BAB I
PENDAHULUAN
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia. (BSNP, 2006:10)
Akan tetapi, pembelajaran bahasa di sekolah belum bisa dikatakan berhasil mendongkrak
keterampilan siswa dalam berkomunikasi. Hal tersebut tercermin dalam pemakaian bahasa
Indonesia yang baik dan benar dalam lingkungan pergaulan remaja belum terlaksana secara
optimal. Hal tersebut jika dibuktikan dengan hasil Ujian Nasioanl siswa dalam materi kebahasaan,
khususnya penguasaan terhadap materi menyunting kata, kalimat, paragrap, ejaan, dan tanda baca
yang masih berkisar di bawah 50 %
Garafik hasil UN Bahasa Indonesia SMP/ MTs
Grafik di atas memperlihatkan bahwa penguasaan siswa terhadap materi kebahasaan masih
rendah. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana pelaksanaan pembelajaran bahasa
di kelas dilakukan? Permasalahan apa yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran di
kelas? Bagaimana cara mengatasi hal tersebut?
Problematika pembelajaran di kelas tentu sangat berkaitan dengan tugas utama guru
merencanakan, melaksanakan, dan menilai. Tugas guru dalam pembelajaran bahasa di kelas harus
bersumber pada sebuah teori yang dapat dijadikan titik pijak dalam pembelajaran. Dengan kata
lain, guru harus terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip dalam pembelajaran bahasa. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, pembahasan materi akan difokuskan pada teori prinsip-prinsip
3
pembelajaran bahasa. Setelah, memahami teori tersebut diharapkan dapat memperoleh gambaran
dan arahan tentang pembelajaran bahasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apa hakikat dari Pembelajaran Bahasa Indonesia?
2. Bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran Bahasa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain sebagai berikut.
1. Untuk mengkaji mengenai hakikat dari Pembelajaran Bahasa Indonesia.
2. Untuk mengkaji prinsip-prinsip pembelajaran Bahasa Indonesia
D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.
1. Guru dapat meningkatakan keterampilan penerapan prinsip-prinsip pembelajran di kelas
sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajran bahasa.
2. Siswa dapat memperoleh pengetahauan dan keterampilan yang lebih baik dalam pembelajran
bahasa.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Behaviorisme
John B. Watson mengungkapkan bahwa teori belajar Behavorisme memusatkan perhatiannya pada
aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan
respons pada dunia sekelilingnya. Dalam teori ini, tanpa kita sadari bahwa teori ini mengungkapkan
bahwa tindak balas atau respons diakibatkan oleh adanya rangsangan atau stimulus. Atau dalam kata
lain, aksi berawal oleh adanya reaksi. Sehingga tanpa kita sadari sebab menghasilkan akibat.
Untuk membuktikan kebenaran teorinya, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert, seorang
bayi berumur sebelas bulan. Pada mulanya Albert adalah bayi yang gembira dan tidak takut bahkan
senang bermain-main dengan tikus putih berbulu halus. Dalam eksperimennya, Watson memulai proses
pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati
dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap
tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng
Sinterklas yang berjanggut putih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaziman dapat
mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Pada teori yang lainnya, ilmuan kaum behavioristik Skinner, berhasil mengungkapkan pada sebuah
teori yang bernama Behavior Skinner. Dalam teori tersebut mengungkapkan bahwa Kemampuan
berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Teori skinner tentang
perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning.
Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya
itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan.
Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-
pelan akan disingkirkan.
Jadi, pada teori ini kita mengetahui tentang akibat dan sebab perilaku yang dikendalikan oleh
akibatnya. Seandainya hal itu baik menurut individu itu maka akan terus dipertahankan atau akan
ditingkatkan terus. Begitu juga sebaliknya, apabila individu tersebut merasakan hal yang dilakukannya
itu buruk, maka hal yang dilakukannya itu pun akan segera dikuranginya atau bahkan ditinggalkanya.
5
Sebagai contoh dapat kita saksikan perilaku anak-anak di sekeliling kita. Ada anak kecil menangis
meminta es pada ibunya. Tetapi, karena ibunya yakin dan percaya bahwa es itu menggunakan pemanis
buatan maka sang ibu tidak meluluskan permintaan anaknya. Sang anak terus menangis. Tetapi sang ibu
bersikukuh tidak menuruti permintaannya. Lama kelamaan tangis anak tersebut akan reda dan lain kali
lain tidak akan minta es semacam itu lagi kepada ibunya, apalagi dengan menangis. Seandainya anak
itu kemudian dituruti keinginannya oleh ibunya, apa yang terjadi? Pada kesempatan yang lain sang anak
akan minta es lagi. Apabila ibunya tidak meluluskannya maka ia akan menangis dan terus menangis
sebab dengan menangis ia akan mendapatkan es. Kalau ibunya memberi es lagi maka perbuatan
menangis itu dikuatkan. Pada kesempatan lain dia akan menangis manakala ia meminta sesuatu pada
ibunya.
Chomsky (Ellis, 1986: 4-9) yang merupakan kumpulan komunitas yang mengemukakan tokoh Teori
Nativisme mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat
melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak
mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa
setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan
bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Pada teori ini lebih menekankan pada cara manusia
memperoleh bahasa yang telah ia miliki, dan cenderung pada bahasa yang telah dimiliki seseorang
merupakan sebuah anugrah yang sedikit demi sedikit akan mengalami perkembangan hingga ia mampu
membuka kemampuan berkomunikasi yang akan dimilikinya.
3. Teori Kognitivisme
Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan
kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa
seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka
beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Konsep sentral teori
kognitif adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan kognitifnya.
Jadi, konsep kognitifistik bersumber pada hasil dari belajar anak dan tidak berasal dari luar kognitif
anak , seperti afektif dan lain-lain. Konsep ini pula menjelaskan tentang belajar bahasa, bagaimana kita
berpikir, belajar terjadi dari kegiatan mental internal dalam diri kita, belajar bahasa merupakan proses
berpikir yang kompleks. Menurut Piaget, Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi
yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan lingualnya.
Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar terbagi empat periode yaitu: a)
periode sensori motor (0-2 tahun); b) periode praoperasional (2-7tahun); c) periode operasional konkret
(7-11 tahun); d) periode operasional formal (11-15 tahun). Sedangkan konsep-konsep dasar proses
organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget yaitu:
a. Skemata: dipandang sebagai sekumpulan konsep
b. Asimilasi: peristiwa mencocokan informasi baru dengan informasi lama yang dimiliki seseorang.
c. Akomodasi: terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian
dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama.
d. Equilibrium: bila keseimbangan tercapai tercapai maka siswa mengenal informasi baru.
7
5. Teori Konstruktivisme
Beberapa tokoh ahli kontruktivisme Jean Piaget dan Leu Vygotski menyatakan bahwa manusia
membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk
mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci
oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun
demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan
pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk
mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan
mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan
seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Siswa dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya. Dalam
kerjanya, ahli konstruktif menciptakan lingkungan belajar yang inovatif dengan melibatkan guru dan
pelajar untuk memikirkan dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi,
yaitu:
Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan belajar yang menarik
dan memotivasi pelajar, Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-
konsep, nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah. Sehingga muncul hubungan yang
dapat menambah komunikasi antara pembelajar dan pelajar dan menambah terjadinya proses belajar
bahasa yang benar-benar diharapkan terjadi.
8
6. Teori Humanisme
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di
tengah masyarakat. Salah satu bentuk belajar bahasa menurut teori humanisme, harus mengedepankan
hati/perasaan, pikiran, dan kehendak. Seorang tokoh ahli pada teori humanisme Coombs (1981)
menyatakan bahwa:
Pengajaran disusun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa, yaitu:
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya.
b. Pengajaran disusun untuk memperoleh keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi,
komunikasi, dan ekonomi).
c. Memilih dan memutuskan aktivitas pengajaran secara individual dan mampu.
d. Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi. suasana belajar yang menantang
dan bisa dimengerti.
Mengembangkan tanggung jawab siswa, mengembangkan sikap tulus, respek, dan menghargai orang
lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik. Dalam proses belajar-mengajar bahasa ada sejumlah
variabel, baik bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik, yang dapat menentukan
keberhasilan proses belajar mengajar itu.
Variabel-variabel itu bukan merupakan hal yang terlepas dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan
merupakan hal yang saling berhubungan, berkaitan, sehingga merupakan satu jaringan
sistem. Keberhasilan belajar bahasa dapat dikelompokkan menjadi asas-asas yang bersifat psikologis
anak didik, dan yang bersifat materi linguistik. Asas-asas yang yang bersifat psikologis itu, antara lain
adalah motivasi, pengalaman sendiri, keingintahuan, analisis sintesis dan pembedaan individual.
Motivasi lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka untuk
berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid sudah harus dibimbing agar memiliki dorongan untuk
belajar. Jika mereka mempunyai dorongan untuk belajar. Tanpa adanya kemauan, tak mungkin tujuan
belajar dapat dicapai. Jadi, sebelum proses belajar mengajar dimulai, atau sebelum berlanjut terlalu jauh,
sudah seharusnya murid-murid diarahkan.
Pengalaman sendiri atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan berkesan daripada
mengetahui dari orang, karena pengetahuan atau keterangan yang didapat dan dialami sendiri akan lebih
baik daripada hanya mendengar keterangan guru.
Keingintahuan merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu menjadi maju. Pada
anak-anak usia sekolah rasa keingintahuan itu sangat besar. Rasa keingintahuan ini dapat dikembangkan
dengan memberi kesempatan bertanya dengan meneliti apa saja.
9
Beberapa asumsi yang bersumber dari teori belajar bahasa yang mendasari pendekatan dalam belajar
bahasa ini diuraikan sebagai berikut (Enny, 2006: 5):
a. Belajar bahasa akan berlangsung dengan mudah bagi peserta didik apabila belajar bahasa itu
bersifat menyeluruh, nyata, relevan, bermakna, fungsional, disajikan dalam konteks
penggunaan, dan peserta didik menggunakannya.
b. Penggunaan bahasa bersifat personal dan sosial. Penggunaan bhasa itu didorong dari dalam diri
peserta didik sendiri oleh adanya kebutuhan peserta didik untuk berkomunikasi dan disusun
serta diekspresikan sesuai dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat.
c. Peserta didik belajar melalui bahasa dan belajar tentang bahasa yang kesemuanya berlangsung
secara simultan dalam konteks pengguanaan bahasa secara lisan dan tertulis secara autentik.
d. Perkembangan bahasa berlanngsung melalui proses penguatan. Belajar bahasa adalah belajar
bagaimana membangun makna sesuai dengan konteks. Jadi dalam teori belajar bahasa ini lebih
menekankan bagaimana proses psikologisnya, sebagaimana dikemukakan dalam teori
psikolinguistik tentang belajar bahasa itu.
B. Pembelajaran
Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar”
yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan
awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara
mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar (KBBI). Arikunto (1993: 12)
mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan yang mengandung terjadinya proses
penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap oleh subjek yang sedang belajar. Secara umum,
pembelajaran sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah
laku siswa berubah kearah yang lebih baik (Darsono, 2002: 24-25).
Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang di dalamnya terdapat proses
mengajar, membimbing, melatih, memberi contoh, dan atau mengatur serta memfasilitasi berbagai
hal kepada peserta didik agar bisa belajar sehingga tercapai tujuan pendidikan. Pembelajaran juga
diartikan sebagai usaha sistematis yang memungkinkan terciptanya pendidikan.
baiknya, ia terlebih dahulu hendaknya memahami dengan seksama hal-hal yang berkaitan dengan
proses pembelajaran.
Pandangan dasar tentang belajar mengajar ini diuraikan sebagai berikut:
a. Belajar lebih ditekankan dari pada mengajar
Mengajar bahasa pada hakikatnya adalah menciptakan kondisi yang bersifat kondusif yang
memungkinkan terjadinya proses belajar bahasa kalangan peserta didik. Pusat kegiatan belajar
mengajar adalah peserta didik karena peserta didiklah yang belajar. Jadi peserta didiklah yang
harus aktif. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga harus lebih dari itu,
semisal menjadi fasilitator yang mampu menciptakan kemudahan yang menunjang proses
belajar mengajar bagi peserta didiknya. Untuk mengelola belajar mengajar yang demikian
guru harus profesional dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu mestinya guru harus
berkompetnsi dan memiliki kompetensi kognitif, sikap, dan kompetensi performansi dalam
mengajarnya.
Kompetensi kognitif. Dalam kompetensi ini, guru bahasa diharapkan memiliki hal-hal
dibawah ini:
1) Penguasaan wawasan yang luas sesuai misi pendidik.
2) Mengetahui dan memahami karakteristik peserta didik sebagai pembelajar
bahasa.
3) Mengetahui teori bahasa dan teori belajar bahasa.
4) Menguasai bahan ajar mata pelajaran bahasa.
5) Mengetahui dan memahami metodologi pengajaran bahasa.
6) Mengetahui dan memahami cara menilai hasil belajar bahasa.
7) Mengetahui dan memahami strategi pengelolaan kelas dalam pengajaran bahasa.
8) Menguasai bahasa yang diajarkannya dan dapat menggunakannya dalam
berbagai peristiwa komunikasi.
Kompetensi sikap. Kompetensi sikap yang dimaksudkan disini bahwa guru bahasa
hendaklah mempunyai sikap seperti dibawah ini.
1) Bangga sebagai guru bahasa
2) Cinta dengan pekerjaan nya sebagai guru
3) Kemampuannya keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
4) Peka terhadap masalah-masalah bahasa dan pengajaran.
Kompetensi performansi. Kompetensi performansi yang dimaksud adalah guru
bahasa hendaklah memiliki hal-hal seperti:
1) Menyusun rencana pengajaran bahasa
11
Dalam pembelajaran bahasa di sekolah, guru tidak perlu memberikan tema-tema yang
spesifik karena anak-anak belajar bahasa seperti mencari teman belajar tentang lingkungannya dan
lingkungan keluarga sendiri. Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam
pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan
belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca,
menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala
bidang studi. Keterpaduan merupakan pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang
proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya
di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam
penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan
secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam
pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping
memberikan makna bagi anak.
Pembelajaran bahasa di gunakan untuk mengacu pada penguasaan bahasa kedua, baik yang
di lakukan secara formal maupun informal. Ada dua tipe pembelajaran yaitu :
1. Tipe Naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung
di dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Tipe Formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi dan alat-alat bantu belajar yang sudah
di persiapkan.
3. Prinsip pengulangan. Teori yang dapat dijadikan sebagai petunjuk pentingnya prinsip
pengulangan dalam belajar, antara lain bisa dicermati dari dalil-dalil belajar yang
dikemukakan oleh Edwar L. Thorndike (1974-1949) tentang law of learning yaitu “ law of
efect, law of exercices and law of reatiess”.
4. Prinsip tantangan. Impliukasi lain adanmya bahan belajar yang dikemas dalam suatu kondisi
yang menantang seperti mengandung masalah yang perlu dipecahkan, siswa akan tertantang
untuk mempelajarinya. Dengan kata lain pembelajaran yang memberi kesempatan kepada
siswa untuk turut menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalilsasi akan
menyebabkan siswa berusaha mencari dan menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan
generalilsasi tersebut.
5. Prinsip balikan dan penguatan. Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan
mendapat hasil yang baik. Apalagi hasil yang baik, merupakan balikan yang menyenangkan
dan bepengaruh baik dalam usaha belajar selanjutnya. Balikan yang segera diperoleh siswa
setelah belajar melalui pengamatan melalui metode-metode pembelajaran yang menantang
seperti tanya jawab diskusi, eksperiment, metode penemuan dan sejenisnya akan membuat
siswa terdorong untuk belajar lebih giat dan bersemangat.
6. Prinsip perbedaan individual. Perbedaan individual dalam belajar, yaitu bahwa proses belajar
yang terjadi pada setiap individu berbeda satu dengan yang lain, baik secara fisik dan psikis,
untuk itu dalam proses pembelajaran mengandung implikasi bahwa setiap siswa harus dibantu
untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya dan selanjutnya mendapat perlakukan dan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa itu sendiri.
c. Manusia selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Dengan maksud bahwa layanan
pembelajaran selain bersifat klasikal dan kelompok juga bersifat individual. Selain ada yang
dapat menguasai materi pembelajaran secara cepat juga ada yang menguasai isi pembelajaran
secara lambat dan siswa didik harus disikapi dengan subyek yang unik, baik menyangkut proses
merasa, berfikir dan karakteristik individual secara hasil bentukan lingkungan keluarga, teman
bermain maupun lingkungan kehidupan sosial masyarakatnya.
2. Prinsip progresivme beranggapan bahwa:
a. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan tidak bersifat mekanistis tetapi memerlukan daya
kreatifitas. Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan melalui kreativitas ini berkembang
secara berkesinambungan.
b. Dalam proses belajarnya, siswa seringkali dihadapkan pada masalah yang memerlukan
pemecahan secara baru. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa perlu menyaring dan
menyusun ulang pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya secara coba-coba atau
hipotesis. Dalam hal ini terjadi cara berfikir yang terkait dengan suatu pengetahuan dengan
pengalaman atau pengetahuan lain melalui proses berpikir untuk menghasilkan sesuatu.
Terdapatnya kesalahan dalam proses memecahkan masalah maupun pada hasil yang dibuahkan
sebagai bagian dari kegiatan belajar merupakan sesuatu yang wajar.
3. Prinsip konstruksionisme beranggapan bahwa:
a. Proses belajar disikapi sebagai kretivitas dalam menata serta menghubungkan pengalaman dan
pengetahuan hingga membentuk suatu keutuhan. Dalam tindak kreatif tersebut murid pada
dasarnya merupakan subyek pemberi makna. Kesalahan sebagai bagian dari kegiatan belajar
justru dapat membuahkan pengalaman dan pengetahuan baru.
b. Dalam mengembangkan materi atau bahan ajar, juga harus mempertimbangkan beberapa prinsip
seperti sahih, tingkat kepentingan, kebermanfaatan, layak dipelajari, menarik minat. Bahan yang
dipelajari siswapun harus memperhatikan ruang lingkup, tata urutan, keberlanjutan dan
keterpaduan.
Menurut Sugiarsih, prinsip pembelajaran bahasa dibagi menjadi 4 bagian yaitu: Prinsip
Kontekstual, Prinsip Integratif, Prinsip Funsional, dan Prinsip Apresiatif.
1. Prinsip Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistic
dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap
konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki
pengetahuan atau keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif
pemahamannya. Contextual Teaching and Learning (CTL) disebut pendekatan kontekstual karena
15
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada
guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan
strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa. Untuk itu diperlukan suatau
pendekatan belajar yang memberdayakan siswa.
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of
Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status
apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai
hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan
suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya. Tugas
guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih berurusan dengan trategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar
lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus
melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa .
2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara
seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan
mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan
mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.
5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan
bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual:
1) Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
2) Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks
3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.
16
4) Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri.
5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
6) Menggunakan penilaian otentik
7) Bertanya (Questioning) dalam Pendekatan Kontektual (CTL)
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuh
komponen utama untuk pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan
(modelling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
1. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal
abad 20 yang lalu. Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa
belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses
belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang
dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
Menurut pengembang filsafat konstruktivisme Mark Baldawin dan diperdalam oleh Jean
Piaget menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari
kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya: 2006) Menurut Suparno ( 1997:49 )
secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah : (a) pengetahuan dibangun
oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (b) pengetahuan tidak dipindahkan
dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk bernalar; (c) siswa aktif
mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih
rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah; (d) guru sekedar membantu menyediakan sarana
dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah
siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
17
a. menggali informasi,
b. menggali pemahaman siswa,
c. membangkitkan respon kepada siswa,
d. mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
e. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa,
f. memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru,
g. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
Dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa.
Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis
dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan.
Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau
siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman
anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat
dipecahkan sendiri, tetapi mebutuhkan bantuan orang lain. Konsep masyarakat belajar menyarankan
hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari „sharing’
antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila
ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling
belajar. Model pembelajaran dengan teknik ” Learning Community ” sangat membantu proses
pembelajaran di kelas. Praktiknya dalam pembelajaran terwujud dalam:
-Pembentukan kelompok kecil
- Pembentukan kelompok besar
- Bekerja dengan kelas sederajat
- Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
- Bekerja dengamn masyarakat
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru
menginginkan siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya
melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan ,melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. Misalnya : Guru memberikan contoh
bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing,
guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberikan contoh
18
bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara
menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling
siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya
verbalisme.
6. Refleksi (Reflektion)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir
kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang
apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Penilaian nyata (Authentic Assessment ) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk
mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian yang
autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara
terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan
kepada proses Belajar bukan kepada hasil belajar. Terdapat beberapa karakteristik dalam CTL :
a) Kerjasama
b) Saling menunjang
c) Menyenangkan, tidak membosankan
d) Belajar dengan bergairah
e) Pembelajaran terintegrasi
f) Menggunakan berbagai sumber
g) Siswa aktif
h) Sharing dengan teman
i) Siswa kritis guru kreatif
j) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar,
k) artikel, humor dan lain-lain
l) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan
m) hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
19
2. Prinsip Integratif
Bahasa adalah suatu sistem. Hal ini senada dengan pendapat Maksan (1994:2) yang mengatakan
bahasa adalah suatu sistem. Hal tersebut berarti suatu keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang
lainnya saling berkaitan untuk mencapai tujuan berbahasa yaitu berkomunikasi.
Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Keempat sistem ini tidak dapat
berdiri sendiri. Artinya, pada saat kita menggunakan bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu unsur
tersebut. Sebagai contoh pada saat pembelajaran berbicara, kita menggunakan kata, kata disusun
menjadi kalimat, kalimat yang kita ucapkan menggunakan intonasi yang tepat. Dalam kaitan ini secara
tidak sadar kita telah memadukan unsur fonologi (lafal, intonasi), morfologi (kata), sintaksis (kalimat),
dan semantik (makna kalimat).
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya tidak disajikan
secara terpisah-pisah. Pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya disajikan secara terpadu atau
terintegratif baik antara unsure fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic ataupun pemaduan antara
keterampilan berbahasa Indonesia. Sebagai contoh dalam pembelajaran keterampilan membaca, kita
dapat sekaligus memadukan keterampilan menulis, dan keterampilan berbicara. Selain itu, dalam
pembelajaran menyimak, kita dapat memadukan keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan
keterampilan membaca atau menulis.
Jadi, jelaslah bahwa pembelajaran bahasa Indonesia tidak dapat disajikan secara terpisahpisah.
Pembelajaran bahasa Indonesia harus disajikan secara terpadu.
3. Prinsip Fungsional
Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum 2004 adalah agar
peserta didik dapat menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan baik dan benar. Hal
ini sejalan dengan prinsip pembalajaran bahasa yang fungsional, yaitu pembelajaran bahasa harus
dikaitkan dengan fungsinya, baik dalam berkumunikasi maupun dalam memenuhi keterampilan untuk
hidup (Purnomo, 2020:10-11).
Prinsip fungsional dalam pemabalajaran bahasa pada hakikatnya sejalan dengan konsep
pembelajaran pendekatan komunikatif. Konsep pendekatan komunikatif mengisyaratkan bahwa guru
bukanlah penguasa dalam kelas. Guru bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar.
Sebaliknya, guru harus sebagai penerina informasi (Hairuddin, 2000:136). Jadi, pembelajaran harus
berdasarka multisumber. Dengan kata lain, sumber belajar terdiri atas peserta didik, guru, dan
lingkungan sekolah. Lebih tegas lagi Tarigan (Hairuddin, 2000:36) mengungkapkan bahwa dalam
konsep pendekatan komunikatif peran guru adalah sebagai pembelajar dalam proses pembelajaran
disamping sebagai pengorganisasi,, pembimbing, dan peneliti.
20
4. Prinsip Apresiatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988:46) kata “apresiasi” berarti
“penghargaan”. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, istilah apresiatif dimaknai “menyenangkan”. Jadi,
prinsip pembelajaran yang apresiatif berarti pembelajaran yang menyenangkan. Jika dilihat dari artinya,
prinsip apresiatif ini tidak hanya berlaku untuk pembelajaran sastra, tetapi juga untuk pembelajaran aspek
yang lain seperti keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Dalam hal ini
pembelajaran sastra dapat dipadukan dalam pembelajaran keempat keterampilan berbahasa tersebut.
21
BAB III
SIMPULAN
A. Simpulan
1. Terdapat beberapa teori yang melandasi tentang belajar bahasa, yaitu teori behaviorisme, teori
nativisme atau mentalistik, teori kognitivisme, teori fungsional (interaksionis), teori
konstruktivisme, dan teori humanism.
2. Pembelajaran Bahasa dilaksanakan dengan mengacu pada wawasan pembelajaran yang
dilandasi prinsip humanisme, progresivme dan rekonstruksionisme.
3. Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mengacu pada wawasan pembelajaran
yang dilandasi prinsip (l) humanisme, (2) progresivme, dan (3) rekonstruksionisme. Prinsip
humanisme berisi wawasan: manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya
memahami sesuatu, perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu, manusia selain
memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Lebih lanjut lagi sejumlah prinsip di atas dapat
dihubungkan dengan prinsip progresivisme yang beranggapan bahwa penguasaan pengetahuan
dan keterampilan tidak bersifat mekanistis tetapi memerlukan daya kreativitas. Selain itu, dalam
proses belajarnya siswa seringkali dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan
secara baru.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/1967110319930
32-NOVI_RESMINI/PRINSIP_DASAR_PEMBELAJARAN_BAHASA_INDONESIA.pdf
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132313273/pendidikan/BAHAN+AJAR+PEMBELAJARAN+BAHA
SA+INDONESIA.pdf
23
MAKALAH
PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN BAHASA
disusun oleh:
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) SILIWANGI
CIMAHI
2019
24
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
D. Manfaat Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Hakikat Pembelajaran Bahasa 4
B. Pembelajaran 9
C. Prinsip-prinsip Pembelajaran Bahasa 12
BAB III SIMPULAN 21