Anda di halaman 1dari 23

LTK

“PROBLEM SOLVING PADA STUDY KASUS PASIEN


RESIKO BUNUH DIRI”

Oleh :
Nadya Karlina Megananda (196070300111005)
Sigit Yulianto (196070300111007)
Wahyu Sholehah Erdah S (196070300111034)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukurkepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan tugas mandiri yang berjudul “Problem
Solving pada Study Kasus Pasien Resiko Bunuh Diri” tepat waktu. Laporan ini
disusun untuk memenuhi tugas kelompok mahasiswa pada mata kuliah Ilmu
Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Laporan ini berisi ringkasan materi tentang konseptual model yang dapat
diaplikasikan pada suatu kasus dan digunakan sebagai acuan dalam menganalisis,
menyusun problem solving pada masalah kesehatan jiwa. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun diperlukan demi perbaikan penulisan
selanjutnya. Selanjutnya, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Amin.

Malang, 5 September 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Keperawatan jiwa merupakan suatu proses interpersonal yang
berupaya untuk meningkatkan dan mepertahankan perilaku yang
berkontribusi terhadap fungsi terintegrasi. Setiap perawat jiwa dituntut
untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan
paripurna kepada pasien. Perawat perlu mempelajari bidang ilmu yang
berkaitan untuk mendukung penggunaan diri secara terapeutik kepada
pasien. Bidang ilmu yang berkaitan dengan keperawatan jiwa dapat berupa
ilmu dasar dan terapan. Ilmu dasar yang harus dikuasai seperti ilmu
psikologi, ilmu perilaku, dan ilmu komunikasi, sedangkan ilmu terapan
dapat berupa teori dan model konseptual keperawatan jiwa seperti teori
psikoanalisis, teori medikal, teori eksistensial, teori interpersonal, teori
suportif, model stres dan adaptasi dan sebagainya (Stuart, 2013).

Model adalah suatu cara untuk mengorganisasikan pengetahuan yang


kompleks, membantu praktisi, serta memberi arah dan dasar dalam
menentukan bantuan yang diperlukan. Model praktik keperawatan jiwa
mencerminkan sudut pandang dalam mempelajari penyimpangan perilaku
dan proses terapeutik dikembangkan. Model praktik dalam keperawatan
kesehatan jiwa ini menggambarkan sebuah psikodinamika terjadinya
gangguan jiwa (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati, 2015).

Psikodinamika menggambarkan serangkaian peristiwa tentang


bagaimana gangguan jiwa terjadi. Pengkajian mendalam terhadap berbagai
faktor penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala, serta urutan kejadian
peristiwa diperlukan untuk mengetahui proses terjadinya masalah. Dengan
demikian, akan tergambarkan sebagai masalah keperawatan yang ditemukan
(pada komponen pengkajian keperawatan jiwa), sehingga jejaring urutan
kejadian masalah dalam sebuah pohon masalah dapat disusun (Yusuf,
Fitryasari, & Nihayati, 2015).
Dalam laporan ini, kelompok akan menganalisis bagaimana penerapan
teori dan model konsep keperawatan jiwa pada studi kasus klien dengan
risiko bunuh diri. Bunuh diri merupakan tindakan secara sadar yang
dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Seseorang dengan
risiko bunuh diri cenderung memiliki perilaku maladaptif dan berada dalam
keadaan ambivalensi antara keinginan untuk hidup atau mati. Keadaan ini
merupakan salah satu situasi kegawatdaruratan psikiatri dan membutuhkan
penanganan yang cepat (Videbeck, 2011).Perawat menggunakan proses
keperawatan mulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi sesuai dengan
teori dan model konsep keperawatan jiwa untuk membantu mengatasi
masalah klien dengan risiko bunuh diri.

b. Tujuan
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah:

a) Menjelaskan teori dan model konseptual keperawatan jiwa pada studi


kasus klien risiko bunuh diri.

b) Menganalisis penerapan teori dan model konseptual keperawatan jiwa


sebagai problem solving pada studi kasus klien risiko bunuh diri.

c. Manfaat
Manfaat penulisan laporan ini bagi mahasiswa magister keperawatan yaitu:

a) Mampu memahami teori dan model konseptual keperawatan jiwa pada


studi kasus klien risiko bunuh diri.

b) Mampu memberikan problem solvingpada studi kasus pasien dengan


risiko bunuh diri
BAB 2
ISI

a. Konsep Bunuh Diri

a) Definisi Bunuh Diri


Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja
untuk membunuh diri sendiri. Bunuh diri melibatkan ambivalensi antara
keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati (Videbeck, 2011).
Perilaku bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien
berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang
maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri
timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan
bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri (Yusuf,
Fitryasari, & Nihayati, 2015). Jadi, perilaku bunuh diri adalah tindakan
yang dilakukan secara sengaja untuk mengakhiri hidup melibatkan
ambivalensi antara keinginan untuk hidup atau mati. Seseorang yang
melakukan tindakan menyakiti, menciderai diri dan mengancam
jiwanya memiliki risiko tinggi bunuh diri dan merupakan keadaan
kegawatdaruratan psikiatri.

b) Rentang Respon Protektif Diri-Perilaku Bunuh Diri


Menurut Stuart (2013), rentang respon protekstif diri adalah
sebagai berikut.

Adaptif Maladaptif

Peningkatan diri Pertumbuhan Perilaku Pencederaan diri Bunuh diri


peningkatan destrukstif diri
berisiko tak langsung

c) Klasifikasi Bunuh Diri


Yosep (2010) dan Yusuf, et al., (2015) mengklasifikasikan bunuh
diri menjadi tiga jenis, yaitu bunuh diri anomik, bunuh diri altruistik,
dan bunuh diri egoistik. Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh
diri yang didasari oleh faktor lingkungan yang penuh tekanan
(stressful) sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri. Bunuh diri
altruistik adalah tindakan bunuh diri yang akibat kepatuhan pada adat
dan kebiasaan. Biasanya berkaitan dengan kehormatan seseorang ketika
gagal dalam melaksanakan tugasnya. Bunuh diri egoistik adalah
tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri seseorang
misalnya karena hubungan sosial yang buruk, putus cinta atau putus
harapan.

d) Faktor Penyebab Bunuh Diri


Faktor yang mempengaruhi resiko bunuh diri ada dua, yaitu faktor
predisposisi dan faktor presipitasi (Stuart, 2013). Faktor predisposisi
yang menunjang perilaku bunuh diri meliputi diagnosa psikiatri
(misalnya gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, skizofrenia),
sifat kepribadian (misalnya kepribadian impulsif, bermusuhan, depresi),
lingkungan psikososial (misalnya kehilangan pasangan, perpisahan,
kurangnya dukungan sosial), biologis (misalnya gangguan level
serotonin di otak), psikologis (misalnya berduka disfungsional), dan
sosiokultural (misalnya kehilangan pekerjaan).

Faktor presipitasi bunuh diri dapat berupa kejadian yang


memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan
umum, kehilangan  pekerjaan, atau ancaman pengurungan.Faktor
pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah perasaan
terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan
hubungan yang berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat
menghadapi stres, perasaan marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai
hukuman pada diri sendiri, serta cara utuk mengakhiri keputusasaan.

e) Proses Terjadinya Bunuh Diri

Gambar 2. Psikodinamika Upaya Percobaan Bunuh Diri


Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya
motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat
melaksanakan bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya
melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri
merupakan masalah keperawatan yang harus mendapatkan perhatian
serius. Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri, maka selesai riwayat
pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang
salah) tentang bunuh diri.

f) Tanda dan Gejala Bunuh Diri


Tanda dan gejala perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori
(Stuart, 2013; Yusuf, Fitryasari, & Nihayati, 2015)yaitu isyarat bunuh
diri, ancaman bunuh diri dan percobaan bunuh diri.Isyarat bunuh diri
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri,
misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya akan
pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada
kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh
diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya dan hal-hal negatif
tentang diri sendiri.

Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa


seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman
bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri hidup dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Pasien secara aktif
telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan
percobaan bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah
mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan.
b. Konsep Model Medical

a) Pengertian Model Medikal


Menurut Meyer dan Kreplin, konsep gangguan jiwa cenderung
muncul akibat multifaktor yang komplek meliputi aspek fisik, genetik,
lingkungan dan faktor sosial. Sehingga fokus penatalksanaanya harus
lengkap melalui pemeriksaan diagnostik, terapi somatik, farmakologi
dan teknik interpersonal. (Yosep, 2010, Hal 15). Namun, Fulford dan
lainnya telah menunjukkan bahwa banyak dokter dari semua disiplin
ilmu secara implisit menggunakan model medis (biologis) dalam
praktik sehari-hari mereka, bahkan mereka mengatakan model
biopsikososial tidak lebih terintegrasi (Colombo et al, 2003; Fulford &
Colombo, 2004). Sehingga pemeriksaan dan penatalaksanaannya
melalui banyak hal diantaranya pemeriksaan diagnostic, terapi somatic,
farmakologik dan terapi interpersonal. (Ah. Yusuf, 2015) . Dapat
disimpulkan menurut teori medical, gangguan jiwa tidak hanya timbul
dari satu faktor saja melainkan dari beberapa faktor yaitu fisik, genetik,
lingkungan dan faktor sosial yang saling berhubungan. Karena dari
banyak faktor ini maka penatalaksaannya pun harus lengkap,
diantaranya menggunakan pemeriksaan yang menggunakan alat tertentu
seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi selain itu terapi lain
yang digunakan adalah terapi somatik ditambah dengan obat-obatan
yang sesuai dengan diagnosa pasien lalu ditunjang dengan komunikasi
terapeutik oleh tenaga medis dengan pasien.

b) Tampilan Perilaku Yang Menyimpang


Akibat manifestasi penyakit, kerusakan sistem persyarafan,
ketidakseimbangan hormonal. Faktor lingkungan dan sosial dianggap
sebagai faktor pencetus dan faktor pendukung. Faktor genetik dianggap
cukup berperan. Penyimpangan perilaku karena klien tidak mampu
bertoleransi terhadap stres (Stuart & Laraia, 2001 Hal 57). Sedangkan
tampilan perilaku yang menyimpang merupakan kombinasi dari
fisiologis, genetic, lingkungan dan sosial (Nasir & Muhidt, ). Sumber
lain menyatakan model medical meyakini bahwa penyimpangan
perilaku merupakan manivestasi dari gangguan sistem syaraf pusat
(SSP). Dicurigai bahwa depresi dan schizoprenia dipengaruhi oleh
transmisi impuls neural, serta gangguan synapticDengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa tampilan perilaku menyimpang yang muncul dapat
disebabkan oleh penyakit biologis dengan gejala yang timbul
merupakan akibat dari kombinasi faktor fisiologis, genetic, lingkungan
dan sosial.

c) Proses Terapi Medis


Proses terapi medis pada model medikal sama halnya dengan
ketika membuat asuhan keperawatan. Diawali dengan dengan anamnesa
dimana sesuai penyebab gangguan jiwa yaitu sosial, hal yang perlu
dikaji antara lain adalah riwayat penyakit gangguan jiwa, riwayat
medis, pemeriksaan sistem tubuh atau pemeriksaan fisik dan status
mental pasien. Data tambahan dapat diperoleh dari orang terdekat
maupun dari rekam medis terdahulu jika ada. Data pendukung lainnya
bisa didapatkan dari pemeriksaan diagnostik yang lain. Lalu diagnosa
ditegakkan sambil mengamati perilaku pasien.

Setelah diagnosa dibuat sesuai dengan ICD 10 maka pengobatan


dimulai oleh para dokter dan sesuai dengan rencana pengobatan dibantu
dengan anggota medis lainnya yang dapat menyumbangkan keahlian
mereka. Terapi dapat dihentikan jika keadaan pasien mulai membaik
setelah suatu program pengobatan dan terapi suportif, namun pasien
yang lain mungkin memerlukan terapi jangka panjang diantaranya
terapi farmakologi dan penatalaksanaan laboratorium.

Diagnosa penyakit dilandasi dengan kondisi yang ada dan riwayat


penyakit serta hasil dari pemeriksaan laboratorium, pengobatan meliputi
(Stuart, 2002, Hal 403):

1. Pemeriksaan diagnostik
2. Terapi somatik
3. Farmakoterapi
4. Terapi interpersonal

c. Model Psikoanalisa

a) Pengertian teori psikoanalisa


Teori psikoanalis merupakan teori yang dikembangkan pertama
kali oleh Sigmund Freud.Psikoanalis pada awalnya merupakan terapi
yang dilakukan oleh Freud dengan tujuan untuk untuk mengeluarkan
emosi atau memori yang terpendam dalam rangka membantu pasien
untuk sembuh (McLeod, 2018).Secara sederhana terapi psikoanalisis
berfokus kepada mengeluarkan memori dan emosi yang berada dalam
alam bawah yang dimiliki pasien.

b) Konsep utama teori psikoanalisa


Freud mengembangkan konsep lainnya yang berhubungan
dengan konsep alam bawah sadar dan sadar yang sebelumnya yaitu Id,
Ego dan superego. Id bekerja pada tingkat unconscious yang hanya
berfokus kepada keinginan instingtual (Lopes & Cutcliffe, 2018).
Terdapat dua insting biologis pada tingkat Id yaitu eros yang
merupakan insting yang mendorong manusia untuk melakukan
aktivitas bertahan hidup dan thanatos atau insting kematian yang
mendorong manusia melakukan perilaku destruktif, agresif dan kasar
(Townsend, 2018). Superego merupakan sifat seseorang yang
merefleksikan moral, etika, nilai, pola asuh serta standar sosial
(Videback, 2011). Sementara ego adalah kemampuan
menyeimbangkan ego dan superego (Lopes & Cutcliffe, 2018).Ego
menunjukan kedewasaan serta perilaku adaptif yang dapat membuat
seseorang menjalani kehidupannya dengan baik (Videback, 2011).
Freud berpendapat bahwa karakter individu yang terbentuk sebagai
hasil konflik dari conscious, subconscious dan unconscious
(Videback, 2011).

c) Mekanisme pertahanan menurut teori psikoanalisa


Beberapa jenis mekanisme pertahanan adalah kompensasi,
konversi, represi, denial, proyeksi, displacement, regresi dan
sublimasi. Kompensasi yaitu prestasi berlebih di suatu bidang untuk
menutupi kekurangan dibidang lain (Videback, 2011) .

Selanjutnya Freud juga membangun sebuah konsep mengenai


transference dan countertransference yang dapat terjadi dalam
interaksi pasien dengan terapis seperti perawat atau dokter.
Transference terjadi ketika klien mengarahkan sikap dan perasaannya
kepada terapis yang pada dasarnya sikap dan perasaan tersebut klien
miliki untuk orang lain (Freud, 1923 dalam Videback, 2011)..
Transference juga dapat berbentuk sikap ketergantungan yang tinggi
kepada peraawat (Townsend, 2018).Sementara countertransference
merupakan situasi dimana terapis mengarahkan perasaan dan sikap
yang berasal dari masa lalunya (Freud, 1923 dalam Videback, 2011).

d. Model Suportif

a) Definisi Teori Terapi Suportif


Teori terapi suportif pertama kali dikemukakan oleh Wermon
Rockland yang berpendapat bahwa penyebab gangguan jiwa pada
seseorang dikarenakan factor biopsikososial dan respon maladaptive
saat ini. Menurut Kusumawati dan Hartono (2012) teori suportif
adalah membahas tentang faktor biopsikososial dan respons
maladaptive dari klien. Penyebab gangguan jiwa dalam teori ini terdiri
dari aspek biologis, psikologis dan sosial.
Jadi konsep dari teori suportif adalah perawat membantu klien
dalam mengenal dan mengidentifikasi hal positif dan kekuatan
kekuatan yang ada di dalam diri klien dengan pendekatan hubungan
saling percaya dan empati untuk mencari jalan alternative pemecahan
masalah dengan memperhatikan tanda tanda yang muncul berdasarkan
faktor biopsikososial dan respon maladaptif pada klien, sehingga
dapat merubah mekanisme koping klien dari maladaptif menjadi
adaptif.
b) Konsep Teori Terapi Suportif
Menurut Nasir dan Muhith (2011) Prinsip yang diterapkan dalam
teori ini adalah dengan menguatkan respon adaptif individu dengan cara
indvidu diarahkan oleh perawat untuk mengenal serta mengidentifikasi
kekuatan kekuatan yang ada dalam dirinya, dan memilih kekuatan mana
yang dapat menjadi alternatif jalan pemecahan masalah. Perawat
menggunakan pendekatan hubungan saling percaya dan empati untuk
menumbuhkan mekanisme koping adaptif dalam diri individu.
Mekanisme koping adalah suatu cara yang dilakukan oleh
seseorang untuk memecahkan suatu masalah, mengatasi suatu
perubahan dan situasi yang mengancam baik kognitif ataupun perilaku
yang terjadi.
Strategi koping bervariasi antara individu satu dengan lainnya dan
berhubungan dengan persepsi individu terhadap kejadian yang
menimbulkan stress. 3 pendekatan yang digunakan untuk menghadapi
stress adalah mengubah stressor, beradaptasi dengan stresor, atau
menghindari stressor. Strategi koping individu sering kali berubah
kembali terhadap situasi. Koping individu dapat dibedakan menjadi
adaptif dan maladaptive. Koping adaptif membantu individu
menghadapi kejadian dan meminimalkan distress, koping maladaptive
dapat menyebabkan distress yang tidak seharusnya individu alami
(Kozier et al, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh David et all (2004) mengemukakan
bahwa terapi suportif pada klienskizofrenia dapat mengakibatkan
pengobatan klien skizofrenia menjadi lebih efektif dengan pendekatan
sosial dimana terapi suportif secara tidak langsung mengerahkan
dengan mengatasi kekhawatiran klien mengenai tempat dia berada
didunia sosial atau dengan orang lain dengan merubah pola pikir.

c) Tujuan terapi suportif


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh David et all (2009)
mengemukakan bahwa tujuan utama dari peningkatan terapi suportif
adalah untuk meningkatkan integrasisosial klien kedalam masyarakat
dengan menyediakan lingkungan yang mendukung bagi klien dan
membantu klien merasa lebih puas dengan tingkat sosial.
Setelah merumuskan tujuan yang ingin dicapai, klien dan perawat
berfokus terhadap integritas sosial, dilakukan secara konsisten.
Penerapan teori suportif ini sangat bermanfaat bagi klien yang
mempunyai masalah dalam pencapaian koping adaptif. Ketika kita
berada dilahan klinik rumah sakitar maupun lingkungan masyarakat
kita dapat menerapkan teori suportif tersebut.
Kekhawatiran klien dalam hal peneriman sosial menjadi masalah
tersendiri, dimana klien merasa khawatir jika masyarakat atau sosial
tidak menerima terhadap keberadaanya.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh David et all (2004)
mengatakan bahwa terapi suportif pada klien skizofrenia dapat
mengakibatkan pengobatan klien skizofrenia menjadi lebih efektif
dengan pendekatan sosial dimana terapi suportif secara tidak langsung
mengerahkan dengan mengatasi kekhawatiran klien mengenai tempat
dia berada didunia sosial atau dengan orang lain dengan merubah pola
pikir.
Keberhasilan dalam penerapan terapi ini tentu saja tidak lepas dari
peran perawat sebagai terapis dalam mengidentifikasi tanda
bisopsikososial yang muncul, serta mengarahkan respon maladaptive
klien menjadi respon adaptif.

d) Indikasi Terapi Suportif


Indikasi terapi suportif bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Klinberg (2010) adalah bertujuan untuk control suatu kondisi pada klien
dengan potensi pertumbuhan dan perkembangan, masalah keperawatan
resiko, serta masalah kesehatan jiwa dan fisik.
BAB 3
PEMBAHASAN

Menurut kelompok dalam pembahasan kasus ini bahwa pasien mengalami


resiko bunuh diri karena ada perselisihan keluarga dengan orang tuanya. Setelah
diperiksa selain mengalami sakit psikis juga mengalamai sakit fisik yakni
dibuktikan dengan hasil CT SCAN menunjuja pasien mengalami ulkus
larisng,mulut dan lambung.

Menurut (Franklin,Huang, & Bastidas, 2019) faktor bunuh diri adalah


seseorang yang dimanipulasi bisa beresiko untuk melakukan bunuh diri. Dan
pasien termasuk kepada kasus manipulasi keluarga . terbukti ketika ibunya
melaporkan bahwa dia orang yang impulsif dan emosional. Sedangkan dari kasus
diatas ada beberapa teori yang penulis gunakan antara lain teori Medikal,
Psikoanalisi dan teori Suportif.

Sesuai data diatas didapatkan diagnosa keperawatan jiwa yaitu Resiko


Bunuh Diri. Pada kasus ini asuhan keperawatan yang digunakan dapat
mengguankan pendekatan pendekatan tersebut:

Penedekatan yang pertama yakni pendekatan medikal , model medikal


dalam kasus ini dapat diterapkan sebagai penatalaksanaan pada masalah fisik yang
dialami oleh pasien.. Pada kasus diatas didapatkan beberapa data diantaranya
adalah data subjektif dimana ibu pasien menyatakan bahwa pasien menelan
pembersih toilet karena perselisihan dengan keluarga yang dipicu masalah
pernikahan, pasien menyatakan bahwa dirinya merasa stres dan ibu pasien
menambahkan bahwa anaknya adalah tipe orang yang impulsive dan emosional.
Selain itu pasien mengeluh susah bernafas dan suasana hati yang mudah berubah.

Dalam teori medical dijelaskan bahwa penatalaksanaan dapat dilakukan


apabila sudah ditetapkan diagnose medis. Proses penatalaksanaan medis dimulai
dari pengkajian, untuk mengumpulkan data subjektif dan data objektif. Lalu
dirumuskan diagnose medis dengan menggunakan ICD 10. Setelah diagnose
dibuat, pengobatan dimulai oleh para dokter yang sesuai dengan rencana
pengobatan. Sedangkan pada kasus diatas belum tertera diagnose medis dari
pasien tersebut. Pada teori lama menyatakan bahwa penatalaksanaan gangguan
jiwa meneggunakan model medical hanya menggunakan terapi somatic dan
farmakoterapi. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan pemeriksaan dan
penatalaksanaannya melalui banyak hal diantaranya pemeriksaan diagnostic,
terapi somatic, farmakologik dan terapi interpersonal. (Ah. Yusuf, 2015).

Sehingga peran perawat dalam hal ini dapat terlaksana jika sudah ditentukan
diagnose pasien oleh dokter. Penatalaksanaan kesehatan jiwa seharunya bersifat
holistic yaitu mempertimbangkan kebutuhan fisik, emosi, sosial, ekonomi dan
spiritual. Maka, peran perawat sesuai dengan model medical dalam asuhan
keperawatan pada kasus ini terfokus pada kebutuhan fisik. Kebutuhan fisik jika
dikerucutkan kembali pada model medical adalah berupa pemenuhan KDM dan
health education pada pasien dan keluarga tentang asuhan keperawatan serta
farmakoterapi yang akan dilakukan.

Diagnosa keperawatan yang pertama yang dapat diambil dari kasus diatas
adalah pola nafas tidak efektif didukung dengan pernyataan pasien yang susah
bernafas. Pola nafas tidak efektif pada kasus ini berhubungan dengan
perubahan/gangguan pada sistem pernafasan bagian atas dibuktikan dengan
adanya kerusakan pada ulkus laring yang berfungsi menyaring, menghangatkan
dan melembabkan udara yang dihirup. Intervensi keperawatan yang dapat
diberikan adalah yang pertama dengan monitor vital sign, catat apabila terdapat
perubahan respirasi rate seperti bradipnea, dispneu, atau ortopneu. Peningkatan
atau penurunan suhu tubuh, hipertensi atau hipotensi, kecepatan nadi dan detak
jantung. Yang kedua auskultasi suara nafas dan  catat adanya suara nafas
tambahan berupa wheezing, ronkhi, gargling, stridor, crackles, . Yang ketiga
dengan posisikan pasien semi fowler untuk memaksimalkan ventilasi sehingga
udara yang masuk pada paru-paru pasien lancar. Yang keempat dengan
pertahankan jalan nafas yang paten. Yang kelima observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi, tanda-tanda hipoventilasi antara lain adalah pusing, nyeri kepala
(dapat dirasakan di daerah oksipital hanya saat terjaga), letargi, disorientasi,
penurunan kemampuan mengikuti instruksi , disritmia jantung,
ketidakseimbangan elektrolit, konvulsi, koma, henti jantung. Yang keenam
dengan kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen sesuai dengan advis dokter.

Diagnose keperawatan yang kedua adalah resiko nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh dengan pasien menolak makan dan menunjukkan rasa tidak suka
dengan diet cair yang diberikan oleh ahli gizi. Ini bisa saja terjadi berhubungan
dengan faktor biologis yaitu keadaan pasien yang mengalami ulkus mulut dan
lambung. Intervensi yang bisa dilakukan pada diagnose keperawatan yang kedua
ini adalah yang pertama Nutrtition Management : mengkaji adanya alergi
makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk mennetukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien, yakinkan diet yang dimakan mengandung nilai gizi yang
sesui, berikan makanan sesuai keinginan pasien tetapi tetap dikonsulkan ahli gizi
dan sesuai kebutuhannya, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi (NIC, 2017)

Pendekatan metode yang kedua yakni menggunakan psikoanalisa. Pada


kasus diatas terdapat data berupa percobaan bunuh diri dengan menelan
pembersih toilet akibat perselisihan keluarga, perencanaan pernikahan,
keengganan klien bercerita alasan bunuh diri, klien menyatakan cemas dan
merasakan perubahan suasana hati, ibu klien menyatakan klien adalah orang
impulsive dan emosional. Berdasarkan data diatas, terdapat beberapa data yang
dapat dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis.Pertama, pernyataan
klien enggan menyatakan alasan bunuh diri.Pada data ini terdapat mekanisme
pertahanan diri dilakukan pasien ketika berinteraksi dengan perawat yaitu
avoidance (menghindar).Mekanisme pertahanan diri ini merupakan bentuk
mekanisme pertahanan dengan menghindari berhadapan dengan perasaan tidak
nyaman baik pada situasi maupun objek.Pada data ini perawat perlu melakukan
pengkajian apakah perasaan tidak nyaman ini timbul dari keengganan klien
mengingat situasi yang tidak menyenangkan, ketidaknyamanan situasi saat
interaksi saat perawat dan klien berinteraksi atau disebabkan ketidaknyamanan
klien dengan perawat.Penyebab keengganan klien perlu dikaji agar perawat dapat
menentukan intervensi dengan tujuan kesediaan klien menceritakan kondisinya
sehingga perawat dapat mendapatkan data tambahan yang diperlukan dalam
penegakan diagnosa serta melakukan intervensi keperawatan yang tepat.Data
kedua yaitu, klien menyatakan bahwa ia merasa stress sehingga mencoba bunuh
diri serta data sekunder dari ibu klien bahwa klien bersifat impulsive dan
emosional. Percobaan bunuh diri merupakan salah satu bentuk mekanisme
pertahanan diri yang dilakukan oleh pasien.Pada teori psikoanalisa, ego
merupakan askpek kepribadian yang berhadapan langsung dengan
kenyataan.Selain itu, ego harus mampu menyeimbangkan dua permintaan antara
id dan superego.Id merupakan bagian kepribadian yang berusaha untuk memenuhi
semua keinginan dan meraih kesenangan.Id merupakan dasar kepribadian yang
tidak mempedulikan kesesuaian sosial, moral atau kenyataan demi memenuhi
keinginan dan kebutuhan.Sementara superego berusaha untuk membuat ego
bekerja sesuai dengan moral dan aturan sosial yang berlaku.Supergo terbentuk
dari internalisasi nilai moral yang didapatkan dari orang tua, anggota keluarga
yang lain, agama, dan juga sosial. Maka kemudian, ketika ego tidak dapat
menyeimbangkan tuntutan keinginan dari Id dan batasan realitas serita standar
moral yang dimilliki individu, akan muncul ansietas. Ansietas adalah perasaan
tidak nyaman yang berusaha dihindari oleh individu. Ansietas akan bekerja
sebagai sinyal kepada ego terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya.
Akibatnya, ego akan mengeluarkan mekanisme pertahanan yang berfungsi untuk
mengurangi perasaan ansietas. Menurut Freud, meskipun individu paham paham
bahwa ia sedang menggunakan mekanisme pertahanan, tetapi mekanisme ini
umumnya muncul dan bekerja tanpa disadari individu untuk memutarbalikkan
kenyataan. Pada kasus ini, mekanisme pertahanan yang digunakan oleh klien
adalahacting out.Acting outmerupakan mekanisme pertahanan dimana individu
melakukan koping stress dengan melakukan tindakan dibandingkan menceritakan
konflik batin yang dialaminya. Umumnya, perilaku yang dilakukan adalah
tindakan destruktif baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Hal ini ditandai
dengan pernyataan klien yaitu merasa stress dan ingin bunuh dirikemudian
dibuktikan dengan melakukan meminum cairan pembersih toilet.Maka pada saat
ini, perawat dapat melihat bahwa mekanisme koping yang dilakukan oleh klien
merupakan koping maladaptive.Koping maladaptive merupakan bentuk koping
yang tidak dapat menyelesaikan masalah atau bahkan menambah permasalahan
klien. Maka pada saat ini, perawat perlu melakukan proses keperawatan terkait
permasalahan tersebut.

Diagnosa keperawatan pertama menurut pendekatan psikoanalisa yang


muncul pada permasalahan ini adalah resiko bunuh diri.Kriteria evaluasi
keberhasilan intervensi adalah pasien mengakui pikiran dan perasaan bunuh diri,
respons pasien terhadap rencana perawatan untuk mengurangi risiko perilaku
bunuh diri, pasien mengungkap semua keinginan untuk melukai diri sendiri dan
segera melaporkan kepada staf. Pengkajian yang perlu dilakukan kepada pasien
adalah tanyakan kepada pasien untuk mengevaluasi potensi melukai diri sendiri,
observasi faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan melakukan percobaan
bunuh diri, tentukan stressor yang berpengaruh, mengkaji kebutuhan untuk
dirawat inap dan melakukan safety precaution, mengkaji semua sumber daya
pendukung yang tersedia bagi pasien, mengkaji kemampuan pasien dalam
membuat keputusan dan penyelesaian masalah. Intervensi yang diperlukan adalah
pertama, supervisi pasien secara ketat, sediakan lingkungan yang aman, sediakan
kesempatan bagi pasien menyatakan pikiran dan perasaannya tanpa menghakimi,
bentuk kontrak verbal atau tulisan yang menyatakan bahwa pasien tidak akan
melukai diri sendiri, perawat bersama pasien lebih sering, tolak keinginan pasien
untuk membuat keputusan saat stress berat, bantu pasien menyelesaikan masalah
dengan cara konstruktif, atur pasien agar dapat bersama keluarga atau teman,
edukasi pasien penggunaan medikasi secara tepat, hubungi anggota keluarga
untuk menjadwalkan konseling bagi klien dan keluarga, edukasi pasien mengenai
respon manajemen cognitive-behaviour serta perkenalkan dengan metode ekspresi
diri untuk mengelola perasaan ingin bunuh diri.

Diagnosa keperawatan kedua adalah koping individu inefektif.Kriteria


evaluasi keberhasilan intervensi adalah pasien mengkomunikasikan kebutuhan
dan bernegosiasi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, pasien
mendeskripsikan dan memulai strategi koping efektif, pasien mendeskripsikan
hasil positif dari perilaku baru, pasien focus pada masa saat ini, pasien
mengidentifikasi kekuatan personal dan menerima dukungan dari hubungan
keperawatan, pasien membuat keputusan dan menindaklanjuti dengan tindakan
yang tepat untuk mengubah situasi provokatif di lingkungan pribadi, pasien
menggunakan sumber daya yang tersedia dan sistem pendukung, serta pasien
mengungkapkan perasaan yang terkait dengan keadaan emosi.Pengkajian yang
perlu dilakukan oleh perawat adalah pertama mengkaji karakteristik (respon
perilaku dan fisiologis) yang menentukan.Kedua, mengkaji pengaruh kepercayaan
budaya, dan persepsi pasien terhadap koping efektif. Ketiga, amati penyebab dari
penanganan yang tidak efektif seperti konsep diri yang buruk, kesedihan,
kurangnya keterampilan memecahkan masalah, kurangnya dukungan, atau
perubahan terbaru dalam situasi kehidupan. Keempat, mengkaji masalah keluarga
antar generasi yang dapat melebihi kemampuan pasien mengatasi masalah.Kelima
mengidentifikasi stressor spesifik.Keenam, mengkaji kekuatan seperti
kemampuan untuk menghubungkan fakta dan untuk mengakui sumber penyebab
stress.Ketujuh, tentukan pemahaman pasien tentang situasi stres.Kedelapan,
analisis penggunaan mekanisme koping di masa lalu termasuk pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah. Kesembilan, pantau adanya risiko melukai
diri sendiri atau orang lain dan intervensi bila diperlukan.Kesepuluh,
mengevaluasi sumber daya dan sistem pendukung yang tersedia untuk
pasien.Kesebelas, nilai kecenderungan bunuh diri. Intervensi kesehatan yang
dapat dilakukan perawat adalah mengatur hubungan kerja dengan pasien melalui
kesinambungan perawatan, bantu pasien menentukan tujuan realistis,
mengindetifikasi kemamapuan dan pengetahuan personal. Ketiga sediakan
kesempatan untuk menyampaikan masalah, ketakutan, perasaan dan
harapan.Keempat, gunakan komunikasi terapeutik.Kelima, sampaikan perasaan
menerima dan mengerti dari perawat.Keenam, dorong pasien untuk membuat
keputusan dan berpartisipasi dalam perencanaan perawatan dan aktivitas
terjadwal.Ketujuh, dorong pasien untuk mengenali kekuatan dan
kemampuannya.Kedelapan, pertimbangkan aktivitas fisik dan mental sesuai
kemampuan pasien seperti membaca atau menonton film. Kesembilan, bantu
pasien untuk mengevaluasi situasi dan pencapaian pasien secara akurat.
Kesepuluh, sediakan informasi yang diinginkan dan dibutuhkan pasien.
Kesebelas, bantu pasien dalam menyelesaikan permasalahan dan cara konstruktif.
Keduabelas, diskusikan dengan pasien mengenai stressor sebelumnya dan
mekanisme koping yang digunakan.Ketigabelas, rujuk untuk konseling jika
diperlukan.

Konsep yang terahir yang dapat digunakan dalam kasus ini yaitu teori suportif.
Peran perawat membantu klien dalam mengenal dan mengidentifikasi hal positif
dan kekuatan kekuatan yang ada didalam diri klien dengan pendekatan hubungan
saling percaya dan empati untuk mencari jalan alternative pemecahan masalah
dengan memperhatikan tanda tanda yang muncul berdasarkan faktor
biopsikososial dan respon maladaptif pada klien, sehingga dapat merubah
mekanisme koping klien dari maladaptif menjadi adaptif.

Klien melakukan percobaan bunuh diri yang dipicu karena perselisihan


keluarga. Perawat sebagai terapis berfungsi membantu meningkatkan fungsi sosial
dan meningkatkan kemampuan koping. Perawat memfasilitasi dan mengkaji
aspek positif yang mengarah keperilaku adaptif serta menguatkan perilaku adaptif
tersebut sebagai kekuatan untuk memecahkan masalah.

Tahap pertama yang dilakukan oleh terapis adalah membangun aliansi


terapeutik, dimana perawat dan klien membangun hubungan saling percaya dan
empati agar terbuka dengan masalah yang ada. Perawat membina hubungan saling
percaya antara perawat dan klien. Melakukan pengkajian kepada klien dan
keluarga. Berdasarkan kasus yang ada klien bersifat impulsive dan emosional dan
mudah berubah perasaan hatinya. Klien diarahkan oleh terapis untuk
berpartisipasi aktif dengan melibatkan simpati keluarga dan sosial. Perawat juga
berdiskusi dengan keluarga pasien terkait permasalahan klien. Perawat
memberikan arahan dan mendiskusikan kondisi pasien kepada keluarga karena
keluarga sebagai support system utama terhadap keberhasilan terapi supportif.

Klien mencoba melakukan aksi bunuh diri. Tanda gejala menyimpang yang
ada pada klien dalam segi aspek biologis seperti kesulitan bernafas, ulkus laring,
mulut, dan lambung, penyimpangan psikologis yang muncul pada klien seperti
terjadi perubahan suasana hati, menolak makan dan emosional, klien mengatakan
stress serta perilaku impulsive. Sedangkan tanda gejala sosial kultural adalah
terjadinya perselisihan antara keluarga dan klien.

Perawat memberikan rasa empati kepada klien agar klien terbuka dengan
permasalahannya, perawat mengkaji aspek positif yang ada dalam diri klien, dan
menguatkan aspek postif tersebut sebagai koping adaptif untuk memecahkan
masalah yang mungkin muncul lagi, dimana seseorang yang pernah melakukan
resiko bunuh diri berkemungkinan melakukan bunuh diri lagi.

Pada tahap kedua perawat menyepakati tujuan interpersonal yang disepakati


bersama. Setelah perawat dan klien menyepakati tujuan yang ditetapkan. Perawat
bertugas sebagai support system dengan memfasilitasi klien menguatkan aspek
positif yang ada dengan melibatkan keluarga. Perawat membantu klien
membangun otonomi positif terhadap masalah. Focus utama dalam penyelesaian
kasus tersebut adalah dengan menguatkan support system dari keluarga serta
lingkungan.

Tahap ketiga dalam terapi suportif adalah berfokus pada integritas sosial
dengan mengidentifikasi langkah untuk mencapai tujuan interpersonal. Setelah
klien diarahkan dengan menguatkan aspek positif dan keluarga berperan dalam
memberikan dukungan kepada klien.
BAB 4
PENUTUP

a. Kesimpulan
Perilaku bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
mengakhiri hidup melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk hidup
atau mati. Seseorang yang melakukan tindakan menyakiti, menciderai diri
dan mengancam jiwanya memiliki risiko tinggi bunuh diri dan merupakan
keadaan kegawatdaruratan psikiatri.

Dalam melakukan asuhan keperawata, seorang perawat harus melihat


masalah dari bebrapa sudut pandang. Contohnya pada kasus diatas, bahwa
sebuah permasalahan tidak hanya selesai dengan menggunakan satu metode
pendekatan saja. Dalam kasus diatas, permasalahan dapat diselesiakan
dengan menggunakan tiga metode yaitu medical, psikoanalisa dan suportif.
Pada pendekatan medical lebih terfokus pada penatalaksanaan fisik dengan
diagnosa keperawtan yang muncul adalah pola nafas infektif dan nutrisi
kurang dari kebutuhan. Pada pendekatan model psikoanalisa berfokus pada
psikis pasien. Pada metode ini ditemukan diagnosa keperawatan resiko
bunuh diri dan koping individu tidak efektif. Pada metode ketiga yaitu
suportif yang berfokus pada perawat membantu klien dalam mengenal dan
mengidentifikasi hal positif dan kekuatan kekuatan yang ada di dalam diri
klien sehingga tidak terulang kembali percobaan bunuh diri yang dilakukan
pasien.

b. Saran
Disarankan perawat tidak hanya berfokus menyelesaikan masalah
keperawatan hanya dengan menggunakan satu metode saja. Sebab sejatinya
asuhan keperawatan harus bersifat holistic yang didalamnya memuat
seluruh aspek. Sehingga metode pendekatan sebenarnya saling melengkapi
satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

David, L Penn., Kim T., Musser., Nick Tarrier., Andrew Gleoge,CorrineCather.,


Daniel Serrano., and Michael W. Otto.2004. Supportive therapy for
schizophrenia : possible mechanism and implications for adjunctive
psychososialreatments. Schizophreniaa bulletin vol 3o no 1.
Klingberg, S., Jakobi, UE., Wittorf, A.2010. Suppotive therapy for schizophrenic
disorder. Verhalstentherapy 2010. DOI 10.1159/000318718
Kozier, Barbara., Glenora B.A., Snyder, A.2011. Fundamental of
nursingconcepts, prosess, and practice.Jakarta : EGC
Kusumawat.F dan Hartono.Y. 2012. Buku ajar keperawatanjiwa.Jakarta :
salembamedika
Lopes, J., Cutcliffe, J. R 2018. European psychiatric/mental health nursing in the
21st century: A person-centred evidance-based approach, Switzerland,
Springer.
McLeod, S. A. (2018, May 21). Carl Jung. Retrieved from
https://www.simplypsychology.org/carl-jung.html
Nasir.A. dan Muhit. A .2011. Dasar-dasarkeperawatanjiwapengantar dan
teori.Jakarta :salembamedika
Stuart, G. W. (2002). Principle and practice of psychiatric nursing. St Louis
Missouri: Elsevier Mosby.

Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of psychiatric nursing. St Louis


Missouri: Elsevier Mosby.

Townsend, M. C. A. M., K. I. 2018. Psychiatric mental health nursing: Concepts


of care in evidence-based practice, Philadelphia, F.A. Davis company.
Videbeck, S. L. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
.
Yosep Iyus. 2009. Keperawatan jiwa. Bandung. Refika Aditama

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai