Anda di halaman 1dari 75

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

PADA NY. S DENGAN DIAGNOSA CLOSE FRAKTUR TIBIA DEXTRA


1/3 MEDIAL DENGAN TINDAKAN ORIF (OPEN REDUCTION
INTERNAL FIXATION) PLATE SCREW DI INSTALASI BEDAH
SENTRAL RSPAU dr. S. HARDJOLUKITO YOGYAKARTA

Disusun Oleh :
Etik Fitarani, A.Md.Kep
Eva Kusdamayanti, A.Md.Kep
Maretta Arries Sekarsari, A.Md.Kep

HIMPUNAN PERAWAT KAMAR BEDAH INDONESIA


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Perioperatif pada Ny. S dengan Diagnosa Close


Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Simple dengan Tindakan ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) di Instalasi Bedah Sentral RSPAU dr. S.Hardjolukito
Yogyakarta, ini telah dipertahankan di depan pembimbing, guna memenuhi syarat
sebagai peserta pelatihan HIPKABI Yogyakarta, pada :

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Mengesahkan,

Pembimbing Lahan I Pembimbing Lahan II

Suryo Krismantoro, Amd.Kep Kholis Setianto, Amd.Kep


NIP. 198301162007121001 NIP. 197501232006041001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah
dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus
dengan judul “Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Ny. S Dengan Diagnosa
Close Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Dengan Tindakan Orif (Open Reduction
And Internal Fixation) Plate Screw Di Instalasi Bedah Sentral RSPAU Dr. S.
Hardjolukito Yogyakarta”.
Laporan asuhan keperawatan perioperatif ini disusun guna untuk memenuhi
syarat dalam menyelesaikan Pelatihan Dasar Perawat Kamar Bedah angkatan 16
HIPKABI DIY. Dalam menyusun laporan asuhan keperawatan perioperatif ini,
penulis mendapat bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu
pada kesempatan kali ini penulis akan menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. dr. Djunaidi MS., SP.KP selaku direktur RSPAU dr. S. Hardjolukito
2. dr. Ketut, SP. An selaku kepala IBS RSPAU dr. S. Hardjolukito
3. Elfi Etikasari, S.Kep selaku kepala keperawatan IBS RSPAU dr. S.
Hardjolukito
4. Suryo Krismantoro, Amd. Kep selaku pembimbing klinik
5. Kholis Setianto, Amd.Kep selaku pembimbing klinnik
6. Hariyanto, SST Selaku Ketua Panitia Himpunan Pelatihan Dasar Perawat
Kamar Bedah Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta.
7. Seluruh karyawan dan karyawati Instalasi Bedah Sentral RSPAU dr.
S.Hardjolukito.
Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah akhir DIII
Keperawatan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak agar menjadi lebih baik.

Yogyakarta, Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................... Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5
A. Latar Belakang........................................................................................ 5
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan ..................................................................................................... 8
D. Ruang Lingkup ....................................................................................... 9
E. Manfaat ................................................................................................... 9

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkembangan kota-kota di Indonesia telah mencapai tingkat


perkembangan kota yang sangat pesat dan cukup tinggi. Hal ini terlihat dari
beberapa gejala secara tidak langsung yang muncul seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri. Meningkatnya jumlah
penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kasus kecelakaan.
Kecelakaan merupakan salah satu fakor penyebab kematian terbesar di
Indonesia, namun selain kematiaan, kecelakaan juga mampu menimbulkan
dampak lain seperti kecacatan fisik akibat timbulnya fraktur atau patah
tulang.
Menurut World Health Organization (WHO) mencatat fraktur yang
terjadi di dunia kurang lebih 13 juta orang pada tahun 2012 dengan
persentase 2,7%, sementara pada tahun 2013 terdapat kurang lebih 18 juta
orang dengan persentase 4,2%, dan sedangkan pada tahun 2014 mengalami
peningkatan menjadi 21 juta orang dengan persentase 7,5%.
Menurut Depkes RI 2013, di dapatkan data bahwa dari jumlah
kecelakaan yang terjadi terdapat 5,8% mengalami cedera atau sekitar 8 juta
orang mengalami fraktur dengan jenis fraktur yang paling banyak terjadi
yaitu fraktur pada bagian ekstremitas bawah sebesar 65,2% dan ekstremitas
atas sebesar 36,9%. Dari 45.987 dengan kasus fraktur ekstremitas bawah
akibat kecelakaan, 19.629 mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami
fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur
fibula (Depkes RI, 2011).
Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 2018, sekitar 79% mengalami
cedera patah tulang yang di akibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Adapun data yang tercatat di RSPAU dr. S.Hardjolukito pada tahun 2019,
Dari 445 kasus fraktur diantaranya, kasus pada fraktur tibia sebesar 52,

5
fraktur femur sebesar 57 kasus, rupture tendon 7 kasus, fraktur humerus
sebesar 21 kasus, fraktur radius sebesar 124 kasus, fraktur ulna sebesar 52
kasus, fraktur clavicula sebesar 81 kasus, fraktur radius ulna sebesar 33
kasus, fraktur tibia fibula sebesar 18 kasus, fraktur fibula sebesar 23 kasus,
dan fraktur metacarpal sebesar 43 kasus.
Fraktur atau patah tulang merupakan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung,
kelelahan otot, atau karena kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang/osteoporosis. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan usia dibawah 45 tahun, hal ini dikarenakan adanya
hubungan dengan olahraga, pekerjaan dan kecelakaan. Sedangkan pada usia
lanjut (Lansia) prevelensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita yang
berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan
hormon.
Penanganan fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif
(tanpa pembedahan) dan dengan pembedahan. Tindakan pembedahan salah
satunya yaitu tindakan pembedahan reduksi terbuka atau sering disebut
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) sebagai alat fiksasi atau
penyambungan tulang yang patah. Sebanyak 57,1% penatalaksanaan fraktur
dilakukan dengan pembedahan ORIF (Ropyanto, Sitorus & Eryando, 2013).
Tindakan ORIF lebih banyak dilakukan karena memiliki keuntungan
seperti reduksi akurat dan stabilitas reduksi tinggi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, screw, plate, paku atau batangan logam dapat digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang sulit terjadi yang disebut fase Remodeling.
Pembedahan ORIF dilakukan dengan tujuan agar fragmen dari tulang yang
patah tidak terjadi pergeseran dan dapat menyambung lagi dengan baik.
Setelah dilakukan tindakan pembedahan ORIF, salah satu masalah
keperawatan yang muncul yaitu nyeri akut (Muttaqin, 2011). Nyeri akut
adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah

6
dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat
(Andramoyo,2013).
Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan oleh tindakan invasif
bedahh yang dilakukan. Walaupun fragmen tulang direduksi, tetapi
manipulasi seperti pemasangan screw dan plate menembus tulang akan
menimbulkian nyeri hebat. Nyeri tersebut bersifat akut yang berlangsung
selama berjam-jam hingga berhari-hari. Hal ini disebabkan oleh
berlangsungnya fase inflamasi yang disertai dengan edema jaringan.
Lamanya proses penyembuhan setelah mendapatkan penanganan dengan
fiksasi internal akan berdampak pada keterbatasan geraak yang disebabkan
oleh nyeri maupun adaptasi terhadapp penambahan screw dan plat tersebut.
Kondisi nyeri ini seringkali mnimbulkan gangguan pada pasien baik
gangguan fisiologis maupun psikologis.
Seseorang yang mengalami nyeri akan terganggu aktivitas sehari-
hharinya seperti istirahat tidur, pemenuhan kebutuhan individual, dan
interaksi sosial yang berupa menghindari kontak, menghindari percakapan
bahkan menarik diri. Selain itu seseorang yang mengalami nyeri yang hebat
apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan syok neurologik (Agung,
Andriyani, 2013).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan studi
kasus asuhan keperawatann perioperatif yang dituangkan dalam bentuk
laporan dengan judul “Laporan Asuhan Keperawatan Perioperatif pada Ny.
S dengan Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Simple dilakukan ORIF di
instalasi bedah sentral RSPAU dr. S.Hardjolukito Yogyakarta”

B. Rumusan Masalah
Berdasaran latar belakang diatas maka rumusan masalah pada
pembahasan laporaan ini yaitu “Bagaimana Asuhan Keperawatan
Perioperatif Pada Ny. S Dengan Diagnosa Close Fraktur Tibia Dextra 1/3
Medial Dengan Tindakan Orif (Open Reduction And Internal Fixation)

7
Plate Screw Di Instalasi Bedah Sentral RSPAU Dr. S. Hardjolukito
Yogyakarta”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan laporan asuhan keperawatan perioperatif ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan
operasi ORIF Plate Screw dengan indikasi fraktur tibia 1/3 medial
dextra.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien dengan Fraktur Tibia 1/3 Medial Dextra
dilakukan Tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Plate Screw.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien dengan Fraktur Tibia 1/3 Medial Dextra
dilakukan Tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Plate Screw.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan perioperatif
pada pasien dengan Fracture Tibia 1/3 Medial Dextra dilakukan
Tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Plate
Screw.
d. Penulis mampu melakukan implementasi asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien dengan Fracture Tibia 1/3 Medial Dextra
dilakukan Tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Plate Screw.
a. Penulis mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan perioperatif
pada pasien dengan Fracture Tibia 1/3 Medial Dextra dilakukan
Tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Plate
Screw.

8
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada pembahasan makalah ini adalah asuhan
keperawatan pre, intra, post op pada laporan asuhan keperawatan
perioperatif pada Ny.S dengan diagnosa close fraktur tibia 1/3 medial
dextra akan dilakukan tindakan ORIF (Open Reducyion Internal Fixation)
Plate Screw dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, evaluasi
selama pre operasi, intra operasi dan post operasi.

E. Manfaat
1. Rumah Sakit
a. Hasil studi kasus ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
pemberian asuhan keperawatan perioperatif dengan tindakan
ORIF.
b. Meningkatkan mutu pemberian asuhan keperawatan perioperatif
dengan ORIF.
2. Penulis
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
memberikan asuhan keperawatan perioperatif dengan tindakan ORIF.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Fraktur atau patah tulang merupakan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung,
kelelahan otot, atau karena kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang/osteoporosis. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Brunner and Suddarth, 2010).
Fraktur Tibia adalah rusakanya kontinuitas tulang tungkai bawah yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi – kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang (osteoporosis) (E. Oswari, 2011).

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Tulang

Gambar 1. Anatomi tibia

10
a. Intercondylar Eminance
Interkondilar eminan
b. Lateral Condyle
Lateral kondilus, umunya memiliki permukaan yang cekung yang dapat
menyatukan antara kondilus pada femur.
c. Tibialis Tuberositas
Tibialis Tuberositas merupakan Bagian depan dari tulang tibia yang
terletak tepat di bawah kulit dan dapat dengan mudah dirasakan. The
tibialis tuberositas adalah daerah pada tulang sebagai tempat tendon otot
dan melampirkan (atau “apophysis”).
d. Maleolus Medial
Maleolus medial merupakan bagian dalam pergelangan kaki, tibia
melebar dan tongkat keluar untuk membentuk tulang besar menonjol.
Merupakan sebuah ciri yang penting untuk segi medis pergelangan kaki.
Mempunyai sebuah pinggir bawah dan permukaan pinggir bawah
mempunyai sebuah lekukan disebelah posterior dan merupakan tempat
lekat dari ligamentum deltoideum.
e. Lateral Maleolus
Pada bagian luar pergelangan kaki adalah sebuah tonjolan yang disebut
“lateral maleolus,” yang kadang-kadang disebut tulang pergelangan kaki,
dan merupakan daerah yang paling umum untuk pergelangan kaki
terkilir
2. Fisiologi Tulang
Sistem Muskuloskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran
dalam pergerakkan. System terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon,
ligament, bursa dan jaringan – jaringan khusus yang menghubungkan
struktur tersebut. Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari
tiga jenis sel antara lain (Price dan Wilson, 2011):

11
Gambar 2. Sel pada Tulang

a. Osteoblast
Membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I proteoglikan
sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang
disebut osifikasi
b. Osteosit
Sel sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat
c. Osteoklas
Sel sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks
tulang dapat diabsorbsi. Sel – sel ini menghasilkan enzim – enzim
proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang
melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke
dalam aliran darah. Secara umum fungsi tulang antara lain (Asmadi,
2011):
a) Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang menyokong
dan memberi bentuk tubuh
b) Proteksi system musculoskeletal melindungki organ – organ
penting, misalanya otak dilindungi oleh tulang – tulang tengkorak,
jantung dan paru – paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax)
yang dibentuk oleh tulang – tulang kosta
c) Ambulasi dan mobilisasi adanya tulang dan otot memungkinkan
terjadinya pergerakkan tubuh dan perpindahan tempat, tulang
memberikan suatu system pengungkit yang digerakkan oleh otot –
otot yang melekat pada tulang tersebut sebagai suatu system
pengungkit yang digerakkan oleh kerja otot – otot melekat padanya
12
d) Deposit mineral sebagai reservoir kalsium, fosfor, natrum, dan
elemen elemen lain. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90%
fosfor
e) Hemopoesis berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow.
Untuk menghasilkan sel – sel darah merah and putih dan trombosit
dalam sumsum merah tulang tertentu
Komponen jaringan tulang:
1) Komponen – komponen utama dari jaringan tulang adalah
mineral – mineral dan jaringan organic (kolagen dan
proteoglikan)
2) Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristak garam
(hidroksiapatif), yang tertimbun pada matriks kolagen dan
proteoglikan
3) Matriks organic tulang disebut juga sebagai suatu osteoid.
Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan
memberikan ketergantungan tinggi pada tulang
4) Materi organic lain yang juga menyusun tulang berupa
proteoglikan

C. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:

Gambar 3. Fraktur Komplit dan Tidak Komplit

13
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdarkan bentuk dan jumlah garis patah :

Gambar 4. Jumlah Garis Patah


Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
a. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
b. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

Gambar 5. Fraktur Tertutup dan Terbuka

14
d. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
e. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade
yaitu:
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
f. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :

Gambar 6. Bentuk Garis Fraktur

a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
15
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

Gambar 7. Posisi Fraktur

a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
i. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
j. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

16
D. Etiologi
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat
ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung paada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifar
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat
terjadi fraktur pada pegelangan tangan. Disebut trauma tidak langsung
apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Pada keadaan ini jaringan lunak tetap utuh, tekanan membengkok yang
menyebabkan fraktur transversal, tekanan berputar yang menyebabkan
fraktur bersifat spiral atau oblik
3. Trauma Patologis
Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu
sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini
disebut dengan fraktur patologis. Misalnya Osteoporosis, Osteomilitis,
Ostheoartritisitu.
a. Osteoporosis
Terjadi kecepatan reabsorbsi tulang melebihi kecepatan pembentukan
tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi kropos secara cepat dan
rapuh sehingga akibatnya mengalami patah tulang, karena trauma
minimal.
b. Osteomylitis
Merupakan proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan struktur
sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik
c. Osteoarthritis
Disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi dan tulang
rawan

17
E. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan
tulang menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar
yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membenrkok
yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang
dapat menyebabkan fraktur impaksis, dislokasi, kompresi vertical dapat
menyebabkan fraktur komunitid atau memecah, misalnya pada badan
vertebrata, tulus trauma langsung yang disertai dengan resistensi pada suatu
jarak tertentu akan menyebabkan fraktur tertentu atau fraktur, fraktur karena
remuk, trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang (Muttaqin, 2012).
Trauma pda tulang dapat menyebabkan kerterbatasan gerak dan
ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah. Sewaktu tulang patah, perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur (Semeltzer dan Bare, 2013).
Sel – sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan alirah darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi
dan sel – sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang
sejati. Insufisiensi pembuluh darah tau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah totoal dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
compartement (Brunner dan Suddarth, 2010).

18
F. Pathway

Gambar 8. Pathway

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.

19
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru
tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling
terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan
pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada
daerah tersebut.

H. PemeriksaanPenunjang
Menurut Lukman dan Ningsih (2014), ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur, antara lain:
1. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma dan
jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, ST scan atau MRI: memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dapat mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. Pemeriksaan Darah Lengkap: hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermaknaa pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multiple trauma)
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin klirens ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple
atau cedera hati

20
I. Penyembuhan Fraktur

Gambar 8. Penyembuhan Fraktur

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.

21
Gambar 9. Pembentukan Hematoma

2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler


Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.

Gambar 10. Fase Inflamasi dan Proliferasi Sel

3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman

22
tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.

Gambar 11. Fase Pembentukan Kalus

4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

Gambar 12. Fase Konsolidasi

5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki

23
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.

Gambar 13. Fase Remodelling

J. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan fraktur dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Non Operatif dann Operatif.
a. Penatalaksanaa non operatif meliputi:
1. Reduksi
Reduksi merupakan terapi fraktur dengan cara menggantungkan kaki dengan
tarikan atau traksi. Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian
rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergency
2) Traksi mekanik, ada 2 macam :
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced
traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

24
1. Mengurangi nyeri akibat spasme otot
2. Memperbaiki & mencegah deformitas
3. Immobilisasi
4. Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
5. Mengencangkan pada perlekatannya

Gambar 14. Traksi

2. Imobilisasi
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri
dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur).
Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

==
Gambar 15. Pembidaian

25
2) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips
yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
a) Immobilisasi dan penyangga fraktur
b) Istirahatkan dan stabilisasi
c) Koreksi deformitas
d) Mengurangi aktifitas
e) Membuat cetakan tubuh orthotik

Gambar 16. Gips

3. Pemeriksaan dalam masa penyembuhan


Dalam penyembuhn, pasien harus di evaluasi dengan pemeriksaan rontgen tiap
6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latihaan berjalan, rehabilitasi
ankel, memperkuat otot kuadrisef yang nantinya diharapkan dapat
mengembalikan ke fungsi normal
b. Penatalaksanaan Operatif
Penatalaksanaan fraktur dengan cara operasi, mempunya 2 indikasi yaitu:
1. Absolut
a) Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi
dalam penembuhan dan perawatan lukanya.
b) Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya
darah di tungkai.
c) Cidera multipel yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien juga
mengurangi nyeri.
2. Relatif, jika adanya:
a) Pemendekan

26
b) Fraktur tibia dengan fibula intak
c) Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut
fiksasi interna dan reduksi terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat,
dan paku.
a) Intramedullary nail
Penatalaksanaan ini di gunakan untuk fraktur transversal, tetapi untuk
fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap
panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk
mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi
memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung
tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas
longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat
dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2
minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi, trauma bedah tambahan
dan risiko infeksi.
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma
yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa
pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking
nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.

27
Gambar 17. Intramedullary Nail

b) Open Reduction Internal Fixation (ORIF)


Orif adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fiksasi
yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup
dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada
fragmen fraktur.
Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra
medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur
bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk
mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi
internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau
memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart, 2010).
Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Ada beberapa tujuan
dilakukannya pembedahan Orif, antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan klien.

28
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Indikasi tindakan pembedahan ORIF:
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur
intraartikular disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada
struktur otot tendon
Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise).

c) OREF (Open Reduction Externa Fixation)


OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal di mana prinsipnya
tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat
ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati
fraktur terbuka dengankerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan
yang stabil untuk frakturkominutif ( hancur atau remuk ). Pin yang telah
terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasanyaman bagi pasien yang mengalami
kerusakan fragmen tulang.

29
Gambar 18. OREF

K. Komplikasi
Berikut merupakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Fraktur :
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring 14
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu
tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.

30
6. Fat embolism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor
resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40
tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu
yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan
lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi
paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. 15
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis
iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf
simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena
nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

L. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2015), diagnosa keperawatan yang sering munvcul pada kasus
fraktur radius ula sebagai berikut:
1. Pre Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan (agen cidera biologis, agen ccidera fisik, agen
cidera kimiawi)
b. Ansiteas berhubugan dengan ancaman kematian, ancaman pada status terkini,
hubungan interpersonal, krisis situasi, perubahan besar (misalnya status
ekonomi, lingkungan, kesehatan, fungsi peran, status peran), stressor
2. Intra Operasi
a. Resiko infeksi dengan faktor risiko pertahanantubuh primer dan sekunder
yang tidak adekuat, prosedur invasive
b. Resiko cedera berhubungand engan gangguan sensorik atau persepsi akibat
anestesi
3. Post Operasi
a. Resiko aspirasi dengan faktor risiko penurunan tingkat kesadaran, penurunan
motilitas gastrointestinal, penurunan refleks muntah

31
b. Resiko jatuh dengan faktor resiko periode pemulihan pasca operasi,
gangguan mobilitas, agenfarmaseutikal

32
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PRE-OPERATIF


1. Pengkajian
Hari, tanggal pengkajian : Senin, 30 Desember 2019
Waktu : Pukul 07.00 WIB
Tempat : IBS RSPAU Hardjolukito
Sumber data : Klien, rekam medis
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi
dokumentasi

a. Data Dasar
1) Identitas Klien
Nama : Ny. S
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD sederajat
Pekerjaan : Petani
Alamat : Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta
Tanggal Masuk RS : 30/12/2019
No. RM : 198xxx
Dx. Medis : Close Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial
2) Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. S
Umur : 55 tahun
Alamat : Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta
Status : Saudara

33
b. Data Fokus
1) Alasan masuk
Klien masuk IGD RSPAU dr.S.HARDJOLUKITO pada tanggal 30 Desember
2019 pada pukul 04.00. Klien merupakan pasien rujukan dari RSUD Dr.
Soedirman Kebumen. Klien merupakan korban kecelakaan lalu lintas antara
mobil klien dan pick up.
2) Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri di kaki kanan
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengataan nyeri di kaki sebelah kanan
P: nyeri saat digerakkan
Q: ditusuk tusuk dan senut senut
R: kaki kiri
S: 6
T: setiap saat
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Klien tidak mempunyai riwayat penyakit sebelumnya
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien tidak memiliki riwayat penyakit keturunan seperti hipertensi,
DM dan penyakit lainnya
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran : Composmentis
2) Vital Sign
a) Tekanan Darah : 135/90 mmHg
b) Suhu : 36,5 C
c) Respirasi : 20 kali/menit
d) Nadi : 90 kali/menit
3) Berat Badan : 56 kg
4) Tinggi Badan : 158 cm
5) Indeks Masa Tubuh : 23,01 kg/m (BB ideal 18,5 kg/m - 24,9 kg/m)
6) Kepala
Tidak ada luka tekan, tidak ada lesi pada kepala, rambut bersih, gigi dan mulut
bersih, tidak ada otot bantu nafas pada cuping hidung

34
7) Ekstremitas
a) Kekuatan Otot
5 5
1 5
Keterangan:
Ekstremitas atas Dextra : kekuatan otot 5 (dapat melawan tahanan)
Ekstremitas atas Sinistra : kekuatan otot 5 (dapat melawan tahanan)
Ekstremitas bawah Dextra : kekuatan otot 1 (tidak ada gerakan, terlihat
adanya kontraksi otot)
Extremitas bawah Sinistra : kekuatan otot 5 (dapat melawan tahanan)
b) Kulit dan Kuku
Kulit tampak bersih, turgor elastis, kuku jari tangan dan kaki bersih.
Capillary Refill Time (CRT): <2 detik
8) Pola Pengkajian Fungsional
a) Pola Nutrisi
- Intake makanan
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan nafsu makan klien
baik, klien makan 3 hari sekali
Masuk Rumah Sakit: Klien terakhir makan pada pukul 22.00 WIB
- Intake Cairan
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan minum air putih 5-8
gelas per hari
Masuk Rumah Sakit: Klien terpasang infus RL 20 tpm
b) Pola Aktivitas dan Latihan
Tabel 1. Pola Aktivitas dan Latihan
Kemampuan Perawatan 0 1 2 3 4
Diri
Makan/Minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Monilitas di Tempat Tidur 

35
Berpindah 
Ambulasi/ROM 

Keterangan:
0: Mandiri
1: Dibantu Alat
2: Dibantu Orang Lain
3: Dibatu alat dan orang lain
4: Tergantung O2 total
c) Pola management koping – stress
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan ketika sedang ada
masalah pasien lebih rajin beribadah
Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan meskipun cemas akan menjalani
operasi tetapi klien tetap meminta pertolongan dan doa dari Allah SWT
agar diberi kelancaran selama operasi
d) Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien tidur 7-8 jam setiap harinya, klien
tidak mengalamai gangguan tidur seperti insomnia
Masuk Rumah Sakit: Pola tidur klien terganggu dan klien belum ada tidur
selama di rumah sakit karena cemas akan tindakan operasi yang akan
dilakukan
e) Genogram

Keterangan:

= laki – laki
= perempuan
= meninggal
= menikah
= keturunan
= serumah
= klien

f) Pola Eliminasi
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan BAB 1 kali sehari, BAK
5-6 kali sehari

36
Masuk Rumah Sakit: Klien belum BAB dan BAK
g) Aspek kognitif-perceptual
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan sehari hari mudah
bergaul dengan masyarakat di sekitar rumahnya, klien dapat melihat
dengan baik, mendengar dengan jelas, mengiedntifikasi bau dengan baik,
dan menggunakan indra pengecepan dengan baik. Klien juga dapat
membedakan rangsangan nyeri, panas dan dingin
Masuk Rumah Sakit: Selama proses pengkajian, klien dapat menjawab
pertanyaan dengan baik, panca indera berfungsi dengan baik
h) Pola Konsep Diri
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan dirinya berperan sebagai
ibu rumah tangga dan menjalankan perannya dengan baik
Masuk Rumah Sakit: Selama masuk rumah sakit. Klien tidak dapat
menjalankan perannya dengan maksimal
i) Pola Seksual-reproduksi
Klien berjenis kelamin perempuan dan sudah menikah
j) Pola Peran dan Hubungan
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien mengatakan dirinya berperan sebagai
ibu dan istri yang baik untuk anak dan suaminya
Masuk Rumah Sakit: Klien tidak bisa menjalankan tugas perannya secara
maksimal karena klien sakit
k) Pola nilai dan kepercayaan
Sebelum Masuk Rumah Sakit: Klien beragama islam dan rajin beribadah
serta mengaji
Setelah Masuk Rumah Sakit: Klien menganut agama islam dan
menganggap bahwa penyakit yang diberikan ini adalah cobaan dari Allah
SWT.
l) Kecemasan Skala HARS (Hamilton Anxietas Rating Scale)
Tabel 2. Kecemasan Skala HARS (Hamilton Anxietas Rating Scale)
NO PENILAIAN 0 1 2 3 4
1 Perasaan Cemas 
Firasat Buruk 
Takut dengan pikiran 

37
sendiri
2 Merasa tegang 
Gelisah 
Gemetaran 
Mudah Terganggu 
Lesu 
3 Ketakutan 
Takut terhadap gelap 
Terhadap orang asing 
Bila ditinggal sendiri 
Hutang besar 
4 Gangguan tidur
Sukar memulai tidur 
Terbangun pada 
malam hari
Tidur tidak pulas 
Mimpi buruk 
5 Gangguan
kecerdasan
Penurunan daya ingat 
Mudah lupa 
Sulit Konsentrasi 
6 Perasaan depresi 
Hilangnya minat 
Berkurangnya hobi 
Sedih 
Perasaan tidak 
menyenangkan
7 Gejala somatic
Nyeri pada otot dan 
kaku

38
Gerakan gigi 
Suara tidak stabil 
Kedutan otot 
8 Gejala Sensorik
Perasaan ditusuk 
tusuk
Penglihatan kabur 
Muka merah 
Pucat saat merasa 
lemah
9 Gejala
kardiovaskuler
takikardi 
nyeri dada 
denyut nadi semakin 
cepat
JUMLAH 17
Keterangan:
Skor 0 : Tidak ada gejala
Skor 1 : Ringan
Skor 2 : Sedang
Skor 3 : Berat
Skor 4 : Sangat Berat

Skoring skala HARS


Skor <6 : Tidak ada kecemasan
Skor 6-14 : Kecemasan ringan
Skor 15-27: Kecemasan sedang
Skor >27 : Kecemasan berat

Kesimpulan: saat klien dilakukan pengkajian tingkat kecemasan dengan


metode HARS didapatkan tingkat kecemasan klien adalah cemas sedang
dengan skor 17

39
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium dilakukan tanggal 30 Desember 2019
Tabel 3. Hasil Laboratorium dilakukan tanggal 30 Desember 2019
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Darah lengkap:
Hemoglobin 12,8 g/dl 11,7 – 15,5
Leukosit 7.260 /mm3 3.600 -11.000
Hematokrit 2,82 % 3,8 – 5,2
Eritrosit 26,1 jt/mm3 35 – 47
Trombosit 145.000 /mm3 150.000 – 440.000
MCV 92,5 fL 80 – 100
MCH 31,1 pg 26 – 34
MCHC 33,6 g/dl 32,0 - 36,0
LED 20 mm/jam <20
Hitung Jenis
Lekosit:
-Basofil 0 % 0–1
-Eusinofil 0 % 2–4
-Batang 0 % 3–5
-Segmen 74 % 50 – 70
-Limposit 20 % 25 – 40
-Monosit 6 % 2–8

IMUNO –
SEROLOGI
HBs Ag Kualitatif Negatif Negatif
HIV RAPID TEST Non Reaktif Non Reaktif

KIMIA DARAH
SGOT 37 U/L W <37
SGPT 34 U/L W <34
Ureum 32 mg/dl 17 – 43

40
Creatinin 0,93 mg/dl 0,6 – 1,1
Gula Darah 107 mg/dl <200
Sewaktu

2. Hasil Rontgen

Bacaan: tampak adanya gambaran fraktur tibia 1/3 medial dextra oblique
tertutup

D. Persiapan Operasi
1. Persiapan Klien
Klien datang ke Intalasi Bedah Sentral pukul 06.50 WIB
a. Klien sudah dilakukan serah terima dengan diantar perawat ruangan.
Sudah terpasang infus RL 500 cc
b. Perawat ruangan menyerahkan klien keapada perawat kamar operasi.
Perawat kamar operasi mengecek ulang identitas klien (nama, tempat
tanggal lahir, alamat dan nomor RM)
c. Dilakukan pengecekkan kembali persiapan operasi:
1) Persiapan fisik klien
a) Puasa 8 jam (dari pukul 22.00 WIB)
b) Telah dilakukan pemasangan infus RL 500 cc pada tangan kiri
2) Persiapan administrasi
a) Inform concent anestesi lengkap
b) Inform concent tindakan operasi lengkap
c) Rekam medis

41
d) Hasil pemeriksaan rontgen
d. Pasien sudah tidak memakai perhiasan yang melekat pada tubuh
e. Pasien tidak memakai gigi palsu
f. Pasien sudah memakai baju operasi dan topi operasi
g. Memindahkan klien dengan brangkar ke kamar operasi
h. Melakukan SIGN IN
SIGN IN Pukul 07.30
Tabel 4. SIGN IN
No Tindakan Sudah Belum
1 Konfirmasi pasien:
a. Identitas Pasien 
b. Gelang pasien 
c. Prosedur Operasi 
d. Lokasi operasi 
e. Informed Concent Operasi

f. Informed Consent Anestesi

2 Lokasi operasi sudah ditandai 
3 Mesin dan obat anestesi sudah di 
cek lengkap dan siap untuk
digunakan
4 Pulsed Oximeter sudah terpasang 
dan bisa berfungsi
No Tindakan Ya Tidak
5 Apakah pasien memiliki:
a. Riwayat alergi 
b. Kesulitan bernafas atau
resiko aspirasi atau 
meggunakan alat bantu nafas
c. Resiko kehilangan darah 
>100 ml

42
2. Pengelompokkan Data
Tabel 5. Pengelompokkan Data pre-operatif
DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF
Klien mengataan nyeri di kaki 1. Klien tampak menahan nyeri
sebelah kanan 2. Terlihat raut wajah klien menahan
P: nyeri saat digerakkan nyeri
Q: ditusuk tusuk dan senut senut 3. Klien terpasang spalk pada
R: kaki kiri ekstremitas bawah dextra
S: 6 4. Kekuatan otot ekstremitas bawah
T: setiap saat dextra adalah 1
5. Vital Sign
TD : 135/90mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 2x/menit
Suhu : 36,5C
Skala Nyeri: 6
Klien mengatakan cemas karena 1. KU: baik
ingin menjalani operasi 2. Vital Sign:
TD : 135/90mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 2x/menit
Suhu : 36,5C
Skala Nyeri: 6
3. Ekspresi wajah tegang
4. Jumlah Skala HARS: 17
(kecemasan sedang)

43
3. Analisa Data
Tabel 6. Analisa Data pre-operatif
Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah
30 DS: Agen Cidera Nyeri Akut
Desember Klien mengataan nyeri di Fisik
2019/ kaki sebelah kanan
07.00 P: nyeri saat digerakkan
WIB Q: ditusuk tusuk dan
senut senut
R: kaki kiri
S: 6
T: setiap saat

DO:
1. Klien tampak
menahan nyeri
2. Terlihat raut wajah
klien menahan nyeri
3. Klien terpasang spalk
pada ekstremitas
bawah dextra
4. Kekuatan otot
ekstremitas bawah
dextra adalah 1
5. Vital Sign
TD: 135/90mmHg
Nadi: 90 x/menit
RR: 2x/menit
Suhu: 36,5C
Skala Nyeri: 6
30 DS: prosedur ansietas
Desember Klien mengatakan cemas pembedahan
2019/ karena ingin menjalani

44
07.00 operasi
WIB
DO:
1. KU: baik
2. Vital Sign:
TD: 135/90mmHg
Nadi: 90 x/menit
RR: 2x/menit
Suhu: 36,5C
Skala Nyeri: 6
3. Ekspresi wajah
tegang
4. Jumlah Skala HARS:
17 (kecemasan
sedang)

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan

45
5. Implementasi dan Evaluasi

Implementasi dan Evaluasi Nyeri Akut

Tabel 7. Implementasi dan Evaluasi Nyeri Akut pre-operatif

No. Diagnosa Perencanaan Implementasi Evaluasi


Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Management 1. Mengetahui 30 Desember 2019 30 Desember 2019
berhubungan tindakan Nyeri: tingkat pukul 07.05 WIB pukul 07.20 WIB
dengan agen keperawatan 1. Kaji nyeri keparahan atau Management Nyeri:
cidera fisik selama 15 menit secara intensitas nyeri 1. Mengkaji nyeri secara S:
ditandai dengan diharapkan nyeri komperhensif yang dialami komperhensif Klien mengatakan:
DS: dapat berkurang (P,Q,R,S,T) 2. Keadaan (P,Q,R,S,T) P: nyeri saat digerakkan
Klien mengataan dengan kriteria 2. Ajarkan teknik dimana Q: ditusuk tusuk dan
nyeri di kaki hasil: relaksasi untuk seseorang senut senut
sebelah kanan Kontrol Nyeri: mengurangi terbebas dari R: kaki kanan
P: nyeri saat 1. Melaporkan nyeri dengan tekanan dan S: 5
digerakkan nyeri berkurang teknik nafas kecemasan T: saat digerakkan
Q: ditusuk tusuk dengan skalaa dalam atau O:Klien tampak menahan
dan senut senut nyeri 0 – 3 Pemberian kembalinya nyeri
R: kaki kanan (Visual Analog Analgetik: keseimbangan S: Klien mengatakan lebih
S: 6 Scale) 3. Kolaborasi setelah nyaman setelah melakukan

46
T: setiap saat 2. Ekspresi wajah pemberian terjadinya 2. Mengajarkan teknik nafas dalam
DO: rileks analgetik gangguan relaksasi untuk O: klien tampak melakukan
1. Klien tampak 3. Klien mampu Monitor Vital (nyeri) mengurangi nyeri teknik nafas dalam
menahan nyeri melakukan Sign 3. Mengurangi dengan teknik nafas dengan baik
2. Terlihat raut teknik nafas 4. Monitor vital rasa sakit dalam
wajah klien dalam sign secara dengan cara S: -
menahan nyeri berkala mempengaruhi Pemberian Analgetik O: ketorolac 30 mg/8 jam
3. Klien Vital Sign: thalamus untuk 3. Mengelola analgetik per IV telah diberikan
terpasang Tanda – tanda vital meningkatkan ketorolac 30 mg/8 jam
spalk pada dalam batas nilai ambang S:-
ekstremitas normal nyeri dan Monitor Vital Sign O:
bawah dextra 1. TD: 100-140 menghambat 4. Memonitor Vital Sign TD: 125/90 mm Hg
4. Kekuatan otot mmHg) systolic prostaglandin N: 92 kali/menit
ekstremitas dan 60 – 89 yang RR: 20 kali/menit
bawah dextra mmHg membawa Suhu: 36,5C
adalah 1 (diastolic) impuls nyeri Skala nyeri: 5
5. Vital Sign 2. Nadi: 60 – 100 kepusat
TD: kali/menit reseptor S:
135/90mmHg 3. RR: 12-20 4. Terjadinya 1. Klien mengatakan:
Nadi: 90 kali/menit proses infeksi P: nyeri saat digerakkan
x/menit 4. Skala Nyeri:0-3 menyebabkan Q: ditusuk tusuk dan

47
RR: 2x/menit terjadinya senut senut
Suhu: 36,5C perubahan R: kaki kanan
Skala Nyeri: pada S: 5
6 pengukuran T: saat digerakkan
vital sign 2. Klien mengatakan
lebih nyaman setelah
melakukan nafas dalam
O:
1. Klien tampak menahan
nyeri
2. Klien tampak
melakukan teknik nafas
dalam dengan baik
3. ketorolac 30 mg/8 jam
per IV telah diberikan
4. TD: 125/90 mm Hg
N: 92 kali/menit
RR: 20 kali/menit
Suhu: 36,5C
Skala nyeri: 5
A: Nyeri akut berhubungan

48
dengan agen cidera fisik
belum teratasi
P:
Management Nyeri:
1. Kaji nyeri secara
komperhensif
(P,Q,R,S,T)
2. Ajarkan teknik relaksasi
untuk mengurangi nyeri
dengan teknik nafas
dalam
Pemberian Analgetik:
3. Kolaborasi pemberian
analgetik
Monitor Vital Sign
4. Monitor vital sign
secara berkala

( )

49
Implementasi dan Evaluasi Ansietas

Tabel 8. Implementasi dan Evaluasi Ansietas pre-operatif

No. Diagnosa Perencanaan Implementasi Evaluasi


Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
2 Ansietas setelah dilakukan Pengurangan 1. Mengetahui 30 Januari 2019 pukul 30 Januari 2019 pukul
berhubungan tindakan kecemasan: tingkat 07.05 WIB 07.20 WIB
dengan prosedur keperawatan 1. Kaji tanda kecemasan Pengurangan kecemasan:
pembedahan selama 15 menit verbal dan yang dialami 1. Mengkaji tanda verbal S: klien mengatakan
ditandai dengan diharapkan nonverbal pasien dan nonverbal dirinya siap menjalani
DS: ansietas berkurang kecemasan 2. Manusia kecemasan operasi akan tetapi masih
Klien mengatakan dengan kriteria Peningkatan adalah gugup dan takut
cemas karena hasil koping: makhluk sosisl O: ekspresi wajah tegang,
ingin menjalani Kontrol 2. Kenali latar dan unik pada telapak tangan dingin
operasi Kecemasan Diri belakang dasarnya Peningkatan koping:
1. Klien merasa budaya dan memiliki 2. Mengenal latar S: klien mengatakan sering
DO: rasa cemas spiritual klien kebutuhan belakang budaya dan beribadah dan meminta
1. KU: baik berkurang Terapi relaksasi yang sama spiritual klien pertolongan dan doa
2. Vital Sign: 2. Mampu 3. Berikan teknik tetapi terdapat kepada Allah SWT
TD: menggunakan relaksasi perbedaan O:klien tampak sedang
135/90mmHg koping secara spiritual budaya maka berdoa

50
Nadi: 90 efektif kebutuhan Terapi relaksasi
x/menit 3. Klien mampu tersebut ikut 3. Memberikan teknik S: klien mengatakan siap
RR: 2x/menit mengendalikan berbeda relaksasi spiritual untuk menjalani operasi
Suhu: 36,5C cemas 3. Spiritual O: klien tampak serius
Skala Nyeri: 6 adalah dengan berdoa
3. Ekspresi tuhan yang
wajah tegang maha kuasa S:
4. Jumlah Skala tergantung 1. klien mengatakan
HARS: 17 dengan dirinya siap menjalani
(kecemasan kepercayaan operasi akan tetapi
sedang) yang dianut masih gugup dan takut
individu dan 2. klien mengatakan sering
spiritual beribadah dan meminta
mampu pertolongan dan doa
menguatkan kepada Allah SWT
individu 3. klien mengatakan siap
untuk menjalani operasi
O:
1. ekspresi wajah tegang,
telapak tangan dingin
2. klien tampak serius

51
berdoa
A: Ansietas berhubungan
dengan prosedur
pembedahan teratasi
sebagian
P:
1. Kaji tanda verbal dan
nonverbal kecemasan
2. Dukung koping klien

( )

52
B. ASUHAN KEPERAWATAN INTRA-OPERATIF
1. Pengkajian
a. Jenis operasi : Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Plate Screw
b. Pre medikasi : Antibiotik Provilaksis Cefotaxime 2gr
c. Jenis anastesi : General Anastesi (Sevovluran)
d. Waktu operasi : 08.00 – 09.00 WIB
e. Tim Operasi :
Operator : dr. Suhana, Sp.OT
Anestesi : dr Ketut, Sp. An
Asisten I : Nugraha, AMd. Kep
Asisten II : Tipuk Indriastuti, AMd. Kep
Instrument : Eva Kusdamayanty. AMd. Kep
2. Persiapan Perawat Sirkuler
a. Melihat jadwal operasi dan memastikan operasi yang akan dilakukan,
melakukan pengecekkan instrument yang akan dipakai dan menyiapkan bahan
medis habis pakai
b. Menyiapkan meja operasi dan memasang perlak serta linen diatasnya
c. Menyiapkan meja mayo untuk tempat linen steril dan instrument
d. Mengatur posisi ESU, suction dan lampu operasi
e. Membuka set instrument ortho dan linen steril dengan hati – hati
3. Persiapam Alat dan Ruang
a. Alat tidak steril
1) Meja operasi
2) Meja mayo dan meja linen
3) ESU
4) Suction
5) Tempat sampah medis dan non medis
6) Tiang infus
7) Lampu operasi
8) Tempat linen kotor
9) Gunting plester

53
b. Alat Steril
Tabel 9. Alat Steril
No Instrumen, BMHP Jumlah
Set Dasar:
1 Scalpel mess no 3 1 buah
2 Mess no 22 1 buah
3 Pinset anatomis (Thumb Forceps) 2 buah
4 Pinset Jaringan (Pinset chirurgis) 2 buah
5 Hemostatic forceps pean 2 buah
6 Hemostatic forceps kocher 2 buah
7 Retractor langenback 2 buah
8 Retractor gigi/hak gigi 2 buah
9 Gunting jaringan 1 buah
10 Penjepit duk/duk klem (towel holding forceps) 4 buah
11 Needle Holder 2 buah
12 Gunting Benang 1 buah
13 Canul Suction 1 buah
14 Cauter 1 buah
15 Klem preparasi 1 buah
16 Kom/Bowl 2 buah
17 Bengkok/ kidney tray 1 buah
Set ORIF
18 Bone klem 3 buah
19 Reduction 2 buah
20 Reduction Poin/Pointed 1 buah
21 Bor 1 buah
22 Taper 1 buah
23 Mata bor (drill bor) 2,7 mm 1 buah
24 Naggle tang 1 buah
25 Screw driver 1 buah
26 Depth Gauge 1 buah
27 Kuret tulang 1 buah
28 Raspatorium 1 buah

54
29 Hak kobra/hoohman 2 buah
30 Slipper 1 buah
Screw set:
31 Narrow plate 8 hole 1 buah
32 Screw: Cortical Screw (diameter 3,5 mm)
a. 24 mm 4 buah
b. 26 mm 3 buah
c. 28 mm 1 buah
BMHP
33 Handscone steril 4 buah
34 Alkohol 70% 100 ml
35 Povidon Iodine 10% 100 ml
36 NaCL 0,9% 1000 ml
37 Kassa Steril 40 buah
38 Underpad 1 buah
39 Plester (Hipafix) 10x30 cm
40 Tule (Lumatule) secukupnya
41 Benang vycril 2/0 cutting (Polyglycoid Acid(PGA), 2 buah
Absorbable)
42 Benang Prolain 3/0 cutting (Polipropilane, non 2 buah
absorbable)
Lainnya:
43 Duk Besar 2 buah
44 Duk Sedang 2 buah
45 Duk Lobang 1 buah
46 Jas operasi 4 buah
47 Handuk kecil 4 buah

4. Prosedur Operasi
1) Pasien sudah dalam keadaan tidak sadar (General Anastesi)
2) Melepas bidai
3) Memposisikan pasien supinasi dengan diberi restatrin
4) Memasang underpad di bawah area opeasi

55
5) Melakukan cuci tangan bedah
6) Memakai jas operasi (gowning)
7) Memakai sarung tangan steril (gloving)
8) Menyiapkan set instrument
9) Arahkan lampu ke area operasi (perawat sirkuler)
10) Melakukan tindakan aseptic dengan alcohol 70% kemudian povidon iodine
10% yang dilakukan secara sirkuler dari dalam keluar
11) Lakukan drapping dengan 1 duk sedang dibawah area operasi, 1 duk sedang
mengelilingi kaki dan di fiksasi dengan duk klem, 1 duk besar menutupi tubuh
pasien dan 1 duk lobang
12) Perawat sirkuler membacakan TIME OUT
TIME OUT PUKUL 08.00 WIB
Tabel 10. Time Out
No Tindakan Ya Tidak
1 Konfirmasi klien 
Hari Senin, 30 Desember pukul
08.00 WIB akan dilakukan tindakan
operasi terhadap pasien
Nama : Ny. S
Tgl Lahir/Umur : 12 Juni 1965 (54
tahun)
No. RM : 198xxx
(Sesuai dengan gelang klien)
2 Konfirmasi tim operasi 
Operator : dr. Suhana, Sp.OT
Anestesi : dr Ketut, Sp. An
Penata Anes : Erwin
Asisten I : Agung S
Asisten II : Tipuk Indriastuti
Instrument : Eva Kusdamayanty.
Amd. Kep
Circulair : Wawan, Mareta,
Dewi

56
3 Konfirmasi tindakan operasi 
Diagnosa : Close Fraktur Tibia
Dextra 1/3 Medial
Tindakan : ORIF Plate Screw
Injeksi propilaksi: Cefotaxim 2 gr
4 Konfirmasi Tim operasi
Operator:
Perkiraan lama operasi 1 jam
Perkiraan perdarahan 300 cc
Instrument:
Alat alat steril dan siap pakai Ya, steril
13) Time out selesai
14) Operator memimpin doa sebelum operasi
15) Bersihkan area operasi dengan kassa bersih steril
16) Lakukan insisi pada 1/3 medial tibia sepanjang 20 cm
17) Deep perdarahan dengan kassa
18) Jepit kulit dengan pinset jaringan
19) Lakukan insisi area operasi dengan cauter sampai periostenum untuk
memperlebar area operasi
20) Suction darah
21) Buka jaringan dengan langenback
22) Bersihkan jaringan yang menempel pada tulang dengan raspatorium
23) Perlebar padangan operasi dengan hak kobra
24) Bersihkan sisa jaringan pada patahan tulang dengan kuret tulang
25) Satukan kedua ujung tulang yang patah dengan bone klem untuk mereposisi
tulang
26) Pasang narrow plate 8 hole pada tibia
27) Bor satu per satu hole dengan mata bor ukuran 2,7 mm
28) Ukur kedalaman dengan depth gauge
29) Buat ulir pada tulang dengan taper
30) Letakkan screw pada screw driver
31) Pasang screw diameter 3,5 mm pada hole yang sudah di bor sesuai dengan
kedalaman yang diukur

57
32) Ulangi langkah 13, 14, 15, 16, 17, dengan urutan:
a) Hole ke 6: 24 mm
b) Hole ke 2: 26 mm
c) Hole ke 8: 24 mm
d) Hole ke 1: 24 mm
e) Hole ke 3: 26 mm
f) Hole ke 7: 24 mm
g) Hole ke 4: 28 mm
h) Hole ke 5: 26 mm
33) Setelah semua screw terpasang, bersihkan area operasi dengan NaCL 0.9%
yang telah di wadahi kidney tray
34) Suction NaCL
35) Berikan povidone iodine 10%, diamkan 30 detik lalu suction
36) Bersihkan lagi dengan NaCL 0,9% lalu suction
37) Perawat sirkuler melakukan SIGN OUT
38) SIGN OUT PUKUL 08.50 WIB
Tabel 11. Sign In
No Tindakan Sudah Belum
1 Perawat melakukan konfirmasi dengan tim 
operasi dengan klien Ny. S usia 54 tahun
dengan diagnosa Close Fraktur Tibia Dextra
1/3 Medial telah dilakukan tindakan ORIF
(Open Reduction Internal Fixation) Plate
Screw
2 1. Perawat melakukan perhitungan benda 
tajam
a. 1 mess ukuran 22
b. 2 jarum benang vycril 2/0 cutting dan
prolain 2/0 cutting
2. Instrument berjumlah 41 terpakai 41 
3. Perawat melakukan perhitungan jumlah 
kassa dari 40 terpakai 40 sisa 0 dengan
rincian sebagai berikut

58
a. 2 kassa untuk skin preprasi dengan
alcohol 70%
b. 2 kassa untuk skin preparasi dengan
povidone iodine 10%
c. 1 kassa untuk membersihkan povidone
iodine setelah diberi duk lobang
d. 2 kassa untuk perawat sirkuler
membersihkan bor
e. 2 kassa untuk perawat instrument
membersihkan bor yg diserahkan oleh
perawat sirkuler
f. 18 kassa untuk mengdeep perdarahan
selama operasi
g. 2 kassa (kassa + nacl) untuk
membersihkan permukaan kulit akibat
darah selesai menjahit
h. 1 kassa untuk mengeringkan
permukaan kulit yang basah setelah
dibersihkan
i. 1 kassa untuk dicelupkan povidone
iodine untuk ditaruh di atas luka jahitan
j. 9 kassa untuk menutup luka jahitan
4. Jumlah perdarahan 
a. Kassa penuh darah: 10 kassa x 10 cc=
100 cc
b. Kassa setengah darah: 8 kassa x 5cc=
40 cc
c. Perdarahan dalam tabung suction: 650
cc
NaCl 0,9% (cc) + darah (cc)
500 cc + 150 cc
d. Total perdarahan
100 cc + 40 cc + 150 cc= 290 cc

59
39) Lakukan penjahitan pada periostenum sampai subkutis dengan vycril
(Polyglycoid Acid(PGA), Absorbable) 2/0 taper dengan Teknik jahitan
continuous suture
40) Lakukan penjahitan pada kulit dengan prolain (Polipropilane, non absorbable)
2/0 tapper dengan Teknik jahitan subkutikuler
41) Bersihkan luka jahitan dengan kassa + NaCl dan keringkan dengan kassa
kering
42) Letakkan povidone iodine diatas luka jahitan
43) Tutup luka insisi dengan lumatule dan kassa bersih steril dan fiksasi dengan
hipafik
44) Lakukan dekontamintasi instrument dengan alkazime, cuci instrument,
keringkan dengan handuk, inspeksi dan lakukan pengemasan dan kirim ke
CSSD
45) Lakukan re-gowning dan re-gloving pada tempat yang disediakan
46) Selesai tindakan operasi, lakukan cuci tangan procedural (6 langkah)
5. Terapi Anestesi
a. Pre Operatif : Ondansentron 11 mg
b. Intra Operatif : sevofluran, propofol 100 mg. fentanyl 0,5 mg
c. Post Operatif : RL 500 cc
6. Pengelompokkan Data
Tabel 12. Pengelompokkan Data intra-operatif
DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF
- 1. Pasien dilakukan prosedur
operasi ORIF (Open Reduction
Internal Fixation)
2. Dilakukan tindakan insisi pada
klien pada daerah operasi di tibia
dextra medial sepanjang 15 cm
dari kulit sampai periostenum
3. Terpasang infus pada tangan kiri
klien
4. Penggunakan cauter monopolar

60
7. Analisa Data
Tabel 13. Analisa Data intra-operatif
Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah
30 DS: - Prosedur invasive Risiko Infeksi
Desember DO:
2020 / 1. Pasien dilakukan
09.00 prosedur operasi
WIB ORIF (Open
Reduction Internal
Fixation)
2. Dilakukan tindakan
insisi pada klien pada
daerah operasi di tibia
dextra medial
sepanjang 15 cm dari
kulit sampai
periostenum
3. Penggunakan cauter
monopolar

8. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

61
9. Implementasi dan Evaluasi
Implementasi dan Evaluasi diagnosa risiko infeksi
Tabel 14. Implementasi dan Evaluasi diagnosa risiko infeksi intra-operatif

No. Diagnosa Perencanaan Implementasi Evaluasi


Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Risiko Infeksi Setelah dilakukan Infeksi Kontrol 1. Melakukan 31 Desember 2019 pukul 31 Desember 2019 pukul
berhubungan tindakan Management prosedur dan 08.00 WIB 08.05 WIB
dengan prosedur keperawatan 1. Kendalikan membatasi 1. Mengendalikan sterilitas S: -
invasive ditandai selama 30 menit prosedur jumlah personil kamar operasi dan O:alat yang digunakan
dengan diharapkan resiko masuk kamar dikamar operasi peralatan yang dipakai selalu dalam keadaan steril
DS: - infeksi tidak operasi untuk untuk dan dibungkus rapat
DO: terjadi dengan pasien/petugas menhindari
1. Pasien kriteria hasil: 2. Batasi jumlah adanya kontak 2. Membatasi jumlah S:-
dilakukan 1. Bebas dari personil di silang terhadap personil di kamar O:petugas di kamar operasi
prosedur tanda – tanda kamar operasi petugas yang operasi untuk ada orang yang terdiri dari
operasi ORIF dan gejala 3. Kendalikan berada didalam petugas/pasien operator, dokter anestesi,
(Open infeksi: rubor, sterilitass dan diluar kamar penata anestesi, asisten 1,
Reduction dolor, tumor, kamar operasi operasi asisten 2, instrument dan
Internal fungtio laesa dan peralatan 2. Diharapkan sirkuler 2 orang
Fixation) 2. Prinsip tsteril, yang dipakai menjaga
2. Dilakukan aseptic dan 4. Lakukan cuci kesterilan alat 3. Melakukan cuci tangan

62
tindakan insisi antiseptic tangan bedah, supaya tidak bedah dan memakai S:-
pada klien terjaga pemakaian jas terjadi infeksi APD dalam keadaan O: semua tim bedah telah
pada daerah 3. TTV dalam operasi, setelah steril melakukan cuci tangan
operasi di tibia batas normal pemakaian pembedahan bedah dan menggunakan
dextra medial sarung tangan, 3. Melakukan cuci APD steril
sepanjang 20 toileting, tangan dan
cm dari kulit pemasangan penggunaan Pukul 09.35 WIB
sampai duk operasi APD dalam S:-
periostenum sesuai prosedur keadaan steril O:
3. Penggunakan 5. Terapkan menutunkan 1. alat yang digunakan
cauter prosedur jumlah selalu dalam keadaan
monopolar prinsip septic mikroorganisme steril dan dibungkus
aseptic dengan rapat
6. Kelola menggunakan 2. petugas di kamar
pemberian antiseptic yang operasi ada orang yang
antibiotic memberikan terdiri dari operator,
efek residural dokter anestesi, penata
selama mungkin anestesi, asisten 1,
dalam proses asisten 2, instrument
operasi dan sirkuler 2 orang
3. semua tim bedah telah

63
melakukan cuci tangan
bedah dan
menggunakan APD
steril
A: Risiko infeksi
berhubungan dengan
prosedur invansive teratasi
sebagian
P: lanjutkan intervensi
dengan:
1. terapkan prosedur
septic aseptic saat
perawatan luka
2. lakukan pemberian
antibiotic cefotaxim
450mg/8jam

( )

64
C. ASUHAN KEPERAWATAN POST-OPERATIF
A. Pengkajian Post Operatif
Nama : Ny. S
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD sederajat
Pekerjaan : Petani
Alamat : Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta
Tanggal Masuk RS : 30/12/2019
No. RM : 198xxx
Dx. Medis : Close Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial
B. Keadaan Umum
1. Klien dipindahkan ke Recovery Room (RR) pukul 09.15 WIB
2. Klien masih tampak belum sadar penuh dan lemah karena masih terpengaruh
dari anestesi
3. GCS: E2V2M4
Keterangan:
a. Eye:
- 4: membuka mata spontan
- 3: mata terbuka ketika diberikan respon suara
- 2: mata terbuka dengan rangsangan nyeri
- 1: tidak ada respon
b. Verbal:
- 5: berbicara normal
- 4: disorientasi
- 3: kata kata tidak jelas
- 2: mengerang
- 1: tidak ada respon
c. Motorik:
- 6: sesuai perintah
- 5: melokalisir nyeri
- 4: menjauhi nyeri
- 3: respon fleksi

65
- 2: respon ekstensi
- 1: tidak ada respon
Indikator:
15-14 : composmetis
13-12 : apatis
11-10 : delirium
9-7 : somnolen
6-5 : sopor
4 : semi coma
3 : koma
Kesadaran pasien berjumlah 8: somnolen
4. TTV:
TD : 125/90 mmHg
RR : 20x/menit, irama nafas teratur, tidak ada retraksi dada
N :96x/menit
Suhu :36,5C
Saturasi : 100%
5. CRT <2 detik
6. Aldert Score
Tabel 15. Aldert Score
Kriteria Score 15 30 45
mnt mnt mnt
Kesadaran
1. Sadar Penuh 2  
2. Mengantuk 1 
3. Tidak ada respon 0
Sirkulasi
1. TD Normal/sama sebelum 2   
operasi
2. Penurunan TD < 20% sebelum 1
operasi
3. Kenaikan TD > 20% setelah 0
operasi

66
Respirasi
1. SpO2 > 95% 2   
2. SpO2 90 – 95 % 1
3. SpO2 < 95% 0
Warna Kulit
1. Merah (normal) 2   
2. Pucat 1
3. Biru 0
Aktivitas otot
1. Bergerak spontan pasien sadar 2  
2. Bergerak mengikuti perintah 1 
3. Tidak ada gerakan 0
Jumlah Score 8 10 10
Keterangan:
Skor >8, klien boleh dipindahkan ke ruangan

7. Skala Morse (Resiko Jatuh)


Tabel 16. Skala Morse
No Pengkajian Skala Nilai
1 Riwayat jatuh: apakah pasien pernah jatuh dalam Tidak 0 
3 bulan terakhir? Ya 15
2 Diagnosa sekunder: apakah pasien memiliki Tidak 0 
lebih dari satu penyakit? Ya 15
3 Alat bantu jalan: 0 
1. Kruk atau tongkat atau walker
2. Berpegangan pada benda benda disekitar 15

4 Terapi intravena: apakah saat ini pasien tepasang Tidak 0


infuse? Ya 20 
5 Gaya berjalan atau gaya berpindah 0
1. Normal
2. Bedrest/immobile atau tidak dapat bergerak 10 

67
6 Status mental: 0 
1. Orientasi terhadap kemampuan diri baik
2. Orientasi tidak realistic 15

Jumlah score 30
Keterangan:
0 – 24 : tidak beresiko
25 – 50 : resiko rendah
>51 : resiko tinggi
Interperestasi hasil: jumlah skor 30, klien termasuk dalam resiko jatuh rendah
C. Analisa Data
Tabel 17. Analisa Data post-operatif
Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah
31 DS: - Periode Resiko jatuh
Desember DO: pemulihan pasca
2020 - Klien terposisikan operasi
pukul supinasi
09.15 - Kesadaran pasien
somnolen
- Skala morse pasien
30 (resiko jatuh
rendah)

D. Diagnosa Keperawatan
Resiko jatuh berhubungan dengan periode pemulihan pasca operasi

68
E. Implementasi dan Evaluasi
Implementasi dan evaluasi keperawatan resiko jatuh
Tabel 18. Implementasi dan evaluasi keperawatan resiko jatuh post-operatif

No. Diagnosa Perencanaan Implementasi Evaluasi


Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Resiko jatuh Setelah dilakukan Manajemen 1. Dengan adanya 31 Desember 2019 pukul 31 Desember 2019 pukul
berhubungan tindakan keselamatan lingkungan yang 09.15 WIB 10.45 WIB
dengan periode keperawatan lingkungan: nyaman akan Manajemen keselamatan
pemulihan pasca selamaa 30 menit 1. Sediakan mengembalikan lingkungan:
operasi ditandai diharapkan resiko lingkungan kesadaran dan 1. Menyediakan S: -
dengan jatuh tidak terjadi yang aman dan kestabilan lingkungan yang aman O:
DS: - dengan kriteria nyaman pasien dan nyaman 1. Proses pemindahan
DO: hasil: 2. Dampingi klien 2. Diharapkan klien dari brankar ke
1. Klien Perilaku selama belum dalam tempat tidur klien
terposisikan pencegahan sadar mendampingi dilakukan dengan
supinasi jatuh: Pengaturan posisi pasien dalam teknik yang tepat dan
2. Kesadaran 1. Pengamanan 3. Posisikan klien waktu sadar aman
pasien tempat tidur Stimulasi kognitif karena masih 2. Handrail tempat tidur
somnolen 2. Lingkungan 4. Kaji tingkat dalam proses klien telah terpasang
3. Skala morse recovery room kesadaran anestesi 3. Roda tempat tidur
pasien 30 yang aman dan 3. Posisi supinasi terkunci

69
(resiko jatuh nyaman dapat 4. Terapi oksigen
rendah) Kognisi meningkatkan terpenuhi
3. Klien mamu kenyamanan
komunikatif 4. Mengetahui 2. Mendampingi klien S:-
dan kooperatif respon motoric selama belum sadar O:
sensorik 1. Perawat mendapingi
individu saat klien selama di
post operasi recovery room
Pengaturan posisi:
3. Memposisikan klien S:-
sesuai intruksi O:
1. Klien terposisikan
supinasi
Stimulasi kognitif:
4. Kaji tingkat kesadaran S: -
O:
1. Perawat melakukan
pengkajian kesadaran
kepada klien
2. GCS: E4V5M6
3. Kesadaran:

70
composmentis
4. Aldert score pada menit
ke 45 adalah 10, pasien
boleh dipindahkan ke
ruang perawatan

S:-
O:
1. Proses pemindahan
klien dari brankar ke
tempat tidur klien
dilakukan dengan
teknik yang tepat dan
aman
2. Handrail tempat tidur
klien telah terpasang
3. Roda tempat tidur
terkunci
4. Terapi oksigen
terpenuhi Perawat
mendapingi klien

71
selama di recovery
room
5. Klien terposisikan
supinasi Perawat
melakukan pengkajian
kesadaran kepada klien
6. GCS: E4V5M6
7. Kesadaran:
composmentis
8. Aldert score pada menit
ke 45 adalah 10, pasien
boleh dipindahkan ke
ruang perawatan
A: resiko jatuh ditandai
dengan periode pemulihan
pasca operasi teratasi
P: pertahanakan intervensi

( )

72
BAB IV
PENUTUP

Setelah menguraikan asuhan keperawatan pada Ny. S dengan Diagnosa Close


Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Simple dengan Tindakan ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) di Instalasi Bedah Sentral RSPAU dr. S.Hardjolukito, dalam bab ini
penulis akan menyimpulkan hal – hal yang telah diuraikan pada bab – bab
sebelumnya. Disamping itu, penulis juga akan memberikan saran yang diharapkan
dapat dijadikan sebagai masukan guna peningkatkan asuhan keperawatan pada klien.

A. Kesimpulan
1. Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang. Fraktur dapat terjadi
akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang menahan tekanan.
Penanganan fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif (tanpa
pembedahan) dan dengan pembedahan. Tindakan pembedahan salah satunya
yaitu tindakan pembedahan reduksi terbuka atau sering disebut Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) sebagai alat fiksasi atau penyambungan tulang yang
patah.
2. Hasil pengkajian yang penulis peroleh dapat terselesaikan. Dalam proses
pengkajian ini, penulis tidak menemui kesulitan untuk mendapatkan data – data
secara akurat sebagai dasar untuk merumuskan masalah. Dalam pengkajian ini
diperlukan komunikasi yang baik antara penulis dengan klien serta data – data
penunjang lainnyaa.
3. Pada kasus pada Ny. S ini muncul beberapa masalah keperawatan yaitu pada pre
operasi muncul masalah keperawataan nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik dan ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan. Pada intra
operasi muncul masalah keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan
prosedur invasive. Pada post operasi muncul masalah keperawatan.
4. Pada kasus Ny.S penulis melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan masalah
keperawatan yaitu pada pre operasi dengan diagnosa nyeri akut yaitu mengkaji
nyeri secara komperhensif, ajarkan teknik relaksasi, pemberian analgetik dan
monitor TTV. Pada diagnosa ini nyeri akut belum teratasi. Diagnosa pre operatif
selanjutnya adalah ansietas yaitu penulis mengkaji tanda verbal dan nonverbal
kecemasan, mengenal latar belakang budaya dan spiritual klien, dan memberikan
73
teknik relaksasi spiritual. Pada diagnosa ansietas ini ansietas teratasi sebagian.
Diagnosa intra operatif yaitu resiko infeksi, penulis melakukan prosedur dan
membatasi jumlah personil di kamar operasi, menjaga kestreilan alat, melakukaan
cuci tangan dan menggunakan APD. Pada diagnosa resiko infeksi ini teratasi
sebagian. Diagnosa post operasi yaitu resiko jatuh penulis menyediakan
lingkungan yang amaan dan nyaman, mendampingi klien selama belum sadar,
memposisikan klien dan mengkaji tingkat kesadaran. Pada diagnosa resiko jatuh
ini teratasi sepenuhnya, dan tetap mempertahankan intervensi.

B. Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dengan
Diagnosa Close Fraktur Tibia Dextra 1/3 Medial Simple dengan Tindakan ORIF
(Open Reduction Internal Fixation) di Instalasi Bedah Sentral RSPAU dr.
S.Hardjolukito, maka saran yang dapat penulis berikan pada pembaca antara lain:
1. Perawat diharapkan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien
dengan diagnosa fraktur dengan tindakan ORIF secara komperhensif.
2. Dalam mengidentifikasi masalah, perawat diharapkan dapat mnganalisa data serta
merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa fraktur dengan
tindakan ORIF.
3. Kepada Intalasi Bedah Sentral RSPAU dr. S. Hardjolukito dapat dijadikan
referensi bagi perawat agar memperoleh gambaran tentang asuhan keperawatan
pada klien dengan diagnosa fraktur dengan tindakan ORIF.

74
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2011. Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2014. Keperawatan medikal bedah. edisi 8. volume 2. Jakarta: EGC

Herdmaan, H. 2012. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi. Jakarta: EGC

Herdmaan, H. 2015. NANDA internasional diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi.

Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2012. Buku ajar asuhan keperawatan klien gangguan sistem muskuloskeletal.

Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2012. Buku saku gangguan sistem muskuloskeletal aplikasi dan praktik klinik

keperawatan. Jakarta: EGC

Price, A. Wilson. 2014. Patofisiologi konsep proses – proses penyakit, edisi 4. Jakarta: EGC

Smeltzer & Bare. 2013. Keperawata medical bedah edisi 8 voume 1. Jakarta: EGC

75

Anda mungkin juga menyukai