Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM PENGETAHUAN BAHAN

REMPAH-REMPAH DAN OLEORESIN

Oleh:
KELOMPOK D-2
Vincentia Wilhelmina (6103018009)
Theresia Evelyn (6103018012)
Cynthia Christianto (6103018020)
Magdalena Christabel (6103018074)
Vincent (6103018099)

Tanggal Praktikum: 10 September 2019


Asisten: Rachel Meiliawati Yoshari, S.TP, M.Si.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SURABAYA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan
1.1.1. Umum
Memahami sifat fisik dan kimia rempah – rempah.
1.1.2. Khusus
- Mengidentifikasi jenis – jenis rempah dari bentuk, warna, dan aroma.
- Melakukan ekstraksi oleoresin.
- Menganalisis hasil ekstraksi berdasarkan perbedaan kondisi bahan
baku.

1.2. Dasar Teori


1.2.1. Rempah-rempah
Rempah-rempah merupakan salah satu hasil pertanian Indonesia.
Rempah-rempah biasanya digunakan untuk meningkatkan cita rasa dan
aroma suatu produk dimana di dalam rempah-rempah tersebut
mengandung oleoresin yang dapat memberikan cita rasa dan aroma yang
khas. Rempah dapat berupa bunga, daun, buah, biji, batang, kulit batang,
dan akar. Bagian-bagian tanaman tersebut bisa disebut sebagai rempah
apabila mengandung senyawa yang dapat menghasilkan aroma,
memberikan rasa produk, memperbaiki warna, mencegah kerusakan, dan
mampu mengawetkan makanan (Putri, 2018). Kandungan minyak atsiri
yang cukup tinggi berperan sebagai komponen pembentuk citarasa yang
spesifik (eBook Pangan, 2013).
Menurut Mucthadi (2010), berdasarkan pengelompokannya secara
konvensional rempah dapat dibagi menjadi rempah pedas (capsicum/cabai,
jahe, mustard), rempah pedas sedang (paprika, ketumbar), rempah
aromatic (allspice/pimento, kayu manis, cengkeh, jinten, pala), rempah
daun (basil, bay), sayuran aromatik (bawang, bawang putih, bawang
merah).
1.2.2. Oleoresin
Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin”
yang berarti damar. Oleoresin merupakan bentuk ekstraktif rempah yang
didalamnya terkandung komponen-komponen utama pembentuk perisa
yang berupa zat volatil yaitu minyak atsiri sebagai pemberi aroma dan zat
non-volatil sejenis damar (resin dan gum) sebagai pemberi rasa. Oleoresin
berbentuk padat atau semi padat dan biasanya lengket. Oleoresin berupa
minyak yang berwarna coklat tua hingga hitam yang mengandung kadar
minyak atsiri 15-35% (Amir dan Puspita, 2013). Oleoresin bersifat tidak
stabil terhadap pemanasan, cahaya, atau adanya oksigen karena
mengandung zat-zat volatil sehingga memerlukan penanganan khusus
selama penyimpanan (Yuliani dkk., 2007).
Proses ekstraksi bisa menggunakan distilasi uap atau dengan
menggunakan pelarut organik, tergantung jenis rempah atau senyawa yang
akan diekstrak (Putri, 2018). Ekstraksi adalah
metode untuk memisahkan suatu komponen dari campuran dengan
menggunakan solvent/pelarut. Teknik ekstraksi oleoresin dalam bahan
rempah-rempah adalah teknik ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair-padat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi antara lain ukuran
partikel, pelarut, suhu, dan pengadukan dari fluida yaitu campuran pelarut,
solute, dan padatan (Adi dkk., 2014)
Oleoresin memiliki flavor yang menyerupai karakteristik flavor
rempah segar. Dalam industri makanan, oleoresin lebih menarik daripada
rempah kering maupun rempah segar dikarenakan flavor serta
konsistensinya tepat. Akan tetapi oleoresin sangat mudah rusak
dikarenakan adanya degradasi yang disebabkan oleh udara, air, dan suhu
penyimpanan tinggi yang menyebabkan umur simpannya rendah
(Harimurti, 2011).
1.2.3. Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu
bahan pangan yang dinyatakan dalam bentuk persen. Kadar air
menunjukkan jumlah absolut air yang terdapat di dalam bahan pangan.
Kadar air biasanya dihitung sebagai persentase kandungan air suatu bahan
yang dinyatakan dalam basis basah atau basis kering (Lindani, 2016).
Kadar air sangat berhubungan dengan kelembaban udara, jika kadar air
suatu bahan lebih rendah dari pada kelembaban lingkungannya maka akan
terjadi perpindahan uap air dari lingkungan ke bahan sehingga,
menyebabkan kadar air bahan menjadi lebih tinggi.. Kadar air merupakan
salah satu parameter penting untuk menentukan umur simpan produk
pangan, semakin tinggi kadar air maka semakin mudah pangan tersebut
untuk rusak baik akibat mikrobiologis maupun reaksi kimia, bagi beberapa
produk nabati kadar air dapat dijadikan parameter kesegaran suatu produk
(Kusnandar 2011).

1.2.4. Moisture Analyzer


Moisture analyzer merupakan instrumen yang mengaplikasikan
prinsip analisa thermogravimetri dengan akurasi yang tinggi. Moisture
analyzer Memanfaatkan lampu infrared atau halogen sebagai sumber
panas, alat ini dapat menguapkan air sehingga kadar air bahan dapat
ditentukan dengan adanya pemanasan intensif menggunakan pengeringan
adsorpsi (Kenkel 2003). pengukuran kadar air menggunakan alat ini
membutuhkan waktu yang sangat cepat yaitu hanya sekitar 3 sampai 15
menit per sampel (Ruiz, 2001). Moisture Analyzer memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan metode pengeringan yang lain yaitu waktu
pengujian yang lebih cepat, cara pengoperasian yang lebih mudah, serta
dapat meminimalisir adanya human error pada saat penimbangan sampel
(Kumalasari 2012).
BAB II
METODE

2.1. Bahan dan Alat


2.1.1. Bahan
- Jahe - Bunga lawang
- Kunyit - Pala
- Temulawak segar - Jintan
- Serai - Kapulaga
- Cengkeh - Temulawak bubuk
- Kayu manis - Kunyit bubuk
- Kemiri
2.1.2. Alat
- Gelas piala - Oven vakum
- Pisau dan talenan - Cawan porselen
- Penangas air - Kain saring
- Termometer - Plat kaca
- Oven - Color reader
- IR Moisture tester

2.2. Skema Kerja


2.2.1. Pengamatan Secara Fisik

Sampel rempah bubuk dan segar

Pengamatan dan penggambaran bahan rempah


segar dan rempah kering

Pengamatan kenampakan, warna, dan aroma


masing – masing bahan
2.2.2. Pengukuran Kadar Air Rempah Segar dan Kering
Bahan rempah-rempah

Penimbangan 5 gr rempah

Pemasukan 1 gr sampel dalam IR Moisture


Test

Penekanan tombol “start”

Pendiaman hingga muncul tulisan


“over” pada layar

Pembacaan dan pencatatan


kadar air bahan

2.2.3. Ekstraksi Oleoresin


Sampel rempah segar Sampel rempah bubuk

Penyincangan rempah
segar

Penimbangan 25 gram Penimbangan 25 gram


sampel rempah segar sampel rempah bubuk
dalam Beaker Glass dalam Beaker Glass

A
A

Penambahan etanol 95% (4:1)


Pada masing-masing sampel

Pemanasan di penangas air 600C ; 1 jam


(diaduk tiap menit ke 15,30,dan 45)

Penambahan etanol 95% sampai volume awal

Penyaringan

Filtrat Ampas

Pengukuran Volume

Pengambilan 25 mL

Pemasukan ke dalam cawan porselen yang sudah diketahui


beratnya dan bungkus dengan alumunium foil

Penguapan filtrat di oven vakum

B
B

Penimbangan cawan porselen

Penghitungan persen rendemen oleoresin Rendemen = Berat akhir


x FP x 100 %
Berat awal bahan

Pengamatan sifat fisik oleoresin (warna,


aroma, daya alir)

2.2.4. Pengukuran Daya Alir Oleoresin

Oleoresin

Pemipetan sampel

Penetesan 1 tetes pada kaca miring

Pencatatan jarak tempuh

Penghitungan daya alir


oleoresin
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sifat Fisik Bahan Rempah


Tabel 3.1. Gambar Bahan Rempah
Jahe Kunyit

Temulawak segar Serai

Cengkeh Kayu manis

Kemiri Bunga lawang


Pala Jintan

Kapulaga Temulawak bubuk

Kunyit bubuk

Tabel 3.2. Karakteristik Fisik Bahan Rempah


Kadar Air
No Sampel Jaringan/organ Aroma Rasa
(%)
1 Jahe Rimpang 50,58 Menyengat Pedas
2 Kunyit Rimpang 75,82 Masam getir Pahit
Temulawak Earthy Getir (pahit,
3 Rimpang 60,10
segar (tanah) sepat)
Daun (batang
4 Serai 80,97 Wangi daun Pedas
semu)
5 Cengkeh Bunga 7,66 Wangi manis Pahit, pedas
6 Kayu manis Batang 6,97 Manis Manis
7 Kemiri Biji 3,98 Nutty Gurih (nutty)
Bunga
8 Buah 12,45 Wangi manis Sepat
lawang
9 Pala Biji 10,47 Menyengat Pedas
10 Jintan Biji 7,78 Wangi, segar Pahit pedas
Pahit, sepat,
11 Kapulaga Buah 11,77 Menyengat
sedikit pedas
Menyengat,
12 Temulawak Rimpang 14,07 pahit
earthy
Kunyit
13 Rimpang 10,11 Menyengat Agak manis
bubuk

Tabel 3.3. Karakteristrik Warna Bahan Rempah


Warna
Warna
No Jaringan/organ Subyektif
L* a* b* c h
1 Jahe 29,3 1,6 13,6 13,7 83,2 Kuning
2 Kunyit 25,8 15,2 16 22,1 46,5 Jingga
Temulawak
3 30,2 11,3 15,7 19,4 54,3 Kuning orange
segar
Hijau
4 Serai 36,1 1,7 9,4 9,6 80,1
kekuningan
5 Cengkeh 15,0 3,7 4,1 5,5 47,7 Coklat tua
6 Kayu manis 24,5 3,9 4,9 6,3 51,3 Coklat
7 Kemiri 33,5 1,27 8,1 24,5 80,7 Krem

Tabel 3.3. (lanjutan)


8 Bunga lawang 13,2 2,1 1,5 2,6 36,2 Coklat tua
9 Pala 17,5 3,6 3,9 5,3 47,6 Luar : coklat
tua
Dalam : coklat
muda
10 Jintan 21,2 2,2 3,8 4,4 60,0 Coklat
Luar : coklat
muda
11 Kapulaga 18,7 1,2 1,8 2,2 56,2
Dalam : coklat
tua
Jingga
12 Temulawak 22,4 5,1 8,6 10 59,3
kecoklatan
13 Kunyit bubuk 18,7 1,2 1,8 2,2 56,2 jingga

3.1.1. Pembacaan Color reader


Nilai L menyatakan lightness yaitu derajat kecerahan produk (putih), nilai
a* menyatakan gradasi warna dari hijau hingga merah, sementara nilai b*
menyatakan gradasi warna dari biru hingga kuning, nilai c menyatakan chroma
yaitu tingkatan warna berdasarkan ketajamannya, dan nilai h menyatakan hue
yaitu karakteristik warna berdasarkan cahaya yang dipantulkan oleh objek. Untuk
nilai a* dan b*, rentang nilai adalah dari negatif hingga positif , sedangkan nilai c
dinyatakan dalam persentase dan nilai h dinyatakan dalam sudut (Nurwidanti
dkk., 2016).
3.1.2. Jahe
Dari hasil percobaan diketahui bahwa jahe memiliki aroma yang pedas
khas jahe. Komposisi kimia rimpang jahe mempengaruhi tingkat aroma dan
ketajaman rasa (pedas) rimpang tersebut. Adanya rasa pedas yang ditimbulkan
oleh jahe disebabkan oleh senyawa keton ‘zingeron’ (Setyaningrum, 2013).
Aroma jahe yang khas tersebut disebabkan karena kandungan minyak atsiri yang
bersifat volatil yang umunya berwarna kuning dan agak kental. Kandungan
minyak atsiri rimpang jahe berkisar 0,8 – 3,3% (Lentera, 2002).

3.1.3. Kunyit Segar dan Kunyit Bubuk


Kunyit yang diamati pada pengamatan kali ini memiliki kulit berwarna
kecoklatan dan memiliki ruas-ruas. Ketika dikupas, daging rimpang berwarna
jingga kekuningan dengan rasa yang pahit dan memiliki aroma yang khas. Warna
jingga-kuning pada daging rimpang, disebabkan oleh pigmen kurkuminoid atau
zat warna, semakin menyolok warna kunyit, maka semakin tinggi pula kandungan
pigmen kurkuminoid dalam bahan, kandungan kurkuminoid pada kunyit
umumnya sebesar 2,5 - 6% komponen aktif yang berperan dalam pembentukan
warna kuning diantaranya adalah a-phellandrene (1%), sabinene (0.6%), cineol
(1%), borneol (0.5%), zingiberene (25%) and sesquiterpines (53%), Kurkumin
(diferuloylmethane) (Shan dan Iskandar, 2018). Sedangkan rasa pahit dan aroma
khas kunyit disebabkan oleh kandungan zat pahit dan minyak atsiri (curcumin oil)
yang terkandung didalamnya, yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan
fenilpropana tumeron, kurlon kurkumol, atlanton, seskuifellandren, zingiberen,
aril kurkumen, dan humulen (Winarto, 2004).
Kadar air yang dimiliki kunyit segar ini sebesar 75,82%, diukur
menggunakan alat Infra Red (IR) Moisture Tester yang memiliki prinsip kerja
EMC (Equilibrium Moisture Content) menurut Pradeep et al., 2016, kadar air dari
kunyit segar umunya sebesar 80% - 82,5% sehingga mudah sekali mengalami
kerusakan, sehingga kunyit segar tersebut dikeringkan dan dibentuk menjadi
bubuk.
Kunyit bubuk memiliki warna jingga-kuning yang lebih gelap dari pada
kunyit segar jika dilihat dari hasil uji color reader, dengan nilai L (derajat
kecerah) yang lebih rendah daripada kunyit segar, kunyit bubuk memiliki kadar
air sebesar 10,11% dengan aroma khas dan menyengat, namun rasanya lebih
manis, namun menurut Ravindran et al., 2007 Kurkumin kering memiliki warna
kuning, bau yang sedikit kurang sedap, rasa pahit yang sedikit tajam, serta
memberi kehangatan dimulut.
3.1.4. Temulawak segar dan temulawak bubuk
Berdasarkan percobaan diketahui bahwa aroma temulawak menyengat
(earthy) baik pada temulawak segar maupun temulawak bubuk. Rasa dari
temulawak dominan pahit. Untuk temulawak segar rasa getir lebih terasa bila
dibandingkan dengan temulawak bubuk. Untuk warna dari temulawak segar dan
bubuk ada perbedaan. Secara pengamatan subjektif warna dari temulawak segar
yaitu kuning kejinggaan sedangkan pada temulawak bubuk warnanya jingga
kecoklatan.
Pengamatan objektif warna dilakukan menggunakan color reader. Nilai L
menyatakan derajat kecerahan produk (putih), nilai a* menyatakan gradasi warna
dari hijau hingga merah, sementara nilai b* menyatakan gradasi warna dari biru
hingga kuning. Untuk nilai a* dan b*, rentang nilai adalah dari negatif hingga
positif (Kongruang, 2010). Hasil pembacaan color reader menunjukkan data yang
selaras dengan pengamatan warna secara subjektif. Nilai L pada temulawak bubuk
lebih rendah yang artinya lebih gelap bila dibandingkan temulawak segar.
Kemudian untuk warna merah nilainya lebih besar temulawak segar, hal ini
ditunjukkan dengan warna dari temulawak segar lebih dominan ke arah jingga
hampir merah.
3.1.5. Serai
Segi kenampakan fisik bahan rempah-rempah yaitu warna diuji secara
subjektif maupun secara objektif. Pengamatan warna bahan rempah-rempah
secara subjektif diuji melalui pengamatan secara visual menggunakan mata
sendiri, sedangkan pengamatan warna bahan rempah-rempah secara objektif diuji
dengan menggunakan alat color reader. Berdasarkan hasil percobaan tersebut,
didapatkan bahwa serai apabila diamati secara visual berwarna hijau kekuningan.
Dari hasil pengujian menggunakan alat color reader, didapatkan data bahwa warna
serai yang terbaca pada alat yaitu memiliki nilai L sebesar 36,1 , nilai a* sebesar
1,7 , nilai b* sebesar 9,4 , nilai c sebesar 9,6 , dan nilai h sebesar 80,1.
Berdasarkan pengukuran yang terbaca pada alat, dapat dilihat bahwa warna serai
menunjukkan intensitas warna hijau kekuningan (Nurwidanti dkk., 2016).
Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan bahwa serai yang masih segar
memiliki aroma wangi dedaunan segar dan memiliki rasa pedas. Aroma wangi ini
diperoleh dari senyawa sitrat yang terkandung dalam minyak atsiri serai. Selain
itu Kandungan kadar air yang terdapat dalam rempah segar mempengaruhi
kesegaran bahan rempah-rempah. Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan
bahwa kadar air serai sebesar 80,93% apabila diukur dengan alat IR moisture
content. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Supriyanto (2008) bahwa
kandungan kadar air dalam serai sekitar 76,78%.
3.1.6. Cengkeh
Dari hasil pengamatan, cengkeh kering memiliki aroma yang kuat khas
tembakau, berwarna coklat tua, dan memiliki tekstur kasar. Aroma yang khas
pada cengkeh disebabkan oleh adanya minyak atsiri yang merupakan komponen
volatil yang mudah menguap. Kandungan minyak atsiri dalam cengkeh bekisar
antara 16-20% dan terdiri dari eugenol (70-85%), trans-karyofilen, alfa-humulen
eugenil asetat, karyofilen oksida, dan trimetoksiasetofenon (Prianto et al., 2013).
Pada pengamatan warna secara subjektif dan objektif selaras pula. Warna
subjektif dari cengkeh adalah coklat tua. Berdasarkan color reader, menunjukan
nilai L yang rendah artinya bahan tersebut berwarna gelap. Kemudian untuk nilai-
nilai lainnya seperti a,b,c, dan h juga sesuai dengan warna objektif yaitu berwarna
coklat.
3.1.7. Kayu manis
Kayu manis memiliki aroma dan rasa yang khas, yaitu manis. Aroma dan
rasa manis ini berasal dari senyawa cinnamic aldehyde atau cinnamaldehyde ,
dimana senyawa ini memiliki kandungan sebanyak 77-80%. Selain
cinnamaldehyde, kayu manis memiliki minyak yang mengandung banyak
aldehid, yakni (E)-o-methoxy-cinnamaldehyde (3-15%), benzaldehyde (0,5 –
2%), salicylaldehyde (0,2 – 1%), cinnamyl acetate (0 – 6%), eugenol (< 0,5 %)
dan coumarin (1,5 – 4 %) (Bisset dan Wichtl, 2001). Kadar air dari kayu manis
juga sangat rendah, yaitu sebesar 6,97%. Rendahnya kadar air karena dalam kayu
manis lebih dominan kandungan minyaknya dibanding air (minyak atsiri).
3.1.8. Kemiri
Segi kenampakan fisik bahan rempah-rempah yaitu warna diuji secara
subjektif maupun secara objektif.. Berdasarkan hasil pengamatan warna bahan
rempah-rempah didapatkan bahwa kemiri apabila diamati secara visual berwarna
krem. Dari hasil pengujian menggunakan alat color reader, didapatkan data
bahwa warna kemiri yang terbaca pada alat yaitu memiliki nilai L sebesar 35,5 ,
nilai a* sebesar 1,27 , nilai b* sebesar 8,1 , nilai c sebesar 24,5, dan nilai h
sebesar 80,7. Berdasarkan pengukuran yang terbaca pada alat, dapat dilihat bahwa
warna kemiri menunjukkan intensitas warna mendekati krem sedikit kecoklatan
(Nurwidanti dkk., 2016).
Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan bahwa kemiri yang masih
segar memiliki aroma nutty seperti kacang dan memiliki rasa gurih. Kemiri
mengandung asam amino non essensial yang menonjol yaitu asam glutamat yang
memberikan rasa gurih di mulut (Suherman, 2018). Kandungan kadar air yang
terdapat dalam rempah segar mempengaruhi kesegaran bahan rempah-rempah.
Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan bahwa kadar air kemiri sebesar
3,98% apabila diukur dengan alat air moisture content. Hasil ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Yustina, E., Wiyono, B., dan Hartoyo (2001) bahwa
kandungan kadar air dalam biji kemiri maksimum sekitar 5%.
3.1.9. Bunga lawang
Bunga lawang memiliki aroma yang manis tetapi memiliki rasa yang
sepat. Aroma manis yang dihasilkan bunga lawang berasal dari senyawa anethole
yang merupakan minyak atsiri dari bunga lawang yang memiliki kandungan
sebesar 85-90%. Sedangkan rasa sepat yang pada bunga lawang secara dominan
dihasilkan senyawa tanin yang ada. Selain anethole dan tanin, pemberi rasa dan
aroma juga berasal dari a-pinene, methyl cavicol, dan anisketon. (Haryati, 2013).
Kadar air bunga lawang adalah 12,43%. Hal ini dikarenakan kandungan minyak
atsiri yang tinggi sehingga membuar kadar air rendah.
3.1.10. Pala
Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman yang memiliki
nilai ekonomi tinggi terutama bagian biji dan fuli yang dapat dijadikan minyak
pala. Daging buah pala mengandung minyak atsiri dengan komponen utama
monoterpene hidrokarbon (61-88% seperti α − pinene , β− pinene), asam
monoterpene (5-15%), aromatic eter (2-18% seperti myristicin, safrole)
(Nurdjanah, 2007). Pala punya karakteristik yang segar, pahit, hangat, manis, dan
beraroma tajam. (Gardjito, 2019). Daging pala kering memiliki kadar air antara
10-12% sedangkan biji pala 14% (Armando, 2009).
3.1.11. Jintan
Segi kenampakan fisik bahan rempah-rempah yaitu warna diuji secara
subjektif maupun secara objektif. Pengamatan warna bahan rempah-rempah
secara subjektif diuji melalui pengamatan secara visual menggunakan mata
sendiri, sedangkan pengamatan warna bahan rempah-rempah secara objektif diuji
dengan menggunakan alat color reader. Berdasarkan hasil percobaan tersebut,
didapatkan bahwa jinten apabila diamati secara visual berwarna coklat. Dari hasil
pengujian menggunakan alat color reader, didapatkan data bahwa warna jintan
yang terbaca pada alat yaitu memiliki nilai L sebesar 21,2 , nilai a* sebesar 2,2 ,
nilai b* sebesar 3,8 , nilai c sebesar 4,4 , dan nilai h sebesar 60,0. Berdasarkan
pengukuran yang terbaca pada alat, dapat dilihat bahwa warna jintan
menunjukkan intensitas warna mendekati coklat (Nurwidanti dkk., 2016).
Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan bahwa jintan yang masih
segar memiliki aroma wangi segar dan memiliki rasa pahit pedas. Komponen
utama minyak jintan yang mudah menguap adalah cuminaldehyde sebanyak 35-
62% (b/b) terhadap total komponen minyak jintan dan safranal sebanyak 24%.
Kandungan kadar air yang terdapat dalam rempah segar mempengaruhi kesegaran
bahan rempah-rempah. Berdasarkan hasil percobaan ini, didapatkan bahwa kadar
air jintan sebesar 7,78% apabila diukur dengan alat air moisture content. Hasil ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wibowo dkk., (2007) bahwa
kandungan kadar air dalam jintan maksimum sekitar 8,1%.
3.1.12. Kapulaga
Pada pengamatan, kapulaga yang diamati memiliki warna kulit coklat
muda, dan memiliki rata-rata 3 ruang, ketika kapulaga tersebut dipecah terdapat
biji-biji kecil yang berwarna coklat tua, kapulaga ini memiliki aroma yang khas
dan menyengat, dengan rasa yang pahit. Di dalam biji Kapulaga terkandung
minyak atsiri sebesar 3-7% yang terdiri atas terpineol, terpinil asetat, sineol, alfa
borneol, dan beta kamfer (Agoes, 2010). Dari penyulingan biji kapulaga dapat
diperoleh minyak atsiri yang disebut Oleum Cardamomi yang digunakan sebagai
stimulus dan pemberi aroma.
3.2. Oleoresin
Tabel 3.4. Gambar Oleoresin
Temulawak segar Serai

