Anda di halaman 1dari 28

MUTASI

Resume
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Genetika
yang dibina oleh Ibu Prof. Dr. Siti Zubaidah, M. Pd

oleh
Hanina Salmah 190341764445
Siti Nurhikmah Mustadjuddin 190341864415
Maliatul Khairiyah 190341864421
Astrino Purmanna 190341864406

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PASCASARJANA
Februari 2020
A. LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI
1. LAJU MUTASI
Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu laju mutasi
(mutalion rate) dan frekuensi mutasi (mulation frequency). Laju mutasi menggambarkan peluang
sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari waktu; sedangkan frekuensi mutasi
adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi tertentu pada suatu macam 1.opulasi sel atau
popu'asi individu. Pada umumnya laju mutasi yang teramati rendah, tetapi beberapa gen jelas
terlihat sering berrnutasi daripada yang lainnya. Yang dimaksud di sini tentu saja yang
berhubungan dengan mutasi spontan, sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Gardner, dkk.,
(1991). Dikatakan bahwa mutasi spontan jarang terjadi, sekalipun frekuensi yang teramati
berbeda dari gen ke gen maupun dari makhluk hidup ke makhluk hidup. Laju mutasi yang
teramati rendah serta mutasi spontan yang jarang teramati itu didasarkan pada mutasi yang
dampaknya teramati (terdeteksi); dan sama sekali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak
teramati (tidak terdeteksi), apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki.
Dalam hubungan ini mudah dipahami, bahwa laju mutasi dan frekuensi yang mutasi tidak
hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi) semacam itu, sebenarnya
tidak rendah (bahkan mungkin sangat tinggi). Berkenaan dengan hal ini, dalam batas mutasi
yang terjadi karena perubahan. tautomerik, dikatakan bahwa lebih banyak mutasi yang terjadi
daripada yang benar-benar terdeteksi, jika scbagian besarnya tidak diperbaiki (Russel, 1992).
Sebagaimana yang telah dikemukakan laju mutasi (yang terdeteksi) secara individual memang
rendah. Akan tetapi jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap individu makhluk hidup mempunyai
banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari banyak individu, maka (dalam batas mutasi yang
terdeteksi sekalipun) sebenarnya mutasi merupakan peristiwa yang biasa, tidak jarang (Ayala,
dkk., 1984).
Gardner, dkk., (1991) mengatakan bahwa pengukuran frekuensi mutasi ke depan (forward
mutation) berkisar sekitar 10-8 hingga 10-10 mutasi yang dapat terdeteksi perpasangan nukleotida
per generasi. Demikian pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan
(forward mutation) berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan
nukleotida per guneresi (hanya didasarkan pada gen-gen yang datanya cukup tersedia).
Kebanyakan penelitian tentang mutasi pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih
tinggi sudah tidak lagi berhubungan dengan mutasi gen tunggal karena sangat jarang (Ayala,
dkk., 1984); dan yang dilakukan adalah pengkajian mutasi seluruh kromosom. Terkait dengan
hal tersebut, misalnya pada, 1927 H. J. Muller merancang suatu cara cepat dan mudah untuk
mempelajari mutasi. Cara kajian mutasi itu sudah diterapkan untuk memeriksa mutasi letal yang
terpaut kromosom kelanin pada sperma Drosophila. Untuk keperluan kajian itu dirakit
kromosom kelamin X yang disebut kromosom X Muller-5 atau Miller-5 X chronmosome. Dalam
hal ini kromosom X diberi penanda mutan Bar (B) yang semi dominan dan mutan apricol (wa)
yang resesif. Kromosom tersebut juga sudah diupayakan schingga mengalami inversi untuk
menekan (menghalangi) peristiwa pindah silang.
Gambar 1. Teknik Muller 5 untuk mendeteksi mutasi letal yang terpaut kromosom kelamin X
pada Drosophila
Sumber: (Ayala, dkk., 1984)
Pada gambar diatas terlihat bahwa individu betina yang memiliki kromosom Muller-5
homozigot disilangkan dengan individu jantan wild-type. Individu jantan wild-type inilah yang
akan dideteksi mutan letalnya yang resesif dan yang terpaut kromosom kelamin X. Turunan I
yang dihasilkan adalah individu betina heterozigot (satu kromosom kelamin X berupa kromosom
Muller 5, kromosom yang lainnya adalah yang hendak dideteksi mutan letalnya yang resesif),
sedang individu jantan pada turunan I ini merupakan pejantan Muller-5. Turunan I selanjutnya
disilangkan sesamanya untuk memunculkan turunan II.
Persilangan pada tersebut juga memungkinkan pengkajian lebih lanjut terhadap pemulihan
kromosom X yang mengandung (membawahi) mutan yang baru terbentuk (Ayala, dkk., 1984),
karena kromosom-kromosom tersebut dimiliki oleh individu betina dalam kondisi heterozigot
berpasangan kromosom Muller-5, serta pindah silang pada kromosom X memang telah
dihalangi. Persilangan tersebut juga bermanfaat untuk pemulihan mutan resesif yang terbentuk
dan yang efeknya dapat terlihat; demikian pula bermanfaat untuk pemulihan mutan betina
mandul maupun jantan mandul yang resesif.
Teknik' Muller-5 untuk pengukuran laju mutasi juga bermanfaat untuk mendeteksi agen-
agen penyebab mutasi (Ayala, dkk., 1984). Dalam hubungan H.J. Muller memang telah
membuktikannya. Melalui téknik ini sudah dibuktikan bahwa radiasi sinar X sangat me
meningkatkan laju mutasi. Yang dilakukan adalah mengamati mutan-mutan pada turunan dari
individu jantan Drosophila yang sebelumnya telah diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini
setelah diradiasi individu jantan itu disilangkan dengan individu betina Muller-5 yang
homozigot. Hasil deteksi dengan tcknik Muiler-5 ini rnemperlihatkan bahwa pada umumnya
frekuensi mutasi berbanding langsung dengan dosis sinar X yang dinyatakan dalam unit rontgen.
Salah satu contoh dari frekuensi mutasi adalah pada peristiwa X-iradiasi sperma Drosophila
yang menyebabkan adanya peningkatan sekitar 3 persen pada tingkat mutasi untuk setiap
kenaikan 1.000-r dosis iradiasi. Hubungan linear ini menunjukkan bahwa induksi mutasi dengan
sinar X menunjukkan bahwa setiap hasil mutasi dimulai dari kejadian ionisasi tunggal. Artinya,
setiap ionisasi memiliki probabilitas yang tetap dalam menginduksi mutasi di bawah satu set
kondisi normal.

Gambar 2. Hubungan antara iradiasi dan frekuensi mutasi pada Drosophilla


Sumber: (Snustad & Simmons, 2012)
Pembuktian senyawa kimia pertama sebagai mutagen juga dilakukan dengan teknik Muller-
5 (Ayala, dkk., 1984). Dalam hal ini selama perang dunia II sudah dibuktikan bahwa perlakuan
gas mustard terhadap Drosophila jantan dalam dosis subletal mengakibatkan terjadinya mutasi
letal pada kromosom X dalam frekuensi tinggi, yaitu sebesar 7,3%. Dewasa ini uji Muller-5
merupakan komponen penting dalam proses pemeriksaan untuk mendeteksi polutan lingkungan
yang mungkin bersifat mutagenik.

2. DETEKSI MIUTASI
Sebelum para ahli genetika mempelajari secara langsung proses mutasi atau mendapatkan
makhluk hidup mutan untuk keperluan penelitian genetik, mereka harus dapat mendeteksi mutasi
(Klug dan Cummings, 1994). Pada bagian ini akan dibahas deteksi mutasi pada bakteri, jamur,
Dresophila, tumbuhan tinggi, dan manusia.

a. Deteksi Mutasi pada Bakteri dan Jamur


Deteksi mutasi pada makhluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien.
Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu system seleksi yang mudah memisahkarı
sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum deteksi mutasi pada bakteri dan
jamur tidak berbeda (Klug dan Cummings, 1994). Sebagai gambaran, penjelasan lebih lanjut
didasarkan atas deteksi mutasi nutrisional pada jamur Neurospora crassa. Jamur ini bersifat
monoploid (haploid) pada fase vegetatif. Oleh karena itu deteksi mutasi pada fase itu dapat
mudah dilakukan dibanding fase generatif atau dibanding pada makhluk hidup lain.

b. Deteksi Mutasi pada Drosophila


Sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengukuran laju mutasi letal resesif yang terpeut
kromosom kelamin X digunakan teknik Muller-5. Teknik ini seperti diketahui, dikembangkan
oleh H. J. Muller. Sebenarnya teknik Muller-5 juga merupakan suatu teknik deteksi mutasi pada
Drosophila; dan disebut juga sebagai teknik ClB; C adalah suatu inversi yang menekan
(mengalangi) peristiwa pindah silang, l adalah suatu alela letal resesif, sedangkan B adalah suatu
duplikasi gen dominan yang memunculkan mata Bar (Klug dan Cummings, 1994).
Selain teknik Muller-S atau teknik ClB, H. J.Muller juga mengembangkan teknik deteksi
mutasi pada Drosophila yang lain yaitu teknik atau prosedur kromosom X berlekatan atau
attached-X procedure (Klug dan Cummings, 1994). Pada teknik kromosom X berlekatan,
digunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan (tempat perlekatan kedua
kromosom X tersebut adalah pada sentromer). Teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi
morfologi yang resesif bahkan lebih sederhana, karena hanya satu generasi yang dibutuhkan.
Secara operasional susunan kromosom kelamin individu betina adalah dua kromosom X yang
berlekatan pada sentromer, dan sebuah kromosom Y; susunan tiap pasang otosom normal. Jika
individu betina semacam itu disilangkan dengan individu jantan yang berkromosom kelamin
normal (XY), maka akan dihasilkan 4 tipe turunan. Keempat tipe turunan itu adalah individu
betina yang memiliki 3 kromosom X (mati), individu betina berkromosom kelamin XXY
(kromosom X berlekatan; hidup), individu jantan berkromosom kelamin YY (mati), serta
individu jantan berkromosom kelamin XY (yang mewarisi kromosom X dari induk jantan,
sedangkan kromoson: Y di warisi dari induk betina; hidup).

c. Deteksi Mutasi pada Tumbuhan Tinggi


Banyak variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat dideteksi secara sederhana melalui
pengamatan visual. Di samping itu ada juga teknik-yang digunakan untuk mendeteksi mutasi-
mutasi biokimiawi (Klug dan Cummings, 1994). Teknik pertama adalah melalui analisis
komposisi biokimia. Contoh teknik pertama adalah misalnya isolasi protein dari endosperm
jagung, hidrolisis protein-protein, serta penetapan komposisi asam amino sudah menunjukkan
bahwa dibanding galur-galur bukan mutan, mutan opague 2 mengandung lebih banyak lisin.
Pada saat ini memang para ahli genetika secara rutin menganalisis komposisi asam amino yang
terkandung pada strain-strain baru tanaman biji- bijian, seperti jagung, padi, gandum, jewawut,
dan sebagainya. Seperti diketahui, hasil analisis-analisis itu bermanfaat untuk melawan sakit
kurang gizi (malnutrisi), yang diakibatkan oleh ketidakcukupan protein atau bahkan ketiadaan
asam amino esensial tertentu dalam makanan.
Teknik deteksi mutasi kedua pada tumbuhan melibatkan kultur jaringan galur-galur sel
tumbuhan pada medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai
mikroorganisme; kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menambah dan
mengurangi nutrien-nutrien dalam medium kultur, Teknik kedua ini memilliki keuntungan lain,
karena teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-
sel tumbuhan pada kultur jaringan, dan selanjutnya diterapkan untuk genetika tumbuhan tinggi,
demikian pula teknik ini merupakan suatu sistem deteksi yang umumnya tidak bermanfaat dalam
hubungan dengan tumbuhan utuh.
.
d. Deteksi Mutasi pada Manusia
Deteksi mutasi pada manusia, misalnya yang berkaitan dengan sifat atupun kelainan
tertentu dilakukan dengan bantuan analisis silsilah (Klug dan Cummings, 1994). Upaya
pelacakan melalui analisis silsilah itu dilakukan sejauh mungkin. Segera setelah sesuatu sifat
dipastikan menurun, selanjutnya diramalkan apakah alela mutan itu terpaut kromosom kelamin
atau terpaut autosom. Mutasi dominan paling mudah dideteksi. Jika gen mutan dominan itu
terdapat pada kromosom kelamin X maka seorang ayah yang tergolong penderita akan
mewariskan ciri fenotip terkait kepada semua anak perempuannya. Sebaliknya jika gen mutan
dominan itu terpaut otosom, maka hampir 50% anak (yang berasal dari seorang tua heterozigot)
diharapkan mewarisi ciri mutan itu.
Mutasi resesif yang terpaut kromosom kelamin dapat juga dideteksi dengan bantuan
analisis silsilah. Satu contoh mutan resesif terpaut kromosom kelamin pada manusia adalah yang
mengekspresi kelamin hemofili. Salah satu contoh analisis silsilah mutan resesif terpaut
kromosom kelamin yang menjadi latar belakang hemofili adalah analisis silsilah hemofili pada
turunan Ratu Victoria dari Inggris (Klug dan Cummings, 1994). Alela-alela mutaan resesif yang
terpaut otosom dapat juga dideteksi melalui analisis silsilah. Sifat fenotif yang berlatang
belakang genetik semacam ini biasanya muncul sebentar-sebentar sepanjang sejumlah generasi
(Klug dan Cummings, 1994). Seperti diketahui ekspresi fenotif bila yang terpaut otosom "tidak
terpaut" pada kondisi heterozigot. Seorang individu pengidap kelainan terkait yang kawin
dengan seorang yang normal homozigot hanya menghasilkan turunan carrier (bukan pengidap);
sedang perkawinan antara dua orang yang sama-sama carrier akan menghasilkan (rata-rata) 25 %
turunan yang tergolong pengidap.
Selain melalui analisis silsilah dewasa ini deteksi mutasi pada manusia juga dilakukan
melalui analisis in vitro. Seperti diketahui sel-sel manusia secara rasio sudah dapat dikultur.
Deteksi mutasi melalui analisis in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat didasarkan pada
analisis aktivitas enzim, migrasi protein pada medan elektroforetik, serta pengurutan langsung
protein maupun DNA (Klug dan Cummings, 1994). Melalui kajian-kajian itu diketahui pula
bahwa antara individu-individu dalam populasi manusia terdapat keanekaragaman genetik yang
besar.

e. Uji Ames
Bruce Ames dan rekan - rekannya mengembangkan teknik sensitif yang memungkinkan
mutagenisitas sejumlah besar bahan kimia untuk diuji dengan cepat dengan biaya yang relatif
rendah. Ames dan rekan kerjanya membangun strain auksotrofik dari bakteri Salmonella
typhimurium membawa berbagai jenis mutasi transisi, transversi, dan frameshifts dalam gen
yang diperlukan untuk biosintesis histidin asam amino. Mereka memantau pembalikan mutan
auksotrofik ini menjadi prototropi dengan menempatkan sejumlah bakteri mutan yang diketahui
pada media yang kurang histidin dan mencetak jumlah koloni yang dihasilkan oleh revertan
prototrofik. Karena beberapa bahan kimia mutagenik hanya untuk mereplikasi DNA, mereka
menambahkan sejumlah kecil histidin untuk memungkinkan beberapa pembelahan sel tetapi
tidak pembentukan koloni yang terlihat ke medium (Snustad & Simmons, 2012).
Mereka mengukur mutagenisitas suatu bahan kimia dengan membandingkan frekuensi
pengembalian di hadapannya dengan frekuensi pengembalian spontan. Mereka menilai
kemampuannya untuk menginduksi berbagai jenis mutasi dengan menggunakan serangkaian
strain tester yang membawa berbagai jenis mutasi, satu strain dengan transisi, satu dengan mutasi
frameshift, dan sebagainya. Selama beberapa tahun mereka menguji ribuan bahan kimia yang
berbeda, Ames dan rekannya mengamati korelasi yang lebih besar dari 90 persen antara
mutagenisitas dan sifat karsinogenisitas dari bahan yang diuji. Mulanya, mereka menemukan
beberapa karsinogen kuat menjadi nonmutagenik pada galur penguji. Selanjutnya, mereka
menemukan bahwa banyak dari karsinogen ini dimetabolisme turunan sangat mutagenik dalam
sel eukariotik (Snustad & Simmons, 2012).
Ames dan rekan-rekannya menambahkan ekstrak hati tikus ke sistem pengujian mereka
dalam upaya untuk mendeteksi mutagenisitas turunan metabolik dari zat yang diuji. Pasangan
hati tikus untuk uji mutagenisitas mikroba sangat memperluas kegunaan system . Misalnya, nitrat
(ditemukan pada daging hangus) bukan dirinya sendiri mutagenik atau karsinogenik. Namun,
dalam sel eukariotik, nitrat dikonversi menjadi nitrosamin, yang sangat mutagenik dan
karsinogenik. Tes mutagenisitas Ames mendemonstrasikan keberadaan mutagen frameshift
dalam beberapa komponen kimia asap rokok yang difraksinasi. Tes Ames menyediakan prosedur
yang cepat, murah, dan sensitif untuk menguji mutagenisitas bahan kimia. Karena bahan kimia
mutagenik juga bersifat karsinogen, tes Ames dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahan
kimia yang memiliki kemungkinan tinggi menjadi karsinogenik (Snustad & Simmons, 2012).

Gambar 3. Uji Ames


Sumber: (Snustad & Simmons, 2012)
MUTASI KROMOSOM : PERUBAHAN JUMLAH KROMOSOM

FUSI SENTRIK DAN FISI SENTRIK

Fusi kromosom dan fisi kromosom kadang-kadang disebut sebagai perubahan Robertson.
Fusi kromosom terjadi bila dua kromosom homolog bergabung membentuk satu kromosom,
sedangkan fisi kromosom terjadi bila satu kromosom terpisah menjadi dua (Corebima, 2011).

Fusi kromosom lebih sering terjadi dibandingkan fisi kromosom. Fisi dan fusi sebenarnya
merupakan fenomena umum ditinjau dari sudut pandang evolusi. Robertsonian juga
menyatakannya sebagai peristiwa translokasi. Menurut Russel (1992) Robertsonian
translocation merupakan suatu tipe translokasi nonresiprok yang berakibat bergabungnya
lengan-lengan panjang dari dua kromosom akrosentrik (Corebima, 2011).

Pada translokasi nonresiprok itu lengan panjang kromosom 21 bergabung dengan lengan
panjang kromosom 14. Perkembangan selanjutnya, individu semacam itu (fenotip normal) akan
berperan sebagai carrier akan memunculkan kelainan familial down syndrome di saat kawin
dengan pasangan yang normal (Corebima, 2011).

Bagan perkawinan yang dapat menghasilkan turunan pengidap familial down syndrome
ditunjukkan pada gambar. Familial Down Syndrome ini tidak persis sama dengan kelainan Down
Syndrome yang lebih umum dikenal. Down Syndrome timbul akibat trisomi 21 yang terkait
dengan gagal berpisah kromosom 21 disaat meiosis sebelumnya, sedangkan familial down
syndrome timbul karena trisomi kromosom 21 khususnya lengan panjang dan kejadiannya tidak
terkait dengan peristiwa gagal berpisah (Corebima, 2011).
Gambar Bagan perkawinan antara seseorang pengidap Robertsonian translocation (antara
kromosom 21 dan 14) dan normal yang dapat memunculkan kelainan familial down syndrome
(Russel, 1992 dalam Corebima, 2011)

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa dari perkawinan semacam itu, turunan normal
bukan carrier mempunyai peluang 1/6, demikian pula halnya dengan turunan normal yang
carrier maupun yang turunan pengidap down syndrome familial. Sebaliknya turunan yang gagal
hidup cukup besar peluangnya yaitu 3/6 (Corebima, 2011).

3. ANEUPLOIDI

Aneuploidi adalah kondisi abnormal yang disebabkan oleh hilangnya satu kromosom atau
lebih pada sesuatu pasang kromosom atau yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah
kromosom pada sesuatu pasang kromosom dair jumlah yang seharusnya (Russel, 1992 dalam
Corebima, 2011). Aneuploidi terjadi pada pasangan kromosom yang tergolong autosom maupun
gonosom (Corebima, 2011).

Aneuploidi dibedakan menjadi nullisomi, monosomi, trisomi, tetrasomi, pentasomi dan


sebagainya. Pada nullisomi kedua kromosom dari suatu pasangan kromosom hilang, jumlah
kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n-2. Pada monosomi hanya satu kromosom
dari suatu kromosom yang hilang jumlah kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n-1.
Pada trisomi jumlah kromosom sesuatu pasangan kromosom bertambah satu, jumlah kromosom
secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n+1. Lepemaknaan yang setara diberlakukan untuk
tetrasomi, pentasomi dan sebagainya, sehingga jumlah kromosom secara keseluruhan pada
tetrasomi dan pentasomi masing-masing adalah 2n+3 (Corebima, 2011).

Trisomi dapat menimbulkan dampak yang parah bahkan dapat bersifat letal, terutama
pada hewan. Pada manusia trisomi dilaporkan pada kromosom 21, 13, 18 serta kromosom X.
Trisomi pada kromosom-kromosom tersebut menimbulkan dampak yang parah. Belum
ditemukannya trisomi pada pasangan kromosom manusia diduga akibat dampak trisomi tersebut
bersifat letal (Corebima, 2011).

Sindrom Down disebabkan oleh trisomi pada kromosom 21. Sindrom Palau, disebabkan
oleh trisomi pada kromosom 13. Sindrom Edwards disebabkan oleh trisomi, yaitu pada
kromosom 18. Sindrom Turner disebabkan oleh monosomi kromosom kelamin X. Sindrom
metafemale, disebabkan oleh trisomi pada kromosom X. Sindrom Klinefelter, disebabkan oleh
trisomi pada kromosom kelamin XXY, kariotip lain seperti XXYY (tetrasomi), XXXY
(totrasomi), XXXXY (pentasomi) dan XXXXXY (heksasomi). Sindrom lain pada manusia
akibat aneuploidi adalah yang berlatar belakang kariotip XYY (Ayala,dkk,.1984 dalam
Corebima, 2011).

B. POLIPLOIDI DAN MONOPLOIDI


1. POLIPLOIDI

Poliploidi terjadi karena penggandaan perangkat kromosom secara keseluruhan. Dalam


hal ini dari individu-individu yang tergolong diploid dapat muncul turunan yang triploid maupun
tetraploid. Poliploidi juga dapat menghasilkan individu-individu yang pentaploid, heksaploid,
dsb (Corebima, 2011).

Fenomena poliploidi lebih sering dijumpai pada spesies-spesies tumbuhan dibanding


spesies-spesies hewan. Poliploidi pada hewan dapat terjadi secara alami pada hewan-hewan
hermaprodit seperti cacing tanah dan planaria, kemudian pada kumbang, kupu malam, sow bugs,
udang, ikan mas, serta salamander. Pada tumbuhan dapat ditemukan pada seluruh kelompok
besar tumbuhan (Ayala, dkk, 1984 dalam Corebima, 2011).
Jumlah perangkat komosom yang ganjil pada poliploid biasanya tidak bertahan dari
generasi ke generasi karena jumlah kromosom yang homolog/ tidak sama pada poliploid.
Sehingga tidak menghasilkan gamet-gamet yang secara genetik seimbang. Mengenai peluang
fertil atau steril dijelaskan bahwa poliploid yang berjumlah kromosom homolog (berjumlah
kromosom ganjil)biasanya steril. Hal tersebut berkaitan dengan masih adanya peluang
kromosom-kromosom berpasangan selama pembelahan meiosis. Salah satu contoh poliploid
yang berjumlah kromosom genap yang genap adalah Triticum aestivum (hexaploid) dan salah
satu contoh poliploid berjumlah kromosom ganjil yang steril adalah pisang (triploid). Poliploid
dapat terjadi :

1. Secara Spontan
2. Akibat perlakuan
Misalnya dengan pemberian kolkisin pada tahap mitosis. Yang akan mengakibatkan
terhambatnya pembentukan benang-benang spindle mitosis. Pada perlakuan ini
kromosom-kromosom yang mengalami repiklasi tidak terpisah.
3. Akibat penyimpangan selama meiosis
Akibat penyimpangan ini dihasilkan gamet-gamet yang tidak mengalami reduksi. Gamet
yangtidak mengalami reduksi bergabung dengan gamet normal akan menghasilkan zigot
yang triploid. Sedangkan gamet yang tidak mengalami reduksi bergabung dengan
sesamanya akan menghasilkan zigot yang tetraploid.

4. Akibat penyimpangan selama mitosis


Poliploid dapat terjadi akibat penggandaan jumlah perangkat kromosom di dalam sel
somatic secara spontan. Replikasi ini tidak diikuti dengan pembelahan sel. sehingga pada
kelompok diploid dapat terbentuk kelompok sel atau jaringan yang tetraploid yang pada
akhirnya akan menghasilkan gamet-gamet yang diploid.
5. Akibat rusaknya apparatus spindle

Poliploid dibedakan menjadi 2 berdasarkan asal usul kejadiannya, yaitu autopoliploidi


dan allopoliploidi.

2. AUTOPOLIPLOIDI
Pada Autopoliploidi seluruh perangkat yang kromosom berasal dari spesies yang sama.
Perangkat tambahan berasal dari spesies yang sama. Autotetraploid dapat terjadi akibat
pembuahan suatu gamet diploid oleh satu gamet haploid. Gamet diploid itu terjadi akibat
kegagalan pemisahan kromosom selama meiosis. Ada yang mengakatan bahwa zigot
Autopoliploidi terjadi akibat pembuahan suatu ovum oleh dua sperma. Ada juga yang
mengatakan bahwa zigot Autopoliploidi akibat persilangan eksperimental individu diploid dan
yang tetraploid. Pada umumnya uuran individu Autopoliploidi lebih besar daripada ukuran
kondisi diploid. Kaitan ini juga berlaku pada tanaman yang semakin lama semakin besar. Secara
mendasar, individu-individu Autopoliploidi tidak mengandung informasi baru ataupun unik yang
berbeda dari kerabatnya yang diploid sehingga dapat memiliki nilai ekonomi tinggi. Contoh
tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu Solanum, Winesap apples, pisang komersial,
semangka tanpa biji, dan bunga Lilium tigrinum (Corebima, 2011).

3. ALLOPOLIPLOIDI
Allopoliploidi berasal akibat perlakuan tekanan hidrostatik seperti ada bab1. Perlakuan
yang diberikan pada ikan Salmo gaidneri setelah fertilisasi bertujuan untuk merusak benang
spindle dari pembelahan meiosis kedua. Allopoliploidi dapat terjadi akibat perlakuan kejutan
suhu dingin maupun suhu panas. Efektifitas perlakuan triploid suhu dingin berbeda pada
berbagai spesies. Hal ini dapat terlihat pada perlakuan yang diberikan pada Flatfish yang
memiliki insidensi sebesar 100% sedangkan pada ikan Salem hamper tidak berhasil seluruhnya.
Allopoliploidi melibatkan spesies lain. Dimana perangkat kromosom yang berasal dari spesies
lain. perangkat kromosom ini berkerabat dekat. Penjelasan tentang dua spesies yang berkerabat
dekat kemudian memunculkan fenomena Allopoliploidi. Contoh, terjadi hibridasi antara spesies
A (berkromosom a1, a2,a3,…) dan spesies B (berkromosom b1,b2,b3,….) menghasilkan hybrid AB.
Hybrid ini kemungkinan steril karena ketidakmampuannya menghasilkan gamet yang viable,
sebagai akibat kromosom-kromosom dari kedua spesies itu tidak dapat melakukan sinapsis
selama meiosis sehingga menimbulkan kondisi genetik yang tidak seimbang. Namun, bila hybrid
AB mengalami penggandaan kromosom secara alami maka suatu tetraploid AABB dapat
terbentuk. Allopoliploidi menghasilkan allotetraploid. Jika suatu individu atau makhluk hidup
hibrib memiliki dua genom diploid yang lengkap maka yang bersangkutan (allotetraploid)
disebut sebagai amphidiploid (Corebima, 2011).
Teknik hibridasi sel somatik digunakan untuk meghasilkan tumbuhan allopoliploid. Pada
teknik hibridasi sel somatik, sel yang diambil dari daun yang sedang tumbuh dihilangkan dinding
selnya sehingga dihasilkan protoplas. Sel sel dalam wujud protoplas itu dapat dipertahankan
dalam kultur atau distimulasi untuk melakukan fusi dengan protoplas lain sehingga
menghasilkan hybrid sel somatik (dalam wujud protoplas). Kemudian hybrid sel somatik tersebut
dapat diinduksi sehingga tumbuh dan berkembang menjadi tanaman allopoliploid (Corebima,
2011).

4. ENDOPOLIPLOID
Endopoliploid berkaitan dengan poliploid. Endopoliploid adalah peningkatan jumlah
perangkat kromosom yang terjadi akibat replikasi selama endomitosis yang berlangsung dalam
inti sel somatik. Sel-sel tertentu pada tubuh makhluk hidup diploid sebaliknya tergolong
poliploid dimana sel tersebut telah mengalami Endopoliploid. Pada sel–sel tersebut mengalami
replikasi dan pemisahan kromosom berlangsung tanpa diikuti pembelahan inti. Jaringan batang
dan jaringan parenkim daerah apeks tumbuhan berbunga tergolong Endopoliploid. Proses yang
mengarah pada Endopoliploid disebut endomitosis. Manfaat dari Endopoliploid belum jelas
diketahui (Corebima, 2011).
5. MONOPLOIDI
Monoploidi adalah kejadian yang menyebabkan suatu makhluk hidup misalnya yang
biasa tergolong diploid hanya mempunyai perangkat kromosom. Monoploid jarang terjadi karena
banyak individu monoploid tidak dapat bertahan hidup akibat pengaruh gen mutan letal
(termasuk yang resesif). Di sisi lain pihak spesies tertentu justru mempunyai individu-individu
monoploid sebagai suatu bagian atau kondisi yang normal dalam siklusnya. Monopolid
digunakan dalam pemuliaan tanaman (Corebima, 2011).

C. MUTASI: SUMBER VARIABILITAS GENETIKA YANG DIPERLUKAN UNTUK


EVOLUSI

Mutasi adalah peristiwa perubahan materi genetik pada berbagai tempat (struktur kimia, unting
DNA, kromosom, dll). Organisme yang mengalami perubahan fenotip dari suatu mutasi disebut
mutan. Mutasi akan merubah genotip dari suatu organisme termasuk perubahan dalam nomor
kromosom dan struktur struktur gen individu. Perubahan genotip akan memengaruhi fenotip
walaupun dengan perubahan yang sangat kecil. Mutasi yang mengakibatkan perubahan pada
tempat spesifik dalam suatu gen disebut point mutations. Mutasi dapat terjadi jika terdapat
perpindahan satu pasangan basa, insersi, delesi daro beberapa pasangan nukleutida pada bagian
spesifik dari gen. Mutasi merupakan salah satu faktor utama dari variasi genetik dan evolusi.
Mekanisme rekompinasi akan mengatur ulang variabilitas genetik menjadi kombinasi baru dan
seleksi alam akan mempertahankan kombinasi yang sesuai dengan kondisi lingkungan.

Tanpa adanya mutasi, populasi organisme tidak dapat berevolusi dan beradaptasi dari suatu
perubahan lingkungan. Beberapa tingkat mutasi memberikan variabilitas genetik baru dan
memungkinkan organisme untuk beradaptasi, akan tetapi jika mutasi terjadi sengat sering dapat
mengganggu transfer informasi genetik dari generasi satu ke generasi lainnya. Llaju mutasi
dipengaruhi oleh faktor genetik, dan mekanisme mutasi yangberevolusi dalam mengatur tingkat
mutasi yang terjadi pada berbagai kondisi lingkungan.

1. Dasar Molekuler pada Mutasi

Struktur dasar DNA bersifat dimanis. Atom hindrogen dapat berpindah posisi dalam suatu purin
atau pirimidin ke posisi lain, contohnya dari gugus amino ke nitrogen cincin. Fluktuasi tersebut
disebut dengan pergeseran taitomerik. Basa nitrogen melakukan siklus perubahan bentuk stabil
(keto)-tidak stabil (imino-enol), akan tetapi waktu molekul pada posisi tidak stabil terjadi sangat
singkat. Basa nitrogen (timin, guanin, sitosin dan timin) berada dalam bentuk enol dan imino
yang sedang direplikasi atau disisipkan ke dalam rantai DNA yang baru, dapat menyebabkan
mutasi.

Molekul basa nitrogen berada dalam bentuk enol dan imino dapat membentuk pasangan basa
adenin-sitosin dan guanin-timin. Selanjutnya pada saat replikasi G-T atau A-T akan terpisah
menjadi dua unting ganda yang tidak memiliki urutan basa nitrogen yang sama. Peristiwa
tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme Pergeseran Tautomerik pada Basis DNA yang Menyebabkan Mutasi

Penggantian pasangan basa semacam itu disebut transisi. Penggantian pasangan basa yang
melibatkan penggantian purin dengan pirimidin dan sebaliknya disebut transversi.
Terdapat empat transisi yang berbeda dan delapan transisi yang berbeda dimungkinkan seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2. Jenis mutasi titik lainnya melibatkan penambahan atau
penghapusan satu atau beberapa pasangan basa. Penambahan dan penghapusan pasangan-basa
dalam wilayah pengkodean gen secara kolektif disebut sebagai mutasi pergeseran-bingkai karena
dapat mengubah kerangka bacaan dari semua triplet pasangan basa (triplet DNA yang
menentukan kodon dalam mRNA dan asam amino dalam produk gen polipeptida) dalam gen.
Ada tiga faktor utama yang menyebabkan mutasi pada tingkat molekul yaitu (1) keakuratan
perangkat replikasi DNA, (2) efisiensi mekanisme yang telah berevolusi untuk memperbaiki
DNA yang rusak, dan (3) tingkat paparan agen mutagenik di lingkungan.

D. MUTASI KROMOSOM: PERUBAHAN STRUKTUR KROMOSOM


Mutasi stuktur kromosom biasanya terjadi perubahan pada sesuatu bagian kromosom
daripada perubahan kromosom secara keseluruhan atau perubahan perangkat-perangkat
kromosom pada suatu genom. Ada empat macam mutasi kromosom : delesi, duplikasi, inversi,
dan translokasi. Delesi dan duplikasi tergolong perubahan mutasi genetik pada suatu kromosom;
inversi tergolong perubahan susunan sesuatu segmen kromosom, sedangkan translokasi
tergolong perubahan lokasi sesuatu segmen kromosom.Penyebab mutasi kromosom dapat terjadi
secara spontan, induksi oleh perlakuan kimiawi dan radiasi.

1. DELESI
Delesi adalah perubahan struktural yang berakibat hilangnya suatu segmen materi genetik
dari suatu kromosom. Delesi terjadi di ujung kromosom, macam delesi disebut delesi terminal,
sedangkan jika delesi terjadi bukan di ujung kromosom, maka macam delesi itu adalah delesi
interkalar. Faktor-faktor penyebab delesi: panas, radiasi (terutama radiasi pengion), virus,
senyawa kimia, kesalahan pada enzim-enzim rekombinasi, kejadian pindah silang tidak
setangkup atau unequal crossing over, dsb. Deteksi delesi dapat dilakukan melalui analisis
kariotipe, jika bagian kromosom yang mengalami delesi cukup besar, maka saat kromosom
tersebut disandingkan dengan kromosom homolognya akan Nampak lebih pendek. Deteksi delesi
juga dapat dilakukan melalui pengamatan ada atau tak adanya lengkungan (terbentuk karena
delesi interkalar hanya pada satu kromosom, pasangannya tidak) individu atau sel yang memiliki
kromosom semacam itu dinyatakan bersifat heterozigot. Dan bila delesi terjadi pada kedua
kromosom homolog (ukuran bagian yang mengalami delesi sama), maka tidak ada lengkung
kromosom dan individu atau sel semacam itu dinyatakan bersifat homozigot.
Delesi pada kondisi heterozigot sering menimbulkan efek fenotip dan pada kondisi
homozigot atau hemizigot (genotipe pada suatu lokus dengan keadaan paling tidak satu
kromosom tidak memiliki alel (zero allele)) jika terjadi pada kromosom kelamin, misalnya pada
kromosom X, dapat bersifat letal. Delesi pada kondisi homozigot yang tidak bersifat letal
ditemukan pada jagung, Drosophila, Escherichia coli, serta makhluk hidup yang lain.

a. Notch mutant of Drosophila


Pada Drosophila timbul mutan Notch yang memiliki fenotip adanya lekukan sayap pada
tepi postero lateral akibat delesi kromosom X pita 3C2 hingga 3C11 terletak antara lokus-lokus
pada posisi 1,5 hingga 3,0 unit peta. Mutan tersebut terpaut kromosom X, bersifat letal pada
kondisi homozigot (betina) maupun hemizigot (jantan); jadi hanya pada individu betina
heterozigot saja. Berkenaan dengan mutan Notch pada Drosophila juga terdapat
pseudodominansi (terekspresinya gen mutan resesif karena lokus homolognya mengalami
delesi), diketahui bahwa pada mutan w (white) akan berperilaku sebagai dominan jika mutan
Notch ada pada kromosom homolognya. Sebenarnya selain gen mutan w, gen resesif lain yang
berada disekitar lokus w juga berperilaku sebagai mutan dominan, jika ada gen mutan Notch
pada kromosom homolognya. Pseudodominansi juga menjadi ciri peristiwa delesi.

b. Cri-du-chat (“cry-of-the-cat”) sydrome


Sindrom yang ditandai dengan teriakan pada saat bayi terdengar seperti bunyi meong
kucing, ukuran kepala kecil, abnormalitas pertumbuhan yang parah, serta adanya
keterbelakangan mental (IQ antara 20- 40); para penderita biasanya meninggal pada masa bayi
atau awal masa kanak-kanak sekalipun ada juga yang tetap hidup hingga dewasa. Sindrom ini
terjadi karena delesi bersifat heterozigot terjadi pada lengan pendek kromosom 5.

c. Leukimia myelo-sitis kronis


Disebabkan karena delesi pada kromosom 22, pertama kali dideskripsikan oleh P.C Nowell
dan D.A. Hungerford di Philadelphia. Berkenaan dengan delesi pada kromosom 22 seperti
tersebut. Bahkan kemudian J.Rowley juga menemukan bahwa ada penderita leukimia myelositis
tersebut juga mengalami translokasi menuju kromosom lain. Dalam hal ini sebagian lengan
panjang kromosom 22 biasanya ditranslokasikan ke kromosom 9.

d. Delesi lainnya pada kromosom manusia


Sebenarnya delesi heterozigot pada kromosom manusia yang lain seperti kromosom 4, 13,
dan 18, semuanya menimbulkan cacat fisik dan mental yang parah. Dalam hubungan ini suatu
delesi pada kromosom 13 g (pita 14.1) bersangkut paut dengan retinablastoma embrionik.
Retinablastoma adalah suatu tumor retina mata yang jarang terjadi pada kanak-kanak. Frekuensi
kejadian mutasi delesi yang menimbulkan retinablastoma itu adalah 0,5-1,2 per 100.000 gamet.
Delesi penyebab retinablastoma itu sebenarnya menghilangkan gen R.B, yang merupakan gen
pengkode orotein Rb yang terdiri dari 928 asama amino. Delesi heterozigot lain pada manusia
yang juga menimbulkan cacat parah adalah yang terjadi pada kromosom 11 khususnya pada pita
11 p13. Delesi itu menimbulkan tumor Wilm atau nefroblastoma, yang merupakan

2. DUPLIKASI
Duplikasi adalah mutasi kromosom yang terjadi karena keberadaan suatu segmen
kromosom yang lebih dan satu kaIi pada kromosom yang sama. Duplikasi tandem adalah
segmen-segmen kromosom yang mengalami duplikasi sering berada berurutan. Jika segmen
yang mengalami duplikasi itu berurutan tetapi terbalik disebut reverse tandem
duplication, sebaliknya jika segmen yang nengalami duplikasi itu terletak di ujung kromosom
maka itu disebut duplikasi terminal. Satu contoh duplikasi yang terkenal adalah yang
menimbulkan mata Bar pada Drosophila. melanogaster. Individu D. melanogaster yang bermata
Bar memiliki mata serupa celah akibat berkurangnya jumlah faset mata. Pewarisan sifat mata
Bar ini memperlihalkan ciri semidominan.
Bagan macam-macam duplikasi dan Duplikasi yang menimbulkan mata Bar tersebut
terjadi atas segmen 16 A dari kromosom X Duplikasi segmen-segmen DNA dianggap sebagai
fenomena evolusioner umum sebagaimana yang telah, dikemukakan, pada tahun 1970 Susumo
Ohno menerbitkan monografinya yang provokatif yaitu Evolution by Gene Duplication. Menurut
tesisnya duplikasi gen bersifat esensial bagi pemunculan gen-gen baru selama evolusi. Tesis
tersebut didasarkan pada anggapan/pandangan bahwa produk gen dari gen-gen esensial yang
hanya terdiri dari satu kopi pada genom, demi kelestarian anggota sesuatu spesies tidak dapat
diabaikan selama evolusi. Dalam hal ini gen-gen tcrsebut tidak bebas mengakumulasi mutasi
secukupnya untuk mengubah fungsi primernya dan berubah menjadi sesuatu gen baru. Pendapat
tersebut didukung oleh adanya penemuan gen-gen yang memiliki sejumlah urut-urutan
nukleotida serupa tetapi yang produknya berbeda. Contoh-contoh yang terkait gen-gen yang
mengkode polipeptida tripsin dan kemotripsin, demikian pula gene families semacam gen-gen
yang mengkode berbagai tipe rantai polipeptida globin penyusun hemoglobin. Fenomena lain
pendukung tesis onho adalah yang terkait dengan gen-gen pengkode sel T serta MHC (major
histocompatibility complex) yang mengkode polipeptida-polipeptida antigen.

3. INVERSI

Inversi adalah pembalikan 180° segmen-segmen kromosom dan kromosom tidak


kehilangan materi genetik. Yang terjadi adalah perubahan atau penataan kembali urutan linear
gen. Dikenal dua macam inversi yaitu yang perisentrik (jika inversi tersebut mencapai
sentromer) dan yang parasentrik (jika inversi tidak mencakup sentromer). Inversi Parasentrik
tidak mengakibatkan perubahan panjang suatu lengan kromosom; sedangkan Inversi Perisentrik
dapat menimbulkan perubahan panjang sesuatu lengan kromosom. Sekalipun tidak ada materi
genetika yang hilang akibat Inversi, dapat saja terjadi perubahan fenotip tertentu Sebelum
berlangsungnya inversi, dapat terlebih dahulu terjadi dua pemutusan sepanjang kromosom yang
selanjutnya dikuti oleh insersi kembali segmen-segmen yang terbalik.

Dampak Inversi Terhadap Pembentukan Gamet


Inversi dapat menghasilkan gamet-gamet yang menyimpang. Dampak Inversi terhadap
pembentukan gamet tergantung kepada apakah meiosis terjadi pada yang Heterozigot Inversi
(missal:ABCDEFGH/ ADCBEFGH) atau pada individu Homozigot Inversi (missal
ADCBEFGH/ ADCBEFGH). Jika meiosis pada individu dengan inversi homozigot maka
meiosis normal. Sebaliknya jika individu yang mengalami meiosis itu mengidap Inversi
Heterozigot maka sinapsis linear yang normal itu tidak mungkin terwujud selama meiosis.
Sinapsis antara kromosom-kromosom homolog baru akan terwujud jika terbentuk lengkung
(loop) yang mengandung segmen-segmen yang mengalami Inversi (Invesion Loop). Pada
individu dengan kromosom inversi heterozigot parasentrik, jika saat meiosis tidak terjadi pindah
silang pada segmen inversi dalam inversion loop, maka kromosom homolog akan rnemisah
secara lazim dan menghasilkan dua kromatid normal dan dua kromatid terbalik.
Kromatid yang normal maupun yang terbalik itu selanjutnya akan terkandung dalam
gamet-gamet meiosis itu. Jika selama meiosis itu terjadi pindah silang (dalam lengkung inversi),
maka akan terbentuk kromatid yang abnormal; dan terbentuknya kromatid yang abnormal itu
akan mengakibatkan sebagian gamet hasil meiosis menyimpang. Pada setiap meiotic tetrad,
pindah silang antara nonsister chromatid menghasilkan 2 kromatip parental dan 2 kromatid
rekombinan. Saat terjadi pindah silang pada inversi parasentrik, terbentuk dicentric chromatid
dan acentic chromatid. Gamet yang mengandung kromatid rekombinan ini mengalami defisiensi
materi genetic, saat gamet melakukan fertilisasi, akan terbentuk zigot yang abnormal. Dampak
tersebut juga akan terjadi jika pindah silang terjadi di dalam lengkung inversi meiosis individu
pengidap inversi heterozigot yang perisentrik. Dalam hal ini kromatida-kromatida rekombinan
yang langsung terlibat pada pertukaran segmen mengalami duplikasi dan delesi; namun demikian
tidak ada kromatid asentrik maupun disentrik yang dihasilkan. Gamet yang memiliki kromatid-
kromatid jika melakukan fertilisasi akan menurunkan embrio yang letal.

4. TRANSLOKASI
Pada translokasi terjadi perubahan posisi segmen kromosom maupun urut-urutan gen yang
terkandung pada kromosom itu. Translokasi disebut juga sebagai transposisi. Translokasi
dibedakan menjadi yang intrakromosom dan yang interkromosom. Pada translokasi
intrakromosom, perubahan posisi segmen kromosom itu berlangsung di dalam satu kromosom,
terbatas pada suatu lengan kromosom atau antar lengan kromosom. Translokasi interkromosom
dibedakan menjadi yang nonresiprok dan yang resiprok. Pada translokasi interkromosomal yang
nonresiprok, terjadi perpindahan segmen kromosom dari sesuatu kromosom ke suatu kromosom
lain yang nonhomolog. Pada translokasi interkromosomal yang resiprok, terjadi perpindahan
segmen kromosom timbal balik antara dua kromosom yang nonhomolog. Pada individu-individu
pengidap translokasi homozigot, dampak genetika dari translokasi adalah berupa perubahan
pautan gen. Fenomena semacam itu terjadi pada translokasi intrakromosom, maupun yang
interkromosom (yang nonresiprok ataupun yang resiprok).
Dampak translokasi juga berkaitan dengan pembentukan gamet yakni pada proses
meiosisnya, dampak translokasi terhadap hasil meiosis berlangsung pada tipe translokasi yang
diidap. Translokasi resiprok yang homozigot, meiosisnya normal karena semua pasangan
kromosom dapat menghasilkan sinapsis bivalen. Sedangkan pada translokasi resiprok yang
heterozigot, meiosis tidak berlangsung normal, terbentuk konfigurasi salib pada profase 1, gamet
yang dihasilkan 2/3 tergolong nonfungsional, dan tergolong semisteril. Dalam prakteknya,
gamet-gamet hewan yang memiliki segmen-segmen kromosom yang telah berduplikasi atau
yang telah mengalami delesi dapat berfungsi, tetapi zigot yang terbentuk biasanya mati. Di lain
pihak zigot yang terbentuk dapat tetap hidup dan berkembang, jika segmen kromosom yang
berduplikasi atau yang mengalami delesi tergolong kecil. Pada tumbuhan, serbuk sari yang
memiliki segmen kromosom yang telah berduplikasi atau yang telah mengalai delesi biasanya
juga tidak berkembang sempurna; serbuk-serbuk sari semacam itu juga tergolong nonfungsional.

Contoh translokasi pada manusia adalah sindrom Down familial yang terjadi akibat
nondisjunction pada tahap meiosis gamet. Analisis sitogenenik mengungkapkan terjadinya
translokasi Robertson (Robertsonian translocation) (Salah satu jenis umum dari translokasi yang
melibatkan pemutusan di ujung ekstrim lengan pendek dari dua kromosom akrosentrik
nonhomolog. Segmen kecil hilang, dan segmen yang lebih besar berfusi di wilayah centromeric.
Jenis translokasi ini menghasilkan kromosom submetasentrik atau metasentrik besar yang baru)
pada lengan panjang kromosom 21 dan bergabung dengan lengan panjang kromosom 14 atau 15.

E. MEKANISME PERBAIKAN DNA


Organisme hidup mengandung banyak enzim yang mampu mendeteksi DNA yang rusak
dan memulai proses perbaikan ketika kerusakan terdeteksi.

Sel-sel prokariotik maupun eukariotik memiliki sejumlah sistem perbaikan yang


berhubungan dengan kerusakan DNA. Semua sistem itu melakukan perbaikan DNA secara
enzimatis. Beberapa sistem memperbaiki kerusakan DNA akibat mutasi itu secara langsung.
Sebagian lainnya memotong bagian yang rusak, sehingga untuk sementara terbentuk celah satu
unting DNA; celah itu selanjutnya pulih karena polimerasi DNA yang dikatalisasi oleh
polimerasi DNA yang dikatalisasi oleh enzim polimerase DNA maupun karena aktivitas
penyambungan oleh enzim ligase DNA (Corebima, 2012).

Banyaknya mekanisme perbaikan yang telah berevolusi dalam organisme mulai dari
bakteri hingga manusia dengan tegas mendokumentasikan pentingnya menjaga mutasi pada
tingkat yang dapat ditoleransi. Misalnya, sel E. coli memiliki lima mekanisme yang ditandai
dengan baik untuk perbaikan cacat pada DNA: (1) perbaikan bergantung cahaya atau
fotoreaktivasi, (2) perbaikan eksisi, (3) perbaikan ketidakcocokan, (4) perbaikan pasca-replikasi,
dan (5) sistem perbaikan rawan kesalahan (respons SOS). Selain itu, setidaknya ada dua jenis
perbaikan eksisi, dan jalur perbaikan eksisi dapat dimulai oleh beberapa enzim yang berbeda,
masing-masing bekerja pada jenis kerusakan spesifik pada DNA. Mamalia memiliki semua
mekanisme perbaikan yang ditemukan di E. coli kecuali fotoreaktivasi. Karena sebagian besar
sel mamalia tidak memiliki akses ke cahaya, fotoreaktivasi akan memiliki nilai yang relatif kecil
bagi mereka (Snustad & Simmons, 2012).

1. PERBAIKAN TERGANTUNG CAHAYA

Perbaikan tergantung cahaya atau fotoreaktivasi DNA dalam bakteri dilakukan oleh enzim
yang diaktifkan cahaya yang disebut DNA photolyase. Ketika DNA terpapar sinar ultraviolet,
dimer timin dihasilkan oleh ikatan silang kovalen antara residu timin yang berdekatan. DNA
photolyase mengenali dan berikatan dengan dimer timin dalam DNA, dan menggunakan energi
cahaya untuk memotong ikatan silang kovalen. Photolyase akan berikatan dengan dimer timin
dalam DNA dalam gelap, tetapi ia tidak dapat mengkatalisasi pembelahan ikatan yang bergabung
dengan gugus timin tanpa energi yang berasal dari cahaya tampak, khususnya cahaya dalam
wilayah biru spektrum. Photolyase juga membagi dimer sitosin dan dimer sitosin-timin. Jadi,
ketika sinar ultraviolet digunakan untuk menginduksi mutasi pada bakteri, sel-sel yang diradiasi
tumbuh dalam gelap selama beberapa generasi untuk memaksimalkan frekuensi mutasi (Snustad
& Simmons, 2012).

2. PERBAIKAN EXCISION

Perbaikan eksisi DNA yang rusak melibatkan setidaknya tiga langkah. Pada langkah 1,
sebuah kompleks enzim perbaikan endonuklease atau enzim yang mengandung endonuklease
mengenali, mengikat, dan mengeluarkan basa atau basa yang rusak dalam DNA. Pada langkah 2,
DNA polimerase mengisi celah dengan menggunakan untai komplementer DNA yang tidak
rusak sebagai cetakan. Pada langkah 3, enzim DNA ligase menutup celah yang ditinggalkan oleh
DNA polimerase untuk menyelesaikan proses perbaikan. Ada dua jenis utama perbaikan eksisi:
sistem perbaikan eksisi dasar menghilangkan basa yang tidak normal atau dimodifikasi secara
kimiawi dari DNA, sedangkan jalur perbaikan eksisi nukleotida menghilangkan cacat yang lebih
besar seperti dimer timin. Kedua jalur eksisi bekerja dalam gelap, dan keduanya terjadi dengan
mekanisme yang sangat mirip pada E. coli dan manusia (Snustad & Simmons, 2012).

Perbaikan eksisi basa dapat dimulai oleh salah satu kelompok enzim yang disebut DNA
glikosilase yang mengenali basa abnormal dalam DNA. Setiap glikosilase mengenali jenis
khusus dari basa yang diubah, seperti basa terdeaminasi, basa teroksidasi, dan sebagainya.
Glikosilase memecah ikatan glikosidik antara basa abnormal dan 2-deoksiribosa, menciptakan
situs apurinic atau apyrimidinic (situs AP) dengan basa yang hilang. Situs AP dikenali oleh
enzim yang disebut AP endonucleases, yang bekerja bersama dengan fosfodiesterase untuk
mengeluarkan kelompok gula-fosfat di lokasi tersebut. DNA polimerase kemudian menggantikan
nukleotida yang hilang sesuai dengan spesifikasi untai komplementer, dan DNA ligase menyegel
nick (Snustad & Simmons, 2012).

Perbaikan eksisi nukleotida menghilangkan lesi yang lebih besar seperti dimer dan basa
timin dengan kelompok samping yang besar dari DNA. Dalam perbaikan eksisi nukleotida,
aktivitas nuclease eksisi yang unik menghasilkan pemotongan di kedua sisi nukleotida yang
rusak dan mengeluarkan oligonukleotida yang mengandung basa yang rusak. Nuklease ini
disebut excinuclease untuk membedakannya dari endonukleas dan exonuklease yang memainkan
peran lain dalam metabolisme DNA (Snustad & Simmons, 2012).

Dalam E. coli, aktivitas excinuclease membutuhkan produk dari tiga gen, uvrA, uvrB, dan
uvrC (uvr yang ditunjuk untuk perbaikan UV). Protein trimerik yang mengandung dua
polipeptida UvrA dan satu polipeptida UvrB mengenali cacat dalam DNA, mengikatnya, dan
menggunakan energi dari ATP untuk membengkokkan DNA di lokasi yang rusak. Dimer UvrA
kemudian dilepaskan, dan protein UvrC berikatan dengan kompleks UvrB / DNA. Protein UvrC
memotong ikatan fosfodiester keempat atau kelima dari nukleotida yang rusak di sisi 3 dan
ikatan fosfodiester kedelapan dari kerusakan di sisi 5. Produk gen uvrD, DNA helicase II,
melepaskan dodecamer yang dipotong. Dalam dua langkah terakhir jalur, DNA polimerase I
mengisi celah, dan DNA ligase menyegel sisa nick dalam molekul DNA (Snustad & Simmons,
2012).

Perbaikan eksisi nukleotida pada manusia terjadi melalui jalur yang mirip dengan yang ada
di E. coli, tetapi melibatkan sekitar empat kali lebih banyak protein. Pada manusia, aktivitas
excinuclease mengandung 15 polipeptida. Protein XPA (untuk protein xeroderma pigmentosum
A) mengenali dan mengikat nukleotida yang rusak dalam DNA. Kemudian merekrut protein lain
yang diperlukan untuk aktivitas excinuclease. Pada manusia, oligomer yang dipotong adalah 24
sampai 32 nukleotida lebih lama daripada 12-mer yang dihilangkan dalam E. coli. Kesenjangan
diisi oleh DNA polimerase atau ε pada manusia, dan DNA ligase menyelesaikan pekerjaan.

3. MEKANISME PERBAIKAN DNA LAINNYA

Selama beberapa tahun terakhir, penelitian tentang mekanisme perbaikan DNA telah
menunjukkan kehadiran pasukan enzim perbaikan DNA yang secara konstan memindai DNA
untuk kerusakan mulai dari keberadaan dimer timin yang diinduksi oleh sinar ultraviolet hingga
modifikasi yang terlalu beragam dan banyak untuk dijelaskan di sini (Snustad & Simmons,
2012).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa beberapa polimerase DNA yang sebelumnya tidak
diketahui memainkan peran penting dalam berbagai proses perbaikan DNA. Jalur perbaikan
DNA postreplikasi lainnya, perbaikan ketidakcocokan, menyediakan cadangan untuk
proofreading replikasi ini dengan mengoreksi nukleotida tidak cocok yang tersisa dalam DNA
setelah replikasi. Ketidakcocokan sering melibatkan empat basa normal dalam DNA. Sebagai
contoh, T mungkin salah dipasangkan dengan G. Karena baik T dan G adalah komponen normal
dari DNA, sistem perbaikan ketidakcocokan perlu beberapa cara untuk menentukan apakah T
atau G adalah basa yang benar di lokasi tertentu. Sistem perbaikan membuat perbedaan ini
dengan mengidentifikasi untai templat, yang berisi urutan nukleotida asli, dan untai yang baru
disintesis, yang berisi basis misincorporation (kesalahan). Pada bakteri, perbedaan ini dapat
dibuat berdasarkan pola metilasi pada DNA yang baru direplikasi. Dalam E. coli, A dalam
sekuens GATC dimetilasi setelah sintesis. Jadi, interval waktu terjadi selama untai templat
dimetilasi, dan untai yang baru disintesis tidak termetilasi. Sistem perbaikan ketidakcocokan
menggunakan perbedaan ini dalam keadaan metilasi untuk mengeluarkan nukleotida yang tidak
cocok dalam untaian yang baru lahir dan menggantinya dengan nukleotida yang benar dengan
menggunakan untaian DNA orang tua yang termetilasi sebagai template (Snustad & Simmons,
2012).

Dalam E. coli, perbaikan ketidakcocokan membutuhkan produk dari empat gen, mutH,
mutL, mutS, dan mutU (uvrD). Protein MutS mengenali ketidakcocokan dan mengikat mereka
untuk memulai proses perbaikan. Protein MutH dan MutL kemudian bergabung dengan
kompleks. MutH mengandung aktivitas endonuklease spesifik GATC yang memotong untai
yang tidak termetilasi pada hemimetilasi (yaitu, setengah dimetilasi) situs GATC baik 5 atau 3 ke
ketidakcocokan. Situs sayatan mungkin 1000 pasang nukleotida atau lebih dari ketidakcocokan.
Proses eksisi selanjutnya membutuhkan MutS, MutL, DNA helicase II (MutU), dan exonuclease
yang sesuai. Jika insisi terjadi pada urutan GATC 5 ke ketidakcocokan, diperlukan 5 → 3
exonuclease seperti E. coli exonuclease VII diperlukan. Jika sayatan terjadi 3 ke ketidakcocokan,
aktivitas exonuclease 3 → 5 seperti yang dari E. coli exonuclease I diperlukan. Setelah proses
eksisi telah menghilangkan nukleotida yang tidak cocok dari untai yang tidak termetilasi, DNA
polimerase III mengisi celah besar — hingga 1000 bp —, dan DNA ligase menutup nick
(Snustad & Simmons, 2012).

Homolog dari protein E. coli MutS dan MutL telah diidentifikasi pada jamur, tanaman, dan
mamalia — indikasi bahwa jalur perbaikan ketidakcocokan serupa terjadi pada eukariota.
Bahkan, eksisi ketidakcocokan telah ditunjukkan secara in vitro dengan ekstrak nuklir dibuat dari
sel manusia. Dengan demikian, perbaikan ketidakcocokan mungkin merupakan mekanisme
universal atau hampir universal untuk menjaga integritas informasi genetik yang disimpan dalam
DNA beruntai ganda (Snustad & Simmons, 2012).

Pada E. coli, perbaikan yang bergantung pada cahaya, perbaikan eksisi, dan perbaikan
ketidakcocokan dapat dihilangkan dengan mutasi pada frase (photoreactivation), uvr, dan mut
mut, masing-masing. Pada mutan yang kekurangan lebih dari satu mekanisme perbaikan ini,
masih ada sistem perbaikan DNA lainnya, yang disebut perbaikan pascaplikasi, yang berfungsi.
Ketika DNA polimerase III menemukan dimer timin dalam untai templat, progresnya terhambat.
DNA polimerase memulai kembali sintesis DNA pada beberapa posisi melewati dimer,
meninggalkan celah di untai yang baru lahir yang berlawanan dengan dimer pada untai cetakan.
Pada titik ini, urutan nukleotida asli telah hilang dari kedua helai heliks ganda progeni. Molekul
DNA yang rusak diperbaiki oleh proses perbaikan yang bergantung pada rekombinasi yang
dimediasi oleh produk gen E. coli recA. Protein RecA, yang diperlukan untuk rekombinasi
homolog, merangsang pertukaran untai tunggal antara heliks ganda homolog. Selama perbaikan
pasca-replikasi, protein RecA berikatan dengan untai tunggal DNA di celah dan memediasi
pasangan dengan segmen homolog dari double helix. Celah berlawanan dimer diisi dengan untai
DNA homolog dari molekul DNA saudara. Kesenjangan yang dihasilkan dalam adik heliks
ganda diisi oleh DNA polimerase, dan nick disegel oleh DNA ligase. Dimer timin tetap berada di
untai templat dari molekul DNA progeni asli, tetapi untai komplementer sekarang utuh (Snustad
& Simmons, 2012).

Jika dimer timin tidak dihilangkan oleh sistem perbaikan eksisi nukleotida, perbaikan
postreplikasi ini harus diulang setelah setiap putaran replikasi DNA. Sistem perbaikan DNA
yang dijelaskan sejauh ini cukup akurat. Namun, ketika DNA sel E. coli rusak berat oleh agen
mutagenik seperti sinar UV, sel mengambil beberapa langkah drastis dalam upaya mereka untuk
bertahan hidup. Mereka melalui apa yang disebut respon SOS, di mana seluruh baterai
perbaikan, rekombinasi, dan protein replikasi DNA disintesis. Dua dari protein ini, yang
dikodekan oleh gen umuC dan umuD (yang dapat berubah-ubah UV), adalah subunit dari DNA
polimerase V, sebuah enzim yang mengkatalisasi replikasi DNA di daerah yang rusak pada
kromosom — daerah di mana replikasi oleh DNA polimerase III diblokir . DNA polimerase V
memungkinkan replikasi untuk melanjutkan di segmen yang rusak dari untaian templat,
meskipun sekuens nukleotida di daerah yang rusak tidak dapat ditiru secara akurat. Sistem
perbaikan rawan kesalahan ini menghilangkan kesenjangan dalam untai yang baru disintesis
berlawanan nukleotida yang rusak dalam untaian cetakan tetapi, dengan demikian, meningkatkan
frekuensi kesalahan replikasi (Snustad & Simmons, 2012).

Mekanisme dimana sistem SOS diinduksi oleh kerusakan DNA telah dikerjakan dengan
sangat rinci. Dua protein pengatur utama — LexA dan RecA — mengendalikan respons SOS.
Keduanya disintesis pada tingkat latar belakang yang rendah dalam sel tanpa adanya DNA yang
rusak. Dalam kondisi ini, LexA mengikat daerah DNA yang mengatur transkripsi gen yang
diinduksi selama respons SOS dan menjaga level ekspresinya rendah. Ketika sel-sel terkena sinar
ultraviolet atau agen lain yang menyebabkan kerusakan DNA, protein RecA berikatan dengan
daerah DNA beruntai tunggal yang disebabkan oleh ketidakmampuan DNA polimerase III untuk
mereplikasi daerah yang rusak. Interaksi RecA dengan DNA mengaktifkan RecA, yang
kemudian merangsang LexA untuk menonaktifkan dirinya sendiri dengan pembelahan diri.
Dengan LexA tidak aktif, tingkat ekspresi gen SOS — termasuk recA, lexA, umuC, umuD, dan
lainnya — meningkat dan sistem perbaikan rawan kesalahan diaktifkan (Snustad & Simmons,
2012).

Respons SOS tampaknya merupakan upaya yang agak putus asa dan berisiko untuk
melarikan diri dari efek mematikan dari DNA yang rusak parah. Ketika sistem perbaikan rawan
kesalahan beroperasi, laju mutasi meningkat tajam (Snustad & Simmons, 2012).

4. BEBERAPA KELAINAN BAWAAN MANUSIA DISEBABKAN OLEH CACAT PADA


JALUR PERBAIKAN DNA.

Paparan sinar matahari menghasilkan frekuensi tinggi kanker kulit pada pasien XP. Sel-sel
individu dengan XP kurang dalam perbaikan kerusakan yang disebabkan UV terhadap DNA,
seperti dimer timin. Sindrom XP dapat disebabkan oleh cacat pada salah satu dari setidaknya
delapan gen yang berbeda. Produk dari tujuh gen ini, XPA, XPB, XPC, XPD, XPE, XPF, dan
XPG, diperlukan untuk perbaikan eksisi nukleotida (Tabel 1). Mereka telah dimurnikan dan
terbukti sangat penting untuk aktivitas excinuclease. Karena aktivitas excinuclease pada manusia
membutuhkan 15 polipeptida, daftar gen XP mungkin akan berkembang di masa depan. Dua
kelainan manusia lainnya, sindrom Cockayne dan trichothiodystrophy, juga diakibatkan oleh
kerusakan pada perbaikan eksisi nukleotida. Individu dengan sindrom Cockayne menunjukkan
pertumbuhan yang lambat dan keterampilan mental, tetapi tidak meningkatkan tingkat kanker
kulit. Pasien dengan trikotiodistrofi memiliki perawakan pendek, rambut rapuh, dan kulit
bersisik; mereka juga memiliki kemampuan mental yang kurang berkembang. Individu dengan
sindrom Cockayne atau trichothiodystrophy rusak dalam jenis perbaikan eksisi yang
digabungkan dengan transkripsi. Namun, detail dari proses perbaikan transkripsi-pasangan ini
masih dikerjakan (Snustad & Simmons, 2012).

Selain kerusakan sel-sel kulit, beberapa individu dengan XP mengembangkan kelainan


neurologis, yang tampaknya merupakan hasil dari kematian dini sel-sel saraf. Efek ini pada sel-
sel saraf yang berumur panjang mungkin memiliki implikasi yang menarik sehubungan dengan
penyebab penuaan. Salah satu teori adalah bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi mutasi
somatik. Jika demikian, sistem perbaikan yang rusak diharapkan untuk mempercepat proses
penuaan, dan ini tampaknya terjadi pada sel-sel saraf pasien XP. Namun, saat ini, ada sedikit
bukti yang menghubungkan mutasi somatik dengan penuaan (Snustad & Simmons, 2012).

Kanker kolon nonpolyposis herediter (juga disebut sindrom Lynch) diketahui merupakan
hasil dari cacat bawaan pada jalur perbaikan ketidakcocokan DNA. Ini dapat disebabkan oleh
mutasi pada setidaknya tujuh gen yang berbeda, lima di antaranya tercantum dalam Tabel 13.1.
Beberapa gen ini adalah homolog dari gen perbaikan ketidakcocokan E. coli dan S. cerevisiae.
Dengan demikian, jalur perbaikan ketidakcocokan manusia mirip dengan yang ada pada bakteri
dan jamur. Jenis kanker usus besar ini terjadi pada sekitar satu dari setiap 200 orang, jadi itu
adalah jenis kanker yang umum. Setelah kita memahami cacat bawaan dengan lebih baik,
mungkin kita akan dapat mengembangkan metode yang efektif untuk mengobati kanker ini
selain pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi (Snustad & Simmons, 2012).

Ataxia-telangiectasia, anemia Fanconi, sindrom Bloom, sindrom Werner, sindrom


Rothmund-Thomson, dan sindrom kerusakan Nijmegan adalah enam penyakit bawaan lain pada
manusia yang terkait dengan kerusakan metabolisme DNA yang diketahui. Keenam gangguan
tersebut menunjukkan pola pewarisan autosom resesif, dan semuanya menghasilkan risiko
keganasan yang tinggi, terutama leukemia pada kasus ataksia-telangiectasia dan anemia Fanconi.
Sel-sel pasien dengan ataksia-telangiectasia menunjukkan sensitivitas abnormal terhadap radiasi
pengion, menunjukkan adanya cacat dalam perbaikan kerusakan DNA yang disebabkan oleh
radiasi (Snustad & Simmons, 2012).

Sel-sel individu dengan anemia Fanconi mengalami gangguan dalam penghapusan ikatan
DNA antar-untai, seperti yang dibentuk oleh antibiotik mitomycin C. Individu dengan sindrom
Bloom dan sindrom kerusakan Nijmegan menunjukkan frekuensi tinggi kerusakan kromosom
yang mengakibatkan penyimpangan kromosom yang mengakibatkan penyimpangan kromosom
yang mengakibatkan penyimpangan kromosom. Ataxia-telangiectasia disebabkan oleh cacat
pada kinase yang terlibat dalam kontrol siklus sel, dan sindrom Bloom, sindrom Werner, dan
sindrom Rothmund-Thomson dihasilkan dari perubahan helikase DNA spesifik (anggota
keluarga helikase RecQ). Tabel 1 mencantumkan beberapa penyakit manusia yang lebih dikenal
akibat cacat bawaan pada jalur perbaikan DNA (Snustad & Simmons, 2012).

Tabel 1. Beberapa penyakit manusia yang lebih dikenal akibat cacat bawaan pada jalur
perbaikan DNA
Sumber: Snustad & Simmons (2012)

Pertanyaan
Maliatul Khairiyah (190341864421)

1. Mengapa pengukuran laju mutasi spontan pada bakteri dan fag relatif lebih mudah
dibandingkan kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi?
Jawab:
Pengukuran laju mutasi yang lebih mudah pada bakteri dan fag tersebut disebabkan karena
kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup itu tergolong monoploid; demikian pula
pengukuran atau pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi.
Pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi, pengukuran laju mutasi
memang menjadi lebih sulit karena beberapa sebab. Kromosom kelompok-kelompok
makhluk hidup yang lebih tinggi bukan monoploid, tetapi diploid; keadaan kromosom yang
bukan monoploid, (misalnya diploid) memang menyebabkan mutan resesif tidak terdeteksi
jika berada dalam kondisi heterozigot. Disamping itu pengukuran atau pemeriksaan
laboratorium tidak dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi.

2. Jelaskan perbedaan macam-macam mutan dengan fenotif lethal bersayarat!


Jawab:
Tiga kelas utama mutan dengan fenotip lethal bersayarat yaitu (1) mutan auksotrofik, (2)
mutan yang peka terhadap suhu, dan (3) Suppressor-sensitive mutants.
a. Auxotroph adalah mutan yang tidak dapat mensintesis metabolit esensial (asam amino,
purin, pirimidin, vitamin, dan sebagainya) yang disintesis oleh tipe-liar atau organisme
prototrofik dari spesies yang sama. Auxotrophs akan melakukannya tumbuh dan
bereproduksi ketika metabolit dipasok dalam medium (kondisi permisif); mereka tidak
akan tumbuh ketika metabolit esensial tidak ada (kondisi restriktif).
b. Mutan yang peka terhadap suhu akan tumbuh pada satu suhu tetapi tidak di lain.
Sebagian besar mutan yang sensitif terhadap suhu peka terhadap panas; Namun, beberapa
sensitif terhadap dingin. Sensitivitas suhu biasanya hasil dari peningkatan panas atau
dingin dari produk gen mutan misalnya, enzim aktif pada suhu rendah tetapi sebagian
atau sama sekali tidak aktif pada suhu yang lebih tinggi. Kadang-kadang, hanya sintesis
produk gen yang sensitif terhadap suhu, dan sekali disintesis, produk gen mutan mungkin
sama stabilnya dengan produk gen tipe liar.
c. Suppressor-sensitive mutants dapat hidup ketika ada faktor genetik kedua, ada penekan,
tetapi mereka tidak dapat hidup tanpa adanya penekan. Penekan gen dapat memperbaiki
atau mengkompensasi cacat pada fenotipe yang disebabkan oleh mutasi sensitif penekan,
atau dapat menyebabkan produk gen diubah oleh mutasi menjadi tidak penting.

Pertanyaan Astrino Purmanna (90341864406)

1. Sebutkan dan jelaskan macam-macam aneiploidi !


Jawab:

Aneuploidi dibedakan menjadi nullisomi, monosomi, trisomi, tetrasomi, pentasomi dan


sebagainya. Pada nullisomi kedua kromosom dari suatu pasangan kromosom hilang, jumlah
kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n-2. Pada monosomi hanya satu
kromosom dari suatu kromosom yang hilang jumlah kromosom secara keseluruhan
dinyatakan sebagai 2n-1. Pada trisomi jumlah kromosom sesuatu pasangan kromosom
bertambah satu, jumlah kromosom secara keseluruhan dinyatakan sebagai 2n+1. Lebih
lanjut pemaknaan yang setara diberlakukan untuk tetrasomi, pentasomi dan sebagainya,
sehingga jumlah kromosom secara keseluruhan pada tetrasomi dan pentasomi masing-
masing adalah 2n+3.

2. Mengapa poliploidi jarang dijumpai pada hewan daripada pada tumbuhan, apa alasannya?
Jelaskan!
Jawab:
Alasannya yaitu:
1. Poliploidi mengganggu keseimbangan antara autosom dan kromosom kelamin yang
bermanfaat untuk determinasi kelamin.
2. Kebanyakan hewan melakukan fertilisasi silang; dalam hal ini satu individu poliploid
yang baru terbentuk tidak dapat bereproduksi sendiri.
3. Hewan memiliki perkembangan yang lebih kompleks, yang dapat dipengaruhi oleh
perubahan yang disebabkan oleh poliploidi, misalnya dalam kaitannya dengan ukuran sel
yang akhirnya menngubah ukuran organ.
4. Jika di kalangan tumbuhan, individu-individu poliploid sering timbul dari duplikasi pada
hibrid, tetapi di kalangan hewan hibrid-hibrid biasanya inviabel atau steril.

Pertanyaan Hanina Salma (190341764445)


1. Bagaimana mekanisme memperbaiki struktur DNA (Nucleotide Excision Repair) ketika
terkena matahari?
Jawab: NER merupakan perbaikan kerusakan pada untai DNA pada gen aktif dan tidak aktif di
seluruh genom. Proses ini tidak tergantung pada transkripsi. Agen fisik atau kimia seperti UV,
cis-platin, atau benzopyrene dapat merusak DNA dan menyebabkan kerusakan helix yang
dimediasi kerusakan di mana saja dalam genom (GG-NER berwarna hijau, panel bawah)
atau pada untaian transkripsi gen (TC-NER in merah, panel atas). Pada GG-Ner proses
perbaikian dimulai dengan XPC-RAD23B mengenali dan mengikat helix yang rusak.
TFIIH dengan bantuan ATP memverivikasi keberadan kerusakan bersama XPA dan
RPA. Selama langkah ini, CAK dari TFIIH dilepaskan dari kompleks. Di dalam
kompleks, endonukleas spesifik, spesifik ERCC1-XPF dan XPG memotong untai yang
rusak pada sisi 5 ′ dan 3 ′. Setelah insisi, faktor NER dilepaskan dari DNA, kecuali XPG
dan RPA yang mendukung penambahan komponen replikasi yang terdiri dari PCNA,
RFC, dan DNA Polymerases δ, ε, atau κ (ref). (IV) Setelah replikasi, DNA ditutup oleh
ligase 1 (atau kompleks ligase III-XRCC1 dalam sel yang tidak membelah diri). Apabila
protein yang terlibat dalam komponen NER mengalami mutasi maka akan menyebabkan
penyakit Xeroderma pigmentosum

2. Apakah pindah silang pada lengkung inversi selalu menyebabkan kematian rekombinan?
Jawab: Berkenaan dengan pindah silang yang terjadi pada lengkung inversi telah diketahui
bahwa tidak semua kejadian pindah silang yang berlangsung dalam lengkung inversi
tersebut akan berakibat munculnya rekombinan yang tidak dapat hidup. Salah satu contoh
perkecualian adalah di saat berlangsungnya pindah silang ganda di dalam lengkung
inversi kedua kromosom sama-sama terlibat pada pindah silang; contoh perkecualian lain
adalah jika segmen-segmen kromatid rekombinan yang mengalami duplikasi dan delesi
tidak mempengaruhi ekspresi gen termasuk viabilitas hingga tingkat tertentu.

Pertanyaan Siti Nurhikmah Mustadjuddin (190341864415)

1. Jelaskan bagaimana mekanisme perbaikan DNA melalui proses fotoreaktivasi DNA dalam
bakteri.
Jawaban:

Perbaikan DNA tergantung cahaya atau fotoreaktivasi DNA dalam bakteri dilakukan
oleh enzim yang diaktifkan cahaya yang disebut DNA photolyase. Ketika DNA terpapar
sinar ultraviolet, dimer timin dihasilkan oleh ikatan silang kovalen antara residu timin yang
berdekatan. DNA photolyase mengenali dan berikatan dengan dimer timin dalam DNA, dan
menggunakan energi cahaya untuk memotong ikatan silang kovalen. Photolyase akan
berikatan dengan dimer timin dalam DNA dalam gelap, tetapi ia tidak dapat mengkatalisasi
pembelahan ikatan yang bergabung dengan gugus timin tanpa energi yang berasal dari
cahaya tampak, khususnya cahaya dalam wilayah biru spektrum. Photolyase juga membagi
dimer sitosin dan dimer sitosin-timin. Jadi, ketika sinar ultraviolet digunakan untuk
menginduksi mutasi pada bakteri, sel-sel yang diradiasi tumbuh dalam gelap selama
beberapa generasi untuk memaksimalkan frekuensi mutasi.

2. Jelaskan 2 jenis perbaikan eksisi.


Jawaban:

Ada dua jenis perbaikan eksisi: sistem perbaikan eksisi dasar menghilangkan basa
yang tidak normal atau dimodifikasi secara kimiawi dari DNA, sedangkan jalur perbaikan
eksisi nukleotida menghilangkan cacat yang lebih besar seperti dimer timin. Kedua jalur
eksisi bekerja dalam gelap, dan keduanya terjadi dengan mekanisme yang sangat mirip pada
E. coli dan manusia.

Daftar Pustaka
Klug, W.S., and M.R. Cummings. 1991. Concept of Genetics. Third edition. Macmillan
Publishing Company. New York, USA.
Snustad, D. P. dan Simmons, M. J. 2012. Principles of Genetics Sixth Edition. New York: John
Wiley & Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai