Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

ASMA
Dosen Pembimbing: Dhanang Prawira N. S. Farm., Apt

Oleh:

EFI RATNA SARI

1413206018

S1 FARMASI
STIKES KARYA PUTRA BANGSA
TULUNGAGUNG
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat

dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Farmakoterapi 1 tentang “ASMA”.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bpk Dhanang Prawira Nugraha .S.Farm.,Apt,

selaku dosen pembimbing karena dengan adanya tugas ini dapat menambah wawasan kami.

Makalah ini berisikan tentang teknik etiologi, epidiomologi, patofisiologi, posologi dan

semua hal yang berkaitan dengan asma .

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata kami berharap semoga makalah

ini berguna bagi semua pihak. Sekian dan terima kasih.

Tulungagung, 03 Desember 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi................................................................................................................... iii

Daftar Gambar ........................................................................................................ iv

Daftar Tabel ............................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................ 1

BAB II ISI

2.1 Definisi Asma.................................................................................................................. 2


2.2 Etiologi Asma ...................................................................................................... 2
2.3 Epidemiologi Asma ............................................................................................. 5
2.4 Tanda dan Gejala Asma ....................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi Asma .............................................................................................. 7
2.6 Obat ..................................................................................................................... 8
2.7Alogaritma Terapi/Tatalaksana ............................................................................ 13
2.8 Monitoring dan Evaluasi ..................................................................................... 15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 18

3.2 Saran .................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

a.Skema patofisiologi asma

b.Gambar penyempitan saluran nafas pada asma

iv
DAFTAR TABEL

a. Klasifikasi derajat asma

DERAJAT GEJALA GEJALA FUNGSI PARU


ASMA MALAM
INTERMITEN · Gejala < 1x/minggu ≤ 2 kali sebulan VEPI atau APE <
Mingguan · Tanpa gejala di luar serangan 80%
· Fungsi paru asimtomatik dan normal
luar serangan

· Gejala > 1x/minggu tiap < 1x/hari


· Serangan dapat menganggu aktivitas
PERSISTEN dan tidur > 2 kali
RINGAN · Serangan 2x/minggu, bisa berhari-hari seminggu VEPI atau APE ≥
Mingguan 80 % normal
· Gejala harian
· Menggunakan obat setiap hari
· Serangan menganggu aktivitas dan tidur
· Serangan 2x/minggu, bisa berhari-hari

PERSISTEN · Gejala terus-menerus


SEDANG · Aktivitas fisik terbatas >1x/minggu VEPI atau APE >
Harian · Sering terjadi serangan 60%
Terapi ≤ 80%
normal

PERSISTEN VEPI atau APE <


BERAT Sering 80% normal

b. Selektivitas Relatif, Potensi dan Durasi β2- agonis

Obat Selektivitas Potensi Durasi aksi (jam) Aktifitas

β1 β2 β2 Bronko Proteksi Sistemik

dilatasi

Isoproterenol ++++ ++++ 1 0.5-2 0.5-1 Tidak

Metaproterenol +++ +++ 15 3-4 1-2 Ya

Isoetarin ++ +++ 6 0.5-2 0.5-1 Tidak

Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Ya

Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya

Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya

Terbutalin + ++++ 4 4-8 6-12 Ya

Formoterol + ++++ 0.24 >12 6 > 12 Ya

Salmeterol + ++++ 0.5 >12 6 > 12 Tidak

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan


berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai
tingkat, obstruksi saluran pernapasan dan gejala pernapasan (mengi dan sesak). Obstruksi
jalan napas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan
relatif non reversible tergantung berat dan lamanya penyakit.1
Data WHO pada tahun 2005 menunjukkan ada 100-150 juta penderita asma di dunia.
Jumlah penderita terus bertambah 180 ribu orang setiap tahunnya.Asma dapat dimulai pada
segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali dan bisa terjadi pada setiap orang
pada segala etnis.11
Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun dalam penelitian pada
anak sekolah usia 13-14 tahun dengan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and
Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2.1%, sedang pada tahun 2003
meningkat menjadi 5.2%. Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,9%,
sedang pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di Jakarta
Timur sebesar 8,6%.4
Masalah epidemiologi yang lain pada saat ini adalah morbidilitas dan mortalitas asma
yang relatif tinggi. Belakangan ini berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan
kematian akibat penyakit asma terutama pada anak.18
Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan lebih tentang apa, penyebab bagaimana
terjadinya asma dan lain – lain.

