Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEJANG PADA NEONATUS


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi dan Balita
Program Studi D III Kebidanan Tasikmalaya

Dosen Pengampu :
Sariestya Rismawati, SST, M.Keb

Disusun Oleh :
1. Risa Ambarsari H P20624118027
2. Salma Rahmy N P20624118030
3. Siti Nur Choerunisa P20624118034

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warhmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahhirabil’alamin, Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Kejang Pada Neonatusdengan
baik. Dengan selesainya makalah ini, diharapkan dapat membantu dalam
memberikan pemahaman tentang definisi, patofisiologi, penyebab, gejala dan
penatalaksanaan kejang pada neonatus.
Dalam kesempatan kali ini, tak lupa kami ucapkan terimakasih yang tak
terhingga atas bantuan, referensi, bimbingan serta sumbang saran umumnya dari
semua pihak. Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari banyak sekali
kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membantu kami untuk memperbaiki penulisan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat menjadi jendela informasi bagi
pembaca maupun bagi masyarakat.

Tasikmalaya, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................1

1.3 Tujuan..............................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1 Definisi Kejang Pada Neonatus.......................................................................3

2.2 Patofisiologi Kejang........................................................................................3

2.3 Penyebab Terjadinya Kejang...........................................................................5

2.4 Tanda Gejala yang Muncul..............................................................................7

2.5 Penatalaksanaan Secara Umum.......................................................................8

2.6 Contoh Asuhan..............................................................................................11

BAB 3PENUTUP...........................................................................................................21

3.1 Kesimpulan...................................................................................................21
3.2 Saran.............................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................22

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang pada neonatus sering ditemukan danmerupakan satu-satunya gejala
disfungsisusunan saraf pusat pada neonatus sulitdideteksi, sukar diberantas serta
berkaitan eratdengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, palsiserebral dan
keterlambatan perkembangan dikemudian hari. Deteksi dini, mencari etiologi dan
memberikan tata laksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus. (1)
Kejang umumnya berkaitan dengan penyakit berat yang memerlukan terapi
spesifik, (2) Kejang mempengaruhi tindakan suportif seperti alat bantu nafas dan
alimentasi yang sering diberikan pada neonatus dengan penyakit tertentu, (3)
Kejang dapat menyebabkan kerusakan otak.
Insidens kejang pada neonatus dibedakan menurut berat badan lahir, yaitu
57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir (BL) < 1500 g, 4,4 pada bayi dengan BL
1500-2499, 2,8 pada bayi dengan BL 2500-3999 g,serta 2,0 pada bayi BL > 4000
g.
Kejang pada neonatus sulit di diagnosis karena ada beberapa gejala yang
tidak khas sehingga terjadi keterlambatan atau diagnosis yang berlebihan.
Demikian juga dalam hal tata laksana seringkali kita hanya terpaku pada
pemberantasan kejang sehingga upaya untuk mencari dan mengobati etiologi
terlambat dankurang tepat. Selain itu masih terdapat kontroversi dalam hal tata
laksana kejang terutama pemilihan obat antikonvulsan yang tepat. Deteksi kejang
secara dini, penelusuran etiologi serta tata laksana yang mencakup pemberantasan
kejang dan terapi spesifik terhadap etiologi sangat menentukan mortalitas dan
morbiditas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi kejang pada neonatus ?
2. Bagaimana patofisiologi kejang pada neonatus ?
3. Bagaimana tanda gejala yang muncul ?
4. Apa penyebab terjadinya kejang pada neonatus ?

1
5. Bagaimana penatalaksanaan secara umum ?
6. Bagaimana contoh asuhan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kejang pada neonatus.
2. Untuk menjelaskan bagaimana patofisiologi kejang pada neonatus.
3. Untuk menjelaskan bagaimana tanda gejala yang muncul.
4. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya kejang pada neonatus.
5. Untuk menjelaskan bagaimana penatalaksanaan secara umum.
6. Untuk menjelaskan bagaimana contoh asuhan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kejang Pada Neonatus


Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang pada
neonatus dibatasi waktu yaitu kejang yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan
(bayi cukup bulan) atau 44 minggu masa konsepsi (usia kronologis dan usia
gestasi pada saat lahir) pada bayi prematur.
Kejang dapat timbul sebagai gerakan involunter klonik atau tonik pada
satu atau lebih anggota gerak. (Lissauer, Tom : 2006). Kejang adalah suatu
kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan berelaksasi secara cepat dan berulang,
oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik di otak, yaitu terjadi
loncatan – loncatan listrik karena bersinggungannya ion (+) dan ion (-) di dalam
sel otak.
Kejang pada neonatus (neonatal fit) merupakan suatu tanda penyakit yang
menyerang susunan saraf pusat (SSP), kelainan metabolik dan penyakit lain yang
dapat menyebabkan kerusakan otak. Kejang pada neonatus sukar diklasifikasikan,
dikenali maupun diobati. Pada neonatus cukup bulan (NCB) maupun neonatus
kurang bulan (NKB) kejang dapat menyebabkan kerusakan SSP yang permanen
dan menimbulkan gangguan neurologis di masa datang seperti gangguan kognitif
yang berkepanjangan serta meningkatkan risiko kejadian epilepsi.

2.2 Patofisiologi Kejang


Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion
natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion
kalium keekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara
depolarisasi dan repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi
yang mengakibatkan penglepasan neurotransmiter dari presinapsdi terminal
akson. Neurotransmiter akan berikatan dengan reseptor postsinaps dan

3
menghasilkan potensialaksi yang dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak
normal sangat bergantung dari keseimbanganantara eksitasi dan inhibisi.
Keseimbangan membran potensial membutuhkan energi yang berasal dari
adenosine triphospate (ATP) yang menggerakkan pompa Na-K yang berfungsi
mengeluarkan ion kalium dan memasukkan ion natrium. Meskipun mekanisme
terjadinya kejang pada neonatus belum diketahui secara pasti, namun terdapat
beberapa teori yang menerangkan depolarisasi berlebihan, yaitu :
1. Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan energi, disebabkan oleh
hipoksikiskemik dan hipoglikemia.
2. Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang
berlebih atau berkurangnya re-uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi
yang berlebihan, ditemukan pada keadaan hipoksik-iskemik dan
hipoglikemia.
3. Defisiensirelatif neurotransmiter inhibisi (gama-amynobutiricacid / GABA)
mengakibatkan depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi akibat menurunnya
aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase pada keadaan defisiensi
piridoksin.
4. Terganggunya permeabilitas membrane sel, sehingga ion natrium lebih
banyak masuk ke intraselyang mengakibatkan depolarisasi berlebihan,
ditemukan pada hipokalsemia dan hipomagnesemia karena ion kalsium dan
magnesium berinteraksi dengan membrane sel untuk menghambat
masuknya ion natrium.
Kejang pada neonatus berbeda dari kejang padabayi, anak maupun orang
dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda
dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonates lebih bersifat fragmenter,
kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang umum tonik klonik.
Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi
cukup bulan, berkaitan dengan perkembangan neuro anatomi dan neuro fisiologi
pada masa perinatal.
Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam
sistemeferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut mengakibatkan

4
kejang yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak
menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks seperti sistem limbik berkembang
lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan
diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak
bermanifestasi gerakan-gerakan oral-buccal-lingualmovements seperti menghisap.
mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea.
Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan faktor penentu
apakah kejang yang terjadiakan menyebar ke daerah lain. Ternyata kecepatan
perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi di otak manusia berbeda-beda.
Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu dibandingkan sinaps inhibisi terutama di
daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah hipokampus dan neuron korteks yang
masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan yang telah matur. Belum
berkembangnya sistem inhibisi di substansia nigra juga mempermudah timbulnya
kejang.

2.3 Penyebab Terjadinya Kejang


Menemukan etiologi dari kejang neonatus sangatlah penting. Hal ini berguna
untuk melakukan penanganan secara spesifik dan juga untuk mengetahui
prognosis. Berdasarkan literatur, didapatkan beberapa etiologi dari kejang
neonatus yaitu:
1. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik
dan merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan
menimbulkan gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauterin
adalah penyebab terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini karena
terjadi hipoksemia, kurangnya kadar oksigen ke jaringan otak. Kedua
keadaan tersebutdapat terjadi secara bersama-sama, yang satu dapat lebih
dominan tetapi faktor iskemia merupaka faktor yang paling penting
dibandingkan hipoksemia.
2. Trauma dan Perdarahan Intrakranial
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar
yang dilahirkan oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada

5
partus lama, persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan kedudukan janin
dalam rahim atau kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri membuka
cukup lebar. Pada bayi berat lahir rendah dengan berat badan <1500 gram
biasanya perdarahan terjadi didahului oleh keadaan asfiksia. Perdarahan
intrakranial dapat terjadi di ruang subarachnoid, subdural, dan
intraventrikular atau parenkim otak.
3. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama
persalinan, atau segera sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena
infeksi primer dari ibu seperti toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan
herpes. Selama persalinan atau segera sesudah lahir, bayi dapat terinfeksi
oleh virus herpes simpleks, virus Coxsackie, E. Colli, dan Streptococcus B
yang dapat menyebabkan ensefalitis dan meningitis.
4. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang menyebabkan kejang pada bayi baru lahir
adalah gangguan metabolisme glukosa, kalsium, magnenisum, elektrolit, dan
asam amino. Gangguan metabolik ini terdapat pada 73% bayi baru lahir
dengan kerusakan otak. Berkurangnya level glukosa dari nilai normal
merupakan keadaantersering penyebab gangguan metabolik pada bayi baru
lahir. Berbagai keadaan gangguan metabolik yang berhubungan dengan
kejang pada neonatus adalah:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia pada bayi baru lahir adalah bila dalam tiga hari
pertama sesudah lahir, kadar gula darah kurang dari 20mg% pada bayi
kurang bulan atau kurang dari 30mg% pada bayi cukup bulan pada
pemeriksaan kadar gula darah 2 kali berturut-turut, dan kurang dari 40
mg% pada bayi berumur lebih dari 3 hari. Hipoglikemia sering terjadi
pada bayi kecil masa kehamilan, bayi dari ibu penderita diabetes, atau
bayi dengan penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.
b. Hipokalsemia
Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada
neonatus. Biasanya hipokalsemia disertai dengan gangguan lain,

6
misalnya hipoglikemia, hipomagnersemia, atau hipofosfatemia.
Diagnosis hipokalsemia adalah bila kadar kalsium dalam darah kurang
dari 7 mg%. Hipokalsemia terjadi pada masa dini dijumpai pada bayi
berat lahir rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik, bayi dari ibu dengan
diabetes melitus, bayi yang lahir akibat komplikasi berat terutama
karena asfiksia.
5. Gangguan Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit terutama natrium menyebabkan
hiponatremia ataupun hipernatremia yang kedua-duanya merupakan
penyebab kejang. Hiponatremia dapat terjadi bila ada gangguan sekresi dari
anti diuretik hormon (ADH) yang tidak sempurna. Hal ini sering terjadi
bersamaan dengan meningitis, meningoensefalitis, sepsis, dan perdarahan
intrakranial. Hiponatremiadapat terjadi pada diare akibat pengeluaran
natrium berlebuham, kesalahan pemberian cairan pada bayi, dan akibat
pengeluaran keringat berlebihan. Hipernatremia terjadi bila pemberian
natrium bikarbonat berlebihan pada koreksi asidosis dengan dehidrasi.

2.4 Tanda Gejala yang Muncul


Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitasnormal
pada bayi prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal
lain yang bukan kejang. Jitteriness merupakan salah satu gejala
gangguan pergerakan yang sulit dibedakan dengan kejang.
Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati hipoksik-
iskemik, hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat.
Akifitas lain pada neonatus yang menyerupai kejang
1. Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampakgerakan
bola mata kearah horizontal berupa nystagmoid jerk yang
tidak menetap. Dapat dibedakan dari gerakan bola mata
pada subtleseizure yang berupa deviasi tonik horisontal
bolamata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.

7
2. Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat
fragmenter dan multipel. Sering disebut benign neonatal
sleep myoclonus.
3. Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap
stimulus (suara atau taktil) berupa mioklonik umum seperti
terkejut/kaget (startleresponse).
4. Klonus. Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari
kejang dengan cara menahan gerakan tersebut berhenti.
Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian video-EEG
monitoring kejang neonates dapat dibedakan menjadi
epileptik dan nonepileptik. Disebut epileptik jika manifestasi
kejang berkorelasi kuat dan konsisten dengan aktifitas
epileptik pada pemeriksaan EEG. Patofisiologi kejang
epileptik disebabkan oleh lepas muatanlistrik yang
berlebihan dan paroksismal di neuronkorteks serta
peningkatan eksitasi seluler, sinaps dan aktifitas penyebaran
gelombang epilepsi. Disebut non-epileptik jika manifestasi
kejang tidak berkorelasi dan atau tidak konsisten dengan
aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Fokus kejang
berasal dari tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon
dan batang otak) dan tidak menyebarke korteks karena
imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi kortikal
sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan
pemeriksaan EEG. Selain itu kejang yang terjadi bukan
akibat dari lepasmuatan listrik yang berlebihan tetapi karena
cetusan primitif dari batang otak dan refleks spinal yang
tidak mendapat inhibisi dari korteks serebri.

2.5 Penatalaksanaan Secara Umum


Permasalahan dalam tata laksana adalah obat apa
yangdiberikan pada saat akut dan rumatan, serta berapalama

8
dan kapan menghentikan obat anti konvulsan tersebut. Prinsip
utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah:
1. Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat.
2. Mencari dan memberikantata laksana terhadap etiologi
kejang sesegera mungkin.
3. Tata laksana kejang, dengan mempertimbangkanmanfaat
pemberantasan kejangdengan efek samping yang mungkin
timbul daripemberian obat antikonvulsan.
Beberapa hal dalam tata laksana kejang masih kontroversi,
beberapa peneliti mengatakan bahwa kejang neonatus diobati
jika kejang terdeteksi secara klinis dan berkepanjangan,
sedangkan kejang elektrik yang terdeteksi melalui pemeriksaan
EEG tidak memerlukan terapi. Hal ini menimbulkan kontroversi
mengingat kejang elektrik berefek negatif terhadap otakyang
immatur. Ketidaksesuaian antara kejang klinis dan elektrik serta
singkatnya kejang membuat keraguan kapan anti konvulsan
dimulai atau dihentikan. Hal yang perlu diingat adalah neonatus
yang mengalami kejang berulang akan mengalami kerusakan
otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak,
metabolisme, dan pernapasan.
Mizrahi dkk menyatakan bahwa pemberian anti konvulsan
harus mempertimbangkan beberapa ha lyaitu tipe kejang,
patofisiologi, lama dan beratnya kejang, perjalanan penyakit
etiologi kejang, efek kejang dan obatantikonvulsan terhadap
neonatus. Klinisi sering memulai anti konvulsan tanpa melihat
gambaran EEG, pada keadaan ini klinisi harus menentukan
terlebih dahulu kejang bersifat epileptik atau non epileptik,
setelah itu ditentukan lama dan beratnya kejang. Kejang bersifat
epileptik jika tidak dapat diprovokasi oleh stimulus dan tidak
berhenti dengan reposisi atau tahanan, non epileptic bersifat
sebaliknya. Jika pemeriksaan EEG bed-side atau EEG-video

9
monitoring dapat dilakukan maka pemberian obat anti konvulsan
harus mempertimbangan hasil pemeriksaan penunjang tersebut.
Evans dkk merekomendasikan pemberian obat anti konvulsan
pada kejang yang bersifat lama (lebih dari 3 menit) atau
berulang (lebih dari 3 kali perjam), terutama jika mengganggu
ventilasi dan tekanan darah. Jika pada fase akut pemberian
fenobarbital sampai 40 mg/kg BB belum dapat memberantas
kejang, dapat dilanjutkan dengan pemberian fenitoin inisial. Jika
tidak terdapat respon dengan kombinasi fenobarbital dan
fenitoin, dapat ditambahkan lorazepam. Lorazepam seperti
diazepam mempunyai onset yang cepat (kurangdari 5 menit).
Kelebihan lorazepam dibandingkan diazepam adalah masa kerja
yang lebih panjang (sampai 24 jam), efek depresi pernapasan
dan hipotensi yang ditimbulkan lebih ringan. Sedapat mungkin
diazepam tidak dipergunakan karena beberapa alasan,
diantaranya :
1. Masa kerja yang singkat
2. Kombinasi diazepam denganfenobarbital meningkatkan
risiko kolapsnya kardiovaskular dan gagal napas
3. Kisaran dosis sangat sempit
4. Pelarut diazepam mengandung natrium benzoate yang
mengganggu kompleks bilirubin-albumin.
Obat fenobarbital, fenitoin, lorazepam, dan diazepam adalah
obat lini pertama, jika dengan obat-obat tersebut kejang belum
teratasi, penyebab kejang harus dicari dan diobati termasuk
gangguan metabolik seperti IEM, pyridoxin dan folinic acid
dependency terutama jika tidak terdapat faktor risiko perinatal
ataupun intrapartum.
Beberapa tahun terakhir ini midazolam banyak dipakai untuk
mengatasi kejang, dibandingkan golongan benzodiazepin lain,
midazolam paling minimal menimbulkan efek samping seperti
sedasi, hipotensi dan depresi pernapasan. Beberapa penelitian

10
menunjukkan bahwa midazolam cukup efektif sebagai obat lini
kedua jika dengan fenobarbital dan fenitointidak teratasi. Peneliti
lain menyatakan bahwa lignokain lebih efektif sebagai obat lini
kedua dibandingkan golongan benzodiazepin. Masih banyak
kontroversi seputar obat lini kedua ini karena belum adanya
bukti secara ilmiah obat yang paling efektif karena belum adanya
penelitian yang bersifat uji klinis acak tersamar ganda dengan
jumlah sampel yang memadai. Topiramat yang termasuk
golongan antagonis AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazoleproprionic acid) merupakan obat yang cukup
menjanjikan karena aman dan terbukti berefek neuro protektif
terhadap hewan percobaan dibandingkan dengan obat
antikonvulsan konvensional seperti fenobarbital dan fenitoin
yang dapat menyebabkan apoptosis neuron pada hewan
percobaan.
Lama pemberian obat antikonvulsan ditentukan oleh berapa
besar risiko kejang berulang jika obat dihentikan, dan risiko
terjadinya epilepsi (10%-30%). Faktor penentu lama pemberian
terapi antara lain :
1. Pemeriksaan neurologi, jika pada saat bayi pulang terdapat
kelainan dalam pemeriksaan neurologimaka risiko
berulangnya kejang sebesar 50%.
2. Penyebab kejang itu sendiri, etiologi asfiksia beresiko
sebesar 30% sedangkan disgenesis korteks beresiko 100%
terhadap berulangnya kejang.
3. Gambaran EEG, jika irama dasar memperlihatkan kelainan
minimal atau ringan maka tidak dapat risiko terjadi epilepsi,
jika terdapat kelainan yang berat maka risiko meningkat
menjadi 41%.

Volpe merekomendasikan jika pada saat neonatus akan


dipulangkan pemeriksaan neurologi normal maka semua obat

11
antikonvulsan dihentikan, jika abnormal pertimbangkan faktor
etiologi dan dilakukan pemeriksaan EEG. Jika pemeriksaan EEG
abnormal fenobarbital dilanjutkan tetapi jika EEG normal atau
etiologi adalah gangguan metabolik yang bersifat sementara
fenobarbital dapat dihentikan. Jika fenitoin diberikan, obat
tersebut dihentikan pada saat jalur intravena dihentikan,
meskipun pemeriksaan neurologi abnormal. Bayi yang
dipulangkan dengan fenobarbital, diulang pemeriksaan neurologi
dan perkembangan saatusia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi
normal fenobarbital dihentikan dalam waktu 2 minggu, jika
abnormal lakukan pemeriksaan EEG dan fenobarbital dihentikan
jika tidak terdapat kelainan yang bermakna pada EEG, evaluasi
ulang saat usia 3 bulan jika EEG abnormal. Volpe menyatakan
bahwa sedapat mungkin obat antikonvulsan dihentikan sesegera
mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia
3-6 bulan, hal ini karena efek fenobarbital terhadap otakyang
masih berkembang masih banyak diperdebatkan.

2.6 Contoh Asuhan

ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR


TERHADAP BAYI Ny. ”R” DENGAN KEJANG
DI RB KASIH IBU

I. PENGUMPULAN DATA DASAR


Anamnesa, ada tanggal 19 November 2007
A. Identitas
Nama Bayi : By. Ny. Rina
Jenis Kelamin : Perempuan
Anak ke : I (pertama)

Nama Ibu : Ny. Rina Nama Suami : Tn. Yudi


Umur : 22 Tahun Umur : 25 Tahun
Agama : Islam Agama : Islam

12
Suku : Jawa Suku : Jawa
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Teratai 29 Alamat : Jl. Teratai 29
B. Keluhan Utama
Bayi Ny. Rina lahir spontan pervaginam, dengan keluhan kejang, bayi
tampak kejang, mata berputar-putar, sianosis, ektremitas kaku, tremor,
bayi mengalami asfiksia ringan, sulit bernafas, suhu tubuh 36oC, apgar
score 5/8. BB : 2800 gr, PB : 50 cm, denyut jantung : 98 x/menit
C. Riwayat Persalinan
1. Persalinan ditolong oleh : Bidan
2. Jenis persalinan : Spontan pervaginam
3. Tempat persalinan: RB Kasih Ibu
4. Lama persalinan :
a. Kala I : 10 jam 30 menit
b. Kala II : 30 menit
c. Kala III : 30 menit
d. Kala IV : 2 jam
5. Masalah yang terjadi selama persalinan : tidak ada
6. Keadaan air ketuban : jernih
7. Keadaan umum bayi : kelahiran tunggal, usia kehamilan saat
melahirkan + 40 minggu
D. Pemeriksaan Fisik
1. Nilai apgar
No Asfek Yang 0 1 21 Waktu
Dinilai 1 5
1. Frekuensi Tidak ada Kurang dari 100 Lebih dari 100 1 2
denyut jantung
2. Usaha Tidak ada Lambat teratur Menangis kuat 1 1
bernafas
3. Tonus otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan aktif 1 1
flexi sedikit
4. Reaksi Tidak ada Gerakan sedikit Menangis 1 2
terhadap
rangsangan

13
5. Warna kulit Biru/pucat Tubuh Seluruh tubuh 1 2
kemerahan kemerahan
ekstremitas biru
Jumlah 5 8

2. Atropometri
a. Berat badan : 2800 gr
b. Panjang badan : 49 cm
c. Lingkar kepala : 35 cm
d. Lingkar dada : 30
e. Lila : 9,5 cm
3. Reflek
a. Moro : tidak ada
b. Tonic neak : tidak ada
c. Palmargrap : tidak ada
4. Menangis : tidak menangis spontan, bayi manangis
saat dirangsang
5. Tanda vital-vital
a. Nadi : 110 x/menit
b. Suhu : 36oC
c. Pernafasan : 32 x/menit
6. Kepala
a. Simetris : tidak ada kelainan yang dialami
b. Ubun-ubun besar : cembung
c. Ubun-ubun kecil : tidak ada
d. Caput succedenum : tidak ada
e. Chepal hematoma : tidak ada
f. Sutura : tidak ada moulage
g. Luka kepala : tidak ada
h. Kelainan yang dijumpai : tidak ada kelainan
7. Mata
a. Posisi : simetris kanan dan kiri, tampak berputar-putar
b. Kotoran : tidak terdapat kotoran
c. Perdarahan : tidak terdapat perdarahan

14
d. Konjungtiva : pucat , sclera : ikterik
8. Hidung
a. Lubang hidung : terdapat 2 lubang kanan dan kiri
b. Cuping hidung : ada, simetris kanan dan kiri
c. Keluaran : tidak ada
9. Mulut
a. Simetris : atas dan bawah
b. Palatum : tidak ada celah
c. Saliva : tidak ada hipersaliva
d. Bibir : tidak ada labia skizis
e. Gusi : merah, tidak ada laserasi
f. Lidah bintik putih : tidak ada
10. Telinga
1) Simetris : kanan dan kiri
2) Daun telinga : ada kanan dan kiri
3) Lubang telinga : ada kanan dan kiri berlubang
4) Keluhan : tidak ada
11. Leher
a. Kelainan : tidak ada kelainan
b. Pergerakan : dapat bergerak ke kanan dan ke kiri
12. Dada
a. Simetris : simetris akan dan kiri
b. Pengeraakan : bergerak waktu bernafas
c. Bunyi nafas : nafas lambat, teratur
d. Bunyi jantung : dangkal, cepat, tidak teratur, 98 x/menit
13. Perut
a. Bentuk : simetris, tidak ada kelainan
b. Bising usus : teratur
c. Kelainan : tidak ada kelainan
d. Pembuluh darah : 2 arteri 1 vena
e. Perdarahan : tidak ada perdarahan
f. Kelainan : tidak ada kelainan

15
14. Kulit
a. Warna : kebiruan
b. Turgor : (+) ada
c. Lanugo : ada
d. Vernik kaseosa : ada
e. Kalainan : tidak ada kelainan
15. Punggung
a. Bentuk : lurus
b. Kelainan : tidak ada kelainan
16. Ekstremitas
a. Tangan : simetris kanan dan kiri, kulit tampak biru
b. Kaki : simetris kanan dan kiri, kulit tampak biru
c. Pergerakan : kaku
d. Kuku : lengkap, warna kebiruan
e. Bentuk kaki : lurus
f. Bentuk tangan : lurus
g. Kelainan : tidak ada kelainan
17. Genetalia : jenis kelamin perempuan
II. INTERPRESTASI DATA DASAR
A. Diagnosa
Bayi Ny. Rina lahir spontan pervaginam cukup bulan dengan kejang
Dasar : Bayi kejang seluruh tubuh, suhu tubuh 36oC, apgar score 5/8 berat
badan : 2800 gr, tinggi badan : 49 cm, denyut jantung 98 x/menit,
ekstremitas kaku dan mata berputar-putar.
1. Masalah
a. Kejang
Dasar:
1) Ektremitas bayi pergerakannya kaku
2) Mata berputar-putar
3) Seluruh tubuh bayi kejang
b. Gangguan O2
Dasar: Terdapat lendir pada jalan nafas bayi

16
c. Gangguan cairan dan nutrisi
Dasar: bayi belum mau menyusu
d. Hipotermi
Dasar:
1) Esktrimitas bayi biru
2) Bayi teraba dingin
3) Suhu 36oC
2. Kebutuhan
a. Atasi kejang
b. Pasang infus
c. Perbaiki jalan nafas bayi
d. Perbaiki suhu
e. Perawatan tali pusat
f. Pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan
Dasar:
1) Ektremitas bayi pergerakannya kaku
2) Mata berputar-putar
3) Seluruh tubuh bayi kejang
4) Terdapat lendir pada jalan nafas bayi
5) Apgar 5/8
6) Bayi susah bernafas
7) Suhu 360C
8) Tali pusat masih basah
III. IDENTIFIKASI DIAGNOSA DAN MASALAH POTENSIAL
a. Tetanus neonatorum, sepsis, meningitis, ensefalitis
b. Akan terjadi kecacatan syaraf dan kemunduran mental karena kurang
tersuplainya oksigen ke otak
c. Infeksi tali pusat karena tali pusat masih basah
d. Perdarahan otak
IV. IDENTIFIKASI MASALAH DAN KEBUTUHAN YANG
MEMERLUKAN PENANGANAN DAN KOLABORASI
Kolaborasi dengan dokter jika terjadi komplikasi dan kelainan

17
V. PERENCANAAN
a. Atasi kejang
1) Beri bayi obat anti kejang dengan memberikan obat diazepam
dengan dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV.
2) Pasang infus intravena dipembuluh darah periver dengan cairan
dextrose 10%
b. Lakukan pembebasan jalan nafas
1) Bebas jalan nafas
2) Letakkan bayi pada posisi yang benar
3) Lakukan slim zuinger
c. Lakukan ransangan taktil
1) Usap-usap punggung bayi
2) Atau sentil
d. Pertahankan suhu badan bayi
1) Membungkus bayi
2) Menghidupkan radian warmer
e. Lakukan perawatan tali pusat
1) Jepit tali pusat dengan 2 klem
2) Potong tali pusat dengan kasa steril
3) Bungkus tali pusat dengan kasa steril
4) Ajarkan ibu untuk perawatan tali pusat
5) Anjurkan pada ibu untuk perawatan tali pusat secara teratur
6) Evaluasi kemampuan ibu untuk mengulang
f. Lakukan penilaian bayi
1) Perhatikan dan nilai nafas bayi
2) Hitung frekuensi/denyut jantung bayi
3) Nilai warna kulit bayi
g. Jelaskan pada ibu mengenai pentingnya ASI Ekslusif
h. Anjurkan ibu untuk mengkomsumsi sayuran hijau
VI. PELAKSANAAN
Pada tanggal 19 November 2007
a. Mengobati kejang

18
1) Pasang infus intravena di pembuluh darah perifer, di tangan, kaki
atau kepala jika bayi di duga dilahirkan oleh ibu yang berpenyakit
diabetes melitus pemasangan infus melalui vana umbilikostik
2) Beri obat anti kejang yaitu : diazepam 0,5/kg, supositoria IM
sampai kejang teratasi
3) Bila kejang sudah teratasi, beri cairan dextrose 10% dengan
kecepatan 60 ml/kg BB/hari
b. Melakukan pembebasan jalan nafas
1) Membersihkan jalan nafas dengan cara membersihkan mata,
hidung dan mulut bayi secara zig-zag dengan kasa steril segera
setalah lahir
2) Melakukan bayi terlentang atau miring dengan leher agak ekstensi
atau tengadah dengan meletakkan selimut atau handuk yang
digulung ke bawah bahu sehingga bahu terangkat 2-3 cm
3) Membersihkan jalan nafas dengan menghisap cairan amnion dan
lendir dari mulut dan hidung menggunakan slim zuinger. Bila air
ketuban bercampur mekonium. Maka penghisapan dari trakea
diperlukan untuk mencegah aspirasi mekonium. Hisap dari mulut
terlebih dahulu kemudian hisap dari hidung
c. Mempertahankan suhu tubuh bayi
1) Membungkus bayi dengan handuk kering dan bersih yang ada di
atas perut ibu bila tali pusat panjang, mengeringkan tubuh dan
kepala bayi dengan handuk untuk mengihilangkan air ketuban dan
mencegah kehilangan suhu tubuh melalui evaporasi
2) Menghidupkan radio warmer untuk menghangatkan bagian dada
bayi dengan meletakkan bayi telentang di bawah alat pemancar
panas. Alat pemancar panas perlu disiapkan sebelumnya agar kasur
tempat diletakkan bayi juga hangat.
d. Melakukan perawatan tali pusat
1) Menjepit tali pusat dengan 2 buah klem
2) Memotong tali pusat dengan gunting tali pusat dan mengikatnya
3) Membungkus tali pusat dengan kasa steril

19
4) Mengajarkan pada ibu untuk perawatan tali pusat
5) Menganjurkan pada ibu untuk melakukan perawatan tali pusat
e. Melakukan rangsangan taktil
1) Usap-usap punggung bayi kearah atas
2) Menyentil telapak kaki bayi untuk memberikan rangsangan yang
dapat menimbulkan atau mempertahankan pernafasan
f. Melakukan penilaian bayi
1) Memperhatikan dan menilai pernafasan bayi
2) Menilai warna kulit bayi
g. Menjelaskan pada ibu mengenai pentingnya ASI ekslusif bagi bayi
selama 6 bulan
h. Menganjurkan pada ibu untuk melakukan perawatan tali pusat
i. Melibatkan suami dan keluarga untuk mendukung kegiatan ibu
dalam merawat bayinya
j. Menganjurkan pada ibu untuk mengkonsumsi sayuran hijau seperti
bayam, daun katup, daun singkong, serta kacang-kacang.
VII. EVALUASI
Pada tanggal 19 November 2007
a. Pemberian obat anti kejang telah dilakukan
1) Pemasangan infus intravena
2) Memberi obat anti kejang yaitu diazepam 0,5/kg sampai kejang
teratasi
b. Pembebasan jalan nafas telah dilakukan
1) Mata, hidung, dan mulut telah di bersihkan
2) Bayi telah diposisikan dengan benar
3) Jalan nafas telah dibersihkan
c. Suhu tubuh bayi telah dipertahankan
1) Bayi telah dibungkus dengan handuk kering dan bersih
2) Tubuh dan kepala bayi telah dikeringkan dengan handuk
3) Radian wamer telah melakukan pembesan jalan nafas
d. Rangsangan taktil telah dilakukan dan punggung telah diusap ke arah
atas

20
e. Perawatan tali pusat telah dilakukan
f. Kejang telah teratasi, memberikan cairan dextrose 10% dengan
kecepatan 60 ml/kgBB/hari
g. Bayi telah bernafas spontan
h. Ibu mengerti akan pentingnya ASI ekslusif selama 6 bulan
i. Ibu mengerti cara merawat tali pusat bayi
j. Suami dan keluarga bersedia membantu ibu dalam merawat bayinya
k. Ibu mengerti dan tersedia mengkonsumsi sayuran hijau, seperti :
bayam, daun katu, daun sinkong, serta kacang-kacang

21
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kejang pada neonatus sering sulit dikenali, langkah pertama
jika menghadapi kasus tersebut adalah memastikan gejala yang
tampak kejang atau bukan. Dilanjutkan dengan melihat riwayat
kehamilan, persalinan, faktor risiko, tipe kejang, dan awitan
dengan evaluasi diagnostik dapat ditentukan etiologi. Tata
laksana selain bertujuan untuk memberantas kejang juga
mengatasi etiologi. Obat antikonvulsan yang diberikan harus
efektif memberantas kejang dengan mempertimbangkan efek
samping obat. Pemeriksaan EEG sangat penting untuk diagnosis,
menilai respon terapi, lama terapi serta menentukan prognosis.
Prognosis ditentukan oleh etiologi, tipe kejang, serta gambaran
EEG. Pemahaman yang baik tentang diagnosis dan tata laksana
kejang pada neonatus akan membantu menurunkan mortalitas
dan morbiditas.

3.2 Saran
Diharapkan penyusunan makalah ini dapat membantu para pembaca untuk
lebih memahami tentang asuhan pada nenatus, bayi, balita dengan masalah
yaitukejang pada neonatus serta penatalaksanaannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Widiastuti, Daisy. Kejang pada neonatus manifestasi klinis dan etiologi terdapat
dalamhttps://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=2ahUKEwjn4a_cmpLoAhW
Rb30KHbKVDYQQFjAIegQICRAB&url=http%3A%2F%2Flib.ui.ac.id
%2Ffile%3Ffile%3Dpdf%2Fabstrak-
108818.pdf&usg=AOvVaw1m9uE_2rP9b4PRvH0HfL97 Diakses pada tanggal
11 Maret 2020.
Setyo Handryastuti. 2007.Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tata Laksana. Sari Pediatri.9(2):112-120. Terdapat dalam
https://www.saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/751/686
diakses pada tanggal 11 Maret 2020.
Kosim, Sholeh. Dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
Lissauer, Tom. Dkk. 2006. At The Glance Neonatologi. Jakarta : Erlangga
Marmi. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syaifudin, Abdul Bari. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Surwono

23

Anda mungkin juga menyukai