Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat Rahmat dan Karunia-Nya, kami

dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu dan wawasan kita

bersama terhadap kehidupan sosial dan beragama.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama, adapun tema makalah ini

adalah “Ruang Lingkup Ajaran Islam Aqidah ”. Dalam membuat makalah ini, dengan keterbatasan ilmu

pengetahuan yang kami miliki, kami berusaha mencari sumber data dari buku cetak dan beberapa artikel dari

internet. Serta kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami.

Sebagai manusia biasa, kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu kami berharap adanya masukan yang membangun, sehingga makalah ini dapat bermanfaat baik

bagi diri sendiri maupun pembaca makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam

naungan kasih sayang-Nya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Padang, 28 September 2014

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam pada hakikatnya adalah seperangkat aturan atau undang-undang Allah yang terdapat dalam

kitab Allah dan Sunnah Rasul-rasul-Nya yang meliputi perintah perintah dan larangan larangan serta

petunjuk-petunjuk, dan disamping Rasul juga member kabar gembira bagi orang yang berbuat kebaikan dan

kabar pertakut (naziran) bagi orang-orang yang durhaka, untuk dijadikan pedoman hidup dan kehidupan

umat manusia guna terwujudnya kenahagiaan hidup dunia dan kehidupan di akhirat.

Secara umum aturan-aturan tersebut meliputi tiga hal pokok, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak.

Sebagian ahli ada yang membaginya ke dalam dua hal saja,yaitu aqidah dan syari’ah, dengan memasukkan

pembahasan tentang akhlak kedalam pembahasan syari’ah.

Sebagaimana agama-agama pada umumnya yang memiliki system kepercayaan dan keyakinan kepada

Tuhan, Islam mengandung system keyakinan yang mendasari aktivitas pemeluknya yang disebut aqidah.

Aqidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti di percayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang

Islam. Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah

merupakan system kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.

Seorang manusia disebut muslim manakala dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat

dengan system kepercayaan Islam. Karena itu aqidah merupakan ikatan dan simpul dasar Islam yang

pertama dan utama.


BAB II

PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Aqidah

Aqidah berasal dari kata “aqada-ya’qidu-‘aqdan” yang berarti simpul, ikatan, dan

perjanjian yang kokoh dan kuat (Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Depag. RI,

2001). Setelah terbentuk menjadi ‘aqidatan (qidah) berarti kepercayaan atau

keyakinan. Kaitan antara ‘aqdan dengan ‘aqidatan adalah bahwa keyakinan itu

tersimpul dan tertambat dengan kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung

perjanjian. Makna ‘aqidah secara etimologis ini akan lebih jelas apabila dikaitkan

dengan pengertian terminologisnya, seperti diungkapkan oleh (Hasan Al-Bana, tt)

sebagai berikut :

“” Aqaid (bentuk jamak dari ‘aqidah) adalah beberapa masalah yang wajib diyakini

kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang

tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.

Abu Bakar Al-Jaziri mengemukakan tentang pengertian ‘aqidah sebagai berikut:

“’Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia

berdasarkan akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam

hati, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.1

1
Rustam, Rusyja (2010). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Padang: Universitas Andalas. hlm.168
Jadi, pengertian aqidah secara istilah (terminologi) yaitu perkara yang wajib

dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu

kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan

kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan

apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya yang

tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat

keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang

itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

1.2 ISTILAH-ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH


 Iman, yaitu: sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan
dan diamalkan dengan anggota tubuh.

 Tauhid, artinya: mengesakan Allah (Tauhidullah).

 Ushuluddin, artinya: pokok-pokok agama

 Fiqh Akbar, artinya: fiqh besar. Istilah ini muncul berdasarkan
Pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah dalam surat At -
Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fiqih, tentu dan lebih utama masalah
aqidah.
Dikatakah fiqh akbar, adalah untuk membedakannya dengan fiqh dalam masalah
hukum.

2. Ruang Lingkup Aqidah

Menurut Hasan Al-Bana ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi hal-hal sebagai

berikut:

1. Ilahiyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

ilah (Tuhan), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan-

perbuatan Allah dan lain-lain.

2. Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah,

mu’jizat dan sebagainya.

3. Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis syetan dan ruh.

4. Sam’yah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui

melalui sam’i, yakni dalil naqli berupa al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti alam

barzakh, akhirat, azab kubur dan sebagainya.2

2
Rustam, Rusyja (2010). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Padang: Universitas Andalas. hlm.170-171
3. Bukti-bukti Wujud Tuhan

1. ALAM SEMESTA ADALAH PENGOKOHAN WUJUD MAHA PENCIPTA

Periksalah alam cakrawala yang ada diatas kita, yang didalamnya itu terdapat matahari,

bulan, bintang, dan sebagainya. Demikian pula alam yang berbentuk bumi ini dengan

segala sesuatu yang ada di dalamnya baik yang berupa manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan dan benda padat, juga perihal adanya hubungan yang erat dengan

perimbangan yang pelik yang merapikan susunan diantara alam-alam yang beraneka

ragam itu serta yang menguatkan keadaannya masing-masing itu, semuanya tidak lain

kecuali merupakan tanda dan bukti perihal wujudnya Allah. Selain menunjukkan adanya

Dzat itu juga membuktikan keesaanNya dan hanya Dia sajalah yang Maha Kuasa untuk

menciptakannya.

Kiranya tidak terlukis sama sekali dalam akal fikiran siapapun bahwa benda-benda

tersebut terjadi tanpa ada yang mengadakan atau menjadikan, sebagaimana juga halnya

tidak mungkin terlukiskan bahwa sesuatu buatan itu tidak ada yang membuatnya. Oleh

sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang karena

adanya kesengajaan, maka tetap pula lah perihal adanya Tuhan (Allah) sebagai Dzat

Maha Pengatur yang bijaksana, Maha Mulia dan Tinggi yakni dari jalan yang sama-

sama dapat dirasakan.


Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini

tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT:

“Apakah dalam Dzat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta
langit dan bumi?” (S. Ibrahim:10).

Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yg Agung:

“Sesungguhnya Rabb kalian semua adalah Allah yg telah menciptakan langit & bumi
dalam masa enam hari, kemudian Dia bersemayam diatas Arsy. Dia menutupkan malam
pd siang yg mengikutinya dgn cepat, & diciptakannya pula matahari, bulan & bintang-
bintang (masing-masing) tunduk pd perintah-Nya, Ingatlah menciptakan & memerintah
itu hanyalah hak Allah, Maha suci Allah Rabb semesta alam .” (Al Qur’an Surat: Al
A`raaf:;54)

2. FITRAH SEBAGAI BUKTI ADANYA ALLAH

Alam semesta atau jagad raya dengan segala sesuatu yang ada didalamnya yang

nampak sangat teratur kokoh, indah, sempurna, rapi dan seluruhnya sebagai ciptaan

baru, bukannya itu saja yang dapat digunakan sebagai saksi tentang adanya Tuhan

(Allah) yang maha mendirikan langit dan bumi ini, tetapi masih ada saksi lain lagi yang

dapat digunakan untuk itu dan bahkan dapat lebih meresapkan. Saksi yang lainnya itu

adalah berupa perasaan-perasaan yang tertanam dalam jiwa setiap insan yang merasakan

akan adanya Allah SWT. Perasaan ini adalah sebagai pembawaan sejak manusia itu

dilahirkan dan oleh sebab itu dapat disebut sebagai perasaan fitrah. Fitrah adalah

keaselian yang diatasnya itulah Allah menciptakan makhluk manusia itu. Ini dapat pula

diibaratkan dengan kata lain sebagai gharizah diniah atau pembawaan keagamaan.
Ghazirah dianiah adalah satu-satunya hal yang merupakan batas pemisah antara

makhluk Tuhan yang disebut manusia dan yang disebut binatang, sebeb binatang pasti

tidak memikirkannya. Ghazirah keagamaan ini adakalanya tertutup atau hilang, sebagian

atau seluruhnya, dengan adanya sebab yang mendatang, sehingga manusia yang sedang

dihinggapi penyakit ini lalu tidak mengerti sama sekali tentang kewajiban dirinya

terhadap Tuhan. Ia tidak terjaga dari kenyenyakan tidurnya dan tidak dapat dibangunkan

dari kelalaiannya itu, kecuali apabila ada penggerak yang menyebabkan ia jaga dan

bangun. Setelah kebangunannya ini barulah ia akan meneliti penyakit apa yang sedang

dideritanya itu atau bahaya apa yang sedang meliputi tubuhnya dan mengancam

keselamatannya.

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirnan :

“Dan jikalau manusia itu ditimpa bahaya, maka ia pun berdoalah kepada Kami (Allah)
diwaktu berbaring, diwaktu duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya
itu dari padanya, iapun berjalanlah seolah-olah tidak pernah berdoa kepada Kami atas
bahaya yang telah menghinggapinya itu”. (S. Yunus.12).

3. DALIL NAQLI

Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Allah, dan dengan akal

pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (al-Quran

dan Sunnah) untuk membimbing manusia untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya

(Allah) dengan segala asma dan sifatNya. Sebab fithrah dan akal tidak bisa menjelaskan

siapa Tuhan yang sebenarnya itu (Allah).

1. Allah SWT adalah Al-awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujudNya. Dia

juga Al-Akhir akhirnya tidak ada akhir dari wujudNya.


“Dialah yng awal dan yang akhir, yang zhahir dan yang bathin, dan Dia Mengetahui
segala sesuatu.” (Al-Hadid 57:3).

1. Tidak ada satu pun yang menyerupaiNya.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”. (As-Syura 42:11).

1. Allah SWT Maha Esa

“Katakanlah : ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa…” (Al-Ikhlas 112:1).

1. Allah SWT memiliki Al-Asma’ was Shiffaat (nama-nama dan sifat-sifat) yang
disebutkanNya untuk diriNya di dalam Al-Quran serta semua nama dan sifat yang
dituturkan untukNya oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya, seperti Ar-
Rahmaan, Ar-Rahiim, Al’Aliim, Al-Aziz, As-Sami, Al-Bashiir dan lain-lain.

Firman Allah :

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka perbuat.” (Al-A’raf 7:18).

5. Pembuktian Wujud Allah

Walaupun manusia telah menghayati Allah melalui ciptaan-Nya, pengalaman batin

atau fitrah manusia sendiri, namun dia masih juga menginginkan pembuktian secara

langsung bertemu muka. Bahkan Nabi Musa a.s. sekalipun beliau adalah utusan Allah

pernah memohon kepada Allah agar Dia menampakkan diri kepadanya, seperti

diriwayatkan Al-Qur’an dalam Surat Al-A’raf (7) : 143.


143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun
jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."

Oleh karena segala usaha manusia dalam pembuktian wujud Allah itu tetap nisbi
dan terbatas, maka pembuktian perlu dicari hanya dari satu-satunya sumber yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul3

3
Faisal, Yusuf Amir, dkk (1984). Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta:Cv .Kuning Mas.

Anda mungkin juga menyukai