Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MINI RISET

MK. PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
PRODI S1 SI-FBS

Skor Nilai :

LAPORAN MINI RISET PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN

(EVALUASI PELAKSANAAN PILKADA KECAMATAN BINJAI TIMUR DI TENGAH


KONDISI PANDEMI)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Azmira Azren 2192510001
Herlina Agustina Sijabat 2193510004
Kevin Januar Sinaga 2193510005
Lao Septi Sika Waty 2192510004
Novita Aurora 2193510003
Putri Lovian Roudha Mauli M 2193510016
Richardo Tarigan 2193510001
Selviana Gebri Yanti Siagian 2193510011
Yuni Sidauruk 2193510010

Dosen Pengampu
NELLY ARMAYANTI, Sp., M.Sp.

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

DESEMEBER 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah mini riset dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan ajaran agama islam kepada umat
manusia.
Kami selaku penulis sadar bahwa tersusunnya makalah mini riset ini tidak lepas dari
adanya petunjuk, arahan serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan kami
untuk mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibu Nelly Armayanti,
Sp. ,M.Sp. selaku dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, dan
rekan-rekan mahasiswa yang selalu bersemangat membantu dan memberi dukungan penuh
pada pembuatan tugas mini riset ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Makalah ini penulis susun dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan segala
kemampuan yang penulis miliki, namun penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang berkenan menyumbangkannya untuk kesempurnaan
penulisan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis
serta para pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................................................ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.............................................................................................................................1
B. Fokus Permasalahan.................................... ...............................................................................1
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................................................2
D. Manfaat Penelitian........................................................................................................................2
BAB II
Landasan Teori..................................................................................................................................3
BAB III
Metode Penelitian
A. Pendekatan Penelitian..................................................................................................................6
B. Data Penelitian.............................................................................................................................6
C. Sumber Data ................................................................................................................................6
D. Teknik Pengumpulan Data...........................................................................................................6
E. Teknik analisis Data.....................................................................................................................7
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilihh Dalam Pemilu................................................... ...8
1. Faktor Internal..............................................................................................................................11
2. Faktor Eksternal ..........................................................................................................................13
Penguatan Kewenangan Lembaga Badan Pengawas Pemilu Dalam Menegagakan Hukum
Pemilu..............................................................................................................................................16
1. Urgensi Mendasar Yang Melatarbelakangi.................................................................................16
2. Bentuk Penguatan Kewenangan Bawaslu............................................................................. ......16
Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi.............................................................17
Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik...........................................18
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................................................24
B. Saran............................................................................................................................................24
Daftar Pustaka..................................................................................................................................25
Lampiran..........................................................................................................................................26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian
kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip
yang digariskan konstitusi.Ketentuan tentang Pemilukada diatur dalam pasal 18 ayat
(4) UUD 1945, yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Sedangkan Undang-Undang yang mengatur tata pelaksanaan Pemilukada di Indonesia
adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 21 UU No.
32 tahun 2004 diatur tentang hak-hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi,
dimana salah satu haknya adalah memilih pimpinan daerah.
Diketahui rencana pilkada serentak pada bulan Desember tahun 2020 menuai kritik
dari berbagai kalangan serta penolakan dari berbagai pihak untuk menunda
pelaksanaannya, karena hal itu dinilai tidak peka terhadap kondisi pademi yang masih
terjadi di Negara Indonesia. Pemerintah menggelar pilkada yang dikhawatirkan
masyarakat akan menjadi pusat klaster penyebaran covid-19 sebab potensi terjadi
pelanggaran protocol kesehatan. Desakan tersebut tidak membuat pemerintah gentar.
Presiden Joko Widodo memastikan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal pada 9 Desember
2020 demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih. Juru Bicara
Presiden Fadjroel Rachman mengatakan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan
dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakkan hukum dan sanksi tegas
agar tidak terjadi klaster baru. Jokowi dalam acara panggilan Presiden – menyatakan
penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak ada satu
negara pun tahu kapan pandemi COVID-19 akan berakhir. Hal ini mendorong
penyusun untuk mengevaluasi persiapan pemilu di tengah situasi pandemik.

B. Fokus Permasalahan
Dari uraian latar belakang masalah, maka ada beberapa hal yang dapat
memunculkan permasalahan, maka dari itu peneliti melakukan pembatasan masalah

1
yang akan diteliti. Penelitian difokuskan pada proses evaluasi kesiapan
keberlangsungan pemilukada di sebuah daerah. Maka penelitian ini difokuskan pada:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pilkada di daerah Kecamatan Binjai Timur


2. Seperti apa protokol kesehatan yang wajib dilaksanakan petugas KPU dan
masyarakat?
3. Bagaimana kesiapan masyrakat kecamatan Binjai Timur dalam pelakasanaan
pilkada?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pilkada di Kecamatan Binjai Timur.
2. Untuk mengetahui protocol kesehatan yang dilaksanakan saat pemilihan sedang
berlangsung.
3. Untuk melihat kesiapan masyarakat Kecamatan Binjai Timur dalam
pelaksanaan pilkada.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis maupun
praktis. Berikut akan diuraikan manfaat teoritis dan praktis dari penelitian, yaitu :
 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
penelitian yang akan datang. Dapat memperoleh pengetahuan khsususnya bagi
mahasiswa Sastra Indonesia dalam memhami tata cara pilkada, proses dan
ketentuannya pada saat kondisi pandemik Covid-19.
 Secara Praktis
o Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis agar bisa
melatih diri dalam pemyusunan makalah secara ilmiah.
o Bagi Pembaca
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pembaca, sebagai
salah satu komponen penting dalam mencari referensi terkait pilkada.
o Bagi Peneliti

2
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan meningkatkan wawasan
pengetahuan tentang proses pilkada pada kondisi pandemi corona.

BAB II

LANDASAN TEORI

Soedarsono (2005:1)mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum


adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan dengan tujuan memilih
wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis”.
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan syarat minimal
adanya demokrasi yang bertujuan memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden
untuk membentuk pemerintahan demokratis.Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil-wakil
rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan.Kedaulatan rakyat atas penyelenggaraan
pemerintahan dijalankan oleh presiden dan Kepala Daerah yang juga dipilih secara
langsung. Anggota legislatif maupun Presiden dan Kepala Daerah karena telah dipilih
secara langsung, maka semuanya merupakan wakil-wakil rakyat yang menjalankan fungsi
kekuasaan masing-masing. Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus
ketatanegaraan yang begitu penting dan agar wakil-wakil rakyat benarbenar bertindak atas
nama rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus ditentukan sendiri olehrakyat, yaitu melalui
pemilihan umum.

Menurut Jimly Asshidiqqie (2006:169-171) pentingnya penyelenggaraan Pemilihan


Umum secara berkala tersebut dikarenakan beberapa sebab diantaranya sebagai berikut:
a. pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu
b. kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah
c. pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak pilihnya
d. guna menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif.

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa beberapa sebab pentingnya pemilihan umum


diantaranya adalah aspirasi rakyat cenderung berubah, kondisi kehidupan rakyat berubah,
pertambahan penduduk dan regulasi kepemimpinan.Pemilihan umum menjadi sarana untuk
menyalurkan aspirasi rakyat. Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung berubah
memerlukan adanya mekanisme yang mewadahi dan mengaturnya yaitu melalui proses
3
pemilihan umum. Setiap penduduk dan rakyat Indonesia yang telah dewasa memiliki hak
untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Regulasi kepemimpinan baik
cabang eksekutif maupun legislatif akan terlaksana secara berkala dengan adanya
pemilihan umum.

Menurut Austin Ranney (1996:40) ada delapan kriteria pokok sebuah pemilu yang
demokratis meliputi:

a. Adanya hak pilih umum (aktif dan pasif) Dalam pemilu eksekutif maupun legislatif
karena setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam ruang publik untuk
memilih dan dipilih. Hak pilih aktif adalah hak warga negara yang sudah memenuhi syarat
untuk memilih wakilnya di DPR, DPD, DPRD, Presiden-Wapres, dan Kepala Daerah-
Wakada yaitu berusia 17 tahun atau sudah/ pernah menikah, tidak terganggu ingatannya,
tidak dicabut hak pilihnya, tidak sedang menjalani hukum pidana penjara, terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT). Adapun yang di maksud hak pilih pasif adalah hak warga
negara yang sudah memenuhi syarat untuk dipilih menjadi anggota DPR dan DPRD.

b. Kesetaraan bobot suara Adanya keharusan jaminan bahwa suara tiap-tiap pemilih diberi
bobot yang sama maksudnya dalam pemilu tersebut semua pemilih bobot persentase
perorangnya itu sama tanpa memikirkan jabatan dan kedudukan.

c. Tersedianya pilihan kandidat dari latarbelakang ideologis yang berbeda Maksud dari
kriteria ini adalah tersedianya pemilihan yang nyata dan kelihatan perbedaannya dengan
pilihan-pilihan yang lain dimana hakikatnya memang mengharuskan pilihan lebih dari
satu, kemudian pilihan tersebut bisa sangat sederhana seperti perbedaan antara dua orang
atau lebih calon atau perbedaan dan yang lebih rumit antara dua atau lebih garis
politik/program kerja yang berlainan sampai ke perbedaan antara dua atau lebih idiologi.
Dalam pemilu pastinya ada beberapa partai yang mempunyai dasar ideologi yang berbeda,
dan kandidat yang diusung partai tersebut pasti akan mengikuti aturan yang sudah
ditetapkan dalam partainya. Inilah yang kemudian menjadikan pemilu itu tidak hanya
kompetisi antar partai dan kandidat saja, tapi disana juga ada kompetisi politik dan
ideologi.
d. Kebebasan bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Kebebasan memilih memang datangnya dari

4
rakyat sendiri sehingga prinsip kebebasan juga mengandung arti pentingnya kebebasan
berorganisasi. Dari organisasi-organisasi itulah kelompok rakyat berinteraksi untuk
mengajukan alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan bangsanya. Intinya di
dalam kebebasan berorganisasi terkandung prinsip kebebasan mengangkat calon wakil
rakyat dimana dengan cara tersebut kandidat-kandidat yang mempunyai arti penting dapat
dijamin dalam pemilu.

e. Persamaan hak kampanye Pemilu merupakan sarana untuk menarik massa sebanyak
mungkin, dimana para calon memperkenal diri dan mensosialisasikan program kerja
mereka. Maka dari itu semua calon diberi persamaan hak atau kesempatan yang sama
untuk melakukan kampanye, karena dalam kampanye juga disyaratkan adanya kebebasan
komunikasi dan keterbukaan informasi.

f. Kebebasan dalam memberikan suara Pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas
artinya setiap warga negara yang memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapa pun, dan dalam melaksanakan haknya setiap warganegara dijamin
keamanannya sehingga dapat memilih sesuai hati nurani dan kepentingannya.

g. Kejujuran dalam penghitungan suara Kejujuran dan keterbukaan sangatlah diperlukan


dalam proses penghitungan suara, karena keseluruhan dari proses pemilu akan sia-sia jika
tidak ada kejujuran di dalamnya, dan kecurangan dalam perhitungan suara akan berakibat
sangat fatal, yaitu gagalnya upaya yang dilakukan oleh rakyat untuk menjadikan wakilnya
masuk kedalam badaan perwakilan rakyat.

h. Penyelenggaraan secara periodik Seorang penguasa tidak boleh bersikap sesuka hati
dalam menentukan waktu penyeleanggaraan pemilu, dalam arti penyelenggaraan pemilu
tidak boleh diajukan atau diundur atas kehendaknya sendiri. Dimana pada umunya pemilu
diselenggarakan dalam periode waktu lima tahun sekali oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).

5
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang Evaluasi Pelakasanaan Pilkada Kecamatan Binjai Timur Di
Tengah Kondisi Pandemi menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu
objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang dengan melakukan wawancara. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

B. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa pendapat atau
judgement yang mana hal itu tidak berupa angka, melainkan kata dan kalimat yang
disampaikan oleh narasumber. Narasumber atau partisipan pada penelitian ini adalah
seorang relawan demokrasi KPU kecamatan Binjai Timur dengan jumlah 1 orang.

C. Sumber Data
Sumber data pada penelitian adalah data primer. Data primer ialah data yang
diperoleh langsung melalui survey lapangan dengan menggunakan semua metode
pengumpulan data secara orisinal. Data primer dalam penelitian ini adalah berupa hasil
wawancara dengan narasumber langsung melalui pertemuan secara daring.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara langsung
pada narasumber melalui aplikasi daring dengan memberikan pertanyaan yang
diarahkan oleh moderator untuk tujuan memperoleh informasi yang valid dan relevan.
Sebelum melakukan wawancara secara daring, maka perwakilan atau moderator telah
6
menyiapkan rencana wawancara, seperti waktu pelakasanaan wawancara dan
kumpulan pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber. Pertanyaan yang
diajukan akan difokuskan untuk menjawab masalah penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman, yakni
bahwa setelah melakukan pengumpulan data, ada tahap reduksi data, penyajian data
dan terakhir kesimpulan dan verifikasi (Sugiyono, 2019, hlm 322). Hal yang pertama
dilakukan adalah dengan memilih, merangkum dan memfokuskan perhatian kepada
data kasar yang didapat dari narasumber. Data tersebut kemudian disederhanalan agar
lebih mudah dipahami, dan jelas. Selanjutnya penyajian data dilakukan secara
deskriptif kualitatif yakni bersifat naratif. Kemudian yang terakhir adalah mengambil
kesimpulan dari tahapan penyajian data.

7
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK MEMILIH DALAM


PEMILU

Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 sudah melaksanakan 10 kali pemilihan
umum legislatif (pileg). Fakta dalam setiap pelaksanaan pileg masyarakat yang tidak
menggunakan hak pilihnya selalu ada dan cendrung meningkat dari setiap pelaksanaan
pileg. Perilaku tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput. Kata
golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput
sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau
kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke
tempat pemungutan suara. Sedangkan di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai
gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh
penguasa saat itu. Sejak era reformasi tren golput cendrung meningkat.

Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih
(voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon
mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting
yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan
karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih
tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir
memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007). Istilah golput muncul pertama kali menjelang
pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu,
antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah
mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,

8
cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput menurut Arif Budiman bukan
sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif
Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik
yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput
adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH.

Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain
repotrepot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan
kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya
menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih
karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga
kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian
putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak
menggunakan hak pilih.

Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam
kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan
menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada
penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992) Jadi berdasarkan
hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan
tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-
orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan
teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari
kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi
sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian
kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai
kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan
makna, baik di sengaja maupun
tidak. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama,
golput teknis,yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga
meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau
mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput

9
teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya
atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni
mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.

Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi
(liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau
alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah). Sedangkan menurut Novel
Ali(1999;22), di Indonesia terdapat dua kelompok golput Pertama, adalah kelompok
golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan
politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik
kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif
saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak
puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya
satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka
mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan
analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja,
tapi juga pada tingkat evaluasi.

Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan
pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput. Menurut David
Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan
psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan
pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir
atau tidak hadir memilih. Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi
tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih
dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak
menggunakan hak pilih.

10
Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok
golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput
teknis-politis golput politis
dan golput ideologis. Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa
Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi,
masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat.
Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu
faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan
mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau
ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional. Berangkat dari
penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk
tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua
kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang
penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu
bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

1. Faktor Internal

Menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka
tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.

a. Faktor Teknis

Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang
dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada
saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta
berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara
teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Faktor
teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak
dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat
pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar
rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis
mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang

11
melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan
keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini
dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan
cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan
aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.

Pemilih golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui
essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi
dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara
yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan
pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih
berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.

b. Faktor Pekerjaan

Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam
pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang
bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen),
disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa
kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen). Data yang hampir sama di
Provinsi Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di
sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%, sektor perdagangan sebesar
18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%. Data di atas menunjukkan sebagian besar
penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait
dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan
penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti
tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat
yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut,
penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor
lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis faktor
pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak
memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak

12
pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak
memilih.

2. Faktor Eksternal

Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan
hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu
aspek administratif, sosialisasi dan politik.

a. Faktor Administratif

Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang
mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata
sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas
kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa
ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar
sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat
Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika
kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam
kategori golput.

Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu
identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP
maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP
yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa
terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat. Golput yang
diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugaspendata pemilih
melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih.

Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk
mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara)
harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga
harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke

13
pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput
karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT.
Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan
sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.

b. Sosialisasi

Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting


dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di
Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu
legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/
RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan
partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi
selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti
sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009
dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini
menuntut
perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya
sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi
dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai
sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di
pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi
mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.

Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu
semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan
informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi
dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka
golput.

c. Faktor Politik

14
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat
tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat
yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan
perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak
pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya
memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat
enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi
yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika
akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan
masyarakat pada politisi.

Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan
memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai,
dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di
bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah
tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam
mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang
berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai
politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan
etika politik (fatsoen).

Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian
masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara
rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin
menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi,
maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka
akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik
memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin
tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak
politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.

Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat.
Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang

15
tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta
faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini
berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk
memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena
kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih.
Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat

PENGUATAN KEWENANGAN LEMBAGA BADAN PENGAWAS


PEMILU DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMILU

1. Urgensi mendasar yang melatarbelakangi

penguatan kewenangan Bawaslu dalam penegakan hukum pada penyelenggaraan


pemilihan umum di Indonesia dapat dilihat dari poin utama yakni, tingginya angka kasus
pelanggaran administrasi dan pidana serta penaganannya yang tidak efektif oleh lembaga
yang berwenang dalam hal ini yakni KPU dan Kepolisian pada penyelenggaraan Pemilu,
ini dikarenakan oleh: pertama Kelembagaan pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota
yang bersifat kepanitiaan (Ad Hoc) berimplikasi pada kurang maksimalnya kinerja
pengawas Pemilu terutama dalam hal penegakkan hukum Pemilu. Kedua batasan waktu
yang sempit untuk Bawaslu dalam mengkaji laporan pelanggaran Pemilu, karena dengan
membatasi waktu pelaporan hanya 7 (tujuh) hari sesudah kejadian kejadia hanya akan
bermakna “kepastian”, yaitu dengan “menghanguskan” semua laporan yang dilakukan
lebih dari 7 (tujuh) hari, selain itu pembatasan waktu dalam penanganan pelanggaran
Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu tidak disertai defenisi dan penjelasan mengenai hari
tersebut, apakah hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama).

2. Bentuk penguatan kewenangan Bawaslu

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia yaitu dengan beberapa poin berikut,
pertama fungsi pengawasan dengan kerjasama antara Bawaslu pemantau Pemilu, peserta
Pemilu, pemilih, organisasi kemasyarakatan, media massa, lembaga survei, sukarelawan,
dan organisasi masyarakat sipil

16
pada umumnya, kedua, Penyederhanaan sistem penegakan hukum dan penyelesaian
sengketa Pemilu yaiut Bawaslu berwenang menegakkan pelanggaran administrasi Pemilu,
dan menjadi penyidik dan penuntut atas dugaan pelanggaran pidana Pemilu yang
berdampak langsung terhadap hasil Pemilu dan ketiga, perlu diberikan waktu yang lebih
kepada Bawaslu dalam hal penanganan masalah pelanggaran Pemilu, mengingat
banyaknya kasus yang ada setiap kali penyelenggaran Pemilu yang tidak relevan dengan
batasan waktu yang diberi oleh Undang-undang dalam konteks tersebut, ini agar
mengantisipasi terjadinya terbengkalai dan tidak terurusnya kasus yang sudah ditemui.
Keempat Kedudukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota haruslah
mengalami perubahan yang awalnya bersifat Ad Hoc menjadi bersifat tetap. Terealisasinya
bentuk penguatan kewenangan Bawaslu tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh political
will (kemauan politik) dari pihak legislator dan penguasa, dalam melihat urgensi dari
peranan Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, sebagai sebuah
jawaban atas adanya kondisi tingginya kasus pelanggaran Pemilu dan banyak pula kasus
tersebut yang tidak terselesaikan dengan baik yang tejadi di Indonesia, sehingga akan
mampu menciptakan political will dari pihak legislator dan penguasa untuk mewujudkan
penguatan kewenangan Bawaslu sebagai sebuah ius constituendum (hukum yang dicita-
citakan) dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, kemudian solusi dalam
penguatan kewenangan Bawaslu dalam penegakan hukum pada penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia ialah dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, dengan memberikan penambahan kewenangan dan
fungsi dari Bawaslu, yang semula hanya melaksanakan fungsi pengawasan dan pemberi
rekomendasi pelanggaran Pemilu pada KPU apabila bersifat administrasi dan kepada
Kepolisian apabila bersifat pidana, menjadi lembaga yang lebih aktif dalam menegakan
hukum Pemilu secara langsung, sehingga mampu memperbaiki format penegakan hukum
di Indonesia, terutama dalam penyelenggaraan Pemilu.

Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi

Pertama perlu dilakukan revisi secara prioritas terhadap UU No 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini secara sinergis merupakan suatu
mandat pula sebagaimana termaktub pula di dalam ketentuan UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedua, Agar gagasan Pemilihan

17
Umum dapat dilakukan serentak untuk memilih anggoata DPR, DPD, DPRD
(Provinsi/Kabupaten/ Kota), Presiden dan Wakil Presiden bahakan terhadap rezim
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Provisni, Kabupaten/Kota) maka diperlukan dukungan
kebijakan politik dari lembaga legislatif serta Pemerintah dan penyelenggara Pemilu agar
dilakukan penataan dan prosedur pemilihan melalui roadmap yang terintegrasi, holistik
dan komprehensif agar dalam ranah praksis secara simultan akan menguatkan derajat
partispasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Ketiga, Diharapkan Mahkamah Konstitusi
dalam rangka pengujian konstitusionalitas norma harus mengacu pada gagasan supremasi
konstitusi agar dalam praktik ketatanegaraan tidak terjebak pada putusan yang justru
kontra produktif terhadap upaya dalam memajukan konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik

pemilu nasional serentak memiliki sejumlah keuntungan yang bersifat hipotetik dilihat dari
sisi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama, Pemilu
nasional serentak bertujuan menciptakan hasil pemilu yang kongruen. Secara akademis
konsep pemilu serentak ini hanya memungkinkan berlaku dalam sistem pemerintahan
presidensial. Inti konsep ini adalah menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan
eksekutif dalam satu hari yang sama, sehingga kemungkinan terciptanya pemerintahan
yang kongruen, maksudnya terpilihnya pejabat eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden)
yang mendapat dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif. kongruensi
dapat tercipta karena dalam pemilu serentak terdapat efek yang namanya coattail effect, di
mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon legislatif.
Artinya, orang setelah memilih capres akan cenderung memberikan pilihannya terhadap
legislatif yang berasal dari partai yang mengusung presiden.

Kedua, pemilu nasional serentak ini mendorong terciptanya koalisi berbasis kebijakan,
sebab pemilu juga membutuhkan partai politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam
mewakili kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum dan sekaligus meminimalkan
pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan partai-partai politik dalam
berkoalisi. Dengan pemilu serentak, parpol diyakini tak bisa lagi berkoalisi secara
pragmatis. Parpol akan lebih selektif mencari calon, dan tak sekadar mengandalkan

18
pertimbangan matematis. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan bermuara pada
penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah.

pemilu nasional serentak memiliki sejumlah keuntungan yang bersifat hipotetik dilihat dari
sisi pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama, Pemilu
nasional serentak bertujuan menciptakan hasil pemilu yang kongruen. Secara akademis
konsep pemilu serentak ini hanya memungkinkan berlaku dalam sistem pemerintahan
presidensial. Inti konsep ini adalah menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan
eksekutif dalam satu hari yang sama, sehingga kemungkinan terciptanya pemerintahan
yang kongruen, maksudnya terpilihnya pejabat eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden)
yang mendapat dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif. kongruensi
dapat tercipta karena dalam pemilu serentak terdapat efek yang namanya coattail effect, di
mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon legislatif.
Artinya, orang setelah memilih capres akan cenderung memberikan pilihannya terhadap
legislatif yang berasal dari partai yang mengusung presiden.

Ketiga, pemilu nasional serentak ini mendorong terciptanya koalisi berbasis kebijakan,
sebab pemilu juga membutuhkan partai politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam
mewakili kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum dan sekaligus meminimalkan
pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan partai-partai politik dalam
berkoalisi. Dengan pemilu serentak, parpol diyakini tak bisa lagi berkoalisi secara
pragmatis. Parpol akan lebih selektif mencari calon, dan tak sekadar mengandalkan
pertimbangan matematis. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan bermuara pada
penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah.

Keempat, Pemilu nasional serentak mendorong kualitas Parpol yang lebih demokratis.
Kehadiran dan peran partai politik saat ini menjadi prasyarat penting bagi praktik
demokrasi modern, bahkan demokrasi modern adalah demokrasi partai. Sebagai saluran
utama pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, demokratisasi internal partai
politik menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, pasangan calon yang diajukan harus berasal
dari hasil sebuah proses yang terbuka dan partisipatif. Dengan cara seperti itu, posisi

19
sentral di partai politik tidak otomatis menjadi jalan tol menjadi calon presiden dan/atau
wakil presiden. Melihat realitas empirik selama ini,
mengharapkan semua partai politik untuk lebih demokratis. Karena itu, tidak ada pilihan
lain, kecuali Undang-undang tentang Partai Politik memberikan paksaan yang tak mungkin
dihindari. Dalam hal ini, undang-undang tersebut harus menentukan kerangka dasar
keterbukaan proses pengajuan pasangan calon. Jika perlu, sekiranya tidak melakukan
proses terbuka dan partisipatif, partai politik bersangkutan kehilangan haknya mengajukan
pasangan calon. Kelima, pemilu nasional serentak potensial meminimalkan konflik antar
partai atau pendukung partai. Konflik tak lagi berkepanjangan sepanjang tahun, sehingga
dari sisi manajemen konflik jadi lebih mudah untuk ditangani. Energi pendukung partai
dapat diarahkan untuk kegiatan positif lain yang mengarah pada pelembagaan partai
politik. Bahkan pemilu nasional serentak lebih efisien, hemat waktu dan hemat biaya.
Efisiensi dalam konteks pemilu serentak ini bisa dilihat dari beberapa aspek, antara lain
efisiensi waktu dan biaya pemilu.

Selanjutnya dalam aspek efisiensi biaya politik, karena biaya kampanye caleg dan capres
jadi satu maka politik biaya tinggi sebagaimana praktik yang terjadi saat ini bisa
diminimalkan. Dampak positif lebih lanjut, berpotensi kurangi money politics dan korupsi.
Selain itu, dengan pemilu nasional serentak akan terjadi perubahan drastis mengenai
presidential threshold, sebab semua partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu akan
bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan, bisa jadi akan masuk
juga calon presiden independen.

DAMPAK PEMILIHAN UMUM SERENTAK BAGI PEMBANGUNAN


DEMOKRASI INDONESIA

Pemilu serentak dapat diberlakukan pada pemilu selanjutnya (pemilu 2019 dan seterusnya)
hal ini dilakukan demi pertimbangan penataan sistem Pemilu dan budaya hukum Pemilu
yang belum mampu melaksanakan pemilu serentak. Pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi terkait penundaan keberlakuan putusan, yaitu: (Ria Casmi Arrsa, 2014).

1. Meskipun Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, namun menurut

20
Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009
dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya
harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.

2. Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor


026/PUUIII/ 2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat hukum hanya dapat
dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa sampai telah
terlaksananya Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya,
penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan
pada putusan Mahkamah dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang
diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi
warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan
melaksanakan agenda penting ketatanegaraan. Dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU
42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan
pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk
melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak.
Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum
haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat
dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu AnggotaLembaga Perwakilan
secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang
tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.

3. Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan
mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga
persiapanpersiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta
pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir,
sehingga apabila Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara
ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka

21
tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi
terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat
menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan
dengan UUD 1945. Selain itu, pentingnya Pemilu dalam negara demokrasi senada dengan
tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri, yaitu: (Bisariyadi: 533). Membuka
peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momentum untuk menguji dan
mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan
kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa:

a. Sebagai sarana penyerapan dinamika aspirasi rakyat untuk diidentifikasi, diartikulasikan,


dan diagregasikan selama jangka waktu tertentu, dan

b. Yang paling pokok untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Untuk mewujudkan Pemilu yang benar-benar demokratis, terdapat beberapa standar yang.
Pelaksanaan pemilihan umum harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua partai
politik untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil.

c. Pelaksanaan pemilu memang benar dimaksudkan untuk memilih wakil rakyat yang
berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut betul-
betul mencerminkan kehendak rakyat.

d. Pelaksanaan pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi


sedikitpun, sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan bahwa dirinya adalah
perwujudan dari kedaulatan rakyat.

e. Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung kebebasan dan


kejujuran, sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan
kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat dicapai.

f. Pelaksanaan pemilu hendaknya mempertimbangkan instrument penyelenggaranya,


karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan penyelengaraa akan menganggu
kemurnian pemilu.

22
g. Pada persoalan yang lebih filosofi, pemilu hendaknya lebih ditekankan pada manifestasi
hak masyarakat, guna menciptakan partisipasi dalam pemerintahan.
Menurut Hamdan Zoelva bahwa untuk menjamin terwujudnya Pemilu yang benar-benar
sesuai dengan kaidah demokrasi, pelaksanaannya harus dilakukan dengan sistem yang
baik, yaitu adanya bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (subsystems) seperti
electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement.

Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pemilu yang berlaku,
bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam
menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan
yang terkait langsung dengan pelaksanaan pemilu merujuk pada ketentuan perundang-
undangan baik yang bersifat legal maupun bersifat teknikal. Electoral law enforcement
merupakan penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilu baik politis, administratif,
atau pidana. Terpenuhinya ketiga bagian pemilu tersebut sangat menentukan sejauh mana
kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dan proses pemilu, masing-masing
bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh (Hamdan
Zoelva, 2013).

HASIL WAWANCARA

Judul: Proses Keberlangsungan Pilkada di Kota Binjai

Biodata kakThere alumni prodi Akuntansi fakultas ekonomi Universitas


Negeri Medan

Tugas Relawan Demokrasi KPU Medan:

1. Menggencarkan partisipasi masyarakat.


2. Turun ke jalan untuk Sosialisasi di basis komunitas di binjai
3. Mengingatkan pilkada desember 2020

23
Reaksi warga Binjai tentang Pilkada Desember:

Terkejut, banyak argument masyarakat yg belum paham

Padahal tidek perlu takut, karena banyak perbedaan, tidak seperti keadaan
normal

Hal ini dilakukan bertahap

Kesiapan Prokes:

Menyediakan untuk KPPS Komisi penyelenggara, swab tes, sarung tangan,


cuci tangan, cek suhu (36 derajat ke atas ditempatkan di bilik khusus)

Tidak menggunakan celup tinta, namun diteteskan

Waktu Pemilihan

Jam 8- 1 siang

(Binjai ada 5 kec) di setiap ada kelurahan. Jadi tps ada di setiap kelurahan. Di
satu kelurahan ada 16 TPS.

Relawan mengetahui Daftar Pemilih tetap sekitar ribuan orang

Ada 3 pasang orang walikota dan wakil walikota yang dipilih. \

1. Harapa Suryalam- Usman


2. Istri walkot binjai saat ini (Idaham- hj Lisa
3. Suryadi-amir hamzah

24
Adakah jaminan keselamatan? Jika tiba-tiba ada yang terinfeksi covid.

Ada, karena sebelum memasuki tps di cek suhu.

Diawasi oleh petugas yang mengenakan baju

Tahapan dan syarat tata cara saat pemilu:

1. Tidak membawa anak


2. Jumlah pemilih maks 500
3. Kahadiran diatur jamnya
4. Pengaturan jarak saat mengantri
5. Dilarang salaman
6. Cuci tangan bagi para masyarakat sebelum dan sesudah memilih
7. KPPS wajib pake masker
8. Menggunakan sarung tangan
9. Dianjurkan membawa pulpen pribadi
10.

Tanggapan, respon masyarakat yg merasa bosan dgn pilkada 2020

Memilih tidak menguntungkan mereka

Tim kppps tidak mengetahui adanya money politik namun jika ketahuan akan
ditingkat dengan bawaslu

17 tahun blm punya ktp

Mereka punya hak suara

25
Dan akan difasilitasi untuk membuat KTP secepatnya, namun jika belum
punya maka bisa pakai surat keterangan

Jika seseorang tidak bisa pulkam untuk memilih maka?

Kalau pemilihan wali daerah dianjurkan untuk pulang bagi perantau

Keuali pemilihan presiden yang dilakukan secara nasional, maka bisa


dilakukan pemilihan walaupun orang itu ada diluar negeri

Mengapa pilkada tetap dilaksanakan meski corona?

Banyak pro kontra

Orang tua banyak yang protes tentang kelanjutan pilkada

26
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan yang kami lampirkan maka dapat kami simpulkan bahwa
dalam penelitian ini kami menggunakan teknik analisis data model Miles dan
Huberman, yakni bahwa setelah melakukan pengumpulan data, ada tahap
reduksi data, penyajian data dan terakhir kesimpulan dan verifikasi. Dalam
Pelakasanaan Pilkada Kecamatan Binjai Timur Di Tengah Kondisi Pandemi
kami menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan


secara langsung. Umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil penelitian atau wawancara dengan
panitia pemilu, penulis dapat menyimpulkan bahwa Pemilu dilaksanakan
dengan perangkat peraturan yang mendukung kebebasan dan kejujuran,
sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan
kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat
dicapai.

Penyebab masyarakat tidak memilih dalam pemilu karena kata golput adalah
tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.
Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun
1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan
pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sedangkan
di era Orde Baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk
memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa saat
itu. Sejak era reformasi tren golput cendrung meningkat. Dalam kajian perilaku
pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior)
dan perilaku tidak memilih (non voting behavior).

27
Dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak
menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam
dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal.
Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri,
sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

Dampak pemilihan umum serentak bagi pembangunan demokrasi Indonesia


yaitu pemilu serentak dapat diberlakukan pada pemilu selanjutnya (pemilu 2019
dan seterusnya) hal ini dilakukan demi pertimbangan penataan sistem Pemilu
dan budaya hukum Pemilu yang belum mampu melaksanakan pemilu serentak.
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi terkait penundaan keberlakuan
putusan.

B. Saran

Atas dasar kesimpulan dari hasil penelitian, maka peneliti mengajukan beberapa
saran yang sekiranya dapat bermanfaat bagi studi pengembangan evaluasi
pelaksanaan pilkada kecamatan binjai timur di tengah kondisi pandemi dalam
pembelajaran PKn serta bagi pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.
Saran-saran tersebut diberikan kepada:

a). Untuk melaksanakan pengembangan evaluasi pelaksanaan pilkada


kecamatan binjai timur di tengah kondisi pandemi lebih meningkatkan kerja
sama dan terkordinasi dengan pihak-pihak lain, serta menciptakan lingkungan
yang kondusif dan nyaman bagi masyarakat untuk memilih hak cipta sesuai
dengan baik dan tidak golput.

b). Para panitia pelaksana pilkada hendaknya terus memantau kegiatan dalam
melaksanakan pemilu di daerah tersebut serta bertanggung jawab apabila terjadi
sesuatu kepada masyarakat.

c). Sebagai WNI tentu mempersiapkan dengan gembira bahwa yang disambut
adalah pemilihan umum pesta demokrasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman, Asep. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: Arfino


Jaya.

Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan


Paradigma Terbaru untuk Mahasiswa. Bandung: Alfabeta.

Usiono. 2018. Pancasila dan Kewarganegaraan. Medan: Perdana Publishing.

29
LAMPIRAN

30

Anda mungkin juga menyukai