Anda di halaman 1dari 27

ELEKTROMEKANIK

“TEKNOLOGI MENAMBAH KEYAKINAN


BERAGAMA”

NAMA : Fajar Handoko


NIM : 5183131015
DOSEN PENGAMPU : Drs. Ir. Abdul Hakim Butar-butar, M.T..

PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan Syukur kita panjatkan ke Hadirat ALLAH SWT Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun tugas
makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya.
Makalah ini telah dibuat dari beberapa sumber dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan tugas ini. Oleh karena itu,penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun makalah ini. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan tugas selanjutnya.
Akhir kata semoga tugas yang saya buat ini bisa memperkuat dan menambah
keyakinan kita dalam beragama untuk menghadapi perkembangan teknologi yang semakin
canggih ini.

Medan, 21 Mei 2020

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar.....................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................
BAB I...................................................................................................................................
PENDAHULUAN...............................................................................................................
Latar Belakang.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................
1.3 Tujuan ...........................................................................................................................
BAB II.................................................................................................................................
Pembahasan.........................................................................................................................
BAB III................................................................................................................................
Penutup................................................................................................................................
Kesimpulan..........................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Alhamdulillahiladzi ja’ala amwali aghniyaa’ haqqa lisshoili walmahrum wassholatu
wassalamu’ala saiyidna muhammadin khoiril umaro’ wa’ala alihi wa ashabihiladzi tabatsalu
amwalahum lillah fastaujabu jaza al’aufa amma ba’ad
Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah
mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada
masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan dengan
mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari
keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan
pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan
aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini
pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan
pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai
pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya
menjadi kiblat dunia pada saat itu.
Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang
sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam
tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-Qur’an dan al-Sunnah
telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan
ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam
di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.
Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam dan
merenungkannya. Al- Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu
kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia. Tidak
kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong
orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal
budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian
dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk
mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan
lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-
naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para ilmuwan muslim tampil
dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini
tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-
48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R.
Levy (1975:400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt:23).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Islam
2. Pandangan islam dan al quran tentang ilmu dan teknologi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Islam
2. Untuk menambah keyakinan beragama umat islam dalam menghadapi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi

2
BAB II
Pembahasan
Tragedi 11 September 2001 menjadi semacam indikator bahwa permusuhan dan
peperangan antara orang kafir, yang diwakili Amerika, dengan umat Islam, yang
representasikan oleh Alqaidah, senantiasa ada. Meski Alqaidah bukanlah representasi dari
Islam seutuhnya dan seluruhnya, tapi di mata masyarakat Amerika dan Negara-negara
Barat, Alqaidah dianggap identik dengan Islam itu sendiri.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sejak dulu hingga dewasa ini tidak terjadi
secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap dan evolutif. Untuk memahami
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terlebih dahulu harus melakukan pembagian atau
klasifikasi secara periodik. Karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Hingga saat ini, telah banyak ilmuan yang mengadakan
klasifikasi perkembangan ilmu pengetahuan,(Conny R. Semiawan, 1986). yang pada
intinya adalah sebagai berikut:
Pertama: Zaman Pra Yunani Kuno (abad ke 15-7 SM); ciri ilmu pengetahuan pada
masa ini adalah peradaban manusia yang menggunakan batu sebagai peralatan. Sedangkan
proses yang digunakan adalah trial and error. Warisan pengetahuan berdasarkan know how
yang dilandasri pengalaman empirik merupakan salah satu ciri pada zaman ini, (UGM,
1996). Kemampuan yang dimiliki adalah:
a. Berdasarkan pengalaman dan masih dihungkan dengan magis.
b. Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah menampakkan
perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
c. Kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang didasarkan atas sintesa
terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
d. Kemampuan meramalkan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.
Misalnya: gerhana bulan dan matahari.(UGM, 1996).
Kedua: Zaman Yunani Kuno (abad ke 7-2 SM). Zaman ini dipandang sebagai zaman
keemasan filsafat, karena pada masa ini orang-orang memilih kebebasan untuk
mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Tokohnya diantaranya Thales, Phytagoras,
Socrates, Leucippus, Plato, Aristoteles, (UGM, 1996).
Ketiga: Zaman Pertengahan (abad 2-14 M) yang ditandai dengan tampilnya para
teolog di bidang ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas
keagamanaan. Semboyan pada masa ini adalah Ancilla Theologia, ilmu adalah sebagai
abdi agama, (UGM, 1996).
Keempat: Zaman Renasaince (abad 4-17 M). Zaman ini dikenal sebagai era
kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah
zaman peralihan ketiga peralihan ketika kebudayaan abad tengah berubah menjadi suatu
kebudayaan modern. Ilmuan yang terkenal adalah Roger Bacon, Copernicus Tycho Brahe,
Johannes Keppler, Galileo Galilie, (R. Slamet Imam Santoso, 1977).
Kelima: Zaman Modern (abad ke 17-19 M). Zaman ini ditandai dengan berbagai
penemuan ilmiah. Tokoh yang dikenal antara lain Rene Descartes, Isaac znewton, Charles
Darwin dan J.J Thomposon, (UGM, 1996).
Keenam: Zaman Kontemporer (abad ke 20 dst.). diantara ilmu-ilmu khusus yang
dibicarakan oleh para filosof, bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi. Fisika
dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sibjek materinya mengandung insur-unsur
fundamental yang membentuk semesta. Fisikawan termashur pada abad ini adalah Albert
Einstein.

3
Dapat disimpulkan dari periodesasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
bahwa apa yang disebut ilmu pengetahuan, diletakkan pada dua dimensi, yaitu dimensi
struktural dan dimensi fenomenal, (Koenta Wibisono, 1955).
Secara garis besar perkembangan sains Islam dapat dibagi menjadi tiga tahap.
Yakni pertama adalah pewarisan dan penerjemahan. Pada masa ini dilakukan
pengumpulan berkas-berkas penulisanpengumpulan Yunani untuk kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Institusi terkenal yang mengoleksi dan
menerjemahkan tersebut salah satunya adalah Baitul Hikmah yang dibangun pemerintahan
Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Tahap kedua adalah pengklasifikasian
cabang-cabang ilmu kemudian merumuskan metode ilmiah dalam mempelajari dan
membuktikannya. Tahap ketiga adalah pengembangan dan penemuan ilmu-ilmu
pengetahuan baru.
Perspektif Islam terhadap Pengembangan Sains dan Teknologi
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia kini telah dikuasai peradaban
Barat, kesejahteraan dan kemakmuran material yang dihasilkan oleh perkembangan Iptek
modern tersebut membuat banyak orang mengagumi kemudian meniru-niru dalam gaya
hidup tanpa diseleksi terlebih dahulu terhadap segala dampak negatif dimasa mendatang
atau krisis
multidimensional yang diakibatkannya. Islam tidak menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga tidak anti terhadap barang-barang produk teknologi baik
dimasa lampau, sekarang maupun yang akan datang.
Dalam pandangan Islam, menurut hukum asalnya segala sesuatu itu mubah
termasuk segala apa yang disajikan berbagai peradaban, semua tidak ada yang haram
kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti, karena Islam bukan agama yang
sempit. Adapun peradaban modern yang begitu luas memasyarakatkan produk-produk
teknologi canggih seperti televisi, vedio, alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah
lainnya serta menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, muda atau anak-anak
yang tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang diakibatkannya, tetapi
menjadi tanggung jawab manusia yang menggunakan dan mengopersionalkannya. Produk
iptek ada yang bermanfaat manakala manusia menggunakan dengan baik dan tepat dan
dapat pula mendatangkan dosa dan malapetaka manakala digunakannya untuk mengumbar
hawa nafsu dan kesenangan semata.
Islam tidak menghambat kemajuan Iptek, tidak anti produk teknologi, tidak akan
bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern yang teratur dan lurus, asalkan dengan
analisa-analisa yang teliti, obyektif dan tidak bertentangan dengan dasar al-Qur`an, (No
Title, 2014).
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan
kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua
sosok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang
mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide.
Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam
hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih
maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Al-quran, sebab kitab
suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Islam merupakan agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan
memberikan pedoman-pedoman pokok untuk mengembangkan kebudayaan setinggi-
tingginya, agar manusia berbahagia di dunia dan di akhirat. Islam, sebagaimana tercantum

4
dalam Alqur’an dan Assunnah sanggup berperan sebagai penuntun perkembangan
kehidupan manusia, termasuk perkembangan sains dan teknologi, (Alim, 1996).

Islam untuk mengembangkan beraneka ragam ilmu pengetahuan mengajarkan manusia


untuk melakukan nazhar (mempraktekkan metode, mengadakan observasi, dan
penelitian ilmiah) terhadap segala peristiwa alam di jagad ini, juga terhadap
lingkungan serta keadaan masyarakat dan historisitas bangsa-bangsa jaman dahulu,
(Alim, 1996). Sebagaimana firman Alah berikut:

۟ ‫ُوا فِى ٱأْل َرْ ض فَٱنظُر‬


Iَ ِ‫ُوا َك ْيفَ َكانَ ٰ َعقِبَةُ ْٱل ُم َك ِّذب‬
‫ين‬ ۟ ‫ت ِمن قَ ْبلِ ُك ْم ُسن ٌَن فَ ِسير‬
ْ َ‫قَ ْد َخل‬
ِ
Artinya : Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul).(QS. Ali Imran : 137)
ِ ‫َوفِ ٓى أَنفُ ِس ُك ْم ۚ أَفَاَل تُ ْب‬
َ‫صرُون‬

Artinya : dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (QS.
Adz Dzariat: 21)
Dari ayat-ayat di atas, memerintahkan kita untuk agar melakukan penalaran yaitu
menerapkan metode ilmiah untuk mempelajari alam semesta ini. Ayat ini sekaligus
menyatakan bahwa di alam semesta ini berlaku asas “keterbukaan bagi penalaran”. Asas
ini sangat penting
bagi pengembangan sains atau ilmu pengetahuan melalui penelitian yang ilmiah. Jika umat
manusia rajin melakukan penalaran dan penelitian terhadap berbagai fenomena alam yang
beraneka ragam di seluruh jagad raya ini, niscaya mereka akan beruntung dengan
diketemukannya mutiara-mutiara kebenaran yang berupa sifat-sifat karakteristik benda-
benda balam dan hukum-hukumnya, (UMJ, 1998).

Selain itu, ada hal menarik yang perlu dilihat secara kritis dari ayat di atas, yaitu
dimana letak perbedaan antara nazhar yang diperintahkan Allah dengan nazhar yang
dianjurkan dan biasa dilakukan dalam Sains. Berbeda dengan dengan nadzar pada Sains
yang menitikberatkan pada observasi dan eksplorasi ilmiah untuk meneliti substansi
material alam semesta, nazhar yang diperintahkan dalam agama tidak hanya sekedar kerja
rasio dan rasa semata, tetapi juga didorong aktif oleh manifestasi iman kepada Allah.
Dengan kata lain, islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita selidiki dan teliti
secara mendalam itu adalah terbatas hanya kepada ciptaan atau makhluk Allah semata-
mata, yang mana ciptaan-ciptaan itu merupakan ayat atau tanda bukti kekuasaan dan
kehendak-Nya, (UMJ, 1998).
Dengan demikian dari dua nazhar di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
nazhar dalam islam pada dasarnya tidak sekedar bertujuan ingin mengetahui substansi,
sifat-sifat, dan sunnah yang berlaku di alam semesta, serta peradaban umat manusia dari
generasi ke generasi, tetapi juga memperkuat iman dan taqwa kita kepada Allah yang telah
menciptakan segalanya, (UMJ, 1998).
ِ َ‫ت أِّل ُ ۟ولِى ٱأْل َ ْل ٰب‬
‫ب‬ ِ َ‫ٱختِ ٰل‬
ِ َ‫ف ٱلَّ ْي ِل َوٱلنَّه‬
ٍ َ‫ار َل َءا ٰي‬ ِ ْ‫ت َوٱأْل َر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫َّن فِى خَ ْل‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬

َ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ ٰهَ َذا ٰبَ ِطاًل ُسب ٰ َْحنَك‬
ِ ْ‫ت َوٱأْل َر‬ ِ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِى خ َْل‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
ِ َّ‫اب ٱلن‬
‫ار‬ َ ‫فَقِنَا َع َذ‬

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
5
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(QS. Ali Imran :
190-191)

Ayat di atas sangat penting sekali bagi saintis muslim, karena menjadi dasar
epistemologi dan ideologi yang mengarahkan sikap dan perilaku mereka untuk
bertransendensi dengan sang pencipta, yang menjadikannya berbeda dengan saintis
yang tidak beriman. Artinya ada dimensi spiritual di dalamnya karena dzikir dan
takwanya kepada Allah.

Secara garis besar Islam memberikan tuntunan agar industri-industri mulai dari
proses awal eksplorasi sampai dengan hasil yang akan dicapai berjalan dalam rangka
mewujudkan kehidupan yang beramal shaleh, sehingga ada nilai-nilai kebajikan
ukhrowinya yang kekal, atau dapat termuat di dalamnya. Maksudnya agar eksplorasi yang
semata bersifat duniawi itu tidak kehilangan nilai kebajikannya, yaitu demi kesejahteraan
manusia itu sendiri, sekaligus juga sebagai alat berbuat baik bagi manusia yang satu
dengan manusia yang lain serta mendukung untuk lebih mengenal dan beribadah kepada
Allah. Jadi semakin jelas di sini, bahwa Islam menuntun teknologi dan sains kepada
kehidupan yang menguntungkan manusia dunia-akhirat agar terhindar dari kehancuran
karena keteledoran tangannya sendiri maupun karena siksa dan kemurkaan Allah. Artinya,
semua itu senantiasa dalam aras fitrah manusia itu sendiri serta mempunyai arah tujuan
untuk ikut mensukseskan penunaian tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di
muka bumi ini.

Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yg
artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna
memelihara diri dalam peperanganmu”. Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia
dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika
abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh produktif dan inovatif dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Islam adalah Agama Rahmatallil'alamin yang artinya rahmat bagi semua alam.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Kita diberi cipta, rasa, dan karsa.
Kita diberi kemampuan untuk merasakan segala sesuatu yang makhluk lain tidak rasakan.
Allah pun ketika memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Kalimat yang
pertama adalah "bacalah”, yang artinya adalah kita sebagai hamba Allah Hendaknya selalu
membaca. membaca dalam hal ini tidak hanya membaca sesuatu yang bersifat tulisan,
tetapi juga sesuatu yang bersifat visual. Yang berupa gambaran kehidupan. Kita membaca
bagaimana Allah menciptakan Gunung, dan lain sebagainya, (UMJ, 1998).
Kontribusi Islam terhadap Pengembangan Sains dan Teknologi
Empat belas abad yang lalu, tepatnya abad ke-6 M, Allah melalui ayat yang
pertama kali turun yaitu surat Al-alaq ayat 1-5, mengandung makna yang sangat luas,
memerintahkan kepada umat manusia agar umat manusia menelaah, meneliti, menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. sejak saat itu melalui berbagai kegiatan ilmiah yang
dinamis, terbuka dan jujur, tokoh dan ilmuwan muslim ikut berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengajukan berbagai pengetahuan
dalam berbagai disiplin ilmu, (UMJ, 1998).
Dunia tanpa batas (world bourderless) saat ini mengisyaratkan umat islam harus
peka dan tanggap terhadap isu-isu aktual dan faktual yang berlangsung hari ini. Kemajuan
sains yang berlangsung begitu cepat perlu diselaraskan dengan pemahaman agama dan

6
disesuaikan dengan nilai sosial budaya yang ada. Pada hakikatnya perkembangan sains
dan teknologi tidak bertentangan dengan agama islam, karena agama islam adalah agama
rasional yang lebih menonjolkan akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya
setempat, (Jumin, 2012).
Apresiasi umat islam terhadap ilmu pengetahuan sangat menakjubkan.
Bermunculanlah nama-nama Ibnu Hayyan (Geber), al-Khawarismi al-Kindi (Alkindus),
al-Farabi (Alpharibius), al-Biruni, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu sina dan lainnya. Satu hal
yang menarik adalah cerdi cendekiawan tersebut mempunyai pandangan yang
menunjukkan adanya keterpaduan antara Ilmu pengetahuan dengan Iman.
Sebut saja tokoh Ibnu Sina(Avicena), sebagai sosok yang dikenal peletak dasar
ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin terutama dalam hal ushul fiqh.
Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang penting dan masih menjadi acuan
perkembangan sains dan teknologi berasal dari kaum muslimin yaitu Ibnu
Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak matematika/Algorism), Ibnu
Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak Fisika), Al-Battani (Bapak
Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu Al-Bairar al-Nabati (bapak
Biologi), Ibnu Rusyd Ibnu Hayyan (Geber), al-Khawarismi al-Kindi (Alkindus), al-
Farabi (Alpharibius), al-Biruni, al-Ghazali, dan masih banyak lagi lainnya berkibar di
berbagai buku teks, dan penerbitan ilmiah lainnya. Sistem pendidikan yang
mengembangkan insan yang kreatif dan inovatif sangat mendukung suasan keilmuan
pada saat itu, (UMJ, 1998). Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan
teknologi namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.
Pada masa ini umat islam mampu memainkan peran dan menguasai berbagai
disiplin ilmu. Selain hal di atas faktor-faktor lain yang mendukung antara lain :
a. Adanya keseimbangan antara pemahaman ilmu Al-Qur’an dan alhadist oleh kaum
muslimin
b. Orang islam yang menguasai ilmu mendapat status yang amat tinggi dan terhormat.
c. Kaum muslimin mempunyai sikap toleran dengan orang di luar Islam beserta
pikirannya.
Dari abad ke-6 sampai ke-14 umat islam mempunyai peran yang sangat menonjol,
namun adanya berbagai krisis politik dan krisis internal dalam pemikiran yang dialami,
peranan umat islam menurun dan sangat memprihatinkan hingga dewasa ini. Sementara itu
orang-orang barat berdatangan ke universitas-universitas Islam yang berada di Cordova
dan Toledo (keduanya berada di Andalusia dan Spanyol) untuk belajar dan
menerjemahkan buku-buku karya tokoh dan ilmuwan muslim, (UMJ, 1998).

Gerardo de Cremona menyalin sekitar 90 karya ilmuwan muslim kedalam bahasa


latin. Termasuk karya al-Battoni, al-Farabi, al-Hayyan, dan Ibnu Haitham. Bahkan
menurut profesor Fuad Sezgin, tidak sedikit karya ilmuwan muslim yang dibajak dengan
menyalinnya dalam bahasa latin, dan kemudian dibubuhi nama penyalin itu sendiri sebagai
ganti nama pengarang aslinya. Barat yang tadinya mengalami zaman kegelapan, mulai
mengalami zaman pencerahan dan mulai mengambil alih peran islam dalam memandu
peradaban dunia, (UMJ, 1998).

Kelebihan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan


oleh barat lebih berimplikasi terhadap bidang ekonomi, politik, bahkan juga sosial
keagamaan. Hal ini menjadi tantangan ummat. Kemudian umat islam mencanangkan
kebangkitan kembali kejayaan islam yang dimulai pada abad ke-20 M. Modernisasi yang
ditopang oleh keunggulan Iptek kemudian merupakan model yang dinilai paling ideal
untuk diterapkan di lingkungan dan negara - negara muslim.

7
Namun demikian, menyadari bahwa modernisasi ala barat ini dalam beberapa hal
bermasalah, maka muncul berbagai respon dari kalangan muslim, secara kategoris antara
lain:
a. Bahwa model pembangunan atau modernisasi yang dikembangkan oleh barat
mengandung masalah serius, karena nanti akan melahirkan masyarakat dan peradaban
sekuler, diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan filsafat, epistemologi, dan ideologi barat.
Pengikut dari faham ini antara lain Dr. Ali Shariati , Ziauddin Sardar, dan secara khusus
tentang kaitan Islam dan Ilmu pengetahuan Ismail Raji Alfaruqi yang menawarkan
program islamisasi ilmu pengetahuan. Di Indonesia, diantar Ilmuwan yang memberikan
perhatian serius terhadap kaitan fungsional antara nilai-nilai tauhid dan islam dengan
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Dr. Hidayat Nataatmaja, (UMJ, 1998).
b. Untuk mewujudkan secara lebih konkret gagasan pertautan fungsional antara islam
dengan iptek, dibentuklah suatu sistem atau lembaga pendidikan yang benar-benar
dipercaya. Di lembaga inilah iptek dikembangkan sesuai dengan epistemologi islam.
Atas dasar inilah Syekh Muhammad Naquib al-Attas merintis berdirinya ISTAC
(International Institute of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur pada
tahun 1982. Kecenderungan mendirikan lembaga pendidikan Islam dalam rangka
menggali dan mengembangkan iptek dan juga meningkatkan kualitas SDM muslim
juga berkembang antara lain di Indonesia. Sejumlah Universitas Islam menunjukkan
keseriusan ummat islam untuk memberikan jawaban konkret terhadap tantangan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan modernisasi pendidikan
Islam, (UMJ, 1998).
c. Untuk mendukung berbagai program pengembangan iptek dan peningkatan kualitas
SDM juga didirikan berbagai asosiasi. Misalnya Forum Islam Internasional yang
merupakan bagian dari revivalisme Islam Kontemporer yang memberikan perhatian
khusus kepada riset, pengembangan iptek dan pengembangan kualitas SDM muslim
Dalam buku milik Mehdi Nakosteen disebutkan beberapa kontribusi Ilmu
keislaman terhadap sains modern:
a. Melalui abad keduabelas dan sebagian abad ke tiga belas, karya-karya Muslim tentang
sains, filsafat, dan bidang-bidang lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin,
terutama dari bahasa Spanyol dan memperkaya kurikulum barat, khususnya Eropa barat
laut.
b. Orang-orang Muslim, telah memberi kepada Barat metode eksperimental, sekalipun
masih kurang sempurna.
c. Sistem notasi dan desimal Arab telah diperkenalkan kepada Arab.
d. Karya-karya terjemahan mereka, terutama dari orang-orang seperti Avicenna dalam
ilmu kedokteran, sudah digunakan sebagai teks (kuliah) di dalam kelas-kelas sekolah
tinggi, jauh ke dalam pertengahan abad ke tujuh belas.
e. Mereka merangsang pemikiran orang-orang Eropa, dipelajari kembali hal itu dengan
kebudayaan-kebudayaan klasik dan lainnya, sehingga membantu menghasilkan (abad)
Renaisance.
f. Mereka adalah perintis universitas-universitas Eropa, mereka telah mendirikan ratusan
sekolah tinggi sebelum Eropa.
g. Mereka memelihara pemikiran Greco-Persian ketika Eropa bersikap tidak toleran
terhadap kebudayaan-kebudayaan Pagan.
h. Mahasiswa-mahasiswa Eropa di dalam Universitas Muslim membawa kembali (ke
negaranya) metode-metode baru tentang pengajaran.
i. Mereka telah memberi kontribusi tentang pengetahuan rumah sakit-rumah sakit,
sanitasi dan makanan kepada Eropa, (Nakosteen, 2003).
Peran Islam dalam perkembangan Iptek setidaknya ada dua yaitu Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
8
seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran
(qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi
Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar
bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam
dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan
tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang
seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur,
bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-
hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh
Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka
tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat
untuk memenuhi kebutuhan manusia, (Al-Jawi, 2014).
Islam menegaskan bahwa alam semesta, langit, dan bumi semuanya dibuat menjadi
mudah untuk digarap dan dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh manusia,atau dengan kata
lain dapat di eksplorasi demi kesejahteraan umat manusia. Selain itu juga semakin terbuka
dengan lebar jalan kemajuan bagi teknologi dan sains yang akan menggarap bahan-bahan
mentah menjadi hasil-hasil industri yang bermanfaat, lebih menarik dan lebih enak
dipakai. Namun dengan tidak kehilangan nilai transendensi sebagai media untuk lebih
mengenal Allah.
Secara umum peranan umat Islam dalam mengembangkan iptek masih sangat
lemah, jika dibandingkan dengan non-muslim. Untuk itu sangat dibutuhkan upaya
kebangkitan Islam, demi terbentuknya Ummatan Wahidah.
PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA-IPTEK
Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui
proses yang disebut metode ilmiah (scientific method).5 Sedang teknologi adalah
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan
pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek.6 Agama yang
dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan
aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan
akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan
aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan
ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :8Pertama,
paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah
satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari
kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah ). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak
mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa
mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik
secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis
(berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara
menerapkan pengetahuan).
9
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan
keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu
pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu
pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan
dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu
datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat
berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan.
Dalam Bible dikatakan: “Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada
keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan
ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-wahyu 7: 1). Kalau
konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan
oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal,
www.insistnet.com). Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis,
ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh
saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan
dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara
total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih
ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak
dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-
tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap
tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya
membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx
mengatakan: “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless
world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.” (Agama
adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,
sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah
candu bagi rakyat).9
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis
didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis.10 Paham
Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses
perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih
perkembanganitu sendiri.11

Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan.
Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits--
menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun
seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.12

10
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang
pertama kali turun (artinya): “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan.” (QS Al-‘Alaq: 1). Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk
membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala
pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi
rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu.13 Firman Allah SWT
(artinya): “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS An-
Nisaa` [4] : 126). “Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar melip uti segala
sesuatu.” (QS Ath-Thalaq [65]: 12)
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w. 632 M) yang meletakkan
Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu
pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu
menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini
dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah SAW terjadi
gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang
berkata.”Gerhana mata hari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah
SAW s egera menjelaskan: “Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terj adi
karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda- anda
kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” (HR. Al-
Bukhari dan An-Nasa`i).14
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan Aqidah Islam
sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah
tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang.
Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam Al-Qur`an (artinya):
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imran
[3]: 190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala
pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang
taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari
paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun
700-1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721)
AQIDAH ISLAM SEBAGAI DASAR IPTEK
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus
dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana
yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Paradigma Islam inilah yang seharusnya
diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap
membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya
hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler
inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang
Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal
haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan

11
konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan muslim.
Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah
Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang
ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan
paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari Al-
Qur`an dan Al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi
benar salahnya dengan tolok ukur Al-Qur`an dan Al-Hadits dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya.
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti
bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat
tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta
sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat QS.
An-Nisaa` [4]:126 dan QS Ath-Thalaq [65]:12), bukan berarti konsep iptek harus
bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang
menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (QS Nuh [71]: 16),
bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi
tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (QS. Fushshilat [41]: 11-12), dan
seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam Al-Qur`an yang semacam ini.17 Ayat-ayat ini
menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan
menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib
didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek
bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi
yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada Al-Qur`an dan Al-Hadits.
Ringkasnya, Al-Qur`an dan Al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya
sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus
sesuai dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan Al-
Qur`an dan Al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan Al-Qur`an dan
Al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang
menyatakan
bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan
tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga
menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan
manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini
bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia
pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan
keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin .18 Firman Allah SWT
(artinya): “(Dialah Tuhan)
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits hanyalah standar
iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari
sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi SAW menerapkan penggalian
parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum
12
Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi SAW juga pernah memerintahkan dua
sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu
penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem
administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang
beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam,
iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
SYARIAH ISLAM STANDAR PEMANFAATAN IPTEK
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam
harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun
juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits
yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan
iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah
(artinya): “ Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan… ” (QS An-Nisaa` [4] : 65). “ Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin- pemimpin selain-Nya… ”
(QS Al-A’raaf [7] : 3). Sabda Rasulullah SAW:“ Barangsiapa yang melakukan
perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR
Muslim)
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-
negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar
pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan
pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat
memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk
dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang
Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan
bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk
membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa
melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning
manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual),
mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang
berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti
dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu
yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara
hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi
manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya
secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Agama di Era IPTEK
Manusia adalah puncak dari evolusi alam. Ia terus berkembang dan dapat
merencanakan perkembangan itu. Manusia tahu dan mampu melaksanakan apa yang ia
13
mau. Manusia menghargai kehidupan, maka ia selalu berusaha mem-pertahankan dan
melanggengkan hidupnya dengan keturunan. Selanjutnya, manusia menyadari bahwa ia
tidak berkuasa secara penuh atas hidupnya. Secerdas apapun dan sekaya apapun
manusia, ia tidak mampu mempertahankan hidupnya di dunia ini. Pada saatnya ia harus
merangkul kematian dan penentu kematian itu berada di luar kuasa dirinya. Hal ini
menandakan bahwa ada kekuatan adikodrati yang terlibat dalam kehidupan manusia.
Selain itu, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain dan lingkungannya.
Konsekuensinya, ia harus menjaga dan membangun hubungan yang selaras dengan
sesama, lingkungan dan pencipta-Nya.

Pengetahuan agama dicari oleh manusia dengan budi dan hatinya, dengan segala
ilmu pengetahuan dan alat teknologi yang memadai. Bagi orang beriman, agama bukan
sekedar lembaga pembuat dan penjaga aturan atau norma dan kewajiban moral. Agama
bersangkut paut dengan seluruh hidup manusia, dengan segala segi-seginya. Dasar dari
sebuah agama adalah iman, yaitu relasi mendalam manusia dengan Allah yang
menginspirasi hidup. Agama berhubungan dengan pertanggungjawaban intelektual agar
orang terbuka untuk semakin memahami ajaran dan memaknai sertai
mengkomunikasikannya dalam kesaksian hidup di tengah dunia. Agama berkaitan
dengan ajaran moral yang bersumber pada Kitab Suc dan tradisi. Ajaran moral itu berisi
tentang nilai-nilai yang mendorong hidup individu dan bersama di tengah masyarakat.
Agama berhubungan dengan ibadat (dimensi kultis) yang mengungkapkan pengalaman
kesatuan dengan sesama dan Yang Ilahi dalam doa dan peribadatan. Agama merupakan
sebuah lembaga atau organisasi yang membantu para pemeluknya untuk memahami
dan menghayati kewajiban-kewajiban dalam kesatuan dengan sesama pemeluk dan
dalam hidup di tengah masyarakat. Ketika agama menekankan salah satu aspek di atas,
agama bisa kehilangan roh pembaru bagi para pemeluknya dan dunia sehingga agama
kurang mampu berperan di dalam memberi pencerahan bagi pemaknaan hidup di
tengah perkembangan dunia yang sedemikian pesat ini.

Berhadapan dengan realitas dunia dan kehidupan yang sedemikian kompleks dan
penuh kejutan, manusia menyadari betapa dirinya kecil dan terbatas. Manusia hidup
dalam keterbatasan ruang dan waktu. Para pemimpin dan pemeluk agama adalah
manusia-manusia terbatas yang perlu selalu terbuka untuk belajar dari pengalaman dan
membaca tanda-tanda zaman dalam terang ajaran agamanya. Kasus yang menimpa
Galileo Galilea merupakan salah satu contoh bahwa para pemimpin agama pun bisa
keliru di dalam mengambil sikap dan keputusan di tengah realitas perkembangan ilmu
pengetahuan.4 Peristiwa itu kiranya menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi
para pemeluk agama. Sebaliknya, mengandalkan IPTEK sebagai satu-satunya alat
untuk kemajuan hidup manusia juga akan mengakibatkan penderitaan dan frustasi.
Contohnya, sampai saat ini belum ada ilmu dan teknologi yang bisa menghentikan
lumpur panas Lapindo. Letusan gunung Merapi yang sedemikian dasyat dan kadang
sulit diprediksi secara akurat oleh IPTEK merupakan pembelajaran konkrit yang
menyadarkan manusia, betapa kekuatan alam dan pencipta-Nya jauh lebih besar dari
pada kekuatan manusia.
14
Manusia modern di zaman IPTEK yang cenderung mengabaikan campur tangan
Allah harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perkembangan (tek-nologi) sendiri
menghadirkan banyak keterbatasan.5 Ilmu menawarkan optimisme terhadap kemajuan,
namun ada banyak kenyataan pahit yang mengungkapkan penderitaan manusia.
Bukankah orang miskin tetap merupakan penghuni ter-banyak di planet bumi ini.
Bukankah perang di pelbagai belahan dunia tidak kunjung henti. Kekejaman para teroris
dan sepak terjang para koruptor masih merajalela. Banyak orang yang mengenyam
pendidikan tinggi dan mempunyai otoritas untuk mengembangkan hidup bersama justru
kehilangan kepekaan hati terhadap kepentingan orang-orang kecil dan sibuk mencari
keuntungan diri dan mempertahankan kuasanya. Kerusakan alam lingkungan telah
sangat parah. Kasus-kasus moral seperti penggunaan narkoba, kebebasan seks dan
pelecehan terhadap sesama manusia tetap tidak pernah berkurang di era IPTEK ini.
Tidak jarang, berbagai kasus kejahatan dan moral itu justru dipermudah oleh
perkembangan IPTEK. Manusia rindu akan keadilan tetapi tak henti-hentinya manusia
dibelit dengan persoalan HAM atau Hak Asasi Manusia. Semua keprihatinan
masyarakat dunia ini semestinya menjadi pembelajaran bahwa menyingkirkan Allah
(dan agama) serta menginstrumentalisasi alam tanpa memperhatikan kelestariannya
merupakan lonceng kematian dan kehancuran masa depan manusia. Maka, peran agama
sesungguhnya sangat diperlukan di tengah optimisme manusia modern pencipta IPTEK
yang sering gagap berhadapan dengan akibat dari perkembangan dan produk-produk
IPTEK sendiri.

Di tengah perkembangan IPTEK, agama ditantang untuk memberikan refleksi


cerdas yang mencerahkan bagi manusia modern. Pemahaman dan penghayatan agama
yang dipersempit hanya pada tataran dogma (yang berciri deduktif dan otoritatif) dan
hukum-hukum yang mengarahkan pada kehidupan sorgawi tidaklah memadai. Agama
perlu membantu manusia untuk merefleksikan dan memaknai berbagai pengalaman
konkrit di tengah hiruk pikuk di dunia ini. Selain itu, di tengah mentalitas modern yang
menghembuskan optimisme terhadap kekuatan akal budi manusia, agama perlu
membantu menumbuhkan kesadaran insani bahwa hidup manusia bukanlah sekadar
proses alami, melainkan proses kultural dan religius yang menghadirkan keutuhan
hidup dan mengarahkan pada cakrawala tujuan hidup tertinggi yang melampaui hal-hal
material dan historis duniawi.6

Pemahaman mengenai manusia sebagai pribadi yang utuh dari berbagai aspek
(berciri multi dimensi) dan bagian dari dinamika alam yang sedemikian kompleks perlu
ditegaskan kembali di tengah mentalitas modern yang cenderung menempatkan manusia
sebagai penguasa alam. Mentalitas modern yang menebarkan optimisme semakin
mengisolasi manusia dari campur tangan Allah dan menjadikan alam sebagai sapi perah
bagi kepentingan kesejahteraan material belaka. Hubungan dengan alam hanya dihayati
secara fungsional untuk mendatangkan keuntungan material-ekonomis dan tidak
dihayati secara afektif berdasarkan rasa rasa kasih sayang penuh persahabatan.7 Manusia
menempatkan diri sebagai aktor utama pengendali dan penguasa alam. Perkembangan
ilmu fisika, geografi, kimia dan berbagai teknologi mutakhir semakin menegaskan
15
bahwa manusia merupakan penakluk bumi yang dianggap materi belaka.8 Mentalitas
modern menggeser cara pandang Yunani kuno yang menempatkan manusia sebagai
bagian dari dinamika alam semesta. Berbagai gambaran mengenai manusia: animal
rationale (Aristoteles), animal symbolicum (Ernst Cassirer), insan kamil (Islam), ren
(Konfusius), wong utama (Jawa), homo faber (Karl Marx), dan homo religious (Rudolf
Otto), perlu disatukan untuk memahami keutuhan pribadi manusia yang multidimensi.9
Maka, pemahaman manusia yang hanya melihat dari sisi intelektual instrumental,
sebagaimana ditekankan oleh manusia modern, sesungguhnya mempermiskin martabat
pribadi manusia. Kesadaran akan multi dimensionalitas manusia memberi peluang luas
bagi agama untuk memberikan refleksinya yang khas, terkait dengan dimensi religius
yang mencerahi dimensi-dimensi lain kehidupan manusia.

Agama dan keyakinan iman tidak perlu dipertentangkan dengan perkembangan


IPTEK. Manusia beragama dan manusia IPTEK adalah makhluk yang sama sebagai
cipataan Tuhan, penghuni alam semesta ini. Keyakinan iman seharusnya memberi
pencerahan bagi pengembangan IPTEK agar manusia tetap menyadari keterbatasannya.
Sehebat apapun manusia dan IPTEK yang dikembangkan, ia tidak mampu menguak
semua misteri kehidupan dan alam semesta ini. Kegagalan IPTEK untuk menjelaskan
peristiwa kehidupan dan berbagai peristiwa alam semesta juga tidak perlu membuat
manusia merasa pesimis terhadap hidup dan masa depannya. Manusia tidak hanya bisa
belajar dari segala potensi dirinya yang mendatangkan optimisme. Ia juga bisa belajar
dari kegagalannya dan memaknai keterbatasannya untuk menegaskan bahwa ada kuasa
adi kodrati yang terlibat dalam sejarah hidup manusia. Di tengah perkembangan IPTEK
agama justru ditantang menegaskan kekhasan refleksi dan sumbangannya bagi
perkembangan peradaban umat ma-nusia. Usaha manusia untuk mengembangkan
IPTEK tetap mempertimbangkan perkembangan keutuhan pribadi manusia dengan
segala dimensi yang dimilikinya. Kesadaran akan multidimensionalitas ini
menyadarkan bahwa baik IPTEK maupun agama perlu terus menerus berdialog satu
sama lain dan berdialog dengan kenteks hidup manusia serta kekuatan adikodrati yang
membimbing manusia menuju perwujudan dirinya secara utuh10

c. Agama yang Peduli pada Persoalan Nyata

Manusia bukan hanya penghuni dunia dan alam semesta melainkan juga
mengolah dan bertanggungjawab untuk memeliharanya supaya hidupnya semakin
manusiawi. Puncak dari segala usaha manusia dalam mengolah dunia itu antara lain
adalah IPTEK. Dunia tidak berada di luar diri manusia. Dunia adalah panggung sejarah
manusia, yang ditandai oleh kegagalan dan keberhasilannya. Dalam dunia macam ini
manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidup dan tindakan-tindakannya.
Manusia diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mengelola dunia demi perkembangan
hidup manusia.

Perkembangan hidup manusia tidak bisa dipisahkan dari relasinya dengan


sesama manusia dan dengan dunia yang melingkupinya. Meskipun relasi itu memberi
pengaruh terhadap sikap, pola pikir dan tindakan manusia, namun relasi itu tidak
16
bersifat membelenggu. Para ilmuwan mencoba membahasakan relasi dirinya dengan
sesama dan alam semesta secara ilmiah. Kajian empiris dengan kaidah-kaidah ilmiah
membantu untuk semakin mengenali kehidupan dan alam semesta. Akan tetapi, tidak
semua hal bisa dijelaskan dengan kaidah ilmiah. Ada sisi misteri yang tidak bisa
diselami oleh kemampuan akal budi manusia. Agama membahasakan pengalaman
misteri itu bukan dengan penjelasan ilmiah melainkan dengan berbagai modalitas
bahasa manusia. Bahasa kultis-simbolik digunakan untuk menumbuhkan rasa kagum
atas pengalaman hidup ini dan gentar terhadap kekuatan adikodrati yang sedemikian
agung. Bahasa kultis-simbolik bukan sekedar pelaksanaan hukum atau aturan yang
kaku melainkan penghadirkan ekspresi hidup yang berciri afektif dan menumbuhkan
kepekaan manusiawi untuk melihat dengan kebeningan mata hati kehadiran Yang Ilahi
di dalam berbagai peristiwa alam yang dasyat, menggetarkan (menggentarkan) dan
sekaligus mengagumkan.11 Selain itu, agama juga membantu manusia untuk
menemukan jembatan yang menghubungkan ortodoksi (bahasa doktrin/ajaran) dengan
ortopraksis (bahasa, sikap dan tindakan yang berciri etis). Pengalaman akan dasyatnya
karya Tuhan yang tampak dalam alam yang mengagumkan sekaligus menakutkan
berimplikasi pada tindakan etis, yaitu sebuah gerakan pemeliharaan dan pelestarian
alam serta menjadikan manusia semakin akrab dengan Tuhan. Dengan demikian,
manusia di era IPTEK yang semakin menyadari jati dirinya seharusnya semakin
menyadari kekerdilannya dan bersujud penuh hormat di hadapan Tuhan Sang Penguasa
alam kehidupan ini yang sedemikian akrab menakjubkan sekaligus menggentarkan.

Berhadapan dengan letusan Merapi yang dahsyat dan tsunami yang memporak
porandakan hidup, manusia modern yang sedemikian yakin akan dirinya sebagai
makhluk nan cerdas dan mampu mengkalkulasi berbagai peristiwa alam harus
mengakui dengan rendah hati segala keterbatasannya. Realitas alam yang perkasa dan
kesadaran akan keterbatasan manusia memberi pencerahan untuk mentransformasi
agama yang cenderung dogmatis dan eksklusif menuju agama yang inklusif,
kontekstual dan peka terhadap berbagai persoalan manusia. Hidup manusia tidak
cukup dipahami melalui dogma-dogma dan hukum-hukum yang bersifat beku
melainkan bertautan dengan keyakinan, suara hati, tata hidup bersama, tata kerja,
relasi dengan alam sekitar, dan tindakan-tindakan moral kemanusiaan yang
bertanggungjawab. Alkitab menegaskan: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-
Ku: Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang
melakukan kehendak Bapa-Ku yang ada di surga”.12 Melaksanakan kehendak Bapa di
sorga berarti hidup dalam keutuhan relasi dengan sesama, alam dan Sang Pencipta
yang terwujud dalam peri kehidupan bersaudara dan damai. Jadi agama dan IPTEK
bukanlah tujuan melainkan jalan bagi manusia untuk membangun peri kehidupan
yang bermartabat.

IPTEK yang mengisolasi diri dari refleksi iman hanya akan membimbing
manusia pada orientasi hidup yang sifatnya sementara dan sesaat belaka. Sebagai
konsekuensinya, dinamika hidup manusia akan memproduksi peradaban dan
mentalitas yang cenderung konsumtif, materialistis dan hedonis. Maka, IPTEK yang

17
menolak refleksi iman akan memproduksi kultur kehidupan yang dangkal dan
berpotensi menumbuhkan degradasi moral serta nilai-nilai kehidupan. Selanjutnya,
agama dan iman yang mengisolasi diri dari perkembangan IPTEK akan berhenti pada
perumusan norma-norma yang keras dan praktik-praktik kultis yang membebani serta
tidak memberi pencerahan terhadap hidup nyata. Akibatnya, penghayatan agama akan
menjadi formalistik, buta dan kurang peduli terhadap persoalan nyata serta
menghalalkan berbagai cara irrasional (termasuk kekerasan) untuk membela
”keangkuhan” institusi agama tersebut. Peristiwa ganas dengan membakar Giardino
(1548-1600) yang dianggap sesat akibat mengikuti ajaran Galileo Galilei (1564-1642)
merupakan bukti nyata bahwa agama yang menolak IPTEK akan menjadi institusi
yang meligitimasi kekejaman. Dengan kata lain, agama tanpa refleksi kritis ilmiah
(ilmu) dapat menjerumuskan kaum beriman dalam lembah penyembahan berhala
yang pada gilirannya berakhir pada fundamentalisme. Selanjutnya, campur tangan
agama dan iman adalah masukan yang hakiki bagi IPTEK karena refleksi agama dan
iman membantu manusia untuk membimbing hidupnya pada makna bagi kehidupan
yang menyeluruh. Refleksi agama dan iman membantu untuk menyingkapkan makna
kehadiran Tuhan sebagai dimensi yang paling dasar peradaban manusia.

4. Refleksi Pengalaman Iman dalam Pembelajaran Agama

Iman adalah salah satu aspek penting dari agama, di samping institusi
(organisasi), dogma (ajaran), kultus (peribadatan), tindakan moral, dan sebagainya.
Iman merupakan dasar dari peziarahan dan makna hidup. Yang menjadi pondasi dari
iman adalah keyakinan terhadap Yang Mutlak atau Yang Transenden dan hal-hal yang
berkaitan dengan keyakinan tersebut. Dalam iman Kristen, Allah yang menjadi isi iman
itu diyakini sebagai Pribadi yang menyatakan diri-Nya dan mendampingi hidup
manusia. ”Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-
Nya. Dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya
menyapa manusia sebagai sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang
mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya”13.

Jawaban manusia atas perwahyuan Allah itulah yang disebut iman. Iman
merupakan hubungan pribadi manusia secara utuh dengan Allah dan bukan hanya
pengetahuan tentang Allah. Inti iman adalah pengalaman personal tentang Allah di
dalam pengalaman hidup sehari-hari yang membentuk moralitas, yaitu pemikiran, sikap
dan perilaku. Pengalaman iman dan proses beriman juga dipengaruhi oleh budaya,
nilai-nilai, dan berbagai peristiwa yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Jadi
pengalaman iman merupakan buah relasi interpersonal antara manusia dengan Allah
dan dengan sesama (serta alam semesta).

Pemahaman akan isi iman menentukan cara berpikir dan bersikap bagi orang
beriman dalam berelasi dengan sesama dan alam semesta. Isi iman menyangkut
gambaran tentang Allah, apa kehendak-Nya, bagaimana hubungan manusia dengan
Allah, hubungan Allah dengan dunia, untuk apa Allah menciptakan manusia. Bagi
orang beriman isi iman tersebut meresap ke dalam jiwanya (hati dan budinya). Kalau

18
Allah yang diimani adalah Allah yang mahakasih, maka orang beriman tidak hanya
tahu tentang kasih, tetapi berbuat kasih secara konsisten dan kontinyu. Kalau Allah
yang diimani adalah mahaadil, maka orang beriman tidak hanya tahu tentang keadilan,
tetapi berbuat adil. Jadi iman mencakup segala sesuatu yang menjamin eksistensi
manusia: kebebasan, pendidikan, kebudayaan, hidup bersama dalam keluarga atau
dalam masyarakat, tata hukum, tata kerja, ilmu pengetahuan. Ketika iman yang menjadi
inti sebuah agama sunggguh dihayati sebagai kekuatan dari nilai-nilai yang mendorong
hidup pribadi maupun bersama, agama tetap menjadi kekuatan transformatif yang
menjadi roh budaya dan menghadirkan kekhasan pada peradaban manusia.

Iman menyangkut hidup manusia seluruhnya: cipta, rasa, karsa dan karya. Iman
sekaligus bersifat afektif dan rasional. Suara hati adalah tempat manusia mendengar
panggilan untuk berjumpa dan berhubungan dengan Allah secara pribadi. Perjumpaan
itu memberi pengaruh terhadap segala keputusan dan tindakan manusiawi.14 Keputusan
suara hati untuk menerima Allah dan ajaran-ajaran-Nya (pesan-pesan moral dan nilai-
nilai yang disampaikan) melibatkan penalaran dan perasaan manusiawi. Kehadiran
Allah di dalam hati yang diyakini sebagai Pribadi yang penuh kasih dan pencinta
manusia mendorong untuk menghadirkan nilai-nilai kasih dan membela martabat
manusia. Namun, di hadapan kuasa Allah yang Mahaagung dan tiada batas, manusia
menyadari dan merasakan keterbatasan dirinya untuk memahami kemahakuasaan Allah
dan misteri kehadiran-Nya di tengah berbagai peristiwa hidup ini. Kepada Allah yang
Mahaagung itulah manusia berserah diri.

Penghayatan iman secara kritis dan bertanggungjawab merupakan konsekuensi


logis dan niscaya bagi manusia sebagai makhluk berakal budi. Memang tidak semua
hal yang berkaitan dengan hidup beriman bisa dimengerti secara menyeluruh oleh
akal budi. Metode ilmiah ilmu-ilmu empiris pun tidak pernah mampu men-jelaskan
seluruh aspek kehidupan beriman. Rasionalita iman bukan pertama-tama menyangkut
penjelasan seluruh aspek iman melainkan pertanggungjawaban terhadap motivasi
atau alasan beriman di tengah situasi dan persoalan nyata kehidupan manusia. 15 Jadi
yang dimaksud dengan rasionalitas iman adalah refleksi pengalaman dalam terang
iman yang dikomunikasikan kepada orang lain sebagai bentuk pertanggungjawaban
iman. Mengembangkan refleksi iman yang kontekstual merupakan upaya untuk
menjadikan agama relevan dan signifikan. Refleksi iman yang kontekstual
merupakan dinamika untuk menghadirkan agama bukan hanya dalam dogma-dogma
beku melainkan dalam kualitas nilai yang unggul dalam wajah kasih, persaudaraan,
solidaritas/kesetiakawanan dan perjuangan untuk mengembangkan hidup manusia.
Dengan demikian, agama tidak terjebak dalam retorika dogmatis (politis) dan
berkutat dalam aktivitas kultis melainkan menghadirkan ungkapan iman (kultis) dan
ajaran (dogma) di dalam komitmen (spiritualitas) yang membumi dan memerdekakan
manusia dari belenggu-belenggu peradaban yang mementingkan hal-hal superfisial.

Apakah IPTEK bisa berperan dalam menghadirkan budaya lebih humanis dan
berdaya ubah bagi peradaban? Refleksi iman yang kontekstual tidak mungkin
mengabaikan realitas dunia saat ini yaitu perkembangan IPTEK karena IPTEK
19
merupakan penghadiran konteks atau wajah manusia dan dunia modern. Merefleksikan
perkembangan IPTEK berarti mecermati sumbangannya IPTEK dan mencermati secara
kritis dampak negatifnya bagi hidup manusia. Iman memberi pencerahan untuk
merefleksikan perkembangan IPTEK secara lebih mendalam. Iman membantu
manussia untuk melihat kualitas IPTEK bukan hanya diukur dari nilai-nilai pragmatis
instrumental demi kesejahteraan ekonomis dan sosial melainkan juga dari nilai-nilai
kemanusiaan secara utuh. IPTEK yang berkualitas tampak dari sumbangannya dalam
mewujudkan penghargaan terhadap martabat manusia, penegakan keadilan,
pengembangan solidaritas sosial dan persaudaraan, terwujudnya perdamaian,
tersedianya ruang lingkup dan sarana untuk mengembangkan pendidikan yang
membentuk karakter pribadi, dan terjaminnya kesejahteraan sosial. 16 Dalam kaca mata
iman kontekstual, IPTEK bukan menjadi tujuan akhir dari perkembangan peradaban
manusia melainkan harus ditempatkan sebagai sarana dan jalan untuk mengekspresikan
potensi-potensi manusiawi dan mengembangkan keutuhan pribadi manusia. Dengan
cara itu, agama menjadi relevan (bersentuhan dengan pengalaman hidup aktual) dan
signifikan (menjadi kekuatan pembaru peradaban) di tengah perkembangan IPTEK.

IPTEK sebagai bagian tak terpisahkan dari peradaban modern adalah potensi
besar untuk membantu manusia dalam mengembangkan agama yang berwajah
manusiawi dan semakin relevan. Berbagai sarana komunikasi dan multimedia yang
merupakan produk dari IPTEK telah dimanfaatkan oleh agama untuk menyampaikan
pesan-pesan moral. Dengan demikian, dogma dan norma-norma moral bisa
disampaikan tidak hanya melalui bahasa diskursif-doktriner (instruktif) melainkan juga
dalam bahasa yang populis pesuasit-dialogis. Di tengah situasi masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, pendekatan humanis dengan bahasa persuasif-
dialogis akan lebih mudah dicerna banyak kalangan dari pada dari pada bahasa
doktriner konspetual (yang cenderung elitis). Maka, para pemimpin agama dan
pengjaran agama kiranya perlu menjalin kerjasama dan dialog intensif dengan berbagai
kalangan agar dapat membahasakan dan menghadirkan agama dalam secara humanis
dan kontekstual. Sebaliknya, para ilmuwan perlu membuka diri untuk berdialog dengan
berbagai kalangan, termasuk agamawan, agar mereka mampu merefleksikan dan
memaknai IPTEK dalam keutuhan dimensi manusia.

Dalam dialog kritis kiranya kita makin disadarkan bahwa iman yang menolak
ilmu pengetahuan bukan merupakan sikap iman yang benar. Sebaliknya, hanya
menerima ilmu dan mengabaikan iman, juga bukan sikap ilmiah yang benar, sebab akal
budi manusia ada batasnya. IPTEK tanpa iman dapat mengarah pada penyalahgunaan
IPTEK. Pengembangan IPTEK menjadi liar dan bisa kehilangan orientasinya pada
pengembangan keutuhan hidup manusia. Penyalahgunaan IPTEK untuk tindak
kejahatan seperti penggunaan bom atom untuk perang, teknologi pencurian data dan
informasi, teknik aborsi, dan penghancuran alam dengan menggunakan dinamit
merupakan bukti bahwa IPTEK yang dipisahkan dari norma-norma moral (dan agama)
jugstu akan menghancurkan manusia dan masa depan kehidupan. Maka, pendidikan
dan kuliah agama bagi kaum muda akan lebih menyentuh nurani mereka melalui
pembelajaran bersama secara dialogis (learning community) mengenai penanganan
20
terhadap berbagai persoalan kemanusia konkrit dan pengalaman kebersamaan di tengah
suka-duka kehidupan. Dengan demikian, pendidikan dan kuliah agama merupakan
kesempatan untuk mengembangkan komunitas belajar tentang makna hidup dan
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara nyata.

