Anda di halaman 1dari 13

HARMONISASI ANTAR KELOMPOK AGAMA

Mata Kuliah : Agama

Dosen : Dr. Idrus Ruslan, M.Ag.

Penulis :

1. Erlita Saktiyani (2014401056)


2. Hikmatin Nuzuliah (2014401061)
3. M. Fais Darrel (2014401067)
4. Nike Romadhona (2014401072)
5. Putri Puji Lestari (2014401077)
6. Resti Oktapia Elvatama (2014401082)
7. Rizki Hanafi Munazir (2014401087)
8. Tandok Andani (2014401092)
9. Widia Fatmawati (2014401098)

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG

POLTEKKES KEMENKES TANJUNG KARANG

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

makalah ini yang berjudul “Harmonisasi Antar Kelompok Agama”.

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan

dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu

dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,

penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki

sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati

dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna

penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Bandar Lampung, Agustus 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................... 2

BAB I (PENDAHULUAN)

1. Latar Belakang ................................................................................ 3


2. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
3. Tujuan Penulisan ............................................................................. 3

BAB II (PEMBAHASAN)

1. Pengertian Harmonisasi Antar Kelompok Agama .......................... 4


2. Konsep Harmonisasi Antar Kelompok Agama ............................... 8
3. Bentuk Penerapan dalam kehidupan sehari-hari ............................. 9

BAB III (PENUTUP)

1. Kesimpulan ..................................................................................... 12
2. Saran ................................................................................................ 12

Daftar Pustaka ........................................................................................... 13

3
BAB I

(PENDAHULUAN)

1. Latar Belakang
Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang mana tidak bisa bertahan
hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi,
yaitu sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu dan makhluk sosial-budaya yang
saling berkaitan dimana sebagai makhluk Tuhan memiliki kewajiban untuk
mengabdi, sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan
sebagai makhluk sosial-budaya harus hidup berdampingan dengan orang lain dala
kehidupan yang selaras dan saling membantu.
Menurut KBBI harmonisasi adalah upaya pencarian keselarasan.
Keselarasan disini memiliki arti bahwa manusia sebagai makhluuk sosial sejatinya
dituntut untuk hidup secara damai dan berdampingan serta meminimalisir adanya
konflik atau perpecahan dalam berbagai aspek. Berdasarkan sudut pandang
kebahasaan, agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang
berarti “tidak kacau”.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Harmonisasi Antar Kelompok Agama?
2. Bagaimana konsep Harmonisasi Antar Kelompok Agama?
3. Bagaimana Harmonisasi Antar Kelompok Agama dalam kehidupan
sehari-hari?
3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Harmonisasi Antar Kelompok Agama
2. Untuk mengetahui konsep Harmonisasi Antar Kelompok Agama
3. Untuk memahami penerapan Harmonisasi Antar Kelompok Agama di
kehidupan sehari-hari.

4
BAB II

(PEMBAHASAN)

1. Pengertian Harmonisasi Antar Kelompok Agama


a. Harmonisasi Agama
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) harmonisasi adalah upaya
pencarian keselarasan. Keselarasan disini memiliki artian bahwa manusia sebagai
makhluk sosial sejatinya dituntut untuk hidup secara damai dan berdampingan serta
meminimalisir adanya konflik atau perpecahan dalam berbagai aspek misalnya
dalam segi hidup beragama. Dapat juga dikataan bahwa harmonisasi merupakan
keteraturan sosial yang dapat diartikan sebagai suatu sistem kemasyarakatan, pola
hubungan, dan kebiasaan yang berjalan lancar demi tercapainya tujuan masyarakat
(Paul B. Horton, 1993). Sementara itu, Sitorus (1997) menegaskan bahwa
keteraturan sosial adalah suatu keadaan di mana hubungan-hubungan sosial
berlangsung secara selaras, serasi dan harmonis menurut nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku. Secara demikian dapat ditegaskan bahwa harmonisasi adalah
kondisi dinamis, di mana sendi-sendi kehidupan bermasyarakat berjalan seara tertib
dan teratur sehingga tujuan kehidupan bermasyarakat dapat tercapai.
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, agama dianggap sebagai kata yang
berasal dari bahasa sangsekerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua
akar suku kata, yaitu a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Menurut inti
maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam
bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda keduanya berasal dari bahasa Latin,
religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat. Adapun agama dalam
pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh
masyarakat yang ada didunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek
dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga
bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur
yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan
sistem organisasi sosial.

5
Konflik-konflik yang melibatkan perbedaan keyakinan (antar umat
beragama) berpotensi yang tinggi terhadap terjadinya tindak kekerasan, main hakim
sendiri, justifikasi sebuah kebenaran atau keyakinan kelompok satu dengan
kelompok lainya menjadi sumber konflik ideologi yang akhir-akhir ini muncul di
Indonesia. Agama memberikan kontribusi yang luar biasa bagi para pemeluknya,
terutama menyangkut pola pikir, pola sikap dan pola perilaku individu dalam
masyarakat. Pola pikir individu yang dipengaruhi agama, pada dasarnya masuk
dalam ranah pengetahuan dan pemahaman keagamaan, dimana agama yang
berisikan ajaran-ajaran memiliki sifat memaksa terhadap pemeluknya untuk
mengikuti apa yang diajarkan oleh agama. Agama dengan doktrin-doktrin yang
dimilikinya, secara psikolois memiliki dampak yang luar biasa bagi perkembangan
individu, terutama menyangkut pola pikir seseorang.
Agama dalam perspektif sosiologis dapat dilihat dari adanya fenomena-
fenomena keagamaan yang muncul dalam masyarakat, baik dalam bentuk ritual,
perayaan maupun simbol-simbol keagamaan, sehingga agama tumbuh dan
berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Agama yang menjelma dalam
bentuk budaya inilah yang menuntut adanya dialektika internalisasi ekternalitas dan
eksternalisasi internalitas. Sehingga agama muncul istilah misi keagamaan dalam
bentuk budaya. Berdasar hal tersebut, maka eksistensi agama dalam masyarakat
memiliki potensi integratife dan potensi konflik.
Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu (integratif) bagi
umat beragama yang sama. Fungsi integratif ini biasanya menjadi luntur atau
melemah ketika dalam kehidupan beragama melibatkan unsur-unsur keyakinan
yang berbeda. Menurut Hendropuspito agama memiliki fungsi sebagai pemupuk
persaudaraan terutama internal umat beragama. Namun ibarat sisi mata uang agama
dalam realitas sosial memiliki peran ganda antara fungsi integratif maupun fungsi
disintegratif, tergantung konteks hubungan internal atau eksternal umat beragama.
Dalam konteks internal umat beragama inilah agama lebih berperan sebagai
pemersatu (integratif), sekalipun juga tidak menutup kemungkinan terjadi
disintegratif, terutama ketika melibatkan perbedaanperbedaan faham dalam suatu
agama atau kepercayaan.

6
Tanpa mengurangi kontribusi agama dalam kehidupan sosial terutama bila
ditinjau dari fungsi integratif, ada faktor-faktor lain selain agama yang ikut
perpengaruh terhadap integrasi sosial. Faktor-faktor tersebut, bila ditinjau dari teori
perdamaian, meliputi beberapa hal antara lain: an effective channels of
communication, consultatition and negotitation, peace-enhancing structure and
institutions, an integrative political-psychological climate, a critical mass of peace
building leadership, and a supportive international environment.
b. Agama dan Masyarakat
Menurut para ilmuan sosial, kehidupan manusia yang terbentang sepanjang
sejarah selalu dibayang-bayangi oleh apa yang disebut agama. Bahkan, dalam
kehidupan sekarang pun dengan kemajuan teknologi supramodern manusia tak
luput dari agama. Agama-agama lahir pada babak sejarah pramodern, sebelum
masyarakat dan dunia diwarnai perkembangan pesat dan teknik. Peter L. Berger
(1969:268) melukiskan agama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia; karena
agama merupakan sarana untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang
mengancam hidup manusia. Hampir semua masyarakat di muka bumi mempunyai
agama. Malinowski (1954:17) menyatakan tidak ada bangsa, bagaimanapun
primitifnya, yang tidak memiliki agama dan magi. Agama dapat dipandang sebagai
kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan oleh suatu masyarakat untuk
menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan teknik
organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling
kepada manipulasi kekuatan supernatural (Haviland, 1988:193).
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal
yang sudah tentu hubungannya erat dan memiliki aspek-aspek yang terpelihara.
Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika, agama dalam kehidupan individu
dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup
kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainya juga
menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan
masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang
mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of
life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya. Agama sebagai suatu sistem
mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan

7
terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat
terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem
simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian
terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti
banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga,
bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya.
Agama, dalam kaitannya dengan masyarakat, mempunyai dampak positif
berupa daya penyatu (sentripental), dan dampak negatif berupa daya pemecah
(sentrifugal). Agama yang mempunyai sistem kepercayaan dimulai dengan
penciptaan pandangan dunia baru yang di dalamnya konsepsi lama dan
pelembagaannya bisa kehilangan dasar adanya. Meskipun ajaran pokok suatu
agama bisa bersifat universal, namun mula-mula ditujukan kepada sekelompok
orang yang sedikit banyak homogen. Agama menjadi dasar solidaritas kelompok
baru yang tertentu. Perpecahan pun timbul manakala adanya penolakan terhadap
pandangan hidup lama atau yang berbeda dengan agama. Perpecahan itu timbul
disebabkan oleh klaim kebanaran (truth claim) dan sering diekspresikan dalam
bentuk-bentuk yang keras tanpa kompromi.

2. Konsep Harmonisasi Antar Kelompok Agama


a. Konsep Koeksistensi
Konsep Koeksistensi Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
koeksitensi adalah hidup rukun secara berdampingan. Koeksistensi merupakan
suatu keadaan ketika dua atau lebih kelompok hidup bersama dengan menghormati
perbedaan tiap kelompok dan menyelesaikan konflik antarkelompok tanpa
kekerasan. Dasar dari koeksistensi adalah kesadaran bahwa individu dan kelompok
berbeda, mencakup perbedaan kelas, etnis, agama, gender, dan pilihan politik.
Identitas-identitas kelompok tersebut dapat menjadi sumber konflik. Konsep
koeksistensi, dengan demikian, mengurangi kemungkinan perbedaan identitas
kelompok yang akan meningkat menjadi konflik yang rumit dan merusak.

8
Din Syamsuddin (2011) menegaskan bahwa koeksistensi damai adalah
keniscayaan bagi masyarakat dunia yang multikultural dan multireligius. Tanpa itu
dunia akan dipenuhi konflik. Peradaban dunia menghadapi tantangan serius dengan
menggejalanya berbagai bentuk kerusakan akumulatif seperti kemiskinan,
kebodohan, ketakadilan, hingga kerusakan lingkungan hidup, dan tsunami
kebudayaan. Maka diperlukan langkah bersama umat beragama dunia untuk
menanggulanginya. Memang ada faktor-faktor non agama yang mendorong konflik
seperti ekonomi, politik. Namun konflik, intoleransi, dan eksklusifisme juga
berpangkal pada pemahaman agama yang salah. Maka dari itu, perlu dikembangkan
pemahaman yang benar yang menekankan kasih sayang dan kesadaran tentang one
humanity, one destiny dan one responsibility.

3. Bentuk Penerapan Harmonisasi Antar Kelompok Agama dalam


Sehari-hari
Bentuk penerapan harmonisasi antar kelompok agama dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya adalah:
1. Toleransi Antarumat Beragama
Bentuk harmonisasi hubungan umat beragama yang pertama adalah
toleransi. Bagi bangsa Indonesia istilah toleransi sebenarnya bukan merupakan
istilah dan masalah baru. Sikap toleransi merupakan salah satu ciri bangsa
Indonesia yang diterima sebagai warisan leluhur bangsa Indonesia sendiri.
Toleransi dalam pergaulan bukan merupakan sesuatu yang dituntut oleh situasi.
Istilah toleransi berasal dari bangsa Inggris, yaitu: “tolerance” berarti
sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persetujuan. Bahasa arab diterjemahkan dengan “tasamuh”, berarti
saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dalam percakapan sehari-hari, di
samping kata toleransi juga dipakai kata “tolerer”. Kata ini berasal dari Belanda
berarti membolehkan atau membiarkan dengan pengertian membolehkan atau
membiarkan yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi.

9
Jadi toleransi mengandung konsensi yang artinya pemberian atas dasar
kemurahan dan kebaikan hati bukan hak. Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku
karena terdapat perbedaan prinsip dan menghormati perbedaan atau prinsip orang
lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Mempertahankan toleransi merupakan
tuntutan mendesak bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi
pembangunan dalam segala bidang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memperkaya penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada
toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk di kalangan
pemeluk masing-masing agama.
2. Kerukunan Antarumat Beragama
Sejak awal Orde Baru, hubungan antarumat beragama di Indonesia
mulai memasuki era baru yang lebih menekankan kerukunan antarumat beragama.
Hal ini tidak bisa terlepas dari kepentingan pemerintah yang mengupayakan
stabilitas politik sebagai syarat awal berjalannya roda pemerintahan yang
baru.Sementara ide-ide pluralistas-inklusivitas diwacanakan oleh kalangan
agamawan karena alasan doktrinal. Yaitu sebuah upaya untuk membangun persepsi
bahwa agama memang mengandung ajaran-ajaran yang mendukung gagasan
pluralitas.15 Gagasan pluralitas akan mendukung integritas nasional yang
merupakan alasan sekunder atau faktor ikutan (by product).
3. Dialog Lintas Agama
Hidup berdampingan antarumat beragama dengan toleransi dan penuh
kedamaian adalah baik, tetapi belum dikatakan dialog antarumat beragama. Dialog
antarumat beragama bukan hanya saling memberi informasi tentang mana yang
sama dan mana yang berbeda antara ajaran agama yang satu dengan lainnya, bukan
merupakan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan
kepercayaannya, dan menjadikan orang lain mengubah agamanya kepada yang ia
peluk. Dialog tidak dimaksudkan untuk konversi, yaitu untuk mengusung orang lain
supaya menerima kepercayaan yang ia yakini, sekalipun konversi semacam ini
menggembirakan orang yang beragama lain.
Dialog agama bukan suatu studi akademis terhadap agama, juga bukan
merupakan usaha untuk menyatukan semua ajaran agama menjadi satu. Dialog
antarumat beragama juga bukan suatu usaha untuk membentuk agama baru yang

10
dapat diterima oleh semua pihak. Bukan berdebat adu argumentasi antarumat
beragama, hingga ada orang yang menang dan ada yang kalah. Dialog bukanlah
suatu usaha untuk meminta pertanggungjawaban kepada orang lain dalam
menjalankan agamanya. Tetapi dialog berupaya memberikan pemahaman dan
pengertian tentang ajaran dan kehidupan.
4. Dialog dan Kerjasama Antarumat Beragama
Usaha dialog dan kerjasama antarumat beragama adalah hasil
pemahaman terhadap realitas sosial. Dialog harus diakui sebagai suatu cara yang
paling penting untuk membudayakan hidup rukun dan harmonis di antara seluruh
umat beragama yang sekarang berada di era global dan plural. Agama dapat
dihayati melalui semangat dialog vertikal (antara individu dengan Tuhannya) dan
dialog horizontal (antara sesama manusia). Dialog vertikal akan membuahkan
kehidupan yang suci, indah dan jauh dari kesengsaraan. Sedangkan dialog
horizontal akan menciptakan ketertiban, keserasian, kedamaian, keharmonisan dan
sebagainya.

11
BAB III

(PENUTUP)

1. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk-bentuk
harmonisasi hubungan antarumat beragama yang pernah tumbuh dan berkembang
di Indonesia adalah toleransi, kerukunan antarumat beragama, dialog antar umat
beragama. Indonesia negara berkepulauan yang memiliki wilayah yang cukup luas
dan beranekaragam, baik dari segi demografi, topografi maupun geografinya.
Corak hubungan antarindividu dan pemeluk agama di masing-masing wilayahnya
tentu saja juga beranekaragam.
Sebagai umat yang beragama harus sadar akan kedudukannya sebagai
hamba Allah di atas muka muka bumi ini yaitu melaksanakan apa yang telah
diperintahkannya dan meninggalkan semua larangannya.
Setiap umat beragama tanpa terkecuali memiliki tanggung jawab moral
untuk mengarahkan untuk taat kepada Tuhan dan mengetahui tugas-tugasnya
sebagai khalifah Allah yang bertugas memelihara alam ini. Sehingga terwujud
kemakmuran di atas muka bumi ini. Hal ini dapat dimulai sejak dini saat anak-anak
mulai mengenal pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Tenaga
pendidik bukan hanya guru, namun yang terpenting adalah orang tua karena orang
tua memiliki waktu yang lebih banyak bersama anak-anaknya.

2. Saran
Penulis menyadari banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini yang
jauh dari kata sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan
berpedoman pada banyak sumber referensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Saran kami dalam makalah ini adalah untuk menambah wawasan bagi para
pembaca agar kita sama-sama memahami apa itu harmonisasi antar kelompok
agama, serta mampu mengamalkan bentuk-bentuk penerapan harmonisasi antar
kelompok agama dalam kehidupan sehari-hari..

12
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Nurkholik. 2012. “Sebuah Analisis tentang Konstruksi Perdamaian Antar


Umat Beragama” dalam Harmoni dalam Keragaman Volume XV No.1 (hhm 71-
81). Samarinda: STAIN Samarinda.

Izzah, Lathifatul. 2013. “Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antarumat


Beragama di Indonesia” dalam Religi Volume IX. Daerah Istimewa Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jannah, Siti Miftahul. 2018. “Studi Kasus Koeksistensi Umat Beragama di


Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu” dalam Jurnal Sosiologi Pendidikan
Volume VI. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.

13

Anda mungkin juga menyukai