NENENGTSANI Hubungan Moral Pendidik
NENENGTSANI Hubungan Moral Pendidik
HUBUNGAN MORAL
h
DENGAN PENDIDIK DAN ANAK DIDIK
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Landasan Nilai dan Moral Pendidikan
Dosen:
Prof. Dr. H. A Juntika Nurikhsan, M.Pd.
Dr. H. Babang Robandi, M.Pd
Disusun oleh:
Neneng Tsani
NIM 2002118
HUANG MINGJING (KIKI)
NIM NIM 2010373
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................................................i
I. PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................................................2
1.4. Manfaat Makalah.................................................................................................................................2
II. TINJAUAN TEORI.....................................................................................................................................3
2.1. Hubungan...........................................................................................................................................3
2.2. Moral..................................................................................................................................................3
2.3. Pendidik..............................................................................................................................................3
2.3.1. Definisi Pendidik.........................................................................................................................4
2.3.2. Tanggung jawab Guru.................................................................................................................4
2.3.3. Tugas Pendidik............................................................................................................................4
2.3.4. Peran Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar...........................................................................5
2.3.5. Hak dan kewajiban guru..............................................................................................................5
2.4. Peserta didik......................................................................................................................................6
2.4.1. Definisi Peserta Didik..................................................................................................................7
2.4.2. Hakikat Peserta didik...................................................................................................................7
2.4.3. Kebutuhan dan Karakteristik Peserta Didik.................................................................................7
2.4.4. Hak dan Kewajiban Peserta Didik...............................................................................................8
2.4.5. Karakteristik Peserta Didik Yang Sukses.....................................................................................9
III. HUBUNGAN MORAL DENGAN PENDIDIK DAN ANAK DIDIK..................................................10
3.1. Tujuan pendidikan nasional...............................................................................................................10
3.2. Metode pendidikan moral..................................................................................................................10
3.3. pendidikan karakter...........................................................................................................................11
IV. PENUTUP.............................................................................................................................................13
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................................................................14
i
I. PENDAHULUAN
Dalam buku Percikan Filsafat, Prof. Dr.N.Drijarkara S.J., (1978,40) menyatkan bahwa pada diri
manusia terdapat dorongan yang serupa dengan dorongan pada hewan dan tumbuhan, namun yang
membedakannya adalah manusia yang berbudi memiliki nilai-nilai susila yang tentu saja tidak
dimiliki hewan dan tumbuhan. Berawal dari pernyataan ini sudah seyogyanya manusia bersyukur
kepada Yang Maha Kuasa telah diberikan_Nya kita alat untuk membedakan mana yang baik dan
buruk, mana yang halal dan haram, mana yang perbuatan keji dan fasik mana yang mulia. Namun
manusia tetaplah makhluk yang memiliki hawa nafsu. Dengannya ia terkadang terperosok kedalam
kesalahan dan dosa namun semua bani Adam sering melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang
yang sering melakukan kesalahan adalah yang sering bertaubat. [HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan
lain-lain. Hadits ini hasan, menurut syaikh al-Albani rahimahullah] Referensi:
https://almanhaj.or.id/7169-mari-bertaubat.html. Agar fitrah manusia tetap terjaga kemurniannya,
sebagai makhluk yang Allah ta’ala ciptakan pertama kali tinggal di surga yakni Nabi Adam
alayhissalaam, maka manusia membutuhkan pendidikan untuk menghilangkan kebodohan dalam
dirinya. Pendidikan dalam tulisan ini adalah pendidikan formal bernama sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan mikrosistem. Bronfenbrenner (1979: 22) mengatakan bahwa
mikrosistem adalah sebuah pola dari aktivitas, peran dan relasi interpersonal yang dialami oleh
seseorang yang sedang tumbuh berkembang di dalam setting tertentu dengan karakteristik fisik
khusus, yaitu suatu lingkungan kehidupan yang di dalamnya seorang individu menghabiskan
sebagian besar waktunya, seperti keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tetangga.
Di dalam mikrosistem ini, seorang individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru-guru, teman
sebaya dan yang lain. Seorang anak bukan penerima pasif dari pengalaman, tetapi bersifat interaksi
timbal balik dengan yang lain dan membentuk mikrosistem masingmasing.
Sekolah merupakan bentuk pendidikan formal. Noeng Muhadjir (2003: 16-18) mengatakan bahwa
ditinjau dari segi antropologi kultural dan sosiologi, ada tiga fungsi utama pendidikan, yaitu:
1. menumbuhkan kreativitas subjek-didik;
2. menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan Ilahi pada subjek didik dan satuan sosial
masyarakat;
3. meningkatkan kemampuan kerja produktif pada subjek didik.
Fungsi sekolah kekinian yakni mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Dalam melakukan hubungan inter personal juga dibutuhkan kecerdasan
adversity, yakni kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk
bertahan hidup, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap kesulitan hidup.
Sekolah sebagai sistem masyarakat juga tidak terlepas dari adanya perundungan yang terkadang
dirasakan oleh unsur didalamnya: pendidik maupun peserta didik. Dalam skala rendah hingga tinggi.
Selanjutnya dalam penulisna makalah ini makna pendidiksinonimdengan guru, sedangkan peserta
didik dapat disamakan dengan siswa.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang peduli dan fokus pada pendidikan moral atau pendidikan nilai
di samping kegiatan pengajaran ilmu. Amstrong (2006: 17) mengemukakan teorinya tentang sekolah
sebagai wahana pengembangan manusia (human development). Istilah “pengembangan” atau
”development” lebih berkonotasi pada upaya menumbuhkan, memerdekakan manusia dari beban,
rintangan dan kesulitan. Istilah ini juga bermakna proses yang berlangsung terus sepanjang waktu.
Maka, pengembangan manusia dalam pendidikan dapat didefinisikan menjadi “keseluruhan tindakan
dan komunikasi lisan dan tertulis yang melihat tujuan pendidikan lebih mengutamakan pada upaya
membantu, mendorong, memfasilitasi pertumbuhan siswa sebagai manusia utuh.
1.2. Rumusan Masalah
1.4.1. Sebagai sumber dan bahan belajar bagi penulis serta mahasiswa sekola pascasarjana
prodi pedagogik
1.4.2. Sebagai kajian untuk menelaah landasan moral pendidikan dalam proses pembelajaran
di Indonesia.
1.4.3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengembangkan dan
meningkatkan sistem pendidikan berkarakter.
II. TINJAUAN TEORI
2.1. Hubungan
Menurut KBBI daring: hu·bung, ber·hu·bung 1 v bersambung atau berangkai (yang satu dengan yang
lain) atau pertalian. Sedangkan hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih
yang memudahkan proses pengenalan satu dan yang lainnya.
Anton Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 236
2.2. Moral
Moral merupakan salah satu hukum perilaku yang diterapkan kepada setiap individu dalam
bersosialisasi dengan sesamanya sehingga terjalin rasa hormat dan menghormati antar sesama. Moral
ini merujuk pada tindakan, perilaku seseorang yang memiliki nilai positif sesuai dengan norma yang
ada di suatu masyarakat.
Pendapat John Henry Newman, seorang filsuf asal Inggris mengatakan bahwa kesusilaan itu
praktiknya konkret sebagai suara batin kita.
“Bila manusia betul-betul tunduk kepada suara batin itu, maka makin lama dia
akan makin mengerti kesempurnaan dan kebaikan.
Lihatlah, suara itu juga memimpin kita ke-rasa hormat, rasa aman, suara itu
juga menyebabkan kita menyerah.
Kesemua itu menunjuk, bahwa dalam mengalami sense of duty manusia
berhadapan dengan Pribadi yang sempurna, ialah Maha Pribadi Tuhan sendiri.
Dengan kata lain, dalam pandangan Newman kesusilaan itu adalah pelaksanaan
perintah Tuhan”.
2.3. Pendidik
Kata pendidik (isitlah lain: guru, ustadz, instruktur, pengajar, pelatih, pamong, tutor) berasal
dari kata “didik”, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki
ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan
sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan awalan pe- hingga menjadi pendidik, artinya
orang yang mendidik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang
mendidik.
Secara etimologi dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang berdekatan arti pendidik seperti
kata teacher artinya pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, di pusat-pusat pelatihan
disebut sebagai trainer atau instruktur.
2.3.1. Definisi Pendidik
UU nomor 14 tahun 2005 Bab 1 pasal 1 menyebutkan bahwa seorang guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai , dan mengevaluasi peserta didik.
Pendidik yang ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa,
panggilan hati nurani, bukan karena tuntunan materi serta tidak membatasi tugas dan
tanggung jawabnya hanya di sekolah.
Dalam pengajaran atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai
sutradara sekaligus aktor. Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab
merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah.
Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai
demonstrator, korektor, inspirator, informator, organisator, fasilitator, pengajar,
manajer kelas, supervisor, motivator, eksplorator, mediator, inisiator.
2.3.5. Hak dan kewajiban guru
Pasal 40 Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pendidik berhak:
penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual; dan
kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Pendidik berkewajiban:
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,
dan dialogis;
mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Peserta didik (istilah lain: Siswa, Mahasiswa, Taruna, Warga belajar, Pelajar, Murid, Santri)
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu
dikembangkan. Peserta didik merupakan “Raw Material” (Bahan Mentah) dalam proses
transformasi dan internalisasi. Peserta didik adalah individu yang mempunyai kepribadian yang
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Pendidikan moral difokuskan pada:
1. Pendidikan moral terhadap diri sendiri yang penting diberikan kepada peserta didik
berkaitan dengan nilai-nilai kebersihan diri, kerajinan dalam belajar/bekerja, keuletan,
disiplin waktu. Pendidikan moral untuk sesama manusia mencakup nilai-nilai moral sosial
seperti kerjasama, toleransi, respek, berlaku adil, jujur, rendah hati, tanggung jawab, dan
peduli.
2. Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan alam semesta dapat diberikan dengan
menguatkan nilai-nilai keseimbangan alam, menjaga kelestarian alam, tidak merusak alam,
hemat, dan mendidik untuk menggunakan kembali barang-barang bekas (daur ulang) dalam
bentuk yang baru.
3. Pendidikan moral untuk hubungan manusia dengan Sang Khalik penting dilaksanakan
terlebih Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 UUD 1945).
Indonesia berbeda dengan negara sekuler dan negara komunis. Pendidikan agama yang di
dalamnya sarat dengan nilai-nilai moral diberi tempat yang khusus dan penting. Nilai-nilai
moral yang diajarkan di dalam ajaran agama menjadi sumber nilai bagi kehidupan
masyarakat
Indonesia sehingga di sekolah pun nilainilai moral agama tetap diberi tempat yang utama.
Hak peserta didik dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 12 adalah:
1. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.
2. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat. minat, dan
kemampuannya.
3. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan.
4. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan.
5. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
6. menyelesaikan program-progam pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.
Kirschenbaum (1995: 31) mengusulkan 100 cara atau metode pendidikan moral, yang
dipayungi dalam lima kategori besar metode pendidikan moral yaitu penanaman (inkulkasi)
nilai-nilai dan moralitas, modeling dan fasilitasi nilai-nilai dan moralitas, kecakapan untuk
mengembangkan nilai dan melek moral, pelaksanaan program pendidikan nilai di sekolah.
3.2.1. Inkulkasi nilai
Metode ini dapat dilaksanakan dalam pembelajaran moral di sekolah maupun di dalam keluarga
dengan berbagai cara. Kirschenbaum mengetengahkan 34 cara inkulkasi nilai, di antaranya
adalah identifikasi nilainilai target, membaca buku-buku sastra dan non-fiksi, bercerita.
Program pendidikan moral dengan cara inkulkasi nilai dimulai dengan mengidentifikasi secara
jelas nilai-nilai apa yang diharapkan akan tertanam dalam diri subjek didik. Hasilnya adalah
“nilai-nilai target” yang akan dicapai dalam program pendidikan moral.
3.2.2. Metode keteladanan
Keteladanan merupakan bentuk mengestafetkan moral yang digunakan oleh masyarakat religius
tradisional, dan digunakan pula oleh masyarakat modern sekarang ini. Dalam masyarakat
tradisional, keteladanan diterima secara terberi tanpa harus mengejar argumentasi rasionalnya;
sedangkan pada masyarakat modern sekarang keteladanan diterima dengan pemahaman dan
argumentasi rasional (Muhadjir, 2004: 163). Orang tua dan guru merupakan sosok yang harus
memberikan teladan baik kepada subjek didik.
3.2.3. Metode klarifikasi nilai
Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan agar terjadi
pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima oleh anak, sangat
ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri.
Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh yang memberikan kebebasan untuk anak
menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sidney B. Simon, dkk (1974: 6)
bahwa pendekatan klarifikasi nilai mencoba untuk membantu anakanak muda menjawab
beberapa pertanyaan dan membangun sistem nilai sendiri.
3.2.4. Metode fasilitasi nilai
Guru dan pihak sekolah memberikan berbagai fasilitas yang dapat digunakan siswa agar dapat
merealisasikan nilai-nilai moral dalam dirinya baik secara individu maupun berkelompok,
misalnya fasilitas beribadah berupa mesjid dan mushola, fasilitas membuat kompos dari
sampah sekolah, fasilitas berupa ruang diskusi, perpustakaan dengan buku-buku cerita yang
memuat nilai-nilai moral, dan sebagainya.
3.2.5. Metode keterampilan nilai moral
Keterampilan moral dalam diri peserta didik dapat diwujudkan dimulai dengan pembiasaan.
Lama kelamaan pembiasaan itu ditingkatkan dengan cara peserta didik merancang sendiri
berbagai tindakan moral yang akan diwujudkan sebagai suatu komitmen diri, action plan
mereka sendiri sebagai wujud realisasi diri menjadi orang yang baik dan memperoleh hidup
yang bermakna.
1.3. pendidikan karakter
Tujuan pendidikan karakter meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai/ moral(moral
knowing), perasaan moral (moral feeling), dan dan tindakan moral (moral action). Pendidikan
karakter harus bersifat holistik, terlebih lagi di Indonesia yang berpandangan hidup filsafat
Pancasila. Pendidikan karakter holistik dapat diartikan sebagai upaya memperkenalkan dan
menginternalisasikan nilai -nilai kehidupan yang dapat menjadikan peserta didik menjadi
manusia yang utuh (a whole human being).
Nilai moral diperkenalkan pada peserta didik dengan mengajak partisipasi dalam perbuatan,
diberi pemahaman rasionalitasnya, sampai berpartisipasi aktif untuk mempertahankan
perbuatan moral tersebut. Pada sisi lain, peserta didik perlu pula ditumbuhkembangkan
penghayatan emosionalnya, konasinya, sampai keimanannya lewat internalisasi atau
menghayati nilai moral pada ketiga tataran:
1. akhlak terhadap Tu han Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai Pencipta dan sifat-
sifatNya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong kepada - Nya);
2. akhlak terha dap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih tua, teman sebaya,
orang yang lebih muda) ; dan
3. akhlak terhadap lingkungan (alam, baik flora maupun fauna dan sosial –masyarakat)
Pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam kehidupan masyarakat dan didukung oleh
segenap komponen masyarakat. Jika salah satunya tidak melaksanakan, maka keberhasilan
pendidikan karakter tidak optimal. Misalnya orang dewasa memberi contoh untuk tidak
merokok, munafik, korupsi dll. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan
karakter memengaruhi kualitas moral generasi muda.
IV. PENUTUP
kesadaran moral
Indonesia terlahir sebagai bangsa yang berbhineka tunggal Ika. Semboyan ini menjadi ruh sebagai
sikap saling menghargai dan toleransi dalam kehidupan yang rukun berinteraksi satu sama lain.
Kekayaan moral bangsa ini telah terukir dalam sejarah. Taman siswa, Ki Hajar Dewantara telah
berkontribusi dengan Panca dharma sebagai pendidikan karakter negeri ini.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya sebagai generasi muda, kita kembali ke akar perjuangan bangsa
dengan melestarikan moral pendidikan yang lestari.
Kelima dharma tersebut adalah: (1) Kemerdekaan, (2) Kodrat Alam, (3) Kebudayaan, (4)
Kebangsaan, dan (5) Kemanusiaan.
1) KEMERDEKAAN adalah syarat mutlak dalam tiap-tiap usaha pendidikan, yang berdasarkan
ke- yakinan, bahwa manusia, karena kodratnya sendiri dapat memelihara dan memajukan,
mempertinggi dan menyempurnakan hidupnya sendiri; tiap-tiap pemaksaan akan
menyukarkan dan menghambat kemajuan hidupnya kanak-kanak.
2) KODRAT hidup manusia menunjukkan adanya segala kekuatan pada makhluk manusia
sebagai bekal hidupnya, yang perlu untuk pemeliharaan dan kemajuan hidupnya, mencapai
keselamatan hidupnya lahir dan batin, baik untuk diri pribadinya maupun untuk
masyarakatnya.
3) KEBUDAYAAN sebagai buah budi dan hasil perjuangan manusia untuk mengatasi segala
rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan
dan kebahagiaan di dalam hidupnya bersama, yang bersifat tertib dan damai pada umumnya,
4) Pendidikan adalah usaha kebudayaan, yang bermaksud memberi tuntunan di dalam hidup
tum-buhnya jiwa raga anak-anak, dengan jiwa KEBANGSAAN karena kesamaan dasar:
Pancasila.
5) ADAB KEMANUSIAAN mengandung arti keharusan serta kesanggupan manusia untuk
menuntut kecerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinya, serta bersama-sama dengan
masyarakatnya.
DAFTAR RUJUKAN
1. Drijarkara, Prof. Dr. N., SJ. (1978) Percikan Filsafat, PT. Pembangunan Jakarta.
2. Mudyahardjo, Redja (2001), Pengantar Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
3. Penelitian ”Pendidikan Moral Di Sekolah”, Rukiyati (rukiyati@uny.ac.id), Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
4. Skripsi VISCA DAVITA, Etika Hubungan Pendidik Dengan Peserta Didik Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Di Smp Negeri 26 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2016/2017,
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017
5. Jurnal HAKIKAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK, M. Ramli, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Antasari, Banjarmasin