Disusun oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian Ushul Fiqh Al Asybah wan Nadzaair, Imam Jalaluddin As Suyuthi
menerangkan bahwa terdapat lima kaidah pokok dalam fiqih (al-qawaid al-asasiyyah)
yang dijadikan acuan dalam menentukan hukum dari segala permasalahan yang berkaitan
dengan syariat, kelima kaidah pokok tersebut, pertama, segala perkara tergantung kepada
niatnya, kedua keyakinan tidak hilang dengan keraguan, ketiga kesulitan mendatangkan
Suyuthi menyebutkan bahwa awal mulanya seluruh ulama fiqih bermadzhab Syafii
(ashab) bersepakat bahwa seluruh permasalahan fikih akan selalu mengerucut pada
empat kaidah pokok saja, kemudian para tokoh ahli(fudhola’) menambahkan lagi sebuah
kaidah yang kemudian menjadi kaidah yang pertama. Lima kaidah pokok ini dinilai
mampu mencakup segala permasalahan yang berkaitan dengan syariat, dimana lima
kaidah tersebut masih berkembang menjadi kaidah-kaidah cabang yang lebih luas lagi
cakupannya.
Dan makalah kali ini akan secara khusus membahas tentang kaidah kedua, yaitu
keyakinan tidak hilang dengan kemudahan (al yaqin la yuzalu bis syakk). Kaidah ini
menempati urutan kedua dari lima kaidah asasi bukan secara kebetulan, melainkan
1
Jalaludin As Suyuthi, 37 Al Asybah wan Nadzaair.
Imam As Suyuthi pada akhirnya menambahkan satu kaidah tambahan dari yang telah ditetapkan oleh para
ulama fiqih terdahulu, yaitu Al hajah tanzilu manzilata Dhorurot sebagai kaidah asasi ke lima, disertai
dengan Al adah al muhakkamah sebagai yang keenam.
1
2
suatu perbuatan yang bernilai ibadah. Kemudian tentang penerapan kaidah ini, serta
B. Rumusan Masalah
1. Apa arti dari Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk secara etimologis dan epistemologis ?
2. Apa saja dalil naqly yang menjadi sumber kaidah Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk ?
3. Apa saja kaidah cabang dari Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk dan bagaimana
contohnya ?
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
ّ بِالش
A. Makna kaidah َّك الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال
Al yakin secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang artinya memutuskan
sesuatu, dan secara epistemologi bermakna tercapainya kemantapan hati atas terjadi atau
terhadap suatu hal, apakah ia terjadi atau tidak, dimana tidak terdapat pertimbangan
apapun yang menguatkan salah satunya. Apabila salah satu dari dua hal yang
dibimbangkan menjadi lebih kuat dari hal lainnya oleh sebab adanya suatu pertimbangan
atau dalil (tanpa menafikan kemungkinan terhadap opsi yang lain) maka kuatnya dugaan
terhadap satu hal atas lainnya ini disebut zhan.2 Sedangkan yang dimaksud “tidak hilang”
(laa yuzaalu) bahwa sesuatu yang telah diyakini sebelumnya tidak serta merta menjadi
Dalam banyak situasi seseorang sangat mungkin untuk menjadi terlupa dari apa
sendirilah yang menjadi sebabnya. Manusia telah memiliki kodrat selalu melupakan
sesuatu baik secara disengaja atau tidak dan hanya mengingat hal-hal secara garis besar
saja dalam jangka panjang disertai dengan ketentuan-ketentuan, hal ini telah lumrah
disadari oleh setiap orang dalam interaksi sosialnya sehari-hari sehingga memunculkan
pemakluman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sifat lupa seseorang. Namun
berbeda halnya ketika sifat lupa ini berkaitan dengan perkara syariat, khususnya dalam
ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji yang keabsahannya sangat terikat
2
Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan sehari-hari), hal.49.
Dinukil oleh Abdul Karim Zaidan dari Ali Haidar Akkandi, dan syaikh Muhammad Az Zarqa oleh Abdul
Karim Zaidan
3
4
dengan syarat dan rukun yang ketat, maka kelupaan terhadap syarat dan rukunnya
kewajiban hingga memungkinkan terjadinya dosa. Karena secara kodrati manusia tidak
mungkin lepas dari sifat lupa ini, maka Islam telah mengatur jalan untuk menyikapinya
melalui ajaran Rasulullah s.a.w yang kemudian disarikan esensinya kedalam sebuah
kaidah fiqih yang berbunyi “Al yaqiinu laa yuzaalu bis syakk”.
ّ بِالش
B. Dalil Kaidah َّك الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال
Dalil naqli yang menjadi dasar dari kaidah ّ الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُال بِالشantara lain sebagai
َّك
berikut:
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah s.a.w bersabda: “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).3
2. Hadist dari Sa’id Al Khudri r.a tentang lupa rakaat dalam shalat, yang berbunyi:
3
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
4
5
صاَل تِِه َّ صلَّى اللَّه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َش ِ ُ ال قَ َال رس ٍ ِعن أَيِب سع
ِّ يد اخْلُ ْد ِر
َ َح ُد ُك ْم يِف
َكأ َ ول اللَّه َُ َ َي ق َ َْ
Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Rasulullah s.a.w bersabda : “Apabila
salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui
sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang
keraguan dan mengambil dasar dari apa yang ia yakini.” (HR. Tirmidzi)4.
إِذَا َس َها:صلَّى اللَّه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َي ُق ْو ُل ٍ عن عبد الرَّمْح ِن ب ِن عو
ِ َ ف قَ َال مَسِ عت رس
َ ول اللَّه َُ ُ ْ َْ ْ َ َ َْ
صلَّى
َ َّن ِ ٍ ِ ِ صلَّى أ َْم ا ْثنََتنْي ِ َف ْليَنْب ِ ِِ
َ ٌصاَل ته َفلَ ْم يَ ْد ِر َواح َدة
َ َح ُد ُك ْم يِف
ُ َعلَى َواح َدة فَإ ْن مَلْ َيَتَيق َأ
ا ْثنََتنْي ِ أ َْم ثَاَل ثًا َف ْليَنْب ِ َعلَى ا ْثنََتنْي ِ فَِإ ْن مَلْ يَ ْد ِر أَ ثَاَل ثًا أ َْم أ َْر َب ًعا َف ْليَنْب ِ َعلَى ثَاَل ٍث َو يَ ْس ُج ُد
Dari Abdurrahman bin Auf r.a berkata : aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w
bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga
tidak mengetahui apakah ia telah shalat satu (rakaat) atau dua, maka hendaknya ia
membangun (keyakinanya) diatas satu, Apabila ia tidak yakin apakah ia telah shalat
dua atau tiga maka hendaknya ia membangun diatas dua, dan apabila ia tidak
4
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
5
6
mengetahui apakah ia telah shalat tiga atau empat maka hendaknya ia membangun
diatas tiga, dan (hendaknya) ia melakukan dua sujud sebelum salam. ” (HR. Muslim)5
Demikian dalil-dalil naqli yang mendasari kaidah ini secara eksplisit memang
hanya terdapat dari hadist Rasulullah s.a.w. dalil tersebut sekaligus mengangkat
permasalahan syariat secara spesifik yang berkaitan dengan keyakinan dan keragu-raguan
Maka dalam kasus diatas diangkatlah perkara keraguan tentang kentut dalam
shalat, terkadang seseorang merasakan pergerakan organ tertentu pada tubuhnya yang
dirasakan mirip seperti ia sedang mengeluarkan kentut kecil, tapi mirip juga dengan
pergerakan organ biasa. Jika ia memang benar benar telah kentut maka shalatnya batal,
dan ia wajib berwudhu kembali serta mengulang shalatnya, dan jika yang dirasakannya
hanyalah pergerakan organ biasa maka shalatnya tidak batal. Maka dalam kondisi seperti
ini ia harus menunggu sampai ada suatu bukti pendukung yang dapat menguatkan
dugaannya bahwa ia telah benar-benar kentut. Dan Rasulullah s.a.w mengajarkan agar
orang yang mendapati situasi seperti ini untuk tetap meneruskan shalat, dan hanya
membatalkan jika ia telah mendengar bunyi kentut, atau baunya. Dalam hal ini rasulullah
mengajarkan ummatnya untuk membangun keyakinan ditas bukti yang kuat, bukan
prasangka kosong.
Dijelaskan oleh As Suyuthi bahwa dari kondisi diatas dapat ditarik sebuah konsep
dasar yang dapat diaplikasikan dalam berbagai kasus syariat lainnya6. Sebagai contoh,
5
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
6
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
As suyuthi menerangkan bahwa kaidah dasar kedua ini memiliki implikasi yang sangat banyak dalam ilmu
fikih, bahkan tiga perempat atau lebih dari keseluruhan masalah fikih berkaitan dengan kaidah ini.
6
7
terakhirnya yang telah ia sebelumnya, apakah telah batal, atau masih sah?. Maka ketika ia
tidak dapat mengingat sebab kebatalan wudhunya, maka ia tetap dianggap masih suci.7
Contoh penerapan:
a. Seorang yang tiba-tiba ragu apakah ia telah sahur disaat telah masuk waktu subuh atau
tidak, maka yang diambil adalah ia sahur bukan pada saat masuk waktu subuh. Karena
asalnya ia tidak akan melakukan sahur jika ia yakin telah masuk waktu subuh.
b. Sebaliknya, seseorang tidak yakin telah masuk waktu maghrib atau belum kemudia ia
berbuka puasa, maka hukum yang diambil adalah puasanya batal. Karena seseorang tidak
berkewajiban shalat sampai ia yakin telah masuk/ melewati waktu shalat. Demikian juga
dengan puasa, jika ia belum menemukan tanda-tanda masuknya waktu magrib dan hanya
masuknya waktu magrib tidak dapat diterima, alias berbuka puasa disaat itu hukumnya
membatalkan puasa.
7
Jalaludin As Suyuthi, Al Asybah wan Nadzaair. Hal.37
Dalam kasus kedua ini As Suyuthi menerangkan bahwa kaidah utama Al yakiinu laa yuzaalu bis syakk
telah bercabang menjadi kaidah lain yaitu maa kaana alaa maa kaanaa , yang berarti sesuatu itu tetap pada
kedudukannya
8
Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan sehari-hari), hal.50-53.
7
8
2. Kaidah kedua:
ِّ َُصل َبراءَة
الذ َّمة َ ُ ْ اأْل
Contoh kasus:
a. Seseorang tidak wajib membayar pajak kendaraan yang dibelinya, karena pada
dasarnya Ia telah memilikinya. Dalam artian tidak berhak bagi pihak manapun untuk
3. Kaidah ketiga:
Contoh kasus:
a. Saat penghutang “merasa” dan seingatnya telah membayar hutang sedangkan orang
yang menghutangi merasa hutang itu belum dilunasi, maka pendapat yang terkuat
adalah pendapat orang yang menghutangi. Karena pada dasarnya mereka berdua sama-
sama sadar telah terjadi utang piutang diantara mereka, dan belum dapat dikatakan
lunas hutangnya kecuali ada bukti yang menguatkan bahwa ia telah membayar.
4. Kaidah keempat:
َّح ِرمي ِاأْل َصل يِف اأْل َ ْشي ِاء اإْلِ باحةُ حىَّت ي ُد ُّل الدَّل
ْ يل َعلَى الت
ُ َ َ ََ َ ُْ
“hukum asal melakukan sehala sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang telah
mengharamkannya”
8
9
Contoh kasus:
a. Binatang yang tidak umum dikenal sebelumnya dan tidak memiliki ciri-ciri keharaman
sebagaimana ditentukan dalam syara’ maka dapat dihukumi halal, seperti jerapah, tapir,
atau kanguru.
5. Kaidah kelima:
ِ الزم ِ ِِ
أن َ َّ َِص ُل يِف ُك ِّل َحادث َت َق ِّد ُرهُ بأَ ْقَرب
ْ اأْل
“suatu kejadian itu berimplikasi terhadap hal lain yang paling dekat dengannya secara
waktu”
Contoh kasus:
mendapati ada bangkai di sumur itu, maka apa yang ia dapati itu tidak dapat
pertimbangan, keabsahan wudhu sebelumnya dihukumi dengan ingatan dia di hari itu
(paling dekat secara waktu), ketika ia tidak ingat menemukan tanda-tanda najis di
6. Kaidah keenam:
Apa yang diragukan tidak dapat diambil sebagai dasar hingga ada suatu
pertimbangan/ bukti yang menguatkannya
9
10
7. Kaidah ketujuh:
8. Kaidah kedelapan:
ك يِف الْ َقلِْي ِل أ َْوالْ َكثِرْيِ مُحِّ َل َعلَى الْ َقلِْي ِل أِل َن ََّها الْ ُمَتَي ِّق ِن
َّ َّن الْ ِف ْع َل َو َش
َ َم ْن َتَيق
“siapa yang meyakini telah melakukan suatu hal, namun ragu-ragu apakah telah
melakukannya sedikit atau banyak, maka diambil yang sedikit sebagai dasar”
Contoh kasus:
a. Jika seseorang ragu-ragu apakah telah mengangsur pembelian sebanyak 50% atau
10
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ّ بِالش
Pengertian kaidah َّك الْيَ ِقنْي ُ اَل يَُز ُالadalah bahwa keraguan tidak dapat
menjadi landasan dalam menghukumi suatu perkara, kecuali jika disertai bukti-bukti
yang menguatkan. Dan jika terdapat dua hal yang diragukan antara yang sedikit atau
yang banyak, berdasarkan kepada kaidah segala sesuatu asalnya tidak ada maka diambil
yang sedikit sebagai dasar, dan jika diragukan antara yang jauh dan yang dekat kurun
Kaidah ini berimplikasi terhadap sebagian perkara-perkara fiqih. Kaidah ini juga
berikut :
ِّ َُصل َبراءَة
الذ َّمة َ ُ ْ اأْل .2
ِ ُّ ِ
َّح ِرمي
ْ يل َعلَى الت َ ََص ُل يِف اأْل َ ْشيَاء اإْلِ ب
ُ احةُ َحىَّت يَ ُدل الدَّل ْ اأْل .4
ِ الزم ِ ِِ
أن َ َّ َِص ُل يِف ُك ِّل َحادث َت َق ِّد ُرهُ بأَ ْقَرب
ْ اأْل .5
ك يِف الْ َقلِْي ِل أ َْوالْ َكثِرْيِ مُحِّ َل َعلَى الْ َقلِْي ِل أِل َن ََّها الْ ُمَتَي ِّق ِن
َّ َّن الْ ِف ْع َل َو َش
َ َم ْن َتَيق .8
11
12
Daftar Pustaka
Zaidan. Abdul Karim, (2008), Al Wajiz (100 kaidah fikih dalam kehidupan
sehari-hari), terj. Muhyiddin Mas Rida.Lc. Jakarta: Al Kautsar.
12