Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ria Meilina Sari

NIM 170810301078

Kelas : Etika Bisnis dan profesi (B)

BAB 1: MANUSIA DAN ALAM SEMESTA

HAKIKAT KEBENARAN.

Memahami disiplin ilmu dan teknologi saja tidak dapat menjelaskan mengenai
keberadaan alam semesta dan tidak lagi menjelaskan dan memecahkan berbagai
permasalahan. Pernyataan F.F. Schumacher (dalam Eko Wijayanto dkk,. 2002) sebagai empat
kebenaran besar berikut ini perlu untuk direnungkan.

a. Kebenaran (hakikat) tentang eksistensi (dunia/alam semesta), menyangkut kebenaran


mengenai adanya empat tingkat eksistensi di dunia, yaitu: benda, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia.
b. Kebenaran tentang alat (toels) yang dipakai untuk memahami dunia, maksudnya
adalah ketepatan menggunakan alat untuk memahami keempat eksistensi tersebut.
c. Kebenaran tentang cara belajar tentang dunia, kebenaran ini akan berbeda untuk
empat bidang pengetahuan: (1) saya-batin; (2) saya-lahiriah; (3)dunia-batin; (4)
dunia-lahiriah/material.
d. Yang dimaksud dengan hidup di dunia, dijumpai dua corak masalah: (1) masalah
konvergen (bertitik temu); dan (2) masalah divergen (bertitik pisah).

Kesimpulannya adalah, terdapat berbagai tingkat eksistensi alam dan kesadaran, oleh
sebab itu, untuk menemukan hakikat kebenaran tidak cukup mengandalkan pendekatan
ilmiah/rasional saja.

HAKIKAT EKSISTENSI (DUNIA/ALAM SEMESTA)

Schumacher telah memperingatkan para ilmuwan mengenai tingkatan eksistensi alam


semesta sebagai berikut:

1) Benda dapat dituliskan P


2) Tumbuhan dapat dituliskan P+X
3) Hewan dapat dituliskan P+T+X+Y
4) Manusia dapat dituliskan P+T+X+Y+Z

Pemberian simbol tersebut menggambarkan bahwa eksistensi alam semesta terbagi menjadi
empat jenjang tingkatan, yaitu:

1) tingkat pertama adalah benda mati, yang hanya memiliki unsur P (substansi, materi);
2) tingkat kedua adalah tumbuh-tumbuhan, yang memiliki unsur P dan X (kehidupan);
3) tingkat ketiga adalah hewan, yang memiliki unsur P, X, dan Y (kesadaran);
4) tingkat keempat adalah golongan manusia, yang memiliki semua unsur P, X, Y, dan Z
(unsur kesadaran transendental/spiritual).

Seorang sosiolog, Pitirim Alexandrovich Sorokin (dalam Eko Wijayanto dkk,. 2002)
mencoba menjelaskan krisis dan fluktuasi sistem nilai yang terjadi dalam kehidupan manusia
berdasarkan skema tiga sistem nilai, yaitu: indriawi; ideasional; dan idealis yang memiliki
pandangan berbeda. Chopra (2004) mengemukakan tiga tingkat keberadaan dengan cara yang
sedikit berbeda, yaitu: domain fisik; domain kuantum; dan domain nonlokal.

HAKIKAT MANUSIA

Stevenson dan Haberman (2001) mengatakan bahwa meski ada begitu banyak hal
yang sangat bergantung pada konsep tentang hakikat manusia, namun terdapat begitu banyak
ketidaksepakatan mengenai apa hakikat manusia, karena banyak pihak yang tidak melihat
secara keseluruhan. McDavid dan Harari (dakam Jalaluddin Rakhmat, 2001)
mengelompokkan empat teori psikologi dikaitkan dengan konsepnya tentang manusia,
sebagai berikut:

1) psikoanalis, melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-


keinginan terpendam (homo valensi);
2) behaviorisme, menganggap manusia sebagai makhluk yang digerakkan lingkungan
(homo mechanicus);
3) kognitif, menganggap manusia sebagai makhluk yang berpikir aktif dan mengolah
stimulasi yang diterimanya (homo sapiens);
4) humanisme, melukiskan manusia sebagai makhluk aktif dalam merumuskan strategi
transaksional dengan lingkungannya (homo ludens).

Steiner (1999) melihat hakikat manusia berdasarkan lapisan-lapisan energi yang


melekat pada tubuhnya sebagai satu kesatuan, yaitu: (1) badan fisik (physical body); (2)
badan eterik (etheric body); (3) badan astral (astral body); (4) badan ego (consciousness-
body); (5) manas (spirit-self); (6) buddhi (life-spirit); (7) atma (spirit-man). Manusia
memiliki lapisan fisik (materi) yang sama dengan semua benda mati, tumbuhan, dan hewan.

Membahas konsep manajemen baru berdasarkan dharma, Hawley (2001)


menganalogikan suatu organisasi (manusia) yang memiliki empat agenda (bagian) yang
saling melengkapi dan memiliki ketergantungan, yaitu: (1) agenda tubuh; (2) agenda kepala;
(3) agenda hati; (4) agenda semangat. Agenda ini berkaitan dengan cara setiap anggota
organisasi memaknai kehidupan, hal yang berkaitan dengan ketenangan batin. Agustian
(2001) dan Kustara (2005) membagi manusia menjadi tiga lapisan, yaitu: fisik, mental (jiwa,
mind), dan spiritual (roh, soul). Berdasarkan uraian tersebut, para ilmuwan menyadari bahwa
untuk memahami hakikat manusia diperlukan pemahaman atas lapisan-lapisan keberadaan
manusia tersebut.

Manusia adalah bagian dari alam semesta, segala sesuatu yang ada pada alam semesta
juga ada pada manusia, oleh karena itu, alam semesta dan manusia sebenarnya sama-sama
memiliki tiga lapisan keberadaan.

HAKIKAT OTAK (BRAIN) DAN KECERDASAN (INTELLIGENCE)

Otak merupakan bagian tubuh yang paling kompleks dan memiliki kemampuan yang
luar biasa. A.M. Rukky Santoso (2001), mengatakan bahwa di dalam otak terdapat tiga puluh
miliar sel yang membentuk kerja sama rumit melalui bagian-bagian kecil lainnya yang
disebut neuron. Terdapat ratusan miliar neuron, melebihi jumlah bintang di galaksi Bimasakti
(Maltz, 2004). Dilihat dari neuroscience-ilmu yang mempelajari tentang otak manusia- otak
manusia diibaratkan seperti komputer (namun tidak sama dengan komputer), menerima
masukan melalui pancaindra, kemudian disalurkan melalui sistem jaringan saraf ke otak
untuk diolah dan disimpan. Hasil olahan (keputusan, informasi) tersebut disalurkan kembali
melalui sistem jaringan saraf ke seluruh organ tubuh (Semiawan, 1999).
Humphrey (2000) membedakan kerja otak berdasarkan gelombang electric (dapat
diukur dengan mesin EEG), yaitu: gelombang alpha, beta, dan tetha. Pada awalnya ilmuwan
hanya mengenal kecerdasan tunggal, yaitu kecerdasan intelektual. Namun, belakangan
terbukti bahwa sebenarnya manusia memiliki banyak kecerdasan. Gardner pada awalnya
mengidentifikasi tujuh kecerdasan manusia, yaitu: linguistic, logical-mathematical, musical,
bodily-kinesthetical, spatial, interpersonal, dan intrapersonal intelligence. Walaupun masih
ragu, Gardner menambahkan kemungkinan tiga potensi kecerdasan, yaitu: naturalist,
spiritual, dan existential intelligence.

Clark (dalam Munandar, 1999) mengembangkan model integratif yang


mengembangkan empat fungsi otak, yaitu: fungsi berpikir (kognitif), afektif, fisik, dan
intuisi/firasat yang seluruhnya memunculkan kreativitas. Clark sendiri mengartikan
kreativitas sebagai suatu kondisi dan sikap yang mencerminkan ekspresi tertinggi dari suatu
bakat yang dimiliki seseorang.

Zohar dan Marshall (2002) melihat fungsi otak dari tiga cara berpikir atau tiga ragam
kecerdasan, yaitu: proses berpikir seri (otak intellectual Quotient-IQ), berpikir asosiatif (otak
Emotional Quotient-EQ), dan berpikir menyatukan (otak Spiritual Quotient-SQ). Berpikir
asosiatif melandasi sebagian besar kecerdasan emosional. Berpikir menyatukan (otak SQ)
mengintegrasikan fungsi IQ dan EQ dapat memperoleh suatu makna atau penyadaran diri.

Istilah kecerdasan emosional (EQ) pertama kali dicetuskan oleh Peter Salovey,
psikolog dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada
tahun 1990 (dalam Saphiro, 2001) untuk menggambarkan kualitas-kualitas emosional yang
tampaknya penting bagi keberhasilan. Istilah kecerdasan spiritual (SQ) pertama kali
dikenalkan oleh Danar Zohar dan Ian Marshall pada tahun 2000 dalam bukunya yang
berjudul SQ: Spiritual Intelligence-The Unlimited Intelligence. Spiritual berhubungan dengan
upaya pencarian makna kehidupan melalui hubungan langsung antara diri dengan Tuhan.

HAKIKAT PIKIRAN (MIND) DAN KESADARAN (CONSCIOUSNESS)

Pikiran memegang peranan terpenting dalam kehidupan manusia. Drever (dalam


Sudibyo, 2001) memberikan batasan mengenai pikiran (mind) atau mental sebagai
keseluruhan struktur dan proses kejiwaan-baik yang disadari atau tidak- yang merupakan
bagian dari psyche yang terorganisir. Jalaluddin Rakhmat (2001) melihat proses berpikir
sebagai komunikasi intrapersonal yang meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir.
Alkitab, sebagaimana dikutib oleh Hart, mengatakan bahwa Anda adalah produk pemikiran
Anda sendiri. Erbe Sentanu (2007) mengatakan bahwa pikiran rasional bukanlah kemampuan
tertinggi yang dimiliki manusia, diatasnya masih terdapat kesadaran murni. Kesadaran dalam
keadaan yang murni bersifat mutlak, lebih mutlak dari kecepatan cahaya yang melambat
ketika memasuki medium fisik seperti atmosfir bumi, serta lebih mutlak dari keberadaan
benda (Walters). Sigmund Freud (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) membedakan tiga lapisan
kesadaran, yaitu: (1) lapisan sadar (conscious level); (2) lapisan prasadar (precenscious level);
dan (3) lapisan tidak sadar (unconscious level).

Krishna (1999) membagi kesadaran manusia ke dalam lima tingkat kesadaran/lapisan


utama sebagai berikut:

1) lapisan kesadaran fisik, ditentukan oleh makanan;


2) lapisan kesadaran psikis, didasarkan energi udara melalui pernapasan;
3) lapisan kesadaran pikiran, merupakan kesadaran pikiran rasional dan emosional;
4) lapisan intelegensia (bukan intelek), menyangkut kesadaran hati nurani atau budi
pekerti;
5) lapisan kesadaran murni (kesadaran transendental), hasil akhir pemekaran kepribadian
manusia, merupakan tingkat kesadaran tertinggi yang dapat dicapai manusia.

TUJUAN DAN MAKNA KEHIDUPAN

Golongan manusia berdasarkan tingkat kesadaran menurut Sutrisna (2007) digambarkan


dalam tabel berikut

Atribut/Ciri-ciri Kesadaran Hewani Kesadarn Manusia Kesadaran Tuhan


Tujuan Hidup Kenikmatan duniawi; Keseimbangan antara Kenikmatan rohani:
kekayaan, kekuasaan kenikmatan duniawi kekayaan hanya alat
(jabatan), dan dan rohani untuk
kenikmatan fisik menyempurnakan
sebagai tujuan hidup tingkat kesadaran
rohani
Tingkat Ego Tinggi Sedang Rendah/Tidak ada
ego
Karakter Buruk sangka/selalu Bergerak di sekitar Selalu berbaik
berpikir negatif, dua sifat ekstrem, sangka/berpikir
sombong, kikir, tergantung tingkat positif, rendah hati,
munafik, pemarah, kesadarannya dermawan, jujur,
bekerja dengan penyabar, bekerja
pamrih, tidak tulus tanpa pamrih,
percaya/ingat Tuhan selalu
pasrah/menyerahkan
diri kepada Tuhan
Revolusi kesadaran yang diungkapkan Sutrisna, Ibnu Arabi (dalam Frager, 1999)
membagi empat berdasarkan pengalaman dan pemahaman akan hakikat kehidupan, yaitu: (1)
tingkat pertama, jalan syari’ah; (2) tingkat kedua, jalan thariqah; (3) tingkat ketiga, jalan
haqiqah; dan (4) tingkat keempat, jalan ma’rifah.

ALAM SEMESTA SEBAGAI SATU KESATUAN SISTEM

Pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta


(1976) adalah:

1) sekelompok bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja sama untuk melakukan suatu
maksud, misalnya urat syaraf dalam tubuh;
2) sekelompok pendapat, peristiwa, kepercayaan, dan sebagainya yang disusun dan
diatur baik-baik, misalnya filsafat;
3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengejaran bahasa.

Jogiyanto (1988) menyebutkan bahwa setiap sistem mempunyai karakteristik sebagai


berikut:

1) mempunyai komoponen-komponen (components/subsystems);


2) ada batas suatu sistem (boundaries);
3) ada lingkungan luar sistem (environment);
4) ada penghubung (interface);
5) ada masukan (input), proses (process), dan keluaran (output);
6) ada sasaran (objectives) atau tujuan (goal).
Manusia dan alam merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.
Perilaku manusia akan sangat menentukan nasib keberadaan bumi, alam semesta, beserta
seluruh isinya.

SPIRITUALITAS DAN ETIKA

Etika berkaitan erat dengan pengembangan karakter yang harus dilakukan melalui
keempat kecerdasan manusia-PQ, IQ, EQ, dan EQ- secara seimbang dan utuh. Banyak pakar
yang masih membedakan spiritualitas dan etika, padahal keduanya berhubungan erat dan
tidak dapat dipilah. Menurut mereka, etika adalah adat, kebiasaan, dan ilmu yang
mempelajari hubungan perilaku manusia yang bersifat horizontal, sementara spiritualitas
berhubungan dengan perilaku manusia yang bersifat vertikal (hubungan dengan Tuhan), dan
bukan bidang kajian etika. Pemahaman tersebut tidak benar. Apabila kesadaran spiritual telah
tercapai, maka kesadaran etis akan tercapai dengan sendirinya. Untuk mendapat kesadaran
spiritual harus menjalani perilaku hidup yang etis dan sesuai dengan norma-norma moral
yang telah diajarkan semua agama

Anda mungkin juga menyukai