Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH QAWAID FIQHIYAH:

AL YAQIIN LA YUZAALU bis SYAKK


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kaidah-kaidah Fiqih

Dosen Pengampu: Fahrudin Mukhlis, M.IRKH.

Disusun oleh :

Muhammad Taufiqi 2017.100.103.11119

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kajian Ushul Fiqh Al Asybah wan Nadzaair, Imam Jalaluddin As Suyuthi

menerangkan bahwa terdapat lima kaidah pokok dalam fiqih (al-qawaid al-asasiyyah)

yang dijadikan acuan dalam menentukan hukum dari segala permasalahan yang berkaitan

dengan syariat, kelima kaidah pokok tersebut, pertama, segala perkara tergantung kepada

niatnya, kedua keyakinan tidak hilang dengan keraguan, ketiga kesulitan mendatangkan

kemudahan, keempat kesulitan harus dihilangkan, kelima kebutuhan menempati

kedudukan darurat, dan keenam adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan1. As

Suyuthi menyebutkan bahwa awal mulanya seluruh ulama fiqih bermadzhab Syafii

(ashab) bersepakat bahwa seluruh permasalahan fikih akan selalu mengerucut pada

empat kaidah pokok saja, kemudian para tokoh ahli(fudhola’) menambahkan lagi sebuah

kaidah yang kemudian menjadi kaidah yang pertama. Lima kaidah pokok ini dinilai

mampu mencakup segala permasalahan yang berkaitan dengan syariat, dimana lima

kaidah tersebut masih berkembang menjadi kaidah-kaidah cabang yang lebih luas lagi

cakupannya.

Dan makalah kali ini akan secara khusus membahas tentang kaidah kedua, yaitu

keyakinan tidak hilang dengan kemudahan (al yaqin la yuzalu bis syakk). Kaidah ini

menempati urutan kedua dari lima kaidah asasi bukan secara kebetulan, melainkan

karena perkara keyakinan merupakan landasan terpenting dalam menentukan keabsahan

1
Jalaludin As Suyuthi, 37 Al Asybah wan Nadzaair.
Imam As Suyuthi pada akhirnya menambahkan satu kaidah tambahan dari yang telah ditetapkan oleh para
ulama fiqih terdahulu, yaitu Al hajah tanzilu manzilata Dhorurot sebagai kaidah asasi ke lima, disertai
dengan Al adah al muhakkamah sebagai yang keenam.
1
2

suatu perbuatan yang bernilai ibadah. Kemudian tentang penerapan kaidah ini, serta

contoh permasalahannya, akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa arti dari Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk secara etimologis dan epistemologis ?

2. Apa saja dalil naqly yang menjadi sumber kaidah Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk ?

3. Apa saja kaidah cabang dari Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk dan bagaimana

contohnya ?

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

ّ ‫بِالش‬
A. Makna kaidah ‫َّك‬ ‫الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال‬

Al yakin secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang artinya memutuskan

sesuatu, dan secara epistemologi bermakna tercapainya kemantapan hati atas terjadi atau

tidaknya sesuatu. Sedangkan As syakk secara etimologi artinya adalah kebimbangan

terhadap suatu hal, apakah ia terjadi atau tidak, dimana tidak terdapat pertimbangan

apapun yang menguatkan salah satunya. Apabila salah satu dari dua hal yang

dibimbangkan menjadi lebih kuat dari hal lainnya oleh sebab adanya suatu pertimbangan

atau dalil (tanpa menafikan kemungkinan terhadap opsi yang lain) maka kuatnya dugaan

terhadap satu hal atas lainnya ini disebut zhan.2 Sedangkan yang dimaksud “tidak hilang”

(laa yuzaalu) bahwa sesuatu yang telah diyakini sebelumnya tidak serta merta menjadi

hilang atau terbatalkan hukumnya dengan munculnya keraguan terhadapnya.

Dalam banyak situasi seseorang sangat mungkin untuk menjadi terlupa dari apa

yang telah diketahuinya, keterbatasan fikiran, ingatan dan penginderaan manusia

sendirilah yang menjadi sebabnya. Manusia telah memiliki kodrat selalu melupakan

sesuatu baik secara disengaja atau tidak dan hanya mengingat hal-hal secara garis besar

saja dalam jangka panjang disertai dengan ketentuan-ketentuan, hal ini telah lumrah

disadari oleh setiap orang dalam interaksi sosialnya sehari-hari sehingga memunculkan

pemakluman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sifat lupa seseorang. Namun

berbeda halnya ketika sifat lupa ini berkaitan dengan perkara syariat, khususnya dalam

ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji yang keabsahannya sangat terikat
2
Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan sehari-hari), hal.49.
Dinukil oleh Abdul Karim Zaidan dari Ali Haidar Akkandi, dan syaikh Muhammad Az Zarqa oleh Abdul
Karim Zaidan
3
4

dengan syarat dan rukun yang ketat, maka kelupaan terhadap syarat dan rukunnya

menjadi sangat riskan karena beresiko membatalkannya, menghalangi tunainya

kewajiban hingga memungkinkan terjadinya dosa. Karena secara kodrati manusia tidak

mungkin lepas dari sifat lupa ini, maka Islam telah mengatur jalan untuk menyikapinya

melalui ajaran Rasulullah s.a.w yang kemudian disarikan esensinya kedalam sebuah

kaidah fiqih yang berbunyi “Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk”.

ّ ‫بِالش‬
B. Dalil Kaidah ‫َّك‬ ‫الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال‬

Dalil naqli yang menjadi dasar dari kaidah ّ ‫ الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال بِالش‬antara lain sebagai
‫َّك‬
berikut:

1. Hadist dari Abu Hurairah r.a tentang kentut disaat shalat:

‫َح ُد ُك ْم يِف بَطْنِ ِه َشْيئًا‬ ِ ِ


َ ‫صلَّى اللَّه َعلَْيه َو َسلَّ َم إذَا َو َج َد أ‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرةَ قَ َال ق‬

‫ص ْوتًا أ َْو جَيِ َد ِرحيًا‬ ِِ ِ ِ ِ


َ ‫فَأَ ْش َك َل َعلَْيه أ‬
َ ‫َخَر َج مْنهُ َش ْيءٌ أ َْم اَل فَاَل خَي ُْر َج َّن م َن الْ َم ْسجد َحىَّت يَ ْس َم َع‬

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah s.a.w bersabda: “Apabila salah seorang

diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan

apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan

sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).3

2. Hadist dari Sa’id Al Khudri r.a tentang lupa rakaat dalam shalat, yang berbunyi:

3
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
4
5

‫صاَل تِِه‬ َّ ‫صلَّى اللَّه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َش‬ ِ ُ ‫ال قَ َال رس‬ ٍ ِ‫عن أَيِب سع‬
ِّ ‫يد اخْلُ ْد ِر‬
َ ‫َح ُد ُك ْم يِف‬
َ‫كأ‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ‫ي ق‬ َ َْ

ْ ‫َّك َولْيَنْب ِ َعلَى َما‬


‫اسَتْي َق َن‬ َ ‫َفلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬
َّ ‫صلَّى ثَاَل ثًا أ َْم أ َْر َب ًعا َف ْليَطَْر ِح الش‬

Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Rasulullah s.a.w bersabda : “Apabila

salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui

sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang

keraguan dan mengambil dasar dari apa yang ia yakini.” (HR. Tirmidzi)4.

3. Hadist yang hampir serupa dari Abdurrahman bin Auf r.a:

‫ إِذَا َس َها‬:‫صلَّى اللَّه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َي ُق ْو ُل‬ ٍ ‫عن عبد الرَّمْح ِن ب ِن عو‬
ِ َ ‫ف قَ َال مَسِ عت رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ْ َْ ْ َ َ َْ

‫صلَّى‬
َ ‫َّن‬ ِ ٍ ِ ِ ‫صلَّى أ َْم ا ْثنََتنْي ِ َف ْليَنْب‬ ِ ِِ
َ ٌ‫صاَل ته َفلَ ْم يَ ْد ِر َواح َدة‬
َ ‫َح ُد ُك ْم يِف‬
ُ ‫َعلَى َواح َدة فَإ ْن مَلْ َيَتَيق‬ َ‫أ‬

‫ا ْثنََتنْي ِ أ َْم ثَاَل ثًا َف ْليَنْب ِ َعلَى ا ْثنََتنْي ِ فَِإ ْن مَلْ يَ ْد ِر أَ ثَاَل ثًا أ َْم أ َْر َب ًعا َف ْليَنْب ِ َعلَى ثَاَل ٍث َو يَ ْس ُج ُد‬

‫َس ْج َدَتنْي ِ َقْب َل أَ ْن يُ َسلِّ َم‬

Dari Abdurrahman bin Auf r.a berkata : aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w

bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga

tidak mengetahui apakah ia telah shalat satu (rakaat) atau dua, maka hendaknya ia

membangun (keyakinanya) diatas satu, Apabila ia tidak yakin apakah ia telah shalat

dua atau tiga maka hendaknya ia membangun diatas dua, dan apabila ia tidak

4
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
5
6

mengetahui apakah ia telah shalat tiga atau empat maka hendaknya ia membangun

diatas tiga, dan (hendaknya) ia melakukan dua sujud sebelum salam. ” (HR. Muslim)5

Demikian dalil-dalil naqli yang mendasari kaidah ini secara eksplisit memang

hanya terdapat dari hadist Rasulullah s.a.w. dalil tersebut sekaligus mengangkat

permasalahan syariat secara spesifik yang berkaitan dengan keyakinan dan keragu-raguan

dalam beribadah sebagai bentuk sifat yang manusiawi.

Maka dalam kasus diatas diangkatlah perkara keraguan tentang kentut dalam

shalat, terkadang seseorang merasakan pergerakan organ tertentu pada tubuhnya yang

dirasakan mirip seperti ia sedang mengeluarkan kentut kecil, tapi mirip juga dengan

pergerakan organ biasa. Jika ia memang benar benar telah kentut maka shalatnya batal,

dan ia wajib berwudhu kembali serta mengulang shalatnya, dan jika yang dirasakannya

hanyalah pergerakan organ biasa maka shalatnya tidak batal. Maka dalam kondisi seperti

ini ia harus menunggu sampai ada suatu bukti pendukung yang dapat menguatkan

dugaannya bahwa ia telah benar-benar kentut. Dan Rasulullah s.a.w mengajarkan agar

orang yang mendapati situasi seperti ini untuk tetap meneruskan shalat, dan hanya

membatalkan jika ia telah mendengar bunyi kentut, atau baunya. Dalam hal ini rasulullah

mengajarkan ummatnya untuk membangun keyakinan ditas bukti yang kuat, bukan

prasangka kosong.

Dijelaskan oleh As Suyuthi bahwa dari kondisi diatas dapat ditarik sebuah konsep

dasar yang dapat diaplikasikan dalam berbagai kasus syariat lainnya6. Sebagai contoh,

seseorang yang memasuki waktu shalat, kemudian ia ragu-ragu terhadap wudhu

5
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
6
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
As suyuthi menerangkan bahwa kaidah dasar kedua ini memiliki implikasi yang sangat banyak dalam ilmu
fikih, bahkan tiga perempat atau lebih dari keseluruhan masalah fikih berkaitan dengan kaidah ini.
6
7

terakhirnya yang telah ia sebelumnya, apakah telah batal, atau masih sah?. Maka ketika ia

tidak dapat mengingat sebab kebatalan wudhunya, maka ia tetap dianggap masih suci.7

C. Kaidah Cabang ّ ‫ الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال بِالش‬dan Penerapannya


‫َّك‬ 8

1. Adapun kaidah cabangnya sebagai berikut:

‫َص ُل َب َقاءُ َما َكا َن َعلَى َما َكا‬


ْ ‫اأْل‬
“(hukum)asal sesuatu itu tetap sebagaimana mulanya (maksudnya tidak batal

atau berubah kecuali terdapat penyebab yang jelas)”.

Contoh penerapan:

a. Seorang yang tiba-tiba ragu apakah ia telah sahur disaat telah masuk waktu subuh atau

tidak, maka yang diambil adalah ia sahur bukan pada saat masuk waktu subuh. Karena

asalnya ia tidak akan melakukan sahur jika ia yakin telah masuk waktu subuh.

b. Sebaliknya, seseorang tidak yakin telah masuk waktu maghrib atau belum kemudia ia

berbuka puasa, maka hukum yang diambil adalah puasanya batal. Karena seseorang tidak

berkewajiban shalat sampai ia yakin telah masuk/ melewati waktu shalat. Demikian juga

dengan puasa, jika ia belum menemukan tanda-tanda masuknya waktu magrib dan hanya

berdasarkan perkiraan saja kemudian ia berbuka. Maka keyakinannya terhadap telah

masuknya waktu magrib tidak dapat diterima, alias berbuka puasa disaat itu hukumnya

membatalkan puasa.

7
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
Dalam kasus kedua ini As Suyuthi menerangkan bahwa kaidah utama Al yakiinu laa yuzaalu bis syakk
telah bercabang menjadi kaidah lain yaitu maa kaana alaa maa kaanaa , yang berarti sesuatu itu tetap pada
kedudukannya
8
Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan sehari-hari), hal.50-53.
7
8

2. Kaidah kedua:

ِّ ُ‫َصل َبراءَة‬
‫الذ َّمة‬ َ ُ ْ ‫اأْل‬

“setiap orang pada dasarnya bebas dari tanggungan apapun”

Contoh kasus:

a. Seseorang tidak wajib membayar pajak kendaraan yang dibelinya, karena pada

dasarnya Ia telah memilikinya. Dalam artian tidak berhak bagi pihak manapun untuk

serta merta menyita barangnya.

3. Kaidah ketiga:

‫َص ُل الْ َعدم‬


ْ ‫اأْل‬
“segala hal itu awalnya tidak ada”

Contoh kasus:

a. Saat penghutang “merasa” dan seingatnya telah membayar hutang sedangkan orang

yang menghutangi merasa hutang itu belum dilunasi, maka pendapat yang terkuat

adalah pendapat orang yang menghutangi. Karena pada dasarnya mereka berdua sama-

sama sadar telah terjadi utang piutang diantara mereka, dan belum dapat dikatakan

lunas hutangnya kecuali ada bukti yang menguatkan bahwa ia telah membayar.

4. Kaidah keempat:

‫َّح ِرمي‬ ِ‫اأْل َصل يِف اأْل َ ْشي ِاء اإْلِ باحةُ حىَّت ي ُد ُّل الدَّل‬
ْ ‫يل َعلَى الت‬
ُ َ َ ََ َ ُْ
“hukum asal melakukan sehala sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang telah

mengharamkannya”

8
9

Contoh kasus:

a. Binatang yang tidak umum dikenal sebelumnya dan tidak memiliki ciri-ciri keharaman

sebagaimana ditentukan dalam syara’ maka dapat dihukumi halal, seperti jerapah, tapir,

atau kanguru.

5. Kaidah kelima:

ِ ‫الزم‬ ِ ِِ
‫أن‬ َ َّ ِ‫َص ُل يِف ُك ِّل َحادث َت َق ِّد ُرهُ بأَ ْقَرب‬
ْ ‫اأْل‬
“suatu kejadian itu berimplikasi terhadap hal lain yang paling dekat dengannya secara

waktu”

Contoh kasus:

a. Seseorang yang biasa berwudhu di suatu sumur, beberapa hari kemudian ia

mendapati ada bangkai di sumur itu, maka apa yang ia dapati itu tidak dapat

membatalkan hukum wudhunya yang telah ia lakukan sebelumnya dengan

pertimbangan, keabsahan wudhu sebelumnya dihukumi dengan ingatan dia di hari itu

(paling dekat secara waktu), ketika ia tidak ingat menemukan tanda-tanda najis di

hari itu, maka berarti wudhunya sah.

6. Kaidah keenam:

ْ ‫ك اَْف َع َل َشْيأً أ َْم اَل فَاأْل‬


ُ‫َص ُل أَنَّهُ مَلْ َي ْف َع ْله‬ َّ ‫َم ْن َش‬
“siapa yang ragu-ragu apakah telah melakukan sesuatu atau belum, maka
asalnya ia belum melakukan”
Contoh kasus:
a. Jika seseorang ragu-ragu apakah telah melakukan i’tidal atau belum, maka ia
wajib mengulang shalatnya
b. Jika ia ragu-ragu apakah telah melakukan tahiyat pertama atau belum, maka
ia harus sujud sahwi

Apa yang diragukan tidak dapat diambil sebagai dasar hingga ada suatu
pertimbangan/ bukti yang menguatkannya

9
10

7. Kaidah ketujuh:

ُ‫َص ُل يِف الْكَاَل ِم احْلَِقي َقة‬


ْ ‫اأْل‬
“asal perkataan adalah kebenaran”
Contoh kasus:
a. Secara sederhana disimulasikan jika si A bersumpah untuk tidak membeli barang
dari si B, tetapi si A kemudian menyuruh si C untuk membelikan untuknya barang
dari si B. maka secara hukum, ia tidak melanggar sumpah.
b. Jika seseorang telah memberikan suatu barang kepada orang lain, kemudian ia
meminta kembali dengan dalih, ucapan pemberiannya dahulu dengan maksud
meminjami, maka hukum yang diambil adalah bahwa ia telah memberi, karena asal
kata memberi bermakna memindahkan hak milik bukan meminjamkan.

8. Kaidah kedelapan:
‫ك يِف الْ َقلِْي ِل أ َْوالْ َكثِرْيِ مُحِّ َل َعلَى الْ َقلِْي ِل أِل َن ََّها الْ ُمَتَي ِّق ِن‬
َّ ‫َّن الْ ِف ْع َل َو َش‬
َ ‫َم ْن َتَيق‬

“siapa yang meyakini telah melakukan suatu hal, namun ragu-ragu apakah telah

melakukannya sedikit atau banyak, maka diambil yang sedikit sebagai dasar”

Contoh kasus:

a. Jika seseorang ragu-ragu apakah telah mengangsur pembelian sebanyak 50% atau

70% maka diambil 50% sebagai dasar, karena lebih pasti.

10
11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

ّ ‫بِالش‬
Pengertian kaidah ‫َّك‬ ‫ الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال‬adalah bahwa keraguan tidak dapat
menjadi landasan dalam menghukumi suatu perkara, kecuali jika disertai bukti-bukti

yang menguatkan. Dan jika terdapat dua hal yang diragukan antara yang sedikit atau

yang banyak, berdasarkan kepada kaidah segala sesuatu asalnya tidak ada maka diambil

yang sedikit sebagai dasar, dan jika diragukan antara yang jauh dan yang dekat kurun

waktunya, maka yang paling dekat yang diambil sebagai hukum.

Kaidah ini berimplikasi terhadap sebagian perkara-perkara fiqih. Kaidah ini juga

berkembang meluas menjadi beberapa kaidah ushuliyah cabang. diantaranya sebagai

berikut :

‫َص ُل َب َقاءُ َما َكا َن َعلَى َما َكا‬


ْ ‫اأْل‬ .1

ِّ ُ‫َصل َبراءَة‬
‫الذ َّمة‬ َ ُ ْ ‫اأْل‬ .2

‫َص ُل الْ َعدم‬


ْ ‫اأْل‬ .3

ِ ُّ ِ
‫َّح ِرمي‬
ْ ‫يل َعلَى الت‬ َ َ‫َص ُل يِف اأْل َ ْشيَاء اإْلِ ب‬
ُ ‫احةُ َحىَّت يَ ُدل الدَّل‬ ْ ‫اأْل‬ .4

ِ ‫الزم‬ ِ ِِ
‫أن‬ َ َّ ِ‫َص ُل يِف ُك ِّل َحادث َت َق ِّد ُرهُ بأَ ْقَرب‬
ْ ‫اأْل‬ .5

ْ ‫ك اَْف َع َل َشْيأً أ َْم اَل فَاأْل‬


ُ‫َص ُل أَنَّهُ مَلْ َي ْف َع ْله‬ َّ ‫َم ْن َش‬ .6

ُ‫َص ُل يِف الْكَاَل ِم احْلَِقي َقة‬


ْ ‫اأْل‬ .7

‫ك يِف الْ َقلِْي ِل أ َْوالْ َكثِرْيِ مُحِّ َل َعلَى الْ َقلِْي ِل أِل َن ََّها الْ ُمَتَي ِّق ِن‬
َّ ‫َّن الْ ِف ْع َل َو َش‬
َ ‫َم ْن َتَيق‬ .8

11
12

Daftar Pustaka

As Suyuthi, Jalaludin. (1965). Al Asybah wan Nadzaair. Surabaya: Al Hidayah

Zaidan. Abdul Karim, (2008), Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan
sehari-hari), terj. Muhyiddin Mas Rida.Lc. Jakarta: Al Kautsar.

12

Anda mungkin juga menyukai