TINJAUAN PUSTAKA
3.2. Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di
Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara
serotipe Dengue dengan Flavivirus lainnya.Infeksi oleh salahsatu serotipe Dengue akan
memberikan imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis
serotipe lain.
3.3. Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian
berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-
27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2%
tahun 1999.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.
3.4. Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-tempat
dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi nyamuk
ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga dapat
hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigitan
nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan penyakit dengue pada
orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan
mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik. Selama
masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat bersirkulasi di
peredaran darah perifer. Jika nyamuk A.aegypti lain menggigit pasien pada masa viremia
ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain,
setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.
3.7. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada waktu anak masuk rumah sakit, diambil anamnesis tentang lama dan sifat
demam, keluhan dan gejala sebelum dan bersamaan timbulnya demam, timbulnya
manifestasi pendarahan, bila penderita menjadi gelisah dan bila terdapat kulit yang dingin
pada ujung hidung, jari, dan kaki. Ditanyakan pula apakah sebelum di rawat mendapat
atau 20 tidak mendapat pengobatan sendiri dari petugas kesehatan atau mendapat
pengobatan sendiri dengan disebut juga jenis dan nama obat
b. Pemeriksaan fisik
Meliputi berat dan tinggi badan pada waktu masuk rumah sakit, keadaan gizi,
pembesaran hati dan tekanan darah. Pembesaran hati pada umumnya pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm di bawah lengkung
iga kanan.
Nilai normal pernafasan:
Umur <2bulan : >60 kali
Umur 2-11 bulan : >50 kali
Umur 1-5 tahun : >40 kali
Umur >5 tahun : >30 kali
Dasar diagnosis:
Berdasarkan “kriteria WHO (1997)” dengan indikator demam 2-7 hari. Tendensi
perdarahan, hepatomegali, renjatan, bukti kebocoran plasma dan trombositopenia.
TDBD :panas tinggi akut (+), manifestasi perdarahan paling
sedikit test tourniquet (+), tidak disertai bukti penyakit
lain.
Tersangka DD: panas akut 2 – 7 hari ditambah 2 atau lebih manifestasi sakit kepala,
sakit belakang bola mata, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan
dan leukopenia tidak terbukti adanya kebocoran plasma dan tidak
terbukti diagnosis klinis yang lain
DBD : minimal harus memenuhi kriteria sebagai berikut
a. Panas atau riwayat demam akut berlangsung 2-7 hari kadang-kadang
bifasik.
b. Tendensi perdarahan dibuktikan dengan paling sedikit satu dari test
tourniquet (+), ptekie, purpura, perdarahan gastrointestinal,
perdarahan pada tempat injeksi atau tempatt-tempat lain, hematemesis
dan atau melena.
c. Trombositopenia (≤ 100000/mm3)
d. Adanya bukti kebocoran plasma yang terjadi karena kenaikan
permeabilitas kapiler dengan manifestasi sebai berikut:
● Peningkatan Ht ≥20% diatas rata-rata untuk umur,
sex dan populasi.
● Turunnya Ht setelah dilakukan volume replacement
terapi ≥ 20% dari data dasar.
● Bukti adanya kebocoran plasma misalnya: efusi
pleura, asites, dan hipoproteinemia
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah, nyeri pada
punggung, tulang, persendian, dan kepala, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau
hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.
Catatan:* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan
manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji
positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).
Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
2) Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari orang normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.
c. Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien
akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang
dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen.
3.9 Penatalaksanaan
Fase demam :
1) Antipiretik: paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/kali, 3 kali/hari.
2) Perbanyak asupan cairan oral (jus buah, sirup,susu disamping air putih),
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
3) Monitor keadaan anak (tanda-tanda syok) terutama selama 2 hari saat
suhu turun. Monitor trombosit dan hematokrit secara berkala.
Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasmayang ditandai
dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makandan minum melalui oral.
Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringerlaktat dan ringer asetat). Selama
fase kritis pasien harus menerima cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara
dehidrasi sedang. Pada pasiendengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena
setara dewasa,yaitu 3000 ml/24 jam. Pada pasien obesitas, perhitungkan cairan
intravenaberdasarkanberat badan idéal. Pada kasus non syok, untuk pasien denganberat
badan (BB) <15 kg, pemberian cairan diawali dengan tetesan 6-7ml/kg/jam, antara 15-40
kg dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak dengan BB >40kg, cairan cukup diberikan dengan
tetesan 3-4 ml/kg/jam.
Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan, yaitu
saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan intravena harus diberikan
dengan seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila
cairan yang diberikan berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan
abdominal yang selanjutnya menyebabkan distres pernafasan.
Tetesan intravena harus disesuaikan berkala dengan mempertimbangkan tanda vital,
kondisi klinis (penampilan umum pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin,
hematokrit, lekosit, trombosit), serta luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan
antipiretik yang tidak tepat dan pemberian antibiotik yang tidak perlu. Cairan intravena
tidak perlu diberikan sebelum terjadinya kebocoran plasma. Penderita DD umumnya
tidak perlu diberikan cairan intravena. Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara
dengan dehidrasi sedang yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk
memberi cairan sesuai kebutuhan pada fase ini menentukan prognosis. Sebagian pasien
sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkanpasien dengna kondisi berat atau
tidak mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok.
Pemberian cairan intravena sebelum terjadi kebocoran plasma sebaiknya
dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan. Pemantauan tanda vital pada
fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tata laksana pada fase ini
biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan kertelambatan penggunaan
koloid selama fase kritis. Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti
adanya kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan
saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian cairan untuk
penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya syok sehingga
menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka berikan cairan
sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15 menit sampai
tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam. Berikan
oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan
darah dan nadi merupakan parameterpenting untuk menentukan tetesan cairan, tetapi
kemudian perhitungkansemua parameter sebelum mengatur tetesan. Setelah resusitasi
awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila tetesantidak dapat dikurangi menjadi
<10ml/kg/jam karena tanda vital tidak stabil (tekanan nadi sempit, cepat dan lemah),
ulangi pemeriksaan Ht. Dalam keadaan seperti ini, dapat dipertimbangkan pemberian
koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan). Apabila
ada kenaikan Ht, ganti cairan dengan koloid yang sesuai, dengan tetesan
10ml/kg/jam.Siapkan darah dan nilai kembali pasien untuk kemungkinan
pemberiantransfusi apabila diperlukan.Apabila nilai awal Ht rendah, pikirkan
kemungkinan perdarahan internal dan pantau nilai Ht lebih sering. Berikan transfusi
darah sesuai kebutuhan bilaperlu. Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat.
Indikasi transfuse darah adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna, misalnya
>10%volume darah total. (Total volume darah= 80 ml/kg). Berikan darah sesuai
kebutuhan. Setelah 6 jam, apabila Ht menurun, meski telah diberikan sejumlahbesar
cairan pengganti dan tetesan tidak dapat diturunkan sampai <10 ml/kg/jam,
pertimbangkan untuk pemberian transfuse darah segera.Apabila syok masih
berkepanjangan meski telah diberikan cairanmemadai dan didapatkan penurunan Ht,
maka mungkin terdapat perdarahanbermakna yang memerlukan transfusi darah. Pasien
dengan perdarahantersembunyi dicurigai apabila ada penurunan Ht dan tanda vital yang
tidakstabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume cukup banyak.
Padakeadaan demikian, berikan packed red cell (PRC) 5 ml/kg/kali. Apabila tidak
tersedia, dapat diberikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali.Transfusi trombosit hanya
diberikan pada perdarahan masif untukmenghentikan perdarahan yang terjadi. Dosis
transfusi trombosit adalah 0,2U/kg/dosis. Pemberian trombosit sebagai upaya pencegahan
perdarahan atauuntuk menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan.12 Perdarahan massif
dengue disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok berulang.Meski jumlah
trombosit rendah, dengan pemberian cairan pengganti yangseksama dalam fase kritis,
perdarahan masif sangat jarang terjadi.Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti
hipoglikemia,hiponatremia, hipokalsemia and asidosis harus diperhatikan.
Penggantianvolume cairan harus dipantau dengan ketat bergantung beratnya
derajatkebocoran plasma yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital, dan luaranurin,
untuk menghindari kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12jam pertama).
Apabila pasien mengalami syok berkepanjangan atau syokberulang maka peluang untuk
terjadinya perdarahan semakin besar. Hindaritindakan prosedur yang tidak perlu, seperti
pemasangan pipa nasogastrik pada perdarahan saluran cerna.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII Upayakan lama
pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segerahentikan pemberian cairan apabila
pasien sudah masuk fase penyembuhan untuk menghindari terjadinya kelebihan cairan
yang dapat mengakibatkanbendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi
plasma.Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasidalam
waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fasepenyembuhan adalah
keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,tanda vital stabil, Ht stabil dan
menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.Pada fase penyembuhan dapat ditemukan
confluent petechial rash (30%) atau sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya
tidak memerlukan pengobatan.Cairan intravena harus dihentikan segera apabila
memasuki fase ini. Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung
dengan atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus
diperiksa karenasering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau
larutanoralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektroliti.Penderita dapai
dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidakterdapat demam tanpa antipiretik,
kondisi klinis membaik, nafsu makanbaik, nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi,
tidak ada sesak napas atautakipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3.
Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh kegagalan untukmemantau
tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberiancairan yang
berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma,kegagalan mengenal
perdarahan internal/tersembunyi, pemberian transfuse trombosit yang tidak perlu, serta
kegagalan memantau pasien berobat jalan,dan penggunaan pipa lambung (nasogastric
tube) untuk menentukan adanyaperdarahan seringkali menjadi penyebab tatalaksana yang
tidak tepat.
Dengue Shock Syndrome:
1) Pada DSS segera beri infus kristaloid (Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 L/mnt. Untuk DSS
berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer
laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2) Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (HES)
sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus
yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10
mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil
perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3) Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan
nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB.
Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB
sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak
melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah
urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
4) Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih
>40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan
masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam.
Pemasangan CVP (dipertahankan 58cmH2O) pada Syok berat kadang-kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
5) Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan
dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal
(>10cmH2O), maka diberikan dopamin.
3.8.1 Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
1) Kristaloid
2) Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin