Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENEMPATAN KELAS BAGI SISWA TUNARUNGU YANG MEMILIKI HAMBATAN


LAINNYA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ortope dagogik Tunarungu

Dosen Pengampu: Drs. Wagino, M.Pd

Disusun oleh :

Khairina Aqilah Rilend Putri ( 18010044011)

Gumilang Dewi Putri H (18010044081)

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada kelompok kami
sehingga menyelesaikan penyusunan makalah mengenai materi Pengelolaan Kelas Bagi Siswa
Tunarungu Yang Mengalami Hambatanlainnya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ortopedagogik Tunarungu yang diampu oleh Drs. Wagino, M.Pd dengan tepat waktu.

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok kami banyak mendapat tantangan dan
hambatan termasuk dalam hal literatur akan tetapi dengan kerjasama seluruh anggota
kelompok tantangan itu bisa teratasi. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada seluruh anggota yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Maka
dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian. Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Surabaya , 10 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Cover ………………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar …………………………………………………………………………….. i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

2.3 Penempatan Ruang kelas siswa tunarungu yang memiliki hambatan lainnya.…... 5

2.4 Program Atau Strategi Untuk Membangun Kelas Yang …………………….……. 7

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………………………………… 12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya saja
problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang
lain karena dapat diatasi sendiri oleh yang bersangkutan dan ada juga yang problem
belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang
lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with
special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika
mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak-anak sebaya lainnya dalam sistem
pendidikan regular, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari
guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Sesuai dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau peserta
didik yang memiliki kecerdasaan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal
inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih
operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Anak berkebutuhan khusus
sendiri dapat menempuh pendidikannya di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah
inklusi. Sekolah luar biasa merupakan salah satu layanan pendidikan yang menempatkan
anak berkebutuhan khusus dalam kelompok yang memiliki karakteristik khusus yang
sama. Sekolah inklusi adalah penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Sekolah inklusi yang
baik harus memenuhi aspek-aspek sekolah inklusi agar tujuan pendidikan tercapai. Ada 8

1
aspek sekolah inklusi yaitu, penerimaan peserta didik baru (PPDB), identifikasi,
kurikulum fleksibel, merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak,
penataan kelas ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran
adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran. Di beberapa sekolah, aspek-aspek
tersebut ada yang sudah terlaksana dengan baik ada juga yang belum terlaksana dengan
maksimal.
Penataan kelas ramah anak adalah salah satu aspek sekolah inklusi. Penataan kelas
ramah anak adalah upaya pengelolaan ruang kelas tempat berlangsungnya kegiatan
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus dengan anak tidak berkebutuhan khusus.
Dalam pengelolaan ruang kelas dapat meliputi
(a) penataan unsur fisik seperti penggunaan dinding, lebar ruangan, dan pencahayaan, (b)
rutinitas ruang kelas untuk kegiatan akademis maupun non- akademis, (c) iklim ruang
kelas atau sikap terhadap perbedaan individual, (d) pengelolaan perilaku, seperti
peraturan kelas dan pemantauannya, (e) pemanfaatan waktu untuk kegiatan
pengajaran dan non pengajaran (Kustawan 2013: 61).
Fajriyah (2017) menjelaskan penataan kelas di sekolah inklusi memperhatikan beberapa
unsur didalamnya, unsur-unsur tersebut berupa penataan unsur fisik lebar ruangan yang
harus memungkinkan semua peserta didik bergerak leluasa, tidak saling berdesakan dan
mengganggu satu sama lain. Pemanfaatan waktu untuk kegiatan pengajaran dan non
pengajaran dapat meliputi penataan tempat duduk anak di dalam kelas. Dalam penataan
tempat duduk yang terpenting adalah memungkinkan terjadinya tatap muka, dengan
demikian pendidik akan mudah mengontrol tingkah laku peserta didik. Penataan tempat
duduk bisa dilakukan dengan berderet, pola berjajar, berbaris, maupun berkelompok.
Dalam pola berkelompok peserta didik dapat berkomunikasi dengan mudah satu sama
lain dan bisa dipindah. Ada pula pola tapal kuda atau U. Pola ini guru berada di tengah-
tengah peserta didik. Pola ini biasa dipakai pada saat pembelajaran yang memerlukan
tanya jawab guru dan peserta didik. Rutina (2017) menjelaskan pengelolaan kelas di
sekolah adalah keterampilan guru untuk menciptakan kondisi belajar yang optimal di
dalam kelas. Selain ketrampilan, faktor-faktor lain juga dapat mempengaruhi. Faktor-
faktor tersebut diantaranya yaitu faktor fisik yang meliputi ruangan kelas, ventilasi, dan
area penyimpanan. Formasi penataan kelas yang diterapkan bahwa ada beberapa formasi
tempat duduk yang biasa digunakan yaitu, letter U, letter O, formasi tradisional

2
(konvensional), dan formasi meja pertemuan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan
tempat duduk ini dilakukan setiap minggu dengan tujuan agar siswa tidak bosan dan lebih
semangat dalam mengikuti proses pembelajaran Penataan kelas di sekolah inklusi dan
reguler menerapkan unsur yang sama, perbedaan dari penataan kelas tersebut pada saat
proses pembelajaran di kelas inklusi dibantu dengan guru pendamping khusus yang
bertugas untuk membantu anak-anak berkebutuhan dalam proses pembelajaran.
Sedangkan di kelas reguler hanya terdapat satu guru kelas. Kegiatan pembelajaran yang
berkualitas akan muncul dalam suasana dan iklim kelas yang kondusif, aktif, kreatif, dan
menyenangkan. Selain itu adanya hubungan individu yang sehat sehingga mendorong
munculnya perilaku siswa yang diharapkan untuk mencapai suasana kelas tersebut
diperlukan suatu pengelolaan yang dilakukan guru di kelas (Kustawan 2013 : 61).

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa definisi anak dengan disabilitas ganda?

2) Bagaimana Identifikasi anak dengan disbilitas tunarungu dan hambatan lainnya ?

3) Bagaimana pengelolaan Ruang kelas bagi siswa tunarungu yang juga memiliki
hambatan lainnya?

4) Bagaimana program atau strategi untuk membangun kelas yang cocok bagi anak
tunarungu yang juga memiliki hambatan lainnya ?

1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui definisi anak dengan disabilitas ganda.

2) Untuk mengetahui identifikasi anak dengan disbilitas tunarungu dan hambatan


lainnya.

3) Untuk mengetahui pengelolaan Ruang kelas bagi siswa tunarungu yang juga memiliki
hambatan lainnya.

3
4) Untuk mengetahui program atau strategi untuk membangun kelas yang cocok bagi
anak tunarungu yang juga memiliki hambatan lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Disabilitas Tunaganda

Disabilitas ganda atau sering disebut juga dengan anak tunaganda termasuk
dalam kelompok anak berkebutuhan khusus. Definisi anak berkebutuhan khusus itu
sendiri adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi penting
dari fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial
terhambat dalam mencapai tujuan- tujuan atau kebutuhan dan potensi secara
maksimal, yakni meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat
tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, juga anak yang berbakat dengan
intelegensi yang tinggi, karena mereka memerlukan penanganan yang terlatih dari
tenaga profesional (Suran & Rizzo, dalam Mangunsong dkk., 1998). Gearheart
(dalam Mangunsong dkk., 1998) menambahkan bahwa anak berkebutuhan khusus
memerlukan persyaratan pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak normal, dan
untuk dapat belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan fasilitas, dan
materi khusus.

Menurut Hallahan dan Kauffman (2006), anak berkebutuhan khusus merupakan


anak yang berbeda dari kebanyakan anak lain karena diantara mereka memiliki
kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan emosional,
keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan pendengaran, kerusakan
penglihatan ataupun memiliki keberbakatan khusus. Mereka membutuhkan
pendidikan khusus dan pelayanan terkait agar dapat mengembangkan segenap
potensi yang dimiliki. Dalam kelompok anak berkebutuhan khusus ini, terdapat
sebagian dari mereka menyandang ketunaan lebih dari satu yang disebut dengan
tunaganda. Dollar dan Brooks (dalam Snell, 1983) mengidentifikasi anak tunaganda
dan tunamajemuk sebagai berikut (1) mereka memiliki ketunaan yang berat dan
parah, (2) mereka membutuhkan program pendidikan dengan sumber yang lebih
besar daripada program biasa, dan (3) mereka membutuhkan program yang
memfokuskan pada keterampilan dalam fungsi kemadirian dan pemenuhan
diri.Apabila kita baca leteratur terutama buku-buku dari terbitan luar (Amerika) anak

4
dengan kelainan majemuk (multiple disabilities) tersebut adalah mereka yang memiliki
kecerdasan atau inteligensi sedikit dibawah rata ( mild retardation), kecerdasan rata atau
kecerdasannya diatas rata-rata dan mereka menyandang dua atau lebih kelainan (multiple
disabilities).

Jadi bila kita simak uraian pengertian dari anak dengan kelainan majemuk diatas,
maka di Indonesia anak dengan kelainan majemuk atau lebih dikenal dengan Cacat
Ganda atau tunaganda didalamnya berisi:
1. Anak ”severe and profound handicaps”
2. Anak “multiply handicap”
Kita akan sepakat bahwa bagi kita sebagai tenaga professional khususnya sebagai
pendidik tidak akan menekankan pada apa jenis kelainan yang disandang anak didik kita.
Dalamm kontek pendidikan kita harus menekankan pada apa masalah atau problem yang
dihadapi anak dengan kelainan majemuk tersebut. Jadi difinisi yang kita bahas ini harus
dikaitkan dengan orientasi kedepan. Artinya kita berusaha menemukan masalah dan
problem yang ada pada anak tersebut dan seberapa berat derajat masalah yang ada padak
anak tersebut. Implikasinya adalah bagaimana definisi tersebut dapat memberikan guid
line atau garis penunjuk untuk menemukan tingkat masalahnya, problemnya,
kemampuannya dan kebutuhan penangannya. Dengan demikian akan menghasilkan
klasifikasi anak tersebut dan bukan tipe atau jenis kelainannya.

2.2 Identifikasi anak dengan disbilitas tunarungu dan hambatan lainnya

Untuk dapat mengenal dan mengiidentifikasii seorang anak dengan kelainan majemuk
sangat kompleks. Hal ini disebabkan oleh terlibatnya lebih dari satu problem atau
masalah dalam diri seorang anak sehingga ia membutuhkan pendidikan khusus.
Kekomplekan anak dengan kelainan majemuk sangat penting untuk di identifikasi karena
bervariasinya kombinasi kelainan yang ada pada setiap anak. Disamping itu, tidak ada
dua individu yang memiliki disability atau ketidakmampuan yang betul-betul sama
meskipun dia memiliki jenis kelainan yang sama. Luasnya variasi kombinasi kelainan,
ketidakmampuanan pada anak dengan kelainan majemuk dapat dicontohkan misalnya
anak dengan kelainan visual dia bisa berkombinasi dengan: 1. visual and auditory
impairments 2. Visual, auditory, and motor impairments 3. Visual and auditory
impairments and mental retardation. 4. Visual and motor impairments 5. visual and motor
impairments and mental retardation 6. visual impairments and mental retardation. 7.
Visual impairment and emotional disturbance 8. Visual impairment and learning
disability. (Geraldine T.Scholl, 1986) Setiap kelompok kelainan tersebut diatas tentunya
memiliki kesulitan tersendiri dalam identifikasinya, menemukan potensi yang bisa
dikembangkan, menemukan apa yang ada pada dirinya, apa yang belum ada pada dirinya
dan apa yang dibutuhkan olehnya.termasuk kebutuhan pendidikan khususnya. Setiap
impairment atau kelainan yang disandang oleh anak dengan kelainan majemuk tentunya

5
memiliki karakteristik masing masing. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa anak
dengan kelainan majemuk ada yang berbasis tunagrahita plus kelainan lain ada yang tidak

