Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PANCASILA

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

KELOMPOK 6

ANGGOTA

Yohanes Paulus Papua 1909511106

Taufik Akbar 1909511107

I Made Anom Suryaningrat 1909511109

Ahmad Anang Intan Purnama Negara 1909511110

I Gusti Made Alit Surya Dharma 1909511111

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia dari beliau
sehingga tugas makalah tentang “Pancasila Sebagai Sistem Filsafat” ini dapat tersusun
hingga selesai. Adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi persyaratan nilai tugas dalam
mata kuliah Pancasila di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Pancasila
karena pemberian tugas ini sehingga kami mendapat pengetahuan tambahan tentang Pancasila
Sebagai Sistem Filsafat.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam tugas makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk kedepannya agar menjadi lebih baik lagi.

Denpasar, 12 Mei 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I...................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Rumusa Masalah................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Masalah................................................................................................... 3

BAB II..................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN.............................................................................................................. 4
2.1 Filsafat Pancasila Sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus
Subjectivu............................................................................................................ 4
2.2 Landasan Ontologis Filsafat pancasila................................................................ 4
2.3 Landasan Epistemologi Filsafat Pancasila.......................................................... 7
2.4 Landasan Aksiologis Pancasila........................................................................... 8

BAB III................................................................................................................................... 11
PENUTUP....................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 11
3.2 Saran.................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang
merupakan karunia terbesar dari Tuhan Yang Maha Esa dan ternyata merupakan light-star bagi
segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam
memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa, serta
sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari.

Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD
1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan
Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr.
Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa
Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu
pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang
menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.

Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga
negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang
telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk
kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

Selama manusia hidup sebenarnya tidak seorang pun dapat menghindar dari kegiatan
berfilsafat. Adapun arti dalam pengertian dari Pancasila sebagai Sistem Filsafat adalah :

1
Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur, masing-masing unsure
mempunyai fungsi sendiri-sendiri, mempunyai tujuan yang sama, saling keterkaitan
(interrelasi) dan ketergantungan (interdependensi), sehingga merupakan satu kesatuan yang
bulat dan utuh.Pancasila adalah sebuah system karena pancasila merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan.

Esensi seluruh sila-silanya juga merupakan suatu kasatuan. Pancasila berasal dari
kepribadian Bangsa Indonesia dan unsur-unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak
dahulu. Secara garis besar Pancasila adalah suatu realita yang keberadan dan kebenaraannya
tidak dapat diragukan. Nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan harus menjadi pedoman dan tolak ukur bagi seluruh kegiatan
kemasyarakatan dan kenegaraan Bangsa Indonesia.

• Menurut Roeslan Abdoelgani (1962), menyatakan bahwa pancasila adalah filsafat


Negara yang lahir sebagai collection ideologies dari keseluruhan bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasial pada hakikatnya merupakan suatu realiteit atau noodzakelijkheid
bagi keutuhan persatuan Bangsa Indonesia.
• Filsafat berasal dari bahasa yunani, yaitu philein (cinta) dan sophos (kebenaran, hikmah
atau bijaksanaan). Jadi kata filsafat berarti cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan.

Filsafat Negara kita adalah Pancasila, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia
sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan pedoman dalam
kelakuan dan pergaulan sehari-hari. Sebagai pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah
asas-asas pancasila disampaikan kepada generasi baru melaluai pengajaran dan pendidikan.
Pancasila menunjukan terjadinya proses ilmu pengetahuan. Validitas, dan hakikat ilmu
pengetahuan (teori ilmu pengetahuan).

1.2 Rumusan masalah


1. Apa maksud dari filsafat pancasila sebagai genetivus objectivus dan genetivus subjectivus?
2. Apa maksud dari landasan ontologis Filsafat pancasila ?
3. Apa maksud dari landasan Epistemologis Filsafat Pancasila ?
4. Apa maksud dari landasan Aksiologis Filsafat Pancasila ?

2
1.3 Tujuan Masalah
1. Agar pembaca dapat memahami tentang filsafat pancasila sebagai genetivus objectivus dan
genetivus subjectivus !
2. Agar pembaca dapat memahami tentang landasan Ontologis Filsafat pancasila !
3. Agar pembaca dapat memahami tentang landasan Epistemologis Filsafat Pancasila !
4. Agar pembaca dapat memahami tentang landasan Aksiologis Filsafat Pancasila !

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Pancasila Sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus
Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat :
Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus Pancasila
sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari
landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang berkembang
di Barat. Misalnya, Notonagoro yang menganalisis tentang nilai-nilai pancasila berdasarkan
pendekatan subtansialistik filsafat Aristoteles sebagaimana yangterdapat dalam karyanya yang
berjudul Pancasila Ilmiah Populer. Adapun Drijarkara menyoroti nilai-nilai pancasila dari
pendekatan eksistensialisme religious sebagaimana yang diungkapkannya dalam tulisan yang
berjudul Pancasila dan Religi.
Selanjutnya pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai pancasila itu
sendiri dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk
menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Selain itu, nilai- nilai pancasila tidak hanya
dipakai dasar bagi pembuatan peraturan perundang- undangan, tetapi juga nilai-nilai pancasila
harus mampu menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan
nasional. Misalnya, Sastrapratedja (2001: 2) mengatakan bahwa pancasila adalah dasar politik,
yaitu dapat dijelaskan tentang prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bernegara tentunya,
berbangsa, dan bermasyarakat. Adapun Soerjanto (1991:57-58) mengatakan bahwa fungsi
pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu
menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya.

2.2 Landasan Ontologis Filsafat pancasila


Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat
yang mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis. Pernahkah Anda mendengar istilah”ontologi”? Ontologi menurut Aritoteles
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat segala yang ada secara umum
sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang membahas sesuatu secara khusus.
Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang
paling umum dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah substansi. Inti persoalan
ontologi adalah menganalisis tentang substansi (Taylor,1955: 42). Substansi menurut Kamus
Latin – Indonesia, berasal dari bahasa Latin “substare” artinya serentak ada, bertahan, ada
dalam kenyataan. Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri sendiri, hal berada, wujud,
hal wujud (Verhoeven dan Carvallo, 1969: 1256).
Ontologi menurut pandangan Bakker adalah ilmu yang paling universal karena objeknya
meliputi segala-galanya hal ini tentunya menurut segala bagiannya (ekstensif) dan menurut
segala aspeknya (intensif) (Bakker,1992: 16). Lebih lanjut, Bakker mengaitkan dimensi
ontologi ke dalam pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah mahluk individu sekaligus
sosial (monodualisme), yang secara universal berlaku pula bagi substansi infrahuman,
manusia, dan Tuhan. Kelima sila pancasila menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan

4
kemandirian masingmasing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan
keterikatan dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila pancasila merupakan suatu
hirarki teratur yang berhubungan satu sama lain, tanpa dikompromikankan otonominya,
khususnya pada Tuhan. Bakker menegaskan bahwa baik manusia maupun substansi
infrahuman bersama dengan otonominya ditandai oleh ketergantungan pada Tuhan Sang
Pencipta. Ia menyimpulkan bahwa segala jenis dan taraf substansi berbeda secara esensial,
tetapi tetap ada keserupaan mendasar (Bakker,1992: 38). Stephen W. Littlejohn dan Karen A
Foss dalam Theories of Human Communication menegaskan bahwa ontologi merupakan
sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat mahluk hidup.
Setidaknya, ada empat masalah mendasar dalam asumsi ontologis ketika dikaitkan dengan
masalah sosial, yaitu (1) pada tingkatan apa manusia membuat pilihanpilihan yang nyata?; (2)
apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami bentuk keadaan atau sifat?; (3) Apakah
pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial?; (4) pada tingkatan apakah
komunikasi sosial menjadi kontekstual? (Littlejohn and Foss, 2008: 26).Penerapan keempat
masalah ontologis tersebut ke dalam pancasila sebagai sistem filsafat menghasilkan hal-hal
berikut. Pertama, ada tiga mainstream yang berkembang sebagai pilihan nyata bangsa
Indonesia atas kedudukan pancasila sebagai sistem filsafat, yaitu (1) determinisme yang
menyatakan bahwa perilaku manusia disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga
manusia pada dasarnya bersifat reaktif dan pasif.
Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai reaksi atas penjajahan yang melanggar Hak
Asasi Manusia, sebagaimana amanat yang tercantum dalam alinea I Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, ”Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. (2)
pragmatisme yang menyatakan bahwa manusia merencanakan perilakunya untuk mencapai
tujuan masa depan sehingga manusia merupakan mahluk yang aktif dan dapat mengambil
keputusan yang memengaruhi nasib mereka.
Sifat aktif yang memunculkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari
belenggu penjajahan termuat dalam alinea II Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Adapun butir (3) aliran yang berdiri pada posisi tengah (kompromis) yang menyatakan
bahwa manusia yang membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa perilaku
telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan secara bebas. Ketergantungan di satu
pihak dan kebebasan di pihak lain tercermin dalam alinea III Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Ketergantungan dalam hal ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan
kebebasan bangsa Indonesia mengacu pada keinginan luhur untuk bebas merdeka.
Persoalan kedua, terkait dengan apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam
bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini, keadaan mencerminkan kedinamisan manusia,

5
sedangkan sifat mengacu pada karakteristik yang konsisten sepanjang waktu (Littlejohn and
Foss, 2008: 26). Keadaan dan sifat membentuk perilaku manusia sehingga penjajahan yang
dialami oleh bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang itu membentuk
kedinamisan rakyat Indonesia untuk terus mengadakan perlawanan yang tertuang dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Sifat yang mengacu pada karakteristik
bangsa Indonesia berupa solidaritas, rasa kebersamaan, gotong royong, bahu-membahu untuk
mengatasi kesulitan demi menyongsong masa depan yang lebih baik.
Persoalan ontologis ketiga yang dikemukakan Littlejohn andnFossterkait dengan apakah
pengalaman manusia semata-mata individual ataukah sosial? Seiring dengan sejarah perjalanan
bangsa Indonesia, harus diakui memang ada individu-individu yang menonjol, seperti para
pahlawan (Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dan seterusnya), tokohtokoh pergerakan
nasional (Soekarno, M. Hatta, A.A Maramis, Agus salim, dan seterusnya) yang mencatatkan
nama- namanya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Namun, harus pula diakui bahwa para pahlawan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu
tidak mungkin bergerak sendiri untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Peristiwa
Sepuluh November di Surabaya ketika terjadi pertempuran antara para pemuda, arek-arek
Surabaya dan pihak sekutu membuktikan bahwa Bung Tomo berhasil menggerakkan semangat
rakyat melalui orasi dan pidato-pidatonya.
Dengan demikian, manusia sebagai mahluk individu baru mempunyai arti ketika berelasi
dengan manusia lain sehingga sekaligus menjadi mahluk sosial. Landasan ontologis pancasila
artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan raison d’etre sila-sila pancasila sebagaidasar
filosofis negara Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman atas hakikat sila-sila pancasila itu
diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas modus eksistensi bangsa Indonesia.
Sastrapratedja (2010: 147--154) menjabarkan prinsip-prinsip dalam pancasila sebagai
berikut. (1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pengakuan atas kebebasan
beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi agar hak
kebebasan beragama itu dapat dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk agama.
(2). Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap orang memiliki
martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar
bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia.
(3). Prinsip Persatuan mengandung konsep nasionalisme politik yang menyatakan bahwa
perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak menghambat atau mengurangi partsipasi
perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dankebangsaan
dengan berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan identitas diri bangsa Indonesia.
(4). Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa sistem demokrasi diusahakan
ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya mufakat untuk menghindari dikotomi
mayoritas dan minoritas.
(5). Prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana yang
dikemukakan Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam negara
Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).

6
2.3 Landasan Epistemologi Filsafat Pancasila

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode,
validitas dan hakikat ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses,
dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Dalam arti
Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science dan
secara mendasar Epistemologi meliputi nilai-nilai dan azas-azas. Epistemologi juga mengkaji
tentang hakikat dan wilayah pengetahuan, membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.

Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Sedangkan susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan yaitu Pancasila memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti
dari sila-sila Pancasila itu. Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan
pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai dalam upaya untuk
mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

Menurut Titus, terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu :

1. Tentang sumber pengetahuan manusia


Maha sumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan
potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian
manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: panca indra, akal, rasa, karsa, cipta,
karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah anugerah dan
amanat ketuhanan/ keagamaan. Berikut ini beberapa macam sumber pengetahuan dibedakan
secara kualitatif, antara:
a) Sumber primer, yang tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-
budaya, sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya.
b) Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan,
dokumentasi.
c) Sumber tersier: cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.

2. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia


Sila ketuhanan yang maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang
bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya berkedudukan dan kodratnya adalah sebagai
makhluk Tuhan yang maha Esa. Maka, sesuai dengan sila pertama pancasila, epistemologi
pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai tingkat
kebenaran yang tinggi yang harus diakui oleh setiap manusia. Dengan demikian kebenaran dan
pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan
manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tinggi
sebagai makhluk Tuhan.
Selanjutnya, dalam sila ketiga, keempat dan kelima, maka epistemologi pancasila
mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

7
3. Tentang watak pengetahuan manusia
Watak pengetahuan manusia bersumber pada ketuhanan yang ditransformasikan kepada
diri sendiri dengan epistemologi pancasila yang mengakui kebenaran Tuhan itu ada dan
kebanaran terhadap wahyu serta potensi diri yang menjadi dasar rasional logis yang
menyangkut kualitas maupun kuantitas arti dari pancasila tersebut.
Secara epistemologi kajian pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Dengan demikian walau
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti pancasila telah menjadi suatu sistem kepercayaan (belief system), sistem cita cita dan
telah menjadi suatu ideologi bangsa dan negara. Oleh karena itu pancasila harus memiliki unsur
rasionalisme terutama kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Maka, dasar epistemologis pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasar
tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi
masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan pancasila tentang sumber pengetahuan
pancasila sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri.
Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis pancasila tentang susunan pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis
baik dalam arti susunan sila-sila pancasila maupun isi arti dari sila-sila pancasila itu. Susunan
kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramida. Sifat hirarkis dan
bentuk piramidal itu nampak dalam susunan pancasila, dimana sila pertama pancasila
mendasari dan menjiwai ke empat silasila lainnya, sila kedua didasari sila pertama dan
mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila
pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat
didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima,
sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.

2.4 Landasan Aksiologis Pancasila

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis,
yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu
kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai
Pancasila.Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos
yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang
diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai,
dan kedudukan metafisika suatu nilai.

Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga.
Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai
“keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga
mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an

8
related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai
macam teori tentang nilai.

1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan
menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai
yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam
kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai
dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak
suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)

2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:


a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang
dapat dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari
kehidupan badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat
menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h. Nilai-nilai keagamaan

3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:


a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana
kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan
menjadi empat macam:
▪ Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
▪ Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis,
rasa) manusia.
▪ Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa)
manusia.
▪ Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

9
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai
sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila
adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai
keadilan.
b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga
negara.
c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai
ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup
dalam masyarakat.

5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbansa, dan bernegara.

6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber


of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap,
tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai
Manusia Indonesia

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai bangsa Indonesia, kita memerlukan Pancasila sebagai dasar kita berpikir dalam
kehidupan sehari-hari. Di era globalisasi ini, bangsa kita banyak menerima berbagai macam
bentuk informasi dari luar. Budaya, ekonomi, gaya hidup, kesehatan, dll dapat dengan mudah
kita ketahui. Namun, tidak semua budaya luar sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Terdapat budaya positif dan negative yang harus kita saring. Dengan memiliki dasar berpikir
yang berpedoman pada Pancasila kita dapat menyaring budaya-budaya asing yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan cerminan bangsa Indonesia

3.2 Saran
Sebagai bangsa Indonesia, kita memerlukan Pancasila sebagai dasar kita berpikir dalam
kehidupan sehari-hari. Di era globalisasi ini, bangsa kita banyak menerima berbagai macam
bentuk informasi dari luar. Budaya, ekonomi, gaya hidup, kesehatan, dll dapat dengan mudah
kita ketahui. Namun, tidak semua budaya luar sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Terdapat budaya positif dan negative yang harus kita saring. Dengan memiliki dasar berpikir
yang berpedoman pada Pancasila kita dapat menyaring budaya-budaya asing yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan cerminan bangsa Indonesia

11
DAFTAR PUSTAKA
http://shasqiasalsabila.blogspot.com/2017/12/refleksi-pancasia-sebagai-sistem.html
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uac
t=8&ved=2ahUKEwiB_NDzwa3pAhVCzjgGHcgMCqIQFjAAegQIBBAB&url=https%3A%
2F%2Fwww.academia.edu%2F37108426%2FMakalah_Pendidikan_Pancasila_Bab_5&usg=
AOvVaw1FsXQLgeLzOeUwpGw8kqhp

12

Anda mungkin juga menyukai