Anda di halaman 1dari 58

SISTEM MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH :

ESTHER SANGKOY
106021920016

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KLABAT
AIRMADIDI 2020
Pemeriksaan Fisik Muskuloskeletal

Tidak ada peralatan khusus yang diperlukan bagi pemeriksaan system musculoskeletal.
Tujuan pemeriksaan musculoskeletal oleh ahli penyakit dalam adalah sebagai pemeriksaan
penyaring untuk mengetahui adanya gangguan fungsional pada system musculoskeletal.
Pemeriksaan ini seharusnya hanya memakan waktu beberapa menit dan harus menjadi bagian
pemeriksaan rutin semua pasien. Jika menemukan keainan atau pasien mempunyai gejala
spesifik yang berkaitan dengan sendi tertentu, pemeriksaan yang lebih rinci di daerah itu perlu
dilakukan. Uraian lengkap mengenai pemeriksaan tiap sendi diberikan setelah pembahasan
mengenai pemeriksaan penyaring. (Noor, 2012).

Referensi:
Noor, H.Z (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

1. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring harus memberikan perhatian khusus kepada hal-hal berikut:
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Rentang gerak pasif dan aktif
d. Kekuatan otot
e. Fungsi terpadu
1) Prinsip umum
Selama inspeksi, setiap asimetri harus dicatat. Nodulus, pelayuan, massa, atau deformitas
dapat menjadi penyebab tidak adanya kesimetrisan. Apakah ada tanda – tanda peradangan?
Bengkak, hangat, kemerahan, atau nyeri tekan mengarah kepada peradangan. Untuk
menentukan perbedaan suhu, pakailah punggung tangan anda untuk membandingkan satu
sisi dengan sisi yang lainnya.
Palpasi mungkin memperhatikan daerah nyeri tekan atau diskontinuitas suatu tulang.
Apakah ada krepitasi? Krepitasi adalah sensasi berderak yang teraba dan sering ditemukan
pada tulang rawan sendi yang menjadi kasar.
Penilaian rentang gerak sendi tertentu dilakukan setelah itu. Anda harus menyadari sendi
yang meradang atau arthritis mungkin nyeri. Gerakkan sendi ini dengan perlahan-lahan.
Fungsi otot dan fungsi terpadu biasanya diperiksa selama pemeriksaan neurologi, dan topic
ini dibicarakan dalam bab berikutnya.
2. Pengkajian Sistem Otot
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan merubah posisi, kekuatan otot dan
koordinasikan ukuran otot serta ukuran masing-masing otot. Kelemahan otot menunjukkan
polineuropati, gangguan elektrolit (kalsium dan kalium), miastenia grafis, poliomyelitis,
distrofi otot. Dengan palpasi otot saat ekstremitas relaks digerakkan secara pasif akan
terasa tonus otot. Mengkaji kekuatan otot dilakukan dengan palpasi otot dan ekstremitas
yang digerakkan secara pasif dan rasakan tonus otot. Ukuran kekuatan otot dengan gradasi
dan metode berikut :
Priharjo R. (1996),
Skala. Kategori Reeves (2001) Berger, dan Williams
(1999)
0 Tidak ada Tidak terdapat kontraktilitas 0 % Paralisis total
1 Sedikit. Ada bukti sedikit 10 %
Tidak ada gerakan,
kontraktilitas tanpa adanya teraba/terlihat adanya
gerakan sendi kontraksi otot
2 Buruk. ROM (rentang gerak)
25 % Gerakan otot penuh
komplit dengan batasan menentang gravitasi,
gravitasi dengan sokongan
3 Sedang. ROM komplit terhadap 50 % Gerakan normal
gravitasi menentang gravitasi
4 Baik. ROM komplit terhadap 75 % Gerakan normal penuh
gravitasi dengan beberapa menentang gravitasi
resisten dengan sedikit
penahanan.
5 Normal. ROM yang komplit terhadap 100 % Gerakan normal penuh,
gravitasi dengan resisten menentang gravitasi
penuh dengan penahanan penuh

3. Pemeriksaan Berjalan
Bagian pertama pemeriksaan penyaring terdiri dari inspeksi gaya gaya berjalan sikap
tubuh. Mintalah pasien untuk membuka pakaian dan hanya mengenakan pakaian dalam
saja, dan berjalan dengan kaki telanjang untuk menentukan kelainan gaya berjalan.
Mintalah pasien untuk berjalan menjauhi anada, kemudian mendekati anda dengan berjalan
di ujung jari kaki, menjauhi anda dengan berjalan diatas tumit, dan akhirnya kembali
kepada anda dengan gaya berjalan dua – dua (tandem). Jika ada kesulitan dalam gaya
berjalan, harus dilakukan perubahan dalam tindakan pemeriksaan ini.
4. Pemeriksaan Tulang Belakang
Kurvatura normal tulang belakang konveks pada bagian dada dan konkaf pada sepanjang
leher dan pinggang. Deformitas tulang belakang yang sering terjadi meliputi : scoliosis
(deviasi kurvatura lateral tulang belakang), kifosis (kenaikan kurvatura lateral tulang
belakang bagian dada), lordosis ( membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
yang berlebihan). Kifosis terjadi pada pasien osteoporosis pada pasien neuromuscular.
Skoliosis terjadi congenital, idiopatrik (tidak diketahui penyebabnya) atau akibat kerusakan
otot paraspinal misalnya pada poliomyelitis. Lordosis dijumpai pada penderita kehamilan
karena menyesuaikan postur tubuhnya akibat perubahan pusat gaya beratnya. 
Pemeriksaan kesimetrisan dilakukan dengan memeriksa kurvatura tulang belakang dan
kesimetrisan batang tubuh dari pandangan anterior, posterior dan lateral. Dengan cara
berdiri di belakang pasien, dan memperhatikan perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka.
Lipatan bokong normalnya simetris. Simetri bahu dan pinggul serta kelurusan tulang
belakang diperiksa dengan pasien berdiri tegak,  dan membungkuk ke depan (fleksi).
Skoliosis ditandai dengan  abnormal kurvatura lateral tulang belakang, bahu yang tidak
sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetri dan scapula yang yang menonjol, akan lebih
jelas dengan uji membungkuk kedepan. Lansia akan mengalami kehilangan tinggi badan
karena hilangnya tulang rawan dan tulang belakang.

5. Pemeriksaan Sendi Temporomandibular


Pasien dengan gangguan sendi temporomandibular (TMJ) mungkin mengeluh nyeri rahang
unilateral atau bilateral. Nyeri memburuk dipagi hari dan setelah makan. Pasien mungkin
mengeluh “bunyi klik’ pada rahangnya.
Untuk memeriksa sendi, letakkan jari telunjuknya didepan tragus dan menyuruh pasien
untuk membuka dan menutup mulutnya dengan perlahan.
6. Pemeriksaan Bahu
Inspeksi bahi untuk melihat adanya defrmitas, pelayuan, atau asimetri. Bahu harus
dipalpasi untuk menemukan daerah nyeri tekan setempat. Rentang gerak untuk abduksi,
aduksi, rtasi eksternal dan internal, dan fleksi diperiksa dan dibandingkan dengan sisi
lainnya. Catatlah kalau ada nyeri.
7. Pemeriksaan Siku
Palpasi siku untuk mengetahui adanya pembengkakan, massa, nyeri tekan atau nodulus.
Untuk memeriksa pronasi dan supinasi siku harus difleksikan 90 0 dan diletakan diatas
meja. Tennis elbow, yang dikenal sebagai epikondilitis lateral, merupakan penyakit yang
lazim dijumpai dan ditandai dengan nyeri di daerah epikondilus lateral humerus.
8. Pemeriksaan Pergelangan Tangan
Palpasi sendi pergelangan tangan di antar ibu jari dan jari telunjuk, dengan memperhatikan
adanya nyeri tekan, bengkak, atau kemerahan.
Kalau mencurigai diagnosis carpal tunnel syndrome, ketukan tajam atau tekanan langsung
diatas nervus medianus dapat menyebabkan timbulnya parestesi seperti pada carpal tunnel
syndrome. Tanda ini disebut tanda Tinel.
9. Pemeriksaan Tangan
Palpasi sendi metakarpofalangeal dan perhatikan setiap pembengkokan, kemerahan, nyeri
tekan.
10. Pemeriksaan Pinggul
Pemeriksaan dilakukan dengan pasien berdiri dan berbaring telentang.
Inspeksi puinggul dan gaya berjalan telah diuraikan diatas. Pasien diminta untuk berdiri di
atas tungkai yang baik, maka akan memperlihatkan pelvis pada sisi yang berlawanan
terangkat naik, dan jika buruk maka pelvis sisi yang berlawanan akan turun.
11. Pemeriksaan Lutut
Pemeriksaan lutut dilakukan pada pasien dalam posisi berdiri dan berbaring telentang.
Ketika berdiri, perhatikan adanya deformitas varus atau valgus. Perhatikan apakah ada
pembengkakan lutut. Tanda dini pembengkakan sendi lutut adalah hilangnya cekungan
ringan pada sisi lateral patella.
Pasien kemudian diminta berbaring telentang, patella dipalpasi dengan posisi ekstensi
untuk melihat adanya nyeri tekan. Dengan menekan ke kvndilus femoralis, mungkin akan
timbul nyeri. Pemeriksaan efusi sendi lutut dilakukan dengan menekan cairan tadi keluar
dari kantng suprapatela kebawah dan dibelakang patella.

Referensi :
Noor, H.Z (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
PRINSIP DASAR YANG MELANDASI ETIK LEGAL

Prinsip dasar yang melandasi etik legal menurut (Kumiyatun, 2015) yaitu:
1. Otonomi
Adalah hak untuk membuat keputusan mandiri. Perawat yang mematuhi prinsip ini
menyadari bahwa setiap klien unik, berhak menjadi dirinya sendiri dan berhak memilih
tujuan pribadinya. Orang memiliki “otonomi dalam” jika mereka memiliki kemampuan
untuk menentukan pilihan. “otonomi luar” jika pilihan mereka tidak terbatas atau
ditentukan oleh pihak lain.
2. Beneficient (berbuat baik)
Perawat wajib untuk berbuat baik, yakni melakukan tindakan yang menguntungkan klien
dan orang yang mendukung mereka. Namun berbuat baik juga dapat menimbulkan
resiko bahaya. Sebagai contoh, perawat dapat menganjurkan klien mengenai program
latihan fisik berat untuk meningkatkan kesehatan umum, tetapi seharusnya tidak
memberi anjuran tersebut jika klien beresiko mengalami serangan jantung.
3. Keadilan
Perawat sering dihadapkan pada keputusan yang menuntut rasa keadilan. Sebagai
contoh, seorang perawat yang mengadakan kunjungan rumah mengetahui pasiennya
dalam keadaan tertekan dan menangis dan tahu bahwa ia dapat tinggal selama 30 menit
untuk berbincang. Namun tindakan itu dapat mengambil jatah waktu untuk klien
berikutnya, yang menyandang diabetes dan perlu diobservasi serta diberi penyuluhan
perawat perlu menimbang fakta yang ada secara cermat agar dapat membagi waktunya
secara adil bagi klien-kliennya.

4. Tidak merugikan
Kewajiban untuk “tidak membahayakan”. Meski tampak mudah, pada kenyataanya
prinsip ini sulit dilakukan. Bahaya dapat berarti sengaja menimbulkan bahaya, membuat
orang lain beresiko terdapat bahaya, dan secara tidak sengaja menyebabkan bahaya.
Dalam keperawatan, bahaya yang disengaja tidak berterimal. Namun, membuat
seseorang beresiko mengalami bahaya memiliki beragam sisi. Seorang klien mungkin
beresiko mengalami bahaya sebagai konsekuensi yang diketahui sebelumnya dari suatu
intervensi keperawatan yang bertujuan membantu klien.
5. Kejujuran
Berarti mengatakan yang sebenarnya. Meski tampak mudah, pada praktiknya pilihan
yang ada tidak selalu jelas. Apakah perawat harus mengatakan hal yang sebenarnya
meski hal tersebut diketahui dapat menimbulkan bahaya? Apakah perawat harus
berbohong bila itu diketahui dapat meredakan kecemasan dan ketakutan? Bergohong
kepada orang yang sakit atau sekarat jarang dibenarkan. Hilangnya rasa percaya pada
perawat dan kecemasan akibat tidak mengetahui kebenaran, misalnya biasanya lebih
banyak merugikan.
6. Menepati janji
Berarti patuh terhadap kesepakatan dan janji. Berdasarkan posisi mereka sebagai
pemberi layanan profesional, perawat bertanggung jawab kepada klien, atasan,
pemerintah, dan masyarakat, serta diri sendiri. Perawat sering membuat janji seperti,
“saya akan kembali dengan obat untuk nyeri anda”. Atau “saya akan mencarikannya
untuk anda.” Klien menganggap serius janji ini dan perawat juga harus demikian.
7. Rahasia
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8. Tanggung jawab
Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam
melaksanaan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan
jika menerima atau mengalihtugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan
keperawatan.
KASUS 1
Seorang laki-laki dirawat karena kecelakaan lalu lintas dan mengalami fraktur cruris dextra.
Dokter merencanakan akan melakukan operasi pada pasien. Pasien dan keluarga tampak
bingung. Keluarga menyampaikan kepada perawat kalau ingin membawa pasien ke pengobatan
alternatif saja karena keterbatasan biaya.
N KOMPONEN ETIK
TINDAKAN PERAWAT
O LEGAL

1 Otonomi Perawat menjelaskan tentang intervensi yang akan


dilakukan misalnya perawat akan menjelaskan
tindakan untuk melakukan rencana operasi pada pasien
karena mengalami fraktur cruris dextra,perawat
memberikan kesempatan kepada pasien maupun
keluarga untuk memilih tindakan tersebut mau
diterima atau tidak. Perawat juga harus menghargai
keputusan keluarga pasien untuk melakukan
pengobatan alternatif karena ketiadaan biaya

2 Beneficience ( berbuat baik) Melakukan tindakan sepenuh hati tanpa paksaan dari
siapapun. Dalam hal ini dokter sudah merencanakan
tindakan operasi yang akan dilakukan untuk membantu
mengangani masalah fraktur yang dialami pasien.
Perawat harusnya bisa memberikan saran lain untuk
masalah pembiayaan operasi, dan tidak menyetujui
pasien yang akan dibawa ke pengobatan alternatif
karena pengobatan alternatif bisa membuat kondisi
pasien bertambah parah, dalam hal ini tulang patah
mungkin tidak bisa menyatu secara sempurna.

3 Keadilan Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan


dengan tidak membeda-bedakan pasien

4 Tidak merugikan Perawat tidak boleh merugikan klien. Dalam hal ini
misalnya menjelaskan rencana tindakan operasi yang
akan dilakukan kepada pasien untuk mengatasi fraktur
yang terjadi pada pasien sehinngga bisa di tangani
dengan cepat.

5 Kejujuran Perawat menjelaskan tentang intervensi yang


dilakukan saat ini pada keluarganya dengan tidak
menutupi hal apapun. Dalam kasus ini perawat
memberikan penjelasan mengenai rencana tindakan
operasi yang akan dilakukan

6 Menepati janji Perawat menepati janji yang sudah dibuat dengan klien

7 Rahasia Perawat tidak memberitahukan tentang penyakit dan


segala tindakan keperawatan yang diterima oleh pasien
ini kepada keluarga atau siapapun yang datang
mengunjunginya

8 Tanggung jawab Perawat bertanggung jawab penuh dalam memberikan


tindakan keperawatan kepada pasien sesuai dengan
kondisi yang dialami oleh pasien ini selama dalam
masa perawatan.

Hal yang paling menonjol pada kasus ini adalah


1. Otonomi:
Perawat menjelaskan tentang intervensi yang akan dilakukan misalnya perawat akan
menjelaskan tindakan untuk melakukan rencana operasi pada pasien karena
mengalami fraktur cruris dextra,perawat memberikan kesempatak kepada pasien
maupun keluarga untuk memilih tindakan tersebut mau diterima atau tidak
2. Berbuat baik:
Melakukan tindakan sepenuh hati tanpa paksaan dari siapapun.dalam hal ini dokter
sudah merencanakan tindakan operasi yang akan dilakukan untuk membantu
mengangani masalah pasien sehingga mendapatkan pelayanan kesehatan.
Referensi:
Kumiyatun, Loghe, K., Edi, M. (2015) Pedoman Etik Legal Keperawatan Sistem
Muskuloskeletal. Semarang.
FRAKTUR TERBUKA

DEFINISI

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebebkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur terbuka merupakan kondisi cidera serius patah tulang dimana terdapat hubungan fragmen
fraktur dengan dunia luar, kondisi ini sangatlah membahayakan karena dapat menginfeksi daerah
yang mengalami fraktur.
Referensi:
Amin, Hardi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 2. MediAction: Jogjakarta.
Wikananda, Gede. (2019). Gambaran Karateristik Fraktur Terbuka Shaft Tibia Dengan Kasus
Trauma Pada Orang Dewasa di RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2017-Desember
2017. Jurnal Medika Udayana, Vol. 8 No.9 ISSN 2597-8012

ETIOLOGI
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan menjadi:
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
Faktor Resiko
Osteopenia, osteogenesis imperfekta, dan keadaan patologis: osteoporosis serta neoplasma.
Menopause dan malnutrisi juga dapat menyebabkan fraktur.

Referensi:
Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta :
Nuha Medika
PATOFISIOLOGI

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014)


Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
temuan radiologis.

Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:


a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur.
Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.
Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur
serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut
dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan
keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus ,
meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi
pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera
saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen
fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait.
Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal
dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat
menyebabkan syok.

Referensi:
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah - Manajemen Klinis Untuk Hasil
Yang Diharapkan (8 Ed., Vol. 1). Singapura: Elsevier.

KOMPLIKASI

Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :


Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia klien, adanya
masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti
warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat menyebabkan cedera
saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan
pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya
keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan fasia yang keras
dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang
terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen
yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi
kebutuhan metabolic jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu
kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara
progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran
kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia
yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,
menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan peningkatan aliran
darah yang menyebabakn peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus
peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi
paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi kesemutanatau
rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma kompartemen yang tak
tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-menerus menyebabkan iskemia otot kemudian
perlahan diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen
setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami
deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien fraktur. Sindroma emboli
lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan
panggul.

Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:


e. Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi dapat terjadi dan dapat
menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif
harus dilakukan semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan resiko kekauan
sendi.
f. Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di proksimal dari leher femur.
Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya
nekrosis vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah terjadinya
fraktur.
g. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak tepat sebagai akibat dari
tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh
beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan
digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi fraktur.
h. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-benar berhenti,
mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti
infeksi.
i. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah cedera awal dan setelah
penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak
cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.
j. Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur. Kehilangan tulang karena cedera
maupun pembedahan meningkatkan resiko pasien terhadap jenis penyatuan fraktur.
k. Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma disfungsi dan penggunaan yang
salah yang disertai nyeri dan pembengkakan tungkai yang sakit

Referensi:
Black, J., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah - Manajemen Klinis Untuk Hasil
Yang Diharapkan (8 Ed., Vol. 1). Singapura: Elsevier.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada perdarahan selain
itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon terhadap peradangan.

Referensi:
Istianah, Umi. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

PENATALAKSANAAN
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi semula dan
mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang.
1) Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.
2) Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang
tungkai bawah tanpa dislokasi.
3) Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya
dilakukan pada patah tulang radius distal.
4) Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal
ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips.
5) Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar.
6) Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif.
7) Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang biasa disebut
dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen
patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat, 2010).

Referensi:
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Menurut (Nurarif dan Hardhi, 2015)

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan
kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap
ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Data Subjektif
1) Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi pada
daerah fraktur tersebut
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan, degeneratif
dan pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan
ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis
atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular
2) Pola-pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu
juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang
pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
l) Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
b. Data obyektif
1) keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
3) Pemeriksaan fisik :
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak
ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien
yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
k) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
Referensi
Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda
Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional . Yogyakarta : Mediaction
Jogja.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Diagnosa keperawatan yang muncul pada
pasien dengan post op fraktur meliputi :
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma, prosedur operasi)
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang,
penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi, gangguan musculoskeletal.
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas, faktor
mekanis(penekanan pada tonjolan tulang)
e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
f. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive, peningkatan paparan
organismer pathogen lingkungan
NURSING CARE PLAN
Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*

1. Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan umum pasien
pencedera fisik (trauma, keperawatan selama 6 jam 2. Pertahankan imobilisasi 2. Menghilangkan nyeri dan mencegah
prosedur operasi) diharapkan nyeri berkurang bagian yang sakit keselahan posisi tulang yang cedera
dengan kriteria hasil : 3. Evaluasi keluhan 3. Mempengaruhi pilihan/keefektifan
1. Menyatakan nyeri nyeri/ketidaknyamanan, intevensi. Tingkat ansietas dapat
berkurang/hilang perhatikan lokasi dan mempengaruhi persepsi atau reaksi
2. Menunjukan tindakan santai, karakteristik termasuk terhadap nyeri
maupun berpartisipasi dalam intensitas (skala 1-10) 4. Dapat membantu mengurangi nyeri dan
aktivitas/tidur/istirahat dengan 4. Ajarkan teknik meningkatkan relaksasi
tepat nonfarmakologis 5. Sebagai proses medika mentosa
3. Menunjukan penggunaan 5. Kolaborasi pemberian obat
keterampilan relaksasi aktifitas
terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individual

2. Hambatan mobilitas fisik b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan pelaksanaan 1. Memfokuskan perhatian, meningkatkan
kerusakan integritas struktur keperawatan selama 6 jam dengan aktivitas rekreasi terapeutik rasa kntrol diri/haga diri, membantu
tulang (fraktur post ORIF) kriteria hasil : 2. Bantu latihan rentang gerak menurunkan isolasi social
- Klien dapat pasif aktif pada ekstermitas 2. Meningkatkan sirkulasi darah
meningkatkan/mempertahanka yang sakit maupun yang sehat musculoskeletal, mempertahankan tonus
n mobilitas pada tingkat paling sesuai keadaan klien otot, mempertahankan gerak sendi,
tinggi yang mungkin dapat 3. Bantu dan dorong perawatan mencegah kontraktur/atrofi dan
mempertahankan posisi diri mencegah reabsorbsi kalsium karena
fungsional meingkatkan 4. Ubah posisi secara periodic imobilisasi
kekuatan/fungsi yang sakit dan sesuai keadaan klien 3. Untuk memotivasi klien dalam perawatan
mengkompensasi bagian tubuh 5. Kolaborasi pelaksanaan diri dan meningkatkan perawatan diri
- Menunjukan tehknik yang fisioterapi sesuai indikasi secara mandiri
memampukan melakukan 6. Kolaborasi dengan dokter 4. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
aktivitas dalam pemberian pernapasan (decubitus, atelectasis,
obat/suplemen pneumonia)
Setelah dilakukan tindakan 5. Kerjasama dengan fisioterapi perlu untuk
keperawatan 1x6 jam diharapkan menyusun program aktivitas fisik secara
mampu melakukan aktivitas individual
dengan kriteria hasil: 6. Suplemen yang mengandung vitamin C,
-frekuensi nadi sedang, vitamin D dan kalsium berguna untuk
-keluhan lelah menurun membantu pertumbuhan dan
- tekanan darah membaik memperkuat tulang
Hasil lab dalam batas normal

3. Intoleransi aktivitas b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi gangguan fungsi 1. Membantu menentukan derajat kerusakan
ketidakseimbangan antara keperawatan selama 6 jam dengan tubuh dan kesulitas terhadap keadaan yang di
suplai dan kebutuhan kriteria hasil : alami.
oksigen, tirah baring, 1. Integritas kulit yang baik 2. Monitor lokasi dan
kelemahan, imobilitas bisa dipertahankan ketidaknyamanan selama 2. Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan
2. Perfusi jaringan baik melakukan aktivitas. dapat memberikan informasi mengenai
3. menunjukan pemahaman 3. Anjurkan tirah baring. pemulihan
dalam proses perbaikan
kulit dan mencegah 4. Anjurkan melakukan aktivitas 3. Meningkatkan kenyamanan istirahat serta
terjadinya cedera terulang secara bertahap. dukungan fisiologis/psikologis
4. mampu melindungi kulit
dan mempertahankan 5. Kolaborasi dengan ahli gizi 4. Meminimalkan atrofi otot, menigkatkan
kelembapan kulit dan tentang cara meningkatkan sirkulasi, mencegah terjadinya kontraktur
perawatan alami. asupan makanan.
5. Mempercepat proses penyembuhan

4. Gangguan intergritas kulit Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk 1. Meminimalisir adanya lecet / luka
b/d penurunan mobilitas, faktor keperawatan selama 6 jam menggunakan pakaian 2. Menandakan area sirkulasi buruk yang
mekanis(penekanan pada diharapkan gangguan integritas longgar dapat menimbulkan infeksi
tonjolan tulang) kulit teratasi dengan kriteria hasil : 2. Monitor kulit akan adanya 3. Nutrisi sangat berpengaruh dalam proses
-Elastisitas meningkat kemerahan penyembuhan luka salah satunya nutrisi
-Kerusakan jaringan menurun 3. Monitor status nutrisi pasien dengan kaya protein
-Nyeri menurun 4. Observasi luka 4. Mengetahui sejauhmana perkembangan
-Suhu kulit membaik 5. Ajarkan keluarga tentang luka, mempermudah melakukan tindakan
-Tekstur membaik perawatan luka yang tepat
6. Kolaborasi ahli gizi pemberian 5. Tingkat pengetahuan tentang cara
diet perawatan luka yang dilakukan dirumah
sakit dan dirumah akan membantu proses
penyembuhan dan meminimalisir
terjadinya keparahan pada luka
6. Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan
penyesuaian diit untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien

5. Ansietas b/d krisis Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan pendekatan yang 1. Agar klien menyadari sumber-sumber
situasional keperawatan selama 6 jam tenang dan meyakinkan yang ada disekitarnya sehingga
diharapkan ansietas menurun 2. Kaji dan dokumentasikan mendukung dia untuk berkomunikasi dan
dengan kriteria hasil: tingkat kecemasan pasien Menurunkan stimulasi yang berlebihan
- Verbalisasi khawatir akibat 3. Beri dorongan kepada pasien dapat mengurangi kecemasan
kondisi yang dihadapi menurun untuk mengungkapkan secara 2. Untuk memberikan intervensi yang tepat
- Perilaku gelisah menurun verbal pikiran dan perasaaan 3. Pemahaman tentang perasaan normal
- Verbalisasi kebingungan untuk mengeksternalisasikan dapat membantu klien meningkatkan
menurun ansietas beberapa perasaan kontrol emosi
- Perilaku tegang menurun 4. Observasi tanda-tanda vital 4. Mengetahui respon fisiologi yang
- TTV dalam batas normal 5. Jelaskan semua prosedur dan ditimbulkan akibat dari kecemasan
- Pola tidur membaik apa yang dirasakan selama 5. Pasien mampu mengerti dan memahami
prosedur tindakan yang dilakukan dan
6. Temani pasien untuk 6. Dukungan dari beberapa orang disekitar
memberikan keamanan dan dapat mendukung dia untuk berkomunisai
mengurangi takut dan mengurangi kecemasan
7. Libatkan keluarga untuk 7. Peran serta keluarga sagat membantu
mendampingi klien dalam menentukan koping
8. Instruksikan pada pasien 8. Dapat memberikan rasa nyaman
untuk menggunakan tehnik
relaksasi

6. Resiko infeksi b/d efek Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor vital sign dan kaji 1. Adanya peningkatan suhu menunjukkan
prosedur invasive, keperawatan selama 6 jam adanya peningkatan suhu adanya tanda-tanda infeksi
peningkatan paparan diharapkan resiko infeksi dapat 2. Pantau tanda dan gejala 2. Untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi
organismer pathogen teratasi dengan kriteria hasil: infeksi 3. Angka leukosit yang tinggi menandakan
lingkungan 3. Pantau hasil laboratorium adanya tanda-tanda infeksi
-Terbebas dari tanda dan gejala
4. Instruksikan untuk menjaga 4. Mencegah terjadinya infeksi
infeksi
hygiene personal untuk 5. Untuk mencegah kontaminasi kuman
-Memperlihatkan hygiene personal
melindungi tubuh terhadap masuk ke luka insisi sehingga menurunkan
yang adekuat
infeksi resiko terjadinya infeksi
5. Lakukan prinsip steril dalam 6. Pemberian obat membantu mempercepat
perawatan luka proses penyembuhan luka luka terhindar
6. Kolaborasi dengan dokter dari mikroorganisme sehingga
dalam pemberian terapi mempercepat proses penyembuhan luka
antibiotik

Referensi
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
FRAKTUR TERTUTUP

Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Referensi :
Nurarif A H, Kusuma H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis
dan NANDA NIC NOC jilid 2, Yogyakarta : Mediaction publishing

Post Operative Closed Fracture adalah pasca operasi patah tulang tertutup atau patah
tulang yang tidak menyebabkan robeknya kulit.
Referensi :
Smeltzer, S. C. & Bare, B.G. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal - Bedah . Edisi 8.
Jakarta: EGC

Etiologi
Menurut (Aimul, 2008, di kutip oleh Fikriamrullah,2013).
a. Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran faktor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
d. Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh melelehnya
struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat disebabkan oleh
kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kalsium, fosfor, ferum. Factor lain yang
menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses penyembuhan yang lambat
pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat keganasan

Referensi :
Fikriamrullah. (2013). Laporan Pendahuluan Fraktur (Patofisiologi, Defenisi, Etiologi,
Klasifikasi, Manifestasi Klinik

Klasifikasi Fraktur
Menurut Chairuddin (2007), Fraktur diklasifikasikan, sebagai berikut:
Klasifikasi Etiologi :
1) Fraktur traumatic
2) Fraktur patologis terjadi pada tulang adanya kelainan / penyakit yang menyebabkan
kelemahan pada tulang ( infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara
spontan atau akibat terjadi trauma jaringan.
3) Fraktur stres terjadi karena adanya stres yang kecil yang berulang-ulang pada daerah tulang
yang menopang berat badan. Fraktur stres jarang sekali di temukan pada anggota gerak atas.
Klasifikasi Klinis :
1) Fraktur tertutup (closed) bila tidak terdapat hubungan antar fragmen tulang dengan dunia
luar.
2) Fraktur terbuka (open) bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan di kulit.
3) Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union, nanunion, infeksi tulang.

Referensi :
Rasjad, Chairuddin,(2007). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi Edisi Ketiga. Jakarta : PT.Yarsif
Watampone (Anggota IKAPI)

Manifestasi Klinis
Menurut Nurarif (2015), tanda dan gejala dari fraktur, antara lain :
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak.
b. Nyeri pembengkakan.
c. Terdapat trauma ( kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh di kamar mandi
pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)
d. Gangguan fungsional anggota gerak
e. Deformitas.
f. Kelainan gerak.
g. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada daerah fraktur.
h. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

Referensi :
Nurarif A H, Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Dan NANDA NIC NOC Jilid 2, Yogyakarta : Mediaction publishing.

E. Komplikasi
a. Komplikasi awal
Berdasarkan Brunner dan Suddarth (2012), beberapa komplikasi awal yang dapat terjadi pada
kondisi fraktur, antara lain :
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai denga tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Compartment Syndrome
Compartment Syndrome merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena selsel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, takipnea, demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis.
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

b. Komplikasi Dalam Waktu Lama


Beberapa komplikasi dalam waktu lama yang dapat terjadi pada fraktur, antara lain (Brunner
dan Suddart, 2012) :
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
2) Nonunion
Nonunion, merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthroris. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan
dan reimobilisasi yang baik.
Pemeriksaan Penunjang :
a. X-ray menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b. Scan tulang: memperlihatkan fraktur yang lebih jelas, mengidentifikasi letak jaringan lunak.
c. Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan.
d. Hitung darah lengkap : Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagolis : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah tranfusi atau cedera hati
(Nurarif dan Kusuma, 2015).

Referensi :
Nurarif A H, Kusuma H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis
dan NANDA NIC NOC jilid 2, Yogyakarta : Mediaction publishing

Penatalaksanaan :
a. Reduksi fraktur mengembangkan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, mengembangkan fragmen tulang ke posisinya ( ujung – ujungnya saling
berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi,
bidai dan alat lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, skrup, plat, paku.
b. Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode externa dan interna mempertahankan dan
mengembalikan fungsi status neorovaskuler selalu di pantau meliputi peredaran darah,nyeri,
perabaan, gerakan, perkiraan imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang
mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.
c. Graft tulang : Penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi : Penghilangan bagian tubuh.
e. Artroplasti : Memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan
ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan
sendi terbuka.
f. Manisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis.
h. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan
logam atau sintetis.
i. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia (Hocenberry, 2009, dikutib oleh Hamdan, 2013).

Referensi :
Hamdan, Hariawan. (2013). Askep Fraktur. http://hamdan-hariawan-fkp 13.web.unair.ac.ad.
Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020 pada pukul 15.00 WIB.

Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Proses keperawatan dalam mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan kesehatan, dan keperawatan
klien, baik fisik, mental, social dan lingkungan.
Pengumpulan data
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan pendidikan. Pada
umumnya fraktur terjadi pada laki-laki dengan usia 20 – 40 tahun rentan terjadi fraktur.Pada
penderita fraktur, umur menjadi pengaruh dalam proses penyembuhan fraktur, akan semakin
lama karena saat usia tua tulang tidak bergenerasi lagi. Pekerjaan juga menjadi pengaruh
utama pada fraktur mengingat fraktur paling sering disebabkan karena kecelakaan.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus post operative fracture adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut terjadi karena pemasangan traksi / tindakan pembedahan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang nyeri dapat disebabkan karena tindakan pembedahan. Untuk
memperoleh pengkajin yang lengkap tentang rasa nyeri klien yaitu dengan pengkajian
PQRST:
a. Provoking Incident : Faktor nyeri yaitu akibat tindakan pembedahan.
b. Quality of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah nyerinya seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
c. Region : Apakah nyeri menjalar atau menyebar, dan seberapa jauh
penyebarannya, dan samapi dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity ( Scale) of Pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, dapat di
ukur dengan menggunakan skala nyeri 1- 0
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma atau kecelakaan,
degeneratif dan patologi. Pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada atau tidaknya klien megalami pembedahan perbaikan dan
pernah menderita osteoporosis sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga klien ada atau tidak yang menderita osteoporosis Arthritis dan tuberkolosis
atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan B1 - B6
a. B1 (Breathing)
Inspeksi: Tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada ada
tidaknya sesak nafas, pernafasan cuping hidung, dan pengembangan paru antara
kanan dan kiri simetris
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan, gerakan vokal fremitus antara kanan dan kiri sama.
Perkusi: Bunyi paru resonan
Auskultasi: Suara nafas vesikuler tidak ada suara tambahan seperti whezzing atau
ronchi
b. B2 (Blood)
Inspeksi: Kulit dan membran mukosa pucat.
Palpasi: Tidak ada peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi, tidak ada
peningkatan JVP, CRT menurun >3detik Perkusi : Bunyi jantung pekak
Auskultasi: Tekanan darah normal atau hipertensi (kadang terlihat sebagai respon
nyeri), bunyi jantung 1 dan II terdengar lupdup tidak ada suara tambahan seperti
mur mur atau gallop.
c. B3 (Brain)
Inspeksi: Mengkaji kesadaran dengan nilai GCS, tidak ada kejang, tidak ada
kelainan nervus cranialis.
Palpasi: Tidak ada nyeri kepala
d. B4 (Bladder)
Inspeksi: Pada miksi klien tidak mengalami gangguan, warna urin jernih, buang air
kecil 3-4 x/hari.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan pada kandung kemih
e. B5 (Bowel)
Inspeksi: Keadaan mulut bersih, mukosa lembab, keadaan abdomen normal tidak
asites.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan atau massa pada abdomen.
Perkusi: Normal suara tympani
Auskultasi: Peristaltik normal
f. B6 (Musculoskeletal)
Inspeksi: Aktivitas dan latihan mengalami perubahan atau gangguan dari post
operative closed fracture humerus sinistra sehingga kebutuhan perluh dibantu baik
oleh perawat atau keluarga, misalnya kebutuhan sehari-hari, mandi, BAB,
BAK dilakukan diatas tempat tidur. Pada area luka beresiko tinggi terhadap
infeksi, sehingga tampak diperban atau dibalut. Tidak ada perubahan yang
menonjol pada sistem integumen seperti warna kulit, adanya jaringan parut atau
lesi, adanya perdarahan, adanya pembengkakan, tekstur kulit kasar dan suhu kulit
hangat serta kulit kotor.
Palpasi: Adanya nyeri, kekuatan otot pada area fraktur mengalami perubahan
akibat kerusakan rangka neuromuscular, mengalami deformitas pada daerah trauma,
ROM menurun yaitu mengkaji dengan skala ROM :
1) Skala 0 : Paralisis total
2) Skala 1 : Tidak ada gerakan, teraba atau terlihat adanya kontraksi otot.
3) Skala 2 : Gerakan otot penuh menantang gravitasi dengan sokongan.
4) Skala 3 : Gerakan normal menentang gravitasi
5) Skala 4 : Gerakan normal menentang gravitasi dengan sedikit tahanan.
6) Skala 5 : Gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tahanan
penuh.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan, post operative closed fracture humerus
sinistra
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai darah ke
jaringan menurun.
3. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan luka post operative closed fracture
humerus sinistra
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
5.
Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*

Nyeri akut b/d trauma Setelah di lakukan tindakan 1. Beri penjelasan pada klien dan 1. Dengan memberikan
jaringan, post operative keperawatan selama 6 jam di keluarga tentang penyebab nyeri. penjelasan diharapkan klien
2. Kaji tingkat nyeri pada klien tidak merasa cemas dan dapat
closed fracture humerus harapkan nyeri akut teratasi.
(lokasi, karakteristik dan melakukan sesuatu yang
sinistra Kriteria Hasil : durasi) serta respon verbal dan dapat mengurangi nyeri.
non verbal pada klien yang 2. Mengevaluasi tingkat nyeri
1. Mampu mengontrol nyeri mengisyaratkan nyeri. klien dapat mendeteksi gejala
(tahu penyebab nyeri, mampu 3. Ajarkan pada klien cara dini yang timbul sehingga
mengurangi nyeri dengan teknik perawat dapat memilih
menggunakan teknik relaksasi dan distraksi tindakan keperawatan
nonfarmakologi untuk 4. Pertahankan immobilisasi / bedrest selanjutnya serta mengkaji
mengurangi nyeri, mencari karena adanya trauma / patah respon verbal dan non
tulang / pemasangan traksi verbal klien dapat diketahui
bantuan).
5. Observasi tanda-tanda vital. intervensi kita berhasil atau
2. Melaporkan bahwa nyeri 6. Lakukan kolaborasi dalm tidak.
berkurang dengan pemberian obat sesuai dengan 3. Teknik nafas dalam dan
yang di indikasikan yaitu anal mengalihkan nyeri mampu
menggunakan manajemen
gesik dan pelemas otot menstimulus otak terhadap
nyeri. nyeri sehingga mengurangi
nyeri.

4. Immobilisasi/ bedrest
dapat meringankan nyeri
dan mencegah
displacement tulang /
eksistensi jaringan luka.
5. Observasi tanda - tanda
vital dapat diketahui
keadaan umum klien.
6. Obat analgesic diharapkan
dapat mengurangi nyeri
dan obat pelemas otot
diharapkan dapat
melemaskan otot.
Ketidakefektifan perfusi 1. Kaji secara kompherensi 1. Sirkulasi perifer dapat
jaringan perifer b/d suplai darah Setelah di lakukan tindakan sirkulasi perifer. menunjukan tingkat
kejaringan menurun keperawatan selama 6 jam di 2. Evaluasi nadi perifer dan edema. keparahan penyakit.
harapkan ketidakefektifan perfusi 3. Evaluasi anggota badan atau lebih. 2. Pulsasi yang lemah
jaringan perifer teratasi dengan 4. Ubah posisi pasien setiap 2 jam menimbulkan kardiak output
kriteria hasil : sekali. menurun
5. Dorong latihan ROM sebelum 3. Untuk meningkatkan
1. Tekanan systole dan
bedrest. venous return.
diastole dalam rentang yang
6. Kolaborasi dengan tim medis 4. Mencegah komplikasi
diharapkan.
dengan pemberian anti platelet dekubitus.
2. Tidak ortostatik Hipertensi
atau anti perdarahan. 5. Menggerakan otot dan sendi
ortostatik.
agar tidak kaku.
3. Tidak ada tanda-tanda
6. Meminimalkan adanya
peningkatan tekanan intrakanial
bekuan dalam darah.
(tidak lebih dari 15 mmHg).
Kerusakan integritas Setelah di lakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk 1. Meminimalisir adanya lecet /
kulit berhubungan keperawatan selama 6 jam di menggunakan pakaian longgar luka
dengan luka post harapkan kerusakan integritas 2. Monitor kulit akan adanya 2. Menandakan area sirkulasi
operative closed fracture kemerahan buruk yang dapat menimbulkan
kulit teratasi dengan kriteria
humerus sinistra 3. Monitor status nutrisi pasien infeksi
4. Observasi luka 3. Nutrisi sangat berpengaruh
hasil : 5. Ajarkan keluarga tentang perawatan dalam proses penyembuhan
1. Integritas kulit yang baik luka luka salah satunya nutrisi
Bisa di pertahankan (sensasi, 6. Kolaborasi ahli gizi pemberian diet dengan kaya protein
elastisitas, temperatur, 4. Mengetahui sejauhmana
hidrasi, pigmentasi) tidak ada perkembangan luka,
mempermudah melakukan
luka/lesi pada kulit. tindakan yang tepat
2. Menunjukan pemahaman 5. Tingkat pengetahuan tentang
dalam proses perbaikan kulit cara perawatan luka yang
dan mencegah terjadinya dilakukan dirumah sakit dan
cidera berulang dirumah akan membantu
proses penyembuhan dan
3. Mampu melindungi kulit dan meminimalisir terjadinya
keparahan pada luka
mempertahankan kelembaban 6. Sangat bermanfaat dalam
kulit dan perawatan kulit perhitungan dan penyesuaian
diit untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien
Hambatan mobilitas fisik Setelah di lakukan tidakan 1. Observasi keterbatasan gerak 1. Dengan observasi dapat
berhubungan dengan keperawatan di harapkan klien dan cacat respon klien diketahui seberapa jauh
Kerusakan rangka hambatan mobilitas fisik terhadap immobilisasi. tingkat perubahan fisik klien
neuromuscular, nyeri,
teratasi. 2. Anjurkan klien untuk berpartisipasi (keterbatasan gerak) dan
terapi restriktif
(imobilisasi). Kriteria hasil : dalam aktivitas dan pertahankan bagaimana respon / persepsi
stimulasi lingkungan antara lain klien tentang gambaran
1. Klien meningkat dalam TV, Radio dan surat kabar. dirinya.
aktivitas fisik. 3. Ajarkan pada klien untuk berlatih 2. Dapat memberi kesempatan
2. Mengerti tujuan dari secara aktif/pasif dari latihan pasien untuk mengeluarkan
peningkatan ROM. energy, memfokuskan
mobilitas. 4. Monitor tekanan darah dan catat perhatian, meningkatkan
3. Memverbalisasikan Perasaan masalah sakit kepala. rangsangan kontrol diri
dalam meningkat kekuatan 5. Konsultasikan dengan ahli terapi pasien dan membantu dalam
dan kemampuan berpindah. fisik/spesialis, rehabilitasi menurunkan isolasi sosial.
3. Dapat menambah aliran
darah ke otot dan tulang
melakukan gerakan sendi
dapat mencegah kontraktur.
4. Hipertensi postural adalah
masalah umum yang
mengurangi bedrest lama
dan memerlukan tindakan
khusus.
5. Konsultasi dengan ahli
terapi / spesialis rehabilitasi
dapat menciptakan program
aktivitas dan latihan
individu.

Referensi
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
OSTEOMYELITIS
A. Definisi
1. Osteomilitis adalah proses peradangan yang disertai dengan kerusakan tulang dan infeksi
yang disebabkan oleh mikroorganisme. (Bapista, et al. 2012).
2. Infeksi yang mempengaruhi tulang, menyebabkan kerusakan dan pembetukan tulang
baru. (Gunawan, et al. 2010)
3. Keadaan infeksi yang terjadi pada tulang dan sum-sum tulang yang dapat terjadi pada
tulang rahang akibat infeksi kronis, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi
odontogenic (Simanjuntak, dkk. 2016).

Referensi:

Bapista, M., Tardivo, P. (2012). Osteomyelitis. Croatia: Janeza Tridine Rijeka.


Gunawan, & Setiyohadi. (2010). Diagnosis and management of osteomyelitis. Indonesian
Journal of Rheumatology.
Simanjuntak, Sylvyana, M., Fathurachman. (2016). Osteomyelitis Kronis Supuratif Mandibula
Sebagai Komplikasi Sekunder Impaksi Gigi Molar Tiga. Osteomyelitis Kronis Supuratif,
13-18
B. Etiologi
Penyebab utama dari osteomielitis adalah penyakit periodontal, seperti gingivitis, pyorrhea,
atau periodontitis. Adanya gangren radiks, karena pencabutan yang tidak sempurna sehingga
masih ada sisa akar yang tertinggal di dalam tulang rahang yang akan memproduksi toksin yang
bisa merusak tulang di sekitarnya. Pada pembedahan gigi, trauma wajah yang melibatkan gigi,
pemakaian kawat gigi, atau pemasangan alat lain yang dapat membuat tekanan pada gigi serta
dapat menarik gigi dari soketnya merupakan penyebab-penyebab yang dapat menimbulkan
osteomielitis. Selain itu, osteomielitis juga disebabkan oleh infeksi. Infeksi ini bisa disebabkan
trauma berupa penyebaran dari stomatitis, tonsillitis, infeksi sinus, furukolosis maupun infeksi
yang hematogen. Inflamasi yang disebabkan bakteri pyogenik ini meliputi seluruh struktur yang
membentuk tulang, mulai dari medulla, korteks dan periosteum.

Referensi:
Syamsoelily,L,.Mappangara,S,. Chandha,M.H., Ruslin,M.,2013, Osteomielitis Supuratif Kronis
pada Mandibular Edentulous. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin, 35-36.

Osteomielitis juga disebabkan oleh bakteri. Hampir seluruh organisme menjadi bagian dari
gambaran etiologi, namun staphylococci dan streptococci yang paling banyak teridentifikasi.
Osteomielitis akut yang tidak ditangani atau menerima penanganan yang tidak adekuat dapat
berlanjut menjadi osteomielitis kronis. Etiologi dari osteomielitis akut dan kronis hampir sama.
Kebanyakan kasus disebabkan oleh infeksi sehingga banyak klinisi mengatakan osteomielitis
disebabkan oleh adanya virulensi dari mikroorganisme yang terlibat serta tergantung dari
ketahanan tubuh pasien. Lokasi anatomi, status imunitas, status gizi, usia pasien, serta ada atau
tidaknya penyakit sistemik seperti Paget’s diseases, osteoporosis, atau sickle cell disease,
merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya osteomielitis. Identifikasi agen spesifik
yang menjadi penyebab osteomielitis sangat sulit baik dengan mikroskop dan secara
mikrobiologi. Walaupun, agen etiologi seringkali sulit diidentifikasi, banyak peneliti percaya
bahwa bakteri (staphylococci, streptococci, Bacteroides, Actinomyces) merupakan penyebab
utama terjadinya osteomielitis kronis.

Referensi:
Regezi, J. A., Sciubba, J. J., Jordan, R. C. K., 2003, Oral Pathology Clinical Correlations
Fourth Edition, Saunders: United States, America, p. 313-315

Osteomielitis biasanya disebabkan oleh spesies Staphylococcus, kemudian diikuti dengan


Enterobacteriaceae dan spesies Pseudomonas. Staphylococcus aureus merupakan patogen yang
paling sering menyebabkan osteomielitis baik pada osteomielitis akut dan juga kronis.

Referensi:
Gomes, D., Pereira, M., Bettencourt, A. F., 2013, Osteomielitis: An Overview of Antimicrobial
Therapy, Faculty of Pharmacy University of Lisbon: Portugal, Brazilian Journal of
Pharmaceutical Sciences, vol. 49, no 1, January – March 2013, p. 15.

Osteomielitis merupakan suatu infeksi polimikroba karena banyaknya patogen yang ditemukan
berhubungan dengan osteomielitis. Perbedaan mikroorganisme patogen yang bisa
menyebabkanosteomielitis berdasarkan usia serta faktor predisposisi ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 1. Mikroorganisme yang paling sering ditemukan pada osteomielitis berdasarkan usia dan
faktor predisposisi.

Usia Etiologi
Bayi S. aureus, Enterobacter spp., Streptococcus (group A
and B)
Anak-anak S. aureus, Enterobacter spp., Streptococcus (group B),
Haemophilus influenzae
Dewasa S. aureus
Faktor predisposisi Etiologi
Pengguna obat jarum suntik S. aureus, P. aeruginosa, Serratia marcescens,
Candida spp.
Gangguan imunitas S. aureus, Bartonella henselae, Aspergillus spp.,
Mycobacterium avium complex, Candida albicans
Infeksi saluran urin P. aeruginosa, Enterococcus spp.
Diabetes melitus, insufisiensi vaskular, fraktur Polimikroba: S. aureus, Staphylococci koagulase
terbuat yang terkontaminasi negatif, Streptococcus spp., Enterococcus spp., Gram
negatif bacilli, anaerobes
Referensi:
Putra, R. F., Sulistyani, L. D., 2009, Osteomielitis Kronis Mandibula pada Anak-anak dan
Dewasa, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jurnal PDGI, vol. 58, no. 3, hal.
20-21

Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.
C. Faktor Resiko
1. Nutrisi buruk
2. Lansia
3. Obesitas
4. Diabetes
5. Pernah menjalani terapi kortikosteroid jangka panjang
6. Bedah sendi/ortopedik
7. Sepsis bersamaan
Referensi:
Amin, H. Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction. Jogja.

D. Manifestasi Klinis
Osteomyelitis akut:
1. Demam tinggi
2. Nyeri pada tulang, bengkak dan nyeri tekan
3. Lab:anemia, leukositosis
4. Denyut nadi cepat dan malaise
5. Pembesaran kelenjar limfe regional
6. Menggigil
Osteomyelitis kronik:
Ditandai dengan pus yang mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri,
inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus, Lab: LED meningkat

Referensi:
Amin, H. Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis
dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction. Jogja.

E. Komplikasi
1. Abscess tulang
2. Abscess paravertebral
3. Bacterimia /sepsis
4. Fraktur
5. Selulitis
Referensi:
Amin, H. Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction. Jogja.

F. Penatalaksanaan dan treatmen


Perawatan di rumah sakit
1. Pada stadium akut sudah tentu yang pokok adalah pemberian antibiotik spektrum luas
yang efektif terhadap gram positif maupun gram negatif dan diberikan langsung tanpa
menunggu hasil biakan darah secara parenteral selama 3-6 minggu. Kemudian daya tahan
tubuh perlu diperkuat misalnya memberikan vitamin, obat-obat menahan sakit.
2. Imobilisasi anggota gerak yang terkena, bisa dengan pemasangan gips yang diberi
jendela.
3. Tindakan pembedahan, dengan indikasi : adanya abces, rasa sakit yang hebat, adanya
sequester dan bila mencurigakan adanya perubahan ke arah keganasan (karsinoma
epidermoid)
4. Pada stadium kronik disamping antibiotik maka tulang yang jelas sudah mati dan terlepas
perlu diambil dengan jalan operasi
5. Untuk drainage peradangan yang sudah kronis dapat pula dibuat luang-lubang pada
tulang.
Referensi:
Amin, H. Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction. Jogja.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
1. Pada fase akut ditemukan CRP yang meningi, LED yang meninggi dan leukositosis
2. Pemeriksaan radiologik
3. Rongent dini menunjukkan hanya jaringan lunak yang mengalami pembengkakan. Pada
osteomyelitis kronik ditemukan hasil rongent tulang menunjukkan rongga besar tak
teratur, kenaikan periosteum, dan ditemukan suatu involukrum serta sequester.
4. Pemeriksaan Scan tulang
5. Pada pemeriksaan Scan tulang dengan menggunakan nukleotida berlabel radioaktif dapat
memperlihatkan peradangan di tulang
Referensi:
Amin, H. Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan
Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Mediaction. Jogja.

H. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan
a. Identifikasi klien
Terdiri dari nama, jenis kelamin, usia, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan,bahasa yang digunakan, pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat kesehatan masa lalu Identifikasi adanya trauma tulang, fraktur terbuka,atau
infeksi lainnya (bakteri pneumonia,sinusitis,kulit atau infeksi gigi dan infeksi saluran
kemih) pada masa lalu. Tanyakan mengenai riwayat pembedahan tulang.
2) Riwayat kesehatan sekarang Apakah klien terdapat pembengkakan,adanya nyeri dan
demam.
3) Riwayat kesehatan keluarga Adakah dalam keluarga yang menderita penyakit keturunan.
4) Riwayat psikososial Adakah ditemukan depresi, marah ataupun stress.
5) Kebiasaan sehari-hari
6) Pola nutrisi : anoreksia, mual, muntah.
7) Pola eliminasi : adakah retensi urin dan konstipasi
8) Pola aktivitas : pola kebiasaan
2. Pemeriksaan Fisik
1. Kaji gejala akut seperti nyeri lokal, pembengkakan, eritema, demam dan keluarnya pus
dari sinus disertai nyeri.
2. Kaji adanya faktor resiko (misalnya lansia, diabetes, terapi kortikosteroid jangka
panjang) dan cedera, infeksi atau bedah ortopedi sebelumnya.
3. Identifikasi adanya kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi. (pada
osteomielitis akut) d.Observasi adanya daerah inflamasi, pembengkakan nyata, dan
adanya cairan purulen.
4. Identisikasi peningkatan suhu tubuh
5. Area sekitar tulang yang terinfeksi menjadi bengkak dan terasa lembek bila di palpasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisiologis (adanya inflamasi sehingga menyebabkan tekanan)
2. Gangguan mobilitas fisik b/d nyeri
3. Gangguan Intergritas kulit b/d trauma kerusakan permukaan kulit karna destruksi lapisan
kulit.
4. Ansietas b/d kurangnya terpapar informasi mengenai penyakit
Form NCP

Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*

Nyeri akut b/d agen cedera fisiologis Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda 1. Pengkajian diperlukan
(adanya inflamasi sehingga menyebabkan keperawatan selama 1x 8 jam di vital pasien untuk meningkatkan
tekanan) harapkan nyeri berkurang dengan 2. Monitor kualitas, intervensi
Kriteria hasil: skala, oenyebaran 2. Merupakan data dasar
dan pada saat yang dibutuhkan
- Pasien tidak meringis ditekan apakah ada perawat sebagai
- Menyatakan nyeri sensasi nyeri atau pedoman pengambilan
berkurang/hilang tidak intervensi sehingga
- Menunjukan tindakan santai, 3. Atur posisi nyaman setiap perubahan
maupun berpartisipasi dalam pasien harus di pantau
aktivitas/tidur/istirahat dengan 4. Berikan teknik 3. Peninggian ekstremitas
tepat nonfarmakologin dapat membantu
- Menunjukan penggunaan untuk mengurangi meningkatkan aliran
keterampilan relaksasi aktifitas nyeri (mis DBE) balik vena yang
terapeutik sesuai indikasi untuk 5. kolaborasi dengan menyebabkan
situasi individual tim medis dalam pembemngkakan
- TTV dalam batas normal pemberian berkurang sehingga
analgesik penekanan cedera
menurun
4. Teknik relaksasi dapat
membantu untuk
menurunkan tingkat
ketegangan sehingga
diharapkan tekanan
otot-otot daerah
cedera menurun.
5. Analgesic berfungsi
untuk mel akukan
hambatan pada sensor
nyeri sehingga sensai
nyeri pada klien
berkurang

Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*

2. Gangguan mobilitas fisik b/d nyeri Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pertahankan 1. Memfokuskan
selama 1x24 jam diharapkan gangguan pelaksanaan aktivitas perhatian,
mobilitas fisik dapat teratasi dengan rekreasi terapeutik meningkatkan rasa
kriteria hasil: 2. Bantu latihan rentang kntrol diri/haga diri,
gerak pasif aktif pada membantu
- Klien dapat meningkatkan/ ekstermitas yang sakit menurunkan isolasi
mempertahankan mobilitas pada maupun yang sehat social
tingkat paling tinggi yang mungkin sesuai keadaan klien 2. Meningkatkan sirkulasi
dapat mempertahankan posisi 3. Bantu dan dorong darah musculoskeletal,
fungsional meingkatkan perawatan diri mempertahankan tonus
kekuatan/fungsi yang sakit dan 4. Ubah posisi secara otot, mempertahankan
mengkompensasi bagian tubuh periodic sesuai keadaan gerak sendi, mencegah
- Menunjukan tehknik yang klien kontraktur/atrofi dan
memampukan melakukan aktivitas 5. Kolaborasi pelaksanaan mencegah reabsorbsi
fisioterapi sesuai kalsium karena
indikasi imobilisasi
6. Kolaborasi dengan 3. Untuk memotivasi klien
dokter dalam pemberian dalam perawatan diri
obat/suplemen dan meningkatkan
perawatan diri secara
mandiri
4. Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan
pernapasan (decubitus,
atelectasis, pneumonia)
5. Kerjasama dengan
fisioterapi perlu untuk
menyusun program
aktivitas fisik secara
individual
6. Suplemen yang
mengandung vitamin C,
vitamin D dan kalsium
berguna untuk
membantu
pertumbuhan dan
memperkuat tulang

Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*
3. Gangguan Intergritas kulit b/d trauma kerusakan Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk 1. Meminimalisir adanya
permukaan kulit karna destruksi lapisan kulit. keperawatan selama 6 jam menggunakan pakaian lecet / luka
diharapkan gangguan longgar 2. Menandakan area
integritas kulit teratasi dengan 2. Monitor kulit akan sirkulasi buruk yang dapat
kriteria hasil : adanya kemerahan menimbulkan infeksi
-Elastisitas meningkat 3. Monitor status nutrisi 3. Nutrisi sangat
-Kerusakan jaringan menurun pasien berpengaruh dalam
-Nyeri menurun 4. Observasi luka proses penyembuhan
-Suhu kulit membaik 5. Ajarkan keluarga luka salah satunya nutrisi
-Tekstur membaik tentang perawatan luka dengan kaya protein
6. Kolaborasi ahli gizi 4. Mengetahui sejauhmana
pemberian diet perkembangan luka,
mempermudah
melakukan tindakan yang
tepat
5. Tingkat pengetahuan
tentang cara perawatan
luka yang dilakukan
dirumah sakit dan
dirumah akan membantu
proses penyembuhan dan
meminimalisir terjadinya
keparahan pada luka
6. Sangat bermanfaat dalam
perhitungan dan
penyesuaian diit untuk
memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien

Planning
Nursing Diagnosis*
Goal* Interventions* Rationale*

4. Ansietas b/d kurangnya terpapar informasi Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan pendekatan 1. Agar klien menyadari
mengenai penyakit keperawatan selama 6 jam yang tenang dan sumber-sumber yang ada
diharapkan ansietas menurun meyakinkan disekitarnya sehingga
dengan kriteria hasil: 2. Kaji dan dokumentasikan mendukung dia untuk
- Verbalisasi khawatir akibat tingkat kecemasan berkomunikasi dan
kondisi yang dihadapi pasien Menurunkan stimulasi
menurun 3. Beri dorongan kepada yang berlebihan dapat
- Perilaku gelisah menurun pasien untuk mengurangi kecemasan
- Verbalisasi kebingungan mengungkapkan secara 2. Untuk memberikan
menurun verbal pikiran dan intervensi yang tepat
- Perilaku tegang menurun perasaaan untuk 3. Pemahaman tentang
- TTV dalam batas normal mengeksternalisasikan perasaan normal dapat
ansietas membantu klien
4. Observasi tanda-tanda meningkatkan beberapa
vital perasaan kontrol emosi
5. Jelaskan semua prosedur 4. Mengetahui respon
dan apa yang dirasakan fisiologi yang
selama prosedur ditimbulkan akibat dari
6. Temani pasien untuk kecemasan
memberikan keamanan 5. Pasien mampu mengerti
dan mengurangi takut dan memahami tindakan
7. Libatkan keluarga untuk yang dilakukan dan
mendampingi klien 6. Dukungan dari beberapa
8. Instruksikan pada pasien orang disekitar dapat
untuk menggunakan mendukung dia untuk
tehnik relaksasi berkomunisai dan
mengurangi kecemasan
7. Peran serta keluarga
sagat membantu dalam
menentukan koping
8. Dapat memberikan rasa
nyaman

Referensi:
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
DEBRIDEMENT
A. Definisi
Debridemen adalah menghilangkan jaringan mati juga membersihkan luka dari kotoran yang
berasal dari luar yang termasuk benda asing bagi tubuh.Caranya yaitu dengan mengompres luka
menggunakan cairan atau beberapa material perwatan luka yang fungsinya utuk menyerap dan
mengangkat bagian-bagian luka yang nekrotik. (Brunner, 2012).
Setelah dilakukan debridement, luka harus dilakukan irigasi larutan garam fisiolofis atau
larutan lain dan dilakukan dressing atau juga disebut dengan kompres dan dibalut sampai luka
tertutup untuk mencegah resiko infeksi setelah pembedahan. (Sjamsuhidajat, 2010)

Referensi:
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan Medical Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

B. Tujuan
Tujuan dilakukannya debridement yaitu untuk mengeluarkan kontaminan dengan rasa nyeri
yang minimal pada pasien serta trauma jaringan yang minimal pula untuk luka yang kotor,
mencelupkan bagian yang cidera ke dalam air yang sama dengan suhu tubuh, dapat meredakan
nyeri dan dapat membantu menghilangkan debris ( Morison, 2004)

Referensi:
Morison, M. J. (2004). Manajemen Luka. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.

C. Klasifikasi
Menurut (Sjamsuhidajat, 2010) terdapat 4 metode debridement, yaitu autolitik, mekanikal,
enzimatik dan surgikal. Metode debridement yang dipilih tergantung pada jumlah jaringan
nekrotik, luasnya luka, riwayat medis pasien, lokasi luka dan penyakit sistemik.
1. Debridement Otolitik
Otolisis menggunakan enzim tubuh dan pelembab untuk rehidrasi, Debridement
melembutkan dan akhirnya melisiskan jaringan nekrotik. Debridement otolitik bersifat selektif,
hanya jaringan nekrotik yang dihilangkan. Proses ini juga tidak nyeri bagi pasien. Debridemen
otolitik dapat dilakukan dengan menggunakan balutan oklusif atau semioklusif yang
mempertahankan cairan luka kontak dengan jaringan nekrotik. Debridement otolitik dapat
dilakukan dengan hidrokoloid, hidrogel atau transparent films.
Indikasi :
Pada luka stadium III atau IV dengan eksudat sedikit sampai sedang.
Keuntungan:
1. Sangat selektif, tanpa menyebabkan kerusakan kulit di sekitarnya.
2. Prosesnya aman, menggunakan mekanisme pertahanan tubuh sendiri untuk
membersihkan luka debris nekrotik .
3. Efektif dan mudah
4. Sedikit atau tanpa nyeri.
Kerugian :
1. Tidak secepat debridement surgikal.
2. Luka harus dimonitor ketat untuk melihat tanda-tanda infeksi.
3. Dapat menyebabkan pertumbuhan anaerob bila hidrokoloid oklusif digunakan.
2.Debridement Enzymatik:
Debridement enzimatik meliputi penggunaan salep topical untuk merangsang debridement,
seperti kolagenase. Seperti otolisis, debridement enzimatik dilakukan setelah debridement
surgical atau debridement otolitik dan mekanikal. Debridement enzimatik direkomendasikan
untuk luka kronis.
Indikasi :
1. Untuk luka kronis
2. Pada luka apapun dengan banyak debris nekrotik.
3. Pembentukan jaringan parut
Keuntungan :
1. Kerjanya cepat
2. Minimal atau tanpa kerusakan jaringan sehat dengan penggunaan yang tepat.
Kerugian:
1. Mahal
2. Penggunaan harus hati-hati hanya pada jaringan nekrotik.
3. Memerlukan balutan sekunder
4. Dapat terjadi inflamasi dan rasa tidak nyaman.
3. Debridement Mekanik
Dilakukan dengan menggunakan balutan seperti anyaman yang melekat pada luka. Lapisan
luar dari luka mengering dan melekat pada balutan anyaman. Selama proses pengangkatan,
jaringan yang melekat pada anyaman akan diangkat. Beberapa dari jaringan tersebut non-viable,
sementara beberapa yang lain viable. Debridement ini nonselektif karena tidak membedakan
antara  jaringan sehat dan tidak sehat. Debridement mekanikal memerlukan ganti balutan yang
sering.
Proses ini bermanfaat sebagai bentuk awal debridement atau sebagai persiapan untuk
pembedahan. Hidroterapi juga merupakan suatu tipe debridement mekanik.Keuntungan dan
risikonya masih diperdebatkan.
Indikasi :
1. Luka dengan debris nekrotik moderat.
2. Keuntungan:
3. Materialnya murah (misalnya tule)
Kerugian:
1. Non-selective dan dapat menyebabkan trauma jaringan sehat atau jaringan  penyembuhan
2. Lambat
3. Nyeri
4. Hidroterapi dapat menyebabkan maserasi jaringan. Juga penyebaran melalui air dapat
menyebabkan kontaminasi atau infeksi. Disinfeksi tambahan dapat menjadi sitotoksik.
4. Debridement Surgikal
Debridement surgikal adalah pengangkatan jaringan avital dengan menggunakan skalpel,
gunting atau instrument tajam lain Debridement surgical merupakan standar perawatan untuk
mengangkat jaringan nekrotik. Keuntungan debridement surgikal adalah karena bersifat selektif;
hanya bagian avital yang dibuang. Debridement surgikal dengan cepat mengangkat jaringan mati
dan dapat mengurangi waktu. Debridement surgikal dapat dilakukan di tempat tidur pasien atau
di dalam ruang operasi setelah pemberian anestesi. Ciri jaringan avital adalah warnanya lebih
kusam atau lebih pucat(tahap awal), bisa juga lebih kehitaman (tahap lanjut), konsistensi lebih
lunak dan jika di insisi tidak/sedikit mengeluarkan darah. Debridement dilakukan sampai
jaringan tadi habis, cirinya adalah kita sudah menemulan jaringan yang sehat dan perdarahan
lebih banyak pada jaringan yang dipotong.
Indikasi :
1. Luka dengan jaringan nekrotik yang luas
2. Jaringan terinfeksi.
Keuntungan:
1. Cepat dan selektif
2. Efektif
Kerugian :
1. Nyeri
2. Mahal, terutama bila perlu dilakukan di kamar operasi
Referensi:
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC
D. Tindakan Debridemen dan posisi terbuka
Tindakan Debridemen dan posisi terbuka menurut (Sjamsuhidajat. 2010):
1) Penderita diberi toksoid, ATS atau tetanus human globuli.
2) Antibiotika untuk kuman gram positif dan negatif dengan dosis tinggi.
3) Kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka.
4) Torniquet disiapkan tetapi tidak perlu ditiup.
5) Setelah dalam narkose seluruh eksremitas dicuci selama 5-10 menit dan di cukur. 
6) Luka diiirigasi dengan cairan NaCl steril atau air matang 5-10 liter. Luka derajat 3 harus
disemprot hingga bebas dari kontaminasi (jet lavage).
7) Tindakan desinfeksi dan pemasangan duk (draping).
8) Eksisi luka lapis demi lapis. Eksisi kulit, subkutis, fassia, otot. Otot-otot yang tidak vital
dieksisi. Tulang-tulang kecil yang tidak melekat pada  periosteum dibuang. Fragmen
tulang besar yang perlu untuk stabilitas dipertahankan.
9) Bila letak luka tidak menguntungkan maka untuk reposisi terbuka dibuat insisi baru yang
biasa dipergunakan,misalnya fraktur femur dengan fragmen distal menembus dekat lipat
paha, untuk reposisi terbuka dipakai approach posterolateral biasa.
10) Luka fraktur terbuka selalu dibiarkan terbuka dan bila ditutup setelah satu minggu setelah
oedema menghilang. Luka untuk reposisi terbuka dijahit  primer. 
11) Fiksasi yang baik adalah fiksasi eksterna. Bagi yang sudah berpengalaman dan di rumah
sakit dengan perlengkapan yang baik, pengguna fiksasi interna dapat dibenarkan. Bila
fasilitas tidak memadai, gips sirkuler dengan  jendela atau traksi dapat digunakan dan
kemudian dapat diencanakan untuk fiksasi interna setelah luka sembuh (delayed interna
fixation). Pemakaian antibiotika diteruskan untuk 3 hari dan bila diperlukan debridement
harus diulang.

Referensi:
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

DISLOKASI
A. Definisi
Dislokasi sendi adalah cedera yang menyebabkan ujung tulang mengalami perubahan posisi
dari posisi normal dan artikulasi sendi hilang. Dislokasi biasanya mengikuti trauma seprti jatuh
atau pukulan, Meskipun dislokasi dapat terjadi pada semua sendi, mereka terjadi paling sering
dibahu dan sendi akromioklavikular (Kneale. 2011).
Referensi:
Kneale Julia D dan Peter S Davis.2011. Perawatan Orthopedi dan Trauma. Jakarta: EKG.

Dislokasi sendi dapat dibagi menjadi tiga yaitu :


1. Dislokasi Congonital :Dislokasi sendi yang terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi Patologik : Dislokasi sendi akibat penyakit sendi atau jaringan sekitar sendi.
3. Dislokasi Traumatic : Dislokasi sendi akibat kedaruratan ortopedi ( seperti pasokan darah,
susunan syaraf rusak, dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia ) yang
disebabkan oleh cedera dimana sendi mengalami kerusakan akibat kekerasan (Brunner and
Suddarth, 2012).
Referensi:
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan Medical Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC
B. Etiologi
Penyebab yang paling sering dialami adalah terjatuh.
a. cedera olahraga (sepak bola,soalahraga yang bresiko jatuh, senam,volley,basket)
b. kecelakaan motor
c. jatuh dari tangga
d. terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
Terjadinya (tear) ligament dan kapsul articular yang merupakan komponen vital penghubung
tulang (Kneale. 2011).
Referensi:
Kneale Julia D dan Peter S Davis.2011. Perawatan Orthopedi dan Trauma. Jakarta: EKG.

C. Patofisologi
Cedera pada dislokasi sendi diakibatkan oleh barbagai macam seprti cedera saat trauma,
jatuh dan cidera akibat olahraga diakarenakan beberapa hal seperti tidak melakukan exercise
sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi, terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi ligament. keadaan selanjutnya terjadi
kompresi jaringan tulang berpindah dari posisi normal. keadaan tersebut dikatakan sebagai
dislokasi.
Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat
merusak struktur sendi dan ligament. keadaan selanjutnya terjadinya kompres jaringan tulang
yang terdorong kedepan sehingga merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid travulsi akibatnya
tulang berpindah dari normal yang menyebabkan dislokasi (Brunner,2012; Sjamsuhidajat,2010).
Referensi:
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan Medical Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC
D. Manifestasi Klinis
Menurut (Brunner, 2012; Kneale, 2011). manifestasi klinisnya antara lain :
a. nyeri akut
b. perubahan kontur sendi
c. perubahan panjang ekstremitas
d. deformitas persendian
e. perubahan sumbu tulang
f. kehilangan mobilitas normal
g. gangguan gerakkan otot-otot
h. pembengkakan
i. kekakuan
Referensi:
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan Medical Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC
Kneale Julia D dan Peter S Davis.2011. Perawatan Orthopedi dan Trauma. Jakarta: EKG.

E. Komplikasi
Komplikasi dini menurut (Brunner and Suddarth. 2012) yaitu:
1. Fraktur dislokasi, cedera pembuluh darah.
2. Cedera saraf
F. Pemeriksaan penunjang
Untuk melakukan diagnose terhadap penyakit Dislokasi dapat dilakukan
beberapa cara pemeriksaan, seperti :
1.Pemeriksaan Foto Rontgen yang digunakan untuk menentukan lokasi Dislokasi.
2.Pemeriksaan Radiologi Foto X-Ray yang digunakan untuk menentukan arah Dislokasi dan
apakah disertai fraktur.
3.Pemeriksaan CT Scan, MRI, Scan tulang, dan Tomogram yang digunakan untuk
memperlihatkan Dislokasi, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak (Brunner and Suddarth, 2012).
Referensi:
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan medical Bedah volume 3. Jakarta : EGC
G. Penatalaksanaan
Sendi kemudian di imobilisasi dengan pembalut, bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap
dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan mobilisasi
dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran gerak
sendi. Sendi tetap harus disangga diantara dua saat latihan. Memberikan kenyamanan dan
melindungi sendi selama masa penyembuhan.Untuk Dislokasi bahu, siku atau jari dapat
direposisi dengan anestesi local dan obat-obat penenang misalnya Valium.Sedangkan untuk
Dislokasi sendi besar memerlukan anestesi umum (Brunner dan Suddarth, 2012).
Referensi :
Brunner and Suddarth. 2012. Keperawatan medical Bedah volume 3. Jakarta : EGC
AMPUTASI
A. Definisi
Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan ketidak mampuan
seseorang dalam derajat yang berfariasi (tergantung dari luas hilangnya alat gerak, usia pasien,
ketepatan oprasi dan menejemen paska operasi ). Amputasi adalah tindakan pembedahan dengan
membuang bagian tubuh. &ntuk amputasi tertutup, dokter bedah menutup luka dengan klap kulit
yang terbuat dengan memotong tulang kira'kira dua inci lebih pendek dari pada kulit dan otot.
(Nurarif, 2015)
B. Etiologi
Penyakit vaskular perifer progresif (sering terjadi sebagai gejala sisa diabetes militus).
Ganggren, trauma (cidera remuk, luka bakar), deformitas kongenital, atau tumor ganas. Penyakit
vaskular perifer merupakan penyebab tinggi amputasi ekstremitas bawah. Secara umum
penyebab amputasi adalah kecelakaan, penyakit, dan gangguan kongenital. Berdasakan pendapat
diatas, dapat disimpulkan penyebab amputasi adalah vaskuler perifer, infeksi, trauma,
deformitas, tumor ganas dan paralisis. (Lukman, 2009 )
C. Patofisiologi
Amputasi terjadi karena kelainan ekstremitas yang disebabkan penyakit pembuluh saraf,
cedera dan tumor oleh karena penyebab diatas,amputasi harus dilakukan karena dapat
mengancam jiwa manusia (Nurarif, 2015).
D. Manifestasi Klinis
a. kehilangan anggota gerak (ekstremitas atas atau bawah)
b. nyeri pada bagian yang akan diamputasi yang berasal dari neuroma ujung saraf yang dekat
dengan permukaan
c. Edema yang apabila tidak ditangani menyebabkan hyperplasia varikosa dengan keronitis
d. Dermatitis pada tempat tekanan ditemukan kista (epidermal atau aterom)
e. Busitis (terbentuk bursa tekanan antara penonjolan tulang dan kulit)
f. Bila kebersihan kulit diabaikan terjadi folikulitis dan frunkulitis
g. sedih dan harga diri rendah dan di ikuti proses kehilangan (Nurarif, 2015).

E. Komplikasi
Perdarahan, infeksi, dan keruskan kulit merupakan komplikasi amputasi. Pendarahan dapat
terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besr dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat tejadi
pada semua pembedahan dengan peredaran darah yang buruk atau dengan adanya kontaminasi
serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi pengunaan
prostensis. Menurut pusdiknes, komplikasi yang dapat terjadi pada amputasi adalah infeksi, nyeri
phantom(phantom limp-pain), neuroma, keruskan kulit, dan fleksi kontraktur. (Lukman, 2009).
F. Jenis-Jenis Amputasi
a. Amputasi selektif/terencana, jenis ini dilakukan pasa penyakit yang terdiagnosis dan
mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.
b. Amputai akibat trauma, merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak
direncanakan
c. Amputasi darurat, dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. merupakan tindakan yang
memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan pata tulang multiple dan
kerusakan/kehilangan kulit yang luas. (Nurarif, 2015)
Jenis amputasi yang dikenal :
a. Amputasi terbuka, dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada
tulang dan otot pada tingkat yang sama.
b. Amputasi tertutup, dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif
kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 cm dibawah
potongan otot dan tulang. (Nurarif, 2015)
G. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Daryadi,2012), pemeriksaan diagnostik pada klien Amputasi meliputi :
1. Foto rongent Untuk mengidentifikasi abnormalitas tulang
2. CT san Mengidentifikasi lesi neoplestik, osteomfelitis, pembentukan hematoma
3. Angiografi dan pemeriksaan aliran darah mengevaluasi perubahan sirkulasi / perfusi
jaringan dan membantu memperkirakan potensial penyembuhan jaringan setelah
amputansi
4. Kultur luka mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab
5. Biopsy mengkonfirmasi diagnosa benigna / maligna
6. Led peninggian mengidentifikasi respon inflamasi
7. Hitung darah lengkap / deferensial peningian dan perpindahan ke kiri di duga proses
infeksi

H. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Diri Klien
Meliputi tanggal pengkajian, ruangan, nama (inisial), nomor MR, umur, pekerjaan, agama,
jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS, alasan masuk RS, cara masuk RS, penanggung
jawab.
b. Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama
Biasanya pada klien dengan amputasi keluhan utamanya yaitu klien mengatakan nyeri pada
luka, mengalami gangguan pada sirkulasi dan neurosensori, serta memiliki keterbatasan
dalam beraktivitas.
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Kita kaji kapan timbul masalah, riwayat trauma, penyebab, gejala (tiba-tiba/perlahan),
lokasi, obat yang diminum, dan cara penanggulangan
 Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji apakah ada kelainan muskuloskeletal (jatuh, infeksi,
trauma dan fraktur), kaji apakah ada riwayat penyakit Diabetes Mellitus, penyakit
jantung, penyakit gagal ginjal dan penyakit paru.
 Riwayat Kesehatan Keluarga Kaji apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami
penyakit yang sama, kaji apakah ada anggota keluarga yang merokok ataupun
menggunakan obat-obatan.
c. Pemeriksaan Fisik
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
1. System integumen : secara umum lokasi amputasi Mengkaji kondisi umum kulit untuk
menijau tingkat hidrasi.lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau
kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakn progesif. Kaji kondisi jaringan diatas
lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
2. System kardiovaskuler : cardiac reserve pembuluh darah mengkaji tingkat aktivitas harian
yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indicator fungsi
jantung. Mengkaji kemungkinan atherodklerosis melalui penilaian terhadap elastilitas
pembuluh darah.
3. System respirasi Adanya sianosis, riwayat gangguan pernafasan
4. System urinari Mengkaji jumlah urine 24 jam, adanya perubahan warna, serta bj urine
5. System neurologis Mengkaji tingkat kesdaran klien, serta system pernafasan khususnya
system motoric dan sensorik daerah yang diamputasi.
6. System mukuloskeletal Mengkaji kemampuan otot kontralateral, terjadi kelemahan
secara umum, keterbatasan rom dan masalah fungsi gerak lain
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Ganguan citra tubuh
Referensi :
Lukman, N. N. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Mukuloskeletal .
Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. Hardhi, K. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional. Yogyakarta :
Mediaction Jogja.
Daryadi,(2012). Asuhan Keperawatan Amputasi.
Form NCP

Planning
Nursing Diagnosis*
Goal Interventions
Nyeri akut b/d agen cedera fisik(adanya amputasi) Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
keperawatan selama 1x 6 jam di
harapkan nyeri berkurang dengan Observasi
kriteria hasil :
1. Kaji tanda-tanda vital pasien
1. keluhan nyeri menurun 2. identifikasi karaktaristik,
2. meringis menurun durasi,frekuensi, kualitas, intensitas
3. gelisa menurun nyeri
3. Identifikasi skala nyeri
Teerapeutik

1. Berikan teknik non-farmakologi untuk


mengurangi rasa nyeri
2. fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi

1. jelaskan srategi meredakan nyeri


2. ajarka teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian analgesic,jika perlu

Referensi:
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Planning
Nursing Diagnosis*
Goal Interventions
Gangguan Mobilitas fisik b/d nyeri (adanya Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan mobilisasi
tarauma,amputasi) selama 1x 6 jam di harapkan keterbatasan
dalam gerak fisik akibat nyeri (adanya Observasi
trauma,amputasi)dapat diatasi dengan
1. identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
kriteria hasil :
lainnya
1. nyeri menurun
2. gerakan terbatas menurun Terapeutik
3. kelemahan fisik menurun
1. fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat
bantu (mis : pagar tempat tidur)
2. libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakkan.

Edukasi

1. jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

Referensi
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Planning
Nursing Diagnosis*
Goal Interventions
Gangguan citra tubuh b/d perubahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Promosi citra tubuh
struktur/bentuk tubuh ( adanya amputasi). selama 1x 6 jam di harapkan persepsi
tentang penamplan akibat kehilangan Observasi
bagian tubuh dapat teratasi dengan
1. identifikasi harapan citra tubuh
kriteria hasil :
berdasarkan tahap perkembangan
1. verbalisasi kehilangan bagian tubuh 2. identifikasi citra tubuh yang
meningkat mengakibatkan isolaasi sosial
2. verbalisasi kekhawatiran pada
penolakkan /reaksi orang lain Teerapeutik
menurun 1. Diskusikan perubahan tubuh dan fugsinya
3. focus pada bagian tubuh menurun 2. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh

Edukasi

1. Jelaskan kepada keluarga tentang


perawatan perubahan citra tubuh
2. Ajarkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh

Referensi:

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai