SKROFULODERMA
Oleh
Nur Azizah
04084821921121
Pembimbing
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat
SKROFULODERMA
Oleh:
Nur Azizah
04084821921121
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 20 Januari 2020 – 24 Februari
2020.
ii
SKROFULODERMA
Nur Azizah
Pembimbing: DR. Dr. Yulia Farida Yahya, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Skrofuloderma atau tuberculosis colliquativa cutis merupakan salah satu manifestasi
klinis tuberkulosis (TB) kutis sekunder yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit yang
telah mengalami penyakit TB (Sethi, 2019; Djuanda A, 2019).
Skrofuloderma dilaporkan menjadi jenis TB kutis yang paling banyak ditemukan di
Etiopia Utara yaitu 70,8% (Terranova M, et al., 2008). Pada penelitian Saher et al. (2014)
didapatkan hasil serupa dimana skrofuloderma sebagai jenis TB kutis terbanyak di Pakistan
(61,9%). Skrofuloderma dapat mengenai semua golongan usia, namun golongan tersering
adalah anak-anak, remaja, dan lanjut usia (Sethi, 2019). Hasil penelitian Saher et al. (2014),
didapatkan bahwa insidensi skrofuloderma pada perempuan (68,57%) lebih tinggi
dibandingkan laki-laki (31,43%).
Fokal infeksi skrofuloderma yang tersering berasal dari kelenjar getah bening (KGB)
sehingga tempat predileksinya pada bagian tubuh yang banyak ditemukan kelenjar getah
bening, yang tersering ialah colli, lalu aksila, dan yang terjarang pada inguinal (Djuanda A,
2016). Pada beberapa laporan kasus ditemukan skrofuloderma yang berasal dari sendi dan
tulang seperti sendi akromioklavikular dan tulang costae, namun kasus ini sangat jarang
ditemukan (Tan WP, Tang MBY, Tan HH, 2007; Kaur S, Gurvinder PT, Gupta GN et al., 2003).
Penegakan diagnosis skrofuloderma berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis banding skrofuloderma dipikirkan berdasarkan lokasi terjadinya lesi.
Lesi pada daerah aksila harus dibedakan dengan hidradenitis supuratif, lesi di daerah inguinal
dibedakan dengan limfogranuloma venereum, dan lesi di daerah ekstremitas dibedakan
dengan sporotrikosis (Djuanda A, 2016; Sethi, 2019).
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, skrofuloderma termasuk ke dalam
tingkat kemampuan 4A sehingga dokter umum harus mampu mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas (KKI, 2012). Pada referat ini dibahas
skrofuloderma secara definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, gejala klinis, diagnosis, dan
tatalaksana sebagai informasi untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan skrofuloderma.
1
Etiopatogenesis
Etiologi skrofuloderma adalah Mycobacterium tuberculosis (Sethi, 2019). Bakteri ini
merupakan salah satu spesies Mycobacterium yang memiliki sifat tahan asam sehingga
disebut basil tahan asam (BTA) dan bersifat aerobik. Hal yang membuat spesies
Mycobacterium menjadi tahan asam adalah dinding selnya yang memiliki kandungan lipid
yang tinggi, yaitu sekitar 60% (Levinson, 2014). Lipid yang terdapat pada dinding sel
Mycobacterium tuberculosis (Gambar 1) adalah asam mikolat, glikolipid, dan kompleks lipid
bebas (Riley L. W., 2006).
Skrofuloderma paling sering berasal dari KGB yang telah diserang TB. KGB yang telah
terinfeksi TB akan mengalami peradangan (adenitis) dan menyebar ke daerah sekitarnya
(periadenitis). Kemudian KGB yang terinfeksi akan bertambah banyak yang sebagian
berkonfluensi dan terjadilah perlengketan KGB tersebut dengan jaringan sekitarnya. KGB
tersebut akan mengalami perlunakan secara tidak serentak sehingga kosistensinya kenyal dan
2
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada onset penyakit. Pada tahap
awal dijumpai nodul subkutan, berbatas tegas, mudah digerakkan dan asimtomatik. Setelah
beberapa bulan nodul tersebut semakin membesar dan melunak yang disebut sebagai abses
dingin (Gambar 2a). Kemudian terjadi perforasi abses dan pembentukan ulkus (Gambar 2b).
Bentuk ulkus skrofuloderma adalah linear atau serpiginosa, tidak teratur, dasar cekung, kulit
daerah sekitar bewarna merah kebiruan (livid), dinding menggaung, lunak, dan dasar jaringan
granulasi (Djuanda A , 2016).
a b
a b
Gambar 2. (a) Abses dingin skrofuloderma pada regio clavicula dextra, (b) Ulkus
skrofulderma dengan jaringan granulasi kemerahan di dasar ulkus (Sethi, 2019; James et
al., 2019).
Pada proses penyembuhan akan terbentuk sikatrik yang menghubungkan area ulkus.
Jembatan kulit (skin bridge) kadang-kadang terdapat di atas sikatriks, biasanya berbentuk
seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks tersebut. Pada skrofuloderma
menahun akan didapati pembesaran KGB dengan konsistensi kenyal dan lunak tanpa tanda
radang akut selain tumor, periadenitis, abses, fistula, ulkus, sikatriks yang memanjang, dan
skin bridge (Sethi, 2019; Djuanda A, 2016).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cek Laju Endap Darah
Pada skrofuloderma terjadi kerusakan jaringan akibat proses inflamasi sehingga terjadi
peningkatan laju endap darah (LED). Kadar LED juga digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan pasien (PERDOSKI, 2017)
3
Uji Kulit Tuberkulin
Uji tuberkulin atau Mantoux test dilakukan untuk mendeteksi respons imun selular
dengan menggunakan purified protein derivative (PPD) M. tuberculosis. Ukuran PPD yang
relatif kecil menyebabkan tidak ada reaksi pada orang yang belum pernah terpapar
Mycobacteria (Dias MFRG, Maria VQ, Jose ACN MFRG et al., 2014). Hasil tes positif
berarti orang tersebut pernah atau sedang menderita TB (Djuanda A, 2016). Protein M.
tuberculosis disuntikkan secara intrakutan sebanyak 5 IU (0,1 ml) di anterior lengan bawah.
Interpretasi hasil uji tuberkulin dilakukan pada 48 – 72 jam setelah tes. Reaksi positif berupa
indurasi eritem batas tegas dengan diameter lebih dari 10 mm. Pada anak yang tidak
divaksinasi dengan Bacillus Calmette-Guerin (BCG), anak yang divaksinasi lebih dari dua
tahun sebelum uji tubekulin, dan pada orang dengan kondisi imunosupresif diinterpretasikan
sugestif infeksi M. Tuberculosis bila diameter lesi ≥ 5 mm. Kelemahan dari uji tuberkulin
adalah tidak dapat menentukan etiologi karena dapat terjadi indurasi akibat reaksi silang
karena infeksi non tuberculous Mycobacterium (Dias MFRG, Maria VQ, Jose ACN MFRG et
al., 2014).
Gambar 3. Pewarnaan BTA dengan metode Ziehl Neelson (Kumar S, Bhatia R, Surana SS,
Mehra, 2014)
4
Kultur Mycobacterium tuberculosis
Kultur M. tuberculosis dapat dilakukan di media padat atau media cair. Media padat
dapat berupa media telur (seperti Löwenstein-Jensen) atau media agar (seperti Middlebrook
7H10). Kultur media padat merupakan gold standard untuk identifikasi dan menilai
sensitivitas obat. Akan tetapi dibutuhkan waktu yang lama (4-8 minggu) dan sensitivitas
rendah yaitu 21,7%. Hasil kultur dinilai positif bila terdapat pertumbuhan biakan M.
tubrculosis pada media (Khadka P, Soniya K, dan Januka T, 2018).
Gambar 4. Granuloma sel epiteloid dan giant cell Langhans (panah hitam) dengan
pembesaran x400 (Rao AG, 2016)
6
Gambar 5. Algoritma Penegakan Diagnosis Skrofuloderma (Agarwal P, Elangbam NS, Uma
SA et al., 2017)
TATALAKSANA
Penatalaksanaan TB kulit sama dengan TB sistemik. Terapi tidak hanya
menyembuhkan penyakit melainkan mencegah resistensi kuman terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT) dan menurunkan angka carrier. (Kemenkes RI, 2016). Pada lesi
berbentuk ulkus diberikan kompres dengan larutan antiseptik (povidon iodin 1%)
(PERDOSKI, 2017).
Prinsip pengobatan TB yaitu OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Pemakaian OAT kombinasi dosis tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO).
Skrofuloderma termasuk jenis TB ekstra paru sehingga pengobatannya mengguanakan OAT
kategori I (Kemenkes, 2014).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
KDT untuk orang dewasa pada tahap awal terdiri atas Rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
7
Etambutol, sedangkan pada anak di bawah usia 10 tahun direkomendasikan KDT yang terdiri
atas rifampisin,isoniazid, pirazinamid (PERDOSKI, 2017; Dias MFRG, Maria VQ, Jose ACN
MFRG et al., 2014). KDT diminum sekali sehari, satu jam sebelum atau dua jam setelah
sarapan pagi. Untuk dosis OAT lepasan pada tahap awal sebagai berikut :
a. Isoniazid
Dewasa: 5 mg/kgBB/hari, per oral, dosis tunggal.
Anak <10 tahun: 10 mg/kgBB/hari.
b. Rifampisin
Dewasa: 10 mg/kgBB/hari, per oral.
Anak: 10-20 mg/kgBB/hari (maksimal: 600mg/hari).
c. Etambutol
Dewasa: 15-25 mg/kgBB/hari, per oral, dosis tunggal.
Anak: maksimal 1250 mg/hari.
d. Pirazinamid
Dewasa: 20-30 mg/kgBB/hari, per oral, dosis terbagi.
Anak: 30-40 mg/kgBB/hari (maksimal: 2000 mg/hari).
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
8
Pada tahap lanjutan pasien mendapat obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2016). Tahap lanjut diberikan hingga 2
bulan setelah lesi kulit menyembuh. Durasi total pengobatan (tahap intensif + tahap lanjutan)
minimal 1 tahun. Dosis OAT lepasan pada tahap lanjutan :
a. Isoniazid
Dewasa 5 mg/kgBB/hari.
Anak 10 mg/kgBB/hari (maksimal 300 mg/hari), per oral, dosis tunggal
b. Rifampisin: 10 mg/kgBB/hari
Anak 10-20 mg/kgBB/hari (maksimal 600 mg/hari), per oral, dosis tunggal
Dosis KDT pada tahap lanjutan adalah rifampisin 150 mg dan isoniazid 150 mg. Tahap
lanjutan diberikan hingga 2 bulan setelah lesi kulit menyembuh. Durasi total pengobatan
(tahap intensif + tahap lanjutan) minimal 1 tahun (PERDOSKI, 2017).
PROGNOSIS
Prognosis skrofuloderma baik karena mortalitas sangat kecil bahkan hampir tidak ada.
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara amat lambat
dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya oleh
jaringan parut. namun perlu didukung oleh ketaatan dan keteraturan pasien dalam mengikuti
pengobatan OAT (Sethi, 2019).
Kriteria penyembuhan skrofuloderma adalah menutupnya fistula dan ulkus,
mengecilnya kelenjar getah bening (berdiameter <1 cm) dan konsistensi keras, sikatriks
9
eritematosa menjadi tidak merah lagi, serta laju endap darah menurun dan normal kembali
(PERDOSKI, 2017).
SIMPULAN
Skrofuloderma merupakan salah satu jenis TB kulit yang berasal langsung dari fokus
yang mendasari infeksi paling banyak dari kelenjar getah bening terutama di regio colli.
Gambaran klinis skrofuloderma dijumpai nodul subkutan, berbatas tegas, mudah digerakkan
lalu terjadi liquifaksi dengan perforasi menyebabkan terbentuk ulkus dan sinus. Bentuk ulkus
linier atau serpiginosa, tidak teratur, dasar cekung, daerah sekitar merah kebiruan, menggaung
dan lunak, dasar jaringan granulasi. Diagnosis skrofuloderma ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti tes tuberkulin, histopatologi, pewarnaan Ziehl
Neelsen, kultur dan PCR. Tatalaksana skrofuloderma sama dengan tatalaksana TB paru.
Prognosis skrofuloderma pada umumnya baik bila dilakukan tata laksana dengan tepat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal P, Elangbam NS, Uma SA, Ramsingh M, Saroj P, Surendra K. The Role of DNA
Polymerase Chain Reaction, Culture and Histopathology in The Diagnosis of
Cutaneous Tuberculosis. International Journal of Dermatology: Report. 2017.
Dias MFRG, Maria VQ, Jose ACN, Fred BF, Leninha VN, David RA. Update on Cutaneous
Tuberculosis. An Bras Dermatol. 2014;89(6):925-938.
Djuanda A. Tuberkulosis Kutis. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.p: 78-85.
Kaur S, Gurvinder PT, Gupta GN, Amrinder JK. Recalcitrant Scrofuloderma Due to Rib
Tuberculosis. Pediatric Dermatology, 2003;20(4):309-312
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Indonesia.
2014. p. 4-42.
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun
2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. 2016. p. 61-3.
Khadka P, Soniya K, dan Januka T. 2018. Cutaneous Tuberculosis: Clinicopathologic Arrays
and Diagnostic Challenges. Dermatology Research and Practice Volume 2018, 1-9.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta
Pusat: KKI.
Kumar S, Bhatia R, Surana SS, Mehra KS, Bhatnagar. Scrofuloderma: Cutaneous
Tuberculosis. A Case Report. Sch J Med Case Rep. 2014:2(7):432-434.
Levinson, W. Review of Medical Microbiology and Immunology. 13th ed. New York: Mc
Graw Hill Education. 2014. p. 408-409.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI). Panduan Praktik Klinis:
Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. 2017. P. 141-146.
Rao AG, Case Report: Scrofuloderma Associated With Lupus Vulgaris And Tuberculosis
Verrucosa Cutis In An Immunocompetent Boy. Indian Journal of Paediatric
Dermatology. 2016;17:117-120
Riley LW. Of mice, men, and elephants: Mycobacterium tuberculosis cell envelope lipids and
pathogenesis. J Clin Invest. 2006,116(6). p. 4–7.
11
Saher N., Zarnar W., Ijaz A., Sadaf A. A., Farzana R. 2014, ‘Clinical presentations of
cutaneous tuberculosis’, Journal of Pakistan Association of Dermatologist, 2014;
vol. 24(2):132-137.
Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In: Wolff, K. Goldsmith,
LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. and Leffell, DJ. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 9th Ed, Vol 2. New York:McGraw-Hill; 2019.p: 2866-28.
Tan WP, Tang MBY, Tan HH, Scrofuloderma from the Acromioclavicular Joint Presenting as
a Chronic Ulcer in an Immunocompetent Host. Singapore Med J, 2007;48(9):243-
245
Terranova M, Valeska P, Ugo F, Aldo M. Clinical and Epidemiological Study of Cutaneous
Tuberculosis in Northern Ethiopia. Dermatology, 2008;217:89-93.
12