pemenuhan atas segala
keinginan seorang.
17. Kalpavåkûa dàna : sebuah pohon kecil buatan yang terbuat dari emas yang buahnya juga terbuat dari emas
kemudian disum-bangkan pada seorang Bràhmaóa. Jaminannya adalah seseorang akan mendapat tempat di
kahyangan dewa Sùrya dan dilayani oleh para apsara.
18. Saptasàgara dàna : garam, susu, jaggery dan gula disumbangkan pada seorang Bràh-maóa untuk menghapuskan
dosa-dosa.
19. Dhànya parvata dàna : setumpukan bahan makanan, jaggery, emas dan mentega murni disumbangkan pada
seorang Bràhmaóa.
20. Tulàpuruûa dàna : sebuah timbangan digunakan untuk mengukur sumbangan ini. Orang yang menyumbang
diletakkan pada salah satu timbangan, sedangkan tepung, bahan makanan, garam, perak, dan emas diletakkan
ditimbangan sebe-lahnya, dan timbangan ini harus seimbang. Inilah yang menentukan apa yang harus
disumbangkan. Se-tengah dari sumbangan ini diserahkan pada para Bràhmaóa, seperempat pada para pendeta,
yang memimpin upacara itu, dan seperempatnya lagi diberikan pada mereka yang membutuhkannya. Ini akan
membawa seseorang pada kahyangan dewa Sùrya.

KASTA
Dalam setiap Puràóa selalu ada pembahasan tentang kasta, dengan golongan masyarakat yang dibagi
menjadi empat yaitu Bràhmaóa, kûatriya, vaiúya dan úùdra.
Sistem kasta, sebagaimana yang dijelaskan dalam Bhaviûya Puràóa tampak tidak terlalu kaku jika
dibandingkan dengan Puràóa-Puràóa lainnya.
Bràhmaóa adalah mereka yang memuja Brahmà, Kûatriya adalah mereka yang bertugas untuk menahan
serangan musuh, vaiúya adalah mereka yang bertugas untuk mengembangkan perdagangan, dan úùdra adalah
mereka yang tidak boleh mempelajari kitab suci.
Setiap orang harus mengelompokkan diri mereka menjadi empat kelas kasta sesuai dengan perbuatan
mereka, kualitas, kedudukan dan asal mereka. Mengendalikan diri, mengejar pengetahuan tentang Tuhan, dan
menghormati para dewa adalah tugas para Bràhmaóa. Keperwiraan, urusan perang, kegiatan beladiri adalah
pekerjaan para Kûatriya,. Perdagangan, peternakan, dan perdagangan adalah tugas para vaiúya. Mereka yang
bersifat rendah dan bertenaga kurang adalah golongan úùdra.
Para Bràhmaóa harus mempelajari kitab suci, mengajar, melakukan persembahan dan mengajak yang
lain untuk melakukan hal itu, menyumbangkan sedekah dan menerima sumbangan. Dengan mengijinkan
seorang Bràhmaóa mendapatkan makanan tanpa terlebih dahulu mempelajari kitab suci dan melakukan berbagai
tirakat akan merupakan sebuah kekeliruan. Seorang raja harus meng-hukum orang yang membiarkan hal itu
terjadi dalam sebuah desa. Para Kûatriya juga harus mempelajari kitab suci, melindungi penduduk dengan
mengangkat senjata. Dan dengan sukarela menyumbangkan sedekah pada yang membutuhkan. Para vaiúya juga
harus mempelajari kitab suci, mengembangkan peternakan, pertanian dan perdagangan. Sedangkan para úùdra
bertugas untuk melayani yang lainnya.
Akan tetapi Bhaviûya Puràóa menekankan bahwa kelahiran dalam keluarga tertentu bukanlah jaminan
seseorang menjadi kasta yang dimaksud. Kitab ini juga memberikan contoh seperti åûi Paràúara, Úukadeva,
Vasiûþha, Mandapàla dan yang lainnya yang telah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dari kedudukan
mereka sebelumnya karena ketinggian pencapaian spiritualnya. Akan tetapi kitab ini juga menyebutkan bahwa
seorang caóðàla atau seorang úùdra bagaimanapun ia berusaha mempelajari veda, dengan usaha keras atau pergi
ketempat tertentu, negara tertentu, jika hanya dengan mempelajari kitab suci saja, maka mereka tidak akan
pernah bisa menjadi seorang Bràhmaóa.
Hanya tingkah laku seseorang - bukan dengan mempelajari kitab suci atau melakukan ritual tertentu -
yang menentukan seseorang layak untuk menjadi seorang Bràhmaóa dalam arti yang sebenarnya. Memang
benar bahwa tugas seorang Bràhmaóa adalah mempelajari kitab suci Veda, namun yang menentukan apakah ia
seorang Bràhmaóa atau tidak adalah karakternya. Karena veda tidak akan bisa menyelamatkan orang yang telah
melenceng dari ajaran kebaikan. Seorang Bràhmaóa yang telah mempelajari empat veda secara fasih tidak akan
sempurna jika ia meninggalkan karakter yang baik.
Kemudian Bhaviûya Puràóa menyebutkan bahwa antara seorang Bràhmaóa dan seorang úùdra berbeda
hanya dalam nama saja. Tidak ada perbedaan baik dari segi spiritual maupun eksternal antara keduanya sejauh
dalam hubungan pelaksanaan ritual agama. Seorang úùdra tidak dilarang untuk memakai benang suci dan juga
tidak dilarang dalam berdoa.
Pelaksanaan saýskàra seperti itu tidak ada artinya samasekali, dan antara Bràhmaóa dan úùdra, tidak ada
perbedaan sejauh bidang ini yang dimaksudkan. Pelaksanaan upacara seperti itu tidak akan menyucikan
seseorang yang berkarakter buruk.
Akan tetapi Bhaviûya Puràóa melarang kegiatan tertentu untuk dilakukan oleh seorang Bràhmaóa yang
benar-benar ingin menjadi Bràhmaóa dalam arti yang sesung-guhnya. Seorang Bràhmaóa yang
menggembalakan sapi, kambing, domba atau yang menjadi pelayan, penjaga toko, menjadi tukang besi, maka
mereka tidak lagi menyandang gelar seorang Bràhmaóa. Mereka dinyatakan telah kehilangan kelas atau kasta
mereka. Selain itu, ada makanan tertentu yang juga dilarang bagi seorang Bràhmaóa. Mereka samasekali tidak
boleh memakan atau menjual daging, bawang putih, bawang merah, meminum minuman beralkohol atau susu
unta. Mereka tidak boleh menerima makanan yang disajikan pada saat ada upacara kematian atau kelahiran bayi.
Jenis makanan dan pekerjaan seseorang menentukan kastanya.
Disamping itu, sebuah kasta bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah sama sekali. Seorang
úùdra bisa menjadi seorang Bràhmaóa dan sebaliknya. Seorang Kûatriya juga bisa menjadi seorang vaiúya dan
sebaliknya. Dan kekuatan yang bisa didapatkan oleh seorang Bràhmaóa dalam doa dan mantra yang
diucapkannya juga bisa didapatkan oleh seorang úùdra. Setelah melakukan tirakat dan disiplin rohani tertentu
maka seorang úùdra juga bisa mendapatkan kekuatan untuk mengutuk. Tidak seorangpun yang bisa
mendapatkan kedudukan sebagai kasta tertentu tanpa mempertahankan apa yang telah menjadi persyaratan dan
tugas yang telah ditentukan bagi kastanya.
Meskipun telah melakukan semua upacara suci (saýskàra), orang yang bertabiat buruk, seperti seorang
pencuri, pembohong, penipu, atau mereka yang membunuh Bràhmaóa, pasti akan masuk neraka. Orang yang
memiliki karakter baik meskipun ia tidak melakukan perbuatan upacara suci adalah seorang bràhmaóa yang
terbaik.
Bhaviûya Puràóa juga mengkritik adanya pendapat bahwa seorang Bràhmaóa adalah mereka yang
berkulit putih, Kûatriya berkulit kemerahan seperti bunga Khingûuka , vaiúya berkulit kekuningan
seperti haritala dan úùdra berkulit hitam seperti arang. Sebuah kasta tidak ada hubungannya dengan warna kulit.
Bhaviûya Puràóa juga mempertanyakan dasar pemikiran dari pengelompokan kasta itu. Seperti anak-
anak yang berasal dari satu ayah, seperti buah yang berasal dari satu pohon, maka para Bràhmaóa, Kûatriya,
vaiúya dan úùdra juga berasal dari satu sumber juga. Mereka tidak bisa dibedakan hanya dari perbedaan phisik
seperti warna kulit dan sebagainya. Seekor kuda, atau sapi bisa kita pisahkan dari sesamanya, namun tidak
demikian halnya dengan seorang Bràhmaóa dengan seorang úùdra.
(Semua ini memperlihatkan bahwa Bhaviûya Puràóa telah memberikan ide baru yang lebih segar tentang
adanya sistem kasta itu, barangkali ini karena adanya sedikit pengaruh luar yang diadaptasikan dengan
ajarannya. Kitab ini penting untuk menelusuri adanya sistem kasta dalam kebudayaan India. Penyerapan dan
adaptasi kebudayaan telah mengubah perbedaan warna kulit yang telah menjadi polemik pada masa masuknya
bangsa Àrya ke India. Kemudian adanya persepsi Budhisme yang menyatakan bahwa pembagian kasta itu tidak
ada artinya sama sekali juga telah memberikan kontribusi pada perubahan itu)
Bhaviûya Puràóa juga menyatakan bahwa populasi penduduk di Úàkadvìpa dibagi menjadi empat kelas
yaitu Maga, Magaga, Ganaga dan Mandaga atau Mandhaba. Ini ada kaitannya dengan pembagian empat kasta
dalam kebudayaan India.
[Di Iran, tempat dimana para Bràhmaóa Màgha berasal, memiliki empat lapisan masyarakat (piûtra)
yaitu athrava (pendeta), kathaestha (prajurit), vastriya (pemimpin keluarga) dan huiti (pekerja)]
Ada peraturan yang amat ketat dalam usaha seseorang untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dari
kedudukan asal mereka. Namun disana juga ada kebebasan untuk pindah dari satu kelas atau golongan ke
golongan yang lain.
Penjelasan tentang hal ini bisa kita lihat pada penjelasan tentang Úàkadvìpa.

MASALAH PENDIDIKAN
Seorang siswa mendapatkan pendidikan dari gurunya setelah melayani beliau dengan penuh pengabdian,
sebagaimana seorang yang menggali sumur untuk men-dapatkan air. Setelah selesai menuntut Ilmu, maka
seorang siswa berkewajiban untuk menyenangkan gurunya dengan memberikan persembahan baik berupa tanah,
emas, sebuah payung, sandal, pakaian, bahan makanan dan benda lain yang sekiranya bermanfaat untuk sang
guru. Ini disebut sebagai Dakûióa, dimana tanpa melakukan hal ini maka Ilmu yang didapatkan dari seorang
guru dianggap tidak sah.
Seorang guru yang mengetahui makna sejati dari mantra Gàyatrì dan mengabdi pada hukum adalah guru
yang terbaik. Seorang Bràhmaóa yang tidak memenuhi ke-wajibannya untuk mengajarkan pengetahuan agama
dianggap telah kehilangan kedudukannya dalam masyarakat.
Disebutkan ada lima tingkatan guru sesuai dengan penjelasan berikut ini,
1. Àcàrya : Ini adalah guru yang mengajarkan rahasia pengetahuan dari veda (kalpa rahasya)

2. Upadhyàya : Ini adalah guru yang mengajarkan ajaran veda yang berhubungan dengan cara untuk mencari
nafkah.

3. Guru : adalah orang yang di tempatnya seorang siswa tinggal dan menjadi bagian dari rumah tangga sang guru.
Sang guru menyediakan tempat tinggal bagi mereka dan mengajarkan segala jenis ritual pada mereka.

4. Åtvija : Ini adalah mereka yang mengambil peran sebagai pelaksana atau pe-mimpin upacara persembahan.

5. Mahàguru : ini adalah guru yang tertinggi dari semua guru dan harus dihormati oleh siapapun juga. Pelajaran
yang di-berikannya hanyalah pengucapan nama Tuhan, namun beliau sangat mahir dalam segala
pengetahuan Itihàsa seperti Ràmàyaóa, Mahà-bhàrata dan delapan belas Puràóa dan kebudayaan Sùrya, Viûóu
dan Úiva.
UPAH
Seorang buruh atau pekerja harus diberikan upah sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.
Satuan upah yang terkecil adalah satu varàþa. Duapuluh varàþa menjadi satu Kakini dan ada empat
kakini dalam satu pana. Maka dengan demikian ada delapan puluh varàþa dalam satu pana.
Bhaviûya menyediakan daftar upah yang sesuai sesuai dengan pekerjaan mereka (disesuaikan pada
jamannya)

óa

10 kàkióì
0 kàkióì
10 kàkióì

aóa
wanita : 1 paóa
tanian) : 2 paóa dan 10 varàþa.
paóa
rempah : 1 paóa
paóa dan 10 varàþa
óa
paóa

aóa ter-gantung banyaknya pakaian dan ketebalan kain atau jika dibu-tuhkan dengan segera.

WANITA DAN PERNIKAHAN


Menurut Bhaviûya Puràóa, wanita harus cepat-cepat dinikahkan.
Seorang anak yang berusia tujuh tahun biasa disebut sebagai gourì, yang berusia sepuluh tahun disebut
sebagai nagnikà, seorang yang berusia duabelas tahun disebut sebagai kanyakà dan yang berusia lebih dari
duabelas tahun disebut sebagai rajasvala.
Usia yang terbaik bagi seorang anak gadis untuk menikah adalah usia tujuh pada saat anak itu menginjak
usia gourì, pilihan yang kedua adalah nagnikà. Pilihan yang terbaik ketiga adalah kanyakà.
Sedangkan rajasvala adalah usia yang paling buruk untuk menikah.
Ada delapan jenis pernikahan sebagaimana yang disebutkan dibawah ini:
1. Brahmà : dalam bentuk perkawinan ini, seorang mempelai wanita yang telah dihias dengan berbagai perhiasan
berharga dan permata dinikahkan kepada seorang mempelai laki-laki yang berasal dari keluarga yang terhormat
dan sengaja diundang untuk tujuan ini.
2. Daiva : seorang mempelai wanita yang telah dihias dengan perhiasan permata diberikan pada seorang mempelai
laki-laki yang memiliki karakter yang baik, dan upacara pernikahan itu berlangsung di hadapan pendeta melalui
sebuah upacara per-kawinan.
3. Àrûa : pernikahan dimana ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya pada mempelai laki-laki setelah
melakukan upacara yang ditentukan dan setelah memberikan mas kawin yang berupa seekor sapi atau banteng.
4. Prajàpatya : ayah dari mempelai wanita memberikan putrinya pada mempelai laki-laki sambil memberikan
petunjuk agar pasangan itu senantiasa selalu melaksanakan kewajiban beragama.
5. Àsura : orang tua atau famili dari mempelai wanita menyerahkan putrinya setelah men-dapatkan uang pengganti
dari pihak laki-laki sebagai pengganti anak perem-puannya.
6. Gandharva : seorang pemuda dan pemudi saling jatuh cinta dan mereka kemudian menikah.
7. Ràkûasa : mempelai laki-laki menculik mempelai wanita kemudian menikahinya.
8. Paiúaca : mempelai laki-laki menculik mempelai wanita dan menikahinya, dalam hal ini penculikan yang
dilakukan adalah secara paksa ataupun menipu tanpa persetujuan dari mempelai wanita, jadi disini terdapat
perbedaan yang jelas dengan pernikahan jenis ràkûasa.

Akan tetapi tipe pernikahan yang dianjurkan adalah brahma, daiva dan àrûa. Anak-anak yang lahir dari
perkawinan jenis ini akan sangat membantu menyelamatkan leluhur mereka.
(Bhaviûya Puràóa juga menyebutkan bahwa seorang istri adalah sebagian dari tubuh suaminya. Oleh
karena itulah sebuah rumah tangga dimana seorang wanita tidak dihormati akan segera hancur. Demikian juga
sebaliknya jika dalam sebuah rumah tangga, wanita dihormati maka keluarga itu akan senantiasa mendapatkan
berkah dari para dewa. Akan tetapi ciri utama seorang wanita adalah kesetiaannya pada suaminya).
Apakah yang harus dilakukan seorang wanita ? Apa tugas mereka?
Pada saat subuh, dia harus membangunkan pem-bantunya dan memberitahukan mereka tentang apa yang
harus dilakukan pada hari itu. Dia harus memberi petunjuk pada pembantunya tentang tugas yang harus
dilakukan pada hari itu. Tugasnya yang lain adalah senantiasa menyiapkan makanan untuk suaminya, dan
menunggu apabila suaminya berpergian keluar rumah. Di dapur tugasnya adalah mempersiapkan perabotan,
menyiapkan bahan makanan, mengepel lantai dan menghidangkan makanan yang segar untuk suaminya.
Sebagai tambahan pekerjaannya maka seorang wanita juga berkewajiban untuk memeriksa buruh yang bekerja
di sawahnya.
Ada beberapa perbuatan yang dianggap tabu bagi seorang wanita.
Dia tidak boleh duduk sendirian, tertawa dihadapan orang asing, berdiri di gerbang, memandang ke arah
jalan utama, berbicara keras, berjalan membelakangi orang, tertawa secara berlebihan dan menukar barang
barangnya dengan tetangganya.
Jika suaminya pergi ke suatu tempat, maka sang istri tidak boleh menghias diri dan memakai perhiasan.
Ia hanya boleh keluar rumah hanya jika sangat perlu dan harus segera kembali ke rumah setelah pekerjaan itu
selesai.
Jika dia mengharapkan seorang anak maka dia harus mandi dengan air wangi, hindari tertawa terlalu
keras dan menjauhi orang-orang yang tidak berkenan dihatinya. Ia juga menghindar dari segala bentuk
kecemasan dan kekhawatiran. Misalnya, dia tidak boleh mendatangi tempat-tempat yang sepi, berjalan
sendirian, atau menyeberangi sungai sendirian.
Bhaviûya Puràóa juga membenarkan adanya perceraian jika sang suami dan istri tidak menemukan
keharmonisan dalam rumahtangganya. Jika seorang suami hendak menceraikan istrinya karena sang istri tidak
bisa mem-berikannya keturunan maka dianjurkan agar pasangan seperti itu untuk menunggu selama delapan
bulan sebelum perceraian terjadi. Namun jika perceraian itu terjadi jika tidak ada keharmonisan rumah tangga
maka strìdhana (mas kawin yang dibayar oleh sang istri pada mempelai laki-laki) harus dikembalikan.
Disamping itu dia juga berhak atas sejumlah uang dari pihak suaminya.
Jika kebetulan ada seorang istri simpanan, maka istri yang lebih muda harus melayani istri tertua
sebagaimana dia melayani ibunya sendiri, dan sebaliknya istri pertama juga harus melayaninya sebagai anaknya
sendiri. Apa saja yang didapatkannya dari rumahnya sendiri harus pertamakali diserahkan pada istri pertama.
Istri yang lebih tua juga harus melayaninya seperti dia memperlakukan sebagai anaknya sendiri. Sikap seorang
suami adalah bertindak agar tidak menimbulkan kecemburuan diantara kedua istrinya itu.
Selain hal ini Bhaviûya Puràóa juga berisikan berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan. Kitab ini
juga menceritakan tentang bagaimana bunga yang berbeda bisa digunakan untuk persembahan pada dewa yang
berbeda-beda. Kitab ini juga menceritakan tentang berbagai jenis ular dan berbagai jenis gigitannya.

TENTANG MASA DEPAN


Akan tetapi yang paling menarik dari Bhaviûya Puràóa ini adalah penjelasannya tentang masa depan dan
apa yang akan terjadi dimasa datang. Karena bagaimanapun juga ini adalah topik yang paling menyenangkan
untuk dibicarakan.
Tentang berbagai kejadian sejarah diceritakan dalam parva yang ketiga, bagian Pratisarga. Ini diawali
dengan ramalan tentang naiknya Manu ke tahta kerajaan dan diakhiri dengan ramalan datangnya kerajaan
Inggris ke India dan pemerintahan permaisuri Victavati (Victoria).
Nama raja-raja dari keturunan Sùrya dan Candra vaýúa dibeberkan disini. Namun juga ada penjelasan
tentang raja-raja yang akan memerintah di masa depan. Ada keterangan tentang Timur, Barbar, Humayun, Sher
Shah, Akbar, Salem, Aurangzeb, Shivaji dan Mahadevji Sindhia. Disana juga ada kata dalam bahasa inggris
seperti ‘Sunday, February, dan Sixty’

RAJA-RAJA PADA JAMAN KALI


Bagian yang paling penting dari penjelasan ini adalah adanya katalog dari raja-raja yang akan
memerintah pada jaman Kaliyuga. Penjelasan ini juga bisa didapatkan dalam Puràóa lain. Namun Matsya
Puràóa dan Vàyu Puràóa juga menyebutkan bahwa Bhaviûya Puràóa merupakan sumber segala penjelasan
tentang silsilah raja-raja pada jaman Kali, yang diberikan pada Puràóa-Puràóa yang lain.
Kitab Puràóa menyatakan bahwa jaman Kaliyuga dimulai ketika sang avatàr Kåûóa wafat dan kembali ke
kahyanganNya.
Jaman dibagi menjadi empat yuga atau era- Satya yuga atau Kåta yuga, Tretà yuga, Dwàpara
yuga dan Kali yuga. Satya yuga berlangsung selama empatribu tahun dewa, Tretà yuga berlangsung selama tiga
ribu tahun, Dvàpara yuga berlangsung selama dua ribu tahun, dan Kaliyuga berlangsung selama seribu tahun.
Akan tetapi tahun dewa sangat jauh berbeda dari tahun manusia. Misalnya seribu tahun para dewa sama dengan
36.000 tahun manusia. Dan lagi ada tambahan periode peralihan yang terdapat diantara setiap dua yuga. Masa
peralihan antara Satyayuga yang baru dengan Kali yuga adalah 500 tahun para dewa atau 18.000 tahun manusia.
Jadi akan ada 378.000 tahun lagi setelah kematian Kåûóa, maka akan dimulai jaman Satyayuga.
Kali yuga akan menjadi sebuah jaman yang buruk. Akan ada invasi para yavana dari barat, para yavana
ini akan mempengaruhi bidang keagamaan, ambisi dan harapan untuk menguasai. Para yavana yang
dimaksudkan identik dengan kerajaan Yunani.
Para yavana ini tidak akan menjadi raja yang baik namun selalu melakukan kebiasaan buruk seperti
korupsi. Ketika mereka datang maka kemunduran para petinggi negeri mulai terjadi dan setelah itu mereka akan
memerintah saling bergantian. Bangsa Àrya dan Mlechha (mereka yang tidak mempercayai ajaran veda)
bergabung dengan bebas. Wanita dan anak-anak akan dibantai. Raja yang sewenang-wenang dan tidak
mengenal aturan akan dengan bebas saling membunuh. Para yavana, Àrya dan Mlechha akan berkuasa saling
bergantian dan penduduk akan berkembang dengan pesat.
Bhaviûya Puràóa juga menyatakan bahwa kitab itu akan menceritakan tentang masa depan, dimana
terjadi perang antara Pàóðava dan Kaurava. (Ini adalah kisah dari Mahàbhàrata). Kebanyakan dari raja-raja itu
merupakan raja dalam jaman Kaliyuga. Penjelasan tentang dinasti raja-raja dalam jaman Kaliyuga
(Vaýúànucarita) merupakan isi dari kitab Puràóa. Karena inilah Bhaviûya Puràóa menjelaskan silsilah para raja
pada jaman Kali yuga.
(Cerita tentang pergantian tahta kerajaan di India utara pada perioda setelah terjadinya perang
Kurukûetra, disusun dalam sebuah kumpulan sloka yang kemudian disiarkan. Kumpulan sloka ini dinyanyikan
oleh para penyair dan musisi pengembara, dalam bahasa Màgadhi dan Pali. Para penyusun Bhaviûya Puràóa
yang menyetujui kebenaran naskah ini kemudian menyerapnya kedalam bahasa Sanksrit dan mengubahnya lagi
dalam bentuk kalimat-kalimat ramalan Vyàsadeva. Semakin banyak lagi tambahan yang dimasukkan ke dalam
naskah ini. Naskah yang ditulis di Kharisthi di India utara juga diserap ke dalam naskah ini pada sekitar akhir
abad ketiga dan awal abad keempat. Semua bahan yang terdapat dalam Bhaviûya Puràóa ini terkubur untuk
pertimbangan masa depan yang kemudian dijelaskan dalam Brahmàóða Puràóa, Vàyu Puràóa, Viûóu Puràóa,
Bhàgavata Puràóa dan Garuða Puràóa. Akan tetapi proses penyerapan yang terjadi dalam Bhaviûya Puràóa terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Inggris di India. Kemudian yang disebut sebagai ramalan Vyàsadeva
dikeluarkan pada abad ke sembilan belas dan naskah itu mendapat penyesuaian dengan keadaan saat itu untuk
membuktikan pembenarannya)
Bhaviûya Puràóa juga menjelaskan bahwa dinasti raja-raja yang terdapat dalam jaman Kali adalah
sebagai berikut.

(1) PARA PAURAVA


Diceritakan bahwa Arjuna adalah putra ketiga dari para Pàóðava dan putranya adalah Abhimanyu.
Abhimanyu menikah dengan Uttara, putri raja Viràþa dan mereka memiliki putra yang bernama Parìkûit. Putra
raja Parìkûit adalah raja Janamejaya yang merupakan seorang raja yang baik. Dari Janamejaya lahirlah Úatànìka
yang amat sakti. Dan dari Úatànìka lahirlah Aúvamedhadatta.
Dari Aúvamedhadatta lahirlah seorang anak yang amat sakti. Ia adalah Adhisimakåûóa, yang sekarang
ini meme-rintah dengan kekuasaan dan nama yang besar. Kalimat ini menjelaskan pada kita bahwa naskah ini
disusun pada jaman pemerintahan raja Adhisimakåûóa)
Putra dari Adhisimakåûóa adalah raja Nicakûu. Ketika kerajaan Hastinàpura dihanyutkan oleh sungai
Gaògà maka Nicakûu kemudian pergi dan tinggal di kota Kouúambi. Ia kemudian mendapatkan delapan anak
yang perkasa dan sakti. Putra tertuanya adalah Uúna dan setelah masa pemerintahan Uúna maka yang
menggantikannya adalah Citaratha. Setelah Citraratha akan digantikan dengan Sucidratha dan setelahnya maka
digantikan dengan Våûóimat. Suûeóa merupakan raja yang adil menggantikan Våûóimat. Sunìthà adalah raja
yang menggantikan Suûeóa setelah Sunìthà maka digantikan dengan Ruca dan setelahnya maka akan digantikan
dengan Nåcakûu. Yang menggantikan Nåcakûu adalah Sukhibala dan putra dari Sukhibala adalah raja Pariplava
dan pengganti dari raja Pariplava adalah raja Sunaya. Setelah itu yang akan menjadi raja adalah Medhàvìn dan
digantikan dengan putranya yang bernama Nripanjaya. Durva adalah yang akan menjadi putranya. Durva adalah
putra raja Nripanjaya yang menggantikan kedudukan ayahnya dan kemudian digantikan oleh putranya yaitu
Tigmatman. Setelah Tigmatman maka yang memerintah adalah Båhadratha dan setelahnya adalah Båhadratha
Vasudana dan setelahnya lagi adalah Vasudana Úatànìka dan setelahnya lagi adalah raja Udayana kemudian
setelah Udayana memerintahlah raja perwira yang bernama Vahinara dan putra dari Vahinara adalah Daóðapàói.
Setelah Daóðapàói maka memerintahlah Niramitra dan setelah Niramitra adalah Kûemaka.
Dengan demikian maka akan ada 25 raja yang merupakan keturunan raja Pùru. Generasi Purava yang
dihormati oleh para dewa dan åûi, yang darinya lahirlah generasi banyak bràhmaóa dan orang suci serta para
kûatriya pemberani, akan berakhir kejayaannya pada masa menjelang jaman Kali yuga dan ini ditandai dengan
akhir kekuasaan Kûemaka. Ini adalah generasi dari putra raja Pàóðu yang amat tersohor yaitu Arjuna.

(2) PARA AIKÛVÀKU (IKÛVÀKU)


Selanjutnya adalah generasi orang-orang yang berjiwa agung yaitu Ikûvàku. Pewaris tahta raja Båhadbala
adalah raja perwira Båhatkûaya. Putranya adalah Urukûaya. Dimana setelah pemerintahannya maka ia
digantikan oleh Vatsa-vyuha, dan setelah Vatsavyuha adalah Prativyoma.
Putranya adalah Divakara yang kini memerintah di kota Ayodhyà di Madhyadesa. (Kalimat ini
menyiratkan bahwa naskah Bhaviûya Puràóa ini disusun pada masa pemerintahan raja Divakara.)
Kemudian yang akan menggantikan Divakara adalah raja Sahàdeva yang amat terkenal. Selanjutnya yang
menjadi pewaris tahta Sahàdeva adalah raja yang tinggi hati yaitu Båhadaúva. Penggantinya adalah Bhanuratha
dan putranya adalah Pratitaúva yang kemudian menggantikannya. Putra dari Pratitaúva adalah Supratìkà.
Keturunannya adalah Marudeva dan Marudeva akan digantikan oleh putranya yang bernama Sunakûatra.
Setelah Sunakûatra adalah maka memerintahlah raja Kinaraúva perkasa yang kemudian digantikan oleh
Antarikûa. Setelah Antarikûa akan memerintah raja Suparóa dan setelah Suparóa maka memerintahlah Suparóa
Amitrajit. Putranya adalah Båhadbhraja, yang kemudian akan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmin.
Putra Dharmin adalah Kåtañjaya yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Putra dari Kåtañjaya adalah
Ranañjaya yang bijaksana yang kemudian digantikan oleh Sañjaya yang merupakan seorang raja perwira yang
memerintah setelah Kåtañjaya. Putra Sañjaya adalah Úakya. Setelah Úakya maka memerintahlah raja
Suddhodana. Yang putranya adalah Siddhàrtha dan putra dari Siddhàrtha adalah Rahula. Setelah Rahula maka
yang memerintah menggantikannya adalah Prasenjit. Setelah Prasenjit adalah Kûudraka. Setelah Kûudraka
maka yang memerintah adalah giliran Kulaka. Setelah Kulaka adalah Suratha. Putra Suratha adalah Sumitrà
yang akan memerintah menggantikan ayahnya yang selanjutnya menjadi raja terakhir dari dinasti ini.
Keturunan raja Ikûvàku yang lahir dari raja Båhadbala akan senantiasa membawa nama besar bagi
keluarga raja ini. Mereka merupakan golongan terpelajar dan para satria. Generasi ini akan pudar pada masa
pemerintahan raja Sumitrà. Generasi ini adalah gudang para kûatriya yang merupakan keturunan langsung dari
Manu.

(3) BARHADRATHA
Selanjutnya adalah generasi Barhadratha yang berasal dari para Màgadha, yang merupakan keturunan
raja-raja dari garis keturunan raja Úadeva yang merupakan generasi raja Jaràsandha.
Putra raja Jaràsandha adalah Sahadeva. Sahadeva gugur dalam perang Kurukûetra dan yang menjadi
pewaris tahtanya adalah Somadhi, menjadi raja ibukota Girivraja. Somadhi memerintah selama 58 tahun. Dalam
garis keturunan ini Úrutaúrava menjadi raja selama 64 tahun dan Ayutàyu memerintah selama 26 tahun. Yang
melanjutkan pemerintahannya adalah Niramitra yang menikmati peme-rintahan selama 40 tahun sebelum wafat.
Sukûatra meme-rintah selama 56 tahun dan Båhatkarmàn selama 23 tahun.
Senajit, yang kini memerintah akan memerintah dari sekarang selama 23 tahun. (Ini juga merupakan
isyarat bahwa naskah ini disusun pada masa pemerintahan Senajit)
Úrutañjaya yang merupakan seseorang yang memiliki kekuatan yang hebat, tentara yang besar dan
kebijaksanaan yang tinggi akan memerintah selama 40 tahun. Selanjutnya Vibhu akan memerintah seluruh
dunia selama 28 tahun dan Úuci akan menjadi raja selama 58 tahun. Raja Kûema akan memerintah selama 28
tahun; raja Suvrata yang yang sakti akan memerintah selama 64 tahun dan Sunetra akan memerintah selama 35
tahun. Setelah itu maka raja Nivåtti memerintah selama 58 tahun, Trinetra memerintah selama 28 tahun dan raja
Dåðhasena memerintah selama 48 tahun. Mahinetra akan memerintah dengan gemilang selama 33 tahun.
Suchala akan memerintah selama 32 tahun dan raja Sunetra akan memerintah selama 40 tahun. Raja Satyajit
akan menikmati bumi selama 83 tahun. Viúvajit akan menjadi raja selama 25 tahun dan Åpuñjaya akan
memerintah selama 50 tahun.
Keenambelas raja ini dimasa datang akan dikenal sebagai para Båhadratha. Kerajaan mereka akan
bertahan selama 732 tahun. Selanjutnya akan ada 32 Båhadratha yang akan memerintah selama seribu tahun
penuh.

(4) PRADYOTA
Ketika para Båhadratha telah berakhir masa peme-rintahannya maka Pulika akan membunuh majikannya
sendiri dan menunjuk putranya, Pradyota, untuk menjadi raja. Raja Pradyota akan menjajah kerajaan
tetangganya dan memerintah selama 23 tahun. Selanjutnya yang menggan-tikannya adalah Pàlaka yang
memerintah selama 24 tahun. Viúàkhayùpa menjadi raja selama 50 tahun, Ajaka selama 21 tahun dan
Nandivardhana selama 20 tahun.
Lima raja Pradyota ini akan memerintah selama 138 tahun.

(5) ÚIÚUNÀGA
Úiúunàga akan menghancurkan semua Pradyota dan menjadi raja. Ia akan menjadikan Girivraja sebagai
ibukota kerajaannya dan mengangkat putranya untuk menjadi raja di Vàràóasì. Úiúunàga akan memerintah
selama 38 tahun dan digantikan oleh anaknya, Kakavaróa, yang memerintah selama 36 tahun. Kûemadharman
akan menjadi raja selama 20 tahun selanjutnya dan Kûatrouja selama 40 tahun. Vimbisara akan memerintah
selama 28 tahun, Ajataúatru selama 25 tahun dan Dharúaka selama 25 tahun. Setelahnya maka Udayin akan
memerintah selama 33 tahun. Udayin akan memindahkan kerajaannya menuju Kusumapura di pinggir selatan
sungai Gaògà, dalam seperempat masa pemerintahannya. Kemudian Nandivardhana akan menjadi raja selama
40 tahun dan Mahànàdin selama 43 tahun.
Mereka adalah 10 raja generasi Úiúunàga. Keseluruhan raja dalam generasi ini memerintah selama 163
tahun. (Beberapa Puràóa lain menyebutkan bahwa mereka me-merintah selama 360 tahun)
Kebanyakan dinasti-dinasti ini berjaya atau me-merintah dalam jangka waktu yang sama. Misalnya
adalah 24 Ikûvàku, 27 Pàñcala, 24 raja Kaúi, 28 raja Haihaya, 32 raja Kaliòga, 25 Ashmaka, 36 Kuru, 28
Mithila, 23 Úurasena dan 20 Vitihotra.

(6) NANDA
Raja Mahànàdin akan memiliki seorang putra yang berasal dari istrinya yang merupakan seorang úùdra.
Anak ini adalah Mahàpadma Nanda yang akan menaklukkan semua raja Kûatriya. Setelah itulah para raja
keturunannya adalah raja dari bangsa Úùdra. Mahàpadma Nanda akan berhasil menaklukkan seluruh bumi dan
memerintah selama 88 tahun. Ia akan memiliki delapan putra, dimana yang tertua adalah Sukalpa. Delapan putra
ini akan melanjutkan pemerintahan setelah Mahàpadma selama 12 tahun.
Seorang Bràhmaóa yang bernama Koutilya akan menghancurkan para Nanda itu. Setelah para Nanda
memerintah selama 100 tahun, maka dunia berada di bawah kekuasaan para Mourya.

(7) MOURYA
Koutilya kemudian mengangkat Candragupta untuk memerintah dalam daerah kekuasaannya.
Candragupta menjadi raja selama 24 tahun, Vindusara selama 25 tahun dan Aúoka selama 36 tahun. Aúoka
memiliki anak yang bernama Kunala yang menggantikannya memerintah selama delapan tahun.
Putra Kunala yang bernama Bandhupalita akan memerintah selama delapan tahun dan Bandhupalita
digantikan oleh pewaris tahtanya, Indrapalita, yang meme-rintah selama 10 tahun. Devavarman akan
memerintah selama tujuh tahun, putranya Úatadhanu memerintah selama delapan tahun dan Båhadratha selama
tujuh tahun.
Sembilan Mourya akan memerintah selama 137 tahun. Setelah itu maka para Úuòga akan menggantikan
kekuasaan para Mourya ini.
(8) ÚUÒGA
Puûyamitra adalah yang akan menjadi jenderal dari raja Båhadaúva. Namun sang jenderal membunuh
majikannya sendiri dan mendirikan generasi baru. Puûyamitra menjadi raja dan memerintah selama 36 tahun.
Putranya yang bernama Agnimitra akan memerintah selama delapan tahun, Vasujyeûþha selama tujuh tahun dan
Vasumitra selama 10 tahun. Selanjutnya Andhraka akan memerintah selama dua tahun, Pulindaka memerintah
selama tiga tahun dan putranya yang bernama Ghoûa akan memerintah selama tiga tahun. Selanjutnya
Vajramitra akan menjadi raja selama sembilan tahun. Bhàgavata akan menjadi raja selama 32 tahun dan
putranya yang bernama Devabhùmi akan memerintah selama sepuluh tahun.
Sepuluh raja Úuòga ini akan memerintah selama total 112 tahun. Dari mereka maka bumi akan beralih
pada kekuasaan para Kaóva.

(9) KÀÓVÀYANA
Pada masa pemerintahan dewa bhùmi Vàsudeva adalah menteri kerajaannya. Vàsudeva dengan siasatnya
berhasil menyingkirkan Devabhùmi dan mendirikan dinasty Kàóvàyana. Vàsudeva memerintah selama sembilan
tahun dan putranya yang bernama Bhùmimitra akan memerintah selama 12 tahun dan putra Bhùmimitra yang
bernama Nàràyaóa akan memerintah selama 12 tahun dan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Suúarman.
Mereka semua adalah raja-raja generasi Kàóvàyana. Mereka adalah empat Bràhmaóa yang akan
memerintah bumi selama 45 tahun. Mereka akan menaklukkan raja-raja tetangga mereka dan memerintah
dengan adil dan bijaksana. Setelah generasi mereka maka pemerintahan di bumi ini dilanjutkan oleh para
Andhra.

(10) ANDHRA
Andhra Simuka dan pengikut sukunya telah menjadi pengikut generasi Kaóva yang dipimpin oleh raja
Suúarman, akan tetapi mereka menyingkirkan majikannya dan mendirikan generasi baru yang mereka sebut
sebagai dinasti Andhra.
Simuka akan menjadi raja selama 23 tahun. Adiknya yang bernama Kåûóa kemudian melanjutkan
pemerin-tahannya dan memerintah selama 10 tahun. Adiknya yang bernama Úrì Úatakarói juga melanjutkan
pemerintahannya dan memerintah selama 10 tahun. Selanjutnya Pùróotsaòga akan memerintah selama 18 tahun.
Skadhastambhi akan memerintah selama 18 tahun juga. Úatakarói memerintah selama 56 tahun dan putranya
yang bernama Lambodara memerintah selama 18 tahun. Putra Lambodara yang bernama Apilaka memerintah
selama 12 tahun. Meghasvati memerintah selama 18 tahun. Svati akan memerintah selama 18 tahun.
Skandasvati akan memerintah selama 7 tahun.
Mågendra Svatikaróa akan memerintah selama 3 tahun. Kuntala Svatikaróa memerintah selama 8 tahun.
Svatikaróa hanya akan memerintah selama satu tahun. Pulomavi akan memerintah selama 36 tahun.
Ariûþakaróa akan memerintah selama 25 tahun. Selanjutnya Hala memerintah selama 5 tahun. Mantalaka
memerintah selama 5 tahun juga. Purikaúena memerintah selama 21 tahun. Sundara Úatakarói memerintah
hanya satu tahun. Úakora Úatakarói akan memerintah selama enam bulan. Úivaúvati memerintah selama 28
tahun. Selanjutnya Goutamiputra akan memerintah selama 21 tahun. Selanjutnya, putranya yang bernama
Puloma akan memerintah selama 28 tahun. Úivaúrì puloma akan memerintah selama 7 tahun. Putranya yang
bernama Úivaskandha Úatakarói akan memerintah selama 3 tahun. Yajñaúrì Úatakaróika memerintah selama 29
tahun. Setelahnya, maka Vijaya menggantikannya selama enam tahun. Putranya yang bernama Candraúrì
Úatakarói akan berkuasa selama sepuluh tahun. Dan Pulomavi akan memerintah selama tujuh tahun.
Tiga puluh raja Andhra ini akan memerintah selama bumi selama 460 tahun.

(11) DINASTI LOKAL


Ketika masa kekuasaan para raja Andhra ini maka yang melanjutkannya adalah para raja yang berasal
dari keturunan para pelayan. Maka akan ada tujuh orang yang termasuk kedalam tujuh Úrìpàrvatiya Andhra.
Juga ada sepuluh raja Abhira, tujuh raja Gardabhin dan 18 Úaka. Akan ada 8 Yavana, 14 Tuûàra, 13 Murunda
dan 11 Mouna.
Úrìpàrvatiya Andhra akan bertahan selama 52 tahun, para raja Abhira selama 67 tahun. Tujuh raja
Gardabhin akan menikmati bumi selama 72 tahun. Para raja Úaka memerintah selama 183 tahun. Delapan
Yavana memerintah selama 87 tahun. Sejarah akan selalu mencatat bahwa Tuûàra telah memerintah selama
7000 tahun. 13 raja Murunda bersama bangsa Mlechha akan menikmati pemerintahan selama 200 tahun. 11
Mouna akan menikmati pemerintahan selama 103 tahun. Ketika akhirnya mereka tersingkirkan maka tersebutlah
raja Kilakila yang memerintah disana.
Setelah pemerintahan raja Kilakila berakhir maka raja Vindhyaúakti memerintah dan ia memerintah
selama 96 tahun dan menggantikan kedudukan semua raja yang telah wafat mendahuluinya.

(12) DINASTI VIDIÚA


Raja-raja yang selanjutnya memerintah kerajaan Vidiúà juga dicantumkan.
Bhogin, yang merupakan putra raja ular, Úeûa, akan diangkat menjadi raja. Ia menaklukkan musuh-
musuhnya dan mengembangkan kekuasaan kerajaan para ular. Sadàcandra akan menjadi raja yang kedua dari
keturunan ini, Candràmúa menjadi raja ke tiga, dan Dhanadharman menjadi raja yang keempat. Setelah itu maka
Vaògara dan Bhutinanda menggantikan mereka.
Ketika keluarga para Úuòga telah berakhir maka Úiúunandi akan memerintah. Adiknya akan dinamakan
Nandiyaúa, dalam garis keturunannya akan ada tiga raja. Putra dari putrinya akan bernama Úuúuka dan akan
memerintah di Purika.
Vindhyashati memiliki putra yang menjadi Pravira dan akan memerintah kota Kañcanaka selama 60
tahun. Ia akan melakukan banyak upacara persembahan dan keempat putranya akan menjadi seorang raja.

(13) DINASTI RAJA-RAJA PADA ABAD KE III


Ketika keluarga para Vindhyaka telah meninggal semua, maka akan ada 3 raja Bahlika. Mereka adalah
Supratika dan Nabhira yang memerintah selama 30 tahun, Úakyama menjadi raja para Mahiûì. Kemudian akan
ada 13 Puûyamitra dan Putamitra. Di Mekala ada tujuh raja yang akan memerintah selama 70 tahun . Di Koúala
akan ada sembilan raja yang bijak dan sakti yang memerintah yang bergelar Màgha. Semua raja yang berasal
dari para Niûadha, lahir dari keluarga Nala, akan menjadi sangat úakti dan berjaya hingga hancurnya para
Manu.
Diantara para Màgadha, yang menjadi raja adalah Viúvaphani. Dengan menyingkirkan para raja dari
kasta Kûatriya maka ia mereka mengangkat raja dari kasta selain Kûatriya - kaivarta, pañcaka, pulinda dan
Bràhmaóa. Ia akan mengangkat orang-orang ini untuk menjadi raja di berbagai negara bagiannya. Viúvaphani
yang agung akan menjadi sehebat dan seagung Viûóu dalam peperangan. Setelah berhasil membuat para dewa
berkenan dengan perbuatan baiknya maka ia pergi ke sungai Gaògà dan meninggalkan kehidupan duniawinya.
Setelah wafat ia tinggal bersama Indra selama bertahun-tahun.

(14) DINASTI LAIN PADA ABAD KE III


Sembilan raja Naka akan memerintah di kota Campavati. Tujuh raja Naga akan memerintah di kota
Mathura. Para raja yang lahir dari generasi Gupta menikmati daerah kekuasaan disekitar sungai Gaògà, Prayàga,
Saketa, dan Màgadha. Para raja yang lahir dari Manidhanya akan menikmati kekuasaan di Naiûadha, Yaduka,
Tamralipta dan pemandangan indah yang terdapat di kota Campa.
Guha menjadi raja di Kaliòga, Mahiûa dan seluruh penghuni pegunungan Mahendra. Para Úùdra menjadi
raja di Úuoraûþra, Avyantyas, Abhira, Arbuda dan Malava. Orang-orang yang berasal dari golongan yang
dianggap sebagai orang buangan menjadi raja di pinggiran sungai Sindhu (Indus), Candrabhàga (Chenab) dan
Kounti dan daerah sekitar Kaúmir.
Semua raja ini sangat tidak berperasaan, tidak jujur, dan tidak baik sama sekali.
(Menceritakan tentang kisah raja-raja jaman Kali memang agak membosankan dan hampir tidak ada
gunanya. Namun ini memainkan peran penting dalam semua Puràóa. Ini juga terjadi khususnya pada Bhaviûya
Puràóa, yang merupakan misinya untuk membicarakan masa depan)
Daftar ini juga membawa peran penting dalam menelusuri perang Kurukûetra dan kejadian setelahnya.
Jika anda telah membaca kitab Mahàbhàrata maka anda akan menemukan bahwa perang Kurukûetra itu
melibatkan 11 batalyon (akûohini) pada pihak kaurava dan 7 akûohini pada pihak Pàóðava.
Setiap akûouhini terdiri dari 21.870 pasukan kereta, 21.870 pasukan gajah, 65.610 pasukan berkuda dan 109.350
pasukan biasa. Jika dalam setiap kereta, kuda dan gajah ada satu orang maka dalam satu akûouhini itu ada
218.700 orang manusia. Dan jika ada delapan belas akûouhini yang dilibatkan maka jumlah orang yang
dilibatkan didalamnya adalah 3.936.600 orang. Ini sungguh jumlah yang hampir tidak masuk akal pada jaman
itu. Oleh karena itulah tidak seorangpun percaya bahwa kejadian ini benar-benar terjadi. Akan tetapi mungkin
saja ada beberapa fakta sejarah yang telah didistorsi karena dibesar-besarkan.
Tapi mungkinkah seseorang melacak kebenaran sejarah itu?
Jika kita perpanjang sedikit tentang hal ini, maka ada tiga cara yang mungkin dilakukan untuk melacak
kebenaran tentang perang Kurukûetra ini. Yang pertama adalah dengan menggunakan cara astronomi dengan
memanfaatkan posisi nakûatra seperti yang terjadi dalam Mahàbhàrata. Mungkin karena banyaknya interpolasi
dan argumen yang diper-kenalkan maka ada banyak sekali perbedaan dalam tahun yang jelas dari kejadian
sebenarnya, ada yang menyebutkan 3140 sebelum masehi, 3137 SM, 3102 SM, 3000 SM, 2449 SM, 1931 SM,
1400 SM, 1197 SM dan 1151 SM.
Pendekatan yang kedua adalah penyelidikan tentang kejadian yang sebenarnya dari perang Kurukûetra
yang didasarkan pada analisa astrolog terkenal yaitu Àryabhaþþa, Våddhagarga dan Varàhamihira. Analisa
Àryabhaþþa mengatakan bahwa jaman Kali dimulai pada 3102 sebelum Masehi. Oleh karena itulah perang
Kurukûetra terjadi pada sekitar 3138 sebelum masehi. Våddhargarga dan Varàha-mihira menyatakan bahwa
perang itu terjadi sekitar 2449 sebelum masehi. Akan tetapi para sarjana membantah bahwa tidak satupun dari
dua analisa itu menunjukkan kebenaran dari fakta sejarah.
Pendekatan yang ketiga adalah dengan menggunakan silsilah para raja yang telah diberikan dalam
keterangan diatas. Dari sumber-sumber sejarah yang ditinggalkan oleh seorang sejarawan Yunani yang bernama
Meghasthenes, maka kita bisa melacak perioda kekuasaan Candragupta. Sumber-sumber silsilah kita bisa
mendapatkan keterangan tentang jumlah raja-raja yang ada dari saat dinobatkannya Parìkûit hingga pada masa
Candragupta. Jika seseorang membuat sebuah asumsi tentang rata-rata jumlah tahun dari seseorang raja
memerintah maka kita bisa menghitung mundur dan menghitung tahun saat raja Parìkûit dinobatkan dengan saat
terjadinya perang Kurukûetra. Karena subyek-tivitas dari pengamat, maka penetapan rata-rata lamanya seorang
raja memerintah maka dihasilkanlah variasi dari tahun terjadinya perang Kurukûetra sebagai berikut, ada yang
menyebutkan 1500 sebelum masehi, 1397 sebelum masehi, 950 sebelum masehi, dan 1000 sebelum masehi.
Akan tetapi dari sudut pandang apa yang telah menjadi kepercayaan penduduk lembah Indus dan kedatangan
bangsa Àrya, maka ditentukan bahwa perang ini berlangsung sekitar 1000 sebelum masehi dan tahun ini
dianggap sebagai tahun yang bisa diterima oleh para sarjana.)

DUA BELAS ASPEK DARI SÙRYA


Dewa matahari memanifestasikan dirinya menjadi dua belas aspek yang berbeda. Ini dinamakan sebagai
para Àditya dan mereka adalah Indra, Dhàtà, Parjañya, Pùûà, Tvaûþa, Aryama, Bhaga, Vivasvàna, Viûóu,
Amúu, Varuóa dan Mitra.
Dalam perannya sebagai dewa Indra maka dewa Sùrya memimpin para dewa dan menjadi raja mereka.
Sebagai Dhàtà, Sùrya menciptakan semua mahluk.
Sebagai Parjañya, maka beliau berada di awan dan menu-runkan hujan.
Sebagai Pùûà, maka beliau berada disemua benih bahan makanan dan memberikan kesejahteraan pada semua orang.
Sebagai Tvaûþa, maka beliau berada disemua pohon dan tanaman.
Sebagai Aryama, maka beliau berada di angin dan mem-berikan nafas kehidupan pada semua mahluk.
Sebagai Bhaga, maka Sùrya berada dibumi dan tubuh setiap mahluk.
Sebagai Vivasvàna, maka beliau berada di api dan membantu dalam mematangkan masakan.
Sebagai Viûóu, maka dewa matahari menghancurkan musuh-musuh para dewa.
Sebagai Amúu, maka beliau berada di udara dan memberikan kebahagiaan dihati semua mahluk.
Sebagai Varuóa maka beliau berada di air dan mendukung seluruh kehidupan ini.
Sebagai Mitra, maka beliau berada di pinggir sungai Candrabhàga. (ini adalah tempat dimana Sàmba mendirikan kuil
untuk beliau)
Orang yang mengetahui dua belas aspek Sùrya ini akan mendapatkan tempat di istana Sùrya dan tinggal
bersama beliau.
Dalam setiap bulan dalam satu tahun, salah satu dari dua belas aspek ini akan bermanifestasi. Viûóu
bermanifestasi pada bulan Caitra, Aryama pada bulan Vaiúàkha, Vivasvàna pada bulan Jyaiûþha, Amúu pada
bulan Àûada, Parjañya pada bulan Úravaóa, Varuóa pada bulan Bhadra, Indra pada bulan Aúvina, Dhàtà pada
bulan Karttika, Mitra pada bulan Agrahyana, Pùûà pada bulan Pouûa, Bhaga pada bulan Màgha dan Tvaûþa
pada bulan Phàlguna.
Dua belas nama ini tiada lain hanyalah nama dewa Sùrya belaka. Sebagai tambahan dari nama-nama itu,
maka beliau juga memiliki dua belas nama tambahan. Nama-nama itu adalah Àditya, Savita, Sùrya, Mihira,
Arka, Prabhàkara, Màrtàóða, Bhàskara, Bhànu, Citrabhànu, Divàkara dan Ravi.
Dalam wujudnya sebagai Aryama, Sùrya memiliki 1400 jenis sinar dan dalam wujud Amúu beliau
memiliki 1500 sinar. Sebagai Parjañya, Viûóu, dan Varuóa beliau memiliki masing-masing 1400 jenis cahaya.
Indra memiliki 1200 jenis cahaya, Dhàtà dengan 1100 jenis cahaya, Mitra 1500 jenis cahaya, Pùûà seribu jenis
cahaya, Bhaga 1500 jenis cahaya dan Tvaûþa memiliki 1000 jenis cahaya.

KERETA DEWA SÙRYA


Kereta dewa Sùrya berwarna keemasan dan ini dibuat sendiri oleh dewa Brahmà. Nama dari kusir yang
mengen-darainya adalah Aruóa. Kereta ini ditarik oleh tujuh kuda yang bernama Gàyatrì, Triûþupa, Jagatì,
Anuûþupa, Paòkti, Våhatì dan Uûóika.
Dua àditya (dewa), dua åûi, dua gandharva (penyanyi kahyangan), dua apsara (penari di kahyangan),
dua nàga (ular), dan dua ràkûasa selalu berada dan mengikuti di dalam kereta. Hal ini dijelaskan sebagai
berikut.
Pada bulan Caitra dan Vaiúàkha, dua Àditya yang bertugas adalah Dhàtà dan Aryama, dua åûi yang
bertugas adalah Pulastya dan Pulaha, dua gandharva yaitu Tumburu dan Nàrada, dua apsara yaitu Krithasthali
dan Puñjikàsthalà, dua nàga yaitu Vàsuki dan Kañca, dan dua ràkûasa yaitu Heti dan Praheti.
Pada bulan Jyeûþha dan Àûada, dua àditya yang bertugas adalah Mitra dan Varuóa, dua åûi yang
bertugas adalah Atri dan Vasiûþha, dua gandharva yang bertugas adalah Hàhà dan Hùhù, dua apsara yaitu
Menakà dan Sahajanyà, dua nàga yaitu Takûaka dan Ananta, dan dua ràkûasa yaitu Pouruûeya dan Budha.
Pada bulan Úravaóa dan Bhàdra, dua àditya yang bertugas adalah Indra dan Vivasvàna, dua åûi yaitu
Aògira dan Bhågu, dua gandharva yaitu Viúvavasu dan Ugrasena, dua apsara yaitu Pramlocanti dan
Anumlocanti, dua nàga yaitu Elàpatra dan Úaòkhapàla, dan dua ràkûasa yaitu Sarpa dan Vyàghra.
Pada bulan Aúvina dan Karttika, àditya yang bertugas adalah Parjañya dan Pùûà, dua åûi yaitu
Bharadvàja dan Goutama, dua gandharva yaitu Citrasena dan Ruci, dua apsara yaitu Viúvaci dan Gåhitaci. Dua
nàga yaitu Viúruta dan Dhanañjaya dan dua ràkûasa yaitu Apa dan Vàta.
Pada bulan Agrahàyaóa dan Paouûa, dua àditya yang bertugas adalah Amúa dan Bhaga, dua åûi yaitu
Kaúyapa dan Kratu, dua gandharva adalah Citràògada dan Uróayu, dua apsara yaitu Pùrvaciti dan Urvaúì, dua
nàga yaitu Tàrkûya dan dua ràkûasa yaitu Sphùrja dan Vidyut.
Pada bulan Màgha dan Phàlguna, dua àditya yang bertugas adalah Tvaûþà dan Viûóu, dua orang åûi
yaitu Jamadagni dan Viúvàmitra, dua gandharva yaitu Dhåtaràûþra dan Varca, dua apsara yaitu Tilottama dan
Rambhà, dua nàga yaitu Kadraveya dan Kambhalasvatara, dan dua orang raksasa yang bernama Brahmapreta
dan Yakûapreta.
ÚÀKADVÌPA
Disebutkan bahwa bumi terdiri dari tujuh wilayah (dvìpa) dan ketujuh wilayah ini adalah Jambùdvìpa,
Plakûadvìpa, Úàmaladvìpa, Kuúadvìpa, Krouñcadvìpa, Puûkaradvìpa, dan Úakadvìpa.
Tanah Bharatavarûa terletak di wilayah Jambùdvìpa.
Úakadvìpa dikelilingi oleh lautan yang amat luas yang dikenal sebagai Dadhi samudra.
Kota Úakadvìpa adalah kota yang suci dan pen-duduknya terkenal berumur panjang. Kelaparan,
penyakit, dan umur tua hampir tidak dikenal di tempat ini. Di wilayah ini terdapat tujuh gunung salju yang
diyakini merupakan gudang dari berbagai jenis batu berharga. Intan permata terdapat di sungai yang mengalir di
kota ini.
Gunung yang pertama adalah gunung Meru, disini adalah tempat para åûi dan gandharva tinggal. Gunung
yang kedua adalah Udaya, yang membentang ke arah timur. Puncak gunung ini berwarna kuning keemasan.
Disini awan berkumpul dalam jumlah yang sangat banyak. Gunung yang ketiga adalah Mahàgiri yang memiliki
banyak danau di sekitarnya. Diyakini bahwa dari danau inilah dewa Indra mengambil uap air untuk dipakai
membuat awan hujan. Disekitar daerah ini terdapat banyak tempat kediaman penduduk.
Gunung yang keempat adalah Raivataka. Nama ini berhubungan dengan sebuah nakshatra yang
bernama Revati. Karena keindahannya maka gunung ini sering disebut sebagai surganya Úakadvìpa. Gunung
yang kelima adalah Úyàma dan memiliki penampakan yang gelap. Gunung yang keenam adalah gunung
Antagiri yang berwarna keperakan. Dan gunung yang ketujuh adalah gunung yang terakhir yaitu gunung
Ambikeya. Gunung ini selalu ditutupi oleh salju dan sangat sulit untuk menjangkaunya.
Tersebutlah sebuah pohon yang terkenal dinamakan pohon Úaka tumbuh di kerajaan ini dan dari pohon
inilah nama Úakadvìpa didapatkan. Pohon ini dipuja oleh semua orang yang ada disana. Dan diyakini bahwa
Úakadvìpa merupakan wilayah yang sering dikunjungi oleh para dewa dan gandharva.
Di Úakadvìpa ada tujuh sungai yang suci dan karena kesuciannya itu maka semua sungai ini disebut
sebagai sungai Gaògà. Namun sebenarnya memiliki nama masing-masing. Sungai yang pertama dinamakan
Úivajala, kedua adalah Kumàri atau Vàsavì, yang ketiga adalah Nanda atau Pàrvatì, keempat dinamakan
Úivetika atau Pàrvatì, yang kelima adalah Ikûu atau Kratu, yang keenam adalah Dhenuka atau Måta dan yang
ketujuh tidak disebutkan namanya. Semua sungai ini mengalir ke samudra luas.
Mengenai Kasta atau golongan masyarakat di Úakadvìpa terdapat empat golongan masyarakat dan
mereka hiup secara rukun berdampingan. Mereka terbebas dari rasa benci, iri, kecemburuan dan kesedihan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan didepan, empat kasta yang terdapat di Úakadvìpa adalah Maga, Magaga,
Ganaga dan Mandaga. Maga setara dengan Bràhmaóa, Magaga setara dengan Kûatriya, ganaga setara dengan
Vaiúya dan Mandaga setara dengan Úùdra.
Penduduk Úakadvìpa memuja dewa Sùrya sebagai dewa yang tertinggi dengan melaksanakan vrata dan
puasa. Mereka diberkati oleh putra sang dewa. Úàkadvìpa dikelilingi oleh lautan yang disebut
sebagai Kûiroda atau lautan susu.

MANVANTARA
Setiap manvantara adalah sebuah kurun waktu yang sangat panjang dimana dalam setiap manvantara itu
dipimpin oleh seorang Manu disebutkan bahwa ada empat belas Manvantara dan setelah empatbelas manvantara
itu berlalu maka alam semesta akan dihancurkan secara total.
Sekarang ini enam manvantara telah berlalu. Keenam manvantara itu adalah Svàyambhuva, Svarociûa,
Uttama, Tàmasa, Raivata, dan Càkûuûa. Manvantara sekarang ini adalah Vaivasvata, yang merupakan
manvantara yang ketujuh. Dimasa depan akan ada tujuh manvantara lagi.
(Tentang manvantara ini telah dijelaskan dalam Puràóa-Puràóa yang lainnya)
Kebanyakan kitab Puràóa berisikan tentang pernyataan keagungan dewa Brahmà, Viûóu dan
Úiva dan in membuat mereka menjadi dewa yang lebih terkenal dikalangan umat manusia.
Dan disini Bhaviûya Puràóa tampak agak aneh dengan mengagungkan Sùrya. Yang diberikan
disini hanyalah sekilas dari isi yang sebenarnya. Mungkin tidak diragukan lagi anda pasti
ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini terutama pemujaan kepada Sùrya. Ini bisa
didapatkan dalam Bhaviûya Puràóa dalam bentuk utuhnya.

Baca juga :
Siwa Purana 1
Serba Serbi 18 Purana
bhagawata purana versi lain
Purana - Siwa Purana
1. Agni Puràóa
2. Båhannàradìya-Puràóa (Puràóa Agung Maharûi Nàrada)
3. Bhàgavata Puràóa
4. Bhaviûya atauBhaviûyat-Puràóa
5. Brahmà Puràóa
6. Brahmàóða Puràóa
7. BrahmavaivartaPuràóa
8. Garuða Puràóa
9. Kùrma atauKaurma Puràóa
10. Liòga atauLaiòga Puràóa
11. Màrkaóðeya-Puràóa
12. Màtûya Puràóa
13. Padma Puràóa
14. Skànda Puràóa
15. Vàmana-Puràóa
16. Varàha Puràóa
17. Vàyu Puràóa
18. Viûóu atauVaiûóava Puràóa
Sumber: Bibek & Dipavali, 2001, Bhaviûya Puràna, Surabaya, Paramita

Bhagawata Purana Versi Lain


Dalam Bhagawata Purana, diceritakan:

Duapuluh Empat Inkarnasi Wiûóu

Resi Wedawyàsa

Aúwatthàmà Dihukum

Kåûóa Ke Dwàraka
Kematian Kåûóa Dan Hancurnya Para Yàdawa

Parìkûit Versi Bhagawata

Wujud Wiûóu Yang Agung

Penciptaan

Uddhawa Dan Widura


Masa Kecil Kåûóa

Kematian Kaýsa

Maitreya

Inkarnasi Wiûóu Sebagai Waràha (Babi Hutan)


Kardama Dan Dewahùtì

Putri-Putri Manu

Úiwa Dan Dakûa

Dhruwa
Wena Dan Påthu
Para Praceta Dan Purañjana
Priyawrata Dan Keturunannya
Bharata

Geografi

TentangNeraka
Ajàmila
Indra Dan Wåtra

Citraketu

Anak-AnakDiti

HiraóyakaúipuDan Prahlàda

Dharma
Manwantara
Cerita Tentang Sang Gajah
PengadukanSamudra Maha Luas
Wali

AwatàraIkan (Matsya)

KeturunanWaiwaswata Manu

Ambarìûa

Keturunan Ikûwàku
SagaraDan Turunnya Sungai Gaògà

Candra Waýúa
Paraúuràma
Yayàti
Duûyanta Dan Úakuntalà
Pembangunan Kota Dwàraka
Kàlayawana
Permata Syamantaka
Narakàsura
Kematian Rukmì
Wana

PouóðrakaDan Raja Kàúi

Sàmba

KematianJaràsandha

ÚiúupàlaMenemui Ajal

SàlwaGugur Di Tangan Krisna

BalaràmaTirthayatra

SudàmaSahabat Krisna

SiwaTakut Pada Bhaktanya

UjianPada Dewa Trimùrti

Kutukan Pada Para Yàdawa

Filosofi Guru
Insyafnya Seorang Bràhmaóa

Mulainya Kali Yuga Dan Dinasti Baru

Para Ular

Kebajikan Bhàgawata Puràóa


Bhàgawata puràóa adalah puràóa yang paling suci di antara naskah puràóa
yang ada. Bagi puràóa lain, atau jika dibandingkan dengan puràóa lain, jika
ibarat sungai maka Bhàgawata puràóa adalah sungai Gaògà, Wiûóu di antara
para dewa dan kota Kàúì di antara tempat suci. Mereka yang memuja Wiûóu
akan menyucikan puràóa ini. Naskah ini adalah naskah yang perlu untuk
dipelajari, didengarkan dan dipahami dengan mendalam. Pada bulan Bhadra,
naskah ini harus disempatkan di tempat yang suci dan di hari sesajen. Orang
yang melakukan semua itu akan mendapatkan pahala yang abadi. Sedangkan
puràóa yang lain dipuja, jika seseorang tidak mengetahui Bhàgawata puràóa.
Setelah membaca Bhàgawata puràóa ini, kami persembahkan sujud yang
sedalam-dalamnya pada Wiûóu.
(Akhir dari Bhàgawata Puràóa versi lain)

Anda mungkin juga menyukai