Anda di halaman 1dari 119

KAJIAN KARAKTERISTIK BAKSO BERBAHAN BAKU DAGING SAPI

DENGAN PENAMBAHAN TEXTURIZED SOY PROTEIN (TSP) 30% DAN


BERBAGAI KONSENTRASI KARAGENAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran

OLEH:
SYOFIE DEVIYANTI
240210130031

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : KAJIAN KARAKTERISTIK BAKSO BERBAHAN


BAKU DAGING SAPI DENGAN PENAMBAHAN
TEXTURIZED SOY PROTEIN (TSP) 30% DAN
BERBAGAI KONSENTRASI KARAGENAN

NAMA : SYOFIE DEVIYANTI

NPM : 240210130031

FAKULTAS : TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


DEPARTEMEN : TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN

Menyetujui dan Mengesahkan,


Pada bulan Maret 2018

Ketua Komisi Pembimbing Ketua Departemen


Teknologi Industri Pangan

Robi Andoyo, STP, M.Sc., Ph.D Dr.Ir.H. Mohamad Djali, MS.


NIP. 19780302 200312 1 002 NIP. 19610724 198801 1 001

Anggota Komisi Pembimbing

Nandi Sukri, S.Pi., M.Si.


NIP. 19840920 201212 1 002
ABSTRAK

Bakso adalah salah satu jenis makanan yang terbuat dari bahan baku
daging sapi. Akan tetapi daging sapi terus mengalami kenaikan harga setiap
tahunnya, maka diperlukan inovasi bakso untuk mengatasi permasalahan tersebut
dengan penambahan texturized soy protein sebagai bahan pengisi bakso. Namun,
penambahan texturized soy protein (TSP) berpengaruh terhadap tekstur bakso
yang dihasilkan yakni bakso memiliki tekstur yang kurang kompak, karena TSP
memiliki kemampuan daya serap air yang cukup tinggi. Salah satu cara untuk
membuat bakso memiliki tekstur yang kenyal dan kompak dengan menambahkan
suatu komponen koloid seperti karagenan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan konsentrasi karagenan yang dapat membuat bakso
dengan penambahan TSP 30% memiliki karakteristik tekstur yang sama dengan
bakso tanpa penambahan TSP 30% dan karagenan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu Descriptive Explanatory Research dan dilanjutkan uji t yang
terdiri dari empat perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut adalah bakso
tanpa penambahan TSP dan karagenan dengan bakso penambahan texturized soy
protein 30% dengan berbagai konsentrasi karagenan (1,5%), (3%), dan (4,5%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso TSP 30% dengan konsentrasi
karagenan 1,5% memiliki nilai tekstur (firmness dan springiness) serta perubahan
massa jenis yang tidak berbeda nyata dengan bakso kontrol. Parameter water
holding capacity dan rendemen untuk seluruh perlakuan memiliki nilai yang
berbeda nyata terhadap bakso kontrol. Namun tidak berbeda nyata terhadap nilai
organoleptik tekstur yang artinya tekstur bakso masih dapat diterima oleh panelis.
Parameter protein bakso dengan penambahan TSP 30% memiliki kadar protein
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso kontrol.

Kata kunci: Bakso, Daging sapi, Karagenan dan Texturized soy protein.

iii
ABSTRACT

Meatball is a kind of food made from meat one of them is beef. But the
material of beef continues to price increases every year, it is need innovation
meatballs to overcome these problems with the addition of texturized soy protein
as a filler of meatballs. The addition of texturized soy protein (TSP) has an effect
on the meatball texture, the meatball has a less compact texture, because TSP has
high water absorption ability. One way to make meatballs has a chewy and
compact texture by adding a colloidal component such as carrageenan. This study
aims to determine the use of carrageenan concentration that can made meatballs
with the addition of TSP 30% has same texture characteristics with meatballs
without the addition of TSP 30% and carrageenan. The method used in this
research is Descriptive Explanatory Research and continued with t test consisting
of four treatments with three replications. The treatment was meatballs without
the addition of TSP and carrageenan with meatballs of texturized soy protein 30%
with various concentrations of carrageenan (1.5%), (3%), and (4.5%). The results
showed that 30% TSP meatballs with carrageenan concentration of 1.5% had a
texture value (firmness and springiness) as well as changes in density that were
not significant from control meatballs. Parameters of water holding capacity and
yield for all treatments have different values significantly on the meatball control.
But not significant to the value of organoleptic texture which means texture of
meatballs can still be accepted by the panelists. The meatball protein parameter
with the addition of 30% TSP has higher protein than the control meatballs.

Key word: Beef, Carageenan, Meatball and Texturized soy protein

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan

berkat, rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Kajian Karakteristik Bakso Berbahan Baku Daging Sapi Dengan

Penambahan Texturized Soy Protein (TSP) 30% dan Berbagai Konsentrasi

Karagenan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana di Program Studi Teknologi Pangan, Departemen Teknologi Industri

Pertanian, Universitas Padjadjaran.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak,

maka penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada, Bapak /Ibu/Sdra(i):

1. Robi Andoyo, STP, M.Sc., Ph.D., Ketua Komisi Pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian penulisan usulan

penelitian.

2. Nandi Sukri, S.Pi., M.Si., Anggota Komisi Pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian penulisan usulan

penelitian proyek ini.

3. Drs. Zaida, M.Si., sebagai dosen penelaah yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis dalam penyelesaian penulisan makalah usulan penelitian

ini.

4. Kepala Departemen Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Industri

Pertanian Universitas Padjadjaran yang telah memberikan fasilitas dan sarana.

v
vi

5. Kepala Program Studi Sarjana Teknologi Pangan atas bimbingannya selama

perkuliahan berlangsung.

6. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang

telah memberikan fasilitas dan sarana.

7. Kedua orang tua tercinta dan Reza beserta seluruh keluarga besar tercinta atas

doa, kasih sayang, didikan, dan dorongannya kepada penulis secara moriil

maupun materil yang tiada henti selama ini.

8. Maftuh, Zahra, Hijabrangers, ibu dan bapak kosan pondokan Isaku Iki yang

telah membantu di setiap kesulitan yang dihadapi penulis serta yang telah

memberikan doa, dukungan dan kebersamaannya selama ini.

9. The writer’s closest boarding school friends, Mayang sari, Renasa Melinda,

Riestu Febrina Ramadhanis, Suhainifa, Rizkhih Mustaqimah and all of friends

in generation of SPASI, who gave support and all the time which gave to the

writer.

10. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun telah

membantu kelancaran serta kemudahan bagi penulis selama proses

penyusunan makalah.

Penulis menyadari atas ketidaksempurnaan usulan penelitian ini, sehingga

saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan usulan penelitian ini. Akhir

kata, penulis berharap semoga usulan peneltian ini dapat memberikan manfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya untuk siapa saja yang membaca.

Jatinangor, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……………………………………………………………….. iii

ABSTRACT…………………………………………………………...… iv

KATA PENGANTAR................................................................................. v

DAFTAR ISI............................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................. x

DAFTAR TABEL.................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xii

I. PENDAHULUAN......................................................................… 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1

1.2 Identifikasi Masalah………………………………………………. 5

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……………………………….….... 5

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian………………………………………… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 7

2.1 Protein Kedelai Bertekstur/ Texturized Soy Protein (TSP)…….….. 7

2.1.1 Definisi Protein Kedelai Bertekstur/ TSP…………………………. 7

2.1.2 Proses Produksi Protein Kedelai Bertekstur/ TSP……………….... 8

2.1.3 Karakteristik Protein Kedelai Bertekstur/ TSP……………………. 10

2.1.4 Aplikasi Protein Kedelai Bertekstur/Texturized Soy Protein……… 11

2.2 Bakso Sapi…………………………………………………………. 12

2.3 Bahan Baku Pembuatan Bakso Sapi………………………………. 16

2.3.1. Daging Sapi……………………………………………………….. 16

vii
viii

2.3.2 Tepung Tapioka…………………………………………………... 19

2.3.3 Garam (NaCl)…………………………………………………….. 20

2.3.4 Monosodium Glutamat (MSG)…………………………………… 21

2.3.5 Sodium Tripolyposphat (STPP)…………………………………... 22

2.3.6 Es Batu……………………………………………………………. 23

2.4 Karagenan………………………………………………………… 24

2.4.1 Jenis-Jenis Karagenan…………………………………………….. 25

2.4.2 Sifat-Sifat Karagenan……………………………………………... 27

2.5 Proses Pengolahan Bakso Sapi…………………………………… 32

III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS…………………... 34

3.1 Kerangka Pikiran…………………………………………………. 34

3.2 Hipotesis………………………………………………………….. 36

IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN……………………… 37

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………. 37

4.2 Bahan dan Alat Penelitian………………………………………… 37

4.2.1 Bahan Penelitian………………………………………………….. 37

4.2.2 Alat Penelitian……………………………………………………. 37

4.2 Metode Penelitian………………………………………………….. 37

4.3 Pelaksanaan Penelitian……………………………………………. 40

4.3.1 Percobaan Pendahuluan…………………………………………... 40

4.3.2 Percobaan Utama…………………………………………………. 41

4.4 Kriteria Pengamatan……………………………………………… 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………….. 46


ix

5.1 Tekstur……………………………………………………………. 46

5.2 Water Holding Capacity………………………………………….. 51

5.3 Sifat Organoleptik………………………………………………… 59

5.4 Perubahan Massa Jenis…………………………………………… 53

5.5 Rendemen Bakso…………………………………………………. 57

5.6 Kadar Protein……………………………………………………... 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………….. 63

6.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 63

6.2 Saran……………………………………………………………… 63

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 64

RIWAYAT HIDUP……………………………………………………... 68

LAMPIRAN……………………………………………………………... 70
DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman
1 Texturized Soy Protein Medium Granula…………..…………... 11
2 Bagian-Bagian Karkas Sapi…………..…………..…………..... 19
3 Struktur Kappa Karagenan…………..…………..…………....... 26
4 Struktur Iota Karagenan.………………………………….......... 26
5 Struktur Lamda Karagenan.……………………………............. 27
6 Mekanisme Gel Karagenan ……………………………............ 30
7 Diagram Alir Pembuatan Bakso TSP..……………….................
43
8 Grafik Hasil Pengukuran Tekstur pada Bakso TSP 30% dan
Berbagai Konsentrasi Karagenan……………………………….
46
9 Water Holding Capacity dan Berbagai Konsentrasi
Karagenan………………………………...………...………...... 51

10 Organoleptik Tekstur Bakso TSP 30% dan Berbagai


Konsentrasi Karagenan..……..………...………...
53
………..............................

11 Perubahan Massa Jenis Bakso TSP 30% dan Berbagai


Konsentrasi Karagenan..……...………...………...………...….. 55

12 Contoh Skema Pengembangan Volume Bakso Selama


Perebusan………………………………………………………. 57

13 Rendemen Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi


Karagenan………………..………...………...………...………. 59

14 Kadar Protein Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi


61
Karagenan………………..………...………...………...……….

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman
1 Kriteria dan Deskripsi Mutu Sensori Bakso Sapi…..…..………. 13
2 Standar Mutu Bakso Sapi (SNI.01-3818-2014)..…..…..………. 15
3 Komposisi Kimia Daging Sapi dalam 100 g..…..…..………...... 17
4 Daya Kelarutan Karagenan pada Berbagai Media Pelarut........... 28

x
5 Format Hasil Perhitungan Nilai di dan di2 Pada Uji t
Berpasangan…………………………………………………….. 39

6 Formulasi Bakso Sapi pada Penelitian Tahap I..…..…..……….. 41


7 Formulasi Bakso Sapi pada Penelitian Tahap II........................... 44
8 Hasil Pengujian Tekstur Bakso Penambahan TSP 30% dan
Karagenan dengan Texture
48
Analyzer…………………………….

9 Kenampakan Bakso Penambahan TSP 30% dan Berbagai


Konsentrasi Karagenan…………………………………………. 49

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman
1 Prosedur Analisis…………………………………..…..……….. 66
2 Hasil Analisis Organoleptik Bakso Tahap I…………………..... 75
3 Hasil Analisis Bakso dengan Penambahan TSP 30% dan
Berbagai Konsentrasi Karagenan…………………………….....
81
4 Sertifikat Bahan Baku………………………………………...... 98
5 Dokumentasi Penelitian…………………………………............ 101

xi
xii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu nutrien yang sangat penting untuk tubuh adalah protein yang

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi

sebagai sumber energi jika karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi (Dalillah,

2006). Selain itu juga, protein terdapat asam amino esensial yang tidak dapat

dibentuk oleh tubuh sehingga setiap hari dianjurkan untuk mengkonsumsi protein

hingga 35% dari kalori makanan yang kita makan. Protein secara umum di bagi 2

yaitu protein hewani dan protein nabati (Dalilah, 2006).

Secara umum konsumsi protein masyarakat Indonesia sehari-hari masih

dibawah kebutuhan minimum, terutama protein hewani yang bersumber dari

daging sapi, dikarenakan harganya yang relatif lebih mahal dan sumber bahan

bakunya yang terbatas. Penjualan harga daging sapi secara umum di tingkat

konsumen sejak tahun 1983 hingga tahun 2016 berfluktuasi dan cenderung

meningkat. Selama periode tersebut, harga daging sapi di tingkat konsumen naik

sebesar 13,21% per tahun. Harga daging sapi periode lima tahun terakhir (2011-

2015) cenderung naik dari harga Rp .69.641,-/kg hingga Rp. 104.326,-/kg dengan

pertumbuhan selama 5 tahun sebesar 9,58%. Kenaikan harga daging sapi tertinggi

di tahun 2013 yaitu sebesar 17,52% (Fatmawati et al., 2016).

Umumnya fenomena terjadinya kenaikan harga daging sapi di karenakan

konsumsi daging yang tinggi pada hari besar keagamaan dan hari raya nasional.

Sementara perkembangan harga daging sapi di tahun 2015 sebesar

1
2

Rp.104.328,-/kg. Kenaikan harga daging sapi di tahun 2016 juga mengalami

peningkatan yang
3

cukup tajam terutama saat mendekati hari perayaan di Indonesia. Hingga tahun

2016 harga daging sapi di Indonesia menembus harga Rp.130.000,-/kg (Badan

Pusat Statistik, 2016).

Salah satu produk olahan yang terkena dampak dari kenaikan harga daging

sapi ialah bakso. Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari olahan

daging sebagai bahan baku utama yang digiling hingga halus, serta dilakukan

pencampuran dengan tepung dan bumbu-bumbu, pembentukan adonan menjadi

bulatan-bulatan, dan selanjutnya dilakukan perebusan (Koswara, 2009). Produk

olahan daging ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Bakso yang

terbuat dari daging memiliki rasa yang lezat, bergizi tinggi, dapat disantap pada

berbagai waktu dan kondisi serta mudah diterima oleh berbagai kalangan baik usia

anak-anak, remaja maupun dewasa. Oleh karena itu bakso dapat dijadikan sebagai

salah satu produk pangan sumber protein bagi masyarakat.

Bahan baku utama bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi

membuat banyak pedagang yang melakukan kecurangan. Saat ini banyak kabar

yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang di campur

dengan bahan-bahan yang kurang layak seperti daging yang tidak diperbolehkan

untuk dikonsumsi. Selain itu terjadinya penurunan kualitas berupa kandungan dari

segi protein karena mengurangi penggunaan daging kemudian meningkatkan

penggunaan tepung-tepungan. Untuk itu alternatif yang bisa dipilih untuk

mengatasi permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. Oleh

karena itu, salah satu cara penggunaan daging sapi dengan jumlah yang sama,

tetapi dapat menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak ialah dengan cara
4

penambahan. Salah satu penambahan yang dapat dilakukan ialah dengan

penambahan protein hewani yang dapat dilakukan dengan cara mencampur

produk dengan kandungan protein tinggi salah satunya bersumber dari protein

nabati. Protein yang berasal dari tanaman meskipun umumnya memiliki

kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan protein hewani, tetapi protein

yang berasal dari leguminosa seperti kedelai merupakan sumber protein yang

baik. Protein yang terdapat pada kedelai memiliki nilai protein efisiensi rasio

(PER) yang dapat disejajarkan dengan protein hewani. Lemak pada kedelai juga

memiliki komposisi asam lemak jenuh yang rendah (15%) sedangkan kandungan

asam lemak tidak jenuhnya mencapai 60% berupa asam linoleat dan linolenat

yang keduanya diketahui dapat mengurangi resiko jantung dan kanker (Abustam

et al., 2010).

Kedelai yang digunakan sebagai bahan tambahan harus diolah terlebih

dahulu untuk menghilangkan aroma langu yang terdapat pada kedelai. Salah satu

olahannya ialah Texturized soy protein (TSP). Umumnya TSP dibuat dalam

bentuk serat, sobekan-sobekan, gumpalan-gumpalan, granula, lembaran, serpihan-

serpihan, dan lain-lain. TSP ini dihasilkan dari tepung kedelai yang telah diambil

kandungan lemaknya (defatted soy flour) dengan menggunakan mesin ekstruder

yang diberi perlakuan suhu dan tekanan tinggi sehingga mengalami

pengembangan volume sedemikian rupa sehingga membentuk struktur produk

akhir yang porous dan terbuka sesuai dengan karakteristik produk yang

diinginkan. Tekstur dari TSP menyerupai tekstur daging giling yang lunak namun

tidak lembek (Markaindo, 2015).  Penambahan bahan pengisi dapat meningkatkan


5

daya mengikat air serta mengurangi pengerutan selama pemasakan. Oleh karena

itu, dilihat dari sifat fungsionalnya maka texturized soy protein ini sering

diaplikasikan pada berbagai produk olahan daging seperti daging olahan atau

kornet, sosis, dan daging tiruan (Soeparno, 2005).

Penambahan texturized soy protein hingga 30% dapat mempengaruhi

terhadap tekstur bakso yang dihasilkan yakni bakso memiliki tekstur yang kurang

kenyal, akibat dari kurangnya penggunaan daging sapi serta kemampuan daya

serap air yang tinggi. Oleh karena itu, salah satu cara untuk membuat tekstur

bakso yang dihasilkan kenyal dan stabil maka perlu ditambahkan suatu komponen

koloid seperti karagenan. Karagenan berfungsi sebagai stabilisator (pengatur

keseimbangan), thickner (bahan pengental) dan pembentuk gel dalam bidang

industri pengolahan makanan (Winarno, 1996). Karagenan adalah bahan alami

pembentuk gel yang dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso sebagai bahan

alternatif yang aman sebagai pengganti boraks.

Sehingga inovasi pada bakso yang dilakukan dengan mencampur bahan

utamanya yang berupa daging dengan penambahan texturized soy protein. Seperti

yang diketahui bahwa texturized soy protein memiliki sifat-sifat fungsional yang

dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk olahan daging. Diharapkan

penggunaan texturized soy protein bisa menjadi alternatif bahan tambahan dalam

olahan daging seperti bakso, sehingga inovasi bakso yang dibuat memiliki nilai

ekonomis tanpa menurunkan kualitas gizi produk bakso.


6

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah dari

penelitian ini adalah apakah penambahan texturized soy protein 30% dan

karagenan dalam pembuatan bakso daging sapi dapat menghasilkan karakteristik

fisik berupa tekstur yang sama dengan bakso tanpa penambahan texturized soy

protein dan karagenan, namun memiliki rendemen bakso yang lebih tinggi?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penambahan

texturized soy protein 30% dan karagenan dalam pembuatan bakso daging sapi

dapat menghasilkan karakteristik fisik berupa tekstur yang sama bakso dengan

bakso tanpa penambahan texturized soy protein dan karagenan, namun memiliki

rendemen bakso yang lebih tinggi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan konsentrasi

karagenan yang dapat membuat bakso berbahan baku daging sapi dengan

penambahan texturized soy protein 30% memiliki karakteristik tekstur yang sama

dengan bakso tanpa penambahan texturized soy protein dan karagenan, namun

memiliki rendemen bakso yang lebih tinggi (±30%).

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi

bagi produsen mengenai karakteristik fisik terutama tekstur dan kandungan

protein pada bakso penambahan texturized soy protein 30% serta penggunaan
7

karagenan sebagai bahan pengenyal alami. Manfaat bagi ilmu pengetahuan adalah

ditemukannya bahan baru untuk menambah rendemen bakso yang dihasilkan

dengan menggunakan texturized soy protein, namun memiliki kualitas setara

dengan bakso tanpa penambahan texturized soy protein dan karagenan. Selain itu

dapat meningkatkan hasil produksi bakso dengan memanfaatkan sifat daya serap

air dari texturized soy protein serta penggunaan bahan tambahan pengenyal alami

berupa karagenan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein Kedelai Bertekstur/ Texturized Soy Protein (TSP)

2.1.1 Definisi Protein Kedelai Bertekstur/ TSP

Protein kedelai bertekstur adalah produk dari protein kedelai bebas lemak

atau berlemak rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan

proteinnya tinggi. Kandungan protein pada konsentrat atau disebut juga pekatan

protein adalah minimum 70%, kedelai bertekstur minimum 50%, sedangkan isolat

minimum 95% (Koswara, 2009). Protein kedelai memiliki beberapa fungsi dalam

olahan daging seperti penyerapan dan pengikat lemak, pengikatan flavor,

pembentuk dan menstabilkan emulsi lemak dan membuat ikatan disulfida

(Koswara, 2009).

Protein kedelai bertekstur cukup kaya nutrisi sehingga banyak digunakan

untuk meningkatkan nilai nutrisi berbagai jenis pangan. Berdasarkan konsentrasi

protein yang terdapat dalam pekatan kedelai, terdapat tiga tingkatan kedelai yaitu

tepung, konsentrat, dan isolat kedelai. Kandungan tepung pada bungkil kedelai

mengandung 40%-62,5% protein. Kadar protein meningkat dari tepung ke

konsentrat dan ke isolat, masing-masing 56%, 72%, dan 96%. Kadar karbohidrat

sebaliknya turun dari 33,5% menjadi 7,5% dan 0,3%. Adanya pemanasan akan

menginaktivasi antitripsin dan enzim lipoksigenase sehingga menghasilkan

tepung protein kedelai yang bergizi tinggi dan bau langunya hilang. Hal yang

diinginkan dari protein kedelai bertekstur adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat

8
9

ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk

makanan (Abustam et al., 2010).

2.1.2 Proses Produksi Protein Kedelai Bertekstur/ TSP

Texturized soy protein dibuat dengan membentuk adonan dari indeks

kelarutan nitrogen tinggi (NSI) yang dihilangkan lemak tepung kedelai dengan air

dalam sebuah sekrup-jenis extruder seperti Wenger dan pemanasan dengan atau

tanpa uap. Adonan diekstrusi melalui sebuah dadu ke dalam berbagai

kemungkinan bentuk bubuk, serpih, potongan dan dikeringkan dalam oven. TSP

terbuat dari tepung kedelai mengandung 50% protein kedelai dan perlu direhidrasi

sebelum digunakan pada rasio berat dari 1:2 (texturized soy protein: air). Namun,

texturized soy protein ketika dibuat dari kedelai berkonsentrasi, mengandung 70%

protein dan dapat rehidrasi pada rasio 1:3. Texturized soy protein dapat digunakan

sebagai pengganti daging, karena teknologi ekstrusi mengubah struktur protein

kedelai, mengakibatkan terbentuknya matriks spons fibrosa yang mirip dengan

tekstur daging. 

Pembuatan protein kedelai bertekstur dilakukan dengan menggunakan

sifat-sifat fungsional protein. Salah satu yang paling berpengaruh adalah sifat

kelarutan protein. Protein kedelai bertekstur dibuat dengan cara mengendapkan

protein pada titik isoelektriknya. Dengan cara ini, protein dapat diisolasi dan

dipisahkan dari bagian bahan lainnya yang tidak diinginkan (Koswara, 2009).

Protein kedelai bertekstur dibuat dari tepung protein yang dihilangkan

setengah dari karbohidrat dan mineralnya. Komponen non protein pada


10

pembuatan tepung protein kedelai bertekstur dapat dipisahkan dengan tiga cara

yaitu cara pertama dapat menggunakan metode dengan penambahan alkohol,

penambahan alkohol dilakukan untuk memisahkan gula seperti sukrosa, rafinosa

dan stakiosa, mineral, pigmen dan komponen kecil lainnya. Kemudian komponen

yang tertinggal selain komponen yang dipisahkan tersebut, dilakukan pengeringan

dengan menggunakan pengering beku atau oven dengan suhu 50-55°C hingga

kadar air dibawah 10%. Produk ini biasa digunakan dalam pembuatan roti, daging

tiruan, susu imitasi dan lainnya karena daya serap air dan lemaknya bagus

(Koswara, 2009).

Cara kedua dengan merendam tepung kedelai dengan menggunakan

larutan HCL pada pH 4,5 dan diaduk selama 1 sampai 2 jam. Kemudian campuran

disentrifugasi sehingga terbentuk endapan dan cairan. Endapan sebagian besar

adalah protein dan komponen non protein terlarut dalam bagian cairan. Endapan

diambil dan dilarutkan kembali dengan netralisasi NaOH encer sampai pH 6-8.

Kemudian endapan dikeringkan dengan pengering semprot. Produk yang

diperoleh biasa digunakan untuk fortifikasi minuman karena kelarutannya yang

baik (Koswara, 2009).

Cara ketiga dengan proses pemanasan uap, dimana tepung kedelai

dipanaskan dengan uap hingga protein terdenaturasi sempurna. Setelah

terdenaturasi dengan baik selanjutnya komponen-komponen lain diekstrak dengan

menggunakan air. Selanjutnya bagian berprotein dikeringkan dengan

menggunakan pengering beku (Koswara, 2009).


11

Protein kedelai bertekstur umumnya mengandung protein hingga 50% dan

penggunaannya memiliki faktor pembatas yakni berupa rasa, sedangkan rasa

dalam bentuk konsentrasi mengandung protein sekitar 70% dan memiliki rasa

lembut dan protein kedelai dalam bentuk isolat memiliki kandungan protein

sebesar 90% dengan rasa sangat lembut, terdispersi dalam air dan mampu

mengikat air dan lemak dengan baik (Forrest dkk, 1975 dalam Lawrie, 2003).

Menurut (Abustam et al., 2010) mengemukakan bahwa protein kedelai dapat

memainkan peran fungsional protein dalam emulsifier, dan memperbaiki tekstur

produk yang dihasilkan.

2.1.3 Karakteristik Protein Kedelai Bertekstur/ TSP

Texturized soy protein atau protein kedelai bertekstur umumnya dibuat

dalam bentuk serat, sobekan-sobekan, gumpalan-gumpalan, granula, lembaran,

serpihan-serpihan, dan lain-lain. Texturized soy protein ini dihasilkan dari tepung

kedelai yang telah diambil kandungan lemaknya (defatted soy flour) dengan

menggunakan mesin ekstruder yang diberi perlakuan suhu dan tekanan tinggi

sehingga mengalami pengembangan volume sedemikian rupa sehingga

membentuk struktur produk akhir yang porous dan terbuka sesuai dengan

karakteristik produk yang diinginkan (Markaindo, 2015). Untuk menghasilkan

produk texturized soy protein yang spesifik dan nilai ingredientsnya meningkat,

maka dapat ditambahkan beberapa bahan tambahan makanan seperti flavor

makanan, warna, Calcium Chloride, lesitin, sodium chloride, sodium alginate,

gula, emulsifier, gluten gandum, dan surfaktan. Bahan tambahan ini dapat


12

membantu dalam mengontrol functional properties, tekstur, mouthfeel dan

densitas dari bahan yang diproses. Setelah jadi, dalam penggunaannya produk

texturized soy protein ini direndam kembali dalam air agar kadar airnya mencapai

60 % – 65 % dan setelah itu baru dicampurkan dengan daging atau emulsi daging

(Forrest et al., 1975 dalam Lawrie, 2003). Berikut gambar texturized soy protein

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar. 1 Texturized Soy Protein Medium Granula


(Dokumentasi Pribadi, 2017)

2.1.4 Aplikasi Protein Kedelai Bertekstur/Texturized Soy Protein

Texturized soy protein atau protein kedelai bertekstur biasanya digunakan

sebagai bahan campuran pada produk olahan daging dan susu. Prospek

penggunaaan protein kedelai bertekstur sangat luar biasa, bukan hanya sebagai

campuran tetapi juga sebagai bahan utama dalam industri makanan. Texturized

soy protein baik sekali ditambahkan dalam formulasi berbagai produk makanan,

sebagai bahan pengikat dan pengemulsi dalam produk-produk daging dan

formulasi produk pangan lainnya.

Sebagai contoh, di negara-negara barat texturized soy protein banyak

digunakan untuk memproduksi produk daging analog seperti, meatless ham,


13

meatless bacon, dan meatless hot dog. Selain itu texturized soy protein juga dapat

digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk daging kaleng agar produk

daging tetap dalam keadaan yang lembab (Singh et al., 2008).

Texturized soy protein yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

jenis texturized soy protein yang memiliki bentuk granula. Penggunaan TSP ini

berperan sebagai bahan pengikat dan pengisi. Penambahan bahan tersebut

bertujuan untuk meningkatkan daya mengikat air, mengurangi pengerutan selama

pemasakan serta mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material

bukan daging yang dapat meningkatkan daya mengikat air daging. Bahan pengikat

yang baik yaitu bahan yang mempunyai protein yang tinggi (Soeparno, 2005).

Sebelum digunakan texturized soy protein harus direhiderasi terlebih dahulu

menggunakan air panas, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan

kemampuannya untuk mengikat air selama proses pemasakan (Markaindo, 2015).

2.2 Bakso Sapi

Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

penambahan bumbu-bumbu dan bahan lainnya sehingga dihasilkan produk yang

strukturnya kompak atau berbentuk bulat, padat, kenyal, dan berisi. Bakso daging

menurut SNI No. 01-3818-2014 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau

lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari

50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bumbu BTP (bahan tambahan

pangan) yang diizinkan.


14

Menurut Sudrajat (2007), kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas

daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan banyaknya daging dan tepung

yang digunakan untuk membuat adonan, dan pemakaian jenis bahan tambahan

yang digunakan, misalnya garam dan bumbu-bumbu juga berpengaruh terhadap

kualitas bakso. Penggunaan daging yang berkualitas tinggi dan tepung yang baik

disertai dengan perbandingan tepung yang besar dan penggunaan bahan tambahan

makanan yang aman serta cara pengolahan yang benar akan dihasilkan produk

bakso yang berkualitas baik. Salah satu cara untuk menilai mutu bakso yaitu

dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Lima parameter

sensoris yang perlu dinilai yaitu penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur.

Kriteria dan deskripsi mutu sensoris bakso daging dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria dan Deskripsi Mutu Sensoris Bakso Daging

Parameter Bakso Daging

Penampakan Bakso bulat halus, berukuran seragam, bersih dan


cemerlang bersih tidak kusam, sedikitpun tidak
berjamur dan tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut
merata tanpa warna lain yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
masam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa dagingdominan rasa bumbu cukup
menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing
yang mengganggu
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah
berair, dan tidak rapuh
(Sumber: Wibowo, 2006)
15

Penilaian organoleptik atau penilaian sensoris merupakan penilaian yang

biasa diterapkan pada komoditi hasil pertanian yang menyangkut hasil-hasil

peternakan, dalam tingkat kesukaan konsumen terhadap hasil olahan daging.

Pembuatan bakso diharapkan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

konsumen. Kesesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh konsumen, meliputi

bau (aroma), rasa dan tekstur (Hasrati dan Rusnawati, 2011).

Bau (aroma) merupakan sesuatu yang diamati dengan indera penciuman.

Aroma dan rasa bakso daging sapi cenderung berasal dari kandungan lemak

daging dari bahan penyusun bakso tersebut. Rasa dinilai dengan indera pengecap

yang pada dasarnya dibagi menjadi empat kriteria rasa, meliputi rasa asin, rasa

pahit, rasa asam dan rasa manis. Penentuan rasa bakso daging sapi merupakan

gabungan dari berbagai rasa bahan penyusun secara terpadu yang menjadi ciri

khas bakso daging sapi (Hasrati dan Rusnawati, 2011).

Tekstur merupakan sensasi tekanan yang diamati dengan gigi pada saat

menggigit, mengunyah dan menekan dengan menggunakan perasaan jari tangan.

Menurut Soeparno (2009), menyatakan bahwa kesan keempukan secara

keseluruhan, meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek penilaian.

1. Kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging.

2. Mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen / potongan-potongan yang

lebih kecil.

3. Jumlah residu yang tertinggal setengah pengunyahan.


16

Selain itu, untuk menghasilkan bakso daging dengan kualitas yang baik

maka bakso harus memenuhi standar SNI 01-3818-2014. Berikut standar mutu

bakso daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar Mutu Bakso Sapi Berdasarkan SNI 01-3818-2014


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan : Bakso daging Bakso daging
kombinasi
1.1 Bau - Normal, khas Normal, khas
daging daging
1.2 Rasa - Normal, khas Normal, khas
bakso bakso
1.3 Warna - Normal Normal
1.4 Tekstur - Kenyal Kenyal
2 Air % b/b Maks. 70,0 Maks. 70,0
3 Abu % b/b Maks. 3,0 Maks. 3,0
4 Protein % b/b Min. 11,0 Min. 11,0
5 Lemak % b/b Maks. 10 Maks. 10
6 Boraks - Tidak boleh Tidak boleh
ada ada
7 Cemaran Logam:

7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0


7.2 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,3 Maks. 0,3
7.3 Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03
7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0
8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
9 Cemaran Mikroba
9.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks. 1 x 105 Maks. 1 x 105
9.2 Koliform APM/g Maks. 10 Maks. 10
9.3 Escheria Coli APM/g <3 <3
9.4 Enterrococci koloni/g Maks. 1 x 103
9.5 Clostridium perfingens koloni/g Maks. 1 x 102 Maks. 1 x 102
9.6 Salmonella - Negatif/25g Negatif/25g
9.7 Staphylococcus aureus koloni/g Maks. 1 x 102 Maks. 1 x 102
(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2014)
17

2.3 Bahan Baku Pembuatan Bakso Sapi

2.3.1. Daging Sapi

Menurut Abustam et al., (2010), daging merupakan kumpulan sejumlah

otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah

mengalami perubahan biokimia dan biofisik. Istilah otot digunakan saat ternak

masih hidup setelah ternak disembelih maka otot tersebut berubah menjadi

daging. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi

kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam

amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan

vitamin. Mineral-mineral yang terdapat pada daging meliputi kalsium,

magnesium, kalium, natrium, fosfor, khlor, besi, belerang, tembaga, dan mangan

pada daging sapi. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam

pemilihan daging adalah sifat fisik diantaranya warna, keempukan, tekstur,

kekenyalan dan kebasahan (Komariah dan Rahayu, 2009).

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan

dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik yaitu ternak harus dalam

keadaan sehat, bebas dari berbagai penyakit, ternak harus cukup istiharat, tidak

diperlakukan kasar, serta tidak mengalami stres agar kandungan glikogen otot

maksimal (Bahar, 2003). Selain itu daging mengandung pigmen pemberi warna

merah (mioglobin). Perubahan warna daging dari karkas menjadi merah cerah

karena pembentukan oksimioglobin dan ketika berubah menjadi coklat karena

mioglobin menjadi metmioglobin (Lawrie, 2003). Komposisi kimia daging sapi

dapat dilihat pada Tabel 3.


18

Tabel 3. Komposisi Kimia Daging Sapi (dalam 100 g bahan)


Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 207,00
Protein (g) 18,80
Lemak (g) 14,00
Hidrat arang (g) 0
Kalsium (mg) 11,00
Fosfor (mg) 170,00
Besi (mg) 28,00
Vitamin A (SI) 30,00
Vitamin B1 (mg) 0,08
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 66,00
(Sumber: Departemen Kesehatan R.I, 1996)

Komposisi kimia yang terdapat dalam daging sapi berbeda-beda

tergantung pada spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging karkas, proses

pengawetan, penyimpanan dan metode pengemasan. Selain itu kandungan lemak

pada daging sangat mempengaruhi komposisi kimia daging yakni jika kandungan

lemak dan kandungan air pada daging meningkat maka kandungan protein pada

daging akan menurun (Soeparno, 2009).

Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi

dengan radikal non protein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3

kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat.

Protein sarkoplasma adalah protein larut air (water soluble protein) karena

umumnya dapat diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril

terdiri atas aktin dan miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein ini

memiliki sifat larut dalam larutan garam (salt soluble protein). Protein jaringan

ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin

dan retikulin (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Protein otot terdiri atas sekitar 70%
19

protein struktur atau protein fibril dan sekitar 30% protein larut air. Protein

miofibril mengandung sekitar 32%-38% miosin, 13%-17% aktin, 7% tropomiosin

dan 6% protein strom. Miosin merupakan protein yang paling banyak pada otot

yaitu sekitar 38%. Protein daging berperan terhadap pengikatan lumatan daging

selama pemasakan sehingga membentuk struktur gel yang kompak (Dalilah,

2006).

Dalam pembuatan bakso daging, kesegaran dan jenis daging sangatlah

mempengaruhi mutu dari bakso. Oleh karena itu, digunakan jenis daging yang

baik dan bermutu tinggi. Sebaiknya dipilih jenis daging yang masih segar,

berdaging tebal, dan tidak banyak lemak sehingga rendemennya tinggi. Selain itu,

cara pengolahan bakso juga sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan,

misalnya jika lemak atau kulit terambil, warna bakso yang dihasilkan kotor atau

agak abu-abu (Sitanggang, 2009). Menurut Dalilah (2006), bagian karkas sapi

yang cocok digunakan untuk proses pembuatan bakso adalah paha bagian

belakang (top side) dan paha bagian depan (silver side) karena memiliki lemak

yang relatif sedikit. Berikut merupakan gambar bagian daging sapi dapat dilihat

pada Gambar 2.
20

Gambar 2. Bagian-Bagian Karkas Sapi


(Litbang Pertanian, 1993)

Daging yang digunakan dalam proses pembuatan bakso merupakan daging

prerigor, hal tersebut dipilih berdasarkan sifat Water Holding Capacity (WHC)

nya yang tinggi. Water Holding Capacity merupakan kemampuan daging untuk

mengikat air baik yang berasal dari daging itu sendiri maupun yang ditambahkan

dari proses pengolahan. Daging prerigor mengandung protein berupa filamen

aktin dan miosin yang dipisahkan oleh bantalan ATP, sehingga protein dapat

diekstraksi dengan mudah karena belum terbentuk ikatan aktomiosin yang

diakibatkan oleh hilangnya bantalan ATP. Karena jumlah protein yang dapat

terkstraksi mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan (Soeparno, 2009).

2.3.2 Tepung Tapioka

Tepung tapioka yang disebut juga pati ubi kayu merupakan granula dari

karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis, dan tidak berbau.

Tepung tapioka diperoleh dari hasil ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot
21

utilissima) yang umumnya terdiri dari tahap pengupasan, pencucian, pemarutan,

pemerasan, penyaringan, pengendapan, pengeringan, dan penggilingan

(Sitanggang, 2009). Tepung tapioka memiliki kandungan pati yang tinggi

sehingga memiliki peran dalam menentukan tekstur makanan, dimana campuran

granula pati dan air bila dipanaskan akan membentuk gel (Sitanggang, 2009).

Menurut Sitanggang (2009), tepung tapioka berfungsi sebagai bahan perekat dan

bahan pengisi bakso. Untuk mendapatkan bakso daging yang memiliki mutu

tinggi maka jumlah tepung tapioka yang digunakan sebaiknya 15% dari berat

daging yang digunakan.

Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki

kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Daya serap

air dari bahan pengisi dikenal dengan istilah kapasitas hidrasi pati yang dapat

diserap oleh pati sebelum dibuat adonan. Daya serap air bahan pengisi merupakan

salah satu faktor yang menentukan kemampuan pengembangan produk pangan

(Ahmadi et al., 2007). Menurut Forrest et al. (1975) dalam Lawrie (2003),

penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama

pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki

sifat irisan dan mengurangi biaya produksi.

II.3.3 Garam (NaCl)

Garam dapur memiliki peranan sebagai pembentuk cita rasa pada produk

bakso, pelarut protein daging yaitu miosin sehingga menstabilkan emusli daging,

sebagai pengawet karena mampu mencegah pertumbuhan mikroba sehingga


22

memperlambat pertumbuhan mikroba, serta dapat meningkatkan daya ikat air

yang biasa dipadukan dengan bahan tambahan pangan berupa STPP (Sudrajat,

2007).

Kerry et al. (2002) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada

daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi

selama perlakuan mekanis sehingga membentuk matriks yang kuat dan mampu

menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Kemampuan daya mengikat

air pada garam berhubungan dengan kemampuan ion NA + dan Cl-. Namun peran

Cl- lebih dominan karena ion Cl- mampu berikatan kuat dengan filamen protein

yang bermuatan positif, sehingga menyebabkan filamen protein bermuatan

negatif. Karena saling bermuatan negatif, maka terjadi penolakan antar filamen,

akibatnya ruang antar filamen menjadi lebih luas sehingga daya mengikat air

meningkat. Peningkatan daya mengikat air terjadi pada penambahan garam diatas

1% (Sudrajat, 2007).

II.3.4 Monosodium Glutamat (MSG)

Monosodium glutamat adalah garam natrium glutamat, zat aditif pada

makanan yang meningkatkan cita rasa makanan yang ada dalam makanan

kemasan tanpa tertera pada label, berbeda dengan garam penggunaan MSG ini

menimbulkan kesan umami pada produk yang dikonsumsi (Sitanggang, 2009).

Gugusan glutamat pada MSG berasal dari asam glutamat yang dapat diekstrak

dari gluten gandum, kasein, tepung kedelai dan sumber lain. Selain dalam MSG
23

glutamat juga terdapat dalam bahan pangan tinggi protein baik nabati maupun

hewani (Ardyanto, 2004).

Fungsi MSG sebagai penguat rasa, beberapa pendapat mengenai

mekanisme kerja MSG ialah menyedapkan rasa daging karena adanya hidrolisis

protein dalam mulut, dapat meningkatkan citarasa dengan mengurangi rasa yang

tidak diinginkan, meningkatkan rasa asin dan memperbaiki keseimbangan citarasa

(Cahyadi, 2006). Menurut Ardyanto (2004)., penggunaan MSG pada makanan

dinyatakan aman jika penggunaannya sebesar 0,1% - 0,8%, MSG tersebut

termasuk kedalam golongan daftar GRAS (Generally Recognize as Safe) atau

dinyatakan aman untuk dimakan.

II.3.5 Sodium Tripolyposphat (STPP)

STPP merupakan termasuk kedalam golongan alkali fosfat yang berfungsi

untuk meningkatkan pH daging dan meningkatkan daya mengikat air protein otot,

menurunkan penyusutan selama pemasakan, menstabilkan warna, dan

meningkatkan reaksi oksidasi serta meningkatkan mutu produk daging

(Ockerman, 1983 dikutip Sudrajat, 2007). STPP membantu mengekstrak dan

melarutkan miosin. Fungsi dari fosfat tersebut bergantung pada konsentrasi NaCl

yang mampu memperbaiki mutu produk daging. Namun penggunaan STPP perlu

dibatasi karena dapat menimbulkan rasa pahit pada produk yang dihasilkan.

Penambahan STPP juga dapat meningkatkan rendemen, kekenyalan dan

kekompakan bakso (Sudrajat, 2007).


24

2.3.6 Es Batu

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es,

sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es

atau air juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering,

meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging. Jumlah es yang

ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air,

kekenyalan dan kekompakan bakso (Usman, 2014). Oleh sebab itu, penggunaan

es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging

adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama

penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa

daging secara merata, mempermudah ekstraksi proterin otot, membantu proses

pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika

panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi

mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu

selama pemasakan (Abubakar dan Usmiati, 2007).

Untuk itu agar bakso yang dihasilkan memiliki karakteristik yang bagus

maka daging lumat digiling bersamaan dengan es batu dan garam, kemudian

ditambahkan bahan yang lain hingga adonan homogen. Pencampuran es batu pada

saat penggilingan bertujuan agar selama penggilingan daya elastisitas daging tetap

bias terjaga sehingga bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal. Penggunaan es

batu juga dapat meningkatkan rendemen bakso. Untuk itu penggunaan es batu
25

sebanyak 10-15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat daging

(Sitanggang, 2009).

2.4 Karagenan

Karagenan merupakan polisakarida linier hasil ekstraksi dari beberapa

kelompok Rhodophyceae (rumput laut merah) seperti Chondrus, Euchema,

Gigartina, Gloiopeltis, dan E. cottoni dan E. spinosum yang merupakan jenis

Rhodophyceae yang banyak ditemui di perairan Indonesia dan merupakan jenis

dari rumput laut penghasil karagenan (Imeson, 2000 dikutip Lubis, 2013).

Karagenan termasuk kedalam bahan tambahan makanan yang berfungsi sebagai

penstabil, pemekat dan pengental makanan sehingga dapat membentuk kekentalan

tertentu atau gel (Winarno, 1996).

Menurut Hellebust dan Cragie (1978) dalam Lubis, 2013), karagenan

terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karagenan

merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut

dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan

macam-macam polisakarida Rhodophyceae, polisakarida tersebut harus

mengandung 20 % sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai

karagenan.

Karagenan dalam larutan akan membentuk rangkaian polimer acak yang

tidak dipengaruhi oleh reaksi ion spesifik. Pada tahap kedua rangkaian polimer

akan membentuk ion spesifik yang cocok untuk pembentukan gel. Konsistensi gel
26

karagenan dipengaruhi oleh jenis dan tipe karagenan, adanya ion-ion, serta pelarut

yang menghambat terbentuknya hidrokoloid (Angka dan Suhartono, 2000).

2.4.1 Jenis-Jenis Karagenan

Karagenan merupakan polisakarida linier atau lurus, dan merupakan

molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karagenan

merupakan molekul besar yang terdiri dari lebih 1000 galaktosa (Angka dan

Suhartono, 2000). Karagenan dibagi atas tiga kelompok utama yaitu:

A. Kappa karagenan

Kappa karagenan merupakan jenis karagenan yang paling sering

digunakan. Sifat penting dari kappa karagenan ialah dapat membentuk gel yang

kuat serta dapat berinteraksi dengan protein susu (Philips, 2000 dikutip Lubis,

2013). Kappa karagenan pada Gambar 3 terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan

3,6-anhidro-D- galaktosa. Karagenan juga sering mengandung D-galaktosa-6

sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa 2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat

dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan pemberian alkali

mampu menyebabkan transeliminasi gugusan 6-sulfat, sehingga menghasilkan

bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul

meningkat dan daya gelasinya juga bertambah.


27

Gambar 3. Struktur Kappa Karagenan


(Sumber : Philips (2000) dikutip Lubis, 2013)

B. Iota karagenan

Iota karagenan merupakan jenis karagenan dengan kandungan sulfat yang

berada diantara kappa dan lamda karagenan. Iota karagenan pada Gambar 4

ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D galaktosa dan gugusan

2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D- galaktosa. Gugusan 2-sulfat

ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa

karagenan. Kurangnya keseragaman molekul pada iota karagenan dapat

dihilangkan dengan penambahan alkali, hal tersebut karena iota karagenan

mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester (Winarno, 1996).

Gambar 4. Struktur Iota Karagenan


(Sumber : Philips (2000) dikutip Lubis, 2013)
28

C. Lamda karagenan

Lamda karagenan pada Gambar 5 berbeda dengan kappa dan iota

karagenan, karena memiliki sebuah residu disulphated α-(1,4)-D-galaktosa

(Winarno, 1996). Lamda karagenan merupakan jenis karagenan yang memiliki

kandungan sulfat yang cukup tinggi yaitu sekitar 35%. Karagenan jenis lamda ini

tidak membentuk gel, sehingga biasa digunakan untuk memberikan sensasi

mouthfeel dan sensasi creamy pada produk olahan susu (Philips, 2000 dikutip

Lubis, 2013).

Gambar 5. Struktur Lamda Karagenan


(Sumber : Philips (2000) dikutip Lubis, 2013)

2.4.2 Sifat-Sifat Karagenan

A. Kelarutan

Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya tipe karagenan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion lain, dan zat-zat

terlarut lainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat hidrofilik,

sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lamda karagenan

mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dan

mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karagenan jenis iota bersifat lebih

hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-

galaktosa yang kurang hidrofilik. Karagenan jenis kappa kurang hidrofilik karena
29

lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle, 1973 dikutip

Diharmi, 2016).

Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam

dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara

jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karagenan dalam

bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas

untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium

lebih mudah larut. Lamda karagenan larut dalam air dan tidak tergantung jenis

garamnya (Lubis, 2013).

Lubis (2013) menyatakan bahwa karagenan dapat membentuk gel secara

reversibel artinya dapat membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair

pada saat dipanaskan. Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknya struktur

heliks rangkap yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Daya kelarutan karagenan pada

berbagai media dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Daya Kelarutan Karagenan pada Berbagai Media pelarut


No Medium Kappa Iota Lamda
O O
1 Air panas Larut diatas 60 C Larut diatas 60 C Larut
2 Air dingin Garam Na larut, Garam Na larut, Larut
garam K, Ca tidak Ca memberi
larut disperse
thixotropic
3 Susu panas Larut Larut Larut
4 Susu dingin Garam Na,K,Ca tidak Tidak larut Larut
larut tetapi akan
mengembang
5 Larutan gula Larut (Dipanaskan) Larut, sukar larut Larut
pekat (Dipanaskan) (Dipanaskan)
6 Larutan Larut Larut Larut
garam pekat (Dipanaskan) (Dipanaskan)
(Sumber: Indriani dan Sumarsih, 1987)
30

B. Viskositas

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas

suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi karagenan,

suhu, jenis karagenan, berat molekul, dan adanya molekul-molekul lain (Towle,

1973 dikutip Diharmi, 2016). Jika konsentrasi karagenan meningkat maka

viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara

progresif dengan adanya peningkatan suhu, pada konsentrasi 1,5%, dan suhu 75 oC

nilai viskositas karagenan berkisar antara 5–800 cP (FAO, 1990).

Viskositas larutan karagenan terutama disebabkan oleh sifat karagenan

sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif

sepanjang rantai polimer, yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul

menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-

molekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karagenan bersifat

kental (Guiseley dkk., 1980 dalam Lubis, 2013)

Moirano (1977) dikutip Lubis (2013), mengemukakan bahwa semakin

kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi

konsistensi gelnya semakin meningkat. Adanya garam-garam yang terlarut dalam

karagenan akan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan

ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat,

sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas

larutan menurun. Viskositas larutan karagenan akan menurun seiring dengan

peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan

dengan degradasi karagenan (Towle 1973 dikutip Diharmi, 2016).


31

C. Pembentukan Gel

Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan

silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi

bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di

dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Gel mempunyai sifat

seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan (Glicksman, 1983).

Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari dua

molekul masing-masing membentuk double helix yang mengikat rantai molekul

menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel. Lamda karagenan tidak mampu

membentuk double helix tersebut. Sifat ini dapat terlihat bila larutan dipanaskan

kemudian diikuti dengan pendinginan sampai di bawah suhu tertentu, kappa dan

iota karagenan akan membentuk gel dalam air yang bersifat reversible yaitu akan

mencair kembali pada saat larutan dipanaskan (Winarno, 1996). Mekanisme

pembentukan gel karagenan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Mekanisme Pembentukan Gel Karagenan


(Sumber: Glicksman, 1983)

Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan

gel akan mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan menjadi random coil
32

(acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double

helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-

polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya

bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap

terbentuknya gel yang kuat (Glicksman, 1983). Jika diteruskan, ada kemungkinan

proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil

melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz, 1989).

Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada

saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3,6-

anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe, dan posisi gugus sulfat akan

mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan sensitif terhadap ion

kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota

karagenan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca 2+, akan tetapi

lamda karagenan tidak dapat membentuk gel (Glicksman, 1983).

Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun

dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan

glikosidik pada molekul karagenan (Angka dan Suhartono, 2000). Konsistensi gel

dipengaruhi beberapa faktor antara lain jenis dan tipe karagenan, konsistensi,

adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat pembentukan hidrokoloid (Towle

1973 dikutip Diharmi, 2016).


33

2.5 Proses Pengolahan Bakso Sapi

Untuk mendapatkan kualitas bakso yang baik maka digunakan daging sapi

dengan mutu yang baik dan segar. Daging yang digunakan harus dipisahkan dari

lemak dan uratnya, hal tersebut bertujuan agar bakso yang dihasilkan memiliki

permukaan yang halus. Kemudian daging dilumatkan untuk memudahkan

pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga

aktin dan miosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak

mungkin. Selama proses penggilingan daging perlu diperhatikan kenaikan suhu

akibat panas yang dihasilkan pada proses penggilingan, karena suhu yang

dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas emulasi ialah dibawah 20oC, karena

jika suhu diatas suhu tersebut akan terjadi denaturasi protein sehingga emulsi

pecah. Cara untuk mempertahankan suhu tersebut dengan menambahkan es batu

selama penggilingan daging, penggilingan daging dilakukan dengan

menggunakan alat yang bernama mincer (Abubakar dan Usmiati, 2007).

Setelah diperoleh daging lumat, kemudian dicampurkan dengan bahan-

bahan lain dalam food processor hingga adonan homogen. Pencetakan bakso

umumnya dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan dengan

menggunakan tangan atau mesin pencetak. Jika pembentukan adonan

menggunakan tangan, maka memerlukan alat bantuan berupa sendok. Proses

pemasakan bakso dengan cara merebus yang berfungsi untuk membentuk struktur

bakso yang kompak, kenyal dan padat yang disebabkan karena proses koagulasi

protein dan gelatinisasi pati (Paulus, 2010).


34

Terdapat dua fase selama pemasakan yaitu fase pertama terjadi pada suhu

antara 40-50oC, myosin kehilangan solubilitasnya yang diindikasikan dengan

terjadinya denaturasi protein. Fase kedua terjadi pada suhu 65-75 oC, serabut-

serabut otot mengalami penyusutan sebanyak 25-30%, dan juga terbentuk gel

yang optimal. Pada suhu yang lebih tinggi maka akan terjadi kehilangan kekuatan

mekanik jaringan ikat melalui perubahan kolagen menjadi gelatin (Abubakar dan

Usmiati, 2007).
III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pikiran

Bakso didefinisikan sebagai daging yang dihaluskan, dicampur dengan

tepung tapioka, lalu dibentuk bulat-bulat dengan tangan sebesar kelereng atau

lebih besar (Sitanggang, 2009). Daging sapi sebagai bahan baku utama dalam

pembuatan bakso sangat menentukan mutu bakso yang dihasilkan. Terjadinya

kenaikan harga daging sapi akan mempengaruhi jumlah bahan baku daging sapi

dalam produksi bakso. Harga bahan baku yang tinggi membuat jumlah pembelian

daging sapi serta keuntungan produksi menurun, sehingga produsen sering kali

menurunkan kualitas dari produksi bakso yang dihasilkan. Salah satu solusi jenis

bahan pangan yang dapat digunakan sebagai bahan campuran adonan bakso tanpa

menurunkan mutu gizi serta kualitas bakso adalah texturized soy protein.

Texturized soy protein merupakan produk olahan kedelai yang telah

dihilangkan komposisi lemaknya dan komponen lainnya sehingga menyisakan

komponen prote in yang relatif tinggi yakni sekitar 50% (Koswara, 2009).

Penggunaan texturized soy protein dalam produk pangan sudah banyak digunakan

dalam produk olahan daging. Hal tersebut dikarenakan sifat fungsional dari

texturized soy protein yang mampu membentuk produk akhir yang porous selain

itu memiliki kemampuan sebagai bahan pengikat dan bahan pengisi dalam

produk-produk daging (Singh et al., 2008).

Dalam pembuatan bakso penambahan texturized soy protein terdapat

empat perlakuan sampel dengan formulasi yang berbeda. Perbandingan yang

digunakan dalam penambahan texturized soy protein dengan daging yang

35
36

digunakan terdiri dari kontrol tanpa penambahan texturized soy protein dan tiga

perlakuan yakni 10%, 20% dan 30%. Ketiga perlakuan konsentrasi texturized soy

protein tersebut akan menimbulkan perbedaan hasil mutu dari bakso yang

dihasilkan. Namun akan dapat diketahui formulasi dengan kualitas baik.

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menunjang percobaan utama.

Percobaan pendahuluan dilakukan pembuatan bakso dengan penambahan

texturized soy protein sebanyak 10%, 20% dan 30%. Penambahan texturized soy

protein hingga 30% menjadi titik kritis dari penambahan texturized soy protein.

Dikarenakan pada penambahan texturized soy protein 30% terjadi penurunan daya

terima konsumen terhadap warna, aroma, citarasa serta tekstur bakso yang

dihasilkan, namun penambahan texturized soy protein 30% menghasilkan bakso

hampir 2 kali lipat dari berat adonan sebelum pemasakan. Penambahan texturized

soy protein pada setiap konsentrasi memiliki perbedaan yang signifikan terhadap

semua parameter seperti warna, aroma, citarasa dan tekstur.

Parameter utama yang dilakukan pada percobaan ini merupakan tekstur

bakso yang dihasilkan. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, bakso dengan

penambahan texturized soy protein 10% paling disukai panelis, sedangkan

penambahan texturized soy protein 30% tidak disukai panelis. Hasil percobaan

pendahuluan tersebut, terdapat evaluasi pada tekstur yang dihasilkan bakso pada

penambahan 30% texturized soy protein, yakni tekstur bakso yang kurang kompak

dan cenderung lembek sehingga tidak ada gaya yang terjadi saat dilakukan proses

gigitan. Hal tersebut dikarenakan kemampuan daya serap air pada texturized soy

protein yang cukup tinggi, namun kemampuan dalam mengikat air didalamnya
37

rendah (Sudrajat, 2007). Oleh karena itu salah satu alternatif untuk menciptakan

tekstur yang lebih kuat serta kenyal pada bakso yang dihasilkan dengan

melakukan penambahan suatu koloid salah satunya adalah karagenan.

Penggunaan karagenan bertujuan untuk memperbaiki tekstur dan

kekenyalan gel dari produk makanan. Karagenan telah banyak digunakan untuk

meningkatkan elastisitas dari produk pangan hewani (Diharmi, 2016). Hal ini

didukung oleh (Paulus, 2010), bahwa penambahan karagenan 1,5% dari berat

adonan menghasilkan bakso yang paling disukai oleh panelis. Karagenan yang

digunakan berupa jenis kappa karagenan karena memiliki daya kemampuan gel

yang lebih kuat dibandingkan dengan jenis iota dan lamda karagenan (Paulus,

2010). Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, maka pada percobaan utama

bakso akan diberi penambahan texturized soy protein 30% dan penambahan

karagenan pada konsentrasi 1,5%, 3%, dan 4,5% dari berat adonan bakso untuk

mendapatkan tekstur bakso yang terbaik.

3.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikir yang diuraikan, maka hipotesis penelitian ini

adalah Penambahan karagenan dalam formulasi bakso penambahan texturized soy

protein 30% memiliki tekstur yang mendekati tekstur bakso kontrol (tanpa

penambahan texturized soy protein dan karagenan).


IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian utama dilakukan pada bulan Juni 2017 di Laboratorium

Teknologi Pengolahan Pangan, Laboratorium Sensori Pangan, Laboratorium Uji

dan Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Teknologi Industri Pangan,

Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran.

4.2 Bahan dan Alat Penelitian

4.2.1 Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah texturized soy

protein berbentuk granula, daging sapi, tepung tapioka, garam, MSG, STPP, es

batu, karagenan, akuades, NaOH 60%, indikator methyl red blue, H3BO3, HCl

0,02 N.

4.2.2 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah mincer, food processor, stopwatch,

thermometer, wadah plastik, sendok, kompor, timbangan, pisau, talenan, dandang,

texture analyzer, labu kjhedal, neraca analitik, pipet volumetrik, bulb, erlenmeyer,

gelas ukur, beaker glass, spatula, dan oven.

4.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental yang

bersifat deskriptif yang dilanjutkan dengan pengujian hipotesis menggunakan Uji

38
39

t untuk membedakan karakteristik bakso dengan penambahan texturized soy

protein 30% dan berbagai konsentrasi karagenan dengan bakso berbahan baku

daging sapi. Uji t dilakukan menggunakan uji dwi arah pada tingkat kepercayaan

95% (α = 0,05) dengan hipotesis:

H0 : θ = θ 0

H1 : θ ≠ θ0

Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang

dicoba adalah penambahan texturized soy protein 30% dan berbagai konsentrasi

karagenan:

Kontrol = Bakso tanpa penambahan texturized soy protein dan karagenan

A = Bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan karagenan 1,5%

B = Bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan karagenan 3%

C = Bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan karagenan 4,5%

(Penambahan konsentrasi karagenan berdasarkan berat total adonan bakso)

Layout Penelitian:
Ulangan 1 2 3

A X1 X2 X3

B Y1 Y2 Y3

Ulangan 1 2 3

A X1 X2 X3

C Y1 Y2 Y3
40

Ulangan 1 2 3

A X1 X2 X3

D Y1 Y2 Y3

Setelah diperoleh data Xi dan Yi, dilakukan perhitungan nilai di = Xi - Yi

serta dilakukan pula perhitungan nilai di2. Hasil perhitungan nilai di dan di2 ditulis

pada tabel berikut:

Tabel 5. Format Hasil Perhitungan Nilai di dan di2 pada Uji t Berpasangan
No.
Data Data Beda
Pasangan di2
Xi Yi di = Xi - Yi
(Ulangan)
1 X1 Y1 d1 d12
2 X2 Y2 d2 d22
3 X3 Y3 d3 d32
(Sumber: Sudrajat dan Achyar, 2010)

Persamaan untuk menghitung thitung pada uji beda dua rata-rata berpasangan

(paired observation) berpasangan menurut (Sudrajat dan Achyar, 2010) adalah

sebagai berikut:

∑d i
d́=
n

(∑d i)2

Sd =
√ ∑ di2 −
(n−1)


n

t hit =
Sd/ √ n

pada db = n -1

Kaidah keputusan:

1) Untuk H0 : θ = θ0 ---- terima H0 jika | thit | < tα/2(n-1)


41

H0 : θ = θ0 , karakteristik bakso dengan penambahan texturized soy protein

30% dan berbagai konsentrasi karagenan sama dengan karakteristik bakso

berbahan baku daging sapi tanpa penambahan texturized soy protein 30%

dan karagenan.

2) Untuk H1 : θ ≠ θ0 ---- tolak H0 jika | thit | > tα/2(n-1)

H1 : θ ≠ θ0 , karakteristik bakso dengan penambahan texturized soy protein

30% dan berbagai konsentrasi karagenan tidak sama dengan karakteristik

bakso berbahan baku daging sapi tanpa penambahan texturized soy protein

30% dan karagenan.

4.3 Pelaksanaan Penelitian

4.3.1 Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan bertujuan untuk belajar menggunakan

peralatan/mesin serta mengetahui karakteristik produk dari setiap formulasi yang

digunakan serta menentukan mutu kritis produk. Untuk itu percobaan

pendahuluan dilakukan dengan tiga tahapan, yakni:

1. Mempelajari cara pembuatan bakso dengan menggunakan food processor

serta mengevaluasi karakteristik yang dihasilkan.

2. Mempelajari cara pembuatan bakso dengan menggunakan penambahan

bahan penambahan texturized soy protein berbagai perlakuan

menggunakan food processor dan mengevaluasi karakteristiknya.

3. Mempelajari pengaruh penambahaan penambahan texturized soy protein

terhadap karakteristik yang dihasilkan pada produk bakso.


42

4. Penentuan jumlah penggunaan penambahan texturized soy protein pada

bakso.

4.3.2 Percobaan Utama

Formulasi pembuatan bakso sapi menggunakan formulasi (Nur’aini,

2011). Formulasi yang digunakan pada percobaan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 6. Penetuan Formulasi Bakso Sapi dengan Penambahan TSP Tahap I


Jumlah
Nama Bahan
A (gram) B (gram) C (gram)
Daging sapi prerigor 500 500 500
Tepung tapioka 75 75 75
Garam 8 8 8
MSG 4 4 4
STPP 3 3 3
ES 150 150 150
Texturized soy protein 50 100 150
Total Bahan 790 840 890

Tahap pelaksanaan dalam pembuatan bakso penambahan Texturized Soy

Protein meliputi tahap penimbangan bahan, penggilingan, pencampuran bahan,

pencetakan, dan perebusan. Proses pembuatan bakso penambahan texturized soy

protein selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persiapan Bahan

a. Penimbangan Bahan

b. Rehidrasi Texturized Soy Protein

Texturized Soy Protein yang digunakan merupakan berbentuk granula

dalam bentuk kering sehingga sebelum digunakan harus melalui proses

rehidrasi dengan air panas terlebih dahulu. Rehidrasi bertujuan untuk


43

meningkatkan kemampuan texturized soy protein dalam mengikat air

selama proses pemasakan.

2. Penggilingan daging

Tahapan ini bertujuan untuk memudahkan pembentukan adonan, selain itu

penggilingan daging untuk memecah dinding-dinding sel serabut otot

daging sehingga memudahkan protein seperti aktin dan miosin dapat

diekstrak yang akan menghasilkan tekstur yang baik pada bakso. Selama

penggilingan juga harus diperhatikan kenaikan suhu akibat proses

penggilingan oleh karena itu selama proses penggilingan perlu

ditambahkan es batu untuk menjaga stabilitas emulsi.

3. Pencampuran dengan Food Processor

Tahapan ini bertujuan untuk pencampuran seluruh bahan-bahan agar

dihasilkan adonan yang homogen, namun pada tahapan ini suhu adonan

juga harus tetap dijaga suhunya yakni tidak boleh lebih dari 20 oC oleh

karena itu pada saat pencampuran diberikan es batu untuk menjaga suhu

adonan agar tidak terjadi denaturasi protein.

4. Pencetakan

Pencetakan bakso dilakukan secara manual menggunakan tangan dan

sendok. Setelah dicetak bakso dimasukkan kedalam air dengan suhu 60 oC

selama 5 menit yang bertujuan untuk mempertahankan bentuk bakso.

5. Perebusan

Perebusan bertujuan untuk pematangan adonan bakso setelah pencetakan,

saat perebusan maka akan terjadi pembentukan struktur bakso yag kompak
44

serta kenyal dan padat. Suhu perebusan yang digunakan ialah 75 oC karena

pada suhu terebut akan terbentuk gel yang optimal.

6. Penirisan dan Pendinginan

Penirisan bertujuan mengurangi kandungan air pada bakso selama proses

perebusan. Pendinginan bertujuan untuk menghentikan proses pemasakan

yang terjadi pada bakso akibat panas selama proses perebusan.

Diagram proses pembuatan bakso penambahan texturized soy protein dapat dlihat

pada Gambar 7.
Daging sapi
prerigor 500 gr

Es batu Penggilingan dengan Mincer


50 gr
TSP rehidrasi (50 gr,
100 gr, 150 gr), Pencampuran dengan Food
Tapioka 75 gr, STPP 3 Processor
gr, Garam 8 gr, Es batu
100 gr dan MSG 4 gr
Pencetakan Bakso dalam Air
Panas (T = ±60OC, t = 5 menit)

Perebusan
(T = ±75OC, t = 6 menit)

Penirisan dan Pendinginan


(T = 23-25 OC, t = 30 menit)

Bakso
Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Bakso Penambahan TSP Tahap I
(Sumber: Nur’aini dimodifikasi, 2011)
Pelaksanaan penelitian tahap I bertujuan untuk menentukan formulasi

bakso yang akan digunakan serta untuk mengetahui karakteristik bakso

berdasarkan berbagai konsentrasi texturized soy protein. Berdasarkan hasil


45

penelitian tahap I yang dilakukan maka bakso dengan penambahan texturized soy

protein dengan konsentrasi 30% yang terpilih untuk dilanjutkan kedalam

penelitian tahap II. Selain itu untuk bakso dengan penambahan texturized soy

protein 30% diberlakukan penggunaan bahan yang akan dipakai ditingkatkan

menjadi 2 kali lipat dikarenakan jumlah adonan yang dihasilkan pada penambahan

texturized soy protein 30% mencapai 2 kali lipat. Berikut ini tabel formulasi serta

diagram proses pembuatan bakso tahap II.

Tabel 7. Formulasi Bakso Sapi dengan Penambahan TSP dan Karagenan


Jumlah (gram) Kadar Protein
Nama (%)
Bahan A B C
Kontrol
(1,5%) (3%) (4,5%)
Daging sapi 21,6
300 300 300 300
prerigor
Tepung -
90 90 90 90
tapioka
Garam 9,6 9,6 9,6 9,6 -
MSG 4,8 4,8 4,8 4,8 -
STPP 3,6 3,6 3,6 3,6 -
ES 180 180 180 180 -
Texturized 32,7
- 90 90 90
Soy Protein
Karagenan - 10,17 20,34 30,51 18,6**
Total bahan 588 688,17 698,34 708,51 -
*) Penambahan karagenan berdasarkan total adonan bakso
**)(Ega et al., 2016)

4.4 Kriteria Pengamatan

1. Tekstur (Firmness dan Springiness) menggunakan Texture Analyzer

(Usman, 2014).

2. Pengukuran kemampuan daya mengikat air pada bakso dengan metode

Hamm (Sudrajat, 2007).


46

3. Sifat organoleptik dengan uji hedonik terhadap tekstur (Setyaningsih et al.,

2010).

4. Perubahan massa jenis (Tipler, 2001).

5. Rendemen Bakso (Dewi dan Widjanarko, 2014).

6. Kadar protein dengan Perhitungan Neraca Massa.


47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter penting dalam menilai kualitas

produk bakso. Pengukuran tekstur pada penelitian didapatkan dengan

menggunakan suatu alat untuk pengukuran profil tekstur yakni Texture Analyzer.

Pengujian tekstur diukur dengan memberikan gaya kompresi menggunakan probe

silinder berdiameter 36 mm, dari pengukuran tekstur bakso menghasilkan nilai

firmness dan springiness. Parameter firmness menunjukkan besarnya tekanan

yang dapat diberikan terhadap produk sehingga produk hancur, nilai firmness

ditunjukkan oleh kemampuan maksmimum yang dibutuhkan untuk menekan

makanan (Roshental, 1999). Parameter springiness merupakan kemampuan suatu

produk pangan untuk kembali seperti semula setelah diberi tekanan (Roshental,

1999).

Nilai firmness dan springiness dari bakso dengan penambahan texturized

soy protein 30% dan berbagai konsentrasi karagenan kemudian dibandingkan

dengan bakso tanpa penambahan texturized soy protein dan karagenan. Hasil

mengenai tekstur (firmness dan springiness) bakso penambahan TSP 30% dan

berbagai konsentrasi karagenan dapat dilihat pada Tabel 8.


48

Tabel 8. Hasil Pengujian Tekstur Bakso Penambahan TSP 30% dan


Karagenan dengan Texture Analyzer.
Sampel Firmness (gf) Springness
Kontrol a a
1,064.08±63.73 61.14±0.52
A a a
1,045.21±82.77 62.74±0.29
b b
B 1,103.51±76.50 60.85±0.40
c c
C 1,328.24±19.33 58.92±0.88
Keterangan: Nilai rata-rata sampel pada satu kolom yang ditandai huruf kecil yang sama
menyatakan bahwa keduanya tidak berbeda nyata menurut uji t (α = 5%)
Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Berdasarkan hasil uji t (p=0,05), perlakuan bakso penambahan TSP 30%

dan konsentrasi karagenan 1,5% memiliki nilai firmness dan springiness yang

tidak berbeda nyata terhadap nilai firmness dan springiness bakso kontrol (tanpa

penambahan TSP dan karagenan), sedangkan bakso penambahan TSP 30% dan

konsentrasi karagenan 3% dan 4,5% memiliki nilai firmness dan springiness yang

berbeda nyata terhadap nilai firmness dan springiness bakso kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 8, semakin tinggi penambahan

konsentrasi karagenan maka berdampak pada semakin tinggi daya firmness dari

bakso tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Karim dan

Apasari (2015) yang menyatakan bahwa penambahan tepung karagenan

berbanding lurus dengan peningkatan nilai kekuatan gel dari bakso tersebut. Oleh

karena itu, semakin tinggi penambahan konsentrasi karagenan maka semakin

tinggi pula gaya yang dibutuhkan untuk memberi deformasi pada bakso. Hal ini

menunjukkan bahwa produk tersebut semakin kompak dikarenakan kekuatan gel

yang semakin tinggi.


49

Nilai springiness yang didapatkan berbanding terbalik dengan nilai

firmness bakso terhadap penambahan konsentrasi karagenan. Semakin tinggi

penambahan konsentrasi karagenan maka nilai springiness bakso semakin rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa bakso memiliki tekstur yang tidak elastis karena

memiliki nilai firmness yang tinggi namun nilai springiness yang rendah, hal

tersebut menggambarkan tekstur bakso agak sulit dalam proses penggigitan.

Penurunan nilai springiness ini diakibatkan kemampuan karagenan itu sendiri

dalam menahan air pada produk bakso sehingga massa daging sapi dan TSP

dalam bakso akan diisi oleh air yang terikat, sehingga kemampuan bakso untuk

kembali ke bentuk semula setelah proses penggigitan semakin berkurang (Paulus,

2010). Hal tersebut sejalan dengan kemampuan mengikat air bakso, dimana

semakin tinggi penambahan konsentrasi karagenan maka semakin banyak air yang

terikat sehingga kemampuan kembali ke bentuk semula pun menurun karena

kandungan air yang tinggi pada bakso.

Pengukuran tekstur kali ini menggunakan alat berupa texture analyzer, dari

pengukuran tersebut akan menghasilkan suatu grafik yang menunjukkan

parameter firmness dan springiness. Berikut ini merupakan contoh grafik yang

didapatkan dari pengukuran tekstur bakso TSP 30% dan karagenan 3%

menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Gambar 8.


50

12 A
10

8
Force (gf)

0 B
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0
Time (Second)

A : Firmness B: Springiness

Gambar 8. Grafik Hasil Pengukuran Tekstur Bakso TSP 30% dan Karagenan 3%

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa parameter yang didapatkan

dari pengujian tekstur ini ialah firmness dan springiness. Nilai tersebut dapat

dilihat pada Gambar 8 yang ditandai dengan huruf A, untuk mendapatkan

parameter firmness tersebut dengan mencatat kekuatan/kemampuan setelah 30

detik dan dibagi dengan kemampuan maksimumnya dan dikalikan 100%.

Pengujian firmness ini bertujuan untuk menilai kemudahaan dalam proses

penggigitan suatu bahan pangan terhadap penerimaan konsumen (Soeparno,

2005). Kemudian untuk penentuan nilai springiness bakso pada Gambar 8 dapat

dilihat, dimana jarak setelah produk diberikan tekanan selama 30 detik dan

kemudian kembali ke posisi semula. Pengujian springiness ini bertujuan untuk

mengetahui elastisitas suatu bahan pangan (Bourne, 2002).

Berikut ini merupakan kenampakan bakso penambahan TSP 30% dan

berbagai konsentrasi karagenan pada Tabel.9


51

Tabel 9. Kenampakan Bakso Penambahan TSP 30% dan Berbagai


Konsentrasi Karagenan
Sampel Kontrol A B C

Kenampakan

Bakso

Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan


A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Berdasarkan Tabel 9. dapat dilihat bahwa kenampakan tekstur bakso

dengan penambahan TSP 30% dan berbagai konsentrasi karagenan lebih padat

dibandingkan dengan bakso kontrol. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dari TSP,

dimana penggunaan TSP sebagai bahan pengisi bakso selain penggunaan tepung

tapioka. Selain penggunaan TSP sebagai bahan pengisi, karagenan yang

ditambahkan juga berpengaruh pada tekstur bakso yang lebih kompak, semakin

tinggi penambahan konsentrasi karagenan maka semakin kompak tekstur bakso

yang dihasilkan. Menurut Lubis (2013), tekstur yang kompak pada bakso dengan

penambahan karagenan berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat

pemanasan. Selain itu, karagenan mampu membentuk jala tiga dimensi yang dapat

memerangkap air dan menyebabkan kekuatan gel meningkat seiring dengan

bertambahnya jumlah karagenan (Hasrati dan Rusnawati, 2011). Kekuatan gel ini

dipengaruhi oleh kemampuan daya mengikat air dari produk, semakin tinggi

kekuatan gel yang dihasilkan maka semakin tinggi juga kemampuan daya ikat

airnya (Lawrie, 2003).


52

5.2 Water Holding Capacity

Water holding capacity (WHC) atau daya serap air adalah jumlah air yang

terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Hasil analisis nilai

WHC pada penelitian ini menggunakan metode hamm dapat dilihat pada Gambar

9.

Water Holding Capacity


70
61
60 54
51
50 48
WHC (%)

40

30

20

10

-
Kontrol A B C
Konsentrasi Karagenan

Gambar 9. Water Holding Capacity Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi
Karagenan
Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Gambar 9. menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi

karagenan, maka kemampuan daya ikat air juga semakin meningkat. Nilai water

holding capacity yang paling tinggi terdapat pada bakso penambahan TSP 30%

dan karagenan 4,5%, sedangkan nilai water holding capacity yang paling rendah

terdapat pada perlakuan bakso penambahan TSP 30% dan karagenan 1,5%. Hal

tersebut sesuai dengan fungsi dari karagenan yaitu dapat menahan air dengan
53

baik. Karagenan dapat menyerap dan menahan air sehingga menghasilkan tekstur

yang kompak dan meningkatkan kemampuan daya ikat air (Koswara, 2009).

Berdasarkan hasil uji t (p=0,05), Perlakuan bakso penambahan TSP 30%

dan konsentrasi karagenan (1,5%;3% dan 4,5%) memiliki nilai water holding

capacity yang berbeda nyata terhadap nilai water holding capacity bakso kontrol.

Nilai WHC berpengaruh terhadap nilai springiness bakso yang dihasilkan dimana

semakin tinggi nilai WHC maka kemampuan springiness dari bakso akan semakin

rendah. Hal ini sejalan dengan nilai springiness yang didapatkan pada penelitian

ini. Kemampuan WHC dari bakso dengan konsentrasi karagenan 3% dan 4,5%

yang cukup tinggi, sehingga kemampuan springiness yang dihasilkan rendah. Hal

tersebut dikarenakan banyaknya air yang terperangkap pada massa bakso,

sehingga kemampuannya kembali ke bentuk semula setelah proses penggigitan

semakin berkurang (Paulus, 2010).

Water holding capacity yang terjadi dikarenakan kemampuan karagenan

dalam membentuk struktur gel. Pembentukkan struktur gel merupakan suatu

fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga

terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan, kemudian jala ini akan

menangkap air didalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku (Fardiaz,

1989). Peningkatan nilai WHC selain karena penambahan karagenan juga dapat

disebabkan karena penambahan texturized soy protein yang juga memiliki daya

serap air yang tinggi. Menurut (Koswara, 2009) menyebutkan bahwa protein

kedelai mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bersifat hidrofilik.

Pembentukkan gel oleh protein kedelai dimungkinkan oleh perlakuan pemanasan


54

yang menyebabkan terjadinya koagulasi protein globulin. Sifat ini memberikan

kontribusi terhadap daya ikat air produk. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik

dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang

dapat ditahan oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas

permukaan, dan proses pengolahan. (Suwarno, 2003).

V.3 Perubahan Massa Jenis

Nilai perubahan massa jenis bakso yang didapatkan dari bakso tersebut

dilihat dari massa jenis sebelum bakso matang/mentah kemudian dibandingkan

dengan massa jenis bakso matang. Nilai perubahan massa jenis bakso ini

bertujuan untuk mengetahui pengembangan volume yang terjadi pada bakso.

Berikut ini dapat hasil penelitian dari perubahan massa jenis bakso mentah dan

bakso matang.

Perubahan Massa Jenis


0.40
0.35 0.35 0.35 0.35
0.35
Perubahan Massa Jenis (kg/m3)

0.30
0.26
0.25 0.24 0.23
0.20
0.17
0.15

0.10

0.05

-
Kontrol A B C
Konsentrasi Karagenan
Bakso mentah Bakso matang

Gambar 11. Perubahan Massa Jenis Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi
Karagenan.
Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
55

A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%


B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Gambar 11. menunjukkan dua grafik perubahan massa jenis, grafik yang

pertama dengan warna yang sama dan huruf yang sama menunjukkan nilai massa

jenis yang tidak berbeda nyata secara keseluruhan. Grafik menunjukkan bakso

matang menunjukkan perubahan massa jenis bakso setelah melalui proses

pematangan, terjadinya perubahan massa jenis bakso dikarenakan terjadinya

perubahan volume bakso setelah melalui proses pemasakan.

Grafik untuk bakso matang menunjukkan bahwa semakin tinggi

penambahan konsentrasi karagenan, maka nilai massa jenis yang dihasilkan

cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa volume bakso

semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya penambahan konsentrasi

karagenan. Selain volume yang mempengaruhi perubahan massa jenis, massa dari

bakso selama pemasakan juga terjadi penyusutan zat-zat yang terlarut dalam air

seperti lemak pada daging. Berdasarkan hasil uji t (p=0,05), bakso penambahan

TSP 30% dan karagenan 1,5% memiliki massa jenis yang tidak berbeda nyata

dengan massa jenis bakso kontrol. Nilai massa jenis yang paling rendah terdapat

pada bakso dengan penambahan TSP 30% dan karagenan 4,5% sedangkan nilai

massa jenis yang paling tinggi terdapat pada perlakuan bakso dengan penambahan

TSP 30% dan karagenan 1,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan

karagenan dan bahan pengisi berupa TSP 30% mampu meningkatkan

pengembangan volume pada bakso yang berhubungan erat dengan kemampuan

daya mengikat air dari karagenan dan TSP. Semakin besar jumlah air yang terikat

saat proses pengolahan bakso maka akan mengakibatkan pengembangan volume


56

bakso semakin besar. Berikut ini merupakan skema berupa gambaran

pengembangan volume dari bakso dari sebelum perebusan dengan setelah

perebusan.

A B

Air

Texturized Soy
Protein d= 12cm d= 20cm

Karagenan

Gambar 12. Contoh Skema Pengembangan Volume Bakso Selama Perebusan.


Keterangan: A = Kondisi Bakso Sebelum proses Pemasakan
B = Kondisi Bakso Saat Proses Pemasakan
Saat proses perebusan bakso terjadi kenaikan suhu pada air. Sehingga

bakso akan mengalami pengembangan volume. Selama perebusan, terjadi

perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas terjadi dari air yang panas ke

permukaan bahan dan merambat ke dalam sehingga kandungan air pada bahan

meningkat, kemudian bahan mengeluarkan lemak sehingga terjadi perpindahan

massa. Kondisi ini menyebabkan banyak perubahan dalam bahan, baik secara

fisik maupun kimiawi pada bahan yang direbus (Haryanti et al., 2014).

Perubahan secara fisik antara lain perubahan volume dengan terjadinya

pengembangan ukuran pada bakso dan memiliki tekstur yang kompak karena daya

air yang terikat pada bahan, sedangkan perubahan secara kimiawi antara lain

menurunnya kandungan lemak, gelatinisasi pati, dan denaturasi protein.

Pengembangan volume karena gelatinisasi pati terjadi saat granula pati

berinteraksi dengan molekul air dengan peningkatan suhu kemudian terjadi


57

pemutusan sebagian besar ikatan intermolekular pada kristal amilosa, akibatnya

granula pati akan mengembang. Semakin meningkatnya suhu yang berlebihan

maka molekul amilosa akan berdifusi keluar sehingga granula akan mengembang

lebih lanjut hingga seluruh mol amilosa berdifusi keluar (Haryanti et al., 2014).

Selain gelatinisasi pati, pengembangan volume juga dapat disebabkan

karena penggunaan karagenan, karagenan memiliki kemampuan pembentukan gel

yang merupakan penggabungan rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu

jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala tiga dimensi ini menangkap atau

mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku

(Glicksman, 1983). Jenis karagenan yang digunakan pada penelitian ini yaitu

kappa karagenan. Kappa karagenan memiliki kemampuan pembentukan gel pada

saat larutan/dalam kondisi lingkungan panas dibiarkan menjadi dingin karena

mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Bila suhu diturunkan, maka polimer

akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan

suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan

terbentuknya gel yang kuat (Glicksman, 1983). Oleh karena itu semakin tinggi

konsentrasi karagenan yang ditambahkan, maka tekstur bakso menjadi keras

karena terbentuknya gel yang sangat kuat dari penggunaan karagenan tersebut.

Gambar 11. menampilkan perubahan massa jenis bakso sebelum melalui

proses pematangan dengan bakso yang sudah matang. Hal tersebut bertujuan

untuk melihat terjadinya perubahanan massa jenis bakso mentah dengan bakso

matang. Cara untuk mengetahui perubahan massa jenis bakso, dapat dilakukan
58

massa
dengan menggunakan rumus massa jenis benda (ρ = ). Pertama
volume

pengukuran diameter bakso menggunakan jangka sorong. Pengukuran diameter

bakso tuntuk mengetahui volume bakso tersebut yang menggunakan rumus

4 3
volume bola yakni ( . π . r ). Massa jenis (ρ) merupakan suatu besaran turunan
3

yang diperoleh dengan membagi massa suatu benda atau zat dengan volumenya.

Volume suatu zat akan mempengaruhi massa jenis zat tersebut, dimana semakin

besar volume benda maka massa jenis benda tersebut akan semakin kecil.

V.4 Rendemen Bakso

Rendemen merupakan parameter untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas

suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen didasarkan pada persentase

perbandingan bobot adonan dengan bobot produk yang dihasilkan (Pernomo et al.,

2013). Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dari

produk tersebut, begitu pula sebaliknya, semakin kecil rendemen maka semakin

rendah nilai ekonomisnya atau keefektivitasan suatu produk atau bahan (Pernomo

et al., 2013). Berikut ini dapat dilihat pada Gambar 13. rendemen pada bakso

penambahan TSP 30% dan berbagai konsentrasi karagenan.


59

160
Rendemen Bakso
140 130 135
127
Rendemen Bakso (%)

120
101
100
80
60
40
20
0
Kontrol A B C
Konsentrasi Karagenan

Gambar 13. Rendemen Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi Karagenan.
Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Pada Gambar 12. Menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan

konsentrasi karagenan, maka nilai rendemen semakin meningkat. Berdasarkan

hasil uji t (p=0,05), perlakuan bakso penambahan TSP 30% dan konsentrasi

karagenan (1,5%;3% dan 4,5%) memiliki nilai rendemen yang berbeda nyata

terhadap nilai rendemen bakso kontrol (tanpa penambahan TSP dan karagenan).

Hal tersebut karena nilai rendemen jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

rendemen bakso kontrol.

Peningkatan nilai rendemen terkait penggunaan bahan texturized soy

protein sebanyak 30% dan karagenan. Texturized soy protein memiliki

kemampuan mengikat air yang bagus karena kandungan protein yang tinggi,

dimana semakin tinggi kandungan proteinnya maka semakin banyak air yang

diserap sehingga rendemen bertambah tinggi (Ockerman, 1978 dikutip Aulawi

dan Ninsix, 2009). Selain itu penambahan karagenan dapat menahan air yang

diserap dan juga memiliki kemampuan mengikat air yang baik. Sehingga
60

rendemen bakso dengan panambahan TSP dan karagenan memiliki rendemen

±30% lebih tinggi dibandingkan dengan bakso kontrol (tanpa penambahan TSP

dan karagenan).

Nilai rendemen bakso penambahan TSP 30% dan karagenan 1,5%

memiliki nilai rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan penambahan

konsentrasi 3% dan 4,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan

karagenan konsentrasi 3% dan 4,5% mampu menahan air yang diserap oleh

texturized soy protein dengan baik dibandingkan dengan konsentrasi karagenan

1,5%. Hasil nilai rendemen ini sejalan dengan kemampuan daya ikat air, semakin

tinggi nilai rendemen maka semakin tinggi kemampuan daya ikat air dari bakso

tersebut.

V.5 Sifat Organoleptik

Pengujian sifat organoleptik bakso dilakukan menggunakan metode uji

hedonik oleh 15 orang panelis agak terlatih. Parameter sifat organoleptik bakso

yang diuji yaitu tekstur berupa kekenyalan bakso. Nilai organoleptik tekstur bakso

TSP 30% dan berbagai konsentrasi karagenan dengan menggunakan uji hedonik

dapat dilihat pada Gambar 10.


61

Organoleptik Tekstur
4.5
4.0
4.0 3.6
Skala Tingkat Kesukaan

3.5 3.2 3.1


3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
-
Kontrol A B C

Konsentrasi Karagenan

Gambar 10. Organoleptik Tekstur Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi
Karagenan.
Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Berdasarkan hasil uji t (p=0,05), pada Lampiran 3 bahwa seluruh

perlakuan diterima H0 yang berarti bahwa tekstur bakso dengan penambahan TSP

30% dan berbagai konsentrasi karagenan memiliki tekstur yang tidak berbeda

nyata dengan bakso kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa tekstur bakso

dengan penambahan TSP 30% dan berbagai konsentrasi karagenan memiliki

tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Penambahan TSP 30% dengan

berbagai konsentrasi karagenan pada bakso memiliki tekstur yang tidak berbeda

jauh dengan bakso tanpa penambahan TSP dan karagenan.

Parameter kekenyalan yang dinilai berdasarkan dari tekstur bakso saat

dipegang dan dirasakan pada saat dikunyah. Kekenyalan melibatkan kemudahan

awal saat penetrasi gigi ke dalam bakso dan kemudahan mengunyah bakso

menjadi potongan kecil, karena bakso yang kenyal akan terasa elastis ketika
62

dikunyah. Tekstur mempengaruhi palatabilitas seseorang terhadap suatu produk.

Tekstur bakso didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan

sifat sifat jaringan yang layak (Lawrie, 2003).

Hasil dari organoleptik tekstur yang didapatkan tidak sesuai dengan hasil

pengukuran objektif menggunakan texture analyser, hal ini disebabkan oleh

karena uji organoleptik yang bergantung pada subjektifitas dari panelis dalam

memberikan penilaiannya. Pengukuran tekstur secara organoleptik merupkan

suatu metode pengukuran secara subjektif, maka tingkat ketelitian dari

penilaiannya lebih rendah dibandingkan pengukuran tekstur secara objektif

menggunakan texture analyser.

V.6 Kadar Protein

Kadar protein bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan

berbagai konsentrasi karagenan dilakukan dengan perhitungan neraca massa.

Skema dari perhitungan neraca massa dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian

ini menggunakan bahan baku yang mengandung protein ialah daging sapi,

texturized soy protein dan karagenan. Berikut ini perhitungan kadar protein bakso

menggunakan perhitungan neraca massa dapat dilihat pada Gambar 14.


63

Kadar Protein
16
14
12
Kadar Protein (%)

10
8
6
4
2
0
Kontrol A B C
Konsentrasi Karagenan

Gambar 14. Kadar Protein Bakso TSP 30% dan Berbagai Konsentrasi Karagenan.
Keterangan: Kontrol = Bakso tanpa penambahan TSP dan Karagenan
A = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 1,5%
B = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 3%
C = Bakso penambahan TSP 30% dan Karagenan 4,5%

Gambar 14. menunjukkan kadar protein untuk setiap perlakuan, kadar

protein tersebut didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan neraca massa

yang terdapat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan kadar

protein bakso kontrol lebih rendah dibandingkan dengan bakso penambahan TSP

30% dan berbagai konsentrasi karagenan. Penambahan texturized soy protein

sebesar 30% mampu meningkatkan kadar protein bakso dimana kadar protein TSP

sebesar 21,6%, selain itu karagenan juga menyumbangkan kandungan protein

sebesar 18,6% kandungan protein tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Dalam pembuatan bakso menggunakan daging sapi sebagai sumber

protein dengan penambahan texturized soy protein dan karagenan sebagai sumber

protein tambahan, walaupun karagenan menyumbang kadar protein yang tidak

terlalu signifikan. Kadar protein yang didapatkan pada bakso dapat menunjukkan

besarnya rendemen pada produk, karena protein yang ditambahkan yang


64

bersumber dari TSP memiliki kemampuan daya mengikat air yang baik sehingga

rendemen pada bakso bertambah. Pada bakso dengan penambahan TSP 30% dan

karagenan 1,5% dilakukan analisis protein dengan menggunakan metode kjhedal,

berdasarkan hasil uji t (p=0,05) menunjukan bahwa adanya kadar protein antara

perhitungan dengan hasil analisis tidak berbeda nyata.

Berdasarkan SNI 01-3818-2014 menyatakan bahwa standar kadar protein

bakso minimal 11,0%, sedangkan bakso dengan penambahan TSP 30% dan

berbagai konsentrasi karagenan memiliki kandungan protein sekitar 14%. Hasil

tersebut menunjukan bahwa seluruh bakso dengan penambahan TSP 30% dengan

berbagai konsentrasi karagenan memiliki kadar protein bakso yang sesuai dengan

standar SNI. Perbedaan kadar protein antara bakso kontrol dengan bakso

penambahan TSP dan karagenan ini diduga dapat diakibatkan karena perbedaan

kadar protein bahan baku yang digunakan.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan berbagai

konsentrasi karagenan mampu menaikkan rendemen bakso yang dihasilkan.

Bakso dengan penambahan texturized soy protein 30% dan karagenan 1,5% tidak

berbeda nyata untuk parameter tekstur (firmness dan springiness) dan perubahan

massa jenis dengan bakso kontrol. Water holding capacity dan rendemen bakso

seluruh perlakuan berbeda nyata dengan nilai WHC dan rendemen bakso kontrol.

Organoleptik tekstur seluruh perlakuan bakso tidak berbeda nyata dengan tekstur

bakso kontrol. Kadar protein bakso dengan penambahan TSP 30% dan berbagai

konentrasi karagenan, lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein bakso

kontrol.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai penambahan texturized soy protein

30% dan berbagai konsentrasi karagenan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai parameter rasa serta aroma dari penambahan texturized soy protein dan

umur simpan pada bakso.

65
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, dan Usmiati, S. 2007. Teknologi Pengolahan Daging. Bogor: Balai


Besar Penelitian Pengembangan Pasca Panen.

Abustam, E., Likadja, J. C., dan Sikapang, F. 2010. Pemanfaatan Asap Cair
Sebagai Bahan Pengikat Pada Pembuatan Bakso Daging Dari Tiga Jenis
Otot Sapi Bali. In Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner (pp. 3–4).

Ahmadi, K., Afrila, A., dan Ika Adhi, W. 2007. Pengaruh Jenis Daging dan
Tingkat Penambahan Tepung Tapioka yang Berbeda Terhadap Kualitas
Bakso. Buana Sains, 7.

Angka, S. L., dan Suhartono, M. T. 2000. Bioteknologi hasil laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Ardyanto, T. D. 2004. MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek dan Kontroversinya.


INOVASI, 1.

Aulawi, T., dan Ninsix, R. 2009. Sifat Fisik Bakso Daging Sapi Dengan Bahan
Pengenyal dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda.pdf. Jurnal Peternakan.

Badan Pusat Statistik. 2016. Data Jumlah Konsumsi Daging Sapi.

Badan Standarisasi Nasional. 2014. Bakso Daging. Jakarta: Badan Standarisasi


Nasional.

Bahar, B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Google Books.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bourne, M. C. 2002. Food Texture and Viscosity: Concept and Measurement (2nd
ed.). London: Elsevier Science and Technology Books.

Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan


(pertama). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Dalillah, E. 2006. Evaluasi Nilai Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan
Hasil Olahannya. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Departemen Kesehatan R.I. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta:


Bhratara Karya Aksara.

66
67

Dewi, N. R. K., dan Widjanarko, S. B. 2014. Studi Proporsi Tepung Porang :


Tapioka Dan Penambahan NaCl Terhadap Karakteristik Fisik Bakso Sapi.
Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 3(3).

Diharmi, A. 2016. Karakteristik Fisiko Kimia Karagenan Rumput Laut Merah


Eucheuma Spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Ega, L., Gracia, C., Lopulalan, C., dan Meiyasa, F. 2016. Kajian Mutu Karaginan
Rumput Laut Euchuma cottonii Berdasarkan Sifat Fisiko Kimia Pada
Tingkat Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) yang Berbeda. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan.

Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fatmawati, Rostin, dan Baso, J. N. 2016. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Permintaan Daging Sapi Di Indonesia. Jurnal Eknomi, 128–134.
Universitas Halu Oleo

Glicksman, M. 1983. Food Hydrocolloids (Vol. II). Florida: CRC Press.

Hasrati, E., dan Rusnawati, R. 2011. Kajian Penggunaan Daging Ikan Mas
Terhadap Tekstur dan Citarasa Bakso Daging Sapi. STIP Farming
Semarang.

Indriani, dan Sumarsih. 1987. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput


Laut (Pertama). Jakarta: Swadaya.

Karim, M., dan Apasari, D. N. F. 2015. Pengaruh Penambahan Tepung karagenan


Terhadap Mutu kekenyalan bakso Ikan Gabus. Jurnal, vol 6. STTK Balik
Diwa. Makasar.

Kartika, B., Hastuti P., dan Supartono W. 1987 Pedoman Uji Inderawi Bahan
Pangan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.

Kerry, J., Kerry, J., dan Ledward, D. 2002. Meat Processing. New York: CRC
Press.

Komariah, Rahayu, S., dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi Pada Lama
Postmortem. Buletin Publisher.

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Kedelai. E-book Pangan.

Lawrie, R. . 2003. Ilmu Daging. Jakarta: UI-Press.


68

Lubis, S. A. 2013. Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Identifikasi Karagenan dari


Talus Kappaphycus Alvarezii (Doty) Dari Desa Kutuh Banjar Kaja Jati.
Universitas Sumatera Utara.

Markaindo, S. 2015. Markaindo Selaras Sebagai Penyedia Soy Fiber Protein


Berkualitas Tinggi [Sains]. Retrieved from www.markaindo.co.id

Muchtadi, T., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor:
PAU IPB.

Nur’aini, D. 2011. Pengaruh Konsnetrasi Pati Sorgum Kultivar UNPAD 1.1 dan
Tapioka Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik Bakso
Sapi.

Paulus, J. S. 2010. Mempelajari Tekstur dan Karakteristik Lain Bakso Daging


Sapi dengan Penambahan Karagenan.

Poernomo, D., Sugeng Heri, S., dan Bayu Prasetyo, S. 2013. Karakteristik Fisika
dan Kimia Bakso dari Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus
orientalis). Jurnal, vol 16. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Roshental, A. 1999. Food Texture Measureent and Perception. Gaithersburg,


Maryland: Aspen Publishers.

Setyaningsih, D., Apriyantono, D., dan MP, S. 2010. Analisa Sensori Industri
Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.

Singh, P., Kumar, R., Sabapathy, S. ., dan Bawa, A. . 2008. Functional And
Edible Uses of Soy Protein Products. Comprehensive Reviews In Food
Science And Food Safety, 7.

Sitanggang, J. 2009. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Bakso Daging Sapi


yang Diformalin Secara Visual, Organoleptik, Kimiawi, dan Fisik.
Fakultas Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging (V). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Sudrajat, G. 2007. Sifat Fisik Dan Organoleptik Bakso Daging Sapi Dan Daging
Kerbau Dengan Penambahan Karagenan Dan Khitosan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
69

Sudrajat, M., dan Achyar, T. 2010. Statistika. Bandung: Widya Padjadjaran.

Suwarno, M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus Sweet) sebagai


Bahan Baku Isolat Protein. Fakultas Teknologi Pertanian. Retrieved from
http://repository.ipb.ac.id/.

Tipler, P. A. 2001. Fisika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Usman, R. 2014. Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi
dengan Penambahan Tepung porang. Institut Pertanian Bogor.

Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakdo Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Swadaya.

Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.
RIWAYAT HIDUP

Nama : Syofie Deviyanti


NPM/Fakultas/Jurusan: 240210130033 / FTIP / TIP
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Jakarta/07 Desember 1995
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Nomor HP : 087824524547
E-mail : Syofiedeyn@gmail.com
Nama Ayah : Syaiful
Nama Ibu : Novita
Anak ke- : 1 dari 2 bersaudara
Alamat rumah : Jl. Sahabat RT/RW 02/03 No.36 Pulogebang, Cakung,
Jakarta Timur

Riwayat Pendidikan
Sekolah Tahun
TK Wijaya Kusuma 2000-2001
SDN 02 Penggilingan 2001-2007
SMP YP.IPPI Cakung 2007-2010
SMA Proklamasi 1945 (Boarding School) 2010-2013
Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas 2013-Sekarang
Padjadjaran

Riwayat Organisasi
Organisasi Jabatan Tahun
Anggota Kajian dan Aksi 2015
BEM KEMA FTIP
Startegis
Anggota Kajian dan Aksi 2016
BEM KEMA FTIP
Startegis
Himpunan Mahasiswa Peduli Anggota Bidang Pengabdian
2016
Pangan Indonesia (HMPPI) Masyarakat

70
71

Riwayat Kepanitiaan
Kegiatan Jabatan Tahun
Ketua Bidang Hubungan 2014
SPEKTA
Masyarakat
SPARTA Anggota Bidang Medik 2014
Pemilu Raya Mahasiswa (PRAMA)
Panitia Pengawas Fakultas 2014
UNPAD
Anggota Bidang Hubungan 2014
Univation
Masyakarat
Penanggung Jawab Buletin 2015
Bumi Rasa FTIP KASTRAT BEM KEMA
FTIP
Penanggung Jawab Bidang 2015
Diskusi FTIP
Konsumsi
Anggota Bidang Hubungan 2015
Univation
Masyakarat
FTIP Merespon Ketua Pelaksana 2016
Gathering HMPPI Regional II Jawa Anggota Bidang Logistik 2016
Barat
Bina Desa HMPPI Regional II Jawa Penanggung Jawab 2016
Barat
Program Kantin Sehat HMPPI 2016
Regional II Jawa Barat Anggota Humas
The first padjadjaran international Liason Officer 2016
conference on halal innovations
Pesta Sains 2016 “Makanan dan Peraga/Guide 2016
Kita” Institut Fraincais Indonesia

Pendidikan Non Formal


Tahun Sekolah / Institusi / Universitas
2016 ISO 22000:2005 Food Safety Management System
2016 Good Laboratory Practice
2016 SPSS (Statistical Product and Service Soution)

Riwayat Pengalaman Kerja


Tahun Kegiatan Tempat
2016 Praktek Kerja Lapangan Cv. Eka Putra Jaya

Prestasi
Tahun Prestasi Penyelenggara
2017 Second Winner of Kino Youth Pt. Kino Indonesia
Innovator Award
LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis

A. Penentuan Tekstur Bakso Sapi yang Diukur Menggunakan Texture


Analyzer (Usman, 2014)

1. Nyalakan texture analyzer

2. Nyalakan computer untuk menjalankan program exponent lite express

3. Tentukan parameter tekstur dan golongan contoh bahan pangan yang

diukur

4. Pilih jenis probe dan setting pengukuran yang sesuai untuk contoh dan

jenis analisis dari menu help program exponent lite express. Setting

kondisi pengukuran yang sesuai, misalnya Mode, Option, Pre-Test Speed,

Test Speed, Distance, Post-Test Speed dan Trigger Force. Catat semua

kondisi pengukuran tersebut.

5. Lakukan terlebih dahulu uji coba pengukuran pada sampel untuk

menentukan setting kondisi pengukuran yang sesuai.

T A setting untuk TPA

Pre-Test Speed : 1 mm/sec

Test Speed : 5 mm/sec

Post-Test Speed : 5 mm/sec

Distance : 10 mm

Trigger Force :5g

72
73

B. Penentuan Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity) Bakso Sapi


dengan Metode Hamm (Sudrajat, 2007)

1. Sampe ditimbang sebanyak 0,3 gram, kemudian sampel disimpan diantara

dua kertas saring tipe whatman 41.

2. Sampel ditekan dengan menggunakan carverpress selama lima menit

dengan tekanan 35 kg/cm2.

3. Batas yang timbul antara daging dan air ditandai kemudian diukur dengan

Planimeter.

4. Beri tanda titik pada batas luar (wet area), kemudian putar searah jarum

jam, angka yang dihasilkan sebelum diputar dan sesudah diputar dibaca.

Daerah basah (cm2) = luas lingkaran luar – luas lingkaran dalam x 6,45 cm2

Angka yang diperolah dalam satuan inchi, maka konversikan terlebih dahulu

kedalam sentimeter (1 inchi = 2,54 cm).

daerah basah( cm2)


mgH2O = – 8,0
0,0948

mgH 20
Presentase = X 100%
300

Semakin tinggi mgH2O yang keluar, maka daya ikat air semakin rendah.

C. Prosedur Pengujian Massa Jenis (Tipler, 2001).

1. Cetak adonan bakso berbentuk bulat, kemudian masukkan kedalam air dengan

suhu 60○ selama 5 menit.

2. Kemudian ambil sampel bakso dan ukur diameter bakso untuk mendapatkan

volume bakso, lalu masukkan kedalam rumus massa jenis, sebagai berikut:
74

m
m
ρ= = 4 3
V ( .π .r )
3

3. Rebus bakso kembali dengan suhu suhu 75 ○ selama 6 menit untuk

mematangkan bakso.

4. Kemudian ambil sampel bakso dan ukur diameter bakso untuk mendapatkan

volume bakso matang, lalu masukkan kedalam rumus massa jenis, sebagai

berikut:

m
m
ρ= = 4 3
V ( .π .r )
3

D. Penentuan Nilai Rendemen Bakso (Dewi dan Widjanarko, 2014).

1. Timbang seluruh adonan bakso sebelum melalui proses pemasakan.

2. Setelah bakso melalui proses pemasakan, maka selanjutnya timbang

seluruh bakso yang sudah matang.

Bobot bakso setelah pemasakan( gr )


Rendemen (%) = x 100%
Bobot bakso sebelum pemasakan/ Adonan(gr )

E. Prosedur Perhitungan Kadar Protein dengan Neraca Massa

TSP Daging Sapi Karagenan Tepung tapioka BTP


Xf1= 0,327 Xf2= 0,216 Xf3= 0,189 Xf4= 0 Xf5= 0
m1= 90 gr m2= 300 gr m3= 10,17gr m4= 90 gr m5= 18 gr

Bakso
Xp= ?
Mp= … gr
75

Perhitungan kadar protein:

Xtotal.Mtotal = Xf1.M1 + Xf2.M2 + Xf3.M2 + Xf4.M4 + Xf5.M5

F. Penentuan Kadar Air Metode Gravimetri (AOAC, 2000)

Analisa kadar air bertujuan untuk mengetahui kandungan air dalam sampel

bakso penambahan TSP. Prosedur pengukuran kadar air adalah:

1. Cawan keringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 105 oC selama 30

menit. Kemudian cawan didinginkan didalam desikator dan dilakukan

penimbangan hingga berat cawan konstan.

1. Sampel ditimbang sebanyak 50 gram, masukkan kedalam oven pada suhu

105oC selama 3 jam.

3. Didinginkan dalam deksikator selama 10 menit kemudian ditimbang.

4. Dimasukkan kedalam oven kembali selama 1 jam

5. Didinginkan dalam deksikator selama 10 menit kemudian ditimbang kembali

6. Diulangi pemanasan dalam oven dan penimbangan sampai berat konstan

(selisih penimbangan berturut-turut ≤ 0,2 mg).

7. Dihitung kadar air sampel dengan rumus:

( Wo+Ws )−Wi
Kadar air = x 100%
Ws

Keterangan:

Wo = Berat awal cawan konstan kosong (gram)


76

Wi = Berat cawan + sampel konstan (gram)

Ws = Berat sampel

G. Prosedur Pengujian Karakteristik Organoleptik Metode Uji Hedonik

(Setyaningsih dkk., 2010)

Penilaian organoleptik merupakan pengamatan secara subjektif yang

dilakukan terhadap sampel bakso dengan menggunakan panca indera manusia.

Metode yang digunakan adalah uji hedonik warna, aroma, tekstur, dan citarasa

bakso yang diujikan dalam keadaan yang telah direbus terlebih dahulu. Pengujian

menggunakan skala 1 sampai dengan 5. Panelis yang diperlukan ialah panelis

agak terlatih sebanyak 15 orang untuk pengujian hedonik.

Format Uji Hedonik

Nama :
Tanggal Pengujian :
Nama Bahan : Bakso Sapi dengan Penambahan TSP 30% dengan
Berbagai Konsentrasi Karagenan.
Instruksi :
1. Dihadapan anda tersedia 3 sampel dengan kode masing-masing.
2. Mohon anda mengisi kode sampel sesuai dengan nomor yang
tertera diwadah.
3. Berikan kesan anda terhadap bakso sesuai dengan nilai kesukaan
dibawah ini.

Berikanlah penilaian pada setiap kode contoh dengan salah satu angka
yang sesuai dengan pernyataan di bawah ini
5 Suka
4 Agak suka
3 Biasa
1 Kurang Suka
1 Tidak Suka

Kode sampel Tekstur


77
Lampiran 2. Hasil Analisis Organoleptik Bakso Tahap I Tabel 8. Hasil Transformasi Uji Hedonik Tekstur
Tabel 7. Uji Hedonik Tekstur Beberapa Sampel Bakso
Kode Sampel
Kode Sampel Nama
Nama 215 568 717
215 568 717
1 2.35 2.12 1.22
1 5 4 1
2 1.87 2.12 1.58
2 3 4 2
3 2.12 1.58 1.22
3 4 2 1
4 2.12 2.35 1.22
4 4 5 1
5 2.12 2.12 1.58
5 4 4 2
6 1.87 2.12 1.22
6 3 4 1
7 2.12 1.58 1.58
7 4 2 2
8 2 2 1 8 1.58 1.58 1.22
9 3 2 1 9 1.87 1.58 1.22
10 3 3 2 10 1.87 1.87 1.58
11 4 3 1 11 2.12 1.87 1.22
12 5 2 1 12 2.35 1.58 1.22
13 4 2 1 13 2.12 1.58 1.22
14 4 2 1 14 2.12 1.58 1.22
15 5 4 1 15 2.35 2.12 1.22
Jumlah 57 45 19 Jumlah 30.95 27.76 19.80
Rata-rata 3.80 3.00 1.27 Rata-rata 2.06 1.85 1.32

78
79

Perhitungan:
( jumlahpanelis )2 78,512
FK = = = 136,97
npanelisxnsampel 15 x 3

Tabel 9. Tabel Sidik Ragam Uji Hedonik Tekstur


Sumber Ragam DB JK KT Fh F0.5
Panelis 14 0.81 0.06 1.21 2.068
Sampel 2 4.40 2.20 46.34 3.34
Galat 28 1.33 0.05
Total 44 6.53
Berdasarkan hasil perhitungan tabel sidik ragam karakteristik warna di atas
dapat dilihat bahwa nilai Fhitung sampel > F.05, maka sampel bakso penambahan
yang diujikan dinyatakan memiliki karakteristik yang tidak seragam tanpa
perbedaan yang nyata, sehingga dilakukan uji Duncan.
Fh> F.05 sampel: signifikan, artinya pada sampel yang diujikan terdapat keragaman
rasa (sampel tidak homogen).
Fh< F.05(panelis): tidak signifikan, artinya setiap perlakuan sama tidak terdapat
keragaman panelis (panelis tidak beragam).
KT Galat 0,05
Sx =
√ n panelis
=
15√ = 0,057

SSR 2,90 3,04


LSR 0,1653 0,1732

Kode 717 568 215


Rata-rata 1,27 3,0 3,80
A
B

 
Hasil uji Duncan taraf 5% menunjukkan:
717: 30% (1,27) : c
568: 20% (1,73) : b
215: 10% (0,8) :a
80

Dari hasil uji duncan didapatkan kesimpulan bahwa sampel bakso


penambahan texturized soy protein dengan konsentrasi 10% memiliki tekstur
yang lebih disukai panelis dibandingkan dengan konsentrasi 20%. Sampel
bakso dengan konsentrasi 30% merupakan produk bakso yang memiliki
karakteristik tekstur yang paling tidak disukai oleh panelis.
Tabel 10. Uji Hedonik Citarasa Beberapa Sampel Bakso Tabel 11. Hasil Transformasi Uji Hedonik Citarasa
Kode Sampel Kode Sampel
Nama Nama
215 568 717 215 568 717
1 5 3 1 1 2.35 1.87 1.22
2 3 4 2 2 1.87 2.12 1.58
3 4 3 1 3 2.12 1.87 1.22
4 3 2 1 4 1.87 1.58 1.22
5 3 4 2 5 1.87 2.12 1.58
6 3 4 1 6 1.87 2.12 1.22
7 4 1 1 7 2.12 1.22 1.22
8 2 2 1 8 1.58 1.58 1.22
9 4 3 1 9 2.12 1.87 1.22
10 4 2 2 10 2.12 1.58 1.58
11 4 3 2 11 2.12 1.87 1.58
12 5 2 1 12 2.35 1.58 1.22
13 4 2 1 13 2.12 1.58 1.22
14 4 1 1 14 2.12 1.22 1.22
15 5 3 1 15 2.35 1.87 1.22
Jumlah 57 39 19 Jumlah 30.95 26.07 19.80
Rata-rata 3.80 2.60 1.27 Rata-rata 2.06 1.74 1.32

81
82

Perhitungan:
( jumlahpanelis )2 76,822
FK = = = 131,14
npanelisxnsampel 15 x 3

Tabel 3. Tabel Sidik Ragam Uji Hedonik Cicip


Sumber
DB JK KT Fh F0.5
Ragam
Panelis 14 0.75 0.05 1.04 2,068
Sampel 2 4.17 2.08 40.43 3,34
Galat 28 1.44 0.05
Total 44 6.36
Berdasarkan hasil perhitungan tabel sidik ragam karakteristik warna di atas
dapat dilihat bahwa nilai Fhitung sampel > F.05, maka sampel bakso penambahan
yang diujikan dinyatakan memiliki karakteristik yang tidak seragam tanpa
perbedaan yang nyata, sehingga dilakukan uji Duncan.
Fh> F.05 sampel: signifikan, artinya pada sampel yang diujikan terdapat keragaman
rasa (sampel tidak homogen).
Fh< F.05(panelis): tidak signifikan, artinya setiap perlakuan sama tidak terdapat
keragaman panelis (panelis tidak beragam).
KT Galat 0,05
Sx =
√ n panelis
=
15√ = 0,057

SSR 2,90 3,04


LSR 0,1653 0,1732

Kode 717 568 215


Rata-rata 1,27 2,60 3,80
A
B

 
Hasil uji Duncan taraf 5% menunjukkan:
717: 30% (1,27) : c
568: 20% (1,33) : b
215: 10% (1,2) :a
83

Dari hasil uji duncan didapatkan kesimpulan bahwa sampel bakso


penambahan texturized soy protein dengan konsentrasi 10% memiliki citarasa
yang lebih disukai panelis dibandingkan dengan konsentrasi 20%. Sampel bakso
dengan konsentrasi 30% merupakan produk bakso yang memiliki citarasa yang
paling tidak disukai oleh panelis.
Lampiran 3. Hasil Analisis Bakso Penambahan TSP 30% dan Berbagai
Konsentrasi Karagenan.

1. Hasil Analisis Tekstur (Firmness)

Perlakua Ulangan Rata-


Total SD
n 1 2 3 Rata
A 1,082.91 1,116.28 993.07 2,931.22 1,064.08a 63.73
1,045.21
B 1,137.47 1,020.68 977.49 3,135.64 a 82.77
1,103.51
C 1,151.06 1,015.27 1,144.20 3,310.53 a 76.50
D 1,323.54 1,311.69 1,349.49 3,984.72 1,328.24b 19.33
Total 4,694.99 4,463.91 4,464.24 13,623.14

 Uji t untuk Firmness sampel A dan B


Sampel I II III
A 1082.9130 1116.2750 993.0650
B 1137.4720 1020.6820 977.4860

No
A B di (A-B) di^2 (A-B)2
pasang
I 1082.9130 1137.4720 -54.559 2976.6845
II 1116.2750 1020.6820 95.5930 9138.0216
III 993.0650 977.4860 15.5790 242.7052
Total 56.6130 12357.4114
Rata-rata 18.8710 4119.1371

d́=−68.1413
Sd =75.1301
t hitung =1.5709
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka terima H 0
Firmness sampel A sama dengan firmness sampel B

84
85

 Uji t untuk Firmness sampel A dan C


Sampel I II III
A 1082.9130 1137.4720 993.0650
C 1151.0630 1015.2700 1144.2010

No
A C di (A-C) di^2 (A-C)2
pasang
I 1082.9130 1151.0630 -68.1500 4644.4225
II 1137.4720 1015.2700 101.0050 10202.0100
III 993.0650 1144.2010 -151.1360 22842.0905
Total -118.2810 37688.5230
Rata-rata -39.4270 12562.8410

d́=−126.4393
Sd =128.5011
t hitung =1.7043
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka terima H 0
Firmness sampel A sama dengan firmness sampel C

 Uji t untuk Firmness sampel A dan D


Sampel I II III
A 1082.9130 1137.4720 993.0650
D 1323.5420 1311.6870 1349.4860

No pasang A D di (A-D) di^2 (A-D)2

I 1082.9130 1323.5420 -240.6290 57902.3156

II 1137.4720 1311.6870 -195.4120 38185.8497

III 993.0650 1349.4860 -356.4210 127035.9292

Total -792.4620 223124.0946

Rata-rata -264.1540 74374.6983

d́=−351.1663
86

Sd 83.0424
t hitung =7.3244
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0
Firmness sampel A tidak sama dengan firmness sampel D

2. Hasil Analisis Tekstur (Springiness)


Perlakua Ulangan Rata-
Total SD
n 1 2 3 Rata
A 60.57 61.24 61.60 183.42 62.32a 0.52
B 63.04 62.47 62.69 188.21 62.73 a 0.28
C 60.41 61.21 60.91 182.53 60.84b 0.40
D 59.86 58.11 58.79 176.77 58.92 c 0.8
Total 243.89 243.03 244.00 730.94

 Uji t untuk Springiness sampel A dan B


Sampel I II III
A 60.57 61.24 61.60
B 63.04 62.47 62.69

No pasang A B di (A-B) di^2 (A-B)2


I 60.57 63.04 -2.4700 6.1009
II 61.24 62.47 -1.2325 1.5191
III 61.60 62.69 -1.0900 1.1881
Total -4.7925 8.8081
Rata-rata -1.5975 2.9360

d́=−0.4082
Sd =0.7590
t hitung =0.9315
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka di terima H 0
Springiness sampel A sama dengan Springiness sampel B

 Uji t untuk Springiness sampel A dan C


Sampel I II III
87

A 60.57 61.24 61.60


C 60.41 61.21 60.91

No pasang A C di (A-C) di^2 (A-C)2


I 60.57 60.41 0.1625 0.0264
II 61.24 61.21 0.0245 0.0006
III 61.60 60.91 0.6950 0.4830
Total 0.8820 0.5100
Rata-rata 0.2940 0.1700

d́=1.4833
Sd =0.3541
t hitung =7.2563
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0
Springiness sampel A tidak sama dengan Springiness sampel C

 Uji t untuk Springiness sampel A dan D


Sampel I II III
A 60.57 61.24 61.60
D 59.86 58.11 58.79

No pasang A D di (A-D) di^2 (A-D)2


I 60.57 59.86 0.7115 0.5062
II 61.24 58.11 3.1290 9.7906
III 61.60 58.79 2.8075 7.8821
Total 6.6480 18.1789
Rata-rata 2.2160 6.0596
d́=3.4053
Sd =1.3128
t hitung =4.4928
t ¿2(n−1)=4,303
88

t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0


Springiness sampel A tidak sama dengan Springiness sampel D

3. Hasil Analisis Organoleptik (Tekstur)


Perlakua Ulangan Rata-
Total SD
n I II III Rata
A 4.06 4.06 3.80 11.93 3.97a 0.15
B 4.06 3.4 3.46 10.93 3.46 a 0.36
C 3.73 2.73 3.2 9.66 3.22b 0.5
D 3.26 3.2 2.93 9.4 2.93c 0.17
Total 15.13 13.4 13.4 41.93 - -

 Uji t untuk organoleptik tekstur sampel A dan B


Sampel I II III
A 4.0667 4.0667 3.8000
B 4.0667 3.4000 3.4667

No pasang A B di (A-B) di^2 (A-B)2


I 4.0667 4.0667 0 0
II 4.0667 3.4000 0.667 0.4444
III 3.8000 3.4667 0.3333 0.1111
Total 1.0000 0.5556
Rata-rata 0.3333 0.1852

d́=0.1422
Sd =0.1869
t hitung =2.9476
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka di terima H 0
Tekstur sampel A sama dengan Tekstur sampel B secara organoleptik

 Uji t untuk organoleptik tekstur sampel A dan C


Sampel I II III
A 4.0667 4.0667 3.8000
C 3.7333 2.7333 3.2000
89

No pasang A C di (A-C) di^2 (A-C)2


I 4.0667 3.7333 0.333 0.1111
II 4.0667 2.7333 1.333 1.7778
III 3.8000 3.2000 0.600 0.3600
Total 2.2667 2.2489
Rata-rata 0.7556 0.7496

d́=0.1511
Sd =0.3690
t hitung =1.5860
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka terima H 0
Tekstur sampel A sama dengan Tekstur sampel C secara organoleptik

 Uji t untuk organoleptik tekstur sampel A dan D

Sampel I II III

A 4.0667 4.0667 3.8000

D 3.2667 3.2000 2.9333

No pasang A D di (A-D) di^2 (A-D)2


I 4.0667 3.2667 0.800 0.6400
II 4.0667 3.2000 0.867 0.7511
III 3.8000 2.9333 0.8667 0.7511
Total 2.5333 2.1422
Rata-rata 0.8444 0.7141

d́=1689
Sd =0.3499
t hitung =4.1797
t ¿2(n−1)=4,303
90

t hitung < t ¿2 (n−1) , maka terima H 0


Tekstur sampel A sama dengan Tekstur sampel D secara organoleptik

4. Hasil Analisis Water Holding Capacity


Ulangan Rata-
Perlakuan Total SD
1 2 3 Rata
A 51.2911 49.9856 51.8468 153.1235 51.04a 0.95
B 48.9720 49.8065 43.9560 142.7345 47.57 b 3.16
c
C 55.7432 53.1907 54.4432 163.3771 54.45 1.27
D 60.1391 61.3745 61.7526 183.2662 61.08 d 0.84
Total 216.1454 214.3573 211.9986 642.5013

 Uji t untuk water holding capacity sampel A dan B


Sampel I II III
A 51.2911 49.9856 51.8468
B 48.9720 49.8065 43.9560

No pasang A B di (A-B) di^2 (A-B)


I 51.2911 48.9720 2.319 5.3782
II 49.9856 49.8065 0.179 0.0321
III 51.8468 43.9560 7.8908 62.2647
Total 10.3890 67.6750
Rata-rata 3.4630 22.5583
d́=−12.6404
Sd =3.9811
t hitung =5.4995
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0
WHC sampel A tidak sama dengan WHC sampel B
 Uji t untuk water holding capacity sampel A dan C
Sampel I II III
A 51.2911 49.9856 51.8468
C 55.7432 53.1907 54.4432
91

No
A C di (A-C) di^2 (A-C)2
pasang
I 51.2911 55.7432 -4.4521 19.8212
II 49.9856 53.1907 -3.2051 10.2727
III 51.8468 54.4432 -2.5964 6.7413
Total -10.2536 36.8352
Rata-rata -3.4179 12.2784

d́=−19.5212
Sd =0.9460
t hitung =35.7430
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0
WHC sampel A tidak sama dengan WHC sampel C

 Uji t untuk water holding capacity sampel A dan D


Sampel I II III
A 51.2911 49.9856 51.8468
D 60.1391 61.3745 61.7526

di^2 (A-
No pasang A D di (A-D)
D)2
I 51.2911 60.1391 -8.8480 78.2871
II 49.9856 61.3745 -11.3889 129.7070
III 51.8468 61.7526 -9.9058 98.1249
Total -30.1427 306.1190
Rata-rata -10.0476 102.0397
d́=−26.1509
Sd =1.2764
t hitung =35.4872
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak diterima H 0
WHC sampel A tidak sama dengan WHC sampel D
92

5. Hasil Analisis Perubahan massa jenis bakso


a. Perubahan massa jenis bakso Mentah

Ulangan Rata-
Perlakuan Total SD
1 2 3 Rata

A 0.3522 0.3488 0.3441 1.0451 0.3484a 0.0041

B 0.3417 0.3571 0.3420 1.0408 0.3469 a 0.0088

C 0.3520 0.3547 0.3463 1.0530 0.3510 a 0.0043

D 0.3570 0.34930 0.3567 1.0630 0.3543 a 0.0044

Total 1.4029 1.4099 1.3891 4.2019

 Uji t untuk perubahan massa jenis bakso sampel A dan B


Sampel I II III
A 0.3522 0.3488 0.3441
B 0.3417 0.3571 0.3396

No pasang A B di (A-B) di^2 (A-B)2


I 0.3522 0.3417 0.0105 0.0001
II 0.3488 0.3571 -0.0083 0.0001
III 0.3441 0.3420 0.0021 0.000041
Total 0.0043 0.0002
Rata-rata 0.0014 0.0001

d́=−0.0086
Sd =0.0094
t hitung =1.5755
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A sama dengan Pengembangan volume
sampel B

 Uji t untuk Perubahan massa jenis bakso sampel A dan C


Sampel I II III
A 0.3522 0.3488 0.3441
C 0.3520 0.3547 0.3463
93

No pasang A C di (A-C) di^2 (A-C)2


I 0.3522 0.3520 0.0002 0.00004
II 0.3488 0.3547 -0.0059 0.000034
III 0.3441 0.3463 -0.0022 0.000048
Total -0.0079 0.000039
Rata-rata -0.0026 0.0000013

d́=−0.0226
Sd =0.0031
t hitung =12.7569
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A tidak sama dengan Pengembangan volume
sampel C

 Uji t untuk Perubahan massa jenis bakso sampel A dan D


Sampel I II III
A 0.3522 0.3488 0.3441
D 0.3570 0.3493 0.3567

No pasang A D di (A-D) di^2 (A-D)2


I 0.3522 0.3570 -0.0048 0.000023
II 0.3488 0.3493 -0.0005 0.00000025
III 0.3441 0.3567 -0.0126 0.0002
Total -0.0179 0.0002
Rata-rata -0.0060 0.0001

d́=−0.0293
Sd =0.0061
t hitung =8.2737
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A tidak sama dengan Pengembangan volume
sampel D
94

b. Perubahan Massa Jenis Bakso Matang


Ulangan Rata-
Perlakuan Total SD
1 2 3 Rata
A 0.2319 0.2448 0.2461 0.7228 0.2409 0.0079
B 0.2750 0.2660 0.2415 0.7825 0.2608 0.0173
C 0.2322 0.2164 0.2403 0.6989 0.2296 0.0122
D 0.1379 0.1783 0.1934 0.5096 0.1699 0.0287
Total 0.8770 0.9055 0.9213 2.7038

 Uji t untuk perubahan massa jenis bakso sampel A dan B


Sampel I II III
A 0.2319 0.2448 0.2461
B 0.2750 0.2660 0.2415

di^2 (A-
No pasang A B di (A-B)
B)2
I 0.2319 0.2750 -0.0431 0.0019
II 0.2448 0.2660 -0.0212 0.0004
III 0.2461 0.2415 0.0046 0.000002
Total -0.0597 0.0023
Rata-rata -0.0199 0.0008

d́=0.0235
Sd =0.0057
t hitung =0.0239
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka di terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A sama dengan Pengembangan volume sampel B

 Uji t untuk perubahan massa jenis bakso sampel A dan C


Sampel I II III
A 0.2319 0.2448 0.2461
C 0.2322 0.2164 0.2403

No pasang A C di (A-C) di^2 (A-C)2


I 0.2319 0.2322 -0.0003 0.0000001
II 0.2448 0.2164 0.0284 0.0008
III 0.2461 0.2403 0.0058 0.00003
95

Total 0.0339 0.0008


Rata-rata 0.0113 0.0003

d́=0.0514
Sd =0.0002
t hitung =5.8843
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A tidak sama dengan Perubahan massa jenis
bakso sampel C

 Uji t untuk Perubahan massa jenis bakso sampel A dan D


Sampel I II III
A 0.2319 0.2448 0.2461
D 0.1379 0.1783 0.1934

No pasang Xi Yi di (A-D) di^2 (A-D)2


1 0.2319 0.1379 0.0940 0.0088
2 0.2448 0.1783 0.0665 0.0044
3 0.2461 0.1934 0.0527 0.0028
Total 0.2132 0.0160
Rata-rata 0.0711 0.0053

d́=0.1145
Sd =0.0210
t hitung =9.4297
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Perubahan massa jenis bakso sampel A tidak sama dengan Perubahan massa jenis bakso
sampel D
6. Rendemen Bakso
Rata-
Ulangan Total SD
Perlakuan Rata
1 2 3
A 100.85 98.64 102.89 302.38 100.79a 2.12
b
B 122.49 125.98 131.07 379.55 126.52 4.31
C 127.76 129.19 132.05 389.01 129.67c 2.18
96

D 137.47 135.919 132.24 405.64 135.21d 2.68

 Uji t untuk rendemen bakso sampel A dan B


Sampel I II III
A 100.85 98.64 102.89
B 122.49 125.98 131.07

No pasang A B di (A-B) di^2 (A-B)2


I 100.85 122.49 -22 469
II 98.64 125.98 -27 748
III 102.89 131.07 -28 794
Total -77 2011
Rata-rata -26 670

d́=−25.7
Sd =3.55
t hitung =12.53
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Rendemen bakso sampel A tidak sama dengan Rendemen bakso sampel B

 Uji t untuk rendemen bakso sampel A dan C


Sampel I II III
A 100.85 98.64 102.89
C 127.76 129.19 132.05

No pasang A C di (A-C) di^2 (A-C)2


I 100.85 127.76 -27 724
II 98.64 129.19 -31 934
III 102.89 132.05 -29 851
Total -87 2509
Rata-rata -29 836

d́=−28.88
Sd =1.84
t hitung =27.20
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
97

Rendemen bakso sampel A tidak sama dengan Rendemen sampel C

 Uji t untuk Rendemen bakso sampel A dan D


Sampel I II III
A 100.85 98.64 102.89
D 137.47 135.91 132.24

No pasang A D di (A-D) di^2 (A-D)2


I 100.85 137.47 -37 1341
II 98.64 135.91 -37 1390
III 102.89 132.24 -29 862
Total -103 3593
Rata-rata -34 1198

d́=−34.41
Sd =4.39
t hitung =13.56
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung < t ¿2 (n−1) , maka tidak terima H 0
Rendemen bakso sampel A tidak sama dengan Rendemen sampel D

7. Kadar Protein Bakso


a. Kadar Protein Bakso (Neraca Massa)
1. Kadar protein bakso kontrol

Xtotal.Mtotal = Xf1.M1 + Xf2.M2 + Xf3.M2 + Xf4.M4 + Xf5.M5

Xtotal.588 = (0,216x300)

Xtotal = 0,1102
98

Xtotal = 11,02%

2. Kadar protein bakso TSP 30% dan karagenan 1,5% (A)

Xtotal.Mtotal = Xf1.M1 + Xf2.M2 + Xf3.M2 + Xf4.M4 + Xf5.M5

Xtotal.688,17 = (0,216x300) + (0,327x90) + (0,186x10,17)

Xtotal = 0,1396

Xtotal = 13,96%

3. Kadar protein bakso TSP 30% dan karagenan 3% (B)

Kadar protein bakso TSP 30% dan karagenan 1,5% (A)

Xtotal.Mtotal = Xf1.M1 + Xf2.M2 + Xf3.M2 + Xf4.M4 + Xf5.M5

Xtotal.698,34 = (0,216x300) + (0,327x90) + (0,186x20,34)

Xtotal = 0,1403

Xtotal = 14,03%

4. Kadar protein bakso TSP 30% dan karagenan 4,5% (C)

Xtotal.Mtotal = Xf1.M1 + Xf2.M2 + Xf3.M2 + Xf4.M4 + Xf5.M5

Xtotal.708,51 = (0,216x300) + (0,327x90) + (0,186x30,51)

Xtotal = 0,1410

Xtotal = 14,10%

b. Kadar Protein Bakso (Analisis)


Kode V sampel - V Kadar
Wsampel (g)
Sampel blanko Protein (%)

I 0,1035 8,3 14,04

II 0,1042 8 13,44
x́ 13,74
99

c. Kadar Protein Daging Sapi


Kode V sampel - V Kadar
Wsampel (g)
Sampel blanko Protein (%)

I 0,1030 12,3 20,90

II 0,1002 12,8 22,36


x́ 21,63

d. Kadar Protein Texturized Soy Protein


Kode V sampel - V Kadar
Wsampel (g)
Sampel blanko Protein (%)

I 0,1012 19,9 34,43

II 0,1088 19,3 31,06


x́ 32,74

 Uji t untuk Rendemen bakso sampel A dan B


Sampel I II
A 14.04 13.44
B 13.96 13.96

No pasang Xi (A) Yi (B) di di^2


I 14.04 13.96 0.08 0.0064
II 13.44 13.96 0.52 0.2704
Total -0.44 0.2768
Rata-rata -0.22 0.1384

d́=−0.22
Sd =0.18
100

t hitung =0.7333
t ¿2(n−1)=4,303
t hitung > t ¿2 (n−1) , maka terima H 0
Rendemen bakso sampel A tidak berbeda nyata dengan Rendemen sampel B
Lampiran 4. Sertifikat Bahan Baku

101
102
103
104
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Pembuatan Bakso dengan Penambahan TSP 30% dan Karagenan

Daging sapi bagian top side

Penggilingan daging

Pencampuran

Pencetakkan bakso dalam air panas ( 60oC, 5 menit)

105
106

Perebusan ( 75oC, 6 menit)

Penirisan dan Pendinginan (23oC - 25oC, 30 menit)


107

Produk bakso dengan penambahan TSP 30% dan berbagai konsentrasi


Karagenan

Anda mungkin juga menyukai