Anda di halaman 1dari 25

Makalah Asuransi dan Jaminan Kesehatan

Permasalahan dalam Jaminan Kesehatan

Dosen Pengampu: Dosen Pengampu : Shelvy Haria Roza, SKM, M.Kes

Kelompok 3 :
1. Panesa Anggraila 1911211040
2. Lala Aprilia Putri 1911212013
3. Adhelya Asti Pramesti 1911212025
4. Mezi Fransiska 1911213008
5. Abdulrrahim 1911213010
6. Hafizhah Nurul Hidayah 1911213012
7. Dhea Lulu Fichriyah 1911213038
8. Fajri Razes 2011216003
9. Nurul Khairunnisa 2011216006

Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkah dan
rahmat-Nya kelompok dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Permasalahan
dalam Jaminan Kesehatan”. Dan tidak lupa pula penulis mengucapkan banyak terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah memberikan kontribusi baik materi maupun
pikirannya.
Makalah ini disusun dengan tujuan memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Asuransi dan Jaminan Kesehatan. Selain itu makalah ini disusun agar dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini kelompok menyadari masih banyak
kekurangan. Maka dari itu kelompok berharap agar adanya kritik dan saran yang
diberikan, sehingga dapat menjadi pelajaran untuk kedepannya.

Padang,September 2020

Kelompok 3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................................2
2.1 Target Kepesertaan JKN dan masalahnya................................................................2
2.1 2 Dampak dari Masalah.......................................................................................3
2.1.2 Solusi dari Masalah..........................................................................................3
2.2 Iuran dan Masalahnya..............................................................................................4
2.2.1 Pengertian.........................................................................................................4
2.2.2 Pembayar Iuran................................................................................................5
2.2.3 Pembayaran Iuran.............................................................................................5
2.2.4 Akibat dari Permasalahan Iuran........................................................................6
2.2.5 Solusi Masalah.................................................................................................7
2.3 Pelayanan dan Masalahnya.......................................................................................8
2.3.1 Jenis Pelayanan................................................................................................8
2.3.2 Prosedur Pelayanan..........................................................................................8
2.3.3 Kompensasi Pelayanan.....................................................................................9
2.3.4 Penyelenggara Pelayanan Kesehatan................................................................9
2.2.5 Masalah Pelayanan Kesehatan JKN........................................................................9
2.3.6 Dampak dari Permasalahan............................................................................10
2.3.7 Solusi Permasalahan.......................................................................................12
2.4 Masalah Penyalahgunaan JKN...............................................................................13
2.4.1 Dampak yang Ditimbulkan.............................................................................14
2.4.2 Solusi dari Masalah...............................................................................................15
BAB 3....................................................................................................................................16
KESIMPULAN......................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................16
3.2 Saran............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................18
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, maka kesehatan
adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang
Dasar. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk
mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan pada
dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai
masyarakat yang sejahtera. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia,
untuk dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat maka diperlukan adanya
peran pemerintah melalui layanan publik untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar
rakyatnya, seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya
Pemerintah berkewajiban untuk dapat memberikan kehidupan yang sehat dan
sejahtera bagi warga negaranya.
Demi mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah pada tahun 2005
menyelenggarakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
atau dikenal Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) yang
kemudian berkembang menjadi program kesehatan yang sekarang dikenal dengan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program JKN adalah bentuk
reformasi dibidang kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan
fragmentasi dan pembagian jaminan kesehatan.
Permasalahan ini terjadi dalam skema Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang mengakibatkan
biaya kesehatan dan mutu pelayanan yang tidak terkerdali. Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang dilakukan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
(mandatory). Data Kemenkes menunjukkan jumlah penduduk yang dijamin dalam
berbagai bentuk dan luas jaminan kesehatan sebanyak 151, 6 juta dari total 293, 7
juta jiwa penduduk Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana target kepesertaan JKN dan masalahnya?
b. Apa itu pembiayaan?
c. Bagaimana seluk beluk sistem pembiayaan?
d. Apa itu pelayanan?
e. Bagaimana seluk beluk sistem pelayanan?
f. Apa contoh masalah yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan JKN?
g. Apa contoh masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan JKN?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui target kepesertaan JKN dan masalahnya
b. Mengetahui apa itu pembiayaan
c. Mengetahui seluk beluk sistem pembiayaan
d. Mengetahui apa itu pelayanan
e. Mengetahui seluk beluk sistem pelayanan
f. Mengetahui contoh masalah yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan JKN
g. Mengetahui contoh masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan JKN

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Target Kepesertaan JKN dan masalahnya


Perdebatan teknis seputar masa depan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
terus bergulir kencang, akibat merenggangnya kesenjangan antara janji politis, visi
teknokratik, dan implementasi di lapangan. Sebagaimana diketahui kepesertaan JKN
saat ini masih menjangkau 215 juta jiwa atau baru menggapai 81% penduduk.
Padahal, target pemerintah untuk akhir 2019 ialah harus menjangkau sebanyak 257,5
juta jiwa atau 95% penduduk.
Untuk mencapai target tersebut, hal utama yang perlu dilaksanakan
pemerintah adalah menyelesaikan masalah pembiayaan, mulai dari menuntaskan
defisit arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS kesehatan, hingga
penyesuaian kontribusi iuran sebagai konsekuensi logis keberpihakan pemerintah
pada investasi di bidang kesehatan. "Untuk itu, rekonsiliasi antar pemangku
kepentingan untuk mereformasi tata kelola pembiayaan BPJS kesehatan diperlukan
untuk memberi arah JKN di masa depan," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan
Prakarsa Ah Maftuchan, dalam diskusi publik bertajuk 'Bergandengan Tangan
Selamatkan JKN' di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Selasa (15/1).
Maftuchan juga menyoroti berbagai permasalahan JKN yang menurutnya
membutuhkan penyehatan dari semua pemangku kebijakan. "Permasalahan pelik
yang tengah kita hadapi sekarang adalah masalah pembiayaan, defisit anggaran yang
sangat besar dibarengi iuran yang juga rendah. Selain itu masih banyak yang
mengeluhkan kualitas layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan
rumah sakit, sebagian besar dokter dan tenaga kesehatan dianggap kurang peduli dan
stigmatis terhadap peserta JKN-Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) dan masalah
obat-obatan yang tidak tersedia," paparnya. Berbagai permasalah tersebut

2
menunjukkan adanya ketidaksiapan dari pihak BPJS Kesehatan yang artinya
membutuhkan penanganan lebih dari pemerintah. Sengkarut implementasi JKN-KIS
ini menunjukkan direksi BPJS Kesehatan masih 'under-performed'. Oleh sebab itu,
Presiden Jokowi perlu segera me-review kinerja jajaran direksi BPJS Kesehatan dan
melakukan penggantian dengan orang-orang yang lebih baik. Sedangkan untuk
keberlangsungan finansial JKN sendiri bergantung pada perpaduan 'contributory' dan
'non-contributory options' yaitu sinergi kebijakan di pusat dan daerah. Pasalnya,
Pemerintah Pusat bertanggungjawab memberikan arah kebijakan, menciptakan tata
kelola yang memadai untuk mencegah terjadinya telikung kebijakan antar pemangku
kepentingan. Sedangkan, pemerintah daerah berperan untuk melaksanakan sistem
kendali mutu dan pembiayaan serta pengawasan kepatuhan peserta.
2.1 2 Dampak dari Masalah
Masih adanya masyarakat Indonesia yang belum terdaftar
sebagai peserta JKN dan banyak peserta JKN menurukan kelasnya.
Yang berakibatkan program JKN belum berjalan optimal.

2.1.2 Solusi dari Masalah


Pertama, Presiden Joko Widodo harus berani menaikkan batas iuran,
terutama pada kelompok peserta non-miskin. Kedua, BPJS kesehatan harus mampu
memaksimalkan perluasan kepesertaan dan meningkatkan kepatuhan bayar pada
pekerja informal. Ketiga, Kementerian Keuangan harus cerdas memanfaatkan sumber
pendanaan inovatif berupa optimalisasi dan earmarking sin-tax rokok serta gula,
garam, dan lemak sebagai upaya pencegahan penyakit katastropik dan peningkatan
pemasukan anggaran kesehatan.
Di sisi lain, masalah ketebukaan dalam pengelolaan dana kapitasi dan klaim
pelayanan juga perlu dikedepankan oleh BPJS Kesehatan, FKTP, rumah sakit,
Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Daerah. "Jika tidak ada akuntabilitas
pengelolaan dana JKN-KIS, maka defisit anggaran tidak akan tertangani. Apalagi di
sisi lain kepatuhan iuran peserta mandiri juga masih bermasalah. Pemerintah pusat
perlu segera mencari alternatif pembiayaan JKN-KIS, misalnya dengan menaikkan
cukai rokok yang diperuntukkan untuk sektor kesehatan dan menaikkan iuran JKN

3
atau iuran PBI. Pemerintah daerah juga harus berkontribusi dalam pembiayaan dan
mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah ke JKN-KIS," ujar Peneliti Kebijakan
Sosial Perkumpulan Prakarsa Eka Afriana Djamhari. Demikian pula dengan alokasi
pajak rokok yang dianggap penting untuk terus digenjot.
Menurut Policy and Planning Specialist Center for Indonesia's Strategic
Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa, skema alokasi pajak rokok
untuk pembiayaan kesehatan melalui JKN adalah wajar, mengingat kontribusi
signifikan konsumsi rokok pada beban biaya kesehatan yang ditanggung JKN.Untuk
itu, kenaikan cukai rokok sebagai sumber pembiayaan jaminan kesehatan sudah
dilakukan di banyak negara dan efektif dalam meningkatkan kualitas layanan
kesehatan juga perlu segera diaplikasikan. Di samping mengatasi masalah
pembiayaan, dugaan froud yang dilakukan fasilitas kesehatan, dapat diatasi dengan
manajemen data klaim dan pelaporan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel.
"Standarisasi pelayanan medis secara nasional dapat membantu pemantauan kualitas
layanan dan menekan angka rujukan dan tinjauan berkala terhadap pengelompokan
INACBGs, 'cost-effectiveness analysis', dan sistem pengadaan obat serta alat
kesehatan akan memberikan ruang bagi JKN untuk beradaptasi pada kebutuhan dan
perkembangan teknologi kesehatan," tutupnya.
2.2 Iuran dan Masalahnya
2.2.1 Pengertian
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang
dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau
Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No.
12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Tarif Kapitasi adalah besaran
pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan
kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah
peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif Non Kapitasi adalah
besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan

4
kesehatan yang diberikan. Tarif Indonesian - Case Based Groups yang
selanjutnya disebut Tarif INACBG’s adalah besaran pembayaran
klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat
Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan
diagnosis penyakit.
2.2.2 Pembayar Iuran
1. Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2. Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh
Pemberi Kerja dan Pekerja.
3. Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan
Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.
4. Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui
Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang
layak.
2.2.3 Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau
suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap
Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan
iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala
(paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh)
jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang
tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan
Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan
palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS

5
Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal. BPJS
Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai
dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan
secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14
(empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran
Iuran bulan berikutnya. Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi
pekerja bukan penerima upah itu adalah Rp25.500 per bulan untuk
layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500
untuk kelas I. Untuk standar tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas
kesehatan tingkat pertama ada di lampiran 1.
2.2.4 Akibat dari Permasalahan Iuran
Choesni menilai bahwa penyesuaian iuran tersebut akan
ampak yang beragam, baik bagi BPJS Kesehatan, keberlangsungan
program JKN, maupun bagi masyarakat selaku peserta.
Pertama, menurut dia, dampak yang berpotensi muncul
adalah peningkatan jumlah peserta non aktif, khususnya di segmen
mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan
Pekerja (BP). Berdasarkan data BPJS Kesehatan, saat ini terdapat
sekitar 46% peserta yang tidak aktif.
Dampak lainnya adalah keberlanjutan program JKN.
Dengan penyesuaian iuran, ditargetkan akumulasi surplus sebesar
Rp4,4 triliun pada akhir 2021, dengan catatan pemerintah mengatasi
seluruh defisit per akhir 2019.
379.924 Peserta Iuran BPJS Turun Kelas
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat
sebanyak 379.924 peserta iuran mandiri atau peserta bukan penerima
upah (PBPU) turun kelas. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan

6
kenaikan premi iuran. Perpindahan kelas tersebut dalam rentang
November hingga Desember 2019.

2.2.5 Solusi Masalah


Idealnya, sistem asuransi kesehatan dirancang supaya
masyarakat tetap melalui layanan pengobatan dasar dan upaya
pencegahan, sehingga kebutuhan terhadap layanan sekunder/tersier
dapat ditekan. Kenaikan iuran – kala semua hal yang lain dalam
sistem kesehatan tetap sama – bukanlah opsi kebijakan yang terbaik.
Kami sarankan sejumlah perubahan struktural strategis yang lebih
mendesak untuk dilakukan.
Pertama, kita harus bisa mengenali kelompok masyarakat
yang bisa berkontribusi dengan lebih baik. Sistem kelas
mencerminkan kemampuan para peserta untuk membayar iuran
sebenarnya dan ini harus dievaluasi. Penciptaan standar diperkirakan
akan dapat mendorong pelayanan kesehatan yang adil kepada semua
peserta.Alih-alih dengan penentuan kelas, iuran dapat diperhitungkan
berdasarkan kelompok pendapatan. Untuk melakukan hal ini, BPJS
Kesehatan dapat berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan.
Kedua, pengumpulan dana yang cukup dari masyarakat akan
dapat lebih terjamin ketika pemerintah mewajibkan kepersertaan
kepada semua warga negara, tanpa terkecuali. Untuk keadilan dalam
melakukan hal ini, pemerintah dapat menjamin alokasi subsidi
tersampaikan dengan tepat, melalui pemutakhiran dan verifikasi
populasi yang miskin dan hampir miskin.
Ketiga, BPJS Kesehatan dapat mengorientasikan ulang
pelayanan kesehatan menuju model pelayanan preventif. Untuk
mendorong pendekatan ini, pemerintah, melalui Kementerian
Kesehatan dan demerintah daerah, harus memperkuat peran Pusat
Kesehatan Masyarakat (puskesmas) sebagai tulang punggung

7
pelayanan preventif dan penyakit kronis. Pemerintah juga perlu
memperkuat kerja sama dan melakukan integrasi antara sektor publik
dan swasta di tingkat pelayanan primer.
Keempat, BPJS Kesehatan sendiri harus mengutamakan
transparansi. Dinas Kesehatan lokal dan masyarakat luas telah
mengeluhkan kurangnya transparansi BPJS Kesehatan, yang membuat
warga enggan mendaftarkan diri. Keterbukaan data yang kritis kepada
publik merupakan langkah praktis dan simbolis yang kuat untuk
mendukung mekanisme internal BPJS Kesehatan dalam merespons
kebutuhan perubahan secara efektif. Transparansi penting untuk
mencegah tindakan penipuan administratif, seperti klaim ganda. Tanpa
transparansi dan akuntabilitas, masyarakat luas akan terus
mempertanyakan kredibilitas BPJS-Kesehatan.

2.3 Pelayanan dan Masalahnya


2.3.1 Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta
JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta
akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya
diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan Jenis
Pelayanan. Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh
Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta
akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulanshanya
diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
2.3.2 Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama
harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat
lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas

8
Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan
medis.
2.3.3 Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta,
BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa:
penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan
Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan
untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.
2.3.4 Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas
Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik
fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta
yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan
rekredensialing.
2.2.5 Masalah Pelayanan Kesehatan JKN
“Permasalahan akses JKN bagi warga miskin di Kota Malang”

Salah satu bentuk program pemerintah dalam penyelenggaraan


kesehatan nasional ialah dengan meluncurkan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Kemunculan JKN merupakan manifestasi dari adanya
Undang – Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Jaminan ini bertujuan menjamin agar peserta (masyarakat)
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Namun dalam implementasinya program jaminan JKN terdapat
beberapa permasalahan. Sejak ditetapkan pada 1 Januari 2014, implementasi
program JKN tidak berpihak pada warga miskin. Pada Oktober 2016, Malang
Corruption Watch (MCW) menemukan enam daftar masalah pada
pelaksanaan JKN di Kota Malang. Pertama, kebijakan anggaran kesehatan

9
belum mencapai minimal 10% APBD; kedua, lemahnya kontrol Dinas
Kesehatan (Dinkes) terhadap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas); ketiga, lemahnya pendataan terhadap penerima Penerima
Bantuan Iuran (PBI); keempat, infrastruktur kesehatan tidak memadai dan
tidak merata; kelima instansi terkait (Dinsos, Dinkes dan BPJS) tidak
maksimal memberikan sosialisasi kepada masyarakat; keenam, minimnya
akuntabilitas dan tranparansi terhadap anggaran kesehatan, sehingga
memunculkan potensi terjadinya korupsi.
Pendataan warga miskin yang belum terpadu menyebabkan masalah distribusi
dan informasi bagi PBI-KIS baik nasional maupun daerah. Akibatnya, warga
belum mendapatkan informasi mengenai keringanan biaya maupun subsidi
dari pemerintah. Adapun beberapa masalah antara lain:
1. Warga belum mengetahui keluarganya masuk dalam kepesertaan PBI.
Informasi yang tidak merata baik cara mengusulkan kepesertaan PBI
daerah dan nasional hingga tidak mengetahui dirinya masuk dalam
kepesertaan PBI-KIS. Kebijakan dalam lingkup lokal yakni pembuatan
surat pernyataan miskin di masyarakat telah menjadi solusi di Kota
Malang.
2. Masalah verifikasi dan validasi warga miskin seperti data berganda dan
data yang telah dihapus oleh Petugas Sosial Masyarakat (PSM) atau
pencacah data muncul kembali di tahun berikutnya.
3. Pemuktahiran data terpadu antara BPS dan Dinas Sosial perlu dilakukan.
Pada tahun 2015, pembentukan Tim Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) menjadi dasar pemutakhiran basis data terpadu
yang dilaksanakan oleh BPS dalam rangka pendataan program
perlindungan sosial, salah satunya berkaitan dengan penerima bantuan
iuran jaminan kesehatan nasional.
2.3.6 Dampak dari Permasalahan
1. Karenan layanan informasi tentang BPJS kesehatan, membuat
masyarakat tidak ingin mendaftar BPJS tersebut.  ada isu bahwa

10
pendaftaran sebagai peserta BPJS harus menggunakan e-KTP dan
kartu keluarga yang menyebabkan banyak warga Papua dan Papua
Barat tidak bisa mendaftar.Kurangnya sosialisasi menyebabkan
informasi yang beredar mengenai prosedur pendaftaran dan
pemanfaatan BPJS Kesehatan simpang siur dan membingungkan
(terjadi di Sulawesi, Medan, Padang (Sibusuk dan Sijunjung).
Akibatnya tidak jarang staf RS yang menerima komplain atau
kemarahan pasien, dituduh mempersulit, bahkan dituding mencari
keuntungan. Tidak sedikit juga masyarakat yang mendatangi RS
bukan untuk berobat melainkan untuk menanyakan mengenai BPJS,
sebagaimana terjadi di RSUD Embun Fatimah Batam.

2. Banyak pelayanan penunjang yang harus diberikan untuk penyakit


tertentu, misalnya untuk diagnosisi hepatitis harus didukung oleh
pemeriksaan anti HBc, anti HaV. Padahal belum tentu semua RS
memiliki fasilitas pemeriksaan ini, atau bahkan reagennya (biasanya
terjadi pada RS yang belum BLUD, sehingga pembelian bahan habis
pakai masih mengikuti sistem perencanaan yang rigid). Disisi lain,
kasus stroke cukup dengan Siriraj score dan pemeriksaan klinis tanpa
perlu didukung oleh hasil pemeriksaan CT scan. Ini membingungkan
bagi petugas di RS dan berpotensi menimbulkan error pada
diagnosa.Untuk pelayanan darah, PMI yang merupakan mitra RS
dalam menyediakan produk darah mengalami kebingungan harus
mengklaim ke RS atau BPJS.

3. Banyak pasien yang tidak bersedia mengunjungi PPK I sebelum ke


PPK II. Seharusnya petugas BPJS yang menjelaskan hal ini ke pasien,
namun kenyataan di lapangan petugas RS menghabiskan cukup
banyak waktu untuk menjelaskan hal ini kepada pasien.Ada faskes
primer yang bertetangga dengan faskes tersier (seperti beberapa
puskesmas dan klinik yang bertetangga dengan RSCM). Ini

11
menimbulkan kesan pelayanan rujukan jadi lebih birokratis karena
pasien dari faskes primer tetap harus ke PPK II yang lokasiny alebih
jauh. Namun perlu upaya yang cukup besar untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat mengenai sistem rujukan, dan ini seharusnya
menjadi tugas BPJS, bukan beban RS.Seharusnya ada masa transisi
yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara kaku.
Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya
sosialisasi mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang
telah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit
menjadi sia-sia karena RS terpaksa menolak pasien.

4. Infrastruktur Layanan masalah yang terkait dengan infrastruktur


antara lain masih banyak terjadi kekurangan tenaga (dokter, bidan,
perawat) diberbagai RS, tidak saja di luar Jawa melainkan juga di
Jawa. Ini dilaporkan terjadi di Serang, Tangerang dan Tangerang
Selatan. Ada banyak juga RS Kelas B yang belum memenuhi standar
jumlah ketenagaan, khususnya untuk dokter dan dokter spesialis. Ini
contohnya terjadi di Maluku. Pendaftaran dokter CPNS di DKI Jakarta
tanpa tes dikabarkan sepi peminat, sehingga upaya memenuhi
kebutuhan tenaga medis di provinsi ini belum mendatangkan hasil.

2.3.7 Solusi Permasalahan


Pemerintah menyatakan telah merumuskan formula jitu untuk
mengatasi defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut ada tiga strategi untuk
membantu masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan ini.
Strategi pertama, pemerintah akan menaikkan besaran premi yang
harus dibayarkan oleh peserta jaminan. Nominal kenaikan tersebut, kata
Wapres Jusuf Kalla, masih dalam penghitungan oleh tim teknis."Kita sudah

12
setuju untuk menaikkan iuran, berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim
teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang)
rendah, sekitar Rp23 ribu itu tidak sanggup sistem kita," kata JK di Kantor
Wapres Jakarta, Selasa 30 Juli 2019.
Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis,
yakni Rp25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp51.000 untuk peserta
jaminan kelas II dan tertinggi Rp80.000 untuk peserta jaminan kelas I.
Strategi kedua, lanjut JK, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah
menginstruksikan agar BPJS Kesehatan memperbaiki manajemen dengan
menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut.
Adapun strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan
wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah
daerah. Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung
BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali
kota masing-masing daerah.

2.4 Masalah Penyalahgunaan JKN


Menurut catatan ICW, korupsi di sektor obat-obatan mulai berkurang lantaran
pemberlakuan e-katalog atau katalog elektronik. Melalui katalog elektronik, harga
obat-obatan dapat dipantau secara terbuka dan langsung dari pelbagai penyedia
barang dan jasa pemerintah. Sistem ini dianggap cukup mumpuni untuk mencegah
terjadinya penggelembungan (mark up) anggaran.
Selain itu, sistem pemberlakuan tarif Indonesia Case Base Groups (Ina-CBGs)
juga dianggap dapat memperkecil ruang penggelembungan anggaran. Sebab, setiap
pasien yang sakit sudah dikelompokkan biaya pengobatannya hingga sembuh. Ina-
CBGs merupakan sistem tarif paket untuk pasien peserta JKN mulai dari proses
perawatan di rumah sakit hingga sembuh.
Namun, penelitian dari Perkumpulan Prakarsa menyebutkan, meski dua sistem
ini diterapkan masih terdapat celah potensi praktik menyimpang di dalamnya.
Pertama, adalah moral hazard yaitu distribusi informasi tidak seimbang
sehingga penyampaian informasi tidak sesuai dengan hak dan kewajiban para pihak.

13
Moral hazard juga dipahami sebagai perilaku tidak jujur dalam memberi informasi
kepada pihak lain yang membuat kontrak kerjasama untuk memenuhi keinginannya.
Berdasarkan penelitian Prakarsa, moral hazard terbesar dalam layanan
jaminan kesehatan justru dibuat pemerintah. Salah satu contohnya adalah penentuan
tarif layanan kesehatan di rumah sakit. Misalnya, perbedaan tarif cuci darah di RS
Swasta tipe C sebesar Rp 800 ribu lebih murah ketimbang RS negeri tipe A dengan
biaya tanggungan Rp 2,1 juta. Padahal, konsep pembayaran Ina-CBGs semestinya
mengikuti mekanisme pasar di mana pelayanan lebih bagus akan mendapat harga
yang lebih tinggi. Jadi hal ini tak bisa ditentukan sepihak oleh pemerintah.
Dengan kondisi seperti ini, RS Swasta yang merasa ada ketidakadilan dapat
menolak pasien cuci darah. Selain itu, untuk mendapatkan keuntungan RS juga bisa
menambah rawat inap. Misalnya, seharusnya pasien cukup dirawat 5 hari, bisa
ditambah menjadi 6 hari.
Moral hazard juga berlaku bagi pasien. Modusnya, peserta JKN
memanfaatkan polis asuransi untuk melakukan double claim. Potensi moral hazard
pada peserta JKN juga terjadi ketika mereka pergi ke fasilitas kesehatan tingkat
pratama (FKTP) atau klinik hanya untuk mendapatkan surat rujukan ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjut (FKTL). Peserta JKN juga dapat menyalahgunakan kartu
BPJS Kesehatan. Kartu BPJS Kesehatan sangat rentan digunakan oleh orang lain,
sebab tak ada foto atau identitas yang identik untuk merujuk kepada pemiliknya.
Kedua, fraud (kecurangan) adalah tindakan yang sengaja dilakukan peserta,
petugas BPJS Kesehatan, pemberi layanan kesehatan, atau penyedia obat dan alat
kesehatan. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan dari program jaminan
kesehatan melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan. Kecurangan yang
paling nyata adalah kasus korupsi dana kapitasi Bupati Subang pada 2014 silam.
Korupsi ini membuat pelayanan kesehatan kepada masyarakat tersendat.
2.4.1 Dampak yang Ditimbulkan
Kecurangan yang terjadi dalam program JKN sangat
merugikan, bukan saja terhadap BPJS Kesehatan dan pesertanya tapi
juga negara. Karena, sebagian peserta BPJS Kesehatan seperti

14
penerima bantuan iuran (PBI) dan pegawai negeri sipil (PNS) iurannya
dibayar oleh pemerintah yang anggarannya berasal dari APBN/APBD.

2.4.2 Solusi dari Masalah


1. penyelenggara fasilitas kesehatan tidak melayani peserta yang
menggunakan kartu orang lain termasuk petugas BPJS Kesehatan
jangan sampai mengaktifkan kartu orang yang tidak berhak.
2. BPJS Kesehatan menghadirkan inovasi baru dalam pelayanan
kesehatan menggunakan finger print (fitur sidik jari) pada Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
3. Mengeluarkan aturan pencegahan penyalahgunaan JKN
4. Pemerintah mengikut sertakan semua jajaran untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan JKN
5. Kendali Mutu dan Biaya. Adanya standar kendali mutu dan biaya
sangat membantu pencegahan fraud. Sebab dengan standar itu
maka para pihak terkait bisa membedakan mana tindakan yang
masuk kategori kecurangan (fraud) atau tidak. Jika kendali mutu
dan biaya berjalan baik otomatis bisa mencegah fraud.
6. Peran Masyarakat. Peran masyarakat juga dibutuhkan untuk
mencegah kecurangan dalam program JKN. Caranya, pengadu
menyampaikan secara tertulis kepada pimpinan fasilitas kesehatan,
dinas kesehatan Kabupaten/Kota dan atau Provinsi. Pengaduan
harus dilengkapi data identitas pengadu, kemudian nama dan
alamat instansi yang diduga melakukan tindakan kecurangan dan
alasan pengaduan.
7. Tindak kecurangan dapat diantisipasi dengan melihat kembali
regulasi yang telah ada, yaitu: BPJS Kesehatan Permenkes 36
Tahun 2015 karena setiap tindak kecurangan akan dikenakan
sanksi.

15
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Target Kepesertaan JKN dan Masalahnya
Sebagaimana diketahui kepesertaan JKN saat ini masih menjangkau 215 juta
jiwa atau baru menggapai 81% penduduk. Padahal, target pemerintah untuk
akhir 2019 ialah harus menjangkau sebanyak 257,5 juta jiwa atau 95%
penduduk. Untuk mencapai target tersebut, hal utama yang perlu dilaksanakan
pemerintah adalah menyelesaikan masalah pembiayaan, mulai dari
menuntaskan defisit arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT)
BPJS kesehatan, hingga penyesuaian kontribusi iuran sebagai konsekuensi
logis keberpihakan pemerintah pada investasi di bidang kesehatan.
2. Pembiayaan
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara
teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program
Jaminan.
3. Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu
berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans
(manfaat nonmedis).
4. Masalah Pelayanan Kesehatan JKN
Sejak ditetapkan pada 1 Januari 2014, implementasi program JKN tidak
berpihak pada warga miskin. Pada Oktober 2016, Malang Corruption Watch
(MCW) menemukan enam daftar masalah pada pelaksanaan JKN di Kota
Malang. Pertama, kebijakan anggaran kesehatan belum mencapai minimal
10% APBD; kedua, lemahnya kontrol Dinas Kesehatan (Dinkes) terhadap
unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas); ketiga, lemahnya
pendataan terhadap penerima Penerima Bantuan Iuran (PBI); keempat,
infrastruktur kesehatan tidak memadai dan tidak merata; kelima instansi

16
terkait (Dinsos, Dinkes dan BPJS) tidak maksimal memberikan sosialisasi
kepada masyarakat; keenam, minimnya akuntabilitas dan tranparansi terhadap
anggaran kesehatan, sehingga memunculkan potensi terjadinya korupsi.
5. Masalah Penyalahgunaan JKN
Salah satu contohnya adalah penentuan tarif layanan kesehatan di rumah sakit.
Misalnya, perbedaan tarif cuci darah di RS. Peserta JKN memanfaatkan polis
asuransi untuk melakukan double claim. Peserta JKN juga dapat menyalah
gunakan kartu BPJS Kesehatan. Kartu BPJS Kesehatan sangat rentan
digunakan oleh orang lain, sebab tak ada foto atau identitas yang identik untuk
merujuk kepada pemiliknya.

3.2 Saran
Dengan mempelajari ini, kita dapat lebih mengetahui dan memahami
mengenai target kepesertaan JKN dan masalahnya, pembiayaan, pelayanan,
masalah pelayanan hingga masalah penyalahgunaan JKN. Hendaknya program
JKN ini bisa terealisasi dengan baik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
program JKN dapat diatasi dengan baik oleh pemerintah sehingga implementasi
program JKN dapat menjangkau seluruh penduduk Indonesia dan benar terasa
nyata oleh warga miskin.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat M, Hum S, Sos S. “ Tugas Akhir Isbd ” Oleh : Difa Trevina Kinanti Dosen :
Management Dual Degree.

Analysis PI. “ Permasalahan Akses Jaminan Kesehatan Bagi Warga Miskin di Kota
Malang ” Telaah Kritis. 2017;(42).

Soraya, Novika. 2019. Target Kepesertaan JKN dan masalahnya. Alinea id.

Hesti. Mengenali Modus Penyelewengan Layanan Jaminan Kesehatan.


Independent.id [Internet]. 2017; Available from:
https://independen.id/read/data/436/mengenali-modus-penyelewengan-
layanan-jaminan-kesehatan/

Khariza, Hubaib Alif. 2015. Program Jaminan Kesehatan Nasional: Studi


Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Keberhasilan
Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik. Vol 3 (1).

Fitriami E. Manfaat, Masalah dan Solusi dalam Pelayanan BPJS di Klinik


Pratama. Kompasiana [Internet]. 2018; Available from:
https://www.kompasiana.com/mkepumy8/5b6982ca5a676f047b5a2be5/manfaa
t-masalah-dan-solusi-dalam-pelayanan-bpjs-di-klinik-pratama?page=all

Laing H. Layanan Finger Print Jadi Solusi Pencegahan Penyalahgunaan Kartu


Peserta JKN-KIS. rri.co.id [Internet]. 2019; Available from:
https://rri.co.id/sorong/daerah/690272/layanan-finger-print-jadi-solusi-
pencegahan-penyalahgunaan-kartu-peserta-jkn-kis

Desi AKS. Begini Dampak Program JKN-KIS Bagi Perekonomian Indonesia.


2017; Available from:
https://finansial.bisnis.com/read/20170815/215/681359/begini-dampak-
program-jkn-kis-bagi-perekonomian-indonesia

Tri, Rahma. 2019. Ini 3 Strategi untuk Defisit BPJS Kesehatan.

Desi AKS. Begini Dampak Program JKN-KIS Bagi Perekonomian Indonesia.


2017;Availablefrom:
https://finansial.bisnis.com/read/20170815/215/681359/begini-dampak-
program-jkn-kis-bagi-perekonomian-indonesia

Anda mungkin juga menyukai