Anda di halaman 1dari 47

TUGAS MATA KULIAH GERONTIK

“ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN”

Dosen Pembimbing :
Dr. Rika Sabri, S.Kp, M.Kes, Sp.Kep.Kom

Oleh:
Kelompok I
Dian Agusti Tanjung 1911316067 Sari Endi Ayu 1911316005
Fanesa Vernanda 1911316001 Metri Yenti 1911316006
Liza Mulyanti 1911316002 Dewi Rahayu Ningsih 1911316007
Elvina 1911316003 M.Nasrul Ramadhan1911316008
Yurika Defany 1911316004 Raffy Edwar 1911316009

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatulaahi Wabarokaatuh

Syukur Alhamdulillah, dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah semata yang
senantiasa memberi nikmat dan karunia kepada umat manusia tiada batasnya.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari jalan kesesatan menuju
jalan yang benar dan diridhoi Allah swt.
Alhamdulillah kami dapat menyusun  makalah tentang “Asuhan
Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Sistem Pernapasan”. Adapun tujuan
penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gerontik.
Terimakasih juga kami ucapkan kepada saudara/i yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik
dan rapi. Kami menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kesempurnaan maka
kiranya mohon saran dan masukan demi perbaikan makalah kelompok 1. Demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh

Padang, 15 September 2020

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.....................................................................................3
C. Manfaat Penulisan...................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Lansia........................................................................................4
B. Kriteria Kemunduran Fungsi Tubuh Lansia...........................................4
C. Perubahan Terkait Usia Pada Fungsi Respirasi......................................5
D. Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru.....................................7
E. Perubahan Sistem Respirasi Pada Lansia................................................9
F. Patogenesis Penyakit Paru Pada Lansia..................................................9
G. Aspek Klinik...........................................................................................11
H. Pencegahan Penyakit Paru Pada Lansia..................................................27
I. Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.....28
BAB III KASUS
A. Pengakajian Keperawatan.......................................................................32
B. Diagnosa Keperawatan............................................................................37
C. Intervensi Keperawatan...........................................................................38
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................42
B. Saran........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................43

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomi-fisiologi dan dapat
timbul pula penyakit-penyakit pada sistem pernafasan. Usia harapan hidup
lansia di Indonesia semakin meningkat karena pengaruh status kesehatan,
status gizi, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan sosial ekonomi yang
semakin meningkat sehingga populasi lansia pun meningkat. Pada tahun
2010 jumlah warga lanjut usia (lansia) di Indonesia akan mencapai
19.079.800 jiwa (BAPPENAS, BPS, UNFPA. 2005) pada tahun 2014 akan
berjumlah 22.232.200 jiwa atau 9,6% dari total penduduk dan pada tahun
2025 akan meningkat sampai 414% dibandingkan tahun 2004 (WHO,
2005).
Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara
masuk dan keluar dari paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan dengan
karbondiaoksida. Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung,
sinus-sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea,
bronkus-bronkus, dan paru.
Rongga thoraks tersusun atas susunan tulang iga yang
membatasi/rib cage (sebagai “dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”).
Mediastinum membagi dua rongga pleura. Tiap paru terletak di dalam satu
rongga pleura, yang dilapisi dengan membran serosa disebut pleura. Pleura
parietal menutupi permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga
diafragma dan mediastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar
paru dan meluas hingga fisura antara lobus. Membran pleura mensekresi
cairan pleura dalam jumlah sedikit, yang menciptakan kelembaban dan
mantel licin untuk lubrikasi saat bernafas. Paru terbagi atas beberapa lobus
yang terpisah dengan jelas. Paru kanan terdiri dari tiga lobus : lobus
superior, media dan inferior. Paru kiri hanya memiliki dua lobus: lobus
superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas permukaan
diafragma.

1
Menurut ilmu demografi Indonesia dalam masa transisi demografi
yaitu perubahan pola penduduk berusia muda ke usia tua. Infeksi saluran
nafas bagian bawah akut dan tuberkulosis paru menduduki 5 penyakit
terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Gangguan sistem respirasi
merupakan gangguan yang menjadi masalah besar di dunia khususnya
Indonesia diantaranya adalah  penyakit pneumonia, TBC, dan asma.
Menurut laporan WHO pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara
dengan tingkat kejadian  pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001,
pneumonia merupakan urutan terbesar penyebab kematian pada balita.
Pneumonia dapat mengenai anak di seluruh dunia, bila diumpamakan
kematian anak-anak di seluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap jam,
anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat
pneumonia, yang mencapai hampir 1 dari 5 kematian balita di seluruh
dunia. Insiden pneumonia di negara berkembang adalah 10-20 kasus/100
anak/tahun (10-20%). Sedangkan insiden TBC, WHO mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah  penderita TBC sebesar
429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia
(WHO, 2010).
Peningkatan insiden dan prevalensi pneumonia pada lansia  juga
dikaitkan dengan penyakit komorbid yang diderita pasien, seperti diabetes
melitus, penyakit jantung, malnutrisi, dan penyakit hati kronik. Sebagai
contoh, diabetes melitus menyebabkan penurunan fungsi sistim imun
tubuh baik proses kemotaksis maupun fagositosis. Pada gagal jantung
kongestif yang disertai edema paru, fungsi clearance paru berkurang
sehingga kolonisasi kuman pernafasan mudah berkembangbiak. Pasien
yang sebelumnya sering mengonsumsi obat-obatan yang bersifat sedatif
atau hipnotik berisiko tinggi mengalami aspirasi sehingga mempermudah
terjadinya infeksi. Hal itu disebabkan kedua obat tersebut menekan
rangsang batuk dan kerja clearance mukosilier (WHO, 2010).

2
Dampak yang diakibatkan meliputi masa rawat yang lebih
panjang, biaya rawat yang lebih besar serta sering timbulnya komplikasi
berat sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup. Infeksi saluran
nafas atas dan influenza malah sering berlanjut menjadi pneumonia yang
gejala dan tanda pneumonia pada lansia sering tidak khas yang
menyebabkan keterlambatan diagnosis, belum lagi meningkatnya resistensi
mikroba terhadap antibiotika. Adapun  peran kita sebagai seorang perawat
dalam mencegah ataupun menangani gangguan yang terjadi pada sistem
pernapasan lansia adalah memberikan pendidikan kesehatan pada lansia
untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih kronis dan memberikan
tindakan keperawatan sesuai wewenang kita sebagai seorang perawat
sesuai indikasi yang diderita oleh lansia (Geffen, 2006).

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan
keperawatan yang tepat untuk lansia dengan gangguan sistem
pernafasan.
2. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui konsep lansia.
b. Untuk mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi sistem
respirasi pada lansia.
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan sistem respirasi.
C. Manfaat
Mahasiswa mengetahui mengetahui asuhan keperawatan pada
lansia dengan gangguan sistem respirasi.

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. Definisi
Gerontologi adalah studi mengenai efek penuaan normal dan penyakit
yang berhubungan dengan usia. Geriatrik adalah cabang kedokteran mengenai
masalah dan penyakit pada lansia dan terapinya. Cabang keperawatan yang
membantu orang untuk menua tua dengan cara yang sehat dan meningkatkan
serta mempertahankan kesejahteraan hidup di usia senja disebut keperawatan
gerontologi. Asuhan keperawatan pada lansia yang sakit disebut keperawatan
geriatrik. (Buku ajar keperawatan dasar, EGC, 2017).
Secara umum, seseorang disebut lansia apabila usianya 65 tahun ke atas.
Terdapat batasan-batasan umur orang yang termasuk dalam kategori lansia,
diantaranya adalah 60 tahun (UU No. 13 Tahun 1998), dan 60-74 tahun
(WHO).
Sistem pernapasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti
“bernapas lagi”. Mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen (O 2)
serta mengeluarkan karbondioksida (CO2) dari tubuh. O2 merupakan sumber
tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus-menerus, sedangkan CO 2
merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. Bila
tertumpuk di dalam darah akan menurunkan PH sehingga menimbulkan
keadaan asidosis yang dapat mengganggu fungsi tubuh bahkan dapat
menyebabkan kematian (Hood Al sagaff dan Abdul Mukty, 2010).

B. Empat Kriteria Kemunduran Fungsi Tubuh disebabkan Proses Menua


Pada orang-orang sehat, perubahan anatomik-fisiologik tersebut
merupakan bagian dari proses menua. Usia lanjut bukanlah merupakan
penyakit, tetapi merupakan tahap lanjut dari suatu kehidupan yang ditandai
dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap stress atau
pengaruh lingkungan. Proses menua melandasi berbagai kondisi yang terjadi
pada usia lanjut.

4
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu kemunduran fungsi tubuh adalah
disebabkan oleh proses menua dan bukan disebabkan oleh penyakit yang
menyertai proses menua, ada 4 kriteria yang harus dipenuhi:
1. Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh tadi harus bersifat universal,
artinya umum terjadi pada setiap orang.
2. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, yang berarti perubahan
fungsi sel dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi di
dalam sel dan bukan oleh faktor luar.
3. Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur lambat
dan tidak dapat berbalik lagi.
4. Proses menua bersifat proses kemunduran/ kerusakan (Injury)

C. Perubahan Terkait Usia Pada Fungsi Respirasi


Struktur respirasi atas, yaitu hidung dan semua bagian struktur respirasi
atas dipengaruhi oleh adanya penurunan usia yang dapat menurunkan
kenyamanan dan fungsi dengan cara seperti dibawah ini:
1. Penurunan pada jaringan konektif yang menyebabkan hidung menarik
columella (dibawah tepi septum) dan kurang di dukung, ujung diputar ke
bawah.
2. Aliran darah berkurang ke hidung menyebabkan turbinat hidung menjadi
lebih kecil.
3. Mukus lebih tebal di nasoparing akibat perubahan degeneratif pada
kelenjar submukosa.
4. Pengerasan pada trakea menyebabkan kalsifikasi pada kartilago
5. Batuk tumpul dan refleks laring
6. Atropi pada ujung saraf laring

Perubahan sistem imun juga terjadi pada usia lanjut yang dapat
mempengaruhi fungsi pernapasan, sebagai contoh; penelitian mengkonfirmasi
bahwa perubahan terkait usia pada sel T (komponen sistem imun yang
esensial untuk perlindungan melawan infeksi dan malignan) adalah faktor
utama mengkontribusi peningkatan prevalensi pada penyakit paru usia lanjut.

5
Pada usia lanjut perjadi perubahan-perubahan anatomik yang mengenai
hepar seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan
atau organ yang bersangkutan.
1. Perubahan anatomik sistem pernapasan
Yang mengalami perubahan adalah :
a. Dinding dada : tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang
rawan mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan ukuran dada.
Sudut epigastrik relatif mengecil dan volume rongga dada mengecil.
b. Otot-otot pernapasan : mengalami kelemahan akibat atrofi
c. Saluran napas : akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis
bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil. Cincin-
cincin tulang rawan bronkus mengalami perkapuran.
d. Struktur jaringan parenkim paru : bronkiolus, duktus alveolaris dan
alveolus membesar secara progresip, terjadi emfisema senilis. Struktur
kolagen dan elastin dinding saluran napas perifer kualitasnya
mengurang sehingga menyebabkan elastisitas jaringan parenkim paru
mengurang. Penurunan elastisitas jaringan parenkim paru pada usia
lanjut dapat karena menurunnya tegangan permukaan akibat
pengurangan daerah permukaan alveolus.

2. Perubahan-perubahan fisiologik sistem pernapasan


Perubahan fisiologik (fungsi) pada sistem pernapasan yang terjadi antara
lain :
a. Gerak pernapasan : adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun
volume rongga dada akan berubah mekanika pernapasan, amplitudo
pernapasan menjadi dangkal, timbul keluhan sesak napas. Kelemahan
otot pernapasan menimbulkan penurunan kekuatan gerak napas, lebih-
lebih apabila terdapat deformitas rangka dada akibat penuaan.
b. Distribusi gas : perubahan struktur anatomik saluran napas akan
menimbulkan penumpukan udara dalam alveolus (air trapping)
ataupun gangguan pendistribusian udara napas dalam cabang-cabang
bronkus.

6
c. Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan karena
beberapa faktor : (1) kelemahan otot napas, (2) elastisitas jaringan
parenkim paru menurun, (3) resistensi saluran napas (menurun
sedikit). Secara umum dikatakan bahwa pada usia lanjut terjadi
pengurangan ventilasi paru.
d. Gangguan transfort gas
Pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang
penyebabnya terutama karena adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Selain itu diketahui bahwa pengambilan O2 oleh darah dari
alveoli (difusi gas) dan transport O2 ke jaringan-jaringan berkurang,
terutama terjadi pada saat melakukan olah raga. Penurunan
pengambilan O2 maksimal disebabkan antara lain karena: berbagai
perubahan pada jaringan paru yang menghambat difusi gas, dan
karena berkurangnya aliran darah ke paru akibat turunnya curah
jantung.
e. Gangguan perubahan ventilasi paru
Pada usia lanjut terjadi gangguan pengaturan ventilasi paru, akibat
adanya penurunan kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor
sentar ataupun pusat-pusat pernapasan di medulla oblongata dan pons
terhadap rangsangan berupa penurunan PaO2 peninggian PaO2,
perubahan Ph darah arteri dan sebagainya.

D. Faktor-faktor yang Memperburuk Fungsi Paru


Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa
faktor yang dapat memperburuk fungsi paru (Silverman dan Speizer, 1996;
Tim Pneumonia Indonesia, 1994). Faktor-faktor yang memperburuk fungsi
paru antara lain:
1. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan
saluran napas. Pada tingkat awal, saluran napas akan mengalami obstruksi
dan terjadi penurunan nilai VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya

7
penyakit paru tadi. Pada tingkat lanjut dapat terjadi obstruksi yang
irreversibel, timbul penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada
obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada, dan
dinding perut, akan dapat mengganggu compliance dinding dada,
berakibat penurunan volume paru atau terjadi keterbatasan gerakan
pernapasan (restriksi) dan timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
3. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-
otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan
“relatif” berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernapasan pada
usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor
lain yang menimbulkan imobilitas (paru), misalnya efusi pleura,
pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat
dilakukan dengan menjalankan olah raga secara intensif.
4. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari
pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan pengaruh
faal paru adalah : (1) pembedahan toraks (jantung dan paru); (2)
pembedahan abdomen bagian atas; dan (3) anestesi atau jenis obat
anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler paru.
Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan
komplikasi paru: atelektasis, infeksi atau sepsis dan sejenisnya mudah
terjadi kematian karena timbulnya gagal napas.
5. Infeksi paru
Infeksi paru terutama yang berulang akan memperjelek fungsi paru.

8
E. Konsekwensi Perubahan Sistem Respirasi pada Lansia
Perubahan Konsekwensi
Perubahan degeneratif mempengaruhi Snoring, mouth breathing, menurunkan
struktur hidung dan saluran napas atas efisiensi batuk dan refleks muntah,
persepsi hidung tersumbat
Peningkatan diameter anteroposterior, Meningkatnya penggunaan pada otot
kekakuan dinding dada, kelemahan otot tambahan, meningkatnya energi yang
dan diafragma dikeluarkan untuk efisiensi pernapasan
Pembesaran pada alveoli, penipisan Berkurangnya efisiensi pada pertukaran
pada dinding-dinding alveoli, gas, menurunnya tekanan oksigen
berkurangnya jumlah kapilaris arterial (PaO2)
Menurunnya elastik recoil dan Perubahan dalam volume paru, sedikit
penutupan saluran napas dini penurunan dalam efisiensi keseluruhan

Faktor tambahan yang mempengaruhi kemampuan pada usia lanjut untuk


melawan infeksi pernapasan, diantaranya adalah; kelemahan, dispagia,
penyakit serius, dan berkurangnya status fungsional (Fragoso dan Gill, 2012).
Miskinnya perawatan mulut dalam pasien hospitalisasi dan dalam jangka
panjang dalam beberapa kondisi dapat meningkatkan resiko pneumonia (Tada
dan Miura, 2012).

F. Patogenesis Penyakit Paru Pada Usia Lanjut


Mekanisme timbulnya penyakit yang menyertai usia lanjut dapat
dijelaskan atau dapat dikaitkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi
pada usia lanjut. Perubahan-perubahan tersebut adalah :
1. Perubahan anatomik-fisiologik
Dengan adanya perubahan anatomik-fisiologik sistem pernapasan
ditambah adanya faktor-faktor lainnya dapat memudahkan timbulnya
beberapa macam penyakit paru: bronkitis kronis, emfisema paru, PPOK,
TB paru, kanker paru dan sebagainya

.
2. Perubahan daya tahan tubuh

9
Pada usia lanjut terjadi penurunan daya tahan tubuh, antara lain karena
melemahnya fungsi limfosit B dan T, sehingga penderita rentan terhadap
kuman-kuman patogen, virus, protozoa, bakteri atau jamur.
3. Perubahan metabolik tubuh
Pada orang usia lanjut sering terjadi perubahan metabolik tubuh, dan paru
dapat ikut mengalami perubahan. Penyebab tersering adalah penyakit-
penyakit yang bersifat sistemik: diabetes mellitus, uremi, artitis rematoid
dan sebagainya. Faktor usia peranannya tidak jelas, tetapi lamanya
menderita penyakit sistemik mempunyai andil untuk timbulnya kelainan
paru tadi.
4. Perubahan respon terhadap obat
Pada orang usia lanjut, bisa terjadi bahwa pada penggunaan obat-obat
tertentu akan memberikan respons atau perubahan pada paru dan saluran
napas, yang mungkin perubahan-perubahan tadi tidak terjadi pada usia
muda. Contoh yaitu penyakit paru akibat idiosinkrasi terhadap obat yang
sedang digunakan dalam pengobatan penyakit yang sedang dideritanya,
yang mana proses tadi jarang terjadi pada usia muda.
5. Perubahan degeneratif
Perubahan degeneratif merupakan perubahan yang tidak dapat dielakkan
terjadi pada individu-individu yang mengalami proses penuaan. Penyakit
paru yang timbul akibat proses (perubahan) degeneratif tadi, misalnya
terjadinya bronkitis kronis, empisema paru, penyakit paru obstruktif
menahun, karsinoma paru yang terjadi pada usia lanjut dan sebagainya.
6. Perubahan atau kejadian lainnya
Ada pengaruh-pengaruh lain yang terjadi sebelum atau selama usia lanjut
yang dapat mempengaruhi dirinya sehingga dapat memudahkan timbulnya
penyakit paru tertentu pada usia lanjut, misalnya:
a. Kebiasaan merokok di masa lalu dan sekarang
Merokok yang berlangsung lama dapat menimbulkan perubahan-
perubahan struktur pada saluran napas, juga dapat menurunkan fungsi
sistem pertahanan tubuh yang diperankan oleh paru dan saluran napas,
sehingga memudahkan timbulnya infeksi pada paru dan saluran napas.

10
Merokok selain dapat memberikan perubahan-perubahan pada saluran
napas, dapat pula memudahkan timbulnya keganasan paru, PPOK,
bronkitis kronis dan sebagainya.
b. Pengaruh atau akibat kekurangan gizi
Pada usia lanjut telah diketahui terjadi penurunan daya tahan tubuh,
terutama respons imun seluler. Ini merupakan konsekuensi lanjut atas
terjadinya involusi kelenjar timus pada usia lanjut. Proses involusi
kelenjar timus menyebabkan jumlah hormon timus yang beredar
dalam peredaran darah menurun, berakibat proses pemasakan limfosit
T berkurang dan limfosit T yang beredar dalam peredaran darah juga
berkurang. Imunitas humoral pada usia lanjut juga terdapat perubahan
yang berarti, bahkan terdapat peninggian kada autoantibodi. IgA dan
IgG terdapat peningkatan, sedangkan IgM mengalami penurunan.

G. Aspek Klinik
Ada beberapa penyakit paru yang menyertai orang usia lanjut, yang penting
ada empat macam : penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia,
tuberkulosis paru, dan karsinoma paru.
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Pengertian
PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan
diobati ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara napas saat
inspirasi maupun ekspirasi terutama saat ekspirasi yang tidak
sepenuhnya reversibel dan pada kasus berat disertai beberapa gejala
efek ekstrapulmonal yang ditimbulkan. Ketebatasan aliran udara napas
tadi akibat obstruksi saluran napas kecil difusi biasanya berlangsung
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap paparan partikel atau gas toksis (GOLD, 2006).
Dalam definisi tersebut sudah tidak disebutkan keterkaitan atau
hubungan penyebab anatara PPOK dengan bronkitis kronis dan/ atau
emfisema pulmonum meskipun pada kenyataannya masih tersirat
adanya keterkaitan tersebut.

11
b. Insiden
Belum ada angka yang pasti mengenai insiden penyakit paru ini,
mengingat keterbatasan laporan para ahli, baik angka insiden nasional
maupun internasional. Data lokal di Semarang, tahun 1990-1991 di
RSUP Dr. Kariadi telah dirawat penderita PPOK usia lanjut sebesar
5,6% diantara penderita usia lanjut yang dirawat (Rahmatullah, 1994).
c. Faktor-faktor resiko
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini terjadi pada suatu
individu sering dikaitkan dengan adanya faktor-faktor resiko yang
terdapat pada penderita. Faktor-faktor resiko tadi misalnya: genetik,
paparan partikel / gas toksis (asap rokok, debu organik/ inorganik
tempat kerja, polutan udara di dalam/ luar ruangan hunian,
pertumbuhan / perkembangan paru, stres oksidatif, gender, umur,
infeksi paru berulang terutama pada anak, kondisi sosial ekonomik,
nutrisi dan penyakit-penyakit komorbid, antara lain asma bronkial
(GOLD, 2006). Pengaruh dari masing-masing faktor resiko terhadap
timbulnya PPOK adalah saling memperkuat, faktor resiko merokok
dianggap paling dominan menimbulkan penyakit ini. Faktor resiko
genetik utamanya defisiensi alfa-1 antitripsin yang sifatnya herediter
diketahui berperan penting dalam timbulnya PPOK terlebih bila
terdapat faktor merokok bersama.
d. Patologi, patogenesis, dan patofisiologi
Paparan bahan berupa partikel atau gas toksis pada seseorang yang
suseptibel berlangsung kronis menimbulkan respon inflamasi pada
paru, saluran napas, dan vaskular. Respons inflamasi yang timbul
bersifat progresif terutama sepanjang paparan bahan toksis
berlangsung.
Perubahan patologi yang timbul mengenai:
(1) Saluran napas proksimal diameter lebih dari 2 mm (timbul
perubahan seperti yang terjadi pada bronkitis kronis)
(2) Saluran napas tapi diameter kurang dari 2 mm (timbul kelainan
seperti yang terjadi pada bronkiolitis obstruktif)

12
(3) Parenkim paru atau bronkiolus respiratorius dan alveoli (seperti
yang terjadi pada empisema paru)
(4) Vaskular paru (terjadi penebalan intim, disfungsi endotel,
penebalan otot polos, menimbulkan hipertensi pulmonal).
Semuanya mengalami perubahan inflamasi. Perubahan lain terjadi di
luar paru dan saluran napas, merupakan efek ekstrapulmonal
(misalnya terjadi kor pulmonal kronik, osteoporosis, anemia, otot-otot
atrofi, depresi mental dan sebagainya terutama terjadi pada kasus-
kasus PPOK berat (GOLD, 2006).
Patogenesis PPOK melibatkan beberapa jenis sel inflamasi antara lain:
netrofil, makrofag, limfosit T (CD4+ dan CD8+), limfosit B, eosinofil
dan epitel bronkus dan sel-sel tersebut mengeluarkan mediator
inflamasi dan growth factor : menimbulkan inflamasi paru dan saluran
napas. Respons inflamasi yang terjadi tadi dapat diperkuat dengan
adanya stres oksidatif dan protease, elastase yang berlebihan dalam
paru (GOLD, 2006).
Adanya inflamasi kronik dan progresif pada paru dan saluran napas
seperti tersebut di atas menimbulkan :
(1) Hipersekresi mukus
(2) Keterbatasan aliran udara napas, air trapping atau hiperinflasi paru
akibat obstruksi (penyempitan saluran napas) difus, dan
(3) Abnormalitas pertukaran gas di alveoli sehingga timbul
hipoksemia dan hiperkarbia.
Hipoksemia lama dapat menimbulkan kelemahan otot-otot, kor
pulmonal kronik, polisitemia sekunder atau meningkatnya resiko
penyakit kardiovaskuler (GOLD, 2006). Keterbatasan aliran udara
napas dapat ditentukan dengan melihat cara napas penderita PPOK
(pursed-lip breathing), kelainan fisik dada dan paru serta pemeriksaan
spirometri, yang mana nilai spirometri (VEP1, rasio VEP1 / KVP)
dapat dipakai untuk menentukan tingkat beratnya PPOK (GOLD,
2006). Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas maupun
perfusi darah paru akan terganggu (Brannon, et al, 1993).

13
e. Gambaran klinik
Gambaran klinik yang dapat diamati pada penderita PPOK tergantung
pada derajat beratnya penyakit (ringan, sedang, berat dan amat berat)
dan kondisi penyakit penderita (PPOK stabil, PPOK mengalami
eksaserbasi akut atau keadaan gagal napas kronik).
Keluhan yang menyolok terutama pada penyakit derajat berat adalah
adanya sesak napas atau sesak napas saat aktivitas, kelemahan umum
(kehilangan tenaga gerak), batuk-batuk kronik produktif, nafsu makan
berkurang, dan sebagainya.
Kelainan fisik yang dapat dijumpai terutama pada penderita PPOK
derajat berat adalah : penderita tampak lemah, sianosis, pursed-lip
breathing (teknik bernapas yang digunakan untuk mengatasi sesak
napas pada mereka yang mengalami kesulitan bernapas, biasanya
berhubungan dengan penyakit paru kronik), hipertropi otot-otot bantu
napas (inspirsi dan ekspirasi), kelainan fisik pada dada dan paru,
mungkin ditemukan tanda-tanda sebagai efek ekstrapulmonal (kor
pulmonal kronik, aritmia, jari tabuh dan sebagainya). Kelainan fisik
pada paru memberikan petunjuk adanya obstruksi bronkus difus, air
trapping (udara terperangkap dalam alveoli) maupun hipertensi paru.
Kelainan dada (berbentuk tong atau Barrel chest) memberikan
petunjuk adanya akibat dari air trapping atau hipertensi paru (GOLD
2006). Bila kelainan fisik penderita PPOK diamati dengan cermat,
mungkin penderita menunjukkan gambaran ke arah dua tipe pokok
PPOK: (1) blue bloater type (mengarah pada bronkitis kronis), atau
(2) pink puffer type (mengarah pada emfisema paru) meskipun
berdasarkan konsep terbaru PPOK tidak lagi dikaitkan penyebabnya
berasal dari bronkitis kronis maupun emfisema paru (GOLD, 2006).

f. Diagnosis

14
Diagnosis PPOK ditegakkan dengan metode yang lazim, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan (GOLD, 2006). Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
akan ditemukan keluhan dan kelainan fisik yang khas seperti
dijelaskan pada gambaran klinik PPOK. Beberapa pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, mengetahui
komplikasi atau efek ekstrapulmonal. Pemeriksaan penunjang yang
sangat penting adalah pemeriksaan spirometri, untuk menegakkan
adanya obstruksi bronkus ataupun untuk mengetahui derajat beratnya
PPOK (GOLD, 2006).
Pada diagnosis harus ditemukan apakah PPOK berada pada keadaan
PPOK stabil, PPOK eksaserbasi akut atau tanda-tanda efek sistemik
apa yang telah terjadi yang ikut menentukan tingkat beratnya PPOK
(GOLD, 2006).
g. Penanganan
Penanganan penderita PPOK usia lanjut sama dengan pada usia
sebelumnya. Tujuan penanganan PPOK adalah:
(1) Membebaskan gejala
(2) Mencegah progresivitas penyakit
(3) Meningkatkan toleransi latihan (olah raga)
(4) Meningkatkan status kesehatan
(5) Mencegah dan mengobati komplikasi
(6) Mencegah dan mengobati eksaserbasi akut
(7) Mengurangi angka kematian
Penanganan PPOK berdasarkan GOLD 2006 dibagi dalam 4
komponen :
(1) Penilaian dan evaluasi penyakit
(2) Pengurangan faktor resiko
(3) Penanganan PPOK stabil
(4) Penanganan PPOK eksaserbasi

15
Komponen 1 : penilaian dan evaluasi penyakit. Dalam hal ini
penegakan diagnosis harus dilakukan secara baik, semestinya adanya
PPOK ditentukannya dengan spirometri, namun alat spirometri belum
tentu tersedia ditempat pelayanan kesehatan. Diagnosis klinik PPOK
harus segera dipikirkan bila menjumpai penderita ada riwayat paparan
asap (misalny asap rokok) mengalami sesak napas, batuk-batuk
produktif , lebih-lebih telah ada sesak napas saat aktivitas. Penderita
dengan curiga terjadi gagal napas harus dilakukan pemeriksaan
analaisis gas darah arteri (AGDA) (GOLD, 2006).
Komponen 2 : pengurangan faktor resiko. Pengenalan adanya faktor
resiko pada penderita PPOK kadang-kadang tidak mudah. Beberapa
faktor resiko timbulnya PPOK telah dikenal. Pengurangan paparan
terhadap asap rokok, bahan kimia tertentu, polusi udara dalam ruang
hunian maupun lingkungan luar merupakan hal yang penting dalam
hal mengurangi gejala ataupun mencegah timbulnya PPOK. Penderita
PPOK yang masih merokok atau terkena asap rokok harus
menghentikan merokok saat itu juga agar fungsi parunya tidak
semakin jelek.
Komponen 3 : penanganan PPOK stabil. Penanganan PPOK stabil
hendaknya dilakukan secara individual dengan menilai gejala yang
ada dan tingkat beratnya kasus-kasus yang dihadapi. Tindakan yang
dilakukan dalam menangani kasus-kasus PPOK stabil meliputi:
pendidikan, pengobatan farmakologik, dan pengobatan non
farmakologik.
Pendidikan ditujukan kepada penderita agar segera menghentikan
adanya paparan partikel/ gas toksis terhadap dirinya, utamanya segera
menghentikan merokok. Lebih-lebih bagi penerita yang diketahui
adanya defisiensi berat alfa-1 antitripsin agar segera menghentikan
merokok karena penderita sangat sensitif terhadap asap rokok dan
mudah terjadi PPOK.
Pengobatan farmakologik (dengan obat-obatan) bertujuan untuk
mengurangi gejala atau komplikasi. Obat-obat yang umum digunakan

16
adalah bronkodilator, baik yang berefek kerja pendek atau panjang.
Bronkodilator efek kerja pendek misalnya: beta-2 agonis,
antikolinergik dan metilsantin digunakan secara tunggal dan
kombinasi. Bronkodlator efek kerja panjang hasilnya lebih efektif dan
nyaman dibanding yang efek kerjanya pendek. Penambahan
glukokortikosteroid pada penderita yang telah mendapatkan
bronkodilator dianjurkan pada penderita PPOK derajat berat atau
mengalami eksaserbasi akut. Bila terdapat infeksi ( misalnya
pneumonia) harus diberikan antibiotika yang sesuai. (GOLD, 2006)
Pengobatan nonfarmakologik juga sangat penting dalam penanganan
penderita PPOK, meliputi:
(1) Rehabilitasi
(2) Pemberian nutrisi yang sesuai
(3) Pengobatan oksigen
(4) Bantuan alat ventilasi mekanik bagi yang memerlukan
(5) Terapi pembedahan bagi kasus-kasus yang memenuhi indikasi
(misalnya dilakukan bedah reduksi volume paru, transplantasi paru
dan sebagainya)
Program rehabilitasi paru merupakan standar perawatan penderita
PPOK yang hasilnya dapat membantu perbaikan fisik penderita
PPOK. Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala,
memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan pengendalian fisik dan
emosional dalam aktivitas sehari-hari sampai pada tingkat aktivitas
tertinggi dan mandiri. Program rehabiltasi paru dilakukan dengan
melibatkan beberapa disiplin ilmu atau beberapa ahli dan merupakan
tim yang terdiri dari dokter rehabilitasi medik, dokter yang merawat,
perawat, fisioterapi, psikolog dan ahli terkait lainnya.
Nutrisi penderita PPOK harus juga diperhatikan, problemnya ialah
adanya gangguan nutrisi dan status gizi buruk yang harus diperbaiki.
Gangguan nutrisi pada penderita PPOK usia lanjut yang dapat
menimbulkan status gizi buruk disebabkan oleh beberap hal, yang
harus diperhatikan dalam supply nutrisi. Ada beberapa alasan maka

17
dianjurkan pemberian diet penderita PPOK adalah cukup atau tinggi
kalori dengan sumber kalori rendah karbohidrat dan tinggi protein.
Terapi oksigen juga sangat penting bagi penderita PPOK untuk
membantu mengambil oksigen untuk kondisi hipoksemia kronik.
Ventilasi mekanik terutama ventilasi noninvasif dibutuhkan oleh
penderita PPOK derajat berat atau amat berat dan dilaksanakan di
ruang intensif rumah sakit. Pengobatan pembedahan hanya tetap
dilakukan pada kasus-kasus tertentu dan atas dasar indikasi tertentu
pula (GOLD, 2006)
Komponen 4 : penanganan PPOK eksaserbasi akut. Beberapa
penderita PPOK stabil dengan adanya penyebab tertentu bisa
mengalami perburukan gejala. Penyebab paling umum adalah infeksi
paru oleh bakteri maupun virus. Dengan adanya perburukan gejala ini
mengharuskan penderita dirawat di rumah sakit, karena kemungkinan
terjadinya gagal napas akut atau acute on chronic respiratory failure
besar sekali dan memerlukan alat bantu napas (ventilator). Perburukan
gejala PPOK meliputi sesak napas bertambah, batuk semakin berat
dan frekuens, sputum bertambah atau berubah warna. Pada keadaan
ini pengobatannya ditingkatkan dari pengobatan PPOK stabil. Dalam
hal ini inhalasi bronkodilator (beta-2 agonist dengan atau tanpa
antikolinergik) dan glukokortikosteroid oral merupakan pengobatan
yang efektif untuk PPOK eksaserbasi akut. Bila penyebab eksaserbasi
akut oleh infeksi bakterial (sputum berubah warna) maka perlu
diberikan antibiotika yang sesuai. Pada keadaan khusus mungkin
memerlukan alat bantu napas misalnya bantuan ventilasi mekanik non
invasif bila ada peralatannya sangat membantu perbaikan penderita
(GOLD, 2006).

18
2. Pneumoni
a. Insiden
Pada usia lanjut resiko terjadinya infeksi saluran napas bagian bawah
(ISPA), khususnya pneumoni cukup tinggi. Kejadian pneumoni pada
usia lanjut tergantung pada tiga hal, ialah :
(1) Kondisi fisik penderita (umumnya daya tahan tubuh rendah atau
immunocompromised conditions)
(2) Lingkungan dimana mereka berada (komunitas atau lingkungan
rumah sakit)
(3) Kuman penyebab atau virulensinya
Secara epidemiologik, pneumoni pada usia lanjut juga dibedakan
menjadi pneumoni komunitas dan pneumoni nosokomial. Insiden
pneumoni komunitas pada usai lanjut sekitar 6,8 – 11,4 %
(Mangunegoro, 1992). Di rumah sakit insiden pneumoni pada usia
lanjut kira-kira tiga kali lebih besar dibandingkan pneumoni pada usia
muda. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang insidens pneumonia (campuran
komunitas dan nosokomial) sebesar 16,2 % (Rahmatullah, 1994)
Pneumoni pada usia lanjut mempunyai angka kematian yang tinggi,
kira-kira 40%. Penyebabnya ada tiga hal, yaitu:
(1) Karena pneumoninya sendiri
(2) Pada penderita sering disertai berbagai kondisi atau penyakit
penyerta
(3) Pada kenyataannya penderita pneumoni usia lanjut lebih sulit
diobati.
Kondisi ataupun penyakit penyerta pada usia lanjut yang sering
menyebabkan kematian, misalnya diabetes mellitus, payah jantung
kronik, penyakit-penyakit vaskuler, PPOK dan sebagainya.
b. Penyebab
Penyebab pneumoni pada usia lanjut dapat bermacam-macam, yang
paling sering penyebabnya adalah kombinasi beberapa kuman. Pada
usia lanjut, pneumoni komunitas sering disebabkan oleh bakteri gram
positif, sebagian besar adalah oleh kuman Strep. Pneumoniae.

19
Pneumoni nosokomial sering terjadi sebagai komplikasi pada
pemasangan alat-alat (misalnya endotracheal tube) mempunyai
insiden sekitar 10-70 %.
Penyebab pneumoni nosokomial pada usia lanjut kebanyakan adalah
bakteri gram negatif. Pada usia lanjut, presentase bakteri gram negatif
sebagai penyebab pneumoni komunitas lebih tinggi dibanding pada
usia muda. Pneumoni aspirasi, juga sering terjadi pada usia lanjut (10
-30% kasus), terjadi pada penderita yang mengalami bed rest atau
penurunan kesadaran. Pada kasus-kasus pneumoni aspirasi, kuman
penyebab infeksi sukar diketahui, tetapi pada 87% kasus-kasus tadi
terdeteksi kuman-kuman anaerob pada aspiratnya.
c. Gejala klinik
Pada pneumoni usia lanjut, kebanyakan berbentuk bronkopneumoni,
sedangkan pneumoni lobaris tercatat pada 10 – 30 % kasus.
Pada usia lanjut, apabila penderita nifeksi akut, onset penyakit
berlangsung pelan-pelan, tidak mendadak seperti pada usia muda.
Keuhan utamanya adalah demam ringan, batuk dengan produksi
sputum pada 60 % kasus. Pada 30 % kasus keluhan permulaannya
hanya berupa kelemahan dan anoreksia, tanpa demam yang nyata.
Permulaan penyakit yang pelan-pelan tadi disebabkan karena
menurunnya aktifitas fisik usia lanjut dan biasanya karena adanya
dehidrasi. Suatu kenyataan, penderita yang masuk rumah sakit
demamnya ringan, sesudah mendapat rehidrasi di rumah sakit dan
tekanan darahnya normal, baru muncul demam. (Harsawa, 1989).
Gambaran klinik penderita pneumoni pada usia lanjut sering tidak
menunjukkan gambaran yang nyata. Dilaporkan terdapat penurunan
kesadaran pada 20 % kasus, distensi abdomen 5 % kasus, tanda
dehidrasi pada 50 % kasus. Penurunan kesadaran tersebut tidak ada
korelasi dengan perubahan tekanan darah, tetapi mempunyai korelasi
dengan kondisi dehidrasi yang mungkin ada pada penderita pneumoni,
misalnya perkusi redup/ peka pada daerah paru yang terkena kelainan,
ronki basah, suara napas bronkhial, whispered pectoriloquy jarang

20
ditemukan. Hal ini mungkin berkenaan dengan adanya pemanjangan
diameter muka-belakang dada pad usia lanjut. Frekuensi pernapasan
24 kali atau lebih permenit merupakan hal yang bermakna bagi adanya
pneumoni pada usia lanjut. Pneumoni pada usia lanjut dapat disertai
syok septik dengan gejala kelelahan, anoreksia dan penurunan
kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar kasus menunjukkan
jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang
leukositosis. Pada hitung jenis terdapat tanda “geser ke kiri”dan dapat
dipakai sebagai petunjuk diagnostik adanya infeksi akut yang penting.
Kelainan lain yang ditemukan adalah peningkatan ureum darah (pada
30 % kasus), peningkatan ringan serum transaminase (pada 20 %
kasus), dan peninggian kreatinin dan gula darah dapat terjadi.
Ditemukan pula hiponatremi dan hipofosfatemi.
Pada pneumonia usia lanjut nilai PaO 2 rendah, seperti sampai pada
orang sehat. Pada pneumonia usia lanjut, penurunan nilai PaO 2 lebih
besar dibanding pada pneumoni usia muda. Hal ini terjadi karena
proses penuaan, yaitu terdapatnya penambahan perfusi darah ke lobus
paru. Hal inilah yang memudahkan terjadinya gagal napas pada
kebanyakan penderita pneumoni usia lanjut.
Gambaran radiologik pneumoni usia lanjut, bila jelas akan tampak
gambaran infiltrat paru. Kadang-kadang sulit menilai gambaran foto
thoraks pada pneumoni usia lanjut, terutama apabila terdapat
dehidrasi, sehingga infiltrat belum terlihat dalam waktu 24 – 48 jam
pertama perawatan. Pada pneumoni yang dini, bakteri oleh gram
negatif, foto thoraks kadang-kadang tampak normal.
d. Diagnosis
Diagnosis pneumoni pada usia lanjut ditegakkan atas dasar anamnesis,
penerimaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-
kadang sulit dilakukan karena gambaran klinik dan pemeriksaan
penunjang hasilnya memberi gambaran tidak khas.

21
Tidak ada gambaran patognomonik untuk infeksi saluran napas akut
atau pneumoni pada usia lanjut. Adanya frekuensi pernapasan 24 kali
atau lebih, terutama apabila disertai demam, kelemahan atau anoreksia
pada seseorang usia lanjut merupakan petunjuk cukup bermakna
terhadap adanya pneumoni pada usia lanjut.
Diagnosis banding terhadap pneumoni pada usia lanjut, yang perlu
dipikirkan ialah : gagal jantung, emboli paru, sindroma kegawatan
napas orang dewasa, pneumoni aspirasi lambung, keganasan paru,
pneumonitis radiasi dan reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat.
e. Penanganan dan rehabilitasi
Pengobatan ISPA / Pneumoni dilakukan dengan pemberian
kemoterapi dan pengobatan umum (terapi oksigen, terapi hidrasi dan
fisioterapi). Kemoterapi merupakan kunci utama pengobatan
pneumoni.
Tujuan pemberian kemoterapi ialah untuk membasmi kuman
penyebab pneumoni. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan
petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya
(hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibiotik).
Berhubung satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat
serius, dan perlu pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum
dapat diketahui pasti menjelang terapi, sehingga antibiotik
pemberiannya dilakukan secara empirik (pengobatan empirik).
Pengobatan empirik ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi
empirik. Dengan cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat
menunjukkan spektrum kuman penyebabnya, sehingga antibiotik yang
tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Pengobatan
umumnya diberikan selama 7 – 10 hari pada kasus tanpa komplikasi
atau antibiotik diteruskan sampai 3 hari bebas panas. Apabila terdapat
penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat
kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis.

22
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang
ringan rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit
yang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan
larutan elektrolit.
Pada pneumonia usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita
perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk
menghidari timbulnya pneumoni hipostatik, kelemahan dan dekubitus.

3. Tuberkulosis
Tuberkulosis paru pada usia lanjut sering dilupakan, karena beberapa hal
antara lain keluhan, gejala klinik maupun gambaran radiologik tidak khas.
a. Etiologi
Seperti pada lazimnya, penyebab infeksi ialah kuman tahan asam,
M.tuberculosis. Umumnya infeksinya merupakan reaktivitas fokus
dormant yangterjadi berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
b. Insiden
Insiden tuberkulosis pada usia lanjut masih cukup tinggi. Di RSUP Dr.
Kariadi, ditemukan kasus tuberkulosis paru pada usia lanjut sebesar
25,2 % (Rahmatullah, 1994)
c. Patofisiologi
Pada penderita usia lanjut tanpa penyakit paru saja sudah mengalami
penurunan fungsi paru, apalagi dengan menderita penyakit
tuberkulosis paru, maka akan menambah beratnya gangguan fungsi
pau.
d. Gambaran klinik
Tuberkulosis paru pada usia lanjut sering memberikan gambaran
klinik tidak khas. Penderita mungkin tampak menderita pneumoni atau
bronkitis kronis dengan respons yang kurang baik terhadap
antibiotika.
Gejala tersering yang dikeluhkan oleh penderita tuberkulosis usia
lanjut adalah: sesak napas, penurunan berat badan dan gangguan
mental. Penderita TB paru usia lanjut jarang datang dengan keluhan

23
hemoptisis, ataupun gejala klasik lainnya seperti pada penderita usia
muda, misalnya demam, batuk-batuk produktif, keringat malam, dan
sebagainya.
Bila tuberkulosis paru pada usia lanjut berkembang sebagai reaktivitas
dari fokus infeksi sebelumnya, daerah paru yang sering terserang
adalah daerah apeks paru dengan atau tanpa penyebaran ke daerah-
daerah lain. Pada tuberkulosis paru usia lanjut, cenderung terdengar
ronki (basah) di daerah basal paru, terutama lobus kanan bawah.
e. Diagnosis
Penegakan diagnosis tuberkulosis paru pada usia lanjut sama dengan
pada penderita usia muda. Kesulitan diagnosis sering disebabkan
karena keluhan dan kelainan fisik yang sering tidak jelas (khas).
Selain itu diagnosis pasti yang didasarkan atas ditemukannya kuman
BTA pada sputum, baik dengan pulasan langsung atau kultur, sulit
dipenuhi karena pada usia lanjut sulit mengeluarkan sputum atau
sputumnya sangat sedikit. Maka perlu dilakukan perangsangan dengan
pemberian NaCl fisiologis lewat nebuliser atau cara lainnya.
f. Pengobatan
Pada penderita usia lanjut, penyakit-penyakit yang diderita cenderung
multi organ, oleh karenanya pengelolaan penderita usia lanjut
sebaiknya secara holistik (terpadu). Hal ini diperlukan untuk
menghindari adanya efek samping obat, keracunan obat, karena
adanya interaksi obat yang diberikan bersama-sama. Obat anti
tuberkulosis yang biasa diberikan adalah INH, rimfampisin,
etambutol. Streptomisin hanya dipakai apabila ada halangan
menggunakan obat-obat lainnya, tetapi pemberiannya harus hati-hati
mengingat cepat timbul efek samping ototoksik dan nefrotoksik, kalau
mungkin sebaiknya dihindarkan. Penderita harus mengenal gejala efek
samping obat anti tuberkulosis yang digunakan. Dosis masing-masing
obat disesuaikan dengan berat badannya dan harus mengingat adanya
penurunan fungsi-fungsi organ tubuh seperti hati, ginjal, syaraf,
gangguan pendengaran dan sebagainya. Mengenai cara pemberian

24
obat dan lamanya sama dengan penderita TB paru usia muda.
Penderita diberitahu, kalau timbul efek samping salah satu obat harus
segera dihentikan obat tersebut dan segera menghubungi dokter
secepatnya.
Tindakan rehabilitasi perlu diberikan pada penderita mengingat
gangguan fungsi paru pada penderita ini. Latihan fisik untuk
menguatkan otot-otot pernapasan, latihan pernapasan, melatih cara
batuk yang efektif dan sebagainya perlu dijelaskan pada penderita.

4. Karsinoma paru
a. Insiden
Keganasan paru pada usia lanjut merupakan kelainan yang sering
ditemukan, baik untuk primer maupun sekunder. Jumlah kasus
keganasan paru pada usia lanjut yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi
Semarang 1990-1991, baik karsinoma primer, sekunder maupun
bentuk lainnya (unspecified) sebesar 4,5%. Di Indonesia terdapat
kecendrungan peningkatan frekuensi karsinoma paru. Beberapa faktor
telah diketahui berpengaruh terdapat timbulnya karsinoma paru, antara
lain adalah faktor merokok, polusi udara dan bahan industri yang
bersifat karsinogenik. Penelitian di RS Persahabatan Jakarta,
menemukan 91,4 % penderita kanker paru berumur lebih dari 40 tahun
dan pada usia diatas 50 tahun terdapat 75% kasus.
b. Etiologi
Etiologi keganassan paru belum diketahui, seperti juga untuk jenis
keganasan tubuh lainnya. Perkiraan penyebabnya adalah adanya iritasi
bahan-bahan yang bersifat karsinogenik dan berlangsung kronis.
Bahan-bahan iritasi tadi merupakan faktor-faktor resiko untuk
terjadinya karsinoma paru.
c. Gambaran klinik
Sering karsinoma paru tidak memberikan keluhan-keluhan dan
penyakit ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan umum
(general chek up). Karsinoma paru baru akan memberikan gejala

25
klinik biasanya kalau sudah lanjut, menimbulkan komplikasi misalnya
memberikan tekanan pada organ disekitarnya, metastasis jauh dan
sebagainya, sehingga mengganggu fungsi organ lain. Kadang-kadang
gejala yang mencolok yaitu timbul rasa nyeri di daerah dada, sesak
napas, hemoptisis, timbul benjolan di dada dan sebagainya.
d. Diagnosis
Diagnosis karsinoma paru ditegakkan atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang terpenting adalah pemeriksaan histopatologi terhadap
jaringan tumor, untuk mengetahui jenis sel tumor. Pada anamnesis
ditemukan keluhan-keluhan yang sering timbul pada penderita,
misalnya batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada dan kelemahan
badan. Pada pemeriksaan fisik, sering tidak ditemukan kelainan,
kecuali bila keadaan sudah lanjut mungkin terjadi metastasis di luar
dada dan sebagainya.
Pemeriksaan radiologik merupakan pemeriksaan penunjang yang
penting, untuk mengetahui adanya gambaran bayangan tumor atau
letak tumor. Pemeriksaan penunjang lainnya untuk dapat menentukan
jenis tumor dan penentuan stadium adalah sitologi sputum,
pemeriksaan histopatologi dari bahan biopsi (baik lewat bronkoskopi,
transbronkial, transtorakal atau biopsi kelenjar) untuk menentukan
adanya metastasis. Pencarian petanda tumor bisa ditambahkan untuk
membantu menegakkan diagnosis.
e. Pengobatan
Pengobatan karsinoma apru tergantung pada jenis tumor dan
stadiumnya. Tindakan operasi (sesuai indikasinya) dan untuk kasus
stadium dini menghasilkan angka tahan hidup 5 tahun yang lebih
tinggi. Pengobatan lainnya adalah radioterapi, kemoterapi,
imunoterapi sesuai indikasi dan kontra indikasinya atau dalam bentuk
kombinasi.

26
f. Rehabilitasi
Tindakan rehabilitasi diperlukan apabila penyakitnya sudah lanjut,
memberikan gangguan fungsi paru yang hebat. Oleh karena pengaruh
karsinoma ini memberikan kelemahan umum, maka tindakan
rehabilitasi ditujukan terhadap kelainan ini, selain perlu memberikan
psikoterapi atau terapi psikososial lainnya.

H. Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut


Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur
anatomik maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan
terhadap timbulnya penyakit-penyakit paru pada usia lanjut dilakukan pada
prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan memperbaiki
keadaan gizi, menghilangkan hal-hal yang dapat menurunkan daya tahan
tubuh, misalnya menghentikan kebiasaan merokok, menghentikan minuman
alkohol dan sebagainya.
Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan
denga cara yang lazim.
1. Usaha pencegahan infeksi paru/ saluran napas
Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat,
mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya infeksi. Hal positif yang dapat dilakukan misalnya dengan
melakukan vaksinasi dengan vaksinasi pneumokok untuk menghindari
timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia lanjut vaksinasi ini
kurang berefek.
2. Usaha mencegah timbulnya TB paru
Yang bisa dilakukan ialah menghindari kontak person dengan penderita
TB paru atau menghindari cara-cara penularan lainnya.
3. Usaha pencegahan timbulnya PPOK atau karsinoma paru
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap
timbulnya kelainan paru (PPOK dan karsinoma paru), perlu dilakukan
pemantauan secara berkala :
a. Pemeriksaan foto rontgen toraks,

27
b. Pemeriksaan faal paru, paling tidak setahun sekali
Sangat dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok berat
dan laik-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.

I. Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Sistem Pernapasan


Proses penuaan menyebabkan perubahan struktural dan fungsional pada
thoraks dan paru-paru. Kita ketahui bahwa tujuan pernafasan adalah untuk
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan
darah. Pada lansia ditemukan alveoli menjadi kurang elastis dan lebih
berserabut serta berisi kapiler-kapiler yang kurang berfungsi, sehingga
kapasitas penggunaan menurun karena kapasitas difusi paru-paru untuk
oksigen tidak dapat memenuhi permintaan tubuh.

Daya pegas paru berkurang, sehingga secara normal menahan toraks


sedikit pada posisi terkontraksi disertai penurunan otot rangka pada toraks
dan diafragma. Karena dinding toraks lebih kaku dan otot pernafasan menjadi
lemah, maka menyebabkan kemampuan lansia untuk batuk efektif menurun.
Dekalsifikasi iga dan peningkatan klasifikasi dari kartilago kostal juga terjadi.

28
Membran mukosa lebih kering, sehingga menghalangi pembuangan sekret
dan menciptakan risiko tinggi terhadap infeksi pernafasan.

1. Pengkajian
Pengkajian pada lansia dengan gangguan sistem pernafasan adalah
sebagai berikut:
a. Adanya kesulitan bernafas (dispneu). Hal ini dapat terjadi pada klien
dengan kelelahan/aktifitas berlebih, penyempitan atau sumbatan
saluran nafas, dan infeksi saluran nafas.
b. Perubahan frekuensi dan irama pernafasan.
c. Obesitas
d. Anemia
e. Adanya sekret.
f. Adanya bunyi saat bernafas.
g. Adanya batuk.
h. Adanya nyeri dada dan berdebar-debar.
i. Peningkatan suhu (demam).

2. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan
gangguan sistem pernafasan adalah sebagai berikut:
a. Pola nafas tidak efektif
b. Kebersihan jalan nafas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Gangguan pola tidur
e. Keterbatasan aktifitas
f. Kurang pengetahuan
g. Kecemasan

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada lansia dengan
gangguan sistem pernafasan adalah sebagai berikut:

29
a. Kaji tanda-tanda vital, status peranpasan: patensi jalan napas, dan
status respirasi: ventilasi
b. Kaji penyebab kesulitan bernafas.
c. Kaji status imun, pemberian imunisasi, dan kontrol resiko komunitas
d. Kaji tingkat pengetahuan: prilaku kesehatan
e. Kontrol faktor resiko: kebiasaan merokok dan pengetahuan
pengontrolan dalam penggunaan.
f. Beri kesempatan istirahat dan kenyamanan yang cukup.
g. Hindari pakaian yang menekan, mengikat, atau sempit.
h. Tingatkan masukan cairan dan nutrisi yang bergizi.
i. Atasi stres atau tekanan jiwa.
j. Anjurkan latihan nafas dalam.
k. Ubah posisi untuk memperbaiki ventilasi.
l. Tutup hidung dan mulut ketika bersin atau batuk.
m. Kolaborasi pemberian antipiretik dan antibiotik serta obat pengencer
dahak kemudian bantu untuk meminumnya.
n. Lakukan pemeriksaan secara berkala, sekurang-kurangnya enam
bulan sekali atau bila ada keluhan.
o. Upayakan ventilasi udara lancar.
p. Upayakan cahaya matahari masuk ke dalam kamar/rumah.
q. Hindari pencemaran udara.
r. Pendidikan dan konseling.
s. Beri motivasi terkait spiritual, sperti banyak berdoa dan beribadah.

4. Latihan Nafas Dalam


Latihan nafas dalam sangat bermanfaat untuk lansia dengan gangguan
pernafasan. Langkah-langkah dalam melakukan nafas dalam adalah
sebagai berikut.
a. Persiapan
1) Cuci tangan
2) Menjelaskan alasan dan prosedur.
3) Mengatur posisi (duduk dengan posisi fowler, semifowler).

30
b. Pelaksanaan
1) Meletakkan kedua tangan diatas perut bagian atas (di bawah
payudara), dan mempertemukan kedua ujung jari tengah tangan
kanan dan kiri tepat diatas processus xyphideus.
2) Menarik dalam dengan perlahan melalui hidung, tahan 3 detik,
lalu hembuskan melalui bibir yang terbuka sedikit.
Catatan :
1) Sebelum melakukan latihan, demonstrasikan sambil
menjelaskan tahapan.
2) Dapat dilakukan lebih dari satu kali.

5. Implementasi
Implementasi adalah tindakan nyata dalam mengaplikasikan rencana
keperawatan yang dilakukan kepada pasien untuk mencapai tujuan dalam
meningkatkan kesehatan pasien, yang meliputi; promotif, preventif,
protektif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap kesehatan lansia.

6. Evaluasi
Adapun beberapa evaluasi yang harus dicapai pada lansia dengan
gangguan pernapasan, yaitu:
a. Meredakan pernapasan
b. Up-to-date status immunisasi pneumonia
c. Immunisasi influenza setiap tahun
d. Untuk lansia yang merokok: aktif berpartisipasi dalam prilaku
penghentian merokok.

31
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengumpulan data merupakan langkah awal pengkajian dalam
melaksanakan asuhan keperawatan lansia. Dari hasil pengumpulan data
pada lansia diperoleh data-data sebagai berikut :
1. Riwayat Kesehatan
Pasien bernama Tn. A, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak
nafas disertai batuk, keluhan ini pasien rasakan sejak 8 jam yang
lalu. Pasien memiliki riwayat demam tinggi disertai batuk. Saat
pemeriksaan ditemukan Td=60/80 mmHg, RR=32x/menit,
Nadi=106 x/menit, ST=38,5˚C. Bunyi nafas bronchial area basis
sinistra dan dekstra.
2. Riwayat Keluarga
Tidak terdapat riwayat keluarga di dalam kasus

32
3. Riwayat Pekerjaan
Klien saat ini bekerja di kantor dinas peternakan. Keluarga
mengatakan pasien sangat aktif dan masih kuat untuk bekerja. Akhir-
akhir ini pasien sering bekerja di luar lapangan untuk memeriksa
kesehatan hewan.

4. Riwayat lingkungan tinggal

Tidak ada riwayat lingkungan pada kasus

5. Riwayat rekreasi
Tidak ada riwayar rekreaksi di kasus
6. Status kesehatan
a. Status kesehatan saat ini
Tn. A, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas disertai
batuk, keluhan ini pasien rasakan sejak 8 jam yang lalu.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Klien memiliki riwayat demam tinggi dan di sertai batuk
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga

7. Pemenuhan kebutuhan
sehari-hari
a. Klien makan sehari 3x sehari
b. Personal hygiene :klien mandi 2x sehari
c. Aktivitas atau istirahat :Klien masih kuat dan aktif melakukan
pekerjaan di dinas peternakan.
d. Eliminasi :Klien Buang Air Kecil ± 4x sehari dan Buang Air
Besar biasanya 2x sehari. Tidak ada kseulitan atau masalah pada
eliminasi
e. Oksigenasi :Pola nafas klien tidak normal, frekuensi nafas
32x/menit, klien memiliki keluhan batuk sesak dll. Klien tidak
memiliki riwayat alergi obat dan makanan.

33
f . Spritual :Hubungan klien dengan Tuhan Penciptanya, klien rutin
melakukan ibadah

8. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
a) Kedaan umum : Keadaan umum klien buruk
b) Kesadaran : samnolen
c) Tekanan darah : 60/80 mmHg
d) Penafasan : 32x/menit
e) Suhu : 38,5ºC

b. Pemeriksaan dan kebersihan perorangan


1) Kepala
a) Rambut : Bersih, pendek berwarna sebagian
putih, tidak rontok, tidak ada benjolan.
b) Mata : Simetris, pupil anisokor, konjungtiva
ananemis, sklera Anikterik, terlihat cekung dan ada
kantung mata.
c) Hidung : Bersih, tidak ada polip, penciuman baik,
tidak ada
Pembesara
n sinus
d) Telinga : Sedikit kotor, tidak ada gangguan
pendengaran, tidakada cairan

b. Leher : Normal, tidak ada pembesaran kelenjar


getah bening,Tidak ada pembesaran vena jugularis
c. Dada/Thorax
i. Dada : Simetris antara dada kanan dan dada
kiri tidak ada kelainan
ii. Paru-paru : Suara nafas bronchial area basis sinistra
dan dekstra
iii. Jantung : Normal, tidak ada bunyi mur-mur,
tidak ada bunyi Gallop suara jantung 1 dan 2 normal

34
d. Abdomen : Lunak, tidak terdengar suara timpani, tidak

ada distensi, Hepar tidak teraba, bising usus

8x/menit

e. Muskuloskletal : Tidak ada tanda-tanda gangguan otot


atau m kelemahan otot. Kekuatan otot 5555 5555
5555
5555
f. Lain-lain
Ekstermitas atas dan bawah tidak ada edema

g. Keadaan lingkungan
Kamar klien sedikit kurang rapih dan wangi, tercium bau,
terlihat kurang nyaman

9. Informasi Penunjang
a. Diagnosa Medis : PPOK
b. Laboratorium :
Foto Xray thorak parenkim paru basis
kabur, pemeriksaan AGD PH=7.32,
PO2= 56 mmHg, PCO2=48 mmHg, sat
O2=75%,HCO3=26 mEq/L, Hb=10
gr/Dl,ht 80%, leukosit 14.560 Ul
Analisa Data

No Data Subjektif dan Objektif Masalah Penyebab


keperawatan

1 DS : Gangguan Ketidakseimbang
pertukaran an ventilasi
 Pasien datang dengan
gas
keluhan sesak nafas disertai
batuk sejak 8 jam yang lalu

35
DO :

 Bunyi nafas bronchial area


basis sinistra dan dextra
 Pemeriksaan AGD, PH-
7,32, PO2- 56 mmHg,
PCO2- 48 mmHg, Sat O2
-75 %, HCO3-26 mEq/L
 Pada foto X-Ray thorak
parenkim paru basis kabur
dan tampak infiltrat paru
bersifat kavitas
 RR 32x/menit, Nadi 106
x/menit
2 DS : Hipertermia Proses infeksi

 Pasien mengatakan demam


tinggi dirumah 1 hari yang
lalu
DO :

 Suhu tubuh 38,5 0C


 HB 10 gr/dl, HT 80 %,
Leukosit 14.500 UI
 TD 80/60 mmHg
3 DO Resiko Jatuh

 Td= 60/80 mmHg


 Pasien gelisah karena
nafas sesak
 RR= 32x/menit
 Sat O2= 75 %

Diagnosa Keperawatan

36
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi
b. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi
c. Resiko Jatuh

37
Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC

Gangguan pertukaran gas Saat dilakukan tindakan Airway Management


berhubungan dengan ketidak keperawatan 1 x 24 jam, - posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
seimbangan ventilasi hambatan pertukaran gas dapat - identifikasi kebutuhan pasien untuk pemasangan
Definisi : kelebihan atau deficit teratasi dengan kriteria alat jalan nafas buatan
oksigenasi dan /atau eliminasi 1. PO2, PCO2, PH dan - lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
karbondioksida pada membrane saturasi normal - instruksikan bagaimana melakukan batuk efektif
alveolar kapiler 2. Tidak ada sesak dan - kelola pemberian bronchodilator
Batasan karakteristik : sianosis - monitor status pernafasan dan oksigenasi
- Gas darah arteri abnormal 3. Hasil rontgen dada - berikan nebulizer jika diperlukan
- PH arteri abnormal normal Terapi Oksigen
- Pola pernafasan abnormal
- Monitor kedalaman, irama dan usaha respirasi
- Penurunan karbondioksida
- Berikan oksigen
- Takikardia
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Sesak nafas
- Auskultasi suara nafas, catat area penurunan/ tidak
adanya ventilasi dan ronkhi pada jalan nafas
Hipertermia berhubungan dengan Saat dilakukan tindakan Fever Treatment
proses infeksi keperawatan 1 x 24 jam, - Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
Definisi : suhu inti tubuh di atas hipertermia dapat teratasi dengan - Monitor warna kulit dan suhu

38
kisaran normal karena kegagalan kriteria - Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan
termoregulasi Termoregulasi kehilangan cairan yang tak dirasakan
Batasan karakteristik : - Penurunan suhu tubuh - Monitor komplikasi yang berhubungan dengan
- Suhu tubuh 38,5 °C - Nadi normal demam
- Leukosit 14,500 UL - Tidak ada perubahan - Beri obat antipiretik dan cairan IV
- RR = 32 x/menit warna kulit - Mandikan pasien dengan spon hangat dengan hati-
- Nadi = 106 x/menit hati
- Pasien memiliki riwayat demam - Tingkatkan sirkulasi udara
tinggi - Dorong konsumsi cairan
Vital sign monitor

- Monitor tekanan darah, suhu, nadi dan RR


- Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Monitor kualitas nadi
- Monitor frekuensi dan irama pernafasan
- Monitor suara paru
- Monitor suhu, warna dan kelembapan kulit
- Monitor sianosis perifer
- Identifikasi penyebab dari perubahan

Resiko Jatuh Fall Prevention Behaviour Environmental Manajement: Safety

39
Setelah dilakukan intervensi 1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien
keperawatan selama 3x24 jam, berdasarkan kondisi fisik, fungsi kognitif dan
Definisi: Peningkatan Kerentanan pasien tidak mengalami jatu riwayat perilaku
untuk jatuh yang dapat menyebabkan 2. Identifikasi lingkungan yang dapat
dengan indikator:
bahaya fisik membahayakan
No Indikator awal target Singkirkan barang-barang yang dapat
3.
membahayakan pasien jika memungkinkan
1 Side rail 4 5 4. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
Faktor Resiko: terpasang resiko
untuk 5. Sediakan peralatan yang adaptif untuk
- Riwayat jatuh meningkatkan keamanan lingkungan
- Prostesis ekstremitas bawah mencegah jatuh
6. Gunakan peralatan untuk melindungi seperti
- Penurunan status mental 2 Menggunakan 4 5 restrain dan side rail untuk membatasi mobilitas
- Ruang yang tidak dikenal fisik atau mengakses situasi yang membahayakan
restrain sesuai
- Anemia Fall Prevention
kebutuhan
- Penurunan kekuatan ekstremitas
bawah 1. Identifikasi keterbatasan kognitif atau fisik pada
3 Memberikan 4 5
- Gangguan mobilitas fisik pasien yang dapat meningkatkan potensi jatuh
bantuan saat 2. Identifikasi perilaku dan faktor lain yang dapat
- Neoplasma (letih/ mobilitas bergerak
terbatas) mengakibatkan resiko jatuh
3. Identifikasi karakteristik lingkungan yang
4 Kunci roda 5 5 mungkin meningkatkan potensi jatuh
tempat tidur 4. Pastikan kunci roda terpadang dengan benar
selalu terkunci 5. Gunakan side rail untuk mencegah jatuh dari
tempat tidur sesuai kebutuhan
Positioning

1. Sediakan bed/ matras yang sesuai


2. Monitor status oksigenasi sebelum dan setelah
berubah posisi
3. Imobilisasi bagian tubuh sesuai kebutuhan

40
4. Berikan penyangga pada area yang edema
misalnya dengan menaruh bantal di bawahnya
5. Hindari menempatkan pasien pada posisi yang
dapat meningkatkan nyeri
Hindari menempatkan daerah yang teramputasi
dengan posisi fleksi

41
BAB 1V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Lansia adalah lanjut usia yang berusia lebih dari 60 tahun dimana
secara fisiologis terjadi perubahan-perubahan dan yang pasti akan
dialami semua orang yang dikaruiniai usia yang panjang. Terjadinya
tidak bisa dihindari siapapun.

Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang


yaitu dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang
lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan
manfaaat.

Perubahan-perubahan yang sering terjadi yaitu seperti kondisi fisik,


penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek sosial, perubahan
yang berkaitan dengan perkerjaan dan perubahan dalam peran sosial
budaya

Serta juga terjadi perubahan anatomi fisiologis sistem pernafasan


yaitu perubahan anatomik pada respirasi. Perubahan fisilogik pada
pernafasan. Dan faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru dan
penyakit pernafasan pada usia lanjut

B. SARAN

Diharapakan agar mahasiswa dapat memehami tentang lansia secara


keseluruhannya baik bio psiko dan sosial dan juga dapat memahami
lansia yang mengalami gangguan sistem pernapasan serta dapat
memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada lansia tersebut.

42
DAFTAR PUSTAKA
Craven, R.F & Hirnle, C.J. 2003. Fundamental of nursing: Human health ang
function. (4th ed.), Philadelphia: Lippincott.

Eliopoulos, C.E. 2005. Gerontological nursing. (6 th ed.), Philadelphia;


Lippincott.

NANDA, 2014. North American Nursing Diagnosis Association, Nursing


Diagnosis, Definition dan Classification 2015-2017. Pondicherry, India.

Sarif La Ode. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik Berstandar Nanda, NIC,


Tantut Susanto. (2013). Keperawatan Gerontik. Digital Repository. Universitas
Jember.

Azizah & Lilik Ma’rifatul, (2011). Keperawatan LanjutUsia. Edisi 1. Yogyakarta :


Graha Ilmu

Reni Yuli Aspiani. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Aplikasi : NANDA,
NIC, NOC, Jilid 1, Jakarta

43

Anda mungkin juga menyukai