Anda di halaman 1dari 5

Tujuan Pembentukan KTN oleh PBB

KTN merupakan sebuah komite yang dibentuk oleh


Dewan Keamanan PBB yg bakal menjadi penengah
konflik antara Indonesia serta Belanda. Komite ini di
kenal sebagai Committee of Good Offices for
Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia),
Komisi Tiga Negara (KTN), disebut begitu sebab
beranggotakan tiga negara, yaitu
1.Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili
oleh Richard C. Kirby
2.Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh
Paul van Zeeland
3.Amerika Serikat sebagai pihak yang netral
menunjuk Dr. Frank Graham.
Tugas KTN                                                
1.Menguasai dengan cara langsung penghentian
tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB
2.Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta
Belanda.
3.Memasang patok-patok wilayah status quo yang
dibantu oleh TNI
4.Mempertemukan kembali Indonesia serta
Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi,
Perundingan Renville ini mengdampakkan
wilayah RI makin sempit.
Sejarah Terbentuknya KTN
KTN adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga
anggota yaitu Australia (dipilih oleh Indonesia),
Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika
Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia.
Panitia ini dibentuk berdasarkan Resolusi
Dewan Keamanan tanggal 25 Agustus 1947
sesudah pada tanggal 21 Juli tahun itu juga
Belanda atas anjuran Letnan Gubernur
Jenderal Van Mook, menyerang R.I. Sekalipun
oleh Belanda secara resmi dilukiskan sebagai
“aksi polisionil yang sangat terbatas”, serangan
itu dilancarkan dengan bantuan alat-
alat/angkutan yang mekanis, diawasi tank-tank
serta perlindungan pesawat-pesawat udara.
Pada saat pertempuran masih terus
berlangsung di Jawa dan Sumatera, pada
tanggal 30 Juli Pemerintah Australia dan
Pemerintah India secara resmi menuntut agar
Dewan Keamanan menghentikan pertikaian
senjata itu sebagai “suatu pelanggaran
perdamaian” berdasarkan pasal 39 dari
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
sehingga dengan demikian Australia menjadi
pemerintah pertama dalam sejarah yang
menggunakan suatu pasal dari Bab VII yang
memberi kekuasaan kepada Dewan
Keamanan untuk bertindak bila perdamaian
terancam atau dilanggar. Berdasarkan rencana
resolusi Australia, pada tanggal 1 Agustus
Dewan Keamanan menyerukan penghentian
permusuhan dengan segera dan penyelesaian
pertikaian melalui perantara atau cara-cara
damai lainnya.
Gencatan senjata itu diterima kedua belah
fihak. Van Mook memerintahkan agar tentara
Belanda menghentikan permusuhan pada
tengah malam tanggal 4 – 5 Agustus, dan
Yogyakarta mengeluarkan perintah yang sama.
Pemerintah kedua belah fihak melaporkan
kepada Dewan Keamanan apa-apa yang telah
mereka lakukan. Sekalipun demikian pertikaian
berlangsung terus, terutama sebagai akibat
“operasi-operasi pembersihan” Belanda.
Dengan mengingat bahwa operasi-operasi
militer masih berlangsung dalam wilayah R.I.,
pada tanggal 26 Agustus Dewan Keamanan
mengingatkan kedua pemerintah pada
seruannya agar diadakan gencatan senjata
dan penyelesaian perselisihan mereka secara
damai dan menyerukan pula agar mereka
mematuhi anjuran itu.
Tetapi pada tanggal 29 Agustus Van Mook
membuat garis batas daerah yang termasuk
tanggungjawab Belanda. Tuntutan itu
melampaui daerah yang diduduki Belanda saat
itu dan jauh melampaui daerah yang mereka
duduki tanggal 4 Agustus. “Garis Van Mook” ini
sama sekali tidak dijadikan batas kegiatan
antara Belanda dalam bulan-bulan berikutnya.
Saya mendengar bahwa Van Mook dengan
sokongan Letjen. Spoor, Panglima tentara
Belanda di Indonesia, menganjurkan agar
Belanda maju terus sampai Yogyakarta.
Untung pemerintah Belanda mendapat saran
yang sebaliknya dari dua orang diplomat senior
dan menolak anjuran tersebut. Kemudian
dalam tahun itu juga Perdana Menteri Mr.
Sjarifuddin mengklaim bahwa tentara Belanda
telah maju lebih dari 100 km di Jawa Barat, 80
km di Jawa Tengah dan 50 km di Jawa Timur.
Pada tanggal 1 Nopember, Dewan Keamanan
karena perintah-perintahnya tidak dilaksanakan
dengan baik, meminta KTN membantu kedua
belah fihak agar bisa mencapai kesepakatan
dan menyarankan agar resolusinya harus
diinterpretasikan sebagai mengandung arti :
“Penggunaan tentara oleh kedua belah pihak
dengan maksud meluaskan kekuasaannya ke
daerah yang tidak dikuasainya pada tanggal 4
Agustus 1947 adalah tidak sejalan dengan
resolusi Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus”.
Komisi Tiga Negara merasa bahwa ia berhak
mengambil inisiatif. Tanpa menunggu tibanya
kapal perang Amerika “Renville” dimana akan
dilangsungkan perundingan, KTN mulai
berusaha agar gencatan senjata terlaksana.
Pada tanggal 14 Nopember KTN bertemu
dengan Panitia-panitia Khusus dari fihak
Indonesia dan fihak Belanda. Dr. Leimena
memimpin Panitia Indonesia, dan Jhr. Van
Vredenburg memimpin Panitia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai