Anda di halaman 1dari 33

Nama: Yuanita Ananda

NIM: 180610069

MODUL 2

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Duh, Sakit perut!!

Pak Said 63 tahun, mengeluh sakit perut melilit, diare cair > 5 kali sehari disertai muntah
selama 3 hari. Sudah minum obat-obat diare yang dibeli di warung tapi belum sembuh. Karena
sudah lemas dan tidak ada nafsu makan, akhirnya tn. said dibawa keluarganya berobat ke
puskesmas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ; Keadaan umum lemah, kesadaran somnolen,
tekanan darah 70/50 mmHg, nadi 120x/menit, nafas 30 x/menit cepat, turgor jelek. Dokter segera
memasang oksigen 10 liter/menit dengan Non Rebreathing Mask, menghitung defisit cairan dan
memberikan cairan infus Ringer Laktat. Kemudian setelah keadaan umum mulai membaik Tn.
Said di rujuk ke rumah sakit. Di rumah sakit, Tn. Said dirawat di ruang HCU, kemudian
diberikan obatobatan dan diperiksa analisa gas darah dengan kesan asidosis metabolik. Pada
pemeriksaan laboratorium : Na 125 mEq/L, K2,0 mEq/L dan pada EKG ditemukan gelombang
U.

Dokter segera mengoreksi asidosis dan hipokalemi. Bagaimana saudara menjelaskan apa
yang terjadipada Tn. Said ?

JUMP 1: TERMINOLOGI

1. Non Rebreathing Mask : alat untuk mengalirkan oksigen kecepatan rendah pada pasien
yang bisa bernapas spontan.
2. Infus Ringer Laktat : larutan infus untuk memlihara keseimbangan atau mengganti
elektrolit dan cairan tubuh dan merupakan jenis cairan kristaloid yang mengandung
kalsium, kalium, laktat, natrium, klorida, dan air.
3. Asidosis metabolic : adalah gangguan ketika status asam-basa bergeser ke sisi asam
akibat hilangnya basa atau retesi asam nonkarbonat dalam tubuh
4. Hipokalemi : kondisi ketika tubuh kekurangan kalium atau potasium

JUMP 2 & 3 (RUMUSAN MASALAH & HIPOTESA)

1. Apa penyebab tn. said sakit perut, diare >5X, dan muntah selama 3 hari ?
Jawaban :
 Sakit perut melilit, karena teradi inflamasi pada usus dan lambung
 Diare, disebabkan oleh mal absorbs pada system gastointersinal
 Muntah, disebabkan oleh dari distensi abdomen pada saat diare
 Diare : BAB cair lebih dari 3 kali sehari, dengan keluhan lainnya seperti mual, rasa tidak
nyama di perut dan lemas. Kemungkinan penyebabnya bisa bermacam-macam antara
lainalergi makanan reaksi terhadap obat-obatan, infeksi virus, infeksi parasit yang dapat
ditemukan dalam makanan atau air yang terkontaminasi dsb.
2. Mengap tn. Said lemas dan nafsu makan turun sehingga di bawa ke puskesmas?
Jawaban :
Lemas : karena terjadi diare >5x sehari dimana dimana terjadi peningkatan frekuensi
BAB → hilangnya cairan dan elektrolit berlebihan → terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit → dahidrasi → kurang volume cairan → lemas
Tidak nafsu makan : disebabkan karena mual muntah yang dialami tn. Said sehingga
mengurangi nafsu makannya

3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan lab tn. said ?


Jawaban:

- Na 125 mEq/L = Hiponatremia (normal 135-153 )


- K2,0 mEq/L = Hipokalemia (3.5-5,1)

4. Bagaimana interpretasi Dari pemeriksaan fisik tn. Said ?


Jawaban :

Somnolen (letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Turgor kulit elastisitas kulit ditentukan dengan mengamati waktu yang dibutuhkan oleh
kulit untuk kembali ke posisi normal setelah diregangkan atau ditekan. Jika turgor turun,
kulit yang ditekan akan "tetap tertekan" selaraa 30 detik dan kemudian perlahan-lahan
kembali ke kontur normal

5. Mengapa diare tn said tak kunjung sembuh padahal sudah minum obat?
Jawaban :

Dimana obat yang dijual diwarung belum tentu sesui dengan keluhan dan sesuai dengan
resep dokter, dan merupakan obat bebas

6. Bagaimana patofisiologi terjadinya diare ?


Jawaban :
1) Faktor infeksi
Proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran
pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang
dapat menurunkan daerah permukaan usus.
Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan
fungsi usus dalam absorpsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin
bakteri akan menyebabkan transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami
iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.

2) Faktor malabsorpsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang mengakibatkan tekanan osmotic
meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat
meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare.

3) Faktor makanan
Faktor ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik.
Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan
untukmenyerap makan yang kemudian menyebabkan diare.

4) Faktor psikologis
Faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya
mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare.

7. Mengapa dokter puskesmas memasang infus pada tn. Said dan merujuknya ke rumah
sakit, serta apa jenis cairan infus yang diberikan dokter ?
Jawab :

- Infus diberikan pada kasus dehidrasi sedang-berat karena tubuh butuh asupan
rehidrasi. tn.said sudah mencapai dehidrasi berat yang dapat memicu terjadinya Asidosis
Metabolik yang dapat berakibat fatal. Jenis cairan infus yang dapat diberikan pada Tuan
said adalah Nacl o,9% atau Ringcr Laktat (RL) karena konsentrasinya mirip dengan
cairan ckstrasel.

- RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan


pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare,
trauma, dan luka bakar.
- Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh
hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolic
8. Mengapa pak said perlu diperiksa analisa gas darah dengan kesan asidosis metabolic?
Jawaban :

Analisa gas darah umumnya dilakukan untuk memeriksa fungsi organ paru yang menjadi
tempat sel darah merah mengalirkan oksigen dan karbon dioksida dari dan ke seluruh
tubuh.

Selain itu, tes ini dapat dilakukan untuk memeriksa kondisi organ jantung dan ginjal,
serta gejala yang disebabkan oleh gangguan distribusi oksigen serta karbon dioksida, atau
keseimbangan pH dalam darah, seperti mual, sesak napas, dan penurunan kesadaran. Tes
ini juga dilakukan pada pasien yang sedang menggunakan alat bantu napas untuk
memonitor efektivitasnya.

pH darah
Tingkat keseimbangan asam basa dinilai normal bila pH darah berada dalam kisaran 7,35
sampai 7,45. Kadar pH yang kurang dari 7,35 dinilai terlalu asam.

Bikarbonat
Bikarbonat adalah zat kimia yang berfungsi menyeimbangkan kadar asam dan basa.
Kadar bikarbonat normal berkisar antara 22-28 mEq/L.

Saturasi oksigen
Saturasi oksigen adalah ukuran kadar oksigen yang dibawa oleh hemoglobin di

9. Menandakan apakah gelombang U tersebut?


Jawaban :

Gelombang U Adalah defleksi positif setelah gelombang T dan sebelum gelombang P


berikutnya. Penyebabnya timbulnya gelombang U masih belum diketahui, namun diduga
timbul akibat repolarisasi lambat sistem konduksi Interventrikuler.

10. kenapa pak said dirawat di HCU , tujuan perawatan di ruangan HCU , Serta bagaimana
Kriteria pasien yg dapat masuk HCU?
Jawaban :

Tn.Said Pada Skenario Tersebut di rawat di Ruang HCU ( High Care Unit ) di karnakan
telah memenuhi sejumlah Indikasi seperti di dapatkan Respiratory Rate nya di dapatkan
30 x/Menit atau lebih,kemudian indikasi kedua di dasarkan kepada Heart Rate (Nadi)
memenuhi rentang 120-150 x/Menit,dan Kesadaranya di dapatkan somnolen juga
menjadi salah satu dasar indikasi untuk di lakukan perawatan di ruang HCU agar
perubahan-Perubahan yang membahayakan bisa segera di tangani.

Kriteria pasien yang masuk HCU


1. frekuensi pernafasan >32x/menit atau <10x/menit, wheezing
2. nadi teraba dengan frekuensi nadi 120-150x/menit
3. tekanan darah sistolik >160 mmhg
4. tekanan darah diastole >100 mmhg
5. keadaan umum compos mentis, apatis, dan somnolen dengan GCS 10-14
6. miokard infark dengan hemodinamika stabil
7. gangguan irama jantung dengan hemodinamik stabil
8. hipertensi urgensi tanpa ada gagal organ target
9. cedera kepala sedang sampai berat/sroke yang stabil dan memerlukan tirah baring dan
memerlukan pemeliharaan jalan nafas secara khusus, seperti hosaap lender berkala
10. perdarahan saluran bagian atas tanpa potensi dan respon dengan pemberian cairan

11. Bagaimana cara mengoreksi asidosis metabolik dan hipokalemia?


Jawaban :

Asidosis metabolic
Meskipun sebagian besar asidosis metabolic dapat diatasi oleh tubuh setelah penyakit
primer nya tertanggulani, namun bila penurunan pH ( < -10 mEq/L ) maka pemberian
alkali (natriumbikarbonat) perlu dipertimbangkan. Koreksi alkali terutama ditunjuk pada
asidosis metabolic yang disebabkan oleh anion nonorganic. Sedangkan yang disebabkan
oleh anion organik (laktat, keton) yang dapat dimetabolisme kembali oleh tubuh,
tatalaksana ditunjukkan pada penyakit perimer bukan pada pemberian alkali.

Hypokalemia
1. Koreksi penyebab, pemberian kalium, dan koreksi alkalosis
2. Bila k+ > 3 mEq?L arau penderita asimptomatik → beri k+ oral 2-4 mEq/kg/hari
3. Pada asidosis metabolic → diberikan enteral (oral/lewat NGT) 2-4 mEq/kg/hari

12. Apa dx dan dd pada kasus tn said?


Jawaban :

Dx : asidosis metabolic
Dd : anemia, gastroenteritis bacterial, gastroenterintis viral

JUMP 4 (SKEMA)
JUMP 5 ( LEARNING OBJECTIVE )

1. Keseimbangan Asam Basa

2. Gangguan Keseimbangan Cairan

3. Gangguan Keseimbangan Elektrolit

4. Jenis-jenis Cairan Resusitasi


1. Keseimbangan Asam Basa

Keseimbangan asam basa adalah suatu keadaan dimana konsentrasi ion hidrogen yang
diproduksi setara dengan konsentrasi ion hidrogen yang dikeluarkan oleh sel. Pada proses
kehidupan keseimbangan asam pada tingkat molecular umumnya berhubungan dengan asam
lemah dan basa lemah, begitu pula pada tingkat konsentrasi ion H+ atau ion OHyang sangat
rendah.

Keseimbangan asam basa adalah keseimbangan ion hidrogen. Walaupun produksi akan
terus menghasilkan ion hidrogen dalam jumlah sangat banyak, ternyata konsentrasi ion hidrogen
dipertahankan pada kadar rendah pH 7,4. Derajat keasaman (pH) darah manusia normalnya
berkisar antara 7.35 hingga 7.45. Tubuh manusia mampu mempertahan keseimbangan asam dan
basa agar proses metabolisme dan fungsi organ dapat berjalan optimal. Keseimbangan asam basa
dalam tubuh manusia diatur oleh dua sistem organ yakni paru dan ginjal. Paru berperan dalam
pelepasan (eksresi CO2) dan ginjal berperan dalam pelepasan asam.

Beberapa prinsip yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah:

1. Istilah asidosis mengacu pada kondisi pH < 7.35 sedangkan alkalosis bila pH > 7.45

2. CO2 (karbondioksida) adalah gas dalam darah yang berperan sebagai komponen asam. CO 2
juga merupakan komponen respiratorik. Nilai normalnya adalah 40 mmHg.

3. HCO3 (bikarbonat) berperan sebagai komponen basa dan disebut juga sebagai komponen
metabolik. Nilai normalnya adalah 24 mEq/L.

4. Asidosis berarti terjadi peningkatan jumlah komponen asam atau berkurangnya jumlah
komponen basa.

5. Alkalosis berarti terjadi peningkatan jumlah komponen basa atau berkurangnya jumlah
komponen asam.

Pengaturan Keseimbangan Asam Basa

Pengaturan keseimbangan ion hidrogen dalam beberapa hal sama dengan pengaturan ion-
ion lain dalam tubuh. Sebagai contoh, untuk mencapai homeostatis. Harus ada keseimbangan
antara asupan atau produksi ion hidrogen dan pembuangan ion hidrogen dari tubuh. Dan seperti
pada ion-ion lain, ginjal memainkan peranan kunci dalam pengaturan-pengaturan ion hidrogen.
Akan tetapi, pengaturan konsentrasi ion hidrogen cairan ekstraseluler yang tepat melibatkan jauh
lebih banyak daripada eliminasi sederhana ion-ion hidrogen oleh ginjal. Terdapat juga banyak
mekanisme penyangga asam basa yang melibatkan darah, sel-sel, dan paru-paru yang perlu untuk
mempertahankan konsentrasi ion hidrogen normal dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler.
Dalam hal ini berbagai mekanisme yang turut membantu mengatur konsentrasi ion hidrogen,
dengan penekanan khusus pada kontrol sekresi ion hidrogen ginjal dan reabsorpsi, produksi, dan
ekskresi ion – ion bikarbonat oleh ginjal, yaitu salah satu komponen kunci sistem kontrol asam
basa dalam berbagai cairan tubuh.

Konsentrasi ion hidrogen dan pH cairan tubuh normal serta perubahan yang terjadi pada
asidosis dan alkalosis. Konsentrasi ion hidrogen darah secara normal dipertahankan dalam batas
ketat suatu nilai normal sekitar 0,00004 mEq/liter ( 40 nEq/liter ). Variasi normal hanya sekitar 3
sampai 5 mEq/liter, tetapi dalam kondisi yang ekstrim, konsentrasi ion hidrogen yang bervariasi
dari serendah 10 nEq/liter sampai setinggi 160 nEq/liter tanpa menyebabkan kematian. Karena
konsentrasi ion hidrogen normalnya adalah rendah dan dalam jumlah yang kecil ini tidak praktis,
biasanya konsentrasi ion hidrogen disebutkan dalam skala logaritma, dengan menggunakan
satuan pH. pH berhubungan dengan konsentrasi ion hidrogen.

pH normal darah arteri adalah 7,4, sedangkan pH darah vena dan cairan interstetial
sekitar 7,35 akibat jumlah ekstra karbondioksida (CO2) yang dibebaskan dari jaringan untuk
membentuk H2CO3. Karena pH normal darah arteri 7,4 seseorang diperkirakan mengalami
asidosis saat pH turun dibawah nilai ini dan mengalami alkolisis saat pH meningkat diatas 7,4.
Batas rendah pH dimana seseorang dapat hidup lebih dari beberapa jam adalah sekitar 6,8 dan
batas atas adalah sekitar 8,0.3

pH intraseluler biasanya sedikit lebih rendah daripada pH plasma karena metabolisme sel
menghasilkan asam, terutama H2CO3. Bergantung pada jenis sel, pH cairan intraseluler
diperkirakan berkisar antara 6,0 dan 7,4. Hipoksia jaringan dan aliran darah yang buruk ke
jaringan dapat menyebabkan pengumpulan asam dan itu dapat menurunkan pH intraseluler.

pH urin dapat berkisar dari 4,5 sampai 8,0 bergantung pada status asam basa cairan
ekstraseluler. Contoh ekstrim dari suatu cairan tubuh yang bersifat asam adalah HCl yang
diekskresikan kedalam lambung oleh oksintik ( sel-sel parietal ) dari mukosa lambung.

Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Asam dan Basa

Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui koordinasi dari 3 sistem:

1. Sistem Buffer

Sistem penyangga asam basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang dengan segera bergabung
dengan asam atau basa untuk mencegah perubahan konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan.

Sistem buffer ini menetralisir kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan tidak
melakukan eliminasi. Fungsi utama sistem buffer adalah mencegah perubahan pH yang
disebabkan oleh pengaruh asam fixed dan asam organic pada cairan ekstraseluler. Sebagai
buffer, sistem ini memiliki keterbatasan yaitu:
a. Tidak dapat mencegah perubahan pH di cairan ekstraseluler yang disebabkan karena
peningkatan CO2.

b. Sistem ini hanya berfungsi bila sistem respirasi dan pusat pengendali sistem pernafasan
bekerja normal

c. Kemampuan menyelenggarakan sistem buffer tergantung pada tersedianya ion bikarbonat.

Ada 4 sistem buffer:

a. Buffer bikarbonat merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang
disebabkan oleh non-bikarbonat

b. Buffer protein merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

c. Buffer hemoglobin merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat

d. Buffer fosfat merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

Sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika


dengan buffer kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan
dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam
darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan
kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi
ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan
bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal. Mekanisme paru dan ginjal dalam
menunjang kinerja sistem buffer adalah dengan mengatur sekresi, ekskresi, dan absorpsi ion
hidrogen dan bikarbonat serta membentuk buffer tambahan (fosfat, ammonia). Untuk jangka
panjang, kelebihan asam atau basa dikeluarkan melalui ginjal dan paru sedangkan untuk jangka
pendek, tubuh dilindungi dari perubahan pH dengan sistem buffer. Mekanisme buffer tersebut
bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35- 7,45.

2. Sistem Paru

Paru-paru, dibawah kendali medula otak, mengendalikan karbondioksida, dan karena itu
juga mengendalikan kandungan asam karbonik dari cairan ekstraseluler. Paru-paru melakukan
hal ini dengan menyesuaikan ventilasi sebagai respons terhadap jumlah karbon dioksida dalam
darah. Kenaikan dari tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri (PaCO 2) merupakan
stimulan yang kuat untuk respirasi.

Tentu saja, tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri (PaCO2) juga
mempengaruhi respirasi. Meskipun demikian, efeknya tidak sejelas efek yang dihasilkan oleh
PaCO2. Pada keadaan asidosis metabolik, frekuensi pernapasan meningkat sehingga
menyebabkan eliminasi karbon dioksida yang lebih besar (untuk mengurangi kelebihan asam).
Pada keadaan alkalosis metabolik, frekuensi pernapasan 7 diturunkan, dan menyebabkan
penahanan karbondioksida (untuk meningkatkan beban asam).

3. Sistem Ginjal

Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus mengeluarkan anion asam
non volatile dan mengganti HCO3 3-Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan sekresi
dan reabsorpsi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pemgaturan oleh ginjal ini
berperan 3 sistem buffer asam karbonat, buffer fosfat dan pembentukan ammonia. Ion hidrogen,
CO2, dan NH3 dieksresi ke dalam lumen tubulus dengan bantuan energi yang dihasilkan oleh
mekanisme pompa natrium di basolateral tubulus.

Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium dilepas kembali ke sirkulasi untuk dapat
berfungsi kembali. Tubulus proksimal adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan
pengeluaran asam. Ion hidrogen sangat reaktif dan mudah bergabung dengan ion bermuatan
negative pada konsentrasi yang sangat rendah. Pada kadar yang sangat rendahpun, ion hidrogen
mempunyai efek yang besar pada sistem biologi. Ion hidrogen berinteraksi dengan berbagai
molekul biologis sehingga dapat mempengaruhi struktur protein, fungsi enzim dan ekstabilitas
membrane. Ion hidrogen sangat penting pada fungsi normal tubuh misalnya sebagai pompa
proton mitokondria pada proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP.

Produksi ion hidrogen sangat banyak karena dihasilkan terus menerus di dalam tubuh.
Perolehan dan pengeluaran ion hidrogen sangat bervariasi tergantung diet, aktivitas dan status
kesehatan. Ion hidrogen di dalam tubuh berasal dari makanan, minuman, dan proses metabolism
tubuh. Di dalam tubuh ion hidrogen terbentuk sebagai hasil metabolism karbohidrat, protein dan
lemak, glikolisis anaerobik atau ketogenesis.

Gangguan Keseimbangan Asam Basa

1. Asidosis Respiratorik

Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena penumpukan


karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang buruk atau pernafasan
yang lambat. Kecepatan dan kedalaman pernafasan mengendalikan jumlah karbondioksida dalam
darah. Dalam keadaan normal, jika terkumpul karbondioksida, pH darah akan turun dan darah
menjadi asam. Tingginya kadar karbondioksida dalam darah merangsang otak yang mengatur
pernafasan, sehingga pernafasan menjadi lebih cepat dan lebih dalam.

Asidosis respiratorik terjadi jika paru-paru tidak dapat mengeluarkan karbondioksida


secara adekuat. Hal ini dapat terjadi pada penyakit-penyakit berat yang mempengaruhi paru-
paru. Asidosis respiratorik dapat juga terjadi bila penyakit-penyakit dari saraf atau otot dada
menyebabkan gangguan terhadap mekanisme pernafasan.
Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk. Jika keadaannya memburuk,
rasa mengantuk akan berlanjut menjadi stupor (penurunan kesadaran) dan koma. Stupor dan
koma dapat terjadi dalam beberapa saat jika pernafasan terhenti atau jika pernafasan sangat
terganggu; atau setelah berjam-jam jika pernafasan tidak terlalu terganggu. Ginjal berusaha
untuk mengkompensasi asidosis dengan menahan bikarbonat, namun proses ini memerlukan
waktu beberapa jam bahkan beberapa hari. Biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan pH darah dan pengukuran karbondioksida dari darah arteri.

Pengobatan asidosis respiratorik bertujuan untuk meningkatkan fungsi dari paru-paru.


Obat-obatan untuk memperbaiki pernafasan bisa diberikan kepada penderita penyakit paru-paru
seperti asma dan emfisema. Pada penderita yang mengalami gangguan pernafasan yang berat,
mungkin perlu diberikan pernafasan buatan dengan bantuan ventilator mekanik.

2. Asidosis Metabolik

Asidosis Metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan
rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman melampaui sistem
penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam.

Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat
sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan
jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha mengkompensasi keadaan tersebut
dengan cara mengeluarkan lebih 9 banyak asam dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme
tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga
terjadi asidosis berat dan berakhir dengan keadaan koma.

Penyebab asidosis metabolik dapat adalah:

1. Kelebihan produksi asam. Pada asidosis diabetik atau asidosis laktak, produksi asam
dapat melebihi kemampuan ginjal untuk absorbsi dan ekskresi H+

2. Kurangnya cadangan dapar Kehilangan ion HCO3 yang terbuang percuma melalui
ginjal atau usus menyebabkan hipokarbonatremia dana asidosis metabolik.

3. Kurangnya ekskresi asam. Dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik dimana ginjal
gagal mengekskresikan asam yang diproduksi secara normal.

Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya penderita
merasakan mual, muntah dan kelelahan. Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih cepat,
namun kebanyakan penderita tidak memperhatikan hal ini.

Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai merasakan kelelahan yang luar
biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin
memburuk, tekanan darah dapat turun, menyebabkan syok, koma dan kematian.
Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran pH darah yang
diambil dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan). Darah arteri digunakan sebagai
contoh karena darah vena tidak akurat untuk mengukur pH darah. Untuk mengetahui
penyebabnya, dilakukan pengukuran kadar karbon dioksida dan bikarbonat dalam darah.
Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan penyebabnya.
Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya menunjukkan
suatu diabetes yang tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa
asidosis metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis. Kadang-kadang
dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan pengukuran pH air kemih.

Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya. Sebagai contoh,


diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan membuang bahan racun
tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis
atau keracunan yang berat. Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila terjadi
asidosis ringan, yang diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya.
Bila terjadi asidosis berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena, tetapi bikarbonat
hanya memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan.

3. Alkalosis Respiratorik

Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena
pernafasan yang cepat dan dalam, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah
menjadi rendah. Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan
terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Alkalosis
respiratorik dapat membuat penderita merasa cemas dan dapat menyebabkan rasa gatal disekitar
bibir dan wajah. Jika keadaannya makin memburuk, bisa terjadi kejang otot dan penurunan
kesadaran.

Pengobatan diarahkan untuk memperbaiki ventilasi. Preparat farmakologi digunakan


sesuai indikasi. Sebagai contoh, bronkodilator membantu menurunkan spasme bronkhial, dan
antibiotik yang digunakan untuk infeksi pernapasan. Tindakan hygiene pulmonari dilakukan,
ketika diperlukan, untuk membersihkan saluran pernapasan dari mukus dan drainase pluren.
Hidrasi yang adekurat di indikasikan untuk menjaga membran mukosa tetap lembab dan
karenanya memfasilitasi pembuangan sekresi. Oksigen suplemen diberikan bila diperlukan.
Ventilasi mekanik, yang digunakan secara waspada dapat memperbaiki ventilasi pulmonari.
Penggunaan ventilasi mekanik yang tidak bijaksana dapat menyebabkan eksresi karbondioksida
yang demikian cepat sehingga ginjal tidak mampu untuk mengeliminasi kelebihan biokarbonat
dengan cukup cepat untuk mencegah alkalosis dan kejang. Untuk alasan ini, kenaikan PaCO 2
harus diturunkan secara lambat. Membaringkan pasien dalam posisi semifowler memfasilitasi
ekspansi dinding dada.

4. Alkalosis Metabolik
Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan basa karena
tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak
asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama periode muntah yang
berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang lambung. Pada kasus yang jarang,
alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-
bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan
natrium atau kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam basa darah.

Penyebab utama akalosis metabolik:

a. Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat)

b. Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan lambung

c. Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau akibat penggunaan
kortikosteroid).

Alkalosis metabolik dapat menyebabkan iritabilitas (mudah tersinggung), otot berkedut


dan kejang otot; atau tanpa gejala sama sekali. Bila terjadi alkalosis yang berat, dapat terjadi
kontraksi (pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang berkepanjangan (tetani). Biasanya
alkalosis metabolik diatasi dengan pemberian cairan dan elektrolit (natrium dan kalium). Pada
kasus yang berat, diberikan amonium klorida secara intravena.
2. Gangguan Keseimbangan Cairan

a. Hipovolemia

Definisi: Hipovolemia merupakan keadaan berkurangnya volume cairan yang


menyebabkan hipoperfusi jaringan.

Etiologi: Kehilangan cairan tubuh melalui muntah, diare, perdarahan, melalui pipa
nasogastric, melalui ginjal (penggunaan diuretic, diuresis osmotik, salt wasting nephropathy,
hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran nafas (insensible water losses, keringat, luka
bakar), atau melalui sekuestrasi cairan (misalnya pada obstruksi usus, trauma, fraktur,
pankreatitis akut), latihan berat, diabetes insipidus, dll.

Patofisiologi: Hipovolemia terjadi pada dua keadaan, yaitu deplesi volume dan dehidrasi.

 Deplesi Volume

Deplesi volume adalah keadaan berkurangnya cairan ekstrasel. Kekurangan air


dan natrium terjadi dalam jumlah yang sebanding. Misalnya dalam keadaan muntah dan
diare, perdarahan, atau melalui pipa nasogastric, bisa juga kehilangan air dan natrium
melalui ginjal (penggunaan diuretic, diuresis osmotik, salt wasting nephropathy,
hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran nafas (insensible water losses, keringat,
luka bakar), atau melalui sekuestrasi cairan (misalnya pada obstruksi usus, trauma,
fraktur, pankreatitis akut).

 Dehidrasi

Dehidrasi adalah keadaan dimana berkurangnya volume air tanpa disertai


berkurangnya elektrolit/natrium atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya
natrium di cairan ekstrasel. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan natrium dalam
ekstrasel sehingga cairan intraseluler akan berpindah ke ekstrasel dan cairan intrasel akan
berkurang. Jadi dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara
bersamaan (40% cairan hilang berasal dari ekstrasel, dan 60% dari intrasel). Dehidrasi ini
dapat terjadi akibat keluarnya air melalui keringat, penguapan dari kulit, saluran cerna,
diabetes insipidus, atau diuresis osmotik yang disertai gangguan rasa haus atau gangguan
akses cairan. Dehidrasi juga dapat terjadi akibat masuknya cairan ekstrasel ke cairan
intrasel dalam jumlah yang berlebihan, kejang hebat, setelah melakukan latihan berat,
atau pasca pemberian cairan natrium hipertonik berlebihan. Bila terjadi penurunan
volume cairan ekstraseluler, volume dan tekanan darah akan berkurang. Hal ini akan
menimbulkan rangsangan pada sistem renin angiotensin sehingga timbul respron
pengurangan produksi urin, rangsangan haus, dll. Tanda klinik dari pasien dehidrasi
adalah hipernatremi yang ditemukan pada pemeriksaan darah.
Manifestasi Klinis: Hipovolemia ringan ditandai dengan gejala rasa haus dan lemas. Jika
semakin berat, tekanan darah akan menurun karena volume darah berkurang, bahkan dapat
terjadi syok.

Diagnosis: Deplesi Volume→Kehilangan cairan sampai 10-20% biasanya tidak menimbulkan


gejala klinik.

Hipovolemia ringan dikatakan bila terdapat kehilangan cairan kecil sama dari 20% volume
plasma dengan gejala klinis takikardi.

Hipovolemia sedang bila terdapat kehilangan 20-40% volume plasma dengan gejala klinik
takikardi dan hipotensi ortostatik.

Hipovolemia berat bila terdapat kehilangan cairan besar sama dengan 40% volume plasma
dengan gejala klinik penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, kekacauan berfikir.

Akibat gangguan perfusi, dari pemeriksaan fisik, kulit dan bibir serta pangkal kuku terlihat pucat,
capillary refill berkurang, disamping timbulnya rasa haus

Tatalaksana:

Deplesi Volume

Ada dua hal yang perlu ditanggulangi, yaitu penyakit yang mendasari dan menggantikan
cairan yang hilang. Untuk menghitung cairan yang akan diganti, harus didasarkan pada derajat
hipovolemia. Yang perlu diingat adalah volume plasma adalah 6% dari berat badan orang
dewasa. Misalkan terjadi deplesi volume ringan (20%) seberat 60 kg maka, volume cairan yang
hilang adalah 20% dari 3,6 L (6% dari 60 Kg), maka cairan yang hilang adalah 0,72 L atau 720
mL. untuk kecepatan pemberian cairan, didasarkan pada keadaan klinis yang terjadi. Pada
deplesi volume berat, kecepatan cairan diberikan dalam waktu cepat untuk memperbaiki
takikardi dan tekanan darah. Jenis cairan yang diganti juga tergantung cairan yang keluar. Bila
perdarahan, diganti dengan darah juga atau jika darah tidak ada boleh diberikan cairan koloid
atau kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan RL. Untuk kehilangan cairan melalui saluran
cerna (muntah dan diare), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau RL, tetapi
untuk diare lebih dianjurkan RL karena pada diare berpotensi terjadi asidosis metabolic.

Dehidrasi

Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan ekstrasel dan intrasel. Tanda khas pada
dehidrasi adalah hipernatremia. Untuk menghitung defisit cairan total, gunakan rumus :

Defisit Cairan = 0,4 x Berat Badan (Na Plasma/140-1)

Volume cairan yang dibutuhkan adalah deficit cairan + insensible water losses + volume
urin 24 jam + Volume yang keluar melalui saluran cerna Insensible water losses sebanyak 40
ml/jam. Kecepatan cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma >0,5
mEq/jam. Contoh : pasien dehidrasi, kadar Na 160 mEq, BB 60 Kg, Insensible water losses 960
mL, volume urine 1500 ml/24 jam, Maka, defisit cairan adalah : 0,4 x 60 Kg (160/140 -1) = 3,43
L Volume cairan yang dibutuhkan = 3,43 L + 0,96 L + 1,5 L = 5,89 L. Karena Natrium akan
diturunkan sebanyak 20 mEq ( dari 160 menjadi 140), dan kecepatannya tidak boleh lebih dari
0,5 mEq/jam, maka kecepatan pemberian cairan adalah 20mEq dibagi 0,5 mEq/jam = 40 Jam.
Jadi jumlah cairan di atas diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 L/jam

Prognosis: Hipovolemia sangat berbahaya dan harus segera ditatalaksana. Jika


ditatalaksana segera dengan pemberian cairan, prognosisnya akan baik. Tetapi jika terlambat
dalam tatalaksana, prognosis akan buruk. Kebanyakan korban meninggal pada diare dan
penyebab hipovolemia lain adalah karena tidak tahu atau terlambat memberi pertolongan.

b. Hipervolemia

Definisi: Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan volume


cairan ekstrasel melebihi kemampuan tubuh untuk mengeluarkan air melalui ginjal, saluran
cerna, dan kulit. Edema adalah suatu keadaan dengan akumulasi cairan di jaringan interstisium
secara berlebihan akibat penambahan volume yang melebihi kapasitas penyerapan pembuluh
limfe.

Etiologi: Kelebihan natrium, perubahan hemodinamik kapiler yang memungkinkan


keluarnya cairan intravascular ke interstisium, retensi natrium ginjal, hipoalbuminemia, dsb.

Patofisiologi Edema merefleksikan dari kelebihan natrium dan hipervolemia. Pada edema
tidak terjadi hypernatremia karena natrium yang berlebihan akan menyebabkan retensi air.
Disamping itu, saat natrium meningkat dalam darah juga terjadi peningkatan ADH sehingga
pengeluaran cairan dikurangi.

Terdapat dua faktor penentu terjadinya edema, yaitu :

 Perubahan hemodinamik dalam kapilar yang memungkinkan keluarnya cairan


intravascular ke jaringan interstisium Perubahan hemodinamik ini dipengaruhi
oleh permeabilitas kapilar, selisih tekanan hidrostatik dalam kapiler dengan
tekanan hidrostatik dalam interstisium, selisih tekanan onkotik plasma dengan
tekanan onkotik interstisium.
 Retensi natrium di ginjal dipengaruhi oleh aktifitas sistem renin angiotensin
aldosterone yang berkaitan dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal,
aktifitas atrial natriuretic peptide yang erat kaitannya dengan baroreseptor di
atrium dan ventrikel jantung, aktifitas saraf simpatis ADH yang erat kaitannya
dengan baroreseptor di sinus karotis, dan osmoreseptor di hipotalamus.
Di samping faktor di atas, ada faktor lain yang dapat mencegah penumpukan cairan
dalam jaringan interstisium itu berlanjut. Diantaranya adalah aliran limfatik yang akan
menampung kelebihan cairan di interstisium. Selain itu peningkatan jumlah cairan di interstisium
akan meningkatkan tekanan hisrostatik di sana dan menurunkan tekanan osmotik, sehingga akan
menghambat dorongan dari tekanan hidrostatik kapiler yang mendorong cairan kapiler keluar.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis: Akibat penumpukan cairan di interstisium, akan


terlihat secara klinis suatu pembengkakan/edema. Pembengkakan ini dapat disertei oleh
penurunan volume intravascular, dapat pula tidak. Penyebabnya antara lain adalah kegagalan
jantung dalam menjalankan fungsinya, kegagalan ginjal dalam ekskresi, kegagalan atau kelainan
sistem pembuluh limfatik, dan gangguan permeabilitas kapiler, serta hipoproteinemia berat yang
dapat menimbulkan gangguan tekanan osmotik.

Tatalaksana

a. Obati penyakit dasar

b. Restriksi asupan natrium untuk meminimalisir retensi air

c. Pemberian diuretic

Indikasi yang paling tepat untuk menanggulangi edema adalah bila terjadi edema paru
yang merupakan satu-satunya indikasi pemberian diuretic yang paling tepat. Retensi natrium
sekunder pada gagal jantung atau sirosis hepatis sebenarnya ditujukan untuk memenuhi volume
sirkulasi lagi agar perfusi jaringan optimal. Jika pada keadaan ini diberi diuretic yang terlalu
banyak, dapat terjadi penurunan perfusi jaringan dan ini dapat dinilai dari kadar ureum dan
kreatinin darah yang meningkat. Pada retensi natrium primer seperti pada penyakit ginjal, karena
obatobatan (minoksidil, OAINS, estrogen), dan refeeding edema, tidak terjadi pengurangan
volume sirkulasi efektif sehingga pemberian diuretic aman karena tidak mengurangi perfusi
jaringan. Pada edema umum karena gagal jantung, sindrom nefrotik, dan retensi natrium primer,
pemberian diuretic akan memobilisasi cairan edema secara cepat sehingga akan terjadi
pengeluaran cairan 2-3 L/24 jam tanpa mengurangi perfusi jaringan.
3. Gangguan Keseimbangan Elektrolit

1. Gangguan Keseimbangan Natrium

Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya turun lebih
dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145 mEq/L) dan hipernatremia bila
konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal.

Hiponatremia biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan


hiperosmolalitas.

a. Hiponatremia: kondisi dimana kadar natrium dalam plasma darah <135 mEq/L.

Klasifikasi hiponatremia:

• Berdasarkan osmolalitas plasma:

 Hiponatremia isotonik :

Konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu 280-285
mOsm/Kg/H20.

 Hiponatremia hipotnonik:

Konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu 280
mOsm/Kg/H2O.

Berdasarkan jumalh cairan intravaskuler hyponatremia hipotonik dibagi 3 yaitu:

-Hipovolemik

Dapat terjadi akibat kehilangan natrium renal atau ekstrarenal.Pada kondisi ini terjadi
penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Gejala klinis : penurunan tekanan darah ortostatik,
peningkatan denyut nadi, keringnya membran kulit dan penurunan turgor kulit. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan BUN, kreatinin dan peningkatan asam
urat.Jika natrium urin >20 mEq/L menandakan hiponatremi karena natrium keliar dari ginjal,jika
<20 meEq/L kehilangan natrium ekstra renal.

-Euvolemik

Berhubungan dengan sindroma klinis, harus dilakukan pemeriksaan osmolalitas urin. Bisa juga
disebabkan intake terlalu besar dibandingkan dengan ekskresi ginjal.Jika natrium > 20 mEq/L
maka telah terjadi gagal ginjal, SIADH, hipotiroid, jika natrium <20 mEq/L kemungkinan karena
polidipsi.

-Hipervolemik
Adanya peningkatan total cuiran tubuh dapat dibedakan dengan pemeriksaan natrium pada urin.

 Berdasarkan konsentrasi natrium plasma

-Hiponatremi ringan - Na <135 mEq/L

-Hiponatremi sedang = Na <130 mEq/L

-Hiponatremi berat = Na <120 mEq/L

 Berdasarkan konsentrasi ADH

-Hiponatremi dengan ADH meningkat

-Hiponatremi dengan ADH supresi fisiologis

 Berdasarkan waktu

-Hiponatremi akut kejadian <48 jam disertai penurunan kesadaran

-Hiponatremia kronik:kejadian >48 jam

Manifestasi klinis hiponatremia menurut sistem yang dipengaruhi:

SSP : sakit kepala ,hiper/hipoaktif tendon,kejang ,koma, peningkatan tekanan intrakranial

Kardiovaskular : hipertensi, bradikardia

Muskuloskeletal : fatigue,kram twtiching

Ginjal : Oliguri

Diagnosis

Berdasarkan manifestasi klinis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Umumnya

manifestasi klinis disebabkan edema otak, yang didahului gejala ringan hiponatremi.

Pemeriksaan:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk penilaian status volume)

2.Pengukuran osmolalitas plasma

3.Pengukuran natrium urin dan osmolalitas (ditambahkan informasi status volume)

Terapi
Hiponatremia hipertonik memperbaiki kondisi hiperglikemia, hiponatremia isotonik mengobati
penyebab gangguan metabolisme protein/lipid, hiponatremia hipotonik pemberian diuretik
restriksi H2O.

Reevaluasi dan penyesuaian terapi

Harus dilakukan secara 'hati-hati sampai tercapai normontrerria euvolemnik. Hiponatremia akut
dapat dikoreksi secara cepat sedangkan kronik asimtomatik. Tatalaksana yang berlebihan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas akibat osmotic myelinolysis syndrome

Tatalaksana Hipinatremia Hipervolemik Hipotonik

Memperbaiki konsentrasi natrium plasma 1 - 2 mEq/L/jam baik menggunakan salin hipertonik


atu salin isotonik kadang kombinasi dengan diuretik dan lain-lain. Yang penting diperhatikan
bahwa salin hipertonik adalah kontraindikasi relatif pada hipervolemia.

Tatalaksana Hiponatremia hipotonik Euvolemik

Memperbaiki konsentrasi natrium plasma 1 - 2 mEq/L/jam baik menggunakan salin hipertonik


sampai gejala mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/L/jam setelahnya.

b. Hipernatremia

Hipernatremi adalah gangguan elektrolit yang biasa terjadi dan didefinisikan sebagai
peningkatan konsentrasi serum sodium sampai lebih dari 155 mmol/L, Hipernatremi disebut
sebagai kondisi hiperosmolar disebabkan oleh penurunan TBW relatif terhadap konten elektrolit.
Hipernatremi adalah "water-problem", bukan gangguan dari homeostasis sodium.

Hiperosmolaritas dalam jangka waktu lama karena kehilangan air dapat menyebabkan
penyusutan sel neuron yang berakhir pada kerusakan otak. Kehilangan volume air plasma juga
dapat menyebabkan gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi).

Patofisiologi

Hipernatremia terjadi saat ada kehilangan air atau terlalu sedikit air dalam hubungannya dengan
sodium dan potassium dalam tubuh. Osmolaritas plasma (Posm) normalnya berkisar antara 275-
290 mOsm/kg dan utamanya ditentukan oleh konsentrasi garam sodium. Regulasi Posm dan
konsentrasi plasma sodium dimediasi oleh perubahan asupan dan ekskresi air. Hal ini terjadi
dengan 2 mekanisme:

a. Konsentrasi urin (melalui sekresi pituitary dan efek renal terhadap ADH arginine vasopressin
(AVP)

b. Rasa haus
Pada individu normal, rasa haus distimulasi oleh peningkatan osmolalitas cairan tubuh diatas
ambang tertentu. Hasilnya adalah asupan air yang meningkat untuk secara cepat mengkoreksi
keadaan hipernatremi. Mekanisme ini sangat efektif bahkan pada keadaan patologis dimana
pasien tidak mampu mengentalkan urinnya (diabetes insipidus) dan mengeluarkan urin yang
sangat banyak (10-15 L per hari), hipernatremi tidak akan muncul karena rasa haus distimulasi
dan osmolalitas cairan tubuh dipertahankan. Oleh karena itu, hipernatremi dapat muncul pada
saat hanya terjadi gangguan mekanisme rasa haus dan asupan air tidak meningkat untuk
merespon hiperosmolaritas atau saat asupan air dibatasi.

Etiologi

Untuk tujuan klinik, hipernatremi diklasifikasikan berdasarkan dasar kehilangan air atau
penambahan elektrolit dan hubungannya dengan perubahan volume cairan ekstraseluler:

a. Defisit cairan hipotonik (kehilangan air/water loss) Pasien yang kehilangan cairan hipotoník
kekurangan air dan elektrolit (sodium dan potassium dalam tubuh rendah) dan men volume ECF.

 Renal hypotonic fluid loss.

Hasil dari semua hal yang dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin.
Pada gangguan mekanisme rasa haus, kondisi ini merupakan penyebab umum hipernatremia,
biasa ditemani oleh poliuria. Penyebab poliuria dengan hipernatremia biasanya adalah diabetes
insipidus dan osmotic dicresis.

 Non renal hypotonic fluid loss.

Kehilangan air lewat traktus respiratori dan kulit rata-rata 0,5 L/hari. Keluarnya keringat yang
banyak pada lingkungan yang panas/saat berolahraga atau pasien dengan hiperventilasi akan
meningkatkan jumlah air yang dikeluarkan. Bila keadaan ini dikombinasikan dengan gangguan
mekanisme rasa haus, hipernatremia dapat muncul karena air yang hilang tidak seimbang dengan
asupan air.

b. Penambahan sodium hipertonik

Pasien dengan keadaan ini mempunyai total body sodium yang tinggi dan volume ECF yang
overload. Pada fungsi ginjal dan rasa haus yang normal, kondisi ini jarang terjadi.

.Hipernatremia juga terjadi pada seseorang dengan:

- fungsi ginjal yang abnormal

- diare

-muntah

- demam
- keringat yang berlebihan.

Karakteristik hipernatremia dan (gejala yang berkorelasi dengan karakteristik tersebut):

 Cognitive dysfunction and symptoms associated with neuronal cell shrinkage (lethargy,
obtundation, confusion, abnormal speech, irritability, seizures, nystagmus, myoclonic
jerks)
 Dehydration or clinical signs of volume depletion (Orthostatic blood pressure changes,
tachycardia, oliguria, dry oral mucosa, abnormal skin turgor, dry axillae)
 Other clinical findings (Weight loss, generalized weakness)

Ciri-ciri Hipernatremia

 Selalu menunjukkan dehidrasi seluler


 Pada kebanyakan kasus, penyebab adalah net water loss.
 Overloading natrium (Meylon) juga bisa menjadi penyebab
 Lebih sering pada bayi dan lansia. Pada lansia gejala belum terlihat sebelum kadar > 160
mmol/L
 Pada hipernatremia akut terjadi dalam beberapa jam), laju penurunan yg dianjurkan 1
mmol/L/jam. Pada hiperatremia kronis, laju koreksi adalah 0.5 mmol/L/jam untuk
mencegah edema serebral. Lebih tepatnya adalah 10 mmol/L/24jam.
 Kebutuhan obligatorik (rumatan) juga harus ditambahkan. Sebagai contoh volume untuk
koreksi 2.1 L dan rumatan 1.5 L maka dalam sehari diberikan 3.6 L atau 150 ml/jam.

Diagnosa

Diagnosa ditegakkan bila natrium plasma meningkat secara akut dengan nilai diatas 155 mEq/L.
Dan berakibat fatal bila diatas 185 mEq/L. Berdasarkan klinis dapat kita temukan letargi, lemas
twitching, kejang dan akhirnya koma. Untuk menentukan etiologi selain pengukuran natrium
serum, perlu dilakukan pengukuran natrium urin dan dilakukan penilaian untuk osmolalitas urin

Penatalaksanaan

Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremi. Sebagian


besar penyebabnya adalah defisit cairan tanpa elektrolit. Penatalaksanaan hipernatremi dengan
deplesi volume harus diatasi dengan pemberian cairan isotonik sampai hemodinamik stabil.
Selanjutnya defisit air bima dikoreksi dengan dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremi
dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan dekstrosa 5% untuk
mengganti defisit air.

Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan mengetahui


kadar Na infus yang digunakan, dengan menggunakan rumus yang sama pada koreksi
hiponatremi. Perbedaannya hanya terletak pada cairan infus yang digunakan. Dengan begitu, kita
dapat melakukan estimasi jumlah cairan yang akan digunakan dalam menurukan kadar Na
plasma.

Kardiovaskular: (pH <7.10) dapat memicu terjadinya aritmia ventrikel yang fatal bagi pasien,
dan dapat mengurangi kontraktilitas jantung serta respon inotropik terhadap katekelamin yang
mnyebabakan hipotensi dan gagal jantung kongestif.

Paru

 Pasien dengan asidosis metabolik akut mengalami takipncu dan hiperpneu sebagai tanda
fisik yang khas.
 Pernafasan kussmaul, yaitu suatu usaha pernafasan yang sangat dalam
 Hiperventilasi, jika tidak ada penyakit paru yang jelas, maka harus dipikirkan
kemungkinan asidosis metabolic

Musculoskeletal: Asidosis metabolik kronik (misalnya, uremia, renal tubular acidosis (RTA)

Selain itu tampilan klinis asidosis metabolik dapat juga muncul sesuai dengan pH tertentu. Pada
pH lebih dari 7,1 tampilan klisis yang sering muncul yaitu rasa lelah (fatique), sesak nafas
(kussmaull), nyeri perut, nyeri tulang, dan mual muntah.sedangkan pada pH kurang atau sama
dengan 7,1 maka tampilan klinis yang sering muncul antara lain gejala yang sama pada pH > 7.1
ditambah dengan efek inotropik negative (aritmia), konstriksi vena perifer, dilatasi arteri perifer
(penurunan retensi perifer). Penurunan tekanan darah, aliran darah ke hati menurun dan
konstriksi pembuluh darah paru sehingga pertukaran O2 terganggu.

2. Gangguan Keseimbangan Kalium

Definisi: Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar
kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion kalium dapat
menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dapat
menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti
jantung atau fibrilasi jantung.

a. Hipokalemia

Etiologi:

 Kurangnya asupan kalium dalam makanan


 Terapi diuretic
 Asupan natrium dalam makanan yang berlebihan
 Diare berkepanjangan
 Muntah
 Dosis besar kortikosteroid
 Hipomagnesemia
 Sindrom Cushing
 Hiperaldosteronisme primer dan sekunder
 Alkalosis metabolic

Manifestasi Klinis:

 Bervariasi, berat ringannya tergantung derajat hypokalemia


 Gejala jarang terjadi, kecuali kalium <3 mEq/L
 Kelemahan otot, kram otot ekstremitas bawah
 Hipoventilasi dan paralisis komplit
 Terganggunya fungsi otot polos → Ileus paralitik
 Aritmia jantung (VT, Takikardi atrial, Fibrilasi ventrikuler)
 Miopati
 Gangguan ginjal akut
 Alkalosis metabolic

Pemeriksaan Penunjang:

1. Darah

• Kadar kalium plasma <3,5 mEq/Liter)

2. Elektrolit urine

• Kadar kalium urine

• < 20 mEq/hari : kausa ekstra renal

•> 20 mEq/hari : kausa renal

3. EKG

-Mendatar/inversinya gelombang T

-Gelombang U

-Depresi segmen ST

-Pemanjangan interval QT

-Pelebaran komplek QRS

- Pemanjangan interval PR

- Aritmia ventrikel
Tata Laksana:

• Konsumsi makanan yang kaya kalium harus bersama suplementasi kalium.

• Terapi pengganti kalium suplementasi kalium oral

• Pemberian subsitusi kalium secara parenteral/ intravena

• Jalur pemberian dapat vena periver dan vena sentral.

• KCl 7,46 → 1 fl = 25 mEq kalium

• Mengatasi etiologi dan koreksi penyebab

b. Hiperkalemia

Etiologi:

-Peningkatan asupan kalium

-Pseudohiperkalemia

-Transcellular shift

-Penurunan eksresi kalium di ginjal

Gejala Klinis:

• Toksisitas kardiak

• Kelemahan otot dan paralisis

• Hipoventilasi jika otot pernapasan terlibat

• Menyebabkan gangguan ekseresi asam di ginjal sehingga menimbulkan asidosis metabolic


sehingga memperparah hiperkalemia karena merangsang pengeluaran kalium di dalam sel

Pemeriksaan Penunjang:

EKG :

• Peningkatan amplitudo gelombang T  T Tall

• Interval PR memanjang

• Pemanjangan durasi QRS

• Hilangnya gelompang P
• Fibrilasi ventrikel

• Asistole

Tata Laksana:

Stabilitas membran jantung dengan kalium:

• -Diberikan pada hiperkalemia dengan perubahan EKG

• Diberikan IV 1000 mg secara perlahan 2-3 menit

• Dapat diulang setiap 5 menit bila perubahan EKG menetap pasien dimonitor

Memindahkan / memasukkan kalium ke dalam sel

• Insulin dan glukosa

• Agonis beta 2→Albuterol inhalasi

• Bicnat IV dalam dextrose 5 %

Menurunkan kalium

• Kation exchange resin→oral

• Loop atau tiazid diuretik, furosemide 20-40 mg IV Menurunkan

• Hemodialisis (Pada hiperkalemia berat) kalium

3. Gangguan Keseimbangan Klorida

Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Pemeriksaan konsentrasi klorida dalam
plasma berguna sebagai diagnosis banding pada gangguan keseimbangan asam-basa, dan
menghitung anion gap. Jumlah klorida pada orang dewasa normal sekitar 30 mEq per kilogram
berat badan. Sekitar 88% klorida berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan
intrasel. Konsentrasi klorida pada bayi lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak dan dewasa.

-Penyebab Hipoklorinemia

Hipoklorinemia terjadi jika pengeluaran klorida melebihi pemasukan. Penyebab hipoklorinemia


umumnya sama dengan hiponatremia, tetapi pada alkalosis metabolik dengan hipoklorinemia,
deficit klorida tidak disertai defisit natrium. Hipoklorinemia juga dapat terjadi pada gangguan
yang berkaitan dengan retensi bikarbonat, contohnya pada asidosis respiratorik kronik dengan
kompensasi ginjal.

-Penyebab Hiperklorinemia
Hiperklorinemia terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada gangguan mekanisme
homeostasis dari klorida. Umumnya penyebab hiperklorinemia sama dengan hipernatremia.
Hiperklorinemia dapat dijumpai pada kasus dehidrasi, asidosis tubular ginjal, gagal ginjal akut,
asidosis metabolik yang disebabkan karena diare yang lama dan kehilangan natrium bikarbonat,
diabetes insipidus, hiperfungsi status adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang
berlebihan, alkalosis respiratorik. Asidosis hiperklorinemia dapat menjadi petanda pada
gangguan tubulus ginjal yang luas.
4. Resusitasi Cairan

Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan
pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug and fluid treatment”) dalam
bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara simultan dengan
langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien
yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan
syok.

Jenis Cairan dan Indikasinya:

a. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak
mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravascular dengan
waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan
untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat,
dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan
untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit
yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas
kritaloid, diantaranya:

- Isotonis.

Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, memiliki konsentrasi yang sama
dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik, konsentrasi).

Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di
dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis.
Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas
reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas
darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan
adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besar. Contoh
larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼
NS.

- Hipertonis

Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan disebut
sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik
menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan
garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan
preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik
positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral.
Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari
pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan
kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline,
Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.

- Hipotonis

Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang terkonsentrasi,
disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan,
cairan dengan cepat akan berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis:
Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline.3

b. Cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat
seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar).
Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki
sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk
menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.

Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan 25%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis
dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain 10 mengandung albumin (83%) juga mengandung
alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor
fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.

2. Koloid Sintetik

 Dextran Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.
Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat molekulnya,
sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun,
obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal
sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet,
koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40
(Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000.
 Hydroxylethyl Starch (Hetastarch) Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu
8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low
molecular weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung
selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai
koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar.
 Gelatin Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal
dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau
modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif
rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110
mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang
dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan
bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat
memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk
mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi.
Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.

Perbedaan Cairan Kristaloid dan Koloid


5. Nekrosis Tubular Akut
Definisi: Nekrosis tubular akut (NTA) secara patologis ditandai dengan kerusakan dan
kematian sel tubulus ginjal akibat iskemia atau nefrotoksik. Tidak terdapat kriteria pasti
untuk diagnosis NTA. Secara klinis, NTA ditandai dengan penurunan tiba-tiba laju
filtrasi glomerulus hingga 50%, dan peningkatan kadar kreatinin darah sebesar 0,5 mg/dL
(40mol/L). Dengan adanya disfungsi tubulus dapat terjadi peningkatan natrium urin,
penurunan osmolalitas urin, dan penurunan rasio kreatinin urin terhadap darah.
Epidemiologi: Di Indonesia, data lengkap mengenai NTA belum tersedia. Prevalensi
NTA di Amerika +1% saat masuk rumah sakit dan 2-5% selama dirawat. NTA
merupakan penyebab utama AKI pada pasien yang dirawat (38%) dan pasien di ICU
(76%). Mortalitas NTA pada pasien yang dirawat dan pasien di ICU berturut-turut adalah
37,1% dan 78,6%. Pada 56-60% pasien, ginjal dapat sembuh sempurna, sedangkan 5-
11% pasien memerlukan dialisis.
Etiologi:

Penyebab NTA dapat dibagi menjadi dua, yaitu iskemia dan nefrotoksin. Iskemia sebagai
penyebab NTA terbanyak terjadi karena trauma, syok, dan sepsis. Trauma dapat menyebabkan
hipovolemia dan pelepasan mioglobin dari jaringan rusak. Sedangkan syok dan sepsis dapat
menyebabkan hipoperfusi ginjal akibat vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi di ginjal sendiri.

Nefrotoksin dapat berasal dari endogen, misalnya mioglobin, dan eksogen, misalnya obat
dan racun. Nefrotoksin tersebut dapat menyebabkan vasokonstriksi atau cedera tubulus ginjal
secara langsung.

Patofisiologi:

Cedera tubulus akibat iskemia diawali dengan deplesi ATP secara cepat akibat deplesi
oksigen. Deplesi ATP menyebabkan terganggunya sitoskeletal epitel tubulus proksimal dan
hilangnya mikrovili disertai perpindahan lokasi integrin dari permukaan basal ke permukaan
apikal. Pada keadaan normal, integrin di permukaan basal berperan pada adhesi epitel. Akibat
perpindahan lokasi ini, epitel tubulus terlepas. Adanya dinding tubulus yang tidak dilapisi epitel
menyebabkan filtrat bocor lalu masuk kembali ke sirkulasi. Hal ini sering disebut dengan
fenomena back-leak.

Selain itu, jejas tubulus juga menyebabkan reabsorbsi natrium menurun sehingga natrium
di lumen tubulus meningkat. Peningkatan natrium ini menyebabkan polimerisasi protein Tamm-
Horsfall membentuk gel. Gel polimerik Tamm-Horsfall bersama epitel tubulus yang terlepas,
serta mikrovili akan membentuk silinder sehingga terjadi obstruksi tubulus distal.

Deplesi ATP juga mengaktifkan protease yang menyebabkan cedera oksidatif epitel
tubulus dan endotel kapiler akibat pembentukan reactive oxygen species (ROS) saat reperfusi.
Cedera oksidatif bersama dengan vasokonstriktor misalnya endotelin, akan menyebabkan
vasokonstriksi, kongesti, hipoperfusi dan ekspresi molekul adesi. Ekspresi molekul adesi dan
sitokin yang dihasilkan epitel tubulus mengawali infiltrasi leukosit, sehingga terjadi obstruksi
mikrosirkulasi. Penglepasan sitokin dan ROS oleh leukosit tersebut dapat merusak epitel tubulus
sehingga terjadi NTA.

Perjalanan penyakit NTA dibagi menjadi 3 fase, yaitu inisiasi (initiation), kerusakan
menetap (maintenance), dan penyembuhan (recovery). Fase inisiasi diawali dengan paparan
nefrotoksin atau iskemia, serta mulai terjadi kerusakan epitel tubulus, laju filtrasi glomerulus
menurun, dan jumlah urin berkurang. Pada fase kerusakan menetap, cedera tubulus ginjal
semakin lanjut, laju filtrasi glomerulus di bawah normal, dan jumlah urin sedikit atau tidak ada.
Meskipun oliguri atau anuri sering dijumpai pada NTA fase kerusakan menetap, tetapi pada
beberapa pasien dapat terjadi nonoliguri, terutama akibat nefrotoksin. Fase ini berlangsung 1-2
minggu tapi bias juga berlanjut hingga beberapa bulan. Pada fase penyembuhan, dapat
ditemukan poliuri dan berangsurangsur laju filtrasi glomerulus menjadi normal.

Manifestasi Klinik

1. Perubahan warna pada urin


2. Kadar sodium dalam urin meningkat
3. sekresi sodium sedikit dan urea relatif tinggi
4. BUN dan serum kreatinin meningkat
5. Penurunan jumlah urin atau tidak sama sekali
6. pembengkakan ginjal secara menyeluruh, akibat retensi cairan
7. mual dan muntah
8. penurunan kesadaran

Pemeriksaan Fisik

a. Napas khas berbau urea


b. Penurunan kesadaran
c. Pembengkakan ginjal karena retensi urin

Diagnostik

a. Kadar ureum (>20 mg/dl)


b. Kreatinin serum
Terjadi peningkatan nilai kreatinin. Nilai normal adalah 0,5 1.1 untuk perempuan dan
0,6 1,2 untuk laki-laki. Peningkatan hingga 4 mg/dl mengindikasikan adanya kerusakan
fungsi renal
c. Urinalisis dan Mikroskopik
d. Sel-sel tubular memperlihatkan adanya nekrosis tubular akut. Urinalisis
memperlihatkan sedimen kencing yang mengandung sel darah merah dan struktur silinder
dan urin cair yang memiliki gravitasi spesifik rendah (1,010), osmolalitas rendah (kurang
dari 400 m0sm/kg) dan kadar natrium tinggi (40 sampai 60 mEq/L).
e. Osmolaritas urin
f. Elektrolit urin
g. Pemeriksaan darah
Studi darah memperlihatkan kenaikan kadar BUN dan kreatinin serum, anemia, kelainan
pada trombosit, asidosis metabolik dan hiperkalemia.
h. Ultrasound
i. Elektrokardiograf
Elektrokardiografi bisa menunjukkan aritmia (akibat ketidakseimbangan elektrolit) dan,
jika terjadi hiperkalemia, elektrokardiografi menunjukkan pelebaran kompleks QRS,
gelombang P hilang dan gelombang T yang tinggi dan berpuncak (T tall).

Tata Laksana:

a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

b. Hemodialisis

Anda mungkin juga menyukai