2.3 Strategi Pengelolaan Kelas Bagi Anak Tunarungu Yang Memiliki Hambatan
Lainnya
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar
(hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan
dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfunngsi lagi. Sedangkan kurang dengar
adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat
berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar,
Somantri (2006: 93). Ketunarunguan yang dialami oleh seorang anak akan menyebabkan
konsekuensi yang kompleks bagi anak, terutama perkembangan anak menjadi sangat
terhambat. Effendi (2006:55) menyataka bahwa diakibatkan gangguan pendengaran yang
dialami, anak akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya,
terutama pada aspek bahasa, kecerdasan dan penyesuaian sosial. siswa dengan beberapa
disabilitas tidak termasuk tuna rungu, sekarang penting untuk melihat populasi target,
siswa dengan beberapa disabilitas termasuk tuna rungu. Program harus
mempertimbangkan dampak dari hilangnya pendengaran pada kebutuhan pendidikan
siswa ketika menempatkan siswa yang tuli dengan beberapa disabilitas. 
Jenis kecacatan dan tingkat keparahan kebutuhan siswa harus ditentukan untuk
mengetahui penempatan terbaik bagi individu. Ini tidak selalu mudah,
meskipun Disabilitas lain menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
gangguan pendengaran di awal. Karakteristik ini termasuk kesulitan dalam bahasa dan
komunikasi, sosialisasi, dan kebutuhan sensorik. Karena tumpang tindih karakteristik ini,
dibutuhkan bertahun-tahun untuk menentukan cacat atau cacat spesifik yang dilakukan
siswa, bahkan jika gangguan pendengaran diketahui (Jones & Jones, 2003). 
Kehidupan anak tunarungu akan masuk ke dalam lingkungan orang mendengar.
Namun keadaan yang dialami anak tunarungu menyebabkan anak memerlukan perhatian
khusus. Untuk mencapai tujuan tersebut peran guru dalam upaya meningkatkan
keterampilan berbicara anak tunarungu sangat dibutuhkan. Alasan mengapa guru
dikatakan sangat berperan dalam perkembangan berbicara anak adalah imitasi.
Hakikatnya manusia belajar dengan melihat, mendengar dan kemudian mengimitasi.
Dengan melihat manusia tahu, dengan mendengar manusia mengerti, dengan mengimitasi
dan terlibat maka manusia akan memahami. Seperti halnya keterampilan berbicara anak
tunarungu yang dikuasai dengan cara imitasi, peniruan terjadi apabila ada motivasi dari
anak, dan motivasi muncul apabila ada interaksi antara anak dan guru. Itulah kenapa guru
harus dapat membimbing anak mereka dengan sering mengadakan komunikasi guna
merangsang motivasi anak untuk berbicara sebagai imbal balik umpan yang diberikan
oleh guru. Hal tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap keterampilan berbicara

6
anak, secara konsisten guru melakukan percakapan bersama dengan anak, sehingga
keterampilan berbicara anak akan terasah. Sunardi dan Sunaryo (2007:193) menyatakan,
MacDonald dan Gillete mencatat bahwa keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara
anak tunarungu cenderung disebabkan ketidakmampuan orang tua dan orang lain yang
signifikan dengan anak tunarungu untuk berfungsi sebagai partner komunikasi yang baik.
Itulah pengaruh guru terhadap anak, serta alasan mengapa guru sangat perlu untuk
membimbing anak mereka menghadapi keterbatasan yang dimiliki, membimbing anak
menemukan jalan yang sesuai untuk mencapai apa yang seharusnya bisa dicapai oleh
anak. Oleh sebab itu perlu adanya bimbingan dari guru untuk membantu dan
mengarahkan anak mereka dalam tujuan membantu penguasaan keterampilan berbicara
anak. Bantuan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian program bimbingan dengan
materi komponen-komponen dalam keterampilan berbicara meliputi fonologi, kosakata,
struktur dan kecepatan kelancaran umum. Adanya para siswa yang berkebutuhan khusus
di sekolah berimplikasi pada perubahan orientasi manajemen kelas. Pembelajaran di kelas
yang mana kelas tersebut terdapat anak berkebutuhan khusus menuntut perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan
pada keberagaman kebutuhan siswa. Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah
menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi Pendidikan.
2.1 Program Atau Strategi Untuk Membangun Kelas Yang Cocok Bagi Anak Tunarungu
Yang Juga Memiliki Hambatan Lainnya
Pendidikan adalah hal yang penting bagi kehidupan seseorang baik di masa sekarang
maupun di masa yang akan datang. Pendidikan memberikan banyak pengetahuan dan
informasi yang akan membuat hidup dan perilaku semakin baik. Semua orang berhak
untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tidak memandang dari status, agama, suku,
ras, maupun golongan tertentu. Hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang tentang
pendidikan pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan”. Pendidikan tidak hanya untuk sebagian orang tetapi
pendidikan untuk semuanya. Semua warga Negara mempunyai hak mendapatkan
pendidikan tidak memandang suku, agama golongan dan lain sebagainya. Sesuai dengan
UU N0. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu begitu juga
dengan anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia, ada 3 bentuk layanan pendidikan
untuk abk, yaitu:
1. Pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi telah disepakati oleh banyak negara untuk diimplementasikan
dalam rangka memerangi perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan.
Implementasi pendidikan inklusi didasari oleh dokumen-dokumen internasional,
yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang
Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien
tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para

7
Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.
Pendidikan inklusi menurut beberapa ahli mempunyai pengertian yang beragam,
diantarannya :
a. Tarmansyah (2009:75) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama.
b. Tarmansyah (2009:76) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh
di kelas regular.
c. L.K.M. Marentek (2007:145) mengemukakan pendidikan inklusi adalah
pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan
pendidikan khusus di sekolah regular (SD, SMP, SMA, dan SMK) yang
tergolong luar biasa baik dalam arti berkelainan, lamban belajar (slow
learner) maupun yang berkesulitan belajar lainnya.
Pendidikan inklusi adalah suatu kebijakan pemerintah dalam mengupayakan
pendidikan yang bisa dinikmati oleh setiap warga Negara agar memperoleh
pemerataan pendidikan tanpa memandang anak berkebutuhan khusus maupun anak-
anak pada umumnya agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan yang layak
dan berkualitas untuk masa depan kehidupannya.
Strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masing-
masing negara sangat bervariasi (UNESCO, 200; Stubbs, 2002). Keberagaman
implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi
yang berbeda. Di samping itu, perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat
provinsi, kota, bahkan sekolah.
Penyelenggaraan sekolah inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan
sekolah umum. Kenyataan dilapangan dalah hal karakteristik anak berkebutuhan
khusus yang diterima belum sesuai dengan kebijakan, seperti dalam hal penerimaan
jenis kekhususan, tingkat kecerdasan yang masih dibawah rata, belum ada
penentuan batas jumlah siswa yang diterima, serta belum memiliki sarana
prasaranan khusus. Dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus, orangtua
siswa regular, maupun masyarakat baru berupa dukungan moral. Padahal
seharusnya dukungan yang dibutuhkan berupa dukungan material maupun
keterlibatan langsung dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Penyelenggaraan
pendidikan inklusif tersebut akan berpengaruh terhadap sikap dan penerimaan
sekolah, yaitu sekolah harus ramah, terbuka (welcome ) dan tidak diskriminatif.
Adapun model sekolah inklusi yang dapat dilakukan di Indonesia adalah sebagai
berikut (Ashman, 1994 dalam Emawati, 2008) :

8
a. Kelas Reguler (Inklusi Penuh) Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak
normal sepanjang hari di kelas regular dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b. Kelas regular dengan Cluster Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak
normal di kelas regular dalam kelompok khusus.
c. Kelas Reguler dengan Pull Out Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak
normal di kelas regular namun dalam waktuwaktu tertentu ditarik dari kelas regular
ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak norma di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-
waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke kelas lain untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
e. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian Anak berkebutuhan khusus belajar
di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang-bidang tertentu
dapat belajar bersama anak normal di kelas regular.
f. Kelas Khusus Penuh Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah regular.

2. Pendidikan Segregasi atau Pendidikan khusus


Pemerintah mendefinisikan pendidikan khusus seperti tertuang pada Pasal 32 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebagai berikut : “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa. ’’
Pengertian pendidikan khusus yang sama dari Pemerintah sesuai dengan Pasal 127
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tengang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut : “Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Fungsi pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dan fungsi pendidikan
khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan /dan atau bakat
istimewa seperti diuraikan pada PP Nomor 17 Tahun 2010, sebagai berikut:
a. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.

9
b. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik
menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya.
Pendidikan Khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya,
mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, mengembangkan kehidupan sebagai
anggota masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk dapat memiliki
keterampilan sebagai bekal memasuki dunia kerja.
3. Pendidikan Integrasi atau Terpadu
Sistem pendidikan integrasi juga disebut dengan sistem pendidikan terpadu yaitu
sistem pendidikan yang memadukan anak berkebutuhan khusus dengan anak
normal. Penyatuan tersebut dapat bersifat sebagian atau keterpaduan dalam rangka
sosialisasi bahkan dapat bersifat menyeluruh.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah :
a. Bentuk Kelas Biasa Dalam kelas ini anak berkebutuhan khusus belajar secara penuh
dengan menggunakan kurikulum biasa. Maka dari itu, diharapkan adanya pelayanan
dan bantuan dari guru kelas atau guru bidang studi dalam melaksanakan kegiatan
belajar. Cara mengajar dan penilaian yang digunakan tidak sama dengan kelas
umum. Untuk mata pelajaran tertentu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus misalnya menggambar, matematika, menulis perlu
disesuaikan bagi anak tunanetra, jangan disamakan dengan anak normal.
b. Kelas Biasa dengan Ruang bimbingan khusus. Dikelas ini anak berkebutuhan
khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti
layanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama anak normal. Pelayanan khusus diberikan oleh guru
pembimbing khusus di ruang bimbingan khsuus.
c. Bentuk kelas khusus. Bentuk kelas khusus juga disebut dengan keterpaduan local
atau bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada kelas ini, guru
pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus.
Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah yang sudah biasa
digunakan pada sekolah luar biasa. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat
fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk
kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga
sosialisasi pada jam istirahat.
Lalu dari ketiga layanan pendidikan tersebut, manakah yang paling relevan untuk
anak tunarungu yang disertai hambatan lainnya?

10
Menurut Addriene Anne rudelic dalam Jurnalnya yang berjudul An Analysis of
Teaching Methods for Children Who Are Deaf with Multiple Disabilities
mengungkapkan bahwa pada masing-masing layanan pendidikan yang ada, tidak
akan ada satu program yang dapat menangani dengan tepat keseluruhan hambatan
yang dialami oleh anak tunarungu yang disertai hambatan lainnya. Selalu terdapat
kekurangan pada setiap layanan pendidikan yang ada. Pada pendidikan inklusi,
kemungkinan terdapat kekurangan pada tenaga profesional yang dapat menangani
hambatan pendengaran anak. Pada pendidikan khusus, program yang
dilaksanakan terfokus pada hambatan primer yang dialami anak atau hambatan
yang benar-benar mengganggu kegiatan anak.
Selain itu, penempatan yang tepat untuk siswa ini terbatas yang membuat
menempatkan siswa yang tuli dengan beberapa disabilitas sangat sulit. Kesulitan
dalam menempatkan siswa-siswa ini terletak pada kemampuan untuk menemukan
penempatan yang memenuhi semua kebutuhan siswa individu. Dalam kebanyakan
kasus, program berkonsentrasi pada satu cacat tertentu. Oleh karena itu, program
tidak memiliki kemampuan untuk melayani semua kebutuhan yang mungkin
dibutuhkan siswa. Meskipun program ini akan melakukan yang terbaik untuk
mengakomodasi setiap siswa individu, mereka mungkin tidak melayani anak dengan
cara yang paling tepat (Jones & Jones, 2003). 
Banyak program akan mencoba menentukan cacat "primer" siswa, disabilitas yang
paling mempengaruhi kinerja, dan menetapkan penempatan yang sesuai berdasarkan
cacat "primer" (Jones & Jones, 2003). Ini menyebabkan lebih banyak komplikasi
bagi tim IEP ketika mencoba menentukan penempatan yang sesuai untuk
individu. Program mandiri untuk pendidikan khusus telah membuka pintu mereka
untuk siswa ini yang tuli dengan disabilitas lain tetapi program-program ini mungkin
tidak tahu bagaimana cara terbaik mengakomodasi tuli. Program-program ini,
sebagian besar, tidak memiliki dukungan di kelas dan pelatihan dari guru yang
diperlukan untuk mengakomodasi dan melayani siswa ini dengan cara terbaik. Pada
gilirannya, program pendidikan tuli swasta telah menyambut siswa-siswa ini,
meskipun tidak dapat mengakomodasi disabilitas lain yang mungkin dilakukan anak
(Ewing & Jones, 2003). 
Setiap profesional yang bekerja dengan siswa yang tuli, terlepas dari penempatan,
akan lebih baik melayani kebutuhan mereka jika mereka memiliki pemahaman
tentang tuli dan dampaknya pada bahasa. "Perhatian utama adalah bahwa para
profesional harus diajarkan untuk memahami tuli dan implikasi ketulian untuk
pengembangan hubungan yang lebih efektif dan produktif dengan anak" (Guardino,
2008, hal. Selain itu, siswa yang tuli dengan beberapa disabilitas berisiko memiliki
lebih sedikit paparan terhadap aspek-aspek penting dari budaya Tuli, seperti Bahasa
Isyarat Amerika dan interaksi dengan individu tuli lainnya. Ini membatasi jumlah

11
interaksi sosial dan peluang siswa ini akan memiliki budaya Tuli (Jones & Jones,
2003)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Addriene Anne rudelic dalam Jurnalnya yang berjudul An Analysis of
Teaching Methods for Children Who Are Deaf with Multiple Disabilities mengungkapkan
bahwa pada masing-masing layanan pendidikan yang ada, tidak akan ada satu program yang
dapat menangani dengan tepat keseluruhan hambatan yang dialami oleh anak tunarungu
yang disertai hambatan lainnya. Selalu terdapat kekurangan pada setiap layanan pendidikan
yang ada. Pada pendidikan inklusi, kemungkinan terdapat kekurangan pada tenaga
profesional yang dapat menangani hambatan pendengaran anak. Pada pendidikan khusus,
program yang dilaksanakan terfokus pada hambatan primer yang dialami anak atau
hambatan yang benar-benar mengganggu kegiatan anak.
Selain itu, penempatan yang tepat untuk siswa ini terbatas yang membuat menempatkan
siswa yang tuli dengan beberapa disabilitas sangat sulit. Kesulitan dalam menempatkan
siswa-siswa ini terletak pada kemampuan untuk menemukan penempatan yang memenuhi
semua kebutuhan siswa individu. Dalam kebanyakan kasus, program berkonsentrasi pada
satu cacat tertentu. Oleh karena itu, program tidak memiliki kemampuan untuk melayani
semua kebutuhan yang mungkin dibutuhkan siswa. Meskipun program ini akan melakukan
yang terbaik untuk mengakomodasi setiap siswa individu, mereka mungkin tidak melayani
anak dengan cara yang paling tepat (Jones & Jones, 2003). 

12
Daftar Pustaka

Rahmawati, Aprilia, et al. "Pengelolaan Kelas Terhadap Siswa Tuna Rungu-Wicara Di Kelompok A1
PGRA Mamba’ul Hisan." Jurnal JECED (Journal of Early Childhood Education and Development) 1.2
(2019): 98-103. Diakses pada 10-10-2020 pukul 11.21

Manajemen Kelas Untuk Abk (Anak Berkebutuhan Khusus ),


http://12030pip.blogspot.com/2013/06/manajemen-kelas-untuk-abk-anak.html. Diakses pada 10-10-
20,Pukul 15.10
Mirnawati, Mirnawati. "ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS" Hambatan Majemuk"." (2019). Diakses pada
11-10-20. Pukul 08.45

Darma, I. P., & Rusyidi, B. (2015). Pelaksanaan Sekolah Inklusi di Indonesia. Prosiding Ks: Riset &
Pengabdian Kepada Masyarakat.

Kustawan, D., & Meimulyani, Y. (2013). Mengenal Pendidikan Khusus & Pendidikan Layanan Khusus
Serta Implementasinya. Jakarta: PT.Luxima Metro Media.

Latifah, I. (2020). Pendidikan Segregasi, Mainstreaming, Integrasi dan Inklusi, Apa. Jurnal Pendidikan.

13

Anda mungkin juga menyukai