Kuliah agama seharusnya menyatukan proses learning to know (belajar untuk


memahami kenyataan secara kritis), learning to live together (belajar untuk hidup
bersama orang lain dan alam ciptaan secara harmonis), learning to do (belajar untuk
bertindak atau menerapkan apa yang sudah dipahami bersama orang lain), learning to
love (belajar untuk mengasihi hidupny, sesama, alam semesta dan Sang Pencitpa),
learning to be (belajar menjadi pribadi yang otentik dan utuh) dan learning to learn
(belajar terus menerus untuk mengembangkan hidup bersama).17 Berbagai keberhasilan
maupun kegagalan manusiawi bisa menjadi pengalaman formatif yang menyentuh
dimensi religius (kesadaran dan kehendak untuk mewujudkan nilai-nilai manusiawi).
Sebagai contohnya, letusan Merapi yang membawa banyak korban telah menumbuhkan
solidaritas dari berbagai lapisan masyarakat untuk membantu para korban. Selain itu,
fenomena meletusnya gunung Merapi juga menjadi pembelajaran bahwa alam adalah
sekolah kehidupan yang telah memberikan kesuburan tanpa mengharapkan balasan.18

Agama adalah tempat untuk memelihara dan mengungkapan iman. Dalam


agama, iman mendapat bentuk yang khas, yang memampukan orang beriman untuk
mengkomunikasikan imannya kepada sesama. Dengan bantuan ilmu pengetahuan,
orang beriman diharapkan semakin mampu berdialog secara lebih luas dalam
menjalankan tanggungjawabnya untuk meningkatkan kualitas hidup bersama dan
melestarikan alam semesta. Iman memberi warna terbangunnya visi hidup dan
tanggungjawab sosial. Bagi para cendekiawan, iman mencerahi moralitas, yaitu visi dan
tindakan nyata dalam mengembangkan ilmu dalam rangka mewujudkan nilai-nilai
kemanusiaan di tengah masyarakat.

Pertentangan antara agama dan IPTEK terjadi karena adanya sikap curiga dan
sikap kurang terbuka baik dari sisi pemeluk agama dan ilmuwan. Hal itu terjadi
ketika agama dipahami secara sempit sebagai aturan beku dan peribadatan belaka
yang tidak boleh dikritisi dan ilmu menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
agama. Meskipun agama dan IPTEK masing-masing bersifat otonom, artinya
masing-masing memiliki hukum-hukum dan nilai-nilai sendiri, keduanya mempunyai
subyek yang sama, yaitu manusia. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan
berhati nurani mempunyai tanggungjawab moral untuk mengembangkan IPTEK
supaya dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan. Bagi umat
beragama tidak ada alasan untuk mempertentangkan atau menolak IPTEK. Justru
dengan mengembangkan IPTEK manusia ikut terlibat dalam pekerjaan Allah untuk
membangun dan menyelamatkan dunia. Bagi para ilmuwan juga tidak ada alasan
untuk menolak agama, karena inti pokok agama adalah iman yang harus
dipertanggungjawabkan dalam perbuatan di segala bidang kehidupan, termasuk
pengembangan IPTEK. Tanggungjawab dan tindakan untuk menggembangkan hidup
pribadi dan bersama dalam segala dimensinya merupakan inti moralitas hidup

21
manusia. Pembelajaran agama akan menjadi praksis pengembangan moralitas
generasi muda ketika proses pembelajaran tersebut memberi ruang bagi refleksi iman
atas pengalaman dan persoalan hidup, termasuk yang ditimbulkan oleh IPTEK.

22
BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
Sesudah mengkaji secara seksama tentang perkembangan IPTEK dan berbagai
persoalan yang diakibatkannya, masa depan dari agama-agama dewasa ini sangat
ditentukan oleh seberapa serius agama-agama itu menanggapi masalah-masalah aktual
yang ada di tengah masyarakat. Ketika agama hanya sibuk memberikan pengajaran
konseptual, mengurusi soal-soal kultus dan tidak peka terhadap persoalan konkrit,
agama semakin ditinggalkan oleh orang-orang yang mengatasnamakan diri generasi
modern. Agama seharusnya membantu para pemeluknya untuk me-nemukan kekayaan
multidimensional dan humanisme radikal yang sehat karena menyediakan refleksi iman
yang memberi pencerahan dan mengorientasikan hidup ke masa depan. Justru dengan
menyerahkan diri kepada Yang Tak Terbatas, manusia akan memperoleh kebebasan
dan kedaulatan terhadap segala sesuatu yang hanya terbatas dan sementara.

Di tengah perkembangan IPTEK dan mentalitas pragmatis-instrumental yang


ditandai oleh kecenderungan berkembangnya cara hidup konsumtif, materialistis dan
hedonis, pola hidup asketis penuh pengorbanan yang diajarkan oleh agama-agama akan
membangun peradaban dan identitas pribadi yang memampukan manusia bersikap
lepas bebas dari segala kecenderungan tak teratur. Hal ini terjadi karena refleksi iman
di dalam agama membantu untuk menemukan makna hidup dan mengarahkan pada
nilai-nilai abadi. Dengan demikian kepercayaan pada Tuhan memberikan kekuatan
pada orang beriman untuk bertahan tidak hanya dalam suka, tetapi juga dalam duka,
sehat atau sakit, keberhasilan atau kegagalan. Dengan kata lain, iman pada Tuhan
memberikan kebebasan dalam pelbagai keadaan.

Para pemeluk agama harus melakukan refleksi dalam horizon dan dialog dengan
ilmu-ilmu, bahkan dengan keyakinan-keyakinan agama dan budaya lain. Agama
memerlukan dialog dan kerjasama interdisipliner dalam memberi pencerahan terhadap
manusia di dalam memecahkan persoalan-persoalan aktual. Dengan sikap dialog dan
pendekatan interdisipliner dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, agama
menghadirkan wajah kehidupan manusia yang peduli, terbuka dan bertanggunjawab
terhadap masa depan peradaban. Agama mengemban tugas untuk memperlihatkan
secara meyakinkan bersatunya hal-hal yang material dan spiritual, insani dan adikodrati,
serta kekinian dan masa depan di tengah ideologi sekularistik yang cenderung
memisahkan antara yang spiritual dengan material dan yang duniawi dengan sorgawi.19
Refleksi iman diharapkan memambantu manusia untuk mengalami kesatuan
antara cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia. Hal-hal materi tidak pernah
memuaskan hati secara mutlak, bukan karena hal itu jahat melainkan karena sifatnya
yang tidak kekal (kondisional).20 Refleksi iman seharusnya membantu manusia untuk
memahami hubungan antara kepercayaan kepada Allah dan kepercayaan kepada
manusia, iman dan akal budi, kerohanian dan kejasmanian, dan harapan akan hidup

23
kekal di alam baka dengan keterlibatan penuh semangat pada pembelaan keadilan.
Selama masih ada ketidakadilan, orang-orang miskin ketidakadilan, dan perebutan
kekuasaan, kekayaan dan kemapanan seharusnya tidak membuat orang beriman merasa
tenang untuk menikmatinya. Persoalannya bukan apakah kekayaan dan kekuasaan itu
boleh atau tidak boleh melainkan apakah kekayaan dan kekuasaan itu diperoleh dan
didistribusikan secara adil. Kekayaan dan kekuasaan itu baik namun akan melukai
kemanusiaan selama hal itu dicapai secara tidak adil dengan menindas kepentingan
sesama.21 Refleksi iman yang bersentuhan dengan pengalaman konkrit akan membantu
manusia untuk memahami hubungan antara agama dan humanisme.
Pandangan Islam terhadap sains sendiri adalah positif, artinya Islam mewajibkan
untuk selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Firman Allah yang pertama diturunkan
telah menjadi bukti nyata terhadap kewajiban umat Islam tersebut.
Firman Allah yakni “Bacaalah!” yang artinya sudah sejak awal mewajibkan untuk
membaca. Islam untuk mengembangkan beraneka ragam ilmu pengetahuan
mengajarkan manusia untuk melakukan nazhar (mempraktekkan metode, mengadakan
observasi, dan penelitian ilmiah) terhadap segala peristiwa alam di jagad ini, juga
terhadap lingkungan. Islam adalah Agama Rahmatallil'alamin yang artinya rahmat bagi
semua alam. Kontribusi Islam terhadap ilmu pengetahuan antara lain ayat-ayat dalam
Al-Qur’an yang mendorong termotivasinya umat Islam dalam melakukan
pengembangan sains. Islam melalui Al - Qur’an menjadi dasar epistemologi dan
ideologi bagi saintis muslim yang mengarahkan sikap dan perilaku mereka untuk
bertransendensi dengan sang pencipta, yang menjadikannya berbeda dengan saintis
yang tidak beriman. Artinya ada dimensi spiritual di dalamnya karena dzikir dan
takwanya kepada Allah

24

Anda mungkin juga menyukai