Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

Tuli Mendadak Pada Telinga Kiri

Disusun Oleh :

Novalia (112019006)

Pembimbing :

dr. Irma Suryati, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT

Periode 05 November 2020 – 21 November 2020

Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta Utara

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU PENYAKIT THT RS KOJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Selasa, 10 November 2020

Nama : Novalia Tanda Tangan


NIM : 112019006 ...............................
Dr. Pembimbing / Penguji: dr.Irma Suryati, Sp. THT-KL
................................

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Tn. B Jenis kelamin : Laki-laki


Tempat / tanggal lahir : Serang, 13 Februari 1983 Suku Bangsa : Jawa
Status perkawinan : Sudah Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pendidikan : S1
Alamat : Pasar Rebo Tanggal masuk RS : 09 November 2020

A.ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis Tn. B Tanggal : Senin, 09 November 2020 Jam : 08.00

Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun mendadak sejak 5
SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun mendadak pada telinga kiri sejak 5 hari
SMRS. Pasien mengeluhkan penurunan mendadak setelah bangun tidur. Pasien masih dapat
mendengar suara akan tetapi pendengarannya seperti ada suara berbisik, tidak jelas. Pasien
mengatakan keluhan ini pertama kali. Pasien tidak ada keluhan lain seperti demam, pusing, mual,
muntak, pilek. Pasien juga tidak ada keluhan pada telinga seperti keluarnya cairan ataupun nyeri.
Keluhan pada hidung dan tenggorokan pun disangkal. Tempat tinggal dan tempat bekerja pasien
di lingkungan yang sepi, tidak bising. Pasien mengatakan jika sering menggunakan cotton buds
dan sering menggunakan headshet jika bekerja. Pasien tida ada riwayat sakit stroke, diabetes,
jantung, atau sakit lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

Riwayat pengobatan : Tidak ada

Riwayat alergi : Tidak ada

Riwayat Kebiasaan : Pasien sering menggunakan cotton buds dan menggunakan headshet di
tempat bekerja

PEMERIKSAAN FISIK :

Status Lokalis Telinga

Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Normotia. Mikrotia (-), Normotia. Mikrotia (-),
makrotia (-), anotia (-), makrotia (-), anotia (-),
atresia (-), fistula (-), bat’s ear atresia (-), fistula (-), bat’s ear
(-), lop’s ear (-), cryptotia (-), (-), lop’s ear (-), cryptotia (-),
satyr ear (-) satyr ear (-)
Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), Nyeri (-), massa (-),
hiperemis (-), hipertermi (-), hiperemis (-), hipertermi (-),
functio laesa (-), edema (-) functio laesa (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa abses (-), sikatriks (-), massa
(-), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), edema (-) hipertermi (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-),
(-), edema (-), abses (-), edema (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis
atresia (-), furunkel (-), jar. (-), atresia (-), furunkel (-), jar.
granulasi (-), hiperemis (-), granulasi (-), hiperemis (-),
serumen (+), sekret (-), laserasi serumen (-), sekret (-), laserasi
(-), debris (-), perdarahan aktif (-), massa (-), hifa (-),
(-) perdarahan aktif (-)
Membran Timpani Tidak ada kelainan Utuh, refleks cahaya (+)
bulging (-), perforasi (-) ,
sekret (-), retraksi (-)

TES PENALA

Kanan Kiri
Rinne + +
Weber Lateralisasi ke kanan
Schwabach Memendek
Kesan: Tuli Sensorineural

TES AUDIOMETRI
Kesan : Tuli Sensorineural telinga kiri, Telinga kanan pendengaran normal.

Status Lokalis Hidung hiperemis (-), hipertermi (-), hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-) nyeri (-), massa (-)
Cavum Nasi Lapang, sekret (+), Lapang, sekret (+),
massa (-), krusta (-), benda massa (-), krusta (-), benda
asing (-) hiperemis (-) asing (-) hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (-) edema (-) livide (-), edema (-)
Meatus nasi inferior Terbuka, sekret (-), Terbuka, sekret (-),
massa (-), edema (-) massa (-), edema (-)
Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (-), hiperemis (-), livide (-),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius Terbuka, sekret (-), Terbuka (-), sekret (-),
massa (-), edema (-) massa (-), edema (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-) perforasi (-)
Rinofaring

Koana : massa (-) sekret (-)

Septum nasi posterior : hiperemis (-)

Muara tuba eustachius: terbuka, hiperemis (-)

Torus tubarius : menonjol, hiperemis (-), massa (-)

Post nasal drip : tidak ditemukan

Pemeriksaan Transluminasi

Sinus Frontal kanan, Kiri : tidak dilakukan

Sinus Maxilla kanan, Kiri : tidak dilakukan

Tenggorokan

Faring

Dinding faring posterior : Hiperemis (-), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-), post
nasal drip (-), massa (-).

Arkus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)

Tonsil :T1-T1 tenang, hiperemis (-), kripta tidak melebar, detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : Berada di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang
(-), edema (-)

Gigi : karies (-)

Laring

Epiglotis : kista (-), edema (-), hiperemis (-), massa (-)

Plica aryepiglotis : tidak terjangkau

Arytenoids : tidak terjangkau

Ventricular band : tidak terjangkau

Pita suara : tidak terjangkau

Rima glotidis : tidak terjangkau

Cincin trachea : tidak terjangkau

Sinus Piriformis : tidak terjangkau

Kelenjar limfe submandibula dan servikal: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

RESUME

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan pendengaran menurun mendadak pada telinga kiri sejak 5 hari
SMRS. Pasien mengeluhkan penurunan mendadak setelah bangun tidur. Pasien masih dapat
mendengar suara akan tetapi pendengarannya seperti ada suara berbisik, tidak jelas. Pasien
mengatakan keluhan ini pertama kali. Pasien tidak ada keluhan lain seperti demam, pusing, mual,
muntak, pilek. Pasien juga tidak ada keluhan pada telinga seperti keluarnya cairan ataupun nyeri.
Keluhan pada hidung dan tenggorokan pun disangkal. Tempat tinggal dan tempat bekerja pasien
di lingkungan yang sepi, tidak bising. Pasien mengatakan jika sering menggunakan cotton buds
dan sering menggunakan headshet jika bekerja. Pasien tida ada riwayat sakit stroke, diabetes,
jantung, atau sakit lainnya.

1. Telinga : Kanan normal, tidak ada kelainan


Kiri tuli sensorineural
2. Hidung : Normal, tidak ada kelainan
3. Tenggorokan : Normal, tidak ada kelainan

Diagnosis Kerja

Tuli mendadak / SUDDEN SENSORINEURAL HEARING LOSS

Diagnosis Banding

1. Presbikusis
2. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/NIHL

Penatalaksanaan

Medikamentosa :

-Dosis methylprednison oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari/dosis tunggal, tapering


off tiap 3-5 hari, dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama 10-14 hari

-Vitamin C 1x500 mg

-Vitamin E tablet 1x1

-Neurobion tablet (neurotonik) 3X1

Non medikamentosa :

1. Tirah baring sempurna (total bed rest) istrirahat fisik dan mental selama 2 minggu untuk
menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan
neurovaskular
2. Diet rendah garam dan rendah kolestrol

Pendahuluan
Tuli mendadak merupakan salah satu kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan
segera, efektif dan tepat. Walaupun pada beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli
mendadak dapat mengalami pemulihan secara spontan, sekitar 32-70 %. Etiologi tuli mendadak
hingga saat ini belum diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa kemungkinan penyebab
tuli mendadak, yaitu idiopatik (71%), penyakit infeksi (12,8%), penyakit telinga (4,7%) seperti
penyakit Meniere, otosklerosis, penyakit autoimun telinga bagian dalam, operasi telinga atau
dasar otak, trauma (4,2%), vaskular dan hematologik (2,8%), neoplasma (2,3%), serta penyebab
lainnya (2,2%). Derajat ketulian dapat bervariasi mulai dari ringan, sedang, sedang berat, berat
dan sangat berat. Telinga yang terkena biasanya unilateral, hanya 1-5% kasus bilateral.
Penatalaksanaan tuli mendadak meliputi terapi konservatif dengan beberapa modalitas.
Penanganan harus dilakukan sedini mungkin karena penanganan yang terlambat akan
menyebabkan tuli yang permanen. Pemberian kortikostreroid dapat dilakukan secara sistemik
dan lokal. Kortikosteroid lokal dapat diberikan sebagai terapi primer, adjuvan terapi dan salvage
therapy.

Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang


memerlukanpenanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli
mendadak dapat pulih spontan; angka pemulihan pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah
28-65%, sebagian besar dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Masalah yang umum
ditemukan pada kasustuli mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga pengobatan
tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran permanent. Oleh sebab itu,
penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang
pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Tuli Mendadak

Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) didefi nisikan sebagai
bentuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran sensorineural pada satu atau kedua telinga yang
berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan
pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan
adanya abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls
pada korteks auditorik di otak. Jika penyebab tuli mendadak tidak dapat diidentifikasi setelah
pemeriksaan yang adekuat, disebut idiopathic sudden sensorineural hearing loss (ISSNHL).
Keparahan tuli mendadak berdasarkan derajat penurunan pendengaran, menurut WHO, terbagi
atas beberapa tingkatan sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :

Tabel 1 : Derajat Penurunan Pendengaran Menurut Klasifikasi WHO1

Etiologi dan Patogenesis

Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas; banyak teori dugaan penyebab
yang dikemukakan oleh para ahli. Sebuah data memperkirakan 1% kasus tuli mendadak
disebabkan oleh kelainan retrokoklea yang berhubungan dengan vestibular schwannoma,
penyakit demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus lainnya disebabkan oleh penyakit Meniere,
trauma, penyakit autoimun, sifi lis, penyakit Lyme, atau fistula perilimfe. Dalam praktik, 85-90%
kasus tuli mendadak bersifat idiopatik yang etiopatogenesisnya tidak diketahui pasti.1,5,6 Dalam
sebuah systematic review, diuraikan beberapa kemungkinan penyebab tuli mendadak, yaitu
idiopatik (71%), penyakit infeksi (12,8%), penyakit telinga (4,7%), trauma (4,2%), vaskular dan
hematologik (2,8%), neoplasma (2,3%), serta penyebab lainnya (2,2%). Ada empat teori utama
yang mencoba menjelaskan penyebab tuli mendadak, yakni infeksi virus, kelainan vaskular,
kerusakan membran intrakoklea, dan kelainan imunologi.

Infeksi Virus

Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus dianggap sebagai
salah satu penyebab tuli mendadak. Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya
hubungan antara infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini, ditemukan tingkat
serokonversi untuk virus herpes secara signifi kan lebih tinggi pada populasi pasien tuli
mendadak. Pada studi lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan
kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti
hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi stria vaskularis, dan
hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus, maternal rubella, dan virus
campak.

Kelainan Vaskular

Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea memperoleh asupan
darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan end artery
yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga jika terganggu dapatmengakibatkan
kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan iskemia koklea atau oklusi pembuluh darah—
seperti trombosis atau embolus, vasopasme, atau berkurangnya aliran darah—dapat
mengakibatkan degenerasi luas sel ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis yang diikuti
pembentukan jaringan ikat dan penulangan.

Kelainan Membran Intrakoklea

Terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada
membran halus yang memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan
salah satu atau kedua membrane tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli sensorineural.
Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong
didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau
menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan
terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea. Teori
ini diakui oleh Simmons, Goodhill, dan Harris, dengan pembuktian histologi yang
didokumentasikan oleh Gussen.

Kelainan Imunologi

Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh McCabe pada
tahun 1979. Pada kondisi ini, ditemukan adanya kehilangan pendengara progresif. Adanya
aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan pendengaran pada sindrom
Cogan, SLE, dan kelainan reumatik autoimun lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung
lainteori ini, terdapat sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan
beberapa kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated disorders).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, audiometri dan


pemeriksaan penunjang lainnya. Anamnesis didapatkan hingga 80% datang dengan keluhan
telinga penuh. Tinitus terjadi pada sekitar 80% pasien dan vertigo 30%. Pemeriksaan fisik
umum, seperti tekanan darah, nadi, nafas, suhu serta pemeriksaan lokalis THT-KL. Pasien
dengan tuli sensorineuralhampir selalu memiliki pemeriksaan otoskopi yang normal. Pemeriksan
pendengaran dengan penala didapatkan Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat,
Schwabach memendek. Pada audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural ringan hingga
sangat berat. Tuli mendadak juga dapat dievaluasi dengan speech reception threshold, speech
discrimination score, refleks stapedius, timpanogram dan tone decay.

Tuli konduktif dan tuli sensorineural memerlukan penanganan yang sangat berbeda.
Sebagai contoh, tuli konduktif yang terjadi akibat impaksi serumen dapat ditangani dengan
evakuasi serumen, lain halnya dengan penanganan pada tuli sensorineural yang lebih kompleks
karena penyebabnya sering tidak diketahui stabil), persepsi subjektif pasien mengenai derajat
ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala yang
menyertai seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea,
nyeri kepala, keluhan neurologis, dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-
obat ototoksik, operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan,
serta faktor predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan.
Pada pemeriksaan fisik,dilakukan inspeksi saluran telinga dan membran timpani untuk
membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Penyebab tuli konduktif berupa impaksi
serumen, otitis media, benda asing, perforasi membran timpani, otitis eksterna yang
menyebabkan edema saluran telinga, otosklerosis, trauma, dan kolesteatoma.

Sebagian besar kondisi ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak,
pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal.
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis juga dilakukan, terutama pada pasien
dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak dengan episode rekuren, dan tuli mendadak
dengan defi sit neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta lainnya.

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hum test dan tes penala untuk membantu klinisi
membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural sebelum dilakukan pemeriksaan audiometri.
Pada hum test, pasien diminta bersenandung dan kemudian memberitahu apakah suara didengar
lebih keras di satu telinga atau sama di keduanya. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih
keras pada telinga yang sakit, sebaliknya pada tuli sensorineural suara akan terdengar lebih keras
pada telinga yang sehat. Menurut AAO-HNS guideline, tes penala dapat digunakan untuk konfi
rmasi temuan audiometri. Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne dilakukan dengan alat
bantu garpu tala 256 Hz atau 512 Hz juga melihat ada tidaknya lateralisasi ke salah satu sisi
telinga.

Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk audiometri nada murni, audiometri tutur


(speech audiometry) dan audiometri impedans (timpanometri dan pemeriksaan refleks akustik),
merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan dalam mendiagnosis tuli mendadak. Hal ini sesuai
dengan salah satu kriteria defi nisi tuli mendadak menurut NIDCD 2003, yakni terdapat
penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri.

Pemeriksaan audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan menentukan derajat


penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara dalam audiometri nada murni
membantu menentukan jenis ketulian, baik tuli konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli
campuran . Audiometri tutur dapat digunakan untuk memverifi kasi hasil audiometri nada murni.
Timpanometri dan pemeriksaan refl eks akustik juga dapat membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi. Timpanometri dapat
membantu dalam mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif pada pasien dengan
penurunan pendengaran sangat berat.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien serta


kemungkinan etiologi. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifi k tidak direkomendasikan
sebab jarang terbukti membantu menentukan etiologi tuli mendadak.

Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dapat memberikan informasi tambahan


mengenai sistem auditorik. Pemeriksaan ABR ini berguna mengevaluasikemungkinan etiologi
retrokoklea dan dapat digunakan untuk menetapkan ambang batas pendengaran pada pasien yang
sulit diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, dan malingerers. Pemeriksaan ABR memiliki
sensitivitas tinggi dalam mendeteksi lesi retrokoklea, tetapi terbatas hanya untuk mendeteksi
vestibular schwannoma yang berukuran lebih dari 1 cm. Sensitivitas ABR untuk mendeteksi
vestibular schwannoma ukuran kecil sekitar 8-42%; saat ini menurun bila dibandingkan dengan
akurasi diagnostic pencitraan resonansi magnetik (MRI).

Penatalaksanaan

Pengobatan tuli mendadak idealnya didasarkan pada penyebabnya tetapi umumnya bersifat
idiopatik, sehingga pengobatan dilakukan secara empiris. Terapi tuli mendadak umumnya berupa
steroid sistemik, vasodilator (histamin, papaverin, verapamil, carbogen), hemodilusi (dextran,
pentoxifylline, manitol, dan heparin), atau antiviral (acyclovir, valacyclovir). Terapi lainnya
dapat berupa oksigen hiperbarik 100% hingga ATA selama 90 menit setiap hari selama 10-20
kali terapi. Selain itu, pasien dianjurkan tirah baring selama 2 minggu, diet rendah garam dan
rendah kolesterol, penggunaan neurotonik, vitamin C, vitamin E, dan preparat herbal (gingko
biloba).

a. Terapi kortikosteroid sistemik

Kortikosteroid sistemik yang paling sering digunakan antara lain prednison,


metilprednisolon dan deksametason. Prednison diberikan dengan dosis 1 mg/kg berat badan/hari
atau maksimal 60 mg/hari tapering off selama 12-15 hari. Metilprednisolon diberikan dengan
dosis 48 mg tapering off. Deksametason diberikan dengan dosis 10 mg/hari tapering off. Efek
samping yang ditimbulkan penggunaan kortikosteroid antara lain insomnia, dizziness, gastritis,
kenaikan berat badan, berkeringat, perubahan mood, hiperglikemia dan fotosensitif. Efek
samping yang cukup berat, tetapi jarang ditemukan yakni pankreatitis, perdarahan, hipertensi,
katarak, miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis, dan osteonekrosis. Pasien dengan kondisi
medis sistemik, seperti insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak terkontrol,
hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak diajurkan terapi kortikosteroid sistemik.

b. Terapi kortikosteroid intratimpani

Injeksi kortikosteroid intratimpani pertama kali dilaporkan penggunaannya oleh Itoh (1991)
untuk pengobatan penyakit telinga bagian dalam pada pasien dengan Penyakit Meniere. Pada
kasus tuli mendadak terapi kortikosteroid intratimpani pertama kali dilaporkan oleh Silverstein
(1996). Meskipun efektifitasnya belum terbukti secara definitif, terapi kortikosteroid intratimpani
untuk tuli sensorineural menjadi lebih banyak digunakan.

Protokol pengobatan tuli mendadak dengan kortikosteroid intratimpani terdiri dari:

• Terapi Primer; terapi intratimpani sebagai pengobatan pertama untuk tuli mendadak, tanpa
kortikosteroid sistemik

• Terapi Adjuvan; terapi diberikan bersamaan dengan sistemik kortikosteroid

• Salvage therapy: terapi dimulai setelah terapi kortikosteroid sistemik gagal.

Pemberian kortikosteroid intratimpani sebagai terapi primer biasanya pada kelompok pasien
yang tidak bisa mentolerir efek samping sistemik dosis tinggi dari terapi kortikosteroid sistemik,
seperti pasien diabetes atau tekanan darah tinggi yang sulit untuk dikontrol. Sebuah studi
mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani
menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Namun, studi lainnya tidak
menghasilkan perbedaan pemulihan pendengaran antara terapi kombinasi kortikosteroid oral dan
intratimpani dengan terapi kortikosteroid oral saja. Kebanyakan penggunaan kortikosteroid
intratimpani dilakukan setelah pengobatan tuli mendadak menggunakan kortikosteroid sistemik
gagal.
Jumlah yang disuntikkan antara 0,3 – 0,5 ml, sesuai dengan perkiraan volume ruang telinga
tengah. Normalnya pada dewasa volume telinga tengah 0,6 - 1,5 ml. Periode waktu dan jumlah
penyuntikan juga berbeda-beda yang bervariasi mulai dari 3 hari sampai 7 hari selama 3 sampai
4 kali pemberian.

Prognosis

Prognosis dan keberhasilan penatalaksanaan tuli mendadak dipengaruhi oleh beberapa


faktor diantaranya usia, onset kehilangan pendengaran, derajat ketulian, jenis audiogram pertama
ada tidaknya vertigo, ada tidaknya tinnitus, respon 2 minggu pengobatan pertama, dan adanya
faktor predisposisi.

Derajat ketulian menurut ISO diklasifikasikan sebagai ringan (>25-40), sedang (>40-55),
sedang berat (>55-70), berat (>70-90), sangat berat (>90), sesuai rata-rata nada murni pada
frekuensi 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz. Semakin berat derajat ketulian maka prognosis
menjadi lebih rendah. Tipe kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu
ascending type (frekuensi 250-500Hz), descending type (frekuensi 4000-8000), flat type (<20dB
perbedaan antara yg terbaik dan terburuk), total atau sub total (>85dB). Ascending type memiliki
prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan descending, flat serta total atau sub total.
Sedangkan menurut Atay pembagian tipe kehilangan pendengaran terdiri dari upward-sloping
type (gangguan lebih berat pada frekuensi rendah), downward-sloping type (gangguanlebih berat
pada frekuensi tinggi), flat type (tidak lebih dari 10dB dari ambang dengar) dan profound type
(lebih dari 70dB pada semua frekuensi). Awal mulai pengobatan oleh Kasaplogu dkk dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu early (5 hari pertama), late (hari ke 5-15). Pengobatan dimulai kurang
dari lima hari akan memberikan hasil yang lebih baik. Vertigo dapat digunakan sebagai indikator
tingkat keparahan lesi dan berhubungan dengan prognosis pengobatan yang rendah. Menurut
Kasaplogu menyimpulkan hasil penelitian Danino bahwa adanya gejala tinitus mempengaruhi
reversibilitas hingga 80%. Usia lanjut, hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia berkaitan dengan
disfungsi mikrovaskuler di koklea yang akan memperburuk prognosis kesembuhan.

Namun pasien tuli mendadak yang tidak diobati dapat juga mengalami pemulihan
spontanMenurut Jones seperti yang dikutip oleh Conlin menyatakan tuli mendadak dapat
mengalami pemulihan spontan sekitar 32-70%. Menurut Matox seperti yang dikutip oleh
Kasapoglu menyatakan sekitar 65% kasus tuli mendadak terjadi pemulihan spontan, sedangkan
Battaglia menyatakan sekitar 32-64% tuli mendadak dapat mengalami pemulihan spontan.

Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama satu bulan. Kriteria perbaikan
pendengaran menurut Kallinen: Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5
frekuensi. Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB pada frekuensi
250 Hz, 500 Hz, 1000Hz, 2000 Hz dan di bawah 25 dB pada frekuensi 4000 Hz. Baik, apabila
rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi. Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan
kurang dari 10 dB pada 5 frekuensi.

Evaluasi menurut Ho seperti yang dikutip oleh Filipo menyatakan pembagian evaluasi
menjadi 4 kelompok yaitu pulih total dengan ambang dengar kurang dari 25 dB, pulih bermakna
dengan peningkatan ambang dengar lebih dari 30 dB, pulih minimal dengan peningkatan ambang
dengar sekitar 10-30 dB, dan tidak terjadi pemulihan dengan peningkatan ambang dengar kurang
dari 10 dB. Sedangkan Siegel seperti yang dikutip oleh Ferri dkk membagi kriteria perbaikan
pendengaran setelah 3 bulan terapi menjadi : sembuh sempurna bila perbaikan lebih dari 30 dB
dan pendengaran lebih baik dari 25 dB, penyembuhan parsial bila perbaikan lebih dari 15 dB dan
pendengaran antara 25–45 dB, penyembuhan ringan (slight) bila perbaikan lebih dari 15 dB
tetapi pendengaran lebih buruk dari 45 dB, tidak ada perbaikan bila perbaikan kurang dari 15 dB
dan pendengaran lebih buruk dari 75 dB.

Daftar Pustaka

1.Novita S, Yuwono N. Diagnosis dan Tatalaksana Tuli Mendadak. Cermin Dunia Kedokteran
Kalbe. 2013; 40(11): 820-826.

2.Fedriani J. Steroid Intratimpani untuk Penanganan Ttuli Mendadak. Cermin Dunia Kedokteran
Kalbe. 2015; 42(2): 149-151.

3.Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di Bagian tht-kl RSUP
dr.m Djamil Padang. Jurnal kesehatan andalas.2016;5(2):416-420.
4.Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2016.h.39-41.

5.Subramaniam A. Kriteria Diagnosis dan Diagnosis Banding Sudden Deafness (SSNHL).


Intisari Sains Medis. 2016; 5(1): 31-35.

6.Widyastuti Ketut. Tuli Sensorineural Mendadak. 2015, h. 21-9.

Anda mungkin juga menyukai