Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGERTIAN AKIDAH, SYARIAH, AKHLAK

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah agama


Dosen pengampu: Sotar, MA.

OLEH:

KELOMPOK 4

WAHYU RAMADHAN PUTRA ( 2303008 )

PROGRAM STUDY FISIOTERAPI DAN TEHNIK ELEKTRO MEDIK

POLTEKES SITEBA PADANG


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT ,kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “PENGERTIAN AKIDAH, SYRIAH, AKHLAK”.

Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas fisiologi dasar, Semoga makalah ini bermanfaat bagi
diri kami dan khususnya para mahasiswa POLTEKES SITEBA.

Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca.

Padang, 4 Oktober 2023

Wahyu Ramadhan Putra


DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PENJELASAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ni1ai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya
semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenakan kita kepada Allah
SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor Doktor,
pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang
menciptakannya?
Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing
ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adafah landasan semua
tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepala. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus
direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut
kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan
yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut terminologi syarat (agama) yaitu keimanan kepada
Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan
buruknya. lni disebut Rukun Iman.
Dalam syarat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama : Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu,
letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.
Kedua : Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah
disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama.
Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : ikhias karena Allah SWT yaitu berdasarkan
aqidah islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasululiah SAW. ini
disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk
Rasuluflah SAW tertolak atau mengikuti Rasuiullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia,
umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah makna yang
terkandung dalam AI-Qur'an surah AI-Kahfii 110 yang artinya : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia me.mpersekutukan. seorangpun
cialam befibadah kepada Tuhannya. “
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah, dan kita sebagai manusia
wajib meyakininya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman (mu’min).
Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses
keimanan harus disertai dalil-dalil aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka tidak semua hal yang
harus diimani dapat diindra dan dijangkau oleh akal manusia.
Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat menghasilkan keyakinan dan keimanan yang
kokoh. Sedangkan dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keimanan yang diharapkan hanyalah dalil-dalil yang
shahih.

1.1 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan aqidah ?
2. Apa saja ruang lingkup aqidah ?
3. Apa sajakah dalil-dalil tentang aqidah islam ?
4. Bagaimana aqidah yang benar dalam islam ?
5. Bagaimana aqidah ala ahlus sunah ?
6. Apa yang dimaksud syariat?
7. Apa yang dimaksud akhlak dan pembagiannya?

1.2 Tujuan Makalah


1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan ruang lingkup aqidah.
3. Menerangkan dalil-dalil tentang aqidah islam.
4. Memaparkan aqidah yang benar dalam islam.
5. Menyampaikan dalil yang benar tentang aqidah
6. Memaparkan apa itu syariat.
7. memaparkan apa itu akhlak dan pembagiannya
BAB II
Pembahasan

2.1. Pengertian
· Pengertian aqidah dalam bahasa arab berasal dari kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti
kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-‘ihkaamu yang artinya mengokohkan, dan ar-rabthu buqw-wah yang
berarti mengikat yang kuat.
· Pengertian aqidah secara istilah adalah iman teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang
yang menyakitinya.
· Pengertian aqidah dalam syara’ yaitu iman kepada allah, para malaikat-nya, para raulnya, dan hari akhir serta
pada qada dan qadar.
· Menurut Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang
dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.
· Aqidah menurut Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari
segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syakwasangka dan
tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan.
· Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga
menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.
· Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh
manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini
keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran
itu.
· Menurut Abdullah Azzam, aqidah adalah iman dengan semua rukun-rukunnya yang enam.Berarti menurut pengertian ini iman yaitu
keyakinan ataukepercayaan akan adanya Allah SWT, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,Nabi-nabi-Nya, hari kebangkitan dan
Qadha dan Qadar-Nya.

Jadi aqidah islam adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dangan segala
pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadanya, beriman kapada malaikatnya dan rasul-rasulnya, hari
akhir, tardik baik dan buruk dan mengmani apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip agama, perkara-
perkara yang ghaib.

2.2. Ruang lingkup Aqidah


Kajian aqidah menyangkut keyakinan umat Islam atau iman. Karena itulah, secara formal, ajaran dasar
tersebut terangkum dalam rukun iman yang enam. Oleh sebab itu, sebagian para ulama dalam pembahasan atau
kajian aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun iman yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat
(termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman
kepada Nabi dan rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah swt.
Sementara Ulama dalam kajiannya tentang aqidah islam menggunakan sistematika sebagai berikut:
1. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan, Allah),
seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.
2. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan Rasul, termasuk
pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, karamat dan sebagainya.
3. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperyi
Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain sebaginya.
4. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sama’, yaitu dalil
naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga,
neraka dan sebaginya.
Selain ruang lingkup yang di atas aqidah juga bisa mengikuti sistematis arkanul iman yaitu
1. Iman keppada Allah SWT
2. Iman kepada malaikat-malaikat Allah
3. Iman kepada kitab-kitab Allah
4. Iman kepad Nabi dan Rasul
5. Iman kepada hari Akhir
6. Iman kepada Qada dan Qadar

2.3. Dalil-dalil Aqidah Islam


Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah
adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun
di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada
gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut
akan runtuh dan hancur berantakan.

Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu
amal. Aqidah Islam juga menuntut hanya nabi Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua
makhluk yang ada. Tidak boleh mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak diterima selain dari beliau.
Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari
beliau (siapapun orangnya), atau dari agama dan ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum. Seorang
muslim wajib mengikuti dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firma Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:

‫ۗ ۗ َم ْن ُّيِط ِع الَّرُسْو َل َفَقْد َاَطاَع َهّٰللاۚ َو َم ْن َتَو ّٰل ى َفَم ٓا َاْر َس ْلٰن َك َع َلْيِهْم َح ِفْيًظا‬
Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati Allah. Siapa yang berpaling, maka Kami
tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad) sebagai pemelihara159) mereka. An-Nisā' [4]:80

Dan firman-Nya:
‫َو َاِقْيُم وا الَّص ٰل وَة َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َل َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم ْو َن‬
“Taatlah kalian kepada rasul semoga kalian dirahmati.”
(QS.An-Nuur:56)
Dan firman-Nya Jalla wa’alaa:
‫ُقْل َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َۚل َفِاْن َتَو َّلْو ا َفِاَّنَم ا َع َلْي ِه َم ا ُح ِّمَل َو َع َلْيُك ْم َّم ا ُح ِّم ْلُتْۗم َو ِاْن ُتِط ْيُعْو ُه َتْهَتُد ْو ۗا َوَم ا َع َلى الَّرُسْو ِل ِااَّل اْلَبٰل ُغ اْلُم ِبْيُن‬

“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya
kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata
apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak
lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”.
(QS.An-Nuur:54)

Dan Allah Azza wajalla berfirman:


‫ُقْل َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو الَّرُسْو َل ۚ َفِاْن َتَو َّلْو ا َفِاَّن َهّٰللا اَل ُيِح ُّب اْلٰك ِفِرْيَن‬

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir”.
(QS.Ali Imran:32)

Akidah Islam juga menuntut kewajiban menerapkan Islam secara sempurna dan totalitas. Diharamkan
menjalankan (hukum Islam) sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, atau menerapkannya secara bertahap.
Kita tidak boleh membeda-bedakan hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Seluruh hukum
Allah adalah sama dalam hal kewajiban pelaksanaannya. Oleh karena itu Abu bakar dan para sahabat telah
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, karena mereka menolak melaksanakan salah satu
hukum, yaitu hukum zakat. Disamping itu Allah Swt mengancam orang-orang yang membeda-bedakan antara
satu hukum dengan hukum yang lain, atau orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Kitabullah dan
kufur terhadap sebagian lainnya. Mereka diancam dengan kehinaan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat.
Beberapa ulama telah membahas berbagai perkara tentang akidah, antara lain pembuktian adanya Allah
Sang Pencipta, pembuktian kebutuhan akan adanya Rasul dan pembuktian bahwa al-Qur’an berasal dari Allah
Swt dan Muhammad saw adalah seorang Rasul. Semua itu dibahas berdasarkan dalil ‘aqli dan naqli yang berasal
dari al-Qur’an dan Hadits mutawatir. Meraka telah membahas pula perkara qadar, qadha dan rizki, ajal, tawakal
kepada Allah, serta perkara hidayah (petunjuk) dan dlalalah (kesesatan).

2.4. Aqidah yang benar dalam islam


Aqidah yang benar dan lurus serta terjaimin dari kontaminasi adalah aqidah yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan dijalankan oleh para shahabatnya. Aqidah ini tidak terlalu rumit serta tidak terjebak dengan
perdebatan masalah teologis yang membingungkan. Aqidah ini bisa dicerna dengan mudah oleh para ilmuwan,
filosouf dan rakyat kebanyakan.
Aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah aqidah yang diperuntukkan untuk semua kalangan
dan tidak kurang kekuatan ilmiyahnya dari pecahan-pecahannya yang sering terjebak beradu argumen dengan
aliran teologi barat yang cenderung asyik bermain di wilayah logika semata.
Satu lagi keistimewaaan aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah aqidah ini mampu
menanamkan jiwa dan ruh serta kekuatan luar biasa ke dalam hati para penganutnya, sehingga mampu
mengubah kehidupan miskin dan terbelakang menjadi peradaban besar dunia yang eksis bukan hanya pada
masalah ukhrawi tetapi juga masalah duniawi.
Aqidah yang diajarkan Rasulullah SAW ini telah sukses mengatarkan masyarakat gurun yang tadinya
menyembah batu dan kuburan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi tatanan masyarakat baru yang
maju, modern dan berkebudayaan tinggi.
Dengan aqidah ini, seorang budak mampu berdiri tegak di depan raja-raja dunia sambil menawarkan
pilihan untuk masuk Islam, bayar jizyah atau perang.
Dengan aqidah ini, generasi pertama umat ini mampu menaklukkan tiga imperium besar dunia dan
mengantarkan masyarakatnya menuju pintu gerbang kehidupan kosmopolitan yang besar dan disatukan dalam
sebuah khilafah terbesar sepanjang sejarah.
Dan yang tidak kalah penting untuk diketahui, aqidah ini tidak akan pernah hilang di telan zaman,
karena semua doktrin dan ajarannya telah diabadikan dalam kitab suci abadi hingga akhir zaman.
Dalam istilah baku apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ini adalah aqidah ahli sunnah wal jamaah,
yaitu aqidahnya orang yang mengukuti sunnah Rasulullah SAW dan jamaah shahabatnya atau yang dikenal
sebagai ahlus sunah wal jamaah.
2.5. Aqidah ala ahlus sunah
Adapun ciri-ciri aqidah ahlus sunah adalah sebagai berikut.
1. Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan
syubhat.
2. Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini
adalah iman kepada sesuatu yang ghaib.
3. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar,
bebas dari syahwat dan syubhat.
4. Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in dan para imam,
baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan
5. Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu,
masih samar-samar maupun yang sulit.
6. Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan karena bersumber pada wahyu ilahi.
7. Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat.
Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.
8. Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus
menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya..
9. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat
Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang
teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
10. Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak
akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan
Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari’at. Maka hatinya akan
merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan
pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.
11. Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah.
Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.
12. Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua’malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya
melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan
dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.
13. Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.
14. Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui
bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan dan
berpegang teguh pada keduanya.

2.6. Manfaat Aqidah Bagi Umat Islam


Aqidah Islam merupakan landasan setiap perilaku orang hidup beragama.Oleh sebab itu memepelajari
aqidah islam sangatlah bermanfa’at. Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka
kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak
kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah lslamiyah sebagai poros dari segala
pola laku dan tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat.
Adapun manfaat mempelajari aqidah islam diantaranya;
1) Memperoleh petunjuk hidup yang benar.
2) Selamat dari pengaruh kepercayaan yang akan membawa kerusakan dan jauh dari kebenaran.
3) Memperoleh ketenangan hidup yang hakiki karena ada hubungan batin dengan sang pencipta.
4) Tidak mudah terpengaruh dengan dunia yang sifatnya sebentar,yang kekal adalah akherat.
5) Mendapat jaminan surga jika akidahnya tak tercampur dengan syirik dan selamat dari kekalnya Neraka.

Adapun manfaat mempelajari aqidah islam diantaranya:


1. Membebaskan dirinya dari ubudiyah/ penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta,
pimpinan maupun lainnya.
2. Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.
3. Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa,
harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah
(outer focus of control).
4. Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho
terhadap segala ketentuan Allah.
Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan
kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan
bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.

2.7 MAKNA SYARI’AT


[At-Talâzum bainal ‘Akidah wasy Syari’ah, hlm: 10-11]

Secara bahasa syari’at berasal dari kata asy-syar’u, artinya: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi,
dan jalan.

Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.

Makna syari’at secara umum adalah: agama yang telah dibuat oleh Allâh Azza wa Jalla , mencakup akidah
(keyakinan) dan hukum-hukum. Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

‫َش َرَع َلُك ْم ِم َن الِّديِن َم ا َو َّصٰى ِبِه ُنوًح ا َو اَّلِذ ي َأْو َح ْيَنا ِإَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبِه ِإْبَر اِهيَم َوُم وَس ٰى َو ِع يَس ٰى ۖ َأْن َأِقيُم وا الِّد يَن َو اَل َتَتَفَّر ُقوا ِفيِه ۚ َك ُبَر َع َلى اْلُم ْش ِرِكيَن‬
‫َم ا َتْدُعوُهْم ِإَلْي ِه ۚ ُهَّللا َيْج َتِبي ِإَلْيِه َم ْن َيَشاُء َوَيْهِد ي ِإَلْيِه َم ْن ُيِنيُب‬

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allâh menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). [Asy-Syura/42:13]

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah meriwayatkan dari As-Suddi tentang firman
Allâh Azza wa Jalla : “ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh“, dia berkata: “itu adalah agama semuanya (yakni semua bagian-bagiannya-pen)”.

Dari Qotadah rahimahullah tentang firman Allâh Azza wa Jalla : “ Dia telah mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh“, dia berkata: “Allâh Azza wa Jalla telah mengutus
Nuh ketika Dia mengutusnya dengan syari’at, dengan menghalakan yang halal dan mengharamkan yang
haram”. [Lihat dua riwayat ini di dalam Tafsir Ath-Thabari juz 11, hlm: 134]

Juga firman-Nya:

‫ُثَّم َجَع ْلَناَك َع َلٰى َش ِريَعٍة ِم َن اَأْلْم ِر َفاَّتِبْع َها َو اَل َتَّتِبْع َأْهَو اَء اَّلِذ يَن اَل َيْع َلُم وَن‬

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [Al-Jatsiyah/45:18]

Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Tinggi
sebutan-Nya berkata kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kemudian Kami jadikan
kamu –hai Muhammad- berada di atas suatu thariqah, sunnah, minhaj (tiga kata ini artinya jalan) para Rasul
yang telah Kami perintahkan sebelummu”. [Lihat Tafsir ath-Thabari, juz: 11, hlm: 258]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Yaitu: ikutilah apa yang telah diwahyukan
kepadamu dari Rabbmu (Penciptamu; Penguasamu), tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik”. [Tafsir Ibnu Katsir, juz: 4, hlm: 191]

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata menjelaskan tentang ayat ini: “Arti syari’at di dalam bahasa
Arab adalah: pendapat, agama, dan jalan yang terang. Syari’at juga berarti: tempat air yang didatangi oleh para
peminumnya. (Di dalam bahasa Arab jalan disebut) syâri’ karena ia merupakan jalan menuju tujuan.

Adapun yang dimaksudkan syari’at di sini –yakni menurut istilah agama- adalah: apa yang Allâh Azza
wa Jalla syari’atkan (buat peraturan) yang berupa agama, bentuk jama’nya adalah syarâi’.

(Arti ayat ini) yaitu: Kami telah menjadikan kamu –wahai Muhammad- berada di atas suatu jalan yang
jelas dari urusan (agama itu) yang akan menghantarkanmu menuju al-haq. “Maka ikutilah syariat itu”, yaitu
maka amalkanlah hukum-hukumnya pada umatmu. “Dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui”, terhadap tauhidulloh dan syari’a-syari’atNya untuk hamba-hambaNya, mereka adalah orang-
orang kafir Quroisy dan yang menyetujui mereka”.[Lihat Tafsir Fathul Qadir juz: 5, hlm: 11]

Dari keterangan ini, jelaslah bahwa istilah syari’at pada ayat-ayat ini mencakup semua bagian agama
yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang berupa al-haq (kebenaran) dan al-huda
(petunjuk), dalam masalah akidah dan hukum-hukum.

Sedangkan makna syari’at secara khusus adalah: peraturan yang Allâh Azza wa Jalla buat yang berupa
hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

‫ِلُك ٍّل َج َع ْلَنا ِم ْنُك ْم ِش ْر َع ًة َو ِم ْنَهاًج ا‬

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu [maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang
sebelumnya] Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang. [Al-Maidah/5:48]

Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan akidah. Karena
akidah seluruh para Nabi itu sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. [Lihat
Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Fathul Qadir, pada ayat ini]

Dengan ini kita mengetahui bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at disebut
sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika
syari’at disebut bersama akidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-
perintah, dan larangan-larangan di dalam agama yang bukan akidah (keyakinan).

