Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan publik sering menggoyahkan kohesi komunitas politik atau bahkan
konflik sosial. Maka pejabat publik yang mempunyai integritas harus mendorong
diterimanya pluralitas atau perbedaan. Fungsi pejabat publik adalah penjamin
perdamaian dan toleransi, pembuka wacana sosial dan politik yang kreatif dan
pendukung politik inklusif, bukan pemecah belah atau pelaku politik diskriminatif.
Politik adalah untuk kesejahteraan bersama, bukan demi kekuasaan. Politik
kekuasaan cenderung mengabaikan integritas publik, mudah menghindar dari
tanggung jawab (alibi).
Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral karena tanggung jawab dan
kemandirian hidupnya memungkinkan untuk bertindak disiplin dan konsisten
terhadap janji-janjnya (Ibid. 100). Integritas moral menunjukkan keutuhan dalam
pemaknaan hidup dan komitmennya. Mengundurkan diri adalah ungkapan tanggung
jawab terhadap lembaga karena protesnya berperan mengingatkan ada kompetensi
yang tidak dipenuhi yang akan memengaruhi hasilnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud integritas public ?
2. Apa yang dimaksud Integritas Pribadi dan Infrastruktur Etika?
3. Apa yang dimaksud Sistem Integritas Publik: Habitus Moral dan Politik Inklusif?
4. Apa yang dimaksud Integritas Publik: Alibi Tanggung Jawab dan Pengunduran
Diri?
5. Apa yang dimaksud Konflik Kepentingan dan Pembusukan Hukum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui integritas public
2. Untuk mengetahui Integritas Pribadi dan Infrastruktur Etika
3. Untuk mengetahui Sistem Integritas Publik: Habitus Moral dan Politik Inklusif
4. Untuk mengetahui Integritas Publik: Alibi Tanggung Jawab dan Pengunduran
Diri
5. Untuk mengetahui Konflik Kepentingan dan Pembusukan Hukum
1
BAB II
PEMBASAHAN

A. Definisi dan Prinsip-Prinsip Integritas Publik


Menurut Dobel, ada tujug prinsip integritas publik yang harus dijalankan
(1999:7-8): (i) pejabat publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
yang melegitimasi kekuasaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati
setiap warga negara sebagai yang memiliki martabat, hak-hak asasi, dan kesetaraan
di depan hukum; (ii) pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan
keputusan pribadi dengan menghargai hasil dari proses yang sah secara hukum dan
sesuai dengan pertimbangan profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap
semua tindakan baik terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tetap kita
mempertanggung-jawabkannya; (iv) mreka harus bertindak secara kompeten dan
efektif dalam mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v) mereka
harus mengindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan tetap
mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil keputusan;
(vi) mereka setuju menggunakan dana publik secara hati-hati dan efisien untuk
tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan legitimasi lembaga-
lembaga negara.

B. Integritas Pribadi dan Infrastruktur Etika


Integritas pribadi sangat menentukan pembentukan integritas publik (integritas
dalam mengemban jabatan publik). Integritas pribadi dipertaruhkan ketika
berhadapan dengan masalah harus menempati janji dan mengambil keputusan dalam
kerangka pelayanan publik. Integritas pribadi baru teruji sebagai integritas publik
ketika berhasil memegang teguh janji untuk menaati huku, menjalankan kewajiban-
kewajiban yang dituntun oleh jabatan, dan arah kebijakannya tepat sasaran dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Infrastruktur etika ada yang sifatnya membangun dari dalam dan ada yang
membangun dari luar. Infrastruktur yang sifatnya membangun dari dalam meliputi:
(i) komisi etika yang ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk mengangkat
masalah etika dalam setiap pertemuan staf; (ii) tersedianya konsultasi etika; (iii)
2
mekanisme whistle-blowing (hotlines, komunikasi konfidensial); (iv) cara perekrutan
anggota dengan standar etika disertai pendidikan dan pelatihan etika publik secara
berkala; (v) proses evaluasi kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etika ;
(vi) audit etika. Infrastuktur etika yang sifatnya membangun dari luar meliputi: (1)
akuntabilitas dan pers bebas yang kritis; (ii) adanya rotasi jabatan karena merupakan
benteng melawan godaan-godaan korupsi dan konflik kepentingan (Dobel, 1999:46);
(iii) kode etik dan legislasi untuk mencegah konflik kepentingan, pembentukan
auditor mandiri, sistem pengawasan internal dan deawn penasihat etika; (iv) pada
tingkat manajerial, kompetensi teknis dan kemampuan leadership pejabat publik
menopang kompetensi etis.

C. Sistem Integritas Publik: Habitus Moral dan Politik Inklusif


Kebijakan publik sering menggoyahkan kohesi komunitas politik atau bahkan
konflik sosial. Maka pejabat publik yang mempunyai integritas harus mendorong
diterimanya pluralitas atau perbedaan. Fungsi pejabat publik adalah penjamin
perdamaian dan toleransi, pembuka wacana sosial dan politik yang kreatif dan
pendukung politik inklusif, bukan pemecah belah atau pelaku politik diskriminatif.
Politik adalah untuk kesejahteraan bersama, bukan demi kekuasaan. Politik
kekuasaan cenderung mengabaikan integritas publik, mudah menghindar dari
tanggung jawab (alibi).

D. Integritas Publik: Alibi Tanggung Jawab dan Pengunduran Diri


Salah satu bentuk alibi tanggung jawab oleh Dobel disebut deindividuation
(1999:30), yaitu situasi dimana seseorang merasa terbebas dari pembatasan moral
dalam dirinya yang menyebabkan bisa kehilangan perasaan indentitas diri dan
tanggung jawabnya. Bentuk alibi tanggung jawab yang lain adalah yang disebut
Stanley Milgram, seperti dikutip Dobel, “agentic shift” yang terjadi ketika orang
menimpahkan tanggung jawab ke pihak lain yang dianggap lebih penting seperti
atasan, organisasi, agama, Tuhan (Ibid. 30).
Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral karena tanggung jawab dan
kemandirian hidupnya memungkinkan untuk bertindak disiplin dan konsisten
terhadap janji-janjnya (Ibid. 100). Integritas moral menunjukkan keutuhan dalam
pemaknaan hidup dan komitmennya. Mengundurkan diri adalah ungkapan tanggung
3
jawab terhadap lembaga karena protesnya berperan mengingatkan ada kompetensi
yang tidak dipenuhi yang akan memengaruhi hasilnya.

E. Konflik Kepentingan dan Pembusukan Hukum


Konflik kepentingan adalah pintu gerbang korupsi. Konflik kepentingan yang
terjadi baik disektor publik maupun swasta sangat merugikan pelayanan publik.
Konflik kepentingan didefinisikan sebagai “konflik antara tugas publik dan
kepentingan pribadi yang dialami pejabat publik padahal pejabat publik tersebut
memiliki kemampuan atau kekuasaan yang bisa digunakan untuk kepentingan diri
sehingga melemahkan atau membusukkan kinerjanya dalam tugas dan tanggung
jawab publik” (OECD, 2008:24).
Konflik kepentingan bisa menggerogoti bekerja mekanisme pemerintahan yang
demokrasi dengan dua cara (Ibid. 25):
(i) Melemahkan komitmen pejabat publik pada ideal legitimasi kekuasaan,
ketidakberpihakan, dan fairness di dalam pembuatan keputusan publik. Bentuk
pembusukan hukum lainnya seperti penolakan atau pemberian uang jaminan
pada kasus tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan antara kasus
tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan antara kasus kriminal besar dan
kecil, pembebasan tanpa dasar hukum yang adil, impunitas kasus-kasus korupsi,
mempercepat atau menunda proses, menanggapi atau mengabaikan pelaporan,
menghilangan file (B.I. Spector, 2005:16-17).
(ii) Cara pembusukan kedua adalah mengubah aturan hukum, pengembangan dan
penerapan kebijakan umum, mekanisme pasar dan alokasi sumber daya publik.

F. Budaya Etika dalam Organisasi Untuk Integritas Publik


Untuk menjaga integritas publik perlu melakukan empat upaya pencegaha
(OECD, 2008): (i) mengidentifikasi risiko penyebab konflik kepentingan; (ii)
membangun mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal yang mudah di akses
pleh pemeriksa publik; (iii) pendekatan manajemen yang menjamin bahwa pejabat
publil mengambil tanggung jawab pribadi, tidak menimpakan ke pihak lain, bila ada
pelanggaran etika publik; (iv) budaya etika organisasi agar tumbuh kepedulian untuk
menolah atau menghindari setiap bentuk konflik kepentingan. Budaya etika harus

4
mendapat dukungan dari masyarakat karena sebagai konsumen pelayanan publik
masyarakat merasakan langsung dampak baik/burukya kualitas pelayanan publik.

G. Memberdayakan Civil Society Untuk Integritas Publik


Luasnya lingkup pelayanan publilk dan tiadanya informasi yang memadai
membuat wakil rakyat tidak berdaya menghadapi buruknya pelayanan publik. maka
untuk mengatasi masalah itu diperlukan partisipasi langsung masyarakat dengan
pemberdayaan civil society secara berkesinambungan. Partisipasi masyarakat dalam
mendorong akuntabiltas pejabat publik ini sangat konkret karena dengan Kartu
Pelaporan oleh Warga Negara tersbeut bisa memberi masukan tentang tingkat
kepuasan pelayanan publik di berbagai sektor yang sekaligus bisa digunakan sebagai
alat untuk mendeteksi atau mengukur tingkat korupsi (Ibid. 235). Bentuk
pemberdayaan civil society yang lain ialah ikut mengontrol perencanaan anggaran
belanja daerah dan pelakasanaannya.

5
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral karena tanggung jawab dan
kemandirian hidupnya memungkinkan untuk bertindak disiplin dan konsisten
terhadap janji-janjinya.
Integritas moral menunjukan keutuhan dalam pemaknaan hidup dan
komitmennya. Mengundurkan diri adalah ungkapan tanggung jawab terhadap
lembaga karena protesnya berperan mengingatkan ada kompetensi yang tidak
dipenuhi yang akan memengaruhi hasilnya.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

6
DAFTAR PUSTAKA
https://dokumen.tips/download/link/makalah-integritas-pelayanan-publik
https://www.scribd.com/doc/234832562/Tugas
Diakses pada tanggal : 24 Oktober 2017 Pukul 20:00 WITA

Anda mungkin juga menyukai