NIM 170810301078
HAKIKAT KEBENARAN.
Memahami disiplin ilmu dan teknologi saja tidak dapat menjelaskan mengenai
keberadaan alam semesta dan tidak lagi menjelaskan dan memecahkan berbagai
permasalahan. Pernyataan F.F. Schumacher (dalam Eko Wijayanto dkk,. 2002) sebagai empat
kebenaran besar berikut ini perlu untuk direnungkan.
Kesimpulannya adalah, terdapat berbagai tingkat eksistensi alam dan kesadaran, oleh
sebab itu, untuk menemukan hakikat kebenaran tidak cukup mengandalkan pendekatan
ilmiah/rasional saja.
Pemberian simbol tersebut menggambarkan bahwa eksistensi alam semesta terbagi menjadi
empat jenjang tingkatan, yaitu:
1) tingkat pertama adalah benda mati, yang hanya memiliki unsur P (substansi, materi);
2) tingkat kedua adalah tumbuh-tumbuhan, yang memiliki unsur P dan X (kehidupan);
3) tingkat ketiga adalah hewan, yang memiliki unsur P, X, dan Y (kesadaran);
4) tingkat keempat adalah golongan manusia, yang memiliki semua unsur P, X, Y, dan Z
(unsur kesadaran transendental/spiritual).
Seorang sosiolog, Pitirim Alexandrovich Sorokin (dalam Eko Wijayanto dkk,. 2002)
mencoba menjelaskan krisis dan fluktuasi sistem nilai yang terjadi dalam kehidupan manusia
berdasarkan skema tiga sistem nilai, yaitu: indriawi; ideasional; dan idealis yang memiliki
pandangan berbeda. Chopra (2004) mengemukakan tiga tingkat keberadaan dengan cara yang
sedikit berbeda, yaitu: domain fisik; domain kuantum; dan domain nonlokal.
HAKIKAT MANUSIA
Stevenson dan Haberman (2001) mengatakan bahwa meski ada begitu banyak hal
yang sangat bergantung pada konsep tentang hakikat manusia, namun terdapat begitu banyak
ketidaksepakatan mengenai apa hakikat manusia, karena banyak pihak yang tidak melihat
secara keseluruhan. McDavid dan Harari (dakam Jalaluddin Rakhmat, 2001)
mengelompokkan empat teori psikologi dikaitkan dengan konsepnya tentang manusia,
sebagai berikut:
Manusia adalah bagian dari alam semesta, segala sesuatu yang ada pada alam semesta
juga ada pada manusia, oleh karena itu, alam semesta dan manusia sebenarnya sama-sama
memiliki tiga lapisan keberadaan.
Otak merupakan bagian tubuh yang paling kompleks dan memiliki kemampuan yang
luar biasa. A.M. Rukky Santoso (2001), mengatakan bahwa di dalam otak terdapat tiga puluh
miliar sel yang membentuk kerja sama rumit melalui bagian-bagian kecil lainnya yang
disebut neuron. Terdapat ratusan miliar neuron, melebihi jumlah bintang di galaksi Bimasakti
(Maltz, 2004). Dilihat dari neuroscience-ilmu yang mempelajari tentang otak manusia- otak
manusia diibaratkan seperti komputer (namun tidak sama dengan komputer), menerima
masukan melalui pancaindra, kemudian disalurkan melalui sistem jaringan saraf ke otak
untuk diolah dan disimpan. Hasil olahan (keputusan, informasi) tersebut disalurkan kembali
melalui sistem jaringan saraf ke seluruh organ tubuh (Semiawan, 1999).
Humphrey (2000) membedakan kerja otak berdasarkan gelombang electric (dapat
diukur dengan mesin EEG), yaitu: gelombang alpha, beta, dan tetha. Pada awalnya ilmuwan
hanya mengenal kecerdasan tunggal, yaitu kecerdasan intelektual. Namun, belakangan
terbukti bahwa sebenarnya manusia memiliki banyak kecerdasan. Gardner pada awalnya
mengidentifikasi tujuh kecerdasan manusia, yaitu: linguistic, logical-mathematical, musical,
bodily-kinesthetical, spatial, interpersonal, dan intrapersonal intelligence. Walaupun masih
ragu, Gardner menambahkan kemungkinan tiga potensi kecerdasan, yaitu: naturalist,
spiritual, dan existential intelligence.
Zohar dan Marshall (2002) melihat fungsi otak dari tiga cara berpikir atau tiga ragam
kecerdasan, yaitu: proses berpikir seri (otak intellectual Quotient-IQ), berpikir asosiatif (otak
Emotional Quotient-EQ), dan berpikir menyatukan (otak Spiritual Quotient-SQ). Berpikir
asosiatif melandasi sebagian besar kecerdasan emosional. Berpikir menyatukan (otak SQ)
mengintegrasikan fungsi IQ dan EQ dapat memperoleh suatu makna atau penyadaran diri.
Istilah kecerdasan emosional (EQ) pertama kali dicetuskan oleh Peter Salovey,
psikolog dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada
tahun 1990 (dalam Saphiro, 2001) untuk menggambarkan kualitas-kualitas emosional yang
tampaknya penting bagi keberhasilan. Istilah kecerdasan spiritual (SQ) pertama kali
dikenalkan oleh Danar Zohar dan Ian Marshall pada tahun 2000 dalam bukunya yang
berjudul SQ: Spiritual Intelligence-The Unlimited Intelligence. Spiritual berhubungan dengan
upaya pencarian makna kehidupan melalui hubungan langsung antara diri dengan Tuhan.
1) sekelompok bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja sama untuk melakukan suatu
maksud, misalnya urat syaraf dalam tubuh;
2) sekelompok pendapat, peristiwa, kepercayaan, dan sebagainya yang disusun dan
diatur baik-baik, misalnya filsafat;
3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengejaran bahasa.
Etika berkaitan erat dengan pengembangan karakter yang harus dilakukan melalui
keempat kecerdasan manusia-PQ, IQ, EQ, dan EQ- secara seimbang dan utuh. Banyak pakar
yang masih membedakan spiritualitas dan etika, padahal keduanya berhubungan erat dan
tidak dapat dipilah. Menurut mereka, etika adalah adat, kebiasaan, dan ilmu yang
mempelajari hubungan perilaku manusia yang bersifat horizontal, sementara spiritualitas
berhubungan dengan perilaku manusia yang bersifat vertikal (hubungan dengan Tuhan), dan
bukan bidang kajian etika. Pemahaman tersebut tidak benar. Apabila kesadaran spiritual telah
tercapai, maka kesadaran etis akan tercapai dengan sendirinya. Untuk mendapat kesadaran
spiritual harus menjalani perilaku hidup yang etis dan sesuai dengan norma-norma moral
yang telah diajarkan semua agama