2.2. Tujuan
Mengetahui definisi asma, etiologi asma, epidemiologi asma. Tanda dan gejala asma
patofisiologi asma obat, alogaritma terapi/tatalaksana da monitoring dan evaluasi

1
BAB II
ISI

2.1 Definisi Asma


Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti
serangan nafas pendek. Serangan asma didefinisikan sebagai episode peningkatan yang
progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan
atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut.12,14
Asma merupakan inflamasi kronik pada jalan nafas yang disebabkan oleh
hiperresponsivitas jalan nafas, edema mukosa dan produksi mucus berlebih. Inflamasi ini
biasanya kambuh dengan tanda pada episode asthma seperti batuk, dada sesak, wheezing
dan dyspnea.21
Penyakit ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah udara yang dapat diinduksi oleh
kontraksi otot polos, penebalan pada dinding jalan nafas serta terdapatnya sekresi berlebih
dalam jalan nafas yang merupakan hasil dari respon berlebih pada alergen.19
2.2 Etiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel , eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan
dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas
pada pasien asma. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan
Asma adalah:23
a) Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau alergen
yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
b) Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti common
cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.
c) Asma gabungan
d) Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)

2
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap
menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa
menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang
diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek
dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan
bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi
peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah
perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan,
gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
b. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer
dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik.
Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih
lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang
tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan
(alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang
didapat melalui kontak dengan kulit.27
Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
1. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial
jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran
pernapasannya juga bisa diturunkan.

3
2. Faktor presipitasi
 Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan dan
anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti
aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh : perhiasan,
logam dan jam tangan.
 Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik
atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya
terjadi beberapa saat setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat,
ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas
pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan
selama 2-3 menit sebelum latihan.
 Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan eksaserbasi
pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem trakeo
bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan
hiperresponsif pada sistem bronkial.
 Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk
mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
 Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya rhinitis
alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan inflamasi
4
membran mukus.
 Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi Asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
Asma. Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau.
2.3 Epidiomologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum
umur 4-5 tahun. Prevalensi asma menurun sebanding dengan bertambahnya usia terutama
setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang
dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak. Sebagian
besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang,
yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut,
biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman sehingga menjadikan
anak tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, serta
fungsi dari hari ke hari.24
2.4 Tanda dan Gejala Asma
Tanda dan gejala asma yang biasa sering muncul adalah mengi, peningkatan
frekuensi pernafasan, hyperventilation, hyperinflasi, fluktuasi kadar CO2.
Hyperventilation yang diikuti dengan kecemasan merupakan gejala yang sering
ditemukan pada penderita asma, sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi jalan nafas.9.
Hyperventilation merupakan suatu kondisi dimana CO2 dalam darah dan alveoli
berkurang sehingga kompensasi jalan nafas mengalami konstriksi bertujuan untuk
menghindari kehilangan CO secara berlebih.24
Selain itu penebalan dinding jalan nafas karena remodelling jalan nafas
meningkat dengan tajam dan berkontribusi terhadap obstruksi aliran udara Pernafasan
yang seperti ini berkontribusi dalam kerentanan dan kelemahan tubuh terhadap berbagai
macam penyakit dan berhubungan erat dengan cara bernafas yang efektif dan benar.28
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di
dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari Setelah
pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
5
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk
bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar
dan memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus
yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang
merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga
diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan .14
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas
bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversibel secara spontan maupun dengan
pengobatan.Gejala-gajala asma antara lain :
1. Bising mengi ( wheezing ) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
2. Batuk produktif sering pada malam hari
3. Napas atau dada seperti tertekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada
malam hari.2 klasifikasi derajat asma
DERAJAT GEJALA GEJALA FUNGSI PARU
ASMA MALAM
INTERMITEN · Gejala < 1x/minggu ≤ 2 kali sebulan VEPI atau APE < 80%
Mingguan · Tanpa gejala di luar
serangan
· Fungsi paru asimtomatik
dan normal luar serangan

· Gejala > 1x/minggu tiap <


PERSISTEN 1x/hari > 2 kali VEPI atau APE ≥ 80 %
RINGAN · Serangan dapat seminggu normal
Mingguan menganggu aktivitas dan
tidur
· Serangan 2x/minggu, bisa
berhari-hari

· Gejala harian
· Menggunakan obat setiap
PERSISTEN hari >1x/minggu VEPI atau APE > 60%
SEDANG · Serangan menganggu Terapi ≤ 80% normal
Harian aktivitas dan tidur
· Serangan 2x/minggu, bisa
berhari-hari

· Gejala terus-menerus
· Aktivitas fisik terbatas
PERSISTEN · Sering terjadi serangan Sering VEPI atau APE < 80%
BERAT normal
6
2.5 Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen
yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor
atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan
lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC).
Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel
Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk
berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil
yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah
disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua
kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang
sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk
Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini
akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow
releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of
anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi
utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil
yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan
dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas ,
peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi
tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan
sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi
hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut.
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu
asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi
alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari
jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang
lain. Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik
yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat
kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan
7
cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik
lain.1,26
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena
iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan
pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih
dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi
memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan
diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit
sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya
suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan
tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia.26
2.6 Obat
1. β2 agonis
β2 agonis adalah bronkodilator yang sangat efektif yang bekerja dengan
meningkatkan aktifitas adenyl cyclase sehingga meningkatkan produksi intraseluler
siklik AMP (adenosine mono fosfat). Peningkatan siklik AMP menyebabkan relaksasi
otot polos, stabilisasi sel mast dan stimulasi otot rangka. Pemberian β2 agonis melalui
aerosol akan meningkatkan bronkoselektivitas, mempercepat efek yang timbul serta
mengurangi efek samping sistemiknya. Beberapa β2 agonis (terutama yang kurang
selektiv) dapat merangsang reseptor β1 yang berakibat peningkatan kontraksi dan
frekuensi denyut jantung.15
a. Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja Singkat
Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini antara lain albuterol, levalbuterol,
metaproterenol, terbutalin dan pributeril. Mekanisme kerja agonis reseptor β-
adrenergik kerja singkat sebagai anti asma berkaitan dengan relaksasi langsung
otot polos saluran napas dan bronkodilatasi yang diakibatkannnya.8 Albuterol dan
β2 agonis selektif inhalasi short acting diindikasikan untuk terapi intermiten
bronkospasme dan pilihan pertama untuk asma akut.15
Efek samping yang berkaitan dengan β2 adrenergik (albuterol, terbutalin)
mencakup tremor, sakit kepala, kecemasan, meningkatnya denyut jantung, jantung
berdebar (dosis tinggi) dan sedikit menurunkan tekanan darah. Agonis β2 dapat
8
meningkatkan kadar gula darah, penderita diabetes yang memakai obat agonis β2
harus dianjurkan untuk memantau kadar gula serumnya secara cermat.22
b. Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja Lama
Formoterol dan salmoterol suatu β2 agonis long acting diindikasikan
sebagai terapi tambahan pada pasien yang telah mendapatkan kortikosteroid untuk
mengontrol asma jangka panjang.15 Kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi
bersifat komplementer karena bekerja terhadap sistem sel berlainan sehingga
memiliki mekanisme kerja yang juga berlainan. Kombinasi ini juga bekerja
sinergis berdasarkan daya kerjanya yang positif terhadap masing-masing
reseptor.25
Agonis reseptor β-Adrenergik kerja lama merelaksasi otot polos saluran
napas dan menyebabkan bronkodilatasi melalui mekanisme yang sama dengan
agonis durasi singkat. Stimulasi reseptor β-adrenergik menghambat fungsi banyak
sel radang, termasuk sel mast, basofil, eosinofil, netrofil dan limfosit. Pengobatan
jangka panjang menggunakan agonis reseptor β-adrenergik kerja lama telah
menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru-paru, penurunan gejala asma,
berkurangnya penggunaan agonis β2 adrenergik inhalasi kerja singkat dan
berkurangnya asma nokturnal).8 Tabel 2 berikut adalah beberapa agonis β2
adrenergik dengan selektivitas, potensi dan durasinya.
Tabel 2. Selektivitas Relatif, Potensi dan Durasi β2- agonis

Obat Selektivitas Potensi Durasi aksi (jam) Aktifitas

β1 β2 β2 Bronko Proteksi Sistemik

dilatasi

Isoproterenol ++++ ++++ 1 0.5-2 0.5-1 Tidak

Metaproterenol +++ +++ 15 3-4 1-2 Ya

Isoetarin ++ +++ 6 0.5-2 0.5-1 Tidak

Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Ya

Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya

Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya

Terbutalin + ++++ 4 4-8 6-12 Ya

9
Formoterol + ++++ 0.24 >12 6 > 12 Ya

Salmeterol + ++++ 0.5 >12 6 > 12 Tidak

Keterangan:

1. Isoproterenol dan albuterol bekerja pada reseptor β1 dan β2 dengan


aktivitas yang cukup besar (kurang selektif)
2. Terbutalin bekerja pada reseptor β2 jauh lebih besar dibandingkan
pada reseptor β1 (lebih selektif).10
2.Metilxantin

Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah derivat metilxantin yang
mencakup teofillin, aminofillin dan kafein. Xantin juga merangsang sistem syaraf pusat dan
pernapasan, mendilatasi pembuluh pulmonar dan koronaria dan menyebabkan diuresis.
Karena efeknya terhadap respirasi dan pembuluh pulmonar maka xantin dipakai untuk
mengobati asma.22

Obat golongan metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase sehingga


mencegah peruraian siklik AMP, sehingga kadar siklik AMP intrasel meningkat. Hal ini akan
merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah pelepasan mediator alergi seperti histamin dan
leukotrien dari sel mast. Selain itu metilxantin juga mengantagonisbronkokontriksi yang
disebabkan oleh prostaglandin dan memblok reseptor adenosin10

Teofilin banyak dijumpai dalam bentuk kompleks dengan etilendiamin yang dinamakan
aminofilin.10 Teofillin memiliki indeks terapeutik yang rendah dan kadar terapeutik yang
sempit yaitu dari 10 sampai 20 mikrogram/ ml. Obat yang memiliki rentang terapi sempit
antara dosis terapi dan dosis toksik adalah obat yang sering terlibat dalam interaksi.22

Golongan metilxantin memiliki efek pada sistem syaraf pusat dan stimulasi jantung.
Mereka meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pembuluh vena sehingga
menimbulkan berbagai reaksi samping yang tidak diinginkan. Karena itu teofilin digolongkan
sebagai obat ke tiga untuk terapi asma. Teofilin juga dapat berinteraksi dengan banyak obat
lain sehingga kurang aman diberikan pada pasien lanjut usia maupun wanita hamil.

10
3. Antikolinergik
Ipatropium bromid dan atropin sulfat adalah inhibitor kompetitif yang dapat berefek
bronkodilatasi. Bronkodilatasi yang dihasilkan oleh ipratropium pada penderita asma
berkembang lebih lambat dan biasanya tidak sekuat bronkodilatasi yang dihasilkan oleh
agonis adrenergik. Beberapa pasien asma dapat mengalami respons bermanfaat yang
berlangsung hingga 6 jam. Pengobatan kombinasi ipratropium dan agonis β2 adrenergik
menghasilkan bronkodilatasi yang sedikit lebih besar dan lebih lama dibandingkan jika
masing-masing senyawa itu diberikan sendiri dalam pengobatan asma dasar.8
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor β2 dari sistem adrenergis terhambat, maka
sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronkokontriksi. Antikolinergik memblok
reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik di otot polos bronki, hingga aktifitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan bronkodilatasi.25
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan
takikardia yang tak jarang mengganggu terapi. Begitu pula efek atropin lainnya seperti mulut
kering, obstipasi, sukar berkemih dan penglihatan kabur akibat gangguan akomodasi.
Pengobatannya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.25
4. Glukokortikoid
Glukokortikoid anggota keluarga kortikosteroid dipakai untuk mengobati banyak
gangguan pernapasan, terutama asma. Obat-obat ini mempunyai khasiat antiinflamasi dan
diindikasikan jika asma tidak responsif terhadap terapi bronkodilator. Anggota dari kelompok
obat ini adalah beklometason, triamsinolon, deksametason, hidrokortison dan prednison. Obat
ini dapat diberikan dengan inhaler aerosol (beklometason) atau dalam bentuk tablet
(triamsinolon, deksametason, prednison) atau dalam bentuk injeksi (deksametason,
hidrokortison).22
Glukokortikoid tidak merelaksasi otot polos saluran napas sehingga memiliki efek yang
kecil pada bronkokontriksi akut. Sebaliknya senyawa ini efektif dalam menghambat radang
saluran napas jika diberikan secara tunggal. Mekanisme yang turut menyebabkan efek
antiradang terapi glukokortikoid pada asma meliputi modulasi produksi sitokin dan kemokin,
penghambatan sintesis eikosanoid, penghambatan akumulasi basofil, eosinofil dan leukosit
lain secara nyata di jaringan paru-paru serta penurunan permeabilitas pembuluh darah.8

11
Obat-obat ini dapat mengiritasi selaput lendir lambung dan harus dimakan bersama
makanan untuk menghindari terbentuknya tukak. Jika ingin menghentikan glukokortikoid
dosis harus diturunkan secara bertahap dengn perlahan-lahan untuk mencegah insufisiensi
adrenal. Dosis tunggal biasanya tidak menimbulkan supresi adrenal. Pemakaian inhaler oral
mengurangi resiko terjadinya supresi adrenal yng berkaitan dengan terapi glukokortikoid
sistemik oral.22

5 Antagonis leukotriene

Pada pasien asma leukotrien turut menimbulkan bronkokontriksi dan sekresi mukus.
Tahun-tahun terakhir ini dikembangkan obat-obat baru yakni antagonis leukotrien yang
bekerja spesifik dan efektif pada terapi pemeliharaan terhadap asma.25 Ada beberapa obat
yang bekerja sebagai antagonis LT yaitu :

1) Zafirlukas (accolade) adalah LT reseptor antagonis yang menghambat terbentuknya


ikatan LT dengan reseptornya.
2) Zileuton (Zyflo) adalah obat yang bekerja menghambat enzim 5-lipooksigenase yang
diperlukan untuk sintesis LT. Pemakaian yangterlalu sering dapat meningkatkan enzim
hepar (SGPT dan SGOT) sehingga menyebabkan obat ini jarang digunakan.15 Obat-obat
pemodifikasi leukotrien bekerja baik sebagai antagonis kompetitif pada reseptor
leukotrien atau dengan menghambat sintesis leukotriene.8

12
2.7Algoritma terapi Asma
Penatalaksanaan Terapi Asma di Rumah
Penilaian berat serangan
Klinis : gejala (batuk,sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE < 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau
Bronkodilator oral

Respons baik Respons buruk


Gejala (batuk/ berdahak/ sesak/ mengi ) membaik Gejala menetap atau bertambah
Perbaikan dengan agonis beta-2 & bertahan berat
selama 4 jam. APE > 80% prediksi / nilai terbaik APE < 60% prediksi / nilai
terbaik
 Tambahkan kortikosteroid oral
 Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap 3–4 jam  Agonis beta-2 diulang
untuk 24 – 48 jam
Alternatif : bronkodilator oral setiap 6 – 8 jam
 Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi
Segera
(bila sedang menggunakan steroid inhalasi) Ke dokter / IGD/ RS
selama 2 minggu, kemudian kembali ke dosis
sebelumnya

Hubungi dokter untuk instruksi selanjutnya

(Kelly dan Sorkness, 2005)


13
Alogaritma Tatalaksana Terapi Asma di Rumah Sakit

Assesmen Awal
Riwayat uji fisik (auskultas, penggunaan otot accesessory, denyut jantung,
pernapasan) PEF atau FEV1, saturasi oksigen, dan tes lain.

FEVor PEV > 50% FEV1 or PEV < 50% Kegagalan respirasi yang
 Inhalasi β2-agonis dengan (eksaserbasi berat) actual
MDI atau nebulizer, sampai  Inhalasi β2-agonis dosis  Intubasi dan ventilasi
3 dosis pada satu jam tinggi dan antikolinergik mekanik dengan O2
pertama dengan nebulisasi setiap 20 100%
 Oksigen untuk mencapai min atau secara kontinyu  Nebulisasi β2-agonis
saturasi O2 ≥ 90% selama 1 jam dan antikoolinergik
 Kortikosteroid oral jika  Oksigen untuk mencapai  Kortikosteroid sistemik
tidak ada respon segera atau saturasi O2≥ 90%
jika pasien sebelumnya  Kortikosteroid sistemik oral
menggunakan kortikosteroid
sistemik oral Masuk ke ICU
Ulangi asesmen
Gejala, uji fisik, PEF, saturasi
O2, dan tes lain yang
diperlukan

Eksaserbasi sedang Eksaserbasi berat


FEV1 atau PEF 50%-80% prediksi, uji fisik: gejala FEV1 atau PEF < 50% prediksi, uji fisik: gejala
sedang berat, penggunaan otot accessory, retraksi dada
• Inhalasi β2-agonis aksi pendek setiap 60 min Tidak ada perbaikan sejak awal pengobatan
• Kortikosteroid sistemik oral • Inhalasi β2-agonis aksi pendek setiap jam atau
• Lanjutkan sampai 1-3 jam, sampai ada perbaikan kontinyu, + inhalasi antikolinergik
• Kortikosteroid sistemik

Respon baik Respon buruk


• FEV1 atau PEF > 70% Respon parsial • FEV1 atau PEF < 50%
• Respon bertahan sampai 60 min • FEV1 atau PEF > 50% • PCO2 > 42 mm Hg
setelah pengobatan terakhir tetapi < 70% • Uji fisik: gejala berat,
• Tidak ada stress/ tekanan Gejala ringan sampai sedang lemah/lesu, bingung
• Uji fisik: normal

Keputusan individual: Masuk ke ICU RS


• Inhalasi β2-agonis setiap
Boleh pulang ke rumah dirawat di RS atau pulang
jam atau kontinyu +
• Lanjutkan pengobatan inhalasi antikolinergik
dengan inhalasi β2-agonis Dirawat di RS • Kortikosteroid intravena
• Lanjutkan kortikosteroid • Inhalasi β2-agonis + inhalasi • Oksigen
sistemik oral antikolinergik • Mungkin perlu intubasi
• Edukasi pasien • Kortikosteroid sistemik (oral dan ventilasi mekanik
atau intravena)
• Oksigen
• Monitor FEV1 atau PEF, O2
(Kelly dan Sorkness, 2005)
Pulang14
ke rumah
• Lanjutkan pengobatan dengan
inhalasi β2-agonis
• Lanjutkan kur kortikosteroid
sistemik oral
• Edukasi pasien
2.8 Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan
keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan
pasien (medication record).

a) Pengkajian penggunaan obat


Kegiatan ini merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat- obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif,
aman dan terjangkau oleh pasien.7
Tahapan evaluasi disertai dengan monitoring perlu dilakukan sebagai bentuk
tindak lanjut (follow-up) dari terapi yang diberikan. Dari setiap kunjungan oleh pasien,
dilakukan penilaian ulang terhadap penanganan yang diberikan dan sejauh apa pasien
melak sanakan terapi tersebut perlu dievaluasi dan bila mungkin dikaitkan dengan
perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).Kegiatan ini dapat diidentifikasi
melalui pencatatan data pengobatan.
b) Pemantauan dan pelaporan efek samping obat
Pemantauan dan pelaporan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi
Kegiatan ini bertujuan untuk menemukan ESO (Efek samping Obat) sedini mungkin
terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang, menentukan frekuensi dan
insidensi efek samping obat yang sudah dikenal sekali, yang baru saja ditemukan,
mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/ mempengaruhi timbulnya
efek samping obat atau mempengaruhi angka kejadian dan besarnya pengaruh efek
samping obat Hal-hal yang di lakukan dalam kegiatan ini adalah menganalisa laporan
efek samping obat, mengidentifikasi obat-obatan yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat, dan mengisi formulir efek samping obat, serta melaporkan
ke panitia efek samping obat nasional.7
Pemantauan efek samping obat perlu dilakukan karena penelitian atau ijin yang
dilakukan sebelum obat diedarkan, baik uji preklinik maupun klinik belum dapat
mengungkapkan efek samping obat utamanya efek samping yang jarang terjadi ataupun
yang timbul setelah penggunaan obat untuk jangka waktu yang lama.Badan POM telah

15
bekerjasama dengan pusat MESO (Monitoring Efek Samping Obat) internasional yaitu
WHO Collaboration Center for International Drug Monitoring dan otoritas regulatori
Negara lain yang secara terstruktur akan memberikan informasi terkait dengan aspek
keamanan. Tujuan akhir dari pengadaan MESO adalah akan adanya tindakan atau
pertimbangan berupa tindak lanjut terhadap pembatasan dosis, indikasi, pembekuan atau
penarikan ijin edar, dan penarikan obat dari peredaran untuk menjamin perlindungan
keamanan masyarakat.
Evaluasi atau kontrol terhadap terapi yang diterapkan pada pasien asma ini bertujuan :
 Menurunkan kemungkinan terjadinya resiko yang lebih parah
 Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai
 standar/kriteria
 Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat asma
 Mengetahui apakah pengobatan yang diberikan cocok atau tidak
Komponen-komponen yang merupakan bagian dari evaluasi asma adala meliputi :
1) Gejala
2) Gejala pada malam hari
3) Pengaruh dengan aktivitas normal
4) Fungsi paru
5) Kualitas Hidup
6) Kambuhnya penyakit yang menyebabkan meningkatnya keparahan
7) Perawatan yang berhubungan dengan ESO
8) Kepuasan pasien terhadap pengobatan
Kategori dalam evaluasi terdiri dari :
1) Kontrol yang baik
2) Kontrol yang tidak baik
3) Kontrol yang sangat tidak baik
Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala asma yang minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak β
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
16
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Evaluasi terhadap terapi asma dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner, seperti
kuesioner terapi asma, kuesioner control asma, dam tes control asma. Contoh penggunaan
kuesioner ini adalah seperti evaluasi dengan menggunakan kuesioner ATAQ yang dilakukan
oleh Volmer, dkk dari Association of asthma control with health care utilization and quality
of life terhadap 5181 pasien asma dewasa, untuk mencari hubungan antara control asma
dengan pemakaian fasilitas kesehatan dan kualitas hidup. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa semakin buruk kontrol asma, semakin sering kunjungan ke dokter, ke gawat darurat
rumah sakit, atau perawatan inap. Demikian pula semakin buruk kontrol asma, maka semakin
rendah pula kualitas hidup pasien.
Monitor/ hentikan pengobatan (monitor/ stop treatment). Pengobatan yang irrasional
adalah pengobatan yang tidak sesuai atau tidak tepat dengan dosis, indikasi, jenis obat,
diagnosis, cara dan lama pemberian.penilaian terhadap kondisi pasien, informasi dan tindak
lanjutnya.18
Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan
penderita, ditulis dari sudut pandang medik definisi rekam medic menurut surat keputusan
direktur pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas,
anamnesis, pemeriksaan, diagnosa, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan
kepada seorang penderita selama dirawat di rumah sakit. Baik rawat inap maupun rawat
tinggal.20 Rekam medik memiliki berbagai manfaat sebagai berikut:
a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang
berkontribusi pada perawatan pasien
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan pasien dan
d. penanganan atau pengobatan selama di rumah sakit
e. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang
f. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang
bertanggung jawab
g. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.20

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma adalah suatu penyakit yang menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru
dimana terdapat peradangan (inflamasi) kronis dinding rongga bronchiale sehingga
mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
Asma banyak terjadi pada anak, Jika dibandingkan dengan anak prevelensi orang dewasa
yang terkena asma lebih rendah Dengan berbagai macam etiologi seperti : Zat allergen,
Infeksi saluran pernapasan( respiratorik ),kecenderungan alergi obat-obatan, Riwayat
keluarga (factor genetic), Emosi,stress dan lain - lain. Langkah tepat yang dapat dilakukan
untuk menghindari serangan asma adalah menjauhi faktor-faktor penyebab yang memicu
timbulnya serangan asma itu sendiri. Obat – obat asma yang sering dipakai golongan
bronkodilator, metilxantin, antikolinergik, glukokortikoid dan antagonis leukotriene.
Pengobatan asma dilakukan dengan monitoring dan evaluasi yaitu dengan menggunakan
kuesioner, seperti kuesioner terapi asma, kuesioner control asma, dam tes control asma.

3.2 Saran
Sebaiknya dalam pencantuman obat – obatan asma disertai dengan dosis yang lengkap,
interaksi obat bentuk sediaan dan cara pemakaain karena untuk bentuk sediaan obat asma
bermacam – macam dengan cara pemakaian khusu, seperti inhaler, nebulizer dan lain – lain.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Antoni C, 1997. Penanganan asma dengan perawatan primer. Hipocrates. Jakarta


2. Arief, Mansjoer.(2001). Kapita Selekta Kedoktera. Jakarta: Media Aesculapius
3. Bruton, L., Lazo, J. S., and Parker, K. L., 2005, Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, McGrawHill, Lange
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DepKes R.I.), 2009. Profil Kesehatan
Indonesia 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Depkes RI Jakarta. 2009
6. DepKes RI. (1992). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/MenKes/SK/XI/1992.
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum
7. Depkes RI. 2004.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 ttg
Kebijakan Dasar Pusat kesehatan Masyarakat Jakarta
8. Goodman, A., Gilman., 2008, Dasar Farmakologi Terapi Volume 1, hal 711-728, Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta.
9. Holloway, Elizabeth A. Wes, R. J. (2007). Integrated breathing and relaxation training
(the Papworth method) for adults with asthma in primary care: a randomised controlled
trial. Thorax, 62(10),1039 –1042.
10. Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, hal 43-50, Fakultas
Farmasi UGM, Yogyakarta.
11. Kelly ,H.W.,Sorkness, C.A., 2005, Asthma dalam Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.J. dan Posey, L.M.,Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach Sixth Edition, 517, The McGraw-Hill Companies, USA.
12. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop Report
2007.
13. Lewis et al. (1998). Medical surgical nursing;Assesment and management of clinical
problem(5thed). Philadelphia: Mosby
14. Price AS. Alih Bahasa anugrah. Patofisiologi Proses - proses Penyakit, EGC,2005 ; 689.
15. Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis , hal 143-155 Leskonfi,

19
16. Thomas, M; Bruton, A; Moffat, M; Cleland, J., 2011, Asthma and Psychological
Dysfunction,Primary Care Respiatory Journal., 20(30): 300
17. Rahajoe, N., Supriyatno,B.,dan Setyanto, D., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi
Pertama. Badan Penerbit IDAI. Jakarta
18. SastramihardjaS.1997,Penggunaan Obat Yang Rasional Di Tempat Pelayanan Kesehatan,
Majalah kedokteran Indonesia,Edisi 8 no 3 Jakarta.
19. Scott, Jeffrey, M.C. 2012. Master Plan Kedaruratan Medik.Binarupa Aksara. Tangerang.
20. Siregar dan Amalia. (2003). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 8, 71, 90
21. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo(dkk), EGC,
Jakarta.
22. Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan hal 140-
145, 435-443, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
23. Sundaru, H, 2002,Asma. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
24. Thomas, M; Bruton, A; Moffat, M; Cleland, J., 2011, Asthma and Psychological
Dysfunction,Primary Care Respiatory Journal., 20(30): 300
25. Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007).Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal.193. Elex media
kompetindo.Jakarta
26. Tjen Daniel, 1991 ).alergi dn asma bronkial. Pustka sinar harapan. Jakarta.
27. VitaHealth.(2006). Asma, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
28. zara, A. (2012). Pengaruh Teknik Pernapasan Buteyko Terhadap Penurunan Gejala Asma
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Painan Pesisir Selatan
Tahun 2012. Skripsi. Riau : Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.

20
21

Anda mungkin juga menyukai