Cengkeh Kemiri

Jintan Temulawak bubuk

Tabel 3.5. Rendemen dan Sifat Oleoresin


No Bahan Berat Berat Rendemen Laju alir Aroma Warna
segar awal (g) akhir (%) (mm/detik)
(g)
1 Temulawak 39,6198 39,6845 2,8150 Kering Wangi Kuning
segar
2 Serai 40,7265 41,0861 22,6282 Pasta Wangi Kuning
daun kehijauan
3 Cengkeh 41,8830 43,4008 21,304 Pasta Wangi Coklat
manis tua
4 Kemiri 49,2849 49,7900 5,8074 0,02 Nutty Krem
5 Jintan 42,3952 42,8992 6,6457 0,029 Wangi Coklat
segar
6 Temulawak 41,3773 41,8720 1,0869 Pasta Menyengat jingga
bubuk

3.2.1. Ekstrasi Oleoresin


Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol.
Pemilihan etanol sebagai pelarut pada ekstraksi karena bersifat semipolar
sehingga dapat melarutkan komponen polar dan nonpolar. Etanol merupakan
salah satu pelarut organik yang paling efektif dan menghasilkan rendemen ekstrak
yang cukup tinggi (Silvani, 2018). Proses ekstrasi oleoresin merupakan tahap
yang paling menentukan karena proses ekstraksi yang baik akan menghasilkan
rendemen yang tinggi dan kualitas oleoresin yang memenuhi standar.
Kesempurnaan suatu proses ekstraksi ditentukan oleh suhu ekstraksi, jenis pelarut
yang digunakan pada proses ekstraksi, waktu ekstraksi, ukuran bahan baku, serta
kadar air bahan. (Anam, 2010).
3.2.2. Pengukuran Laju Alir
Pengukuran laju alir oleoresin dilakukan dengan mengukur seberapa jauh
jarak yang ditempuh oleh satu tetes oleoresin selama satu menit di atas plat kaca.
Laju alir dipengaruhi oleh jenis zat yang terdapat pada oleoresin. Semakin kecil
ukuran partikel bahan maka sisa pelarut yang tertinggal pada bahan akan semakin
rendah. Penguapan pelarut tidak dapat dilakukan secara sempurna karena sebagian
pelarut akan terikat di dalam oleoresin dan senyawa-senyawa penyusun oleoresin.
Laju alir pada masing-masing rempah berbeda dikarenakan komposisi zat kimia
penyusun oleoresin masing-masing bahan rempah-rempah tersebut berbeda-beda
(Arpi dan Rezekiah, 2013).
3.2.3. Temulawak segar
Sifat khas dari temulawak dipengaruhi dengan adanya minyak atsiri dan
curcumin yang terkandung didalamnya. Rimpang temulawak ini mengandung
minyak atsiri yang terdiri atas phellandreen, kamfren, dan lain-lain (Prasetiyo,
2003). Berdasarkan percobaan yang dilakukan, oleoresin yang dihasilkan dari
temulawak segar paling sedikit, yaitu rendemen yang dihasilkan sebesar 2,82%.
Oleoresin yang terbentuk jumlahnya sedikit dan telah mengering, sehingga tidak
dapat diukur laju alirnya. Setelah pemasanan menggunakan oven, aroma yang
dihasilkan oleoresin temulawak segar ini lebih muncul yaitu wangi seperti bumbu
kuning. Aroma awal temulawak segar sebelum diekstrak lebih menuju ke aroma
earthy yang tidak kuat. Untuk warna pada oleoresin temulawak segar ini tidak ada
perbedaan yang signifikan dengan rempah awal.
3.2.4. Serai
Berdasarkan hasil percobaan ekstrasi oleoresin tersebut didapatkan
persentase rendemen serai yang sangat tinggi sebesar 22,63% dibandingkan
sampel lainnya karena kadar air serai lebih kecil dibandingkan sampel lainnya
sehingga persentase rendemen yang dihasilkan semakin besar. Warna oleoresin
yang dihasilkan dari keenam bahan memiliki warna yang lebih pekat dari bahan
bakunya. Semakin banyak volume pelarut dan semakin lama waktu ekstraksi yang
digunakan maka semakin pekat warna yang dihasilkan (Bustan dkk., 2008).
Berdasarkan percobaan tersebut, didapatkan ekstrak oleoresin serai yang berwarna
kuning kehijauan yang lebih pekat dibandingkan dengan warna serai sebelum
diekstraksi. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Slamet
dkk. (2013) bahwa oleoresin serai memiliki warna kuning yang lebih pekat
dibandingkan warna serai sebelum diekstraksi. Berdasarkan hasil percobaan
tersebut, didapatkan bahwa karakteristik aroma dari oleoresin serai memiliki
aroma wangi dedaunan segar yang sama seperti aroma serai segar sebelum
diekstraksi.
Berdasarkan hasil percobaan pengukuran laju alir, didapatkan bahwa
sampel oleoresin serai tidak dapat ditentukan laju alirnya dikarenakan oleoresin
tersebut telah berwujud pasta. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Slamet dkk. (2013) bahwa hasil ekstraksi oleoresin serai
memiliki kekentalan yang pekat sehingga sulit ditentukan laju alirnya.
3.2.5. Cengkeh
Dari hasil pengamatan, rendemen yang dihasilkan cukup besar yaitu
21,30%. Oleoresin dari cengkeh ini juga tidak diukur laju alirnya karena
berbentuk pasta. Aroma yang khas pada cengkeh disebabkan oleh adanya minyak
atsiri yang merupakan komponen volatil yang mudah menguap. Kandungan
minyak atsiri dalam cengkeh bekisar antara 16-20% dan terdiri dari eugenol (70-
85%), trans-karyofilen, alfa-humulen eugenil asetat, karyofilen oksida, dan
trimetoksiasetofenon (Prianto et al., 2013).
3.2.6. Kemiri
Berdasarkan hasil percobaan esktrasi oleoresin tersebut didapatkan
persentase rendemen kemiri sebesar 5,80%. Warna oleoresin yang dihasilkan dari
keenam bahan memiliki warna yang lebih pekat dari bahan bakunya. Semakin
banyak volume pelarut dan semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan maka
semakin pekat warna yang dihasilkan (Bustan dkk., 2008). Berdasarkan percobaan
tersebut, didapatkan ekstrak oleoresin kemiri yang berwarna krem kekuningan
yang lebih pekat dibandingkan dengan warna kemiri sebelum diekstraksi.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, didapatkan bahwa karakteristik
aroma dari oleoresin kemiri memiliki aroma nutty sama seperti aroma kemiri
sebelum diekstraksi. Berdasarkan hasil percobaan pengukuran laju alir, oleoresin
kemiri memiliki laju alir 0,02 mm/s. Laju alir dari oleoresin kemiri ini bisa diukur
karena biji kemiri memiliki kadar minyak yang tinggi yaitu sekitar 35-65%
(Yustina dkk., 2001).
3.2.7. Jintan
Warna oleoresin yang dihasilkan dari keenam bahan memiliki warna yang
lebih pekat dari bahan bakunya. Semakin banyak volume pelarut dan semakin
lama waktu ekstraksi yang digunakan maka semakin pekat warna yang dihasilkan
(Bustan dkk., 2008). Berdasarkan percobaan tersebut, didapatkan ekstrak
oleoresin jintan yang berwarna kecoklatan yang lebih pekat dibandingkan dengan
warna jintan sebelum diekstraksi. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Silvani (2018) bahwa warna dari oleoresin jintan adalah kuning
hingga abu-abu kecoklatan yang lebih pekat dibandingkan warna jintan sebelum
diekstraksi. Berdasarkan hasil percobaan tersebut, didapatkan bahwa karakteristik
aroma dari oleoresin jintan memiliki aroma wangi segar sama seperti aroma jintan
sebelum diekstraksi Berdasarkan hasil percobaan pengukuran laju alir, oleoresin
jintan memiliki laju alir sebesar 0,029 mm/s.
3.2.8. Temulawak bubuk
Percobaan juga dilakukan pada sampel temulawak dalam bentuk bubuk.
Rendemen yang dihasilkan lebih banyak bila dibandingkan dengan temulawak
segar. Hal ini dikarenakan temulawak bubuk ini telah mengalami proses
pengolahan sehingga kandungan oleoresin yang terdapat dalam bentuk temulawak
bubuk lebih tinggi pula. Oleoresin dari temulawak bubuk ini tidak memiliki laju
alir karena setelah dipanaskan dengan oven, bentuknya adalah pasta. Aroma
oleoresin temulawak bubuk ini lebih menyengat bila dibandingkan dengan
temulawak bubuk. Selain itu warna yang dihasilkan pun lebih pekat dan mengarah
pada warna jingga.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Kadar air rempah-rempah dipengaruhi jumlah minyak atsiri dari rempah


tersebut.
2. Kadar air rempah segar lebih tinggi daripada kadar air rempah kering.
3. Rempah segar memiliki warna yang lebih terang dibandingkan rempah bubuk.
4. Bahan rempah memiliki aroma dan rasa yang khas dan berbeda antar jenisnya,
tergantung kepada minyak atsiri yang dimilikinya.
5. Rasa dan aroma dari rempah bubuk jauh lebih kuat dan menyengat
dibandingkan rempah segar.
6. Tidak semua laju alir oleoresin dapat dihitung, karena ada yang bersifat pasta
dan kering.
7. Karakteristik aroma pada oleoresin memiliki kesamaan dengan bahan rempah-
rempah sebelum diekstrak.
8. Warna oleoresin lebih pekat daripada warna bahan bakunya.
9. Persen rendemen tiap rempah berbeda tergantung berat awal dan akhir bahan.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, D.N., Lia U.K., dan Baskara K.A. 2014. Produksi Oleoresin Berbahan Baku
Limbah Destilasi Kayu Manis (Cinnamomum burmannii), Jurnal
Teknologi Hasil Pertanian 7(1): 2.

Agoes, A., 2010, Tanaman Obat Indonesia, Edisi 3, ed. A. Suslia.


Jakarta:Penerbit Salemba Medika.

Amir, N.A, dan Puspita F.L. 2013. Pengambilan Oleoresin dari Limbah Ampas
Jahe Industri Jamu (PT. Sido Muncul) dengan Metode Ekstraksi, Jurnal
Teknologi Kimia dan Industri 2(3): 89.
Anam, C. 2010. Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale) Kajian dari Ukuran
Bahan, Pelarut, Waktu, dan Suhu, Jurnal Pertanian MAPETA 11(2): 101-
102.
Arpi, N., Satriana, dan K. Rezekiah. 2013. Ekstraksi Oleoresin dari Limbah
Penyulingan Pala Menggunakan Ultrasonik, Jurnal Rekayasa Kimia dan
Lingkungan. 9 (4): 184-186.
Bisset, N. G dan Wichtl, M. 2001. Herbal Drugs and Phytopharmaceuticals 2nd
edition. Jerman : Medpharm Scientific Publishers

Bustan, M. D., R. Febriyani, dan H. Pakpahan. 2008. Pengaruh Waktu Ekstraksi


dan Ukuran Partikel terhadap Berat Oleoresin Jahe yang Diperoleh dalam
Berbagai Jumlah Pelarut Organik (Methanol), Jurnal Teknik Kimia. 15 (4):
21.
Gardjito, M., E. Harmayani, U. Santoso. 2017. Makanan Tradisional Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Haryati. 2013. Media Pembelajaran Rempah-Rempah dan Bahan Penyegar.


Bandung: Pendidikan Teknologi Agroindustri.

Kenkel J. 2003. Analytical Chemistry for Technicians. CRC Press, LLC.


Kumalasari H. 2012. Validasi Metode Pengukuran Kadar Air Bubuk Perisa
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen HB43-s sebagai Alternatif
Metode Oven dan Karl Fischer. Skripsi Bogor (ID): IPB Press.

Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat.

Lindani, A.2016.Perbandingan Pengukuran Kadar Air Metode Moisture Analyzer


Dengan Metode Oven Pada Produk Biskuit Sandwich Cookies Di Pt
Mondelez Indonesia Manufacturing. Skripsi. Departemen Ilmu Dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nurdjanah, N.2007. Teknologi Pengolahan Pala. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.

Nurwidanti, O., Wignyanto, dan Nur H. 2016. Teknologi Dekolorisasi Limbah


Cair Batik dengan Menggunakan Zeolit dan Arang Termodifikasi Pada
Sistem Kontinyu, J-PAL 7(2): 99.
Pradeep, K; Ravi, R; Jamuna, P; Madhava, M.N. (2016). Influence of Blanching
and Drying Methods on The Quality Characteristics of Fresh Tumeric
(Curcuma longa L.) Rhizomes. International Journal of Applied and Pure
Science and Agriculture.

Prianto, H., R., Retnowati, dan U. P. Juswono. 2013. Isolasi dan Karakterisasi dari
Minyak Bunga Cengkeh, Kimia Student Journal. 1(2): 269– 275.
Putri, W. D. R. dan Kiki F. 2018. Rempah untuk Pangan dan Kesehatan. Malang:
UB Press.
Ravindran, P.N; Nirmal, K.B; Sivaraman, K. (2007). Tumeric. CRC Press : New
York.

Ruiz, R.P. 2001. Gravimetric Determination of Water by Drying and Weighing.


California (US): John Wiley & Sohn, Inc.

Setyaningrum, Hesti Dwi. 2013. Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya.


Shan, C. Y., & Iskandar, Y. (2018). Studi Kandungan Kimia dan Aktivitas
Farmakologi Tanaman Kunyit (Curcuma longa L.).  Farmaka, 16(2).
Silvani, N.S. 2018. Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jintan Putih (Cuminum
cyminum) Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Pangan . Skripsi,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Slamet, Supranto, dan Riyanto. 2013. Studi Perbandingan Perlakuan Bahan Baku
dan Metode Distilasi Terhadap Rendeman dan Kualitas Minyak Atsiri
Sereh Dapur (Cymbopogon citratus), ASEAN Journal of Systems
Engineering 1(1): 25-26.
Sriwati, D., Eko W., dan Muhammad H.N. 2014. Pengaruh Penggunaan Tepung
Jintan Putih (Cuminum cyminum Linn) dalam Pakan Terhadap Profil
Darah Ayam Pedaging, Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
6: 2.
Suherman. 2018. Kajian Pengaruh Pemanasan Basah Terhadap Aktivitas Senyawa
Toxalbumin, Kandungan Asam Lemak dan Asam Amino pada Biji Kemiri
(Aleurites moluccana L., Wild), Tesis, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Pangan Universitas Hassanudin, Makassar.
Wibowo, Y.T., Suryatmi R.D., Meika S.R., dan Imelda H.S. 2007. Kajian Proses
Penyulingan Uap Minyak Jintan Putih, J. Tek. Ind. Pert. 17(3): 89.
Winarto, I.W. (2004). Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
pp 2 – 12

Yuliani, S., Desmawarni, Niken H., dan Sri S.Y. 2007. Pengaruh Laju Alir
Umpan dan Suhu Inlet Spray Drying pada Karakteristik Mikrokapsul
Oleoresin Jahe, J. Pascapanen 4(1): 19
Yustina, E., Wiyono, B., dan Hartoyo. 2001. Pengaruh Lama Pemasakan Biji
Terhadap Rendemen dan Fisikokimia Minyak Kemiri. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 19(1): 1.

Anda mungkin juga menyukai