2.8. HUBUNGAN AKIDAH DENGAN SYARI’AT

Sesungguhnya istilah akidah jika disebut secara umum (sendirian), maka itu memuat pokok-pokok dan hukum-
hukum syari’at dan mengharuskan mengamalkan syari’at. Sebagaimana istilah syari’at jika disebut secara umum
(sendirian), maka itu memuat perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang
pasti, yaitu akidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allâh Azza wa Jalla :
Dengan demikian maka akidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah
diketahui bahwa iman itu memuat keyakinan dan amalan, keyakinan ini yang disebut akidah, dan amalan ini
yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup akidah dan syari’at, karena memang iman itu jika disebutkan
secara mutlak/sendirian mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه ُثَّم َلْم َيْر َتاُبوا َو َج اَهُدوا ِبَأْمَو اِلِهْم َو َأْنُفِس ِهْم ِفي َس ِبيِل ِهَّللا ۚ ُأوَٰل ِئَك ُهُم الَّصاِد ُقوَن‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allâh dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allâh. mereka Itulah orang-orang yang benar. [Al-Hujurat/49:15]

Juga fiman-Nya Azza wa Jalla :

﴿ ‫﴾اَّلِذ يَن ُيِقيُم وَن الَّص اَل َة َو ِمَّم ا َر َز ْقَناُهْم ُيْنِفُقوَن‬٢﴿ ‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن اَّلِذ يَن ِإَذ ا ُذ ِكَر ُهَّللا َو ِج َلْت ُقُلوُبُهْم َو ِإَذ ا ُتِلَيْت َع َلْيِهْم آَياُتُه َز اَد ْتُهْم ِإيَم اًنا َو َع َلٰى َر ِّبِهْم َيَتَو َّكُلوَن‬
‫﴾ُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َح ًّقا ۚ َلُهْم َدَر َج اٌت ِع ْنَد َر ِّبِهْم َو َم ْغ ِفَر ٌة َو ِرْز ٌق َك ِريٌم‬٣

Sesungguhnya orang-orang yang beriman (maksudnya: orang yang sempurna imannya) ialah mereka yang bila
nama Allâh disebut, hati mereka gemetar, dan apabila ayat-ayat-Nya dibacakan, iman mereka bertambah
(karenanya), dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal.

(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.

Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi t berkata di dalam kitab ash-Shalat: “Perumpamaan iman pada
amalan seperti qolbu (hati; jantung) pada badan, keduanya tidak terpisahkan. Tidaklah ada orang yang memiliki
badan yang hidup, namun tidak ada qolbunya. Juga tidak ada orang yang memiliki qolbu, namun tanpa badan.
Maka keduanya itu adalah dua perkara yang berbeda, namun hukumnya satu, sedangkan maknanya berbeda.
Perumpamaan keduanya juga seperti biji yang memiliki luar dan dalam, sedangkan biji itu satu.Tidaklah
dikatakan dua, karena sifat keduanya yang berbeda. Maka demikian juga amalan-amalan Islam dari (ajaran)
Islam adalah iman sebelah luar, yaitu termasuk amalan-amalan anggota badan. Sedangkan iman adalah Islam
sebelam dalam, yaitu termasuk amalan-amalan hati”. [Kitabul Iman, hlm: 283, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah]

MENERAPKAN SYARI’AT

Sesungguhnya menerapkan syari’at Allâh Azza wa Jalla di muka bumi merupakan kewajiban setiap
Muslim, secara individu atau jama’ah, sebagai penguasa atau rakyat. Karena setiap orang mengemban amanah,
dan setiap orang akan dimintai tanggung jawab atas amanah tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman
memerintahkan Râsul-Nya untuk memutuskan perkara manusia dengan apa yang telah Allâh Azza wa Jalla
turunkan:
‫َو َأِن اْح ُك ْم َبْيَنُهْم ِبَم ا َأْنَز َل ُهَّللا َو اَل َتَّتِبْع َأْهَو اَء ُهْم َو اْح َذ ْر ُهْم َأْن َيْفِتُنوَك َع ْن َبْع ِض َم ا َأْن َز َل ُهَّللا ِإَلْي َك ۖ َف ِإْن َتَو َّل ْو ا َف اْعَلْم َأَّنَم ا ُيِريُد ُهَّللا َأْن ُيِص يَبُهْم ِبَبْع ِض‬
‫ُذ ُنوِبِهْم ۗ َو ِإَّن َك ِثيًر ا ِم َن الَّناِس َلَفاِس ُقوَن‬

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allâh), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allâh menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. [Al-Maidah/5:49]

Allâh Azza wa Jalla juga telah berfirman memerintahkan manusia untuk mengikuti syari’at-Nya dan
meninggalkan siapa saja yang bertentangan dengannya:

‫اَّتِبُعوا َم ا ُأْنِزَل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َر ِّبُك ْم َو اَل َتَّتِبُعوا ِم ْن ُدوِنِه َأْو ِلَياَء ۗ َقِلياًل َم ا َتَذَّك ُروَن‬

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [Al-A’râf/7:3]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengikuti apa
yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selainnya,
maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” [I’lamul Muwaqqi’in ; 2/46 ; Darul Hadits, Kairo,
th: 1422 H / 2002 H]

2.9. KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT ATAS SETIAP MUSLIM

Sebagian orang beranggapan bahwa menegakkan syari’at itu kewajiban penguasa, sehingga mereka
selalu menuntut penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , sedangkan mereka sendiri
nampak jauh dari tuntunan syari’at. Ini adalah pemahaman yang sempit. Karena sesungguhnya kewajiban
menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla mengenai setiap orang Muslim, baik dia sebagai penguasa atau rakyat
biasa. Setiap orang bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫َفاَل َو َرِّبَك اَل ُيْؤ ِم ُنوَن َح َّتٰى ُيَح ِّك ُم وَك ِفيَم ا َش َج َر َبْيَنُهْم ُثَّم اَل َيِج ُدوا ِفي َأْنُفِسِهْم َح َر ًجا ِمَّم ا َقَض ْيَت َو ُيَس ِّلُم وا َتْس ِليًم ا‬

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4:65]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allâh Azza wa Jalla bersumpah dengan diri-Nya yang mulia,
yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau putuskan adalah haq, yang wajib ditunduki secara lahir dan
batin. Oleh karena inilah Allâh Azza wa Jalla berfirman: ((kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya)). Yaitu jika mereka
telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin,
dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

Baca Juga Dimanakah Allah Subhanahu Wa Ta'ala?

‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َو اَل ُم ْؤ ِم َنٍة ِإَذ ا َقَض ى ُهَّللا َو َر ُسوُلُه َأْم ًر ا َأْن َيُك وَن َلُهُم اْلِخَيَر ُة ِم ْن َأْم ِر ِهْم ۗ َو َم ْن َيْع ِص َهَّللا َو َر ُسوَلُه َفَقْد َض َّل َض اَل اًل ُم ِبيًنا‬

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’min, apabila Allâh dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al-
Ahzab/33:36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum di dalam segala perkara, yaitu jika Allâh dan
Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan di sini tidak ada
pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat
al-Ahzâb/33:36]

2.10 KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT DALAM SEGALA ASPEK KEHIDUPAN

Termasuk perkara pokok dalam agama Islam adalah bahwa seorang Muslim berkewajiban masuk ke dalam
agama Islam secara total, sesuai dengan kemampuannya. Maka dia wajib mengikuti Islam di dalam akidah
(keyakinan), ibadah (ketundukan hamba kepada Penciptanya), mu’amalah (hubungan antar hamba), politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya dari aspek kehidupan ini. Sehingga menerapkan syari’at Islam bukan hanya
yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni) dan urusan pribadi saja, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Juga bukan hanya yang berkaitan dengan pemerintahan saja. Bahkan wajib menegakkan hukum Allâh Azza wa
Jalla dalam seluruh aspek kehidupan, sesuai dengan kemampuan. Semua sisi syari’at Islam adalah penting, dan
yang paling penting adalah aspek akidah, yaitu tauhid.

Allâh Azza wa Jalla berfirman mengecam orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian ajaran kitab Taurat dan
mengingkari sebagian lainnya:

‫َأَفُتْؤ ِم ُنوَن ِبَبْع ِض اْلِكَتاِب َو َتْكُفُروَن ِبَبْع ٍض ۚ َفَم ا َج َز اُء َم ْن َيْفَع ُل َٰذ ِلَك ِم ْنُك ْم ِإاَّل ِخ ْز ٌي ِفي اْلَحَياِة الُّد ْنَيا ۖ َو َيْو َم اْلِقَياَم ِة ُيَر ُّد وَن ِإَلٰى َأَشِّد اْلَع َذ اِب ۗ َو َم ا ُهَّللا ِبَغاِف ٍل‬
‫َع َّم ا َتْع َم ُلوَن‬
Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat. [Al-Baqarah/2:85]

Walaupun sebab turunnya ayat ini mengenai orang-orang Yahudi, tetapi kandungannya umum, juga
mengenai orang-orang yang bersifat seperti sifat mereka dari kalangan kaum Muslimin. Sebagaimana telah
diketahui dari kaedah tafsir:

‫َاْلِع ْبَر ُة ِبُع ُم ْو ِم الَّلْفِظ َال ِبُخ ُصْو ِص الَّس َبِب‬

Yang dinilai adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan kekhususan sebab.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman memerintahkan orang-orang beriman untuk memasuki agama Islam secara
total. Dia Azza wa Jalla berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اْدُخ ُلوا ِفي الِّس ْلِم َك اَّفًة َو اَل َتَّتِبُعوا ُخ ُطَو اِت الَّش ْيَطاِن ۚ ِإَّنُه َلُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِبيٌن‬

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-
langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah/2:208]

2.11 AKHLAK DAN PEMBAGIANNYA

Berakhlak dengan akhlak yang disyariatkan dalam Islam diantaranya; jujur, amanah, bertanggung
jawab, menjaga kesucian, malu, berani, darmawan, menepati janji, menjauhi semua yang diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, berbuat baik kepada tetangga, membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan,
dan selainnya dari akhlak-akhlak yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah yang dijelaskan tentang
disyariatkannya akhlak-akhlak tersebut.

Akhlak yang baik adalah tanda kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Tidaklah kebaikan-
kebaikan datang atau didapatkan di dunia dan di akhirat kecuali dengan berakhlak dengan akhlak yang baik. Dan
tidaklah keburukan-keburukan ditolak kecuali dengan cara berakhlak dengan akhlak yang baik.

Maka kedudukan akhlak dalam agama ini sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau
mengatakan:

‫َتْقوى ِهَّللا َو ُحْسُن اْلُخ ُلِق‬

“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ِإَّن ِم ْن َأِح ِّبُك ْم ِإَلَّي َو َأْقَر ِبُك ْم ِم ِّني َم ْج ِلًسا َيْو َم اْلِقَياَم ِة َأْح َس ُنُك ْم َأْخ اَل ًقا‬

“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat
denganku yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)

Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ِإَّنَم ا ُبِع ْثُت ُأِلَتِّم َم َص اِلَح اَأْلْخ اَل ِق‬

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Bukhari)

Juga ada banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan akhlak yang baik, juga
tingginya kedudukan akhlak dalam agama ini, serta baiknya buah yang akan didapatkan oleh orang yang
berakhlak dengan akhlak yang baik ketika di dunia dan di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mensifati
NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Al-Qur’anul Karim dengan akhlak yang sempurna, akhlak yang
agung dan akhlak yang baik. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

٤﴿ ‫﴾َو ِإَّنَك َلَع َلٰى ُخ ُلٍق َع ِظ يٍم‬

“Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam[68]: 4)

Dan dahulu Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam adalah manusia yang paling baik akhlaknya, paling
sempurna adabnya, paling baik pergaulannya, paling indah muamalahnya, semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada beliau. Beliau adalah contoh bagi seluruh hamba dalam segala akhlak yang baik, segala adab
yang indah dan segala muamalah yang baik. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

٢١﴿ ‫﴾َّلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل الَّلـِه ُأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِّلَم ن َك اَن َيْر ُجو الَّلـَه َو اْلَيْو َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر الَّلـَه َك ِثيًر ا‬

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah bagi kalian contoh yang baik bagi orang yang mengharap
pertemuan dengan Allah dan hari akhir dan mengingat Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzab[33]:
21)

Bab akhlak dalam syariat Islam adalah bab yang sangat luas, tidak khusus dalam pergaulan sesama
makhluk. Akan tetapi akhlak dan adab juga antara seorang hamba dan Tuhannya. Juga dengan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan akhlak juga di antara sesama manusia.
Maka dari itu seluruh orang yang beribadah menyembah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,
berarti dia adalah orang yang paling buruk akhlaknya. Dimana akhlak orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
ciptakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dia rizki, Allah karuniakan kepadanya begitu banyak nikmat,
kemudian dia berdo’a kepada selain Allah, memalingkan ibadah kepada selain Allah. Maka orang musyrik
adalah orang yang paling buruk akhlaknya, karena kesyirikan adalah bagian dari akhlak yang buruk. Bahkan
kesyirikan adalah seburuk-buruknya akhlak. Maka seseorang tidak boleh tertipu dengan pergaulan baik yang
dilakukan oleh sebagian orang kafir. Karena hal itu mereka lakukan demi maslahat dunia dan tujuan-tujuan
dunia. Mereka sama sekali tidak mengharapkan sesuatu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala pada hari
pertemuan denganNya.

Akhlak yang bermanfaat adalah akhlak yang dilakukan seseorang dengan mengharapkan pahala dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia mendapatkan surga dan derajat yang tinggi di akhirat nanti. Allah Ta’ala
berfirman:

٩﴿ ‫﴾ِإَّنَم ا ُنْطِع ُم ُك ْم ِلَو ْج ِه الَّلـِه اَل ُنِريُد ِم نُك ْم َج َز اًء َو اَل ُشُك وًرا‬

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan[76]: 9)

2.10.1 PEMBAGIAN AKHLAK

2.10.1.1 AKIBAT DARI AKHLAK YANG BURUK

Bukan seorang yang berakhlak tapi mengharapkan balasan di dunia. Oleh karena itu Nabi kita ‘Alaihish
Shalatu was Salam pernah bersabda:

‫َلْيَس الَو اِص ُل ِبالُم َكاِفِئ‬

“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi jika sekedar membalas orang lain.” (HR. Bukhari)

Adapun orang-orang yang bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik akan tetapi dengan tujuan
dunia, dia tidak akan mendapatkan dari dunianya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala untuknya. Dan dia tidak akan mendapatkan balasan di akhirat. Bahkan dia akan menemukan hal yang
buruk disebabkan dia hanya menginginkan balasan dari orang lain. Karena diantara manusia banyak yang tidak
mampu untuk membalas kebaikan bahkan tidak mampu membalas kebaikan dengan kebaikan. Diantara mereka
ada yang akhlaknya sangat buruk. Apabila seseorang berbuat baik kepadanya, sebaliknya dia berbuat buruk
kepada orang tersebut. Seorang yang baik adalah orang yang tidak menunggu balasan dari manusia jika dia
berbuat baik kepada mereka. Akan tapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu hadits-hadits yang menjelaskan atau menganjurkan untuk berakhlak dengan akhlak
yang baik menyebutkan balasan akhlak tersebut akan didapatkan pada hari kiamat. Yaitu dengan dimasukkannya
ke dalam surga atau mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti. Dan semakin baik akhlak seseorang karena
ia mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan semakin besar balasan dan pahala yang
akan dia dapatkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka apabila seorang berakhlak tidak mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
tetapi hanya mengharapkan tujuan-tujuan dunia, amalan tersebut tidak termasuk dalam amal shalih yang dia
lakukan. Karena diantara syarat diterimanya suatu amalan adalah seorang mengharapkan balasan dan pahala dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Intinya, bahwasanya akhlak mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di agama kita dan Syaikh bin
Baz Rahimahullah dalam kitab ini hanya ini menyebutkan sebagian dari akhlak-akhlak yang baik yang sebaiknya
atau seharusnya seorang Muslim bersifat dengan akhlak-akhlak tersebut.

Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah bahwa berakhlak dengan akhlak yang disyariatkan dalam Islam.
Kemudian beliau mulai menyebutkan beberapa akhlak-akhlak yang disyariatkan dalam Islam, tapi beliau tidak
membatasi akhlak-akhlak ini dari apa yang beliau Sebutkan saja.

2.10.1.2. MACAM MACAM AKHLAK YANG BAIK

1. JUJUR

Beliau mengatakan bahwa diantaranya adalah jujur. Jujur adalah salah satu akhlak yang paling agung dalam
Islam. Dan disebutkan dalam banyak ayat keutamaan orang-orang yang jujur. Diantaranya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yaitu:

١١٩﴿ ‫﴾َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا الَّلـَه َو ُك وُنوا َم َع الَّصاِدِقيَن‬

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama dengan orang-orang
yang jujur.” (QS. At-Taubah[9]: 119)

Juga dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:

‫ َح َّتى ُيْك َتَب ِع ْنَد ِهَّللا ِص ِّديًقا‬،‫ َوَيَتَح َّرى الِّص ْد َق‬،‫ َوَم ا َيَز اُل الَّرُجُل َيْص ُدُق‬،‫ َو ِإَّن اْلِبَّر َيْهِد ي ِإَلى اْلَج َّنِة‬، ‫ َفِإَّن الِّص ْد َق َيْهِد ي ِإَلى اْلِبِّر‬، ‫َع َلْيُك ْم ِبالِّص ْد ِق‬

“Hendaklah kalian selalu jujur karena kejujuran menghantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
mengantarkan kepada surga dan senantiasa seorang berjujur dan berusaha untuk jujur sampai ditulis di sisi Allah
sebagai orang yang sangat jujur.”

Dan kejujuran yang paling tinggi kedudukannya adalah kejujuran dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:

‫ِّم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِر َج اٌل َص َد ُقوا َم ا َعاَهُدوا الَّلـَه َع َلْيِه‬

“Di antara orang-orang beriman ada orang-orang yang mereka jujur melaksanakan apa yang mereka janjikan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Ahzab[33]: 23)
Dia jujur kepada Allah dalam tauhidnya, dalam imannya, dalam ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam bersabda:

‫َم ا ِم ْن َأَح ٍد َيْش َهُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأَّن ُمَحَّم ًدا َر ُسوُل ِهَّللا ِص ْد ًقا ِم ْن َقْلِبِه ِإَّال َح َّر َم ُه ُهَّللا َع َلى الَّناِر‬

“Tidaklah seorang menyaksikan bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah jujur dari hatinya kecuali Allah mengharamkan atasnya neraka.”
(HR. Bukhari)

Maka laa ilaha illallah yang merupakan cabang keimanan yang paling tinggi dan rukun Islam yang paling agung
tidak akan diterima kecuali dengan kejujuran. Dalam hadits disebutkan:

‫ِص ْد ًقا ِم ْن َقْلِبِه‬

“Jujur dari hatinya.”

Yang dimaksud dengan jujur yaitu sesuai apa yang diucapkan dengan dengan apa yang ada di dalam
hati. Ketika seseorang mengucapkan dengan lisannya, maka hal tersebut sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
Adapun jika berbeda antara yang dia tampakkan dan dia sembunyikan, maka ini adalah kemunafikan. Dan
kemunafikan bisa jadi kemunafikan yang besar atau juga kemunafikan yang kecil tergantung dengan perbedaan
antara yang dia tampakkan dan dia sembunyikan. Jika dia menampakkan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran, maka ia adalah kemunafikan yang besar. Namun apabila dia menampakan bahwasanya ia menepati
janji akan tetapi ia menyembunyikan kebohongan atau menyembunyikan khianat, maka ini termasuk nifaq
asghar. Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam pernah bersabda:

‫ َو ِإَذ ا اْؤ ُتِم َن َخ اَن‬، ‫ َو ِإَذ ا َو َعَد َأْخ َلَف‬، ‫ ِإَذ ا َح َّدَث َك َذ َب‬: ‫آَيُة اْلُم َناِفِق َثاَل ٌث‬

“Tanda-tanda kemunafikan ada tiga; jika ia berbicara ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari dan apabila dia
diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim)

Jika kebohongan adalah tanda-tanda kemunafikan, maka kejujuran adalah tanda-tanda keimanan.

Maka wajib bagi setiap Muslim untuk menjadi orang yang jujur dan hendaklah kejujuran itu menjadi
sifat yang selalu berada pada dirinya agar ia mendapatkan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah janjikan
kepada hamba-hambaNya yang selalu berbuat jujur.

2. AMANAH

Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah bahwa diantara akhlak yang disyariatkan dalam Islam yaitu
amanah -bertanggung jawab-. Amanah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di agama kita. Allah ‘Azza wa
Jalla menawarkan amanah tersebut kepada langit dan bumi. Maka semuanya merasa khawatir untuk memikulnya
dikarenakan besarnya perkara itu. Allah berfirman:

٧٢﴿ ‫﴾ِإَّنا َعَر ْض َنا اَأْلَم اَنَة َع َلى الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض َو اْلِج َباِل َفَأَبْيَن َأن َيْح ِم ْلَنَها َو َأْش َفْقَن ِم ْنَها َو َح َم َلَها اِإْل نَس اُن ۖ ِإَّنُه َك اَن َظُلوًم ا َج ُهواًل‬

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab[33]: 73)

Makna dari amanah secara umum adalah mencakup seluruh perkara agama. Karena Allah ‘Azza wa
Jalla telah menciptakan hamba-hambaNya agar mereka beribadah kepadaNya dan Allah menciptakan mereka
agar mereka taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan amanah ini wajib dilakukan oleh setiap manusia,
wajib untuk dijaga, wajib untuk diperhatikan. Dan manusia terbagi menjadi tiga bagian dalam memikul amanah
ini. Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan dalam lanjutan ayat tadi:

٧٣﴿ ‫﴾ِّلُيَع ِّذ َب الَّلـُه اْلُم َناِفِقيَن َو اْلُم َناِفَقاِت َو اْلُم ْش ِرِكيَن َو اْلُم ْش ِرَكاِت َو َيُتوَب الَّلـُه َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن َو اْلُم ْؤ ِم َناِتۗ َو َك اَن الَّلـُه َغ ُفوًر ا َّر ِح يًم ا‬

“sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki
dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab[33]: 74)

Tiga bagian tersebut adalah:

1. Orang yang mengaku menjaga amanah dalam apa yang mereka tampakkan akan tetapi mereka
menyembunyikan kemunafikan

2. orang-orang yang menyia-nyiakan amanah secara lahir maupun batin, baik ia nampakkan maupun ia
sembunyikan. Dan mereka adalah orang-orang musyrik

3. orang-orang yang menjaga amanah secara lahir dan batin baik ketika sembunyi maupun ketika kelihatan dan
mereka adalah orang-orang yang beriman.

Diantara bentuk amanah adalah menjaga hak-hak hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, menepati janji
mereka, dan hal-hal yang lain. Kemudian, panca indra manusia semuanya adalah amanah dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah akan bertanya tentang panca indera tersebut pada hari kiamat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

٣٦﴿ ‫﴾ِإَّن الَّس ْمَع َو اْلَبَصَر َو اْلُفَؤ اَد ُك ُّل ُأوَلٰـِئَك َك اَن َع ْن ُه َم ْس ُئواًل‬

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS.
Al-Isra'[17]: 36)

Harta juga adalah amanah yang akan ditanyakan pada hari kiamat nanti. Anak-anak adalah amanah.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

٢٨﴿ ‫﴾ َو اْعَلُم وا َأَّنَم ا َأْمَو اُلُك ْم َو َأْو اَل ُد ُك ْم ِفْتَنٌة َو َأَّن الَّلـَه ِع نَد ُه َأْج ٌر َع ِظ يٌم‬٢٧﴿ ‫﴾َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل َتُخ وُنوا الَّلـَه َو الَّرُسوَل َو َتُخ وُنوا َأَم اَناِتُك ْم َو َأنُتْم َتْع َلُم وَن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
(QS. An-Anfal[8]: 28)

Yaitu anak-anak adalah ujian dan cobaan, apakah seorang Muslim menunaikan amanah yang dibebankan
kepadanya dari harta, dari anak dan selainnya? Maka diantara akhlak yang sempurna dari seorang Muslim yaitu
menjaga amanah, memperhatikan dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun.

3. MENJAGA KESUCIAN

Menjaga kesucian yaitu dengan cara meninggalkan yang diharamkan, menjaga diri dari perbuatan dosa-
dosa dan maksiat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

‫َو ْلَيْسَتْع ِفِف اَّلِذ يَن اَل َيِج ُد وَن ِنَكاًحا َح َّتٰى ُيْغ ِنَيُهُم الَّلـُه ِم ن َفْض ِلِه‬

“Hendaklah menjaga diri orang-orang yang belum mampu untuk menikah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan karunia kepadanya.” (QS. An-Nur[24]: 33)

Dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah hendaklah dia menjaga kesuciannya dan menjauhi
perbuatan-perbuatan haram dengan niat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena bertakwa
kepadaNya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai harta maka hendaklah ia menjaga kesuciannya dan
tidak meminta-minta kepada manusia. Dalam hadits disebutkan bahwa:

‫َو َم ْن َيْسَتْع ِفْف ُيِع َّفُه ُهَّللا‬

“Barangsiapa yang menjaga kesuciannya maka Allah kan mensucikanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. MALU

Malu adalah akhlak yang sangat agung dan sifat yang sangat mulia yang hendaknya seseorang
berakhlak dengan akhlak ini. Dan apabila seorang berakhlak dengan akhlak ini, akhlak ini akan menghalanginya
dari seluruh perbuatan-perbuatan yang buruk dan mengantarnya kepada perbuatan-perbuatan yang baik. Karena
sifat malu seluruhnya adalah kebaikan dan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Sebaliknya, apabila sifat
malu ini hilang dari seseorang, maka kebaikan akan meninggalkannya dan dia tidak akan malu untuk melakukan
keburukan apapun.

‫ إَذ ا َلْم َتْسَتِح َفاْص َنْع َم ا ِش ْئت‬:‫إَّن ِمَّم ا َأْد َرَك الَّناُس ِم ْن َكاَل ِم الُّنُبَّو ِة اُأْلوَلى‬

“Sesungguhnya diantara perkataan nubuwwah yang didapatkan oleh manusia yaitu: Jika engkau tidak malu maka
kerjakan apa saja yang engkau inginkan.” (HR. Bukhari)
Dan sifat malu yang paling tinggi kedudukannya yaitu malu kepada Rabbul Alamin (Tuhan semesta
alam), pencipta seluruh makhluk. Dan diantara sifat malu yaitu malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malu
ketika kita melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka setiap waktu seseorang
hendaknya merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, tidak
melakukan perbuatan dosa karena malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Maha Melihat, tidak
ada yang luput dari penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang penyair mengatakan:

‫ َخ َلوُت َو َلِكن ُقل َع َلَّي َر قيُب‬.‫ِإذا َخ َلوَت الَدهَر َيومًا َفال َتُقل‬.

“Jika suatu hari engkau sendirian maka janganlah mengatakan aku sedang sendirian. Akan tetapi katakanlah
bahwasanya ada yang mengawasiku.”

Diantara bentuk malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang menjaga anggota badannya,
menjaga panca inderanya, menjaga perutnya dari memasukkan ke dalam perutnya hal-hal yang diharamkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits disebutkan:

‫َو َلِك َّن اِال ْس ِتْح َياَء ِم َن ِهَّللا َح َّق اْلَحَياِء َأْن َتْح َفَظ الَّر ْأَس َو َم ا َو َعى َو َتْح َفَظ اْلَبْط َن َو َم ا َحَو ى َو َتَتَذَّك َر اْلَم ْو َت َو اْلِبَلى َو َم ْن َأَر اَد اآلِخ َر َة َتَرَك ِزيَنَة الُّد ْنَيا‬

“Sungguhnya malu yang benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu engkau menjaga kepala dan apa yang
ada dalam isi kepala tersebut, menjaga perut dan apa yang ada dalam isi perut tersebut, mengingat kematian dan
barangsiapa yang mengharapkan akhirat adalah ia meninggalkan perhiasan dunia.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)

Dan juga termasuk malu kepada sesama makhluk yaitu meninggalkan muamalah-muamalah yang
buruk, perbuatan-perbuatan yang buruk, akhlak-akhlak yang tercela, karena semua hal tersebut bertentangan
dengan sifat malu yang baik.

5. BERANI

Berani dalam tempatnya yang benar adalah kemuliaan dan kesuksesan. Adapun keberanian yang bukan
pada tempatnya, itu adalah sifat ngawur dan kehancuran. Dan keberanian seorang Mukmin muncul dari
keimanan dan keyakinannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta kekuatan tawakkalnya kepada Allah Tabaraka wa
Ta’ala. Dia tidak takut kecuali kepada Allah, tidak meminta kemuliaan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berkat Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah bahwa keberanian akan membawa seseorang kepada akhlak-akhlak
yang mulia, membuat dia dermawan. Karena keberanian jiwa dan kekuatan hatinya, ia rela meninggalkan apa
yang ia cintai dan membuatnya meninggalkan apa yang ia inginkan. Maka kekuatan jiwa dan keberanian
seseorang akan membuat dia meninggalkan hal-hal buruk yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi
kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ ِإَّنَم ا الَّش ِد يُد اَّلِذ ى َيْمِلُك َنْفَس ُه ِع ْنَد اْلَغ َضِب‬، ‫َلْيَس الَّش ِد يُد ِبالُّص َر َع ِة‬

“Bukanlah orang kuat adalah orang yang kuat dalam bergulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu
menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen
ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah
seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka
materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya,
Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah
menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan
memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba
teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya
berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan –
membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh
suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu
menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada
guna apa-apa.
2. SARAN
Aqidah merupakan hal yang sangat penting namun sering kali diabaikan. Persoalannya adalah
bagaimana kita ber-aqidah yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist. Karena dewasa ini telah banyak bertebaran
aqidah yang mengatasnamakan islam namun melenceng dari tuntunan yang berlaku.
Marilah kita sebagai kaum muslim berintelektual membangun peradaban islam yang baldatun, toyibatun,
warabbun ghofur. Semoga apa yang telah kami sajikan tadi dapat diambil intisarinya yang kemudian diamalkan
juga semoga berguna bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka
Rohman, Roli Abdur. 2008. Menjaga Aqidah dan Akhlaq 1. Erlangga. Jakarta
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2011. Syarah Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah. Pustaka Imam Asy Syafi’i.
Jakarta
Daudy, Ahmad. 1997. Kuliah Aqidah Islam. Bulan Bintang. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai