Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ADENOIDHIPERTROFI

MAKALAH KEPERAWATAN
BEDAH

oleh

Elik Anistina
NIM 162310101297

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017

i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan Rahmat-Nya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Asuhan
keperawatan pasien dengan adenoidhipertrofi ”

Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak baik materi, moral maupun spiritual. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ns. Mulia Hakam, S.Kep., Ns., M.Kes., selaku PJMK Keperawatan bedah
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan tekun dan sabar
dalam penyusunan makalah ini;
2. Ns. Siswoyo, S.Kep., Ns., M.Kes., selaku dosen Keperawatan bedah yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan tekun dan sabar dalam
penyusunan makalah ini;

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari


sempurna, untuk itu saran dan kritik demi perbaikan sangat penulis harapkan. Dan
semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca serta
perkembangan ilmu keperawatan pada umumnya.

Jember, April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 1
1.3 TUJUAN ....................................................................................................... 2
BAB 2. PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1 Anatomi ......................................................................................................... 3
2.2 Fisiologi ......................................................................................................... 6
2.3 Definisi .......................................................................................................... 6
2.4 Insiden dan Epidemiologi .............................................................................. 7
2.5 Etiologi .......................................................................................................... 7
2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................................... 8
2.7 Patofisiologi................................................................................................. 10
2.8 Pathway ....................................................................................................... 12
2.9 Pemeriksaan diagnostic ............................................................................... 13
2.9.1 Radiologi ............................................................................................... 13
2.9.2 Endoskopi ............................................................................................. 13
2.9.3 Pemeriksaan rinoskopi .......................................................................... 13
2.10 Penatalaksanaan ......................................................................................... 13
BAB 3. CONTOH KASUS ................................................................................... 15
I. Identitas Klien ................................................................................................ 15
II. Riwayat Kesehatan ....................................................................................... 15
III. Pengkajian Keperawatan ............................................................................. 16
IV. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 21
V. Diagnosa Keperawatan ................................................................................. 24
VI. Intervensi Keperawatan ............................................................................... 25
BAB 4. PENUTUP ............................................................................................... 31

iii
4.1 KESIMPULAN ........................................................................................... 31
4.2 SARAN ....................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran jaringan limfoid pada dinding
posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai salah satu
dari sistem pertahanan tubuh (Gibson, 2002). Secara fisiologis adenoid
mengalami hipertrofi pada masa anak-anak biasanya terlihat pada anak usia 3
tahun, lalu akan mengalami resolusi spontan dan menghilang pada usia sekitar 14
tahun. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan sumbatan
pada mulut tuba eustachius (Tambayong, 2000).
Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi (Ikawati, 2010).
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam (Gibson, 2002). Terdapat
beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan "manfaat dan risiko" (Tambayong, 2000).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian diatas didapatkan rumusan masalah makalah ini adalah
“Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada pasien dengan adenoidhipertrofi ?“.

1
1.3 TUJUAN
1. Tujuan umum :
a. Mahasiswa mampu menerapkan Konsep Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan adenoidhipertrofi.
2. Tujuan khusus :
a. Mahasiswa mampu mengkaji pasien dengan adenoidhipertrofi.
b. Mahasiswa mampu menyusun analisa data dengan tepat pasien
adenoidhipertrofi.
c. Mahasiswa mampu menyusun rencana Konsep Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan adenoidhipertrofi.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada
bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada
bagian depan berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan
laring di bawah berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding laring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring) (Wibowo, 2009).

3
Atap nasopharynx sesuai dengan dasar dari corpus ossis sphenoidalis yang
mengandung sinus sphenoidalis. Batas depan dari nasopharynx adalah choana
yang merupakan muara dari cavum nasi. Dinding belakangnya sesuai dengan
vertebra sevikalis I dan II. Batas bawahnya dibentuk oleh palatum molle dan
rongga nasofaring terpisah dari orofaring pada waktu menelan oleh kontraksi otot-
otot palatum malle (m.tensor veli palatini dan m.levator veli palatini) bersama
dengan m.constrictor faringis superior (Timurawan, 2010).
Nasofaring relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
struktur seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
ressesus faring yang disebut fossa Rosenmuller. Kantong Rathke yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri. Torus tubarius merupakan suatu
refleksi mukosa faring, di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana,
foramen jugulare yeng dilalui oleh n. Glosofaring, n.vagus, dan n.asecorius spinal
saraf cranial dan v. jugularis intema, bagian atas petrosus os temporalis dan
foramen laserum serta muara tuba eustachius (Pearce, 2009).
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius (Gibson, 2002).

4
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus
(Wibowo, 2010).

Jaringan adenoid terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang
massa limfoid. Jaringan ini terisi pembuluh darah dan penbuluh limfe, sedangkan
di beberapa tempat terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa
yang bermuara kearah permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam
adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan ikat halus terdapat
kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid, bergabung menjadi jaringan limfoid
yang membentuk adenoid. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi (Wibowo, 2009).

Struktur anatomis yang penting dalam klinik :


Pada dinding lateral nasofaring di belakang concha nasi inferior terdapat
muara dari tuba auditiva yang disebut ostium tubae yang dibatasi di dorsal dan
kranialnya oleh tonjolan yang disebabkan oleh m.levator veli palatini yang
melekat pada cartilago tubae auditiva dan disebut torus tubarius atau levatorwurst.

5
Pada bayi muara tuba ini terletak setinggi dasar cavum nasi sehingga selalu
dilewati sekret hidung yang mengalir ke nasofaring karena itu mudah teejadi
infeksi telinga tengah melalui tuba ini pada bayi yang pilek (Timurawan, 2010).
Di dorsal torus tubarius terdapat lekukan ke lateral dari rongga nasofaring
yang didebut fossa Rosenmuller (recessus faringeus), jaringan limfoid di sekitar
muara tuba dan di fossa Rosenmuller ini disebut tonsil tubaria. Sering terjadi
pendangkalan fossa ini olch pertumbuhan tumor ganas nasofaring. Pada
pertemuan antara atap dan dinding dorsal nasofaring terdapat adenoid (tonsillla
faringeal) yang terdiri dari jaringan limfoid berbentuk lipatan-lipatan vertikal.
Pada bagian atas dari dinding dorsal ini kadang-kadang ada suatu cekungan atau
kantong yang disebut bursa faringeal yang jinak meradang menyebabkan penyakit
Thornwaldt (bursitis nasofaringeal) dengan gejala utama postnasal discharge
(Pearce, 2009).

2.2 Fisiologi
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi
suara dan untuk artikulasi. Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid
merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer.
Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting system pertahanan tubuh garis
depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul
asing (Gibson, 2002).

2.3 Definisi
Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran jaringan limfoid pada dinding
posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai salah satu
dari sistem pertahanan tubuh (Gibson, 2002). Secara fisiologis adenoid
mengalami hipertrofi pada masa anak-anak biasanya terlihat pada anak usia 3
tahun, lalu akan mengalami resolusi spontan dan menghilang pada usia sekitar 14
tahun. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi

6
hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan sumbatan
pada mulut tuba eustachius (Tambayong, 2000).

2.4 Insiden dan Epidemiologi


Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi,
dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%)
menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi) (Ikawati, 2010).
Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.

2.5 Etiologi
Secara fisiologis, pada adenoid hipertrofi banyak di temukan organisme
yang terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai aktif setelah lahir.
Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus, streptococcus anaerobik,
actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai berkembang. Flora normal
yang ditemukan pada adenoid antara lain streptococcus alfa-hemolytic,
corynebacterium, staphylococcus, neissria, micrococcus dan stomatococcus
(Tambayong, 2000). Etiologi pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh

7
infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian atas pola pertumbuhan normal
untuk jenis jaringan. Penyebab hipertrofi adenoid dapat dibagi menjadi dua yaitu
secara fisiologis dan faktor infeksi (Ikawati, 2010).
Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya
yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14
tahun Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menyebabkan
gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi
kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Adenoid merupakan
massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior nasofaring di atas
batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer. Apabila sering terjadi
infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang
akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala
umum (Grace dan Borley, 2006). Akibat sumbatan koana maka pasien akan
bernapas lewat mulut sehingga terjadi :
a) Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi
tinggi dan sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada
arcus dentalis inferior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus
atas lebih menonjol ke depan).
b) Muka penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai
facies adenoidea.
c) Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan
kelembabannya kurang, sehinnga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan
bagian bawah.
d) Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren
maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.
Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala umum yang ditemukan pada hipertrofi adenoid yaitu gangguan
tidur, tidur ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan fisis kurang
dan dapat menyebabkan sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat
mencetuskan kor pulmonale dimana sukar disembuhkan dengan penggunaan

8
diuretik tetapi memberikan respon yang cepat terhadap adenoidektomi (Grace dan
Borley, 2006). Pasien dengan adenoid hipertrofi biasanya datang dengan keluhan
rhinore, kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa
pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa
terjadi gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan
penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten)
dan muka adenoid. Hipotensi alveolar bisa terjadi akibat gangguan pada jalan
udara di oral dan nasofaring yang perlangsungannya lama dan hal itu
menyebabkan terjadinya hipertensi pada arteri pulmonal, cor pulmonale, dan
hiperkapnia (Davey, 2010). Gejala termasuk nyeri, deman, ulserasi tonsil,
pembesaran kelenjar getah bening (Kelenjar) di bawah rahang, demam, dan
ketidaknyamanan umum.
Pembesaran adenoid menimbulkan beberapa gangguan:
a. Obstruksi nasi
Hipertrofi adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung
sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat akan terus bernapas
melalui mulut.
b. Fasies Adenoid
Secara umum telah diketahui bahwa dengan pembesaran adenoid
mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi:
1) Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek.
Namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan
mengisap dari botol dalam jangka panjang.
2) Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/ hipoplastik, sudut alveolar atas
lebih sempit, arcus palatum lebih tinggi
c. Efek pembesaran adenoid pada telinga
Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis
media efusi telah dibuktikan baik secara radiologis dan penelitian tentang tekanan
oleh Bluestone.
d. Sleep apnea

9
Sleep apnea pada anak pertama kali diperkenalkan oleh Gastatut, berupa
adanya episode apnea saat tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga
disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat
adanya obstruksi, sentral atau campuran. Kasus anak dengan pembesaran jantung
kanan dan edema paru akibat obstruksi jalan napas dan sembuh setelah dilakukan
adenotonsilektomi pada 3 kasus dan adenoidektoni pada 1 kasus. Bila apnea
obstruksi tidak tertangani, maka bukan hanya masalah ngantuk siang hari yang
dirasakan oleh anak tersebut namun juga berefek pada hipertensi pulmonary dan
kor-pulmonale (Sabiston, 1995).

2.7 Patofisiologi
Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan
jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer
(Tambayong, 2000). Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting system
pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman
mikroorganisme dan molekul asing. Pada balita jaringan limfoid dalam cincin
waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena
aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ
limfoid pertama di dalam tubuh yang menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan
tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte,
folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan
merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan
mikroorganisme pathogen (Grace dan Borley, 2006).
Tubuh manusia mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang
terdiri dari berbagai macam sistem imun. Respons imun tubuh dipicu oleh
masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel
makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC).
Sel itu akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan
sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit Th atau T helper. Sel Th ini akan
teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel
limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian

10
berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen. Sel
limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi
sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel
tipe lain atau dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang
menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respon
imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah
berhasil dieliminasi melalui mekanisme control (Davey, 2010).
Sistem limfatik baru akan dikatakan mengalami gangguan jika muncul
tonjolan yang membesar dibandingkan keadaan biasanya. Hal ini dikarenakan
kelenjar limfe sedang berpasangan melawan kuman yang masuk dalam tubuh.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha
yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan (Grace dan Borley, 2006).

11
2.8 Pathway

Invasi bakteri, virus

Berkembang secara berulang

Mempengaruhi sistem kerja jaringan limfoid dan sistem waldeyer

Dihadapi oleh sel makrofag Melepaskan mediator inflamasi

Peran antigen precenting cell (APC) Histamin dikeluarkan oleh sel mast

APC menangkap antigen Vasodilatasi

Antigen dikenali oleh sel limfosit Membawa lebih banyak leukosit

Aktivasi limfosit B dan limfosit T

Proliferasi limfosit B dan limfosit T

Obstruksi jalan Aktivasi fagosit kalah Hipertermi


udara pada nasal
Hipertrofi abnormal sumbatan jalan udara
Terasa hidung
buntu, keluar
Nyeri akut Susah tidur
cairan jernih dari
hidung
obstruksi pada tube Gangguan pola tidur
Ketidakefektifan
eustachius
bersihan jalan
nafas terasa benjolan pada
Tuli konduktif belakang hidung

tidak nafsu makan


(anoreksia)

Gangguan
menelan

12
2.9 Pemeriksaan diagnostic

2.9.1 Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang
postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto
lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi (Sabiston, 1995).

2.9.2 Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid
hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga
dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal (Davey, 2010).

2.9.3 Pemeriksaan rinoskopi


Pemeriksaan dengan rinoskopi posterior sulit dilakukan pada kebanyakan
anak, oleh karena itu pemeriksaan paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid
adalah foto lateral adenoid. Foto polos lateral dapat memberikan ukuran adenoid
absolute dan pengukuran hubungan besar adenoid dan sumbatan jalan napas.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan rinoskopi
anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu
fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit). Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara langsung
(Grace dan Borley, 2006).

2.10 Penatalaksanaan
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk
infeksi kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik
dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil
membunuh bakteri. Banyak kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan
antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat dengan
menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian

13
menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid
(sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut
akan terulang lagi (Baughman dan Hackley, 2000). Pada anak dengan efusi telinga
tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi
meminimalkan terjadinya rekuren. Indikasi adenoidektomi adalah :
2.10.1 Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
2.10.2 Infeksi
a. Adenoiditis berulang/kronik
b. Otitis media efusi berulang/kronik
c. Otitis media akut berulang
d. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan
yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi,
operasi dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan "manfaat dan risiko"
(Ikawati, 2010). Keadaan tersebut antara lain:
a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
d. Infeksi akut yang berat

14
BAB 3. CONTOH KASUS

I. Identitas Klien
Nama : Sdr. A No. RM : 078959

Umur : 14 Tahun Pekerjaan : Siswa

Jenis : Laki-laki Status : Belum Menikah


Kelamin Perkawinan

Agama : Islam Tanggal MRS : 20 April 2015

Pendidikan : SMP Tanggal : 21 April 2015


Pengkajian

Alamat : Banyuanyar Sumber : Keluarga Pasien


Informasi

II. Riwayat Kesehatan


1. Diagnosa Medik:
Adenoidhipertrofi
2. Keluhan Utama:
Terus menerus keluar cairan melalui hidung, terasa ada yang mengganjal
di belakang hidung, susah bernafas, nyeri, badan panas dan pasien susah
tidur.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Keluarga pasien mengatakan sejak 4 hari yang lalu pasien mengeluh
“bindeng” tetapi tanpa flu. Keluarga kemudian membelika pasien obat
warung untuk mengatasi “bindeng”. Setelah 2 hari pasien pasien
mengeluhkan keluar cairan terus menerus melalui hidung, cairan bening,
jernih dan keluarga juga merasakan bahwa akhir-akhir ini pasien susah
tidur dan juga sering mendengkur. Keluarga membawa pasien ke Rumah
sakit pada tanggal 20 April 2015.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami:

15
Keluarga pasien mengatakan pasien pernah mengalami sakit demam, batuk
dan pilek.
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll):
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, plester, dan lain-lain.
Keluarga mengatakan jika pasien demam, batuk, pilek keluarga akan
mencarikan obat diwarung, tetapi jika dalam waktu 2 hari tidak membaik,
pasien akan di bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
c.Imunisasi:
Keluarga pasien mengatakan lupa akan status imunisasi pasien.
d.Kebiasaan/pola hidup/life style:
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok atau minum-minuman
beralkohol. Tetapi, keluarga sering melihat pasien membeli makanan
sembarang dan suka sekali dengan minuman bersoda dan berpengawet.
e. Obat-obat yang digunakan:
Jika pasien panas, batuk, pilek pasien meminum obat dari warung, dan
pada kasus kali ini juga pasien di belikan obat warung oleh keluarga.
5. Riwayat penyakit keluarga:
Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga lain yang
mengalami penyakit yang sama dengan pasien.

III. Pengkajian Keperawatan


1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
a) Sebelum MRS : Keluarga pasien mengatakan jika pasien sakit
mambeli obat di warung bebas dan jika tidak membaik pergi ke
pelayanan kesehatan terdekat.
b) Saat MRS : Pasien hanya mendapatkan pengobatan dari RS
Interpretasi : Managemen regimen terapeutik pasien kurang baik, pasien
membeli obat tanpa memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.

2. Pola nutrisi/ metabolik (ABCD)


- Antropometeri
BB = 40 Kg

16
TB = 155 Cm
IMT = BB(Kg)/ TB2 (m)
= 40/1,552 = 16,7
BB ideal = TB-100 kurang lebih (10% X BB)
= 155-100 kurang lebih (10% X 40)
= 55 kurang lebih 4 = 51-59
Interpretasi :
Berdasarkan klasifikasi IMT, IMT pasien tidak dalam rentang
normal 1,850-25,99) pasien bermasalah dalam kategori kurus. BB
pasien saat ini tidak memenuhi kategori BB ideal.
- Biomedical sign :
Tanggal 20/4/2015
Hemoglobin = 11,7 gr/dl
Leukosit = 14,1 x 109/L
Hematokrit 35,5 %
Trombosit 335 x 109/L
Albumin 3,5 gr/dL
Interpretasi :
Terjadi penurunan hasil lab hemoglobin dan hematocrit, sedangkan
nilai leukosit meningkat.
- Clinical Sign :
Conjungtiva merah muda
Mukosa bibir kering
Turgor kulit < 1 detik
Interpretasi :
- Diet Pattern :
a) Sebelum MRS : pasien susah makan, tetapi pasien tetap makan
3 kali sehari dengan porsi ½ porsi habis dan kadang pasien juga
meminum susu.
b) Saat MRS : pasien mendapatkan nasi halus dengan diet TKTP,
pola makan 3x sehari, dengan porsi ½ porsi habis.

17
3. Pola eliminasi:
BAK
- Frekuensi :
Saat MRS : Pasiem sudah BAK
Sebelum MRS : >5x/hari

- Jumlah :
Saat MRS : 1000 cc/6 jam
Sebelum MRS : tidak terkaji
- Warna :
Saat MRS : Kuning
Sebelum MRS : Kuning
- Bau :
Saat MRS : Bau khas urine
Sebelum MRS : Bau khas urine
- Karakter :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : -
- BJ :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : -
- Alat Bantu :
Saat MRS : Pasien tidak memakai dower cateter
Sebelum MRS : -
- Kemandirian : mandiri/dibantu
Saat MRS : mandiri
Sebelum MRS : mandiri
- Lain :-
BAB
- Frekuensi :
Saat MRS : -

18
Sebelum MRS : 1 kali/hari
- Jumlah :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : Tidak terkaji
- Konsistensi :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : Lembek
- Warna :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : Kuning kecoklatan
- Bau :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : Bau khas feses
- Karakter :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : -
- BJ :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : -
- Alat Bantu :
Saat MRS : -
Sebelum MRS : -
- Kemandirian : mandiri/dibantu
Saat MRS : -
Sebelum MRS : Mandiri
- Lain :
Saat MRS : Pasien belum BAB sejak MRS
Sebelum MRS : -
4. Pola aktivitas & latihan
Sebelum MRS : Pasien dapat melakukan aktivitas dan latihan secara
mandiri

19
Saat MRS : Mobilitas pasien mandiri

c.1. Aktivitas harian (Activity Daily Living)

Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4

Makan / minum V

Toileting V

Berpakaian V

Mobilitas di tempat tidur V

Berpindah V

Ambulasi / ROM V

Keterangan :
0 = dibantu total
1 = dibantu petugas dan alat
2 = dibantu petugas
3 = dibantu alat
4 = mandiri
5. Pola tidur & istirahat
Durasi :
Sebelum MRS : ± 7-8 jam
Saat MRS : ± 5-6 jam
Gangguan tidur :
Sebelum MRS : Pasien sulit tidur
Saat MRS : Pasien terbangun dimalam hari
Keadaan bangun tidur :
Sebelum MRS : Badan terasa pegal-pegal
Saat MRS : tidak terkaji
Lain-lain : -

20
6. Pola kognitif & perceptual
Fungsi Kognitif dan Memori :
Normal
Fungsi dan keadaan indera :
Normal dan dapat merasakan.
7. Pola persepsi diri
Gambaran diri : Normal
Identitas diri : Normal
Harga diri : Normal
Ideal Diri : Normal
Peran Diri : Normal
8. Pola seksualitas & reproduksi
Pola seksualitas : Pasien belum menikah
Fungsi reproduksi : Tidak terkaji
9. Pola peran & hubungan
Keluarga pasien mengatakan pasien menjalankan perannya sebagai anak
yang baik. Hubungan pasien dan keluarga, teman, dan tetangga baik.
Keluarga pasien selalu mendampingi pasien selama dirawat inap. Selama
MRS pasien tidak mampu menjalankan perannya karena kondisi yang
sakit.
10. Pola manajemen koping-stress
Tidak terkaji
11. System nilai & keyakinan
Tidak terkaji

IV. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum:

Kesadaran composmentis GCS 15, pasien terlihat bernafas melalui mulut, dan
susah tidur dengan tidur mendnegkur.

Tanda vital:

21
- Tekanan Darah : 120/80 mm/Hg
- Nadi : 74 X/mnt
- RR : 20 X/mnt
- Suhu : 37 C

Pengkajian Fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)

1. Kepala
I : Bentuk wajah dan kepala simetris, warna rambut hitam.
Pa : Kepala teraba keras.
2. Mata
I : Kojungtiva merah muda, pupil isokor 3/3.
Pa : Tidak ada nyeri tekan
3. Telinga
I : Bentuk telinga simetris, tidak ada benjolan, tidak menggunakan alat
bantu pendengaran, telinga tampak kotor
Pa : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
4. Hidung
I : Bentuk hidung simetris, keluar cairan bening dari hidung, tidak ada
benjolan, tidak ada penbengkakan, tidak ada polip hidung, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tetapi pasien merasakan adanya benjolan pada
belakang hidung
Pa : Tidak ada nyeri tekan
5. Mulut
I : Tidak ada kelainan kongenital, mukosa bibir kering,
6. Leher
I : Bentuk leher simetris, tidak ada benjolan, tidak ada pembengkakan
kelenjar tiroid, terdapat trakeostomi, tidak ada pembengkakan vena
jugularis, dan tidak ada deviasi trakea
7. Dada
a. Paru

22
I : Bentuk dada simetris/ normal, pergerakan dada simetris, ada otot bantu
nafas
Pa : Vokal fremitus normal
Pe : Sonor
A : Vesikuler di seluruh lading paru.

b. Jantung
I : Bentuk dada simetris, Ictus cordis tidak tampak
Pa : Ictus cordis teraba di ICS 5-6, tidak ada kardiomegali
Pe : Pekak di ICS 2-5
A : S1 dan S2 tunggal regular, tidak ada bunyi tambahan
8. Abdomen
I : Bentuk datar, tidak terdapat distensi abdomen
A : Bising usus 6 X/menit
Pe : Timpani
Pa : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembengkakan hati dan paru, tidak
teraba massa, kandung kemih teraba lembek
9. Urogenital
Pasien tidak terpasang dower cateter, jumlah urine tidak terkaji.
10. Ekstremitas
I : Terpasang infus ditangan kiri, tidak terdapat edema perifer, tidak cacat
ekstremitas atas dan bawah
Pa : Akral hangat, CRT <1 detik, kekuatan otot
5555 5555

5555 5555
11. Kulit dan kuku
I : Kulit kering, tidak ada clubbing finger, bentuk kuku normal
Pa : Turgor kulit menurun. CRT <1 detik
12. Keadaan lokal
Kesadaran composmentis. GCS 15.

23
V. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan hidung buntu, pembesaran
adenoid.
b. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan adenoid.
c. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme penyakit.
d. Gangguan menelan berhubungan dengan susah menelan, anoreksia.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan tidak nyaman pada benjolan
belakang hidung.

24
VI. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 a. Ketidakefektifan bersihan jalan  Outcome untuk mengukur penyelesaian 1) Awasi pernafasan
nafas berhubungan dengan dari diagnose 2) Tinggi kepala 30-45 derajat
hidung buntu, pembesaran Kepatenan jalan nafas 3) Lakukan pembersihan obsess
adenoid.  Outcome tambahan untuk mengukur secara berkala
batasan karakteristik: 4) Pertahankan posisi tapat dan
1. Tingkat kecemasan gunakan alat jalan nafas
2. Pencegahan aspirasi 5) Kolaborasi : berikan oksigen
3. Respon ventilasi mekanik jika di perlukan
4. Status pernafasan
5. Kontrol gejala
6. Tanda-tanda vital

2 b. Nyeri akut berhubungan dengan  Outcome untuk mengukur penyelesaian 1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan
pembengkakan adenoid. dari diagnose lokasi, intensitas (skala 1-10),
Kontrol nyeri frekuensi dan waktu.
 Outcome tambahan untuk mengukur 2) Mengindikasi kebutuhan untuk
batasan karakteristik: intervensi dan juga tanda-tanda
1. Tingkat kecemasan perkembangan/resolusi
2. Kepuasan klien: Manajemen nyeri komplikasi.
3. Kepuasan klie : kontrol gejala 3) Dorong pengungkapan perasaan
4. Status kenyamanan 4) Berikan aktivitas hiburan, misal:
membaca, nonton TV, bermain
handphone.
5) Meningkatkan kembali perhatian
kemampuan untuk
menanggulangi nyeri.

25
6) Lakukan tindakan paliatif, misal:
pengubahan posisi, masase -
Meningkatkan relaksasi/menurun
ketegangannya
7) Instruksikan pasien untuk
menggunakan visualisasi/
bimbingan imajinasi, relaksasi
progresif, teknik nafas dalam
8) Berikan analgesik/antipiretik.
Gunakan ADP (analgesik yang
dikontrol pasien) untuk
memberikan analgesik 24 jam
3 c. Hipertermi berhubungan  Outcome untuk mengukur penyelesaian 1) Pantau suhu pasien (derajat dan
dengan peningkatan dari diagnose pola); perhatikan menggigil/
metabolisme penyakit. Termoregulasi diafpresis - Suhu 38,90C, 41,10C
 Outcome tambahan untuk mengukur 2) Pantau suhu lingkungan, batasi/
batasan karakteristik: tambahkan linen tempat tidur
1. Status neurologic sesuai indikasi.
2. Tanda-tanda vital 3) Berikan kompres mandi hangat
4) Kolaborasi dalam pemberian
antipiretik, misal: paracetamol,
asetaminofen

4 d. Gangguan menelan  Outcome untuk mengukur penyelesaian 1) Kaji kemampuan untuk


berhubungan dengan susah dari diagnose mengunyah, merasakan dan
menelan, anoreksia. Status menelan menelan
 Outcome tambahan untuk mengukur 2) Timbang berat badan sesuai
batasan karakteristik: kebutuhan. Evaluasi berat badan

26
1. Pencegahan aspirasi dalam hal adanya berat badan
2. Perawatan diri makan yang tidak sesuai.
3. Mual dan muntah 3) Hilangkan rangsangan lingku-
4. Tingkat nyeri ngan yang berbahaya atau kondisi
yang membentuk reflek fagal
4) Berikan perawatan mulut terus
menerus, awasi tindakan
pencegahan sekresi.
5) Hindari obat kumur yang
mengandung alkohol
6) Mengurangi ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan
mual/muntah, lesi, oral,
pengeringan mukosa.
7) Sediakan makanan yang sedikit
tapi sering berupa makanan pada
nutrisi, tidak bersifat asam dan
juga minuman dengan pilihan
yang disukai pasien.
8) Mendorong konsumsi makanan
berkalori tinggi, yang dapat
merangsang nafsu makan.
9) Catat waktu, kapan nafsu makan
menjadi baik dan pada waktu itu
usahakan untuk menyajikan porsi
makan yang lebih
10) Melibatkan pasien dalam
memberikan perasaan kontrol

27
lingkungan dan mungkin
meningkatkan pemasukan.
11) Berikan obat yang antiemetik
misal: Ranitidin
12) Berikan suplemen vitamin

5 e. Gangguan pola tidur  Outcome untuk mengukur penyelesaian 1. Pantau keadaan umum pasien
berhubungan dengan tidak dari diagnose dan TTV
nyaman pada benjolan belakang Tidur 2. Kaji Pola Tidur.
hidung.  Outcome tambahan untuk mengukur 3. Pantau keadaan umum pasien
batasan karakteristik: dan TTV
1. Tingkat kelelahan 4. Kaji Pola Tidur.
2. Status kenyamanan 5. Kaji fungsi pernapasan: bunyi
napas, kecepatan, irama.
6. Kaji faktor yang menyebabkan
gangguan tidur (nyeri, takut,
stress, ansietas, imobilitas,
gangguan eliminasi seperti
sering berkemih, gangguan
metabolisme, gangguan
transportasi, lingkungan yang
asing, temperature, aktivitas
yang tidak adekuat).
7. Catat tindakan kemampuan
untuk mengurangi kegelisahan.
8. Ciptakan suasana nyaman,
Kurangi atau hilangkan
distraksi lingkungan dan

28
gangguan tidur.
9. Batasi pengunjung selama
periode istirahat yang optimal
(mis; setelah makan).
10. Minta klien untuk membatasi
asupan cairan pada malam hari
dan berkemih sebelum tidur.
11. Anjurkan atau berikan
perawatan pada petang hari
(mis; hygiene personal, linen
dan baju tidur yang bersih).
10. Gunakan alat bantu tidur
(misal; air hangat untuk
kompres rilaksasi otot, bahan
bacaan, pijatan di punggung,
music yang lembut, dll).
12. Ajarkan relaksasi distraksi.
13. Beri obat dengan kolaborasi
dokter.

29
30
BAB 4. PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran jaringan limfoid pada dinding
posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai salah satu
dari sistem pertahanan tubuh (Tambayong, 2000). Secara fisiologis adenoid
mengalami hipertrofi pada masa anak-anak biasanya terlihat pada anak usia 3
tahun, lalu akan mengalami resolusi spontan dan menghilang pada usia sekitar 14
tahun. Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan sumbatan
pada mulut tuba eustachius (Davey, 2010).
Secara fisiologis, pada adenoid hipertrofi banyak di temukan organisme
yang terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai aktif setelah lahir.
Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus, streptococcus anaerobik,
actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai berkembang. Flora normal
yang ditemukan pada adenoid antara lain streptococcus alfa-hemolytic,
corynebacterium, staphylococcus, neissria, micrococcus dan stomatococcus
(Tambayong, 2000).

4.2 SARAN
Diharapkan mahasiswa keperawatan dapat meningkatkan mutu
kesehatan dalam masyarakat melalui pelaksanaan penyakit adenoid hipertrofi
kesehatan dalam masyarakat atau keluarga.

31
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D. C. dan J. C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.
Davey, P. 2010. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Gibson, J. 2002. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Grace, P. A. dan N. R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Bogor: Erlangga
Medical Series.
Ikawati, Z. 2010. Resep Hidup Sehat. Yogyakarta: Kanisius.
Pearce, E. C. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Sabiston, D. C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Timurawan, A. 2010. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Gramedia.
Wibowo, D. S. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo.
Wibowo, D. S. 2010. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo.

32

Anda mungkin juga menyukai