Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN

AKTIVITAS AKIBAT PATOLOGIS SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN


DIAGNOSIS MEDIS OSTEOPOROSIS DAN OSTEOMIELITIS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, bimbingan,
petunjuk dan penyertaan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Kebutuhan Aktivitas Akibat Patologis
Sistem Muskuloskeletal Dengan Diagnosis Medis Osteoporosis dan Osteomielitis” dengan baik.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini baik teman-teman, dosen dan semua yang telah membantu yang kami
tidak bias sebut satu persatu.
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat digunakan dengan sebaik-
baiknya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini belumlah sempurna untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah
selanjutnya.
Jakarta, Agustus 2017
Tim penyusun iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................................1

B. Tujuan ....................................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Kebutuhan Akivitas ................................................................................................................4
B. Gangguan Kebutuhan Aktivitas ...........................................................................................7
C. Perbedaan Gangguan Aktivitas Pada Pasien Osteoporosis DanOsteomielitis .......................7

OSTEOPOROSIS
A. Definisi Osteoporosis ..............................................................................................................8
B. Jenis-Jenis Osteoporosis .........................................................................................................9
C. Etiologi Osteoporosis ............................................................................................................11
D. Manifestasi Klinis .................................................................................................................12
E. Patofisiologi ..........................................................................................................................14
F. Faktor-Faktor Osteoporosis ..................................................................................................17
G. Komplikasi Osteoporosis ......................................................................................................19
H. Penatalaksanaan ....................................................................................................................20
I. Pemerikasaan Penunjang ......................................................................................................23
J. Konsep Asuhan Keperawatan ...............................................................................................24

OSTEOMIELITIS
A. Definisi Osteomielitis ...........................................................................................................26
B. Klasifikasi Osteomielitis .......................................................................................................27
iv
C. Etiologi Osteoporosis ............................................................................................................27
D. Manifestasi Klinis .................................................................................................................28
E. Patofisiologi ..........................................................................................................................28
F. Penatalaksanaan ....................................................................................................................20
G. Pemerikasaan Penunjang .....................................................................................................23
H. Konsep Asuhan Keperawatan ..............................................................................................24

BAB III KASUS


A. Kasus Osteoporosis ..............................................................................................................37
B. Kasus Osteomielitis ..............................................................................................................47

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................................................58
B. Saran ....................................................................................................................................58

DAFTAR
PUSTAKA ....................................................................................................................592
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kebutuhan Akivitas

Kebutuhan Aktivitas (Mobilisasi) adalah kemampuan seseorang untuk berjalan bangkit berdiri
dan kembali ke tempat tidur, kursi, kloset duduk, dan sebagainya disamping kemampuan
menggerakkan ekstremitas atas (Kozier, 2014). Kebutuhan Aktivitas (Mobilisasi) dini menurut
Carpenito tahun 2000 adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan
cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Kebutuhan aktivitas atau pergerakan dan istirahat tidur merupakan suatu kesatuan yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan
seseorang tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan musculoskeletal. Aktivitas
adalah suatu energy atau keadaan bergerak di mana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup.
Menurut Hidayat (2014) sistem tubuh yang berperan dalam kebutuhan aktivitas sebagai berikut:
1. Tulang

Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi mekanis untuk membentuk
rangka dan tempat melekatnya berbagai otot, fungsi sebagai tempat penyimpanan mineral
khususnya kalsium dan fosfor yang bisa dilepaskan setup saat susuai kebutuhan, fungsi tempat
sumsum tulang dalam membentuk sel darah, dan fungsi pelindung organ-organ dalam.
Terdapa tiga jenis tulang, yaitu tulang pipih seperti tulang kepala dan pelvis, tulang kuboid
seperti tulang vertebrata dan tulang tarsalia, dan tulang panjang seperti tulang femur dan tibia.
Tulang panjang umumnya berbentuk lebar pada kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian
ujung tulang panjang dilapisi kartilago dan secara anatomis terdiri dari epifisis, metafisis, dan
diafisis. Epifisis dan metafisis terdapat 5
pada kedua ujung tulang dan terpisah dan lebih elastic pada masa anak-anak serta akan menyatu
pada masa dewasa.
a. Strutur Tulang

Struktur tulang yang normal terbentu dari sel-sel yang kompak dan solid yang dikelilingi oleh
jaringan pengikat dan batang tulang (tulang pembentuk tulang). Pada keadaan normal, sel-sel
tulang osteoblast maupun osteoklas bekerja secara silih berganti, saling mengisi, seimbang
sehingga tulang menjadi utuh. Tulang merupakan struktur hidup yang didalamnya terdapat
protein, mineral, terutama alsium dan fosfor. Kandungan protein dan mineral tersebut
menyebabkan tulang menjadi keras dan padat. Untuk mempertahankan kepadatan tulang,
diperlukan pada beberapa hormone kalsitonin, estrogen, dan testosterone. Jika tubuh tidak
mampu mengatur kandungan zat gizi tersebut (protein dan mineral) dalam tulang maka tulang
akan menjadi kurang padat dan rapuh (Wirakusumah, Emma).
Struktur tulang penderita osteoporosis menjadi rapuh. Pengeroposan terjadi baik pada tulang
kompak maupun tulang spons. Erja osteoklas (sel penghancur struktur tulang) melebihi
osteoblast (sel pembentuk tulang) sehingga kehilangan massa tulang tidak dapat dihindari dan
kepadatan tulang menjadi berkurang. Akibatnya, 6
tulang menjadi keropos, tipis dan mudah mengalami patah, terutama pada tulang pergelangan,
tulang belakang.
2. Otot dan Tendon

Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh bergerak sesuai dengan
keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang, serta dihubungkan dengan tulang melalui
tendon yang bersangkutan, sehingga diperlukan penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi
kembali.
3. Ligamen

Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang. Ligament bersifat
elastic sehingga membantu fleksibilitas sendi dan mendukung sendi. Ligamen pada lutut
merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu jika terputus akanmengakibatkan
ketidakstabilan.
4. Sistem Saraf

Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan modula spinalis) dan sistem saraf tepi
(percabangan dari sistem saraf pusat). Setiap saraf memiliki somatic dan otonom. Bagian somatic
memiliki fungsi sensorik dan motorik. Terjadinya kerusakan pada sistem saraf pusat seperti pada
fraktur tulang belakang dapat menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan kerusakan saraf
tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah yang diinervisi, dan kerusakan pada saraf radial
akan mengakibatkan drop hand atau gangguan sensorik pada daerah radial tangan.
5. Sendi

Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat segmentasi dari
rangka tubuh dan memungkinkan gerakan antar segmen dan berbagai derajat pertumbuhan
tulang. Terdapat beberapa jenis sendi, misalnya sendi synovial yang merupakan sendi kedua
ujung tulang berhadapan dilapisi oleh kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup kapsul sendi
dan berisi cairan synovial. Selain itu, terdapat pula sendi bahu, sendi panggul, lutut, dan jenis
sendi lain sepertii sindesmosis, sinkondrosis dan simpisis. 7
B. Gangguan Kebutuhan Aktivitas

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap
pergerakan. Komponen utama sistem utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem
ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus
yang menghubungkan struktur-struktur ini. Beragamnya jaringan dan organ sistem
muskuloskeletal dapat menimbulkan berbagai macam gangguan. Beberapa gangguan tersebut
timbul pada sistem itu sendiri, sedangkan gangguan yang berasal dari bagian lain tubuh tetapi
menimbulkan efek pada sistem muskuloskeletal. Tanda utama gangguan sistem muskuloskeletal
adalah nyeri dan rasa tidak nyaman, yang dapat bervariasi dari tingkat yang paling ringan sampai
yang sangat berat (Price, Wilson, 2005).
C. Perbedaan Gangguan Aktivitas Pada Pasien Osteoporosis Dan Osteomielitis

Gangguan kebutuhan aktivitas pada pasien dengan osteoporosis akibat dari penyerapan tulang
lebih banyak daripada pembentukan tulang yang mengakibatkan penurunan massa tulang. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi olaps atau hancur dan
mengakibatkan osteoporosis, sehingga terjadi gangguan fungsi ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah. Dengan demikian,akan menimbulkan rasa nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Akibat dari rasa nyeri yang ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan aktivitas yaitu hambatan
mobilitas fisik.
Hambatan mobilitas fisik yang terjadi karena tulang mengalami deplesi terutama kalsium yang
memberikan kekuatan pada tulang, tanpa memperhatikan jumlah kalsium dalam, proses
demineralisasi terus berlanjut seiring dengan imobilitas. Tulang akan berongga dan secara
bertahap akan mengalami kerusakan bentuk dan mudah mengalami fraktur, sehingga pasien akan
mengalami gangguan aktivitas.
Jadi pada pasien osteoporosis tidak dianjurkan untuk melakukan aktivitas mengangkat beban
yang terlalu berat, dikarenakan pada pasien osteoporosis mengalami penurunan massa tulang
sehingga dapat menyebabkan fraktur.
Gangguan kebutuhan aktivitas pada pasien dengan osteomielitisadalah infeksi dari jaringan
tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang, dapat berupa eksogenus 8
(infeksi masuk dari luar tubuh, contohnya adanya port de entree luka terbuka) atau hematogenus
( infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Sehinggga kuman atau bakteri masuk kedalam tulang
dan medula tulang, akibat dari infeksi kuman menyebabkan osteomielitis atau peradangan tulang
pada, sehingga menyebabkan ketidakcukupan suplpai darah dan menyebabkan kematian jaringan
tulang kaki.sehingga terjadi gangguan fungsi ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah.
Dengan demikian, akan menimbulkan rasa nyeri tulang dan kelainan bentuk. Akibat dari rasa
nyeri yang ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan aktivitas yaitu hambatan mobilitas fisik.
OSTEOPOROSIS
A. Definisi Osteoporosis

Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal
sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari
jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fraglitas tulang dan meningkatnya kerentanan
terhadap patah tulang. osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total
(Lukman, 2012).
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan masa tulang total. Terdapat perubahan
pergantian tulang homeostatis normal, kecepatan, reabsorpsi tulang lebih besar dari kecepatan
pembentukan tulang, mengakibatkan penurunan massa tulang total. Tulang secara progresif
menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menadi lebih mudah fraktur dan stress yang tidak
akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur
kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur di daerah kolum femoris dan daerah trokanther,
dan patah tulang Colles pada 9
pergelangan tangan. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet
(Smeltzer, 2002).
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang dan porous artinya
berlubang-lubang atau keropos. Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang
mempenuyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-
arsitektur tulang dan penuruann kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan
tulang (Tandra, 2009).
Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit tulang yang ditandai denganadanya
penurunan massa tulang dan perubahan struktur pada jaringan mikroarsitektur tulang yang
menyebabkan kerentanan tulang meningkat disertai kecenderungan terjadinya fraktur,terutama
pada proksimal femur, tulang belakang, dan pada tulang radius. Baik pada laki-laki maupun
wanita mempunyai kecenderungan yang sama terhadap fraktur tulang tersebut, walaupun
demikian penyakit ini dapat dicegah maupun diobati.Jadi, osteoporosis adalah kelainan atau
gangguan yang terjadi karena penurunan massa tulang.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya pelebaran sumsum tulang dan saluran havers. Trabekula
berkurang dan menjadi tipis. Akibatnya, tulang mudah retak. Tulang yang mudah terena
osteoporosis adalah vertebra, pelipis, dan tengkorak (Suratun, 2008).
B. Jenis-Jenis Osteoporosis

Menurut Riggs dan Melton terdapat dua jenis osteoporosis yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder
1. Osteoporosis primer

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang terjadi akibat proses penuaan.Sampai saat ini
osteoporosis primer masih menduduki tempat utama karena lebih banyak ditemukan dibanding
dengan osteoporosis sekunder. Proses penuaan pada wanita menopause dan usia lanjut
merupakan contoh dari osteoporosis primer.Jenis ini ada dua tipe yaitu osteoporosis post
menopausal dan osteoporosis senilis.
a. Tipe I (osteoporosis post menopausal)

Terjadi karena kekurangan estrogen (hormone utama pada wanita), yang membantu mengatur
pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. 10
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bias mulai muncul
lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daetah timur lebih mudah
menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Mulyaningsih, 2008).
Pada masa menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormone estrogen dan
progesterone juga menurun. Estrogen berperan dalam proses mineralisasi tulang dan
menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklas melalui penghambatan produksi
sitokin. Ketika kadar hormone estrogen dalam darah menurun, proses pengeroposan tulang dan
pembentukan tulang mengalami ketdakseimbangan. Pengeoposan tulang menjadi lebih dominan.
Oleh karena itu, diperlukan tambahan hormone estrogen agar kedua proses tersebut dapat tetap
berjalan seimbang.
b. Tipe II

Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.
Senilis berarti bahwa eadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada
usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita (Mulyaingsih, 2008)
Menurut Dr. Allan Gold, seorang ahli endokrin di the Montreal general Hospital, pada sebuah
survei yang dilakukan di Kanada ditemukan bahwa 20% pria mengalami pengeroposan tulang
yang serius pada tulang belakang, dan akan meningkat menjadi 30% pada usia lebih dari 70%. Ia
juga mengemukakan bahwa pria yang berumur 80-an mempunyai angka kejadian patah tulang
yang sama besar dengan wanita seusianya.
Seperti halnya osteoporosis tipe I, pada tipe II juga disebabkan oleh berkurangnya hormone
endokrin, dalam hal ini hormone testosterone. Testosterone dilaporkan mempunyai peranan
untuk meningkatkan densitas massa tulang.
2. Osteoporosis sekunder
11
Osteoporosis sekunder terjadi Karena adanya penyakit tertentu yang dapat memengaruhi
kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Contohnya yaitu:
a. Penyakit endokrin: tiroid, hiperparatyroid, hypogonadisme
b. Penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan absorbs zat gizi (kalsium, fosfor, vitamn D,
dll) menjadi terganggu
c. Penyakit keganasan (kanker)
d. Konsumsi obat-obatan (kortikosteroid)
e. Gaya hidup tdak sehat (merokok, minum alcohol, kurang olahraga)

3. Osteoporosis juvenile idiopatik

Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang normal, kadar vitamin yang
normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dan rapuhnya tulang(Mulyaningsih, 2008).
C. Etiologi Osteoporosis

Menurut Nurarif (2016) osteoporosis (sekunder dan fraktur) disebabkan oleh glukokortiroid yang
menggangu absorb kalsium di usus dan peningkatan ekstraksi kalsium lewat ginjal sehingga akan
menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan osteklas. Terhadap
osteoblas glukokortikoid akan menghambat kerja, sehingga formasi tulang menurun. Dengan
adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berikut adala penyebab dari masing-masing jenis
osteoporosis:
1. Osteoporosis post menopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormone utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasa
gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bias mulai muncul lebih
cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita
osteoporosis post menopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita
penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman, 2012).
12
2. Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepaan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.
Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.Penyakit ini biasanya terjadi pada
usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita
osteoporosis senilis dan postmenopausal.
3. Kurang dari lima persen pendertita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau obat-obatan. Penyakit ini bias diakibatkan oleh
gagal ginjal kronik dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturate, antikejang, dan hormone tiroid yang berlebihan).
4. Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang tida diketahui
penyebabnya.Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memilik kadar dan fungsi
hormone yang normal. Kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyabab yang jelas dari
rapuhnya tulang (Lukman, 2012).

D. Manifestasi Klinis
1. Patah tulang
2. Punggung yang semakin membungkuk
3. Penuruanan tinggi badan
4. Postur tubuh yang kelihatan memendek akibat Deformitas vertebra thorakalis
5. Nyeri punggung
6. Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat dengan atau tanpa
fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak
7. Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
8. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas
9. Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis
angular yang menyebabkan medulla spinalis tertakan sehingga dapat terjadi paraparesis
10. Gambaran klinis sebelum patah tulang. Klien (terutama wanita tua) biasanya dating dengan
nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause, sedangkan gambaran
13
klinis setelah path tulang. klien biasanyadatang dengankeluhan punggung terasa sangat nyeri
(nyeri punggung akut). Sakit pada pangkal paha atau bengkak pada pergelangan tangan setelah
jatuh

Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama penderta senilis osteoporosis senilis)
sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi olaps atau hancur, maka
akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada
osteoporosis adalah radius distal, kaput vertebra. 14
E. Patofisiologi

Usia lanjut (menopause)


Defisiensi vitamin D, penurunan aktivitas, resistensi vitamin D
Penurunan sekresi esterogen
Penurunan aktivitas fisik
Bone marrow stroma cell & sel monoselular, penurunan sekresi GH dan IGF
Penurunan reabsorbsi kalsium di ginjal, penurunan absorbsi kalsium di usus
Hipokalsemia
Peningkatan PTH (Paratiroid Hormone)
Gg. Fungsi osteoblas
Hiperparatiroidisme sekunder
Peningkatan resorpsi tulang
Osteoporosis
fraktur
Gg. Keseimbangan, penurunan aktivitas dan kekuatan otot
Kurang informasi
Pergeseran fragmen tulang
Defisiensi pengetahuan
Resiko jatuh
Nyeri akut
Deformitas
Gg. Fungsi ektremitas
Hambatan mobilitas fisik 15
Sumber: Nurarif, Amin. (2016)
Tulang terdiri atas sel dan matriks. Terdapat dua sel yang penting pada pembentukan tulang yaitu
osteoclas dan osteoblas. Osteoblas berperan pada pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas
pada proses resorpsi tulang. Matriks ekstra seluler terdiri atas dua komponen, yaitu anorganik
sekitar 30-40% dan matrik inorganik yaitu garam mineral sekitar 60-70 %. Matrik inorganik
yang terpenting adalah kolagen tipe 1 (90%), sedangakan komponen anorganik terutama terdiri
atas kalsium dan fosfat, disampinh magnesium, sitrat, khlorid dan karbonat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan selama kehidupan
melalui tiga fase: Fase pertumbuhan, fase konsolodasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan
sebanyak 90% dari massa tulang dan akan berakhir pada saat epifisi tertutup. Sedangkan pada
tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan
mencapai puncak (Peak Bone Mass) pada pertengahan umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan
bahwa pada fase involusi massa tulang berkurang (Bone Loss) sebanyak 35-50 tahun.
Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa puncak tulang yang
rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga
berkaitan dengan faktor genetic, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang
adalah proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik yang kurang
serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa
tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur.
Kejadian osteoporosis dapat terjadi pada setiap umur kehidupan. Penyebabnya adalah akibat
terjadinya penurunan bone turn over yang terjadi sepanjang kehidupan. Satu dari dua wanita
akan mengalami osteoporosis, sedangkan pada laki-laki hanya 1 kasus osteoporsis dari lebih 50
orang laki-laki. Dengan demikian insidensi osteoporosis pada wanita jauhlebih banyak daripada
laki-laki. Hal ini di duga berhubungan dengan adanya fase masa menopause dan proses
kehilangan pada wanita jauh lebih banyak. 16
Gambar diatas menunjukan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan tulang, yang mencapai massa
puncak tulang pada usia berkisar 20 – 30 tahun, kemudian terjadi perlambatan formasi tulang
dan dimulai resorpsi tulang yang lebih dominan. Keadan ini bertahan samapi seorang wanita
apabila mengalami menopause akan terjadi percepatan resorpsi tulang, sehingga keadaan ini
tulang menjadi sangat rapuh dan mudah terjadi fraktur.
Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan lebih dominan
dibandingkan dengan pembentukan tulang. Kehilangan massa tulang menjadi cepat pada
beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap pada beberapa tahun kemudian
pada masa postmenopause. Proses ini terus berlangsung pada akhirnya secara perlahan tapi pasti
terjadi osteoporosis. Percepat osteoporosis tergantung dari hasil pembentukan tulang sampai
tercapainya massa tulang puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa muda. Selama ini,
tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada usia rata – rata 25 tahun tulang
mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian massa puncak tulang ini secara
individual sangat bervariasi dan pada umumnya pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada
wanita. Massa puncak tulang ini sangatlah penting, yang akan menjadi ukuran seseorang menjadi
risiko terjadinya fraktur pada kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan
mudah terjadi fraktur, tetapi apabila tinggi makan akan terlindung dari ancaman fraktur. 17
Faktor faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang puncak sampai saai ini belum
dapat dimengerti sepenuhnya tetapi diduga terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu
genetik, asupan kalsium, aktifitas fisik, dan hormon seks. Untuk memelihara dan mempertahan
massa puncak tulang adalah dengan diet, aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham
konsumsi alkohol, dan beberapa obat.
F. Faktor-Faktor Osteoporosis

Factor risiko:
1. Riwayat Keluarga

Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang. Disamping itu
keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan aktifitas fisik. Ras kaukasia dan
oriental lebih sering terkena osteoporosis daripada kulit hitam dan polinesia.
2. Jenis Kelamin

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen
yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.
3. Usia

Tiap peningkatan 1 dekade, risiko menigkat 1,4 -1,8 kali karena tulang menjadi berkurang
kekuatan dan kepadatannya. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30
sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia>45 tahun, sedangkan pada laki-laki
patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3-6%
pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause. Pada usia lanjut penyusutan terjadi
sebanyak 1% per tahun. Namun, pada wanita yang memiliki faktor risiko penyusutan dapat
terjadi hingga 3% per tahun. Selain itu, pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar 1,25
(OH)2D yang disebabkan oleh kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi
vitamin D, dan berkurangnya vitamin D dalam kulit.
4. Aktifitas Fisik

Kurang berolahraga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga kepadatan massa
tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan olah raga, maka otot akan memacu tulang
untuk membentuk massa. Aktivitas fisik harus 18
mempunyai unsur pembebanan pada tubuh dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan
respon osteogenik dari estrogen.
Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya
kontraktur sendi dan osteoporosis. Osteoporosis terjadi karena reabsorbsi tulang semakin besar,
sehingga yang menyebabkan jumlah kalsium ke dalam darah menurun dan jumlah kalsium yang
dikeluarkan melaui urine semakin besar (Hidayat, 2014).
5. Status Gizi

Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang. Perawakan kurus cenderung
memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko terjadinya kepadatan tulang
yang rendah.
6. Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium

Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen utama pembentuk tulang.
Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang terdapat pada kerangka tulang orang dewasa kurang
lebih 1 kilogram. Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone
Mass atau PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai
dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya.
7. Kebiasaan Merokok

Zat nikotin di dalam rokok mempercepat penyerapan tulang dan membuat kadar dan aktivitas
hormon estrogen dalam tubuh berkurang.
8. Penyakit Diabetes Mellitus

Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami osteoporosis. Pemakaian insulin merangsang
pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukkan kolagen tulang.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan osteoporosis sangat kompleks, meliputi factor-faktor nutrisi, fisik, hormone, dan
genetic. Menurut Suratun (2008) ada 3 aktor utama yang mempengaruhi osteoporosis yaitu:
1. Defisiensi kalium
19
Defisiensi kalium dapat disebabkan oleh asupan kalsium dalam makanan yang tidak adekuat
sehingga mempercepat penurunan massa tulang. Menurunnya kalsium ada hubungannya dengan
bertambahnya usia Karena absorbs kalsium, tidak adekuatnya asupan vitamin D, atau
penggunaan obat-obat tertentu (misalnya, kortikosteroid dalam waktu yang lama)
2. Kurangnya latihan fisik teratur

Imobilisasi dapat menyebabkan menurunnya massa tulang. Olahraga dan latihan fisik yang
teratur dapat mencegah penurunan massa tulang. menurut Lukman (2012) imobilitas juga
memengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inativitas
umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dar pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis
3. Jenis kelamin

Hormone reproduksi memengaruhi kekuatan tulang. Pada wanita pascamenopause, hormone


reproduksi dan timbunan kalsium tulang menurun. Hormone wanita yang sangat menurun dalam
hal ini adalah esterogen. Dengan demikian , wanita lebih cepat mengalami osteoporosis daripada
pria. Wanita usia 45 tahun memperlihatkan bukti pada sinar-X adanya osteoporosis, sedangkan
pada pria terjadi setelah usia 70 tahun.
Selain tiga hal tersebut, gangguan kelenjar endokrin dapat menyebabkan osteoporosis yaitu
penyakit Chusing, tirotoksikosis, atau hipersekresi elenjar adrenal. Factor lain risiko terjadinya
osteoporosis adalah kurang terpajan sinar matahari, banyak mengonsumsu alcohol, nikotin, dan
kafein, kurang aktivitas fisik, atau adanya riwayat keluarga dengan osteoporosis.
G. Komplikasi Osteoporosis

Komplikasi osteoporosis yang mungkin meliputi:


1. Fraktur spontan ketika tulang kehilangan densitasnya dan menjadi rapuh serta lemah

2. Syok, perdarahan, atau emboli lemak (komplikasi fraktur yang fatal (Kowalak, 2011)

Komplikasi osteoporosis merupakan kondisi sekunder, gejala maupun keadaan lain yang
disebabkan oleh osteoporosis. Pada banyak kasus, cukup sulit untuk membedakan gejala
osteoporosis maupun komplikasi osteoporosis sehingga keduanya seriing disamakan. Hal ini
disebabkan Karena osteoporosis disebut dengan 20
silent diseaseyang tidak menunjukkan manifestasi klinis berarti sampai munculnya fraktur.
Gejala awal dari osteoporosis yang dapat dilihat antara lain rasa sakit punggung yang berat,
tinggi badan berkurang dan terjadi kelainan bentuk tulang belakang seperti kifosis.
H. Penatalaksanaan

Pada menopause, terapi penggantian hormone (HRT= hormone replacement therapy) dengan
estrogen dan progesterone dapat diresepkan untuk memperlambat kehilangan tulang dan
mencegah terjadinya patah tulang yang diakibatnya (Smeltzer, 2002).
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas
(antiresorptif) dan / atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian,
saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat
anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang
termasuk stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain sebagainya. Diet kaya kalsium dan
vitamin D yang mencukupi dan seimbang sepanjang hidup, dengan peningkatan asupan kalsium
pada permulaan umur pertengahan, dapat melindungi terhadap demineraliasi skeletal. Terdiri
atas tiga gelas vitamin D susu skim atau susu penuh atau makanan lain yang tinggi kalsium (mis,
keju swis, brokoli kukus, salmon kaleng dengan tulangnya) setiap hari (Smeltzer, 2002). Kalsium
dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan
untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan
kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang
dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif. (Setiyohadi, 2007).
1. Edukasi dan pencegahan
a. Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan,
kelenturan, dan koordinasi system neuromuscular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah
risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari,
bersepeda maupun berenang.
b. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun
suplementasi
21
c. Hindari merokok dan minum alcohol
d. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan
menopause awal pada wanita
e. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada pasien yang sudah pasti osteoporosis
f. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan pasien terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-
obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik ( Rosen, 2005;
Setiyohadi, 2007).
2. Latihan dan program rehabilitasi

Dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih lincah, tangkas dan kuat otot-ototnya
sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis
karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang.
Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah pembebanan
terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai
dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan
beban yang adekuat (Rosen, 2005; Setiyohadi, 2007).
3. Estrogen

Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina) dan saluran cerna.
Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang adekuat di dalam darah pada dosis
1/20 dosis oral. Estrogen oral akan mengalami metabolism terutama di hati. Estrogen yang
beredar di dalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone-binding globulin
(SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi inilah yang aktif.
Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu, kemudian direabsorpsi kembali di usus halus
(sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak
aktif dan di ekskresikan lewat ginjal.
Terapi sulih hormon masih merupakan pilihan antara pemakaian estrogen alami (fitoestrogen)
tetapi beberapa peniliti menganjurkan pemakaian terapi sulih hormon untuk penderita
osteoporosis (Priyana, 2016). 22
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorptifnya adalah
estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17β- estradiol oral 1-2 mg/hari, 17β- estradiol transdermal
50 μg/hari, 17β- estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17β- estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6
bulan.
4. Raloksifen

Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti estrogen di tulang dan lipid,
tetapi tidak menyebabkan perangsangan endometrium dan payudara. Golongan preparat ini
disebut juga selective estrogen receptor modulators (SERM Mekanisme kerja raloksifen
terhadap tulang, sama dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan pasti, tetapi diduga
melibatkan TGFβ3 yang dihasilkan oleh osteoblas dan osteoklas yang berfungsi menghambat
diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang.
Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada reseptor estrogen, tetapi mengakibatkan
ekspresi gen yang diatur estrogen yang berbeda pada jaringan yang berbeda. Dosis yang
direkomendasikan untuk mencegah osteoporosis adalah 60 mg/hari (Rosen, 2005).
5. Bisofasfonat

Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis, baik sebagai
pengobatan alternative setelah terapi pengganti hormonal pada osteoporosis pada wanita,
maupun pengobatan osteoporosis pada laki-laki dan osteoporosis akibat steroid.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan cara berikatan pada
permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan
enzim lisosomal di bawah osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi
aktivasi precursor osteoklas, diferensiasi precursor osteoklas menjadi osteoklas yang matang,
kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis osteoklas.
Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan cara merangsang
osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar
stimulator osteoklas. Pemberian bisfosfonat oral akan di absorpsi di usus halus dan absorpsinya
sangat buruk, kurang dari 5 % dari dosis yang di 23
minum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi juga akan
terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalent lainnya dan
berbagai minuman lain kecuali air.
Sekitar 20-50 % bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24
jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap
berada didalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.
Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolism didalam tubuh
dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga pemberiannya pada pasien
gagal ginjal harus berhati-hati.
I. Pemerikasaan Penunjang

Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk menegakkan diagnosis dan
monitoring osteoporosis dengan densitometri, computed tomography scan (CT Scan), atau
ultrasound.Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang
adalah sebagai berikut:
1. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar–X berbeda, dapat
digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X
dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain.
Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x yang
melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral
tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan
alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih
mahal dibandingkan dengan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2.
2. Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil modifikasi dari
DEXA. Alat ini mengukurkepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapitidak
dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulangseperti tulang belakang atau pangkal
paha. c.Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan
radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga
menggunakan radiasi sinar
24
dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Satuan : gr/cm2.
3. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya
mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan
DEXA. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti
sinar-X. Salah satu kelemahan ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral
tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Satuan : gr/cm2.
4. Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari CT-scan yang dapat
mengukur kepadatan tulang belakang. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang
dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan kurang akurat
dibandingkan dengan DEXA, P-DEXA atau DPA. Satuan : gr/cm2.

Untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri, digunakan kriteria WHO, yaitu:


1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang
dewasa muda (T-score)
2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score.
3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

(Raisz, 2005).
J. Konsep Asuhan Keperawatan

Menurut Suratun (2008) berikut adalah konsep asuhan keperawatan pada pasien osteoporosis
1. Pengkajian

a. Riwayat keperawatan. Dalam pengakajian riwayat keperawatan, perawat perlu


mengidentifikasi adanya:
1) Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawaah), leher, dan pinggang.

2) Berat badan menurun

3) Biasanya di atas 45 tahun


4) Jenis kelamin sering pada wanita
25
5) Pola latihan dan akivitas
6) Keadaan nutrisi (mis. Kurang vitamin D dan C, serta kalsium)
7) Merokok, mengonsumsi alcohol dan kafein
8) Adanya penyakit endokrin: diabetes melitus, hipertiroid, hiperparatiroid, sindrim Cushing,
akromegali, hipogonadisme
b. Pemeriksaan fisik
1) Lakukan penekanan pada tulang punggung terdapat nyeri tekan atau nyeri pergerakan
2) Periksa mobilitas pasien
3) Amati posisi pasien yang nampak membungkuk
c. Riwayat psikososial

Penyakit ini sering teradi pada wanita. Biasanya sering timbul kecemasan, takut melakukan
aktivitas, dan peruahan konsep diri. Perawat perlu mengkaji masalah-masalah psikologis yang
timbul akibat proses ketuaan dan efek penyakit yang menyertainya
d. Tidak terjadi cedera
1) Mempertahankan postur tubuh yang baik
2) Menggunakan mekanika tubuh yang baik
3) Latihan isometric
4) Berpartisipasi dalam aktivitas di luar rumah
5) Menghindari aktivitas yang menimbulkan cedera
e. Mendapatkan pengetahuan mengenai osteoporosis dan program pengobatan
1) Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan fisik terhadap massa tulang
2) Mengonsumsi kalsium dengan jumlah yang mencukupi
3) Meningkatkan latihan fisik
4) Mengetahui waktu perawatan lanjutan

2. Diagnosis keperawatan

Berdasarkan data pengkajian, diagnose keperawatan utama pasien yang mengalami fraktur
vertebra spontan Karena osteoporosis dapat meliputi: 26
a. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot
b. Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi
c. Konstipasi yang berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus (obstruksi usus)
d. Risiko terhadap cedera: fraktur, yang berhubungan dengan tulang osteoporotic

OSTEOMIELITIS
A. Definisi Osteomielitis

Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan bila dibandingkan
dengan infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadp
inflamsi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Smeltzer dalam Lukman,
2012).
Osteomielitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan jorteks tulang,
dapat berupa eksogenus (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenus (infeksi yang berasal
dari dalam tubuh) (Reveesdalam Lukman, 2012).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Osteomielitis adalah infeksi tulang yang
mencakup sumsum atau korteks tulang, yang terjadi secara eksogen dan hematogen, akut atau
kronis, dan biasanya menyerang metafisis tulang panjang(Lukman, 2012). 27
Osteomielitis adalah infeksi tulang yang dapat timbul dari inokulasi langsung oleh organisme
penyebab, misalnya pada fraktur terbuka atau berasal dari penyebaran hematogen. Walaupun
sering ditemukan pada anak-anak hal ini relatif jarang pada usia dewasa (Davey, 2005).
Osteomielitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi infeksi di tulang dan sumsum tulang.
Infeksi pada tulang dapat terjadi melalui aliran darah, trauma dan fiksasi interna (implant).
Organisme yang paling umum menyebabkan terjadinya infeksi yaitu staphylococcus aureus.
Adanya proses infeksi maka tubuh akan memberikan respon perlawanan dengan mengisolasi dan
menghancurkannya. Tanda-tanda osteomielitis yaitu berupa, nyeri, kemerahan dan bengkak
sekitar tulang yang terinfeksi serta berkurangnya fungsi.
B. KlasifikasiOsteomielitis

Dapat diklasifikasikan dua macam osteomielitis, yaitu:


1. Osteomielitis Primer

Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focusditempat lain dan
beredar melalui sirkulasi darah.
2. Osteomielitis Sekunder

Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dansebagainya
(Lukman, 2012)
C. Etiologi Osteomielitis

Adapun penyebab osteomielytis ini adalah :


1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Mikroorganisme lain ( smeltzer, suzanne, 2002)
28
D. Manifestasi Klinis
1. Fase akut

Fase sejak infeksi sampai 10 -15 hari sering ditandai dengan menggigil demam tinggi, malaise,
denyut nadi cepat, sedangakan gejala lokal terjadi berupa rasa nyeri, nyeri tekan, bengkak, dan
sulit menggerakkan anggota tubuh, daerah yang terinfeksi teraba hangat.
2. Fase kronik

Mengalami periode berulang dan mengeluarkan push yang mengalir keluar, imflamasi dan
pembengkakkan (lukman, 2012)
E. Patofisiologi
29
Sumber: Lukman, 2012
F. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan osteomielitis, yaitu: a) istirahat dan pemberian analgetik untuk


menghilangkan nyeri, b) pemberian cairan inttravena dan kalau perlu tranfusi darah, c) istirahat
lokal dengan pemasangan bidai atau traksi, d) pemberian antibiotika secepatnya sesuai penyebab,
dan e) drainase bedah. (Lukman, 2012)
Tujuan terapi adalah untuk mengontrol dan menghentikan proses infeksi, manajemen nyeri, dan
pencegahan komplikasi imobilitas. Tulang yang sakit harus diimobilisasi untuk mengurangi
ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Lakukan rendaman salin hangat selama 20
menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah. Perawat harus terus mendorong
klien untuk melakukan ROM, latihan isotonik dan isometrik untuk menjaga kekuatan otot dan
fleksibilitas sendi. Juga perlu diajarkan teknik relaksasi, untuk mengurangi nyeri dan
meningkatkan kenyamanan klien. (Lukman, 2012).
G. Pemerikasaan Penunjang

Pada pemeriksaan x- ray akan tampak adanya proses resorpsi tulang (penebalan), proses
destruksi pada tulang, sklerotik pada daerah sekitar tulang, dan reaksi periosteal. Pemeriksaan
penunjang lain berupa Radioisotope scintigraphy yang cukup sensitive tetapi tidak spesifik.
Dengan Tc-HDP scan tampak adanya peningkatan aktivitas dari fase perfusi dan fase tulang. Ga-
Citrate atau in Labelled leukosit berguna untuk menunjukkan focus yang tersembunyi atau
infeksi yang tersembunyi dan lebih spesifik untuk Osteomielitis.
Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit bisa normal, laju endap darah dan sel darah
putih akan meningkat. C- reactiveprotein, procalcitonin, dan level cytokine inflammatory bisa
meningkat. Kultur organisme dari daerah sinus harus dilakukan, termasuk kultur jaringan dan
cairan, untuk menentukan antibiotik yang sensitive, dan dilakukan secara berulang karena
adanya perubahan karakteristik dari mikroorganisme dan bahkan dapat menjadi resisten.
1. Pemeriksaan darah
30
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah
2. Pemeriksaan titer antibodi-antistaphylococcus

Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji
sensitivitas
3. Pemeriksaaan feses

Pemeriksaan kultur feses dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella
4. Pemeriksaan biopsi tulang
5. Pemeriksaan ultrasound

Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan adanya efusi pada sendi


6. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama biasanya tidak ditemukan kelainan radiologik,
setelah dua minggu aakn terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difuse (Lukman, 2012)
H. Pencegahan
1. Penanganan infeksi lokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen
2. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang
3. Pemeriksaan klien secara teliti, perhatikan lingkungan pembedahan, dan teknik pembedahan
4. Penggunaan antibiotik profilaksis, untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat
pembedahan dan selama 24-48 jam seterah operasi
5. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic (Lukman, 2012)

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data Identitas

Data dasar, meliputi : 31


1) Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnose medis, sumber biaya, dan sumber informasi).
2) Identitas penanggung jawab (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien).
b. Status Kesehatan

Status Kesehatan Saat Ini


1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya:

Status Kesehatan Masa Lalu


1) Penyakit yang pernah dialami
2) Pernah dirawat
3) Alergi
4) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll)
5) Riwayat Penyakit Keluarga
6) Diagnosa Medis dan therapy
c. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
1) Pola Bernapas
2) Pola makan-minum
3) Pola Eliminasi
4) Pola aktivitas dan latihan
5) Pola istirahat dan tidur
6) Pola Berpakaian
7) Pola rasa nyaman

(dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala
nyeri)
8) Pola Aman
9) Pola Kebersihan Diri
10) Pola Komunikasi
11) Pola Beribadah
32
12) Pola Produktifitas
13) Pola Rekreasi
14) Pola Kebutuhan Belajar

2. Diagnosis keperawatan
a. Nyeri b.d inflamasi dan pembengkakan
b. Gangguan mobilisasi fisik b.d nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat
badan
c. Resiko terhadap perluasan infeksi b.d pembentukan abses tulang
d. Ansietas b.d Kurang pengetahuan tentang program pengobatan

3. Intervensi Asuhan Keperawatan ( NANDA, NOC, NIC )


No NANDA NOC NIC
1 Nyeri b.d inflamasi Kontrol nyeri Manajemen nyeri
dan Pantau TTV Lakukan penilaian
pembengkakan Menilai gejala dari nyeri secara
nyeri komprehensif
Mengurangi nyeri Kaji
dengan non ketidaknyamanan
analgesik secara non verbal
Memantau Evaluasi
lamanya nyeri pengalaman pasien
Tingkatan nyeri / keluarga erhadap
Frekuensi nyeri nyeri
Tentukan tingkat
kebutuhan pasien
yang dapat
memberikan
kenyamanan pada
pasien
Pemberian
analgesik
Cek riwayat alergi
obat
Tentukan
analgesik yang
cocok

Anda mungkin juga menyukai