Anda di halaman 1dari 23

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN

MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
Laporan Kasus 1

Juli 2018

ANESTESI REGIONAL PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN FAAL KOAGULASI YANG AKAN
MENJALANI PROSEDUR PEMBEDAHAN ABDOMEN
BAGIAN BAWAH

Oleh :
Irfan Faisal S
C113215204

Pembimbing :
Dr. Alamsyah Ambo Ala Husain, Sp.An-KMN

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
BIDANG ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
I. PENDAHULUAN

Blok regio abdomen sudah ada sejak lama dan sering digunakan karena
kebanyakan secara teknis mudah dilakukan. Namun, teknik ini memiliki
keterbatasan area analgetik, sehingga biasanya diperlukan beberapa kali injeksi.
Teknik blok tersebut memiliki blind end point (pops) sehingga kesuksesannya sulit
diprediksi.5
Deskripsi teknik landmark untuk melakukan blok plana transversus
abdominis (TAP) menggunakan single entry point (titik masuk tunggal), triangle of
Petit, untuk mengakses beberapa nervus dinding abdomen, dan oleh karena itu akan
memberikan analgesia yang lebih luas. Baru-baru ini, telah diperkenalkan blok TAP
dengan bantuan USG yang menjanjikan lokalisasi dan deposisi anestesi lokal yang
lebih baik dengan perbaikan akurasi.1,3
Blok plana transversus abdominis (TAP) merupakan sebuah blok anestesi
lokal yang digunakan untuk memberikan analgesia pada dinding abdomen anterior
dan lateral. Rafi et al. serta McDonnel et al. merupakan yang pertama yang
menjelaskan teknik blok lapangan abdomen baru tersebut. Mereka menjelaskan
teknik landmark anatomi dan memberikan bukti blokade nervus thorak medial /
bawah dan nervus spinal atas karena teknik mereka mencakup plana vascial antara
m. transversus abdominis dengan m. obliquus internus. Kemudian Hebbard et al.
menjelaskan pendekatan blok TAP dengan bantuan USG.1,2,3

II. ANATOMI
Pada regio dinding abdomen ini terdapat 3 lapisan otot (Gambar 1).

M. Obliquus Eksternus
M. obliquus eksternus merupakan otot terbesar dan paling superfisial dari 3 lapisan
otot tersebut. Berjalan ke arah inferior dari lapisan eksternal costa 8 bawah. Serabut
otot yang berasal dari costa bawah berjalan inferior dan masuk kedalam crista
illiaca. Serabut otot yang berasal dari costa medial dan paling atas berjalan infero-
anterior dan berakhir pada broad aponeurosis. Pada bagian anterior, aponeurosisnya

2
bergabung dengan aponeurosis dari m. transversus abdominis dan m. obliquus
internus membentuk linea alba. Pada bagian inferior aponeurosisnya membentuk
ligamentum inguinalis.4

M. Obliquus Internus
M. obliquus internus merupakan lapisan otot yang lebih kecil dibanding m. obliquus
eksternus. Berasal dari ligamentum inguinalis dan crista illiaca. Serabut ototnya
menutupi bagian anterolateral abdomen masuk ke arah anterior kedalam linea alba,
diatas m. transversus abdominis, dan ke arah superior kedalam kartilago bagian
bawah costa 6.4

M. Transversus Abdominis
M. transversus abdominis adalah lapisan paling dalam dari ketiga lapisan otot
tersebut, terletak tepat dibawah m. obliquus internus. Serabutnya berasal dari
ligamentum inguinalis, crista illiaca, fascia lumbodorsal, dan permukaan dalam
kartilago bawah costa 6. Serabutnya berjalan transversus sepanjang abdomen dan
berakhir pada broad aponeurosis. Aponeurosis ini terletak lebih lateral dibanding
aponeurosis m. obliquus eksternus dan m. obliquus internus. Serabutnya terus
berjalan ke arah medial dan berinsersi kedalam line alba.4

Gambar 1. Jalur saraf tulang belakang thoracolumbar (T12). Ini adalah pandangan cross-sectional dari kiri
perut. Ramus primer anterior saraf segmental terbagi menjadi cabang-cabang kutan anterior dan lateral, yang
memasok dinding perut anterolateral.4

3
Suplai Sensorik Dinding Abdomen
Nervus thoracic 6 terbawah dan nervus lumbar pertama mensuplai sensasi ke
dinding abdomen (Gambar 2).

Nervus Thoracis T6-T11


Bagian anterior nervus T6-T11 berjalan sepanjang rongga intercostal, sebelum
melewati bagian bawah cartilago costa yang kemudian masuk kedalam plana fascial
antara m. transversus abdominis dan m. obliquus internus. Nervus tersebut terus
menembus m. rectus abdominis dan berakhir sebagai cabang kutaneus anterior yang
menginnervasi kulit abdomen anterior. Sekitar pertengahan jalan, nervus thoracis
bercabang ke arah lateral menjadi cabang kutaneus lateral yang akan berjalan ke
arah posterior menembus m. obliquus eksternus dan memberikan sensasi ke kulit
abdomen lateral dan belakang.4
Nervus Thoracis 12
Bagian anterior nervus T12 merupakan sebuah nervus besar. Nervus ini berjalan ke
arah anterior sepanjang batas inferior nervus 12 dan kemudian melewati bagian
bawah arcus lumbosacral dan kemudian berjalan sepanjang nervus intercostalis
lainnya antara m. transversus abdominis dan m. obliquus eksternus. Nervus T12
memiliki cabang komunikans dengan nervus L1 sebagai bagian atas plexus
lumbalis. Cabang kutaneus lateral T12 menginnervasi kulit regio gluteus superior.4

Nervus Illioinguinal dan Nervus Illiohypogastric (T12 / L1)


Nervus illiohypogastric dengan nervus illioinguinal dari plexu lumbalis akan
memasuki plana transversus abdominis didekat crista illiaca. Nervus
illiohypogastric terbagi menjadi cabang kutaneus anterior, menginnervasi kulit
diatas hipogastrium, dan cabang kutaneus lateral yang menginnervasi kulit regio
gluteus. Nervus illioinguinal berjalan dalam canalis inguinalis dan mengginervasi
kulit paha bagian atas, dasar penis, dan scrotum.4

4
Gambar 2. Nervus yang menginnervasi dinding anterior abdomen. Setiap angka romawi menunjukkan
nervus thoracic yang terletak dibawahnya.4

III. LAPORAN KASUS


1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. H
 No. Rekam medik : 120116
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 27 tahun
 BB/TB : 75 kg/150 cm
 IMT : 33,3 kg/cm2
2. Riwayat perjalanan penyakit
Pasien masuk rumah sakit ibu dan anak dengan keluhan luka terbuka pada
perut akibat pembedahan seksio Caesarea dengan rencana pembedahan
emergensi debridement + re-hecting

5
 Subjektif
Allergy: Alergi obat tidak ada, alergi makanan tidak ada, alergi
plester tidak ada, alergi bahan lateks tidak ada, alergi bahan lainnya
tidak ada
Medications: Pasien mendapatkan medikasi pra bedah dengan
Cefotaxim 1 gram/I.V. Tidak ada riwayat konsumsi obat herbal, obat
cina, dan jamu.
Past illness: Riwayat pembedahan seksio Caesarea 10 hari yang lalu
di RSIA Fatimah dengan anestesi regional tanpa penyulit dan
komplikasi. Riwayat hipertensi tidak ada, riwayat DM tidak ada,
riwayat asma tidak ada, riwayat merokok tidak ada, riwayat
konsumsi minuman alkohol tidak ada
Last meal: Makan dan minum terakhir 3 jam yang lalu
Event: Pasien perempuan 27 tahun masuk ke rumah sakit dengan
keluhan utama luka terbuka pasca pembedahan seksio Caesarea
yang dialami sejak ± 10 hari yang lalu.
 Objektif
B1: Pernapasan spontan, RR: 20x/menit, bunyi pernapasan
vesikuler, tidak didapatkan bunyi tambahan paru rhonki dan
wheezing pada kedua lapangan paru.
B2: TD: 190/115 mmHg, Nadi: 93x/menit regular kuat angkat, bunyi
jantung S1 dan S2 murni regular, tidak didapatkan murmur.
B3: Pasien sadar baik dengan GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor
diameter kiri = kanan Ø 3 mm, refleks cahaya kesan normal. Afebris
dengan S: 36,6 OC.
B4: Produksi urine sulit dinilai, pasien tidak terpasang kateter urine
B5: Perut cembung, supel, peristaltik dalam batas normal. Tampak
perban pada dinding abdomen regio hipogastrik.
B6: Didapatkan udem pada kedua tungkai.

6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium didapatkan
HGB: 10,2 gr/dl
WBC: 18.300 /mm3
HCT: 30,5 %
PLT: 95.000 /mm3
GDS: 99 mg/dl
CT: 9 menit
BT: 6 menit
 Assesment
Kesimpulan pasien kategori ASA PS kelas 3 E
 Planning
Rencana anestesi regional blok TAP (Transversus Abdominis Plane)
 Instruksi pra anestesi
1. Pasang oksigen 2-4 liter/menit via nasal kanul
2. Terpasang kateter intravena dengan abocath 18 G di tangan
kanan dengan maintenance ringer laktat 27 tetes/menit
3. Stop intake oral dan lanjutkan puasa
4. Siap PRC 1 kantong di bank darah
5. Pasang kateter urin, takar produksi urin per 8 jam
6. Injeksi antibiotik profilaksis 2 gram/intravena, 1 jam sebelum
pembedahan
7. Injeksi ondansetron 8 mg/intravena, 30 menit sebelum
pembedahan
8. Injeksi dexamethasone 10 mg/intravena, 30 menit sebelum
pembedahan
9. Injeksi ranitidine 50 mg/intravena, 30 menit sebelum
pembedahan
10. Injeksi metoklorpramide 15 mg/intravena 30 menit sebelum
pembedahan

7
11. Injeksi ketorolak 30 mg/intravena, 30 menit sebelum
pembedahan
12. Dorong pasien ke kamar bedah 30 menit sebelum jadwal
pembedahan
 Anestesi di kamar bedah
1. Pasien masuk kamar bedah dengan posisi supine, terpasang
kateter intravena abocath 18G di tangan kanan dengan
maintenance ringer laktat 27 tetes/menit. Pasang monitor standar
SpO2, EKG, NIBP.
2. Terekam SpO2 97% dengan O2 via nasal kanul 2-4 liter/menit,
pernapasan 20 kali/menit. TD: 168/115 mmHg. Nadi 95
kali/menit.
3. Premedikasi dengan fentanyl 40 mcg/i.v.
4. Pasien tetap posisi supine, beri tanda pada daerah subcostal
border, anterior axillary line, mid-axillary line dan iliac crest.
Identifikasi triangle of Petit sinistra, desinfeksi dengan povidone
iodine 10% dan alkohol 70%, skin wheel dengan lidokain 2% 40
mg, insersi abocath 20G hingga terasa sensasi double pop, darah
tidak ada. Injeksi agen anestesi lokal bupivakain 0,5 % isobarik
150 mg 30 ml.
5. Blok anestesi diperiksa, didapatkan blok otonom dengan tes
dingin setinggi dermatom VTh. 9 sampai VL. 1, blok sensorik
dengan pin prick test setinggi dermatom VTh. 10 sampai VTh.
12, skor bromage 0/3.
6. Maintenance dengan O2 100% 4 liter/menit via nasal kanul
7. Operator dipersilahkan untuk memulai operasi setelah blok
anestesi yang diharapkan tercapai.
8. Selama periode intra bedah pasien bernapas spontan dan
adekuat, hemodinamik tekanan darah tetap tinggi tapi nadi
stabil, dan pasien tersedasi dengan Ramsay Sedation Scale 2/6.

8
9. Operasi berjalan selama 1 jam, dengan perdarahan 10 ml. Pasien
di transfer ke ruang PACU dengan napas spontan dan adekuat,
hemodinamik stabil, dan pasien sadar baik.
 Pasca bedah
Pasien kembali ke ruang perawatan dengan manajemen nyeri pasca
bedah paracetamol 500 mg/6 jam/oral.

IV. PEMBAHASAN
Ahli anestesi seringkali dihadapkan dengan pertanyaan apakah risiko
teknik anestesi regional akan meningkat ketika dilakukan pada pasien dengan
gangguan koagulasi, dan jika demikian, apakah peningkatan tersebut bermakna
sehingga tekniknya harus diubah atau dihindari. Hal ini tidak saja karena
meningkatnya popularitas anestesi regional, namun juga karena peningkatan
penggunaan obat antikoagulan untuk mencegah thromboemboli vena, serta
banyaknya obat berbeda yang digunakan. Komplikasi berat anestesi regional pada
pasien tanpa gangguan koagulasi memang sangat rendah. Misalnya, pada National
Audit Project ketiga (NAP3), insides hematom kanalis vertebralis setelah blokade
neuraksial adalah 0.85 per 100.000 (95% CI 0–1.8 per 100 000).7
Peningkatan risiko komplikasi hemoragik pada pasien dengan gangguan
koagulasi tidak dapat ditentukan, namun kemungkinan sangat kecil. Jarangnya
kejadian komplikasi berarti kita sulit menentukan estimasi akurat insidens
komplikasi akibat gangguan koagulasi, dan oleh karena itu bukan tidak mungkin
kita akan memberikan ‘data kasar’ bagi pasien dan dokter. Oleh karena itu kami
bergantung pada opini para ahli, laporan kasus, serial kasus, penelitian kohort, dan
penjelasan sifat-sifat obat seperti waktu dari konsumsi obat hingga tercapainya
kadar plasma puncak, dan waktu paruh obat.6
Pedoman klinis yang berhubungan dengan risiko anestesi regional pada
pasien dengan gangguan koagulasi seringkali bersifat biner. Misalnya, seringkali
dikatakan bahwa performa blok neuraksial pada pasien dengan jumlah platelet <

9
75x109/l tidak bagus, sedangkan performanya pada kadar platelet > 75x109/l dapat
diterima. Namun, tidak terdapat bukti relevan perbedaan risiko atau prognosis
setelah blok neuraksial pada dua kelompok pasien, yaitu jumlah platelet 74 x109/l
dan 76 x109/l. Risiko adalah sebuah istilah kontinyu mulai dari ‘risiko normal’
hingga ‘risiko sangat tinggi’, dan pedoman ini bertujuan untuk menentukan titik
risiko tersebut. Pedoman ini harus diinterpretasikan dan digunakan setelah
mempertimbangkan keadaan individual pasien. Tidak ada saran dalam pedoman
ini yang bersifat prohibisi atau indikasi. Gangguan koagulasi – seberat apapun –
selalu merupakan kontraindikasi relatif terhadap penggunaan teknik anestesi
regional. Namun, walaupun penggunaan teknik regional bagi pasien dengan
gangguan koagulasi dapat meningkatkan risiko yang diderita pasien, pada keadaan
tertentu alternatif lain bagi pasien tersebut (seringkali adalah anestesi umum)
memiliki risiko yang jauh lebih besar. 6

10
Tabel 1. Risiko relatif yang berhubungan dengan blok nervus neuraksial dan perifer
pada pasien dengan gangguan koagulasi
Kategori blok Contoh blok dalam kategori tersebut
Risiko lebih Epidural dengan kateter
tinggi Single-shot epidural
Spinal
Blok paravertebral Blok paravertebra
Blok plexus lumbar
Sympathectomy lumbar
Blok plexus cervical dalam
Blok dalam Blok plexus coeliac
Blok ganglion stellata
Blok sciatic proksimal (Labat, Raj, sub-
gluteal)
Blok obturator
Blok pelxus brachialis infraclavicular
Blok infraclavicular vertikal
Blok pelxus brachialis supraclavicular
Blok perivascular Blok sciatic popliteal
superfisial Blok nervus femoral
Blok nervus intercostal
Blok plexus brachial interscalene
Blok plexus brachial axillar
Blok fascial Blok illio-inguinal
Blok illio-hipogastric
Blok plana abdominis transversus
Blok fascia lata
Blok superfisial Blok nervus lengan bawah
Blok nervus saphena lutut
Blok nervus pergelangan kaki
Blok plexus cervical superfisial
Blok pergelangan tangan
Blok nervus digiti
Blok Biers’
Risiko normal Infiltrasi lokal
Catatan Tabel 1
Hanya ada 26 laporan publikasi komplikasi perdarahan signifikan akibat blok
nervus perifer dan blok plexus. Setengah dari kejadian tersebut terjadi pada pasien

11
yang mendapatkan obat-obat antikoagulan dan setengah pada pasien dengan
koagulasi normal. Bahaya pada pasien dapat berasal dari:
 Hematom spinal setelah tidak sengaja masuk ke kanalis spinali selama
percobaan blok paravertebra seperti yang dijelaskan dalam Tabel.
 Eksanguinasi.
Kompresi struktur lainnya, seperti obstruksi jalan nafas, oklusi pembuluh darah
besar, atau iskemik jaringan.6

INDIKASI BLOK TAP


Blok TAP dapat dilakukan sebagai bagian dari regimen analgetik untuk
operasi abdomen. Penelitian awal dapat menunjukkan blok berekstensi dari T7-L1
dengan menggunakan injeksi bilateral. Penelitian selanjutnya tidak dapat
memberikan hasil yang sama dimana kebanyakan penelitian hanya dapat mencapai
tingkat sensorik teratas sekitar T9/10. Blok bagian bawah ini didukung oleh
penemuan pada penelitian kadaver, menunjukkan adanya persebaran anestesi lokal
setelah injeksi TAP posterior tunggal. Oleh karena itu kita dapat menyimpulkan
bahwa blok TAP hanya dapat digunakan sebagai analgesia untuk operasi abdomen
bawah, misalnya:
 Repair hernia
 Appendectomy terbuka
 Seksio Caesarea
 Histerektomy abdomen total
 Prostatektomy radikal8,9

Telah dijelaskan penggunaan blok TAP subcostal tambahan selain injeksi


TAP posterior. Blok ini dapat dilakukan untuk memberikan analgesia bagi operasi
abdomen yang melewati umbilikus.10

Untuk review komprehensif bukti penggunaan blok TAP, silakan lihat


artikel yang dipublikasikan dalam Update in Anesthesia. Artikel tersebut akan
memberikan penjelasan mendalam terkait hasil penelitian terbaru.11

12
KONTRAINDIKASI BLOK TAP
Absolut
 Pasien menolak
 Alergi terhadap anestesi lokal
 Infeksi lokal di daerah injeksi

Relatif
 Koagulopati
 Operasi pada daerah injeksi4

KOMPLIKASI
Blok TAP merupakan teknik yang relatif aman dengan hanya sedikit
laporan kasus komplikasi signifikan. Komplikasi yang telah dilaporkan termasuk :
 Kegagalan anestesi
 Toksisitas anestesi lokal
 Injeksi intraperitoneal
 Cedera usus
 Cedera hepar4

Tabel 2. Risiko anestesi regional pada pasien dengan gangguan koagulasi –


keadaan tertentu.

Trauma Koagulopati pada trauma dipercepat oleh trauma jaringan,


syok, hemodilusi, hipotermia, acidemia, dan inflamasi.
Setelah trauma mayor, direkomendasikan untuk menilai
potensi koagulopati sebelum melakukan teknik anestesi
regional apapun
Sepsis Sepsis berat dihubungkan dengan keadaan prokoagulan.
Pedoman yang ada mendukung penggunaan kemoprofilaksis
terhadap thrombosis vena dalam. Untuk saran mengenai
anestesi regional dengan thromboprofilaksis, lihat Tabel 1.
Syok sepsis dapat dihubungkan dengan terjadinya

13
koagulopati konsumtif. Sepsis sistemik yang signifikan
secara klinis masih menjadi kontraindikasi relatif anestesi
neuraksial sentral karena tingginya peningkatan insidens
abses epidural dan meningitis
Uremia Uremia dapat menyebabkan koagulopati sekunder karena
thrombositopenia. Direkomendasikan untuk semua pasien
yang mengalami uremia signifikan untuk menjalani
pemeriksaan jumlah dan fungsi platelet sebelum melakukan
anestesi regional. Fungsi platelet dapat ditingkatkan dengan
pemberian desmopressin.

Pasien dengan gangguan ginjal kronik dapat ditangani


dengan dialisis regular. Harus dipertimbangkan adanya
residu antikoagulasi setelah pemberian heparin pada pasien
yang telah menjalani dialisis, dan hentikan heparin jika
diindikasikan. Jika dilakukan anestesi regional, harus
dipertimbangkan keamanan pelepasan kateter pada pasien
yang memiliki kemungkinan mendapatkan heparin selama
dialisis berikutnya.
Gangguan hepar Semua faktor koagulasi kecuali faktor VIII disintesis di
hepar. Gangguan hepar dihubungkan dengan gangguan
hemostatik, hingga harus dinilai sebelum melakukan teknik
anestesi regional. Mungkin terdapat thrombositopenia dan
gangguan fungsi platelet karena hipersplenisme. Pasien
dengan gangguan hepar merupakan kelompok risiko tinggi
untuk mendapatkan anestesi umum. Ketika
mempertimbangkan anestesi regional sebagai sebuah
alternatif, maka koagulopati harus dinilai dan dikoreksi jika
diindikasikan.
Transfusi massif Transfusi masif dihubungkan dengan perubahan hemostasis,
disertai dengan dilusi dan konsumsi faktor koagulasi yang
merupakan penyebab utama perubahan patologis tersebut.
Dalam menilai derajat koagulopati sebelum melakukan
teknik anestesi regional, koagulopati pada transfusi masif
merupakan sebuah keadaan dinamik. Kita harus melakukan
penilaian saat perdarahan terkontrol dan kardiovaskular
pasien stabil. Penilaian fungsi platelet idealnya dilakukan
pada pasien yang telah mendapatkan transfusi platelet.

14
Disseminated Disseminated intravascular coagulopathy (DIC) merupakan
intravascular aktivasi mekanisme koagulasi patologis sebagai respon
coagulopathy terhadap proses penyakit yang menyebabkan koagulopati
konsumtif. Blok neuraksial tidak aman untuk diagnosis DIC.
Jika dipertimbangkan blok perifer, maka harus pada daerah
yang dapat dikompresi.
Catatan Tabel 2
Semua keadaan yang didiskusikan diatas dapat berada dalam keadaan ‘aktif’, yang
dihubungkan dengan koagulopati signifikan. Jika dianggap bahwa anestesi regional
memiliki potensi, misalnya untuk analgetik post-operatif, maka harus dilakukan
sesuai dengan pedoman yang dipaparkan dalam publikasi ini.6

TEKNIK
Tujuan dari blok TAP adalah untuk memasukkan anestesi lokal dalam
jumlah banyak kedalam plana transversus abdominalis dimana digunakan
setidaknya 20 ml cairan untuk setiap sisi. Konsentrasi larutan anestesi yang
digunakan akan bergantung pada perhitungan dosis maksimal anestesi lokal yang
diizinkan. Terdapat blok TAP teknik landmark dan teknik bantuan USG, dibawah
ini kami akan menjelaskan masing-masing teknik tersebut. 4

Persiapan Umum
Diperlukan :
 Alat resusitasi lengkap
 Monitoring pasien (EKG, pulse oxymetry, tekanan darah)
 Preparat antiseptik kulit dan handschoen steril
 Jarum blok short bevel (30°) (50-100 mm) atau jarum Touchy 16-G dengan
set ekstensi
 Spoit 20 ml

15
 Anestesi lokal – pada kebanyakan kasus digunakan anestesi lokal kerja
panjang (Levobupivacaine, Ropivacaine). Untuk perhitungan volume dapat
digunakan 0,3-0,6 ml/kgBB per sisi.

Blok ini dapat dilakukan dalam keadaan sadar, namun lebih umum dilakukan
dengan pasien dalam pengaruh anestesi umum. 4

Teknik Landmark
Teknik landmark, yang diperkenalkan oleh McDonnel et al. menilai plana
transversus abdominis melalui segitiga Petit lumbar. Segitiga tersebut merupakan
landmark permukaan yang pada bagian anterior dibatasi oleh m. obliquus eksternus,
batas posterior m. latissimus dorsi, dan batas inferior crista illiaca (Gambar 3).

Gambar 3. Outline landmark segitiga Petit (EO, m. obliquus eksternus; TOP, segitiga Petit; LD, m. latissimus
dorsi). 4

Teknik Blind
 Identifikasi segitiga petit dengan menggunakan landmark anatomis seperti yang
telah dijelaskan diatas. Depresi kadang dapat dipalpasi antara batas posterior m.
obliquus eksternus dengan batas anterior m. latissimus dorsi. Sebagai panduan,

16
biasanya ditemukan pada daerah linea axillaris posterior, tepat diatas crista
illiaca.
 Masukkan jarum blok regional short bevel tegak lurus dengan kulit. Juga dapat
digunakan jarum Touchy.
 Setelah menembus kulit, jarum dimajukan hingga terasa ‘pop’ – ini adalah tanda
jarum telah menembus fascia m. obliquus eksternus. Jarum dimajukan lagi
hingga terasa ‘pop’ kedua, karena jarum telah menembus fascia m. obliquus
internus. Teknik hilangnya resistensi juga dapat digabungkan dengan teknik
‘fascial click’ ini untuk meyakinkan operator bahwa fascia telah ditembus.
Jarum sekarang harusnya berada di superfisial / bagian atas m. transversus
abdominis, dalam plana transversus abdominis (Gambar 4).
 Setelah dilakukan aspirasi untuk mengeksklusi malposisi ujung jarum, anestesi
lokal diinjeksikan. Harus digunakan minimal 20 ml anestesi lokal per sisi.
 Hati-hati agar tidak melebihi batas dosis aman maksimal anestesi lokal.

Gambar 4. Diagram potongan transversus dinding abdomen saat melakukan blok TAP cara landmark (N,
jarum; ST, jaringan subkutan; EO, m. obliquus externus; IO, m. obliquus internus; TA, m. transversus
abdominis; LD, m. latissimus dorsi; QL, m. quadratus lumbalis)4

Teknik Bantuan USG


Pertama kami akan mendiskusikan teknik blok TAP posterior dengan bantuan USG,
yang sering digunakan untuk insisi abdomen bawah. Kemudian kami akan

17
menjelaskan modifikasi subcostal untuk mendapatkan analgesia pada abdomen
atas.

Teknik ini lebih memakan waktu dibanding pendekatan landmark, karena persiapan
peralatan USG. Namun lebih direkomendasikan karena keuntungan dapat melihat
jarum selama insersi, sehingga memastikan bahwa jarum berada di tempat yang
tepat dan tidak mencederai struktur lain. Harus ditekankan bahwa jarum harus tetap
terlihat selama insersi.

Persiapan
 Sama seperti teknik landmark
 Mesin USG
 Probe array linear frekuensi tinggi (6-13 mHz) dengan penutup probe serta gel
steril
 Tidak direkomendasikan penggunaan probe akses vaskular (misalnya Sononite
iLook) kecuali sudah ahli dalam melakukan anestesi regional dengan bantuan
USG. Cedera intra-abdominal dapat terjadi karena kurangnya visualisasi jarum
dengan penggunaan alat tersebut.
 Seorang asisten untuk melakukan injeksi anestesi lokal (pilihan)

Blok (Injeksi Posterior)


 Transducer USG diposisikan horizontal abdomen
 Lapisan otot pada bagian antero-lateral abdomen dapat dilihat dengan
melakukan scan dari arah midline ke area antara crista illiaca dan arcus costa
pada linea mid-axillaris.
 M. rectus abdominis teridentifikasi pada bagian midline sebagai sebuah struktur
berbentuk oval / elips.
 Saat melakukan scan secara lateral, m. rectus abdominis menampilkan plana
fascial (linea semilunaris). Plana fascia ini kemudian akan memunculkan 3
lapisan otot : m. obliquus externus, m. obliquus internus, dan m. transversus
abdominis (Gambar 5)

18
 Transducer USG dipindahkan untuk scan lateral dimana dapat terlihat 3 lapisan
otot yang berjalan paralel satu sama lain (Gambar 6)
 Transducer USG dipindahkan ke arah lebih posterior, agar dapat melihat titik
dimana m. transversus abdominis mulai menghilang. Dengan gambaran USG
yang adekuat, jarum blok regional dimasukkan dari anterior transducer. Hal ini
memungkinkan pandangan jarum dalam plana saat jarum menembus plana
transversus abdominalis (Gambar 7 & 8).
 Anestesi lokal kemudian diinjeksikan secara perlahan. Jika jarumnya berada
dalam posisi yang tepat, plana fascialis terlihat terpisah dan membentuk
gambaran elips hipoehoik berbatas tegas antara m. obliquus internus dengan m.
transversus abdominis.4

Gambar 5. Gambaran USG jika probe ditempatkan sejajar dengan midline untuk memvisualisasi m. rectus
abdominis secara medial dan asal m. obliquus externus, m. obliquus internus, dan m. transversus abdominis
secara lateral. 4

19
Gambar 6. Gambaran USG yang didapatkan saat probe dipindahkan ke arah lateral menjauhi midline 4

Gambar 7. Gambar yang menunjukkan posisi transducer USG dan teknik jarum in-plane untuk blok TAP
posterior pada sisi kanan pasien 4

20
Gambar 8. Gambaran USG selama blok TAP posterior. m. transversus abdominis dapat terlihat bersatu dengan
4
garis fascia. Perkiraan sudut insersi jarum ditunjukkan dalam gambar.

 Penting untuk mengawasi persebaran anestesi lokal. Jika nampak patch opak
dalam otot superfisial atau dalam plana transversus abdominalis, maka jarum
harus diposisikan kembali hingga terlihat persebaran lokal dalam plana,
memisahkan fascia antar otot. Jika tidak didapatkan adanya persebaran lokal –
berhenti; ujung jarum mungkin tidak berada pada tempatnya, atau anestesi lokal
diinjeksikan kedalam pembuluh darah atau rongga peritoneal (Gambar 9).

Gambar 9. Gambar yang menunjukkan posisi jarum optimal selama blok TAP dengan bantuan USG. 4

V. RINGKASAN
1. Blok TAP merupakan teknik tambahan untuk analgesia. Teknik ini
tidak memberikan anestesia untuk operasi karena tidak memberikan
anestesia atau analgesia visceral

21
2. Blok TAP landmark dan USG posterior jika dilakukan dengan tepat
akan memberikan analgesia yang baik untuk operasi-operasi
dibawah umbilikus
3. Blok TAP subcostal oblik dapat dipertimbangkan untuk area operasi
diatas umbilikus.
4. Teknik ini merupakan teknik plana fascia, dan bergantung pada
deposisi anestesi lokal dalam jumlah besar untuk menganestesi
beberapa nervus kecil pada dinding abdomen. Dosis maksimal
anestesi lokal harus dihitung untuk menghindari efek toksisitas
sistemik.

22
TINJAUAN PUSTAKA
1. Rafi A. Abdominal field block: a new approach via the lumbar triangle.
Anaesthesia. 2001;56(1):1024-6.
2. McDonnell JG, O’Donnell BD, Tuite D, Farrell T, Power C. The regional
abdominal field infiltration technique computerised tomographic and
anatomical identification of a novel approach to the transversus abdominis
neuro-vascular fascial plane. Anaesthesiology. 2004;101(1):A899.
3. Hebbard P, Fujiwara Y, Shibata Y, Royse C. Ultrasound-guided transversus
abdominis plane (TAP) block. Anaesth Int Care. 2007;35(1): 616-7.
4. Townsley P. Transversus abdominis plane block; anaesthesia tutorial of the
week 239. W Fed Soc Anesth. 2011;1(1):1-12.
5. Mukhtar K. Transversus abdominis plane (TAP) block. J New York Reg
Anesth. 2009;12(1):28-33.
6. Harrop-Griffiths W, Cook T, Gill H, Hill D, Ingram M, Makris M, et al.
Regional anaesthesia and patients with abnormalities of coagulation.
Anesthesia. 2013;1(1):1-7.
7. Cook TM, Counsell D, Wildsmith JA. Major complications of central
neuraxial block: report on the third national audit project of the royal college
of anaesthetists. Br J Anaesth. 2009;102(2):179–90.
8. McDonnell JG, O’Donnell B, Curley G, Heffernan A, Power C, Laffey JG.
The analgesic effect of transversus abdominis plane block after abdominal
surgery. Anaesth Analg. 2007;104(1): 193-7.
9. Tran TMN, Ivanusic JJ, Hebbard P, Barrington MJ. Determination of spread
of injectate after ultrasound guided transversus abdominis plane block: a
cadaveric study. Br J Anaesth. 2009;102(1):123-7.
10. Hebbard P, Barrington M, Vasey C. Ultrasound-guided continuous oblique
subcostal transversus abdominis plane block. Reg Anesth Pain Med.
2010;35(5):436-41.
11. Webster K. The transervsus abdominis plane (TAP) block: abdominal plane
regional anaesthesia. Upd Anaesth. 2008;24(1):25-30.

23

Anda mungkin juga menyukai