Anda di halaman 1dari 17

Fatwa DSN MUI Tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai

Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah Dan


Lembaga Perekonomian Syariah

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Muamalah

DOSEN : RINA DESIANA, M.E.

Ruang : UIN 213 17- Febi-26 New Building


UNIT 7
Disusun Oleh:

Amira Sherlyna (180602017)

Program Studi S1 Ekonomi Syariah


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Tahun Ajaran 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas
curahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini telah dapat kami selesaikan dengan
sebaik-baiknya.

Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Rasulullah Muhammad SAW
yang selalu kita nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah. Amin.

Dan tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rina Desiana, M.E.
Selaku Dosen mata kuliah “Ushul Fiqh Muamalah” yang telah memberikan petunjuk dan
pengarahan dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini mempunyai kekurangan, sehingga


masih jauh dari kata sempurna. Kami masih membutuhkan kritik dan saran yang dapat
memperbaiki makalah kami selanjutnya. Dan apabila terdapat kesalahan kami memohon
maaf sebesar-besarnya. Demikianlah semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, 30 Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
2.1 Pengertian Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No: 123/DSN-
MUI/XI/2018 Tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan
Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah Dan Lembaga Perekonomian
Syariah....................................................................................................................................5
2.2 Sumber Yang Digunakan Dalam Fatwa Tersebut......................................................7
2.3 Pendapat Saya Tentang Fatwa DSN No: 123/DSN-MUI/XI/2018..........................12
BAB III.....................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, peraturan mengenai perbankan syariah terdapat dalam UU No. 21


Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Peraturan tersebut mengatur agar perbankan syariah
dalam melakukan kegiatan usahanya harus berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi
dan prinsip kehati-hatian. Kepatuhan perbankan Syariah merupakan isu yang penting bagi
stakeholders di Indonesia dikarenakan perbankan di Indonesia saat ini masih dinilai kurang
sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah (Suprayogi, 2013).

Selain sisi positif bank syariah, yang berkembang sangat massif (Ghozali, Azmi &
Nugroho, 2019). Terdapat beberapa problem yang dihadapi, diantaranya adalah problem akad
yang masih diperdebatkan (Hakim, 2016) dan juga problem sumberdaya manusia dalam
perbankan yang perlu untuk segera diselesaikan (Noviyanti, 2018). Adanya keharusan
perbankan syariah memiliki asas syariah yang telah tertuang dalam peraturan, tidak serta
merta bank syariah terhindar dari aktivitas transaksi dengan perbankan syariah yang pada
akhirnya menimbulkan kegiatan yang tidak berdasarkan prinsip syariah atau disebut sebagai
dana non halal (dana yang diterima oleh Bank Syariah namun tidak boleh diakui sebagai
pendapatan atau keuntungan Bank Syariah). Terjadinya kegiatan transaksi antara perbankan
syariah dengan konvensional merupakan hal yang tidak dapat dihindari dikarenakan lembaga
keuangan konvensional masih mendominasi seluruh transaksi di setiap negara (Maulidha,
2014; Muwazir et al, 2016).

Adanya persoalan tersebut, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa dana non halal
hanya dapat disalurkan untuk fasilitas umum seperti pembangunan jalan raya dan MCK.
Sedangkan sebagian ulama, seperti Yusuf al-Qardhawi dan al-Qurrah Dagi berpendapat,
bahwa dana non-halal boleh disalurkan untuk seluruh kebutuhan sosial (aujuh al-khair), baik
fasilitas umum (al-mashalih al-ammah), ataupun selain fasilitas umum, seperti hajat
konsumtif faqir, miskin, termasuk program-program pemberdayaan masyarakat.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:


123/DSN-MUI/XI/2018 Tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai
Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah Dan Lembaga
Perekonomian Syariah

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:1

1. Dana yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah,
Lembaga Bisnis Syariah dan Lembaga Perekonomian Syariah, yang selanjutnya disingkat
Dana TBDSP, adalah dana yang diterima atau dikuasai oleh LKS, LBS dan LPS tetapi
tidak boleh diakui sebagai pendapatan atau kekayaannya;

2. Lembaga Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS, adalah badan hukum
yang menyelenggarakan kegiatan usaha bidang keuangan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah;

3. Lembaga Bisnis Syariah, yang selanjutnya disingkat LBS, adalah badan hukum yang
menyelenggarakan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip syariah;

4. Lembaga Perekonomian Syariah, yang selanjutnya disingkat LPS, adalah badan hukum
yang menyelenggarakan kegiatan perekonomian syariah yang tidak masuk dalam kategori
sebagai LKS dan LBS;

Ketentuan Terkait Dana TBDSP

1. Dana TBDSP berasal antara lain dari:

a. Transaksi tidak sesuai dengan prinsip syariah yang tidak dapat dihindarkan,
termasuk pendapatan bunga (riba);
b. Transaksi syariah yang tidak terpenuhi ketentuan dan batasannya (rukun
dan/atau syaratnya);
c. Dana sanksi (denda) karena tidak memenuhi kewajiban sesuai kesepakatan
(adam al-wafa' bi al-iltizam); dan

1
Dewan Syariah Nasional, tersedia di http://www.dsnmui.or.id/ (diakses pada, 28 Maret 2020)

5
d. Dana yang tidak diketahui pemiliknya, diketahui pemiliknya tetapi tidak
ditemukan, atau diketahui pemiliknya tetapi biaya pengembaliannya lebih besar
dari jumlah dana tersebut.

2. Dana pada angka 1 huruf d boleh diakui sebagai Dana TBDSP setelah satu tahun
sejak diumumkan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. LKS, LBS dan LPS wajib membentuk rekening khusus untuk penampungan Dana
TBDSP.

Ketentuan Penggunaan Dana TBDSP

1. Dana TBDSP wajib digunakan dan disalurkan secara langsung untuk kemaslahatan
umat Islam dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

2. Bentuk-bentuk penyaluran Dana TBDSP yang dibolehkan adalah bantuan/sumbangan


secara langsung untuk:

a. Penanggulangan korban bencana;


b. Sarana penunjang lembaga pendidikan Islam;
c. Masjid/musholla dan penunjangnya;
d. Pembangunan fasilitas umum yang berdampak sosial;
e. Sosialisasi, edukasi dan literasi ekonomi, keuangan dan bisnis syariah untuk
masyarakat umum;
f. Beasiswa untuk siswalmahasiswa berprestasi atau kurang mampu;
g. Kegiatan produktif bagi dhuafa';
h. Faqir-miskin;
i. Kegiatan sosial lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

3. Dana TBDSP boleh disalurkan secara langsung oleh LKS, LBS dan LPS dan/atau melalui
lembaga sosial;

4. Dana TBDSP tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan LKS, LBS dan LPS antara lain
dalam bentuk:

a. Promosi produk maupun iklan (branding) perusahaan;


b. Pendidikan dan pelatihan untuk karyawan;
c. Pembayaran pajak, zakat & wakaf;
d. Pembayaran/pelunasan tunggakan nasabahlend-user;

6
e. Kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah.

5. Setiap penggunaan dan penyaluran Dana TBDSP harus mendapatkan persetujuan atau
opini dari Dewan Pengawas Syariah LKS, LBS dan LPS tersebut;

6. Dalam hal Dana TBDSP digunakan untuk kegiatan produktif sebagaimana dimaksud pada
angka 2 huruf g, maka penyalurannya harus sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.

Ketentuan Lainnya:

1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
temyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempumakan sebagaimana mestinya.

2.2 Sumber Yang Digunakan Dalam Fatwa Tersebut

1. Al- Qur’an, Firman Allah SWT:

a. Q.S. an-Nisa' (4): 29:

‫اض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬
"Hai orang yang beriman! Janganlah kamu makan harta kamu di antara kamu dengan jalan
yang batil (tidak benar, melanggar ketentuan agama); tetapi (hendaklah) dengan
perniagaan yang berdasar kerelaan di antara kamu... "

b. Q.S. al-Ma'idah (5): 2:

۟ ُ‫وا َعلَى ْٱلب ِّر َوٱلتَّ ْق َو ٰ}ى ۖ َواَل تَ َعا َون‬


‫وا َعلَى ٱإْل ِ ْث ِم َو ْٱل ُع ْد ٰ َو ِن‬ }۟ ُ‫َوتَ َعا َون‬
ِ
({...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran. .. "

c. Q.S. al-Baqarah (2): 275:

‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬

7
"... Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ... "

2. Hadis Nabi s.a.w. riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (hadis nomor 22003) dari
Zaidah, dari 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya:

“Bahwa seseorang dari kalangan Anshar memberi kabar padanya (Kulaib), ia


berkata: Kami pergi bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah. Saat kami kembali,
seorang utusan wanita Quraisy menemui kami. Utusan itu mengatakan: "Wahai Rasulullah,
Fulanah mengundangmu dan orang-orang yang bersamamu untuk makan. " Rasulullah
SAW berangkat dan kami mengiringinya. Lalu kami duduk seperti duduknya anak-anak di
hadapan ayah-ayah mereka. Kemudian makanan dihidangkan. Lalu Rasulullah SAW
meletakkan tangan (pada makanan), dan orang-orang pun meletakkan tangan. Lalu orang-
orang memperhatikan beliau; saat itu beliau sedang menggigit makanan namun tidak
sampai memakannya (itu pertanda beliau tidak membolehkannya). Maka, mereka pun
mengangkat tangan masing-masing; namun mereka mengabaikan kami (anak-anak
kecil). Lalu mereka sadar, dan meraih tangan kami. Kemudian seseorang memukul
makanan yang ada ditangannya hingga jatuh, lalu mereka menahan tangan kami. Mereka
melihat apa yang akan dilakukan Rasulullah SAW Beliau membuang dan melemparkan
makanan tersebut; beliau bersabda; "Aku menemukan daging kambing yang diambil

8
tanpa izin dari pemiliknya." Wanita itu berdiri lalu berkata; "Wahai Rasulullah!
Niatku semula, aku ingin mengumpulkan Baginda dan orang-orang yang bersama
Baginda untuk (makan) hidangan makanan, kemudian aku mengutus orang pergi ke
Baqi' tapi tidak menemukan kambing yang dijual; sementara itu, 'Amir bin Abu
Waqqash membeli kambing dart Baqi' kemarin, aku mengutus seseorang kepadanya
agar ia mencarikan untukku seekor kambing di Baqi' tapi tidak ada, kemudian saya
mengutus orang untuk menemui Amir bin Abu Waqqash dalam rangka mencarikan
kambing buat saya di Baqi', tapi tidak dapat juga. Diceritakan kepadaku
(utusanku): 'bahwa anda (Waqqash) telah membeli kambing, untuk itu kambingmu
agar diserahkan kepada saya, namun utusan terse but tidak
menemukannya. Lalu utusanku menemui keluarga Waqqash, lalu mereka
(keluarga Waqqash) memberikan kambing itu kepada utusanku. " Kemudian
Rasulullah saw bersabda: "Berikan (makanan ini) kepada para tawanan."

3. Atsar riwayat dari Ibnu Abi Syaibah

Dari Abi Wail ia berkata "Abdullah bin Mas'ud ra pernah membeli budak perempuan
seharga tujuh ratus dirham; (dan pada saat hendak melunasi harganya) ternyata
pemiliknya menghilang (tidak diketahui keberadaannya).Lantas beliau pun mencarinya
selama setahun. Setelah itu, ia pergi menuju masjid dan mensedekahkan uang
tersebut dan mengatakan: “Ya Allah, sedekah ini miliknya; dan jika ia tidak rela,
maka pahalanya untuk saya”

4. Kaidah Fiqih

"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya"

9
"Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh)
adalah rib a jika dipersyaratkan (di awal) atau sudah menjadi kebiasaan. "

"Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah".

Memperhatikan

Pendapat para ulama:

a. Abu Hamid al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, Bairut-Dar al-Fikr, tt. juz, II, h. 146. 2

"Dan ketika turun firman Allah swt: 'Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan
bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan
menang. , (QS. Ar-Rum [30): 1-3), maka orang musyrik mendustakan jirman Allah
tersebut, dan mereka berkata kepada para sahabat; 'Tidaklah kalian lihat apa yang
dikemukakan sahabat kalian yang beranggapan bahwa Romawi akan dikalahkan.
Kemudian Abu Bakar ra mengajak mereka bertaruh dengan seizin Rasulullah saw.
Maka ketika Allah membuktikan kebenarannya, lantas Abu Bakar ra datang kepada
beliau dengan membawa hasil taruhan dengan orang orang musyrik. Rasul pun
bersabda; 'Ini adalah harta haram, karenanya sedekahkanlah! Orang-orang mukmin
pun merasa gembira dengan pertolongan Allah, dan Allah menetapkan keharaman
taruhan setelah Rasulullah saw mengizinkan Abu Bakar ra bertaruh dengan orang-
orang kafir.

2
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin, Bairut-Dar al-Fikr, tt. juz, II, h. 146.

10
b. Abu Hamid aI-GhazaIi, Ihya' 'Ulumuddin, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, II, h. 147:3

"Adapun dasar dari atsar adalah bahwa Ibnu Mas'ud ra pernah membeli budak
perempuan tetapi Ibnu Mas'ud ra tidak menjumpai pemiliknya untuk melunasi
harganya. Maka Ibnu Mas 'ud pun mencarinya beberapa lama tetapi tidak
menemukannya. Kemudian beliau bersedekah dengan uang (tsaman) tersebut, sambil
berdoa; 'Ya Allah, ini adalah dart dia jika ia ridha; apabila tidak, maka pahalanya buat
aku. ",

c. An-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab; Jeddah: Maktabah al-Irsyad, Juz 9, h.


428:4

"Al-Ghazali berkata: 'Apabila terdapat harta haram pada seseorang,


dan ia ingin bertaubat serta melepaskan diri dari harta haram tersebut, maka jika
pemilik harta terse but diketahui, wajib baginya untuk menyerahkan harta tersebut
kepadanya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah meninggal dunia, wajib
diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya dan
tidak ada harapan (sulit sekali) untuk mengetahuinya, maka sebaiknya ia
menggunakan harta tersebut untuk kemaslahatan kaum muslim, seperti membangun
jembatan, saran a pendidikan Islam, masjid, jalan menuju ke Makkah dan semisalnya,
3
Ibid, h. 147
4
An-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab; Jeddah: Maktabah al-Irsyad, Juz 9, h. 428

11
yang menjadi kebaikan bersama bagi kaum muslim. Apabila tidak, maka
sedekahkanlah kepada seorang fakir atau lebih.”

d. Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Zad al-Ma 'ad, Bairut: Mu'assah ar Risalah, cet ke-27, 1415
H/1994 M,juz, V, h. 778-779:5

"Sesungguhnya orang yang memperoleh sesuatu tidak dengan cara yang syar 'i,
maka apabila yang ia diperoleli tanpa keridhaan dari pemiliknya dan ia tidak memenuhi
iwadh-nya (barang yang ada digenggamannya maka ia harus mengembalikan kepada
pemiliknya. Jika ia mengalami kendala maka ia harus membayarkan dengannya hutang si
pemilik yang ia ketahui; dan jika masih mengalami kendala maka harus diberikan kepada
ahli warisnya. Dan begitu juga jika masih tetap mengalami kendala maka ia harus
mensedekahkannya.”

2.3 Pendapat Saya Tentang Fatwa DSN No: 123/DSN-MUI/XI/2018

Kalau menurut pendapat saya, saya setuju tentang fatwa ini karena:

Dana non halal tidak untuk dimanfaatkan oleh pemiliknya

Dana Non-Halal di Bank Syariah adalah dana yang diterima oleh Bank Syariah
namun tidak boleh diakui sebagai pendapatan atau keuntungan Bank Syariah.

Para ulama sepakat tentang dua hal penting:

Pertama, Pendapatan non halal hukumnya haram, oleh karena itu tidak boleh dimanfaatkan
oleh pemiliknya (pelaku usaha haram tersebut) untuk kebutuhan (hajat) apapun, baik secara
terbuka ataupun dengan cara hilah, seperti digunakan untuk membayar pajak.

Kedua, Modal usaha tetap halal, jika bersumber dari usaha yang halal.

5
Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Zad al-Ma 'ad, Bairut: Mu'assah ar Risalah, cet ke-27, 1415 H/1994 M,juz, V, h.
778-779

12
Ketiga, Pendapatan non halal harus diberikan atau disalurkan kepada pihak lain sebagai
sedekah. Sebagaimana penjelasan dalam Standar Syariah AAOIFI Bahrain sebagai berikut:
Pendapatan non halal tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun, walaupun dengan
cara hilah, seperti digunakan untuk membayar pajak.6 Sesuai juga dengan kaidah fikih:
Setiap pendapatan yang tidak bisa dimiliki, maka (pendapatan tersebut) tidak bisa diberikan
(kepada pihak lain).

Pengelolaan Dana non halal untuk program pemberdayaan masyarakat

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fatwa (al-fatawadan an-nawazil), para


ulama berbeda pendapat tentang obyek atau pihak penerima dana non halal, yaitu sebagai
berikut:

Pertama, mayoritas ulama berpendapat, bahwa dana non halal hanya boleh disalurkan untuk
fasilitas umum (al-mashlalih al-ammah), seperti pembangunan jalan raya, MCK.7

Kedua, sebagian ulama, seperti Syeikh Yusuf al-Qardhawi dan Prof. Dr. al-Qurrah Dagi
berpendapat, bahwa dana non halal boleh disalurkan untuk seluruh kebutuhan sosial (aujuh
al-khair), baik fasilitas umum (al-mashalih al-ammah), ataupun selain fasilitas umum, seperti
hajat konsumtif faqir, miskin, termasuk program-program pemberdayaan masyarakat.8

Hadis Rasulullah SAW

Sesuai dengan ucapan Rasulullah Saw kepada Shahabiyyah Barirah ketika


menyerahkan kepada Rasulullah Saw. Maka Aisyah R.A. berkata : Sesungguhnya daging itu
termasuk sedekah, dan Rasulullah tidak mengambil sedekah. Kemudian Rasulullah Saw
menjawab: ‘Sesungguhnya barang ini sedekah baginya, dan hadiah bagi kita.’

Hadits di atas memberikan dilalah (makna), bahwa dana non halal itu bisa disalurkan
dan dikonsumsi untuk/ oleh pihak penerima sedekah seperti faqir, miskin, dan sebagainya.

6
Al-Ma’ayirasy-Syar’iyah No. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabahwa al-Muraja’ah li al-Muassasat al-
Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, Cet. 2010 hal. 293.
7
M Nurul Irfan dan Masyofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: AMZAH,2013), h. 150
8
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „Ala Madzahibi al-Arba‟ah, (Berut, Dar al-Kutub al Ilmiah, 1990)
vol.5 h.352

13
Atsar

Al-Hasan r.a pernah ditanya tentang taubat al-ghal (orang yang mengambil harta
ganimah sebelum dibagikan atau sebelum pasukan berpencar). Al-Hasan menjawab : ia
harus bersedekah dengan harta tersebut.9

Mashlahat

(1) Dana non halal bukan milik pihak tertentu, tetapi menjadi milik umum. Selama bukan
milik seseorang atau pihak tertentu, maka dana tersebut bisa disalurkan untuk faqir miskin
dan pihak yang membutuhkan.

(2) Dana non halal itu haram bagi pemiliknya (pelaku usaha haram tersebut), tetapi ketika
sudah terjadi perpindahan kepemilikan, status dana tersebut halal bagi penerimanya,baik
entitas pribadi seperti faqir miskin,ataupun entitas lembaga seperti yayasan sosial,
pendidikan. Al-Qardhawi menjelaskan: ‘Menurut saya dana non halal itu kotor (khabits) dan
haram bagi pihak yang mendapatkannya, tetapi halal bagi (penerimanya, seperti) orang-
orang faqir dan kebutuhan sosial. Karena dana tersebut bukan haram karena fisik dana
tersebut, tetapi karena pihak dan faktor tertentu.’

(3) Program pemberdayaan masyarakat adalah penyaluran dana untuk tujuan jangka
panjang sehingga manfaat yang diterima lebih besar dan jangka panjang (fiqh ma’alat dan
fiqh aulawiyyat).10

9
Adi bin Yusuf al-Azazi, Tamamu al-Minah fi al-Kitab al-Fiqh wa Shahihi as-Sunah, (Iskandariyah: Dar al-
Aqidah, 2005), hlm.555
10
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet.I, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 350.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dana Non-Halal di Bank Syariah adalah dana yang diterima oleh Bank Syariah namun
tidak boleh diakui sebagai pendapatan atau keuntungan Bank Syariah. Dana Non-Halal
tersebut antara lain berasal dari:

1. Ta’zir atau sanksi berupa sejumlah dana yang dikenakan kepada Nasabah Mampu
Bayar yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Sifat sanksi ini adalah untuk
mendidik Nasabah agar selalu disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

2. Transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang tidak dapat dihindari. Misal,
dalam rangka pembiayaan LC, Bank Syariah harus membuka rekening di Bank
Konvensional sehingga Bank Syariah mendapatkan bunga.

3. Tidak diketahui pemiliknya atau diketahui pemiliknya namun biaya pengembaliannya


lebih besar. Misal, hasil lelang atas aset Nasabah ternyata masih ada sisa setelah
dikurangi segala biaya lelang dan hutang Nasabah. Sisa tersebut harus dikembalikan
kepada Nasabah Pemilik Aset. Namun, Nasabah tidak bisa diketahui lagi
keberadaannya (karena bagian dari Mafia) atau Nasabah diketahui keberadaannya tapi
uang sisa lelang lebih kecil daripada biaya transfer.

4. Transaksi syariah yang di kemudian hari diketahui tidak sesuai dengan prinsip
syariah. Misal, obyek Murabahah ternyata di kemudian hari diketahui digunakan oleh
Nasabah untuk usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Dalam hal ini, Bank
Syariah wajib menghentikan pembiayaannya dan hanya mengambil pokok
pembiayaanya.

5. Terhadap Dana Non-Halal tersebut, Bank Syariah tidak boleh menjadikannya sebagai
pendapatan atau keuntungan Bank Syariah, termasuk tidak boleh dimanfaatkan untuk
kepentingan Bank Syariah seperti promosi produk, iklan, pendidikan karyawan, dan
pembayaran pajak.

6. Dana Non-Halal wajib disalurkan oleh Bank Syariah untuk kemaslahatan umat Islam
dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

15
Jadi, tidak ada Dana Non-Halal yang diakui sebagai pendapatan Bank Syariah. Bank
Syariah harus tetap terhindar dari pendapatan haram dan untuk itu, Dewan Syariah Nasional
(DSN) MUI telah merancang Pedoman Penggunaan Dana Non-Halal di Bank Syariah yang
wajib diikuti oleh seluruh Lembaga Keuangan dan Bisnis Syariah/Perekonomian Syariah dan
dipastikan pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, 1991. Ihya’ Ulum Al-din, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Kitabu al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, Berut: Dar al-
Kutub al-Ilmiah, vol.5.

Al-Ma’ayirasy-Syar’iyah No. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabahwa al-Muraja’ah li


al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, Cet. 2010.

An Nawawi, Imam Abi Zakariya, Al Majmu’Syarah Al Muhadzab, Jeddah: Maktabah al-


Irsyad, Juz IX.
Bin Yusuf ‘al-Azazi, Adl. 2005. Tamamu al-Minah fi al-Kitab al-Fiqh wa Shahihi as Sunah,
Iskandariyah: Dar al-‘Aqidah.

Hartanto, Rudy & Paramita, Irena & Purnamasari, Pupung. (2019). Pendapatan Non Halal
Perbankan Syariah di Indonesia: Analisis Sumber dan Penggunaannya. Falah: Jurnal
Ekonomi Syariah. Vol 4. No. 2. Universitas Islam Bandung.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 1994, Zad al-Ma'ad, Bairut: Mu'assah arRisalah, cet ke-27, juz V.

Masyofah, M Nurul Irfan. 2013. Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah.

Nani, Lenza (2018) “ANALISIS PENGELOLAAN DANA TA’ZIR BAGI NASABAH


WANPRESTASI DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN NASABAH (Studi Pada PT.
Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Teluk Betung Bandar Lampung)”. Undergraduate
thesis, UIN Raden Intan Lampung.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih, (cet. I) Bogor: Prenada Media.

WEB:

www.dsnmui.or.id

17

Anda mungkin juga menyukai