Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PRAKTIKUM

ZOONOSIS

“PEMBUATAN SEDIAAN DARAH FILARIASIS”

OLEH
NAMA : MUHAMMAD DWI KURNIAWAN
NIM : AK1018030
SHIFT/KELOMPOK : 1/1II
SEMESTER : IV B

YAYASAN BORNEO LESTARI


AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI
D-III TENAGA LABORATORIUM MEDIK
BANJARBARU
2019
I. Judul praktikum
Pembuatan Sediaan Darah Filariasis

II. Waktu pelaksanaan


Selasa, 17 Maret 2020

III. Tujuan
Agar Mahasiswa dapat membuat sediaan darah untuk pemerikasaan filariasis
serta mahasiswa dapat melakukan pewarnaan terhadap sediaan tersebut dengan
menggunakan pewarna giemsa 10 %

IV. Prinsip
Untuk membuat sediaan pemeriksaan filariasis, ambil darah kapiler kira-kira
20-60 mikron di teteskan di tiga titik objek glass. Kemudia di tarik kebawah tetesan
darah tadi lalu kerinngkan dan biarkan hingga mengering. Dan untuk melakukan
pewarnaan maka objek glaas tadi ditambahkan giemsa 10 % dan dibiarkan 15-30
menit. Kemudian dibilas dengan aquades.

V. Dasar Teori
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat
seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing
filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat
menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik.
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.
Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah
maupun lingkungan luar rumah. Faktor lingkungan dalam rumah meliputi
lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, pencahayaan, serta kelembaban, sehingga
mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.
Lymphatic filariasis atau lebih dikenal sebagai penyakit kaki
gajah(elephantiasis) adalah penyakit infeksi akibat cacing filaria (mikrofilaria).
Ada 3 spesies mikrofilaria penyebab penyakit ini yaitu Wuchereria bancrofti,Brugia
malayi, dan Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun
lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi.
Manusia terinfeksi melalui gigitan nyamuk vektor yang mengandung larva
infektif (L3) dari spesies mikrofilaria tersebut. Meskipun jarang menimbulkan
kematian, cacing filaria yang berkembangbiak di dalam pembuluh limfe akan
menyebabkan kerusakan dan penyumbatan pada saluran limfatik. Pada stadium
akhir dari kasus kronis sering ditemukan pembengkakan (kecacatan) pada kaki,
tangan, maupun organ genital.
VI. Alat dan Bahan
A. Alat
 Cover Glass
 Object Glass
 Pipet Tetes
 Jarum lancet
 mikroskop
 rak pewarnaan
 Beaker glass
B. Bahan
 Giemsa 10%

VII. Cara Kerja


1) Tusuk jari dengan menggunakan blood lancet ( 1 blood lancet untuk 1 orang)
2) Kira-kira ambil 20-60μl darah kapiler
3) Dengan darah 20-60μl kapiler, bentuk tiga garis sejajar darah sepanjang slide.
4) Keringkan di udara terbuka. Setelah itu
5) Lakukanlah pewarnaan dengan larutan Giemsa 1 : 9 (Giemsa 10%), selama
kurang lebih 15-30 menit.
6) Lalu keringkan lagi setelah itu periksan di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100X
7) Slide positif juga bisa di simpan sebagai catatan permanen

VIII. Hasil dan Pembahasan


Setelah melakukan praktikum Pembuatan Sediaan pemeriksaan Filariasis.
Didapatkan hasil sebagai berikut.

Sediaan darah filariasis yang sudah dilakukan pewarnaan dengan giemsa 10%

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu


terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang
masuk ke dalam tubuh adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum
perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase
dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan
infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran dan
kerusakan kelenjar, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe
kecil yang terdapat dikulit
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria hidup dalam darah.
Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia
disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori.
Penderita filariasis bisa tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis), hal ini
disebabkan oleh kadar mikrofilaria yang terlalu sedikit dan tidak terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium atau karena memang tidak terdapat mikrofilaria dalam
darah. Apabila menimbulkan gejala, maka yang sering ditemukan adalah gejala akibat
manifestasi perjalanan kronik penyakit. Gejala penyakit pada tahap awal (fase akut)
bersifat tidak khas seperti demam selama 3-4 hari yang dapat hilang tanpa diobati,
demam berulang lagi 1-2 bulan kemudian, atau gejala lebih sering timbul bila pasien
bekerja terlalu berat. Dapat timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau
ketiak dengan tidak ada luka di badan. Dapat teraba garis seperti urat dan berwarna
merah, serta terasa sakit dari benjolan menuju ke arah ujung kaki atau tangan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya rnikrofilaria dalam darah
tepi, kiluria, eksudat, varises limfe, dan cairan limfe dan cairan hidrokel, atau
ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjer limfe atau pada penyinaran
didapatkan cacing yang sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu,
pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5 - 15%. Selain itu juga
melalui tes intradermal dan tes fiksasi komplemen dapat rnembantu rnenegakkan
diagnosis.
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular (manusia dan
hewan), parasit, vektor, manusia yang rentan, lingkungan (fisik, biologik dan sosial-
ekonomi-budaya) (Natadisastra, dkk, 2009). Filariasis tidak langsung menular orang
ke orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk pada saat mikrofilaria berada
pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi
awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang
terinfeksi
Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis
yang dapat dilakukan adalah:
1) Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan
pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara.
2) Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari
oleh petugas kesehatan.
3) Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
4) Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk
penular.
5) Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu
pada saat tidur
IX. Kesimpulan

Setelah melakukan praktikum pembuatan sediaan pemeriksaan filariasis, kita


dapat mengetahui cara pembuatan sediaan untuk pemeriksaan filariasis. Penyakit ini
disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kelenjar getah bening dan darah

Banjarbaru, 17 Maret 2020

Dosen Pengampu Praktikan

Dian Nurmansyah, S.ST, M.Biomed Muhammad Dwi Kurniawan


DAFTAR PUSTAKA

 Hidayah, Suci Nur. 2014. Filariasis


https://www.academia.edu//9396361/
Diakses Pada Tanggal 17 Maret 2020

 Setiawan, Budi. 2014. Pemeriksaan Sediaan Darah Filariasis


https://www.academia.edu/8498972/
Diakses Pada Tanggal 17 Maret 2020

 Khoirullisani, Nisa. 2017. Malaria dan Filariasis


https://www.academia.edu/36113763/
Diakses Pada Tanggal 17 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai