Anda di halaman 1dari 75

PERAN DINAS SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN

PENGEMIS DAN GELANDANGAN


DI KOTA PALANGKA RAYA

Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :
Ria Hulfah
GAC 116 038

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
PERAN DINAS SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN
PENGEMIS DAN GELANDANGAN
DI KOTA PALANGKA RAYA

Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :
Ria Hulfah
GAC 116 038

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah swt, karena kehendak dan


ridhaNya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti sadari skripsi ini tidak
akan selesai tanpa doa, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Adapun
dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Andrie Elia, S.E., M.Si, selaku Rektor Universitas Palangka Raya.
2. Prof. Drs. Kumpiady Widen, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Palangka Raya.
3. Ester Sonya Ulfaritha Lapalu.M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Palangka Raya,
4. Dr. Drs. Wijoko Lestariono, S.Sos., M.Si, Selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, sekaligus menjadi dosen
pembimbing I saya yang telah banyak memberikan ilmu dan masukan nya
kepada saya.
5. Dr. Syamsudian Noor, M.Ag, selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan juga motivasi dalam bimbingan kepada penulis dalam
menyusun skripsi ini.
6. Akhmad Sibuihi, S.Sos, selaku Pengelola Bimbingan Sosial Dinas Sosial
Kota Palangka Raya yang telah memberikan izin serta sarana dan
prasarana selama pelaksanaan penelitian.
7. Orang tua saya tercinta, orang yang paling hebat didunia ini, orang yang
selalu tidak pantang menyerah dalam memberikan doa, bantuan,
dukungan, kasih sayang, pengorbanan dan semangat di setiap langkah
pejalanan saya dalam menuntut ilmu, sekaligus orang yang banyak
mengetahui keluh kesah saya pada saat menyusun skripsi ini. Serta kepada
Kakak-kakak saya tersayang M.Barki, M.Zaib, M.Iqbal dan M.Abay yang
selalu memberikan doa dan dukungan dan para keponakan penulis Riana,
Naura, Raifa, Afika dan Keysa yang selalu mampu menjadi tempat
beristirahat dan melepas penat yang luar biasa.
8. Terimakasih kepada Kak Khusnul yang selalu membantu dan memberikan
arahan dikala aku kebingungan.
9. Sahabat online ku Fajar yang tidak pernah berhenti memberikan semangat
dan bantuan.
10. Sahabat karib ku Sesel yang selalu aku mintain tolong di saat kebingungan
menggunakan word.
11. Sahabat seperjuangan ku di perkuliahan Mira, Mey Liza, kalian adalah
sahabat ku yang luar biasa bersama kalian hidup ku jauh lebih mudah.
12. Mia yang selalu aku repotkan dan selalu berusaha untuk membantu dikala
aku stress dan Pea yang selalu menjadi teman pelepas penat disaat free.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
segalanya.

Palangka Raya,10 Maret 2020

Ria Hulfah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................5

1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7

2.1 Pengertian Peran.......................................................................................7

2.2 Sejarah Singkat Terbentuknya Kementerian Sosial...............................10

2.3. Peran Dinas Sosial................................................................................13

2.3.1 Fungsi Dinas Sosial.....................................................................14

2.3.2 Tujuan Dinas Sosial.....................................................................15

2.3.3 Sasaran Dinas Sosial....................................................................15

2.3.4 Strategi Dinas Sosial....................................................................17

2.3.5. Kebijakan Dinas Sosial...............................................................18

2.3.6 Faktor Penghambat......................................................................19

2.4 Pengertian Penanggulangan....................................................................20

2.5 Pengertian Pengemis dan Gelandangan..................................................21

2.5.1 Faktor Munculnya Pengemis dan Gelandangan..........................22


2.5.2 Ciri-ciri Pengemis dan Gelandangan............................................23

2.6 Kebijakan Pemerintah Tentang Pengemis dan Gelandangan.................24

2.7 Penelitian Terdahulu...............................................................................26

2.8 Kerangka Berpikir..................................................................................29

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................32

3.1 Jenis Penelitian.......................................................................................32

3.2 Fokus Penelitian......................................................................................32

3.3 Lokasi Penelitian....................................................................................33

3.4 Instrumen Penelitian...............................................................................34

3.5 Sumber Data...........................................................................................34

3.6 Teknik Pengumpulan Data.....................................................................35

3.7 Teknik Analisis Data..............................................................................35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

LAMPIRAN..........................................................................................................41
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir..............................................................................31

Gambar 3.1 Bagan Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman.............38

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1

Tabel 4.2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengemis dan gelandangan sudah menjadi pemandangan umum di

hampir semua kota di Indonesia, suatu pemandangan yang mencerminkan

bahwa masalah sosial di Negeri ini masihlah amat besar, ada banyak orang

yang nasibnya kurang beruntung sehingga harus mengadu nasib di jalanan,

ada yang memilih menjadi pengamen bahkan pengemis. Pengemis dan

gelandangan merupakan masalah sosial yang akut dan tak terhentikan hingga

sekarang, hal ini karena kemiskinan yang menjadi penyebab utama

munculnya pengemis dan gelandangan yang hingga sekarang belum berhasil

di tuntaskan.

Pengemis dan gelandangan adalah salah satu masalah sosial yang

kompleks dan bertalian dengan masalah social lain, terutama kemiskinan.

penanggulangan pengemis dan gelandangan tidaklah sederhana.

Kegiatan mengemis dapat dipicu karena terlilit masalah ekonomi, tuntutan

kebutuhan ekonomi, mendesak masyarakat untuk mencari solusi

penyelesaiannya, meskipun harus menjadi pengemis. Saat ini di Kota Palangka

Raya, pengemis bahkan tidak mengenal usia, mulai dari anak-anak, paruh

baya, lansia, bahkan tunawisma.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan jumlah

pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya seperti kemiskinan, ledakan

urbanisasi, kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingginya angka putus
sekolah pada tingkat sekolah dasar, dan etos kerja yang rendah, yang hingga

sekarang belum berhasil untuk di atasi. Banyak masalah-masalah sosial

bermunculan karena adanya pengemis dan gelandangan, seperti yang kita

ketahui kurangnya pendidikan, rendahnya motivasi hidup dan hidup tanpa

aturan membuat mereka mudah untuk berprilaku menyimpang seperti mabuk-

mabukan, tidak mempunyai tata krama, susah diatur bahkan tindakan anarkis

lainnya.

Meski demikian, PP 31/1980 tentang Penanggulangan Pengemis dan

Gelandangan tidak memuat mengenai sanksi terhadap pengemis dan

gelandangan. Hal-hal yang diatur dalam PP 31/1980 tentang Penanggulangan

Pengemis dan Gelandangan di antaranya soal usaha preventif dan usaha

represif yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pengemis dan

gelandangan. Pengemis dan gelandangan pada dasarnya dapat dibagi menjadi

dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori mengemis dan menggelandang

untuk bertahan hidup, dan mereka yang mengemis dan menggelandang karena

malas dalam bekerja. Pengemis dan gelandangan pada umumnya tidak

memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah

asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir

warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya

perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering

disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek

ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak


jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi

karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.

Pengemis dan gelandangan adalah salah satu kelompok yang

terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang

berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di

sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, pengemis dan

gelandangan tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masyarakat

sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan pengemis dan gelandangan dengan

citra yang negatif. Pengemis dan gelandangan dipersepsikan sebagai orang

yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti: kotor, sumber

kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri

kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.

Pandangan semacam ini mengisyaratkan bahwa pengemis dan

gelandangan dianggap sulit memberikan sumbangsih yang berarti terhadap

pembangunan kota karena mengganggu keharmonisan, keberlanjutan,

penampilan, dan konstruksi masyarakat kota. Hal ini berarti bahwa pengemis

dan gelandangan, tidak hanya menghadapi kesulitan hidup dalam konteks

ekonomi, tetapi juga dalam konteks hubungan sosial budaya dengan

masyarakat kota. Akibatnya komunitas pengemis dan gelandangan harus

berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya.

Penanggulangan masalah pengemis dan gelandangan menjadi

tanggung jawab negara. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara

(Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Sementara itu pasal 34 ayat 2 menegaskan


“negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan

memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan

martabat kemanusiaan”. Berdasarkan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan

UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan

Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980

tentang Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan pada bagian

pertimbangan menyatakan:

1. Bahwa pengemis dan gelandangan tidak sesuai dengan norma kehidupan

bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.

2. Bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha

pencegahan timbulnya pengemis dan gelandangan, bertujuan pula untuk

memberikan rehabilitasi kepada pengemis dan gelandangan agar mampu

mencapai taraf kehidupan yang layak sebagai Warga Negara Republik

Indonesia.

Sebagai manusia dan makhluk sosial ada banyak dari kita yang merasa

resah akan hal tersebut, maka dari itu kita wajib untuk mencari cara untuk

mengatasi masalah sosial ini, untuk itu, peran dinas sosial sangat diharapkan

mampu menekan jumlah atas dasar pembahasan di atas maka peneliti

mencoba untuk mengetahui keefektifan peran dinas sosial dalam

menanggulangi pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya, yang

kemudian menjadi analisis skripsi yang berjudul “Peran Dinas Sosial dalam

Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan di Kota Palangka Raya”


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat

dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Dinas Sosial Kota Palangka Raya dalam menanggulangi

pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya?

2. Apa saja hambatan Dinas Sosial Kota Palangka Raya dalam

menanggulangi pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran Dinas Sosial dalam

penanggulangan pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis apa saja hambatan Dinas Sosial Kota

Palangka Raya dalam penanggulangan pengemis dan gelandangan di Kota

Palangka Raya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagi Kantor Dinas Sosial

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan saran dan masukan guna

mengambil langkah yang tepat dalam penanggulangan pengemis dan

gelandangan di Kota Palangka Raya.


2. Bagi Masyarakat Akademik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi literatur tambahan bagi

penelitian selanjutnya.

3. Bagi Masyarakat Umum

Dapat menambah wawasan masyarakat umum mengenai keadaan nyata di

sekitar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Peran

Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti

pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di

masyarakat.

Sedangkan menurut Merton (2007) mengatakan

bahwa peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan

masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran

disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran

adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki

oleh orang karena menduduki status-status social khusus.

Menurut Soejono Soekanto dalam buku yang berjudul sosiologi suatu

pengantar (2012), menjelaskan pengertian peranan merupakan aspek dinamis

kedudukan (status). Apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya

sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan

antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang

lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa

peranan. Sebagaimana dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti.

Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola

pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa
yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang

diberikan oleh masyarakat kepadanya.

Hakekatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian

perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu. Kepribadian

seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran harus dijalankan. Peran yang

dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik yang dimainkan/ diperankan

pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah akan mempunyai peran yang

sama.

Berdasarkan penjelasan di atas kita sudah mengetahui bahwa peran

serta status sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat

konsep peran diantaranya sebagai berikut :

1. Persepsi peran

Merupakan sebuah pandangan kita terhadap tindakan yang seharusnya

dilakukan pada situasi tertentu. Persepsi tersebut berdasarkan interpretasi

atas sesuatu yang diyakini mengenai bagaimana seharusnya kita dalam

berprilaku.

2. Ekspektasi Peran

Ini adalah sesuatu yang telah diyakini orang lain bagaimana seseorang

harus bertindak dalam situasi tertentu. Sebagian besar perilaku seseorang

tersebut ditentukan oleh peran yang di definisikan dalam konteks yang

mana orang tersebut bertindak.


3. Konflik Peran

Saat seseorang berhadapan dengan ekspektasi peran yang berbeda, maka

akan menimbulkan konflik peran. Konflik tersebut akan muncul disaat

seseorang menyadari bahwa syarat satu peran lebih berat untuk dipenuhi

ketimbang peran lain.

Secara umum, struktur peran dapat di kelompokkan menjadi dua (2)

bagian, di antaranya sebagai berikut :

1. Peran formal

Ini merupakan suatu peran yang nampak jelas, yakni segala perilaku

yang sifatnya itu homogen. Contohnya seperti dalam keluarga, suami/

ayah dan Istri/ Ibu mempunyai peran sebagai provider (penyedia),

pengatur rumah tangga, merawat anak, rekreasi, serta lain-lain.

2. Peran informal

Ini merupakan peran yang tertutup, yakni suatu peran yang memiliki

sifat yang implisit (emosional) serta umumnya tidak terlihat di

permukaan.Tujuan dari peran informal ini ialah untuk pemenuhan

kebutuhan emosional serta juga menjaga keseimbangan dalam keluarga.

Dari penjelasan di atas maka, peran dapat dibagi menjadi tiga jenis.

Menurut Soerjono dan Soekamto, adapun jenis-jenis peran ini diantaranya

sebagai berikut:
1. Peran Aktif

Merupakan suatu peran seseorang seutuhnya selalu aktif dalam

tindakannya pada suatu organisasi. Hal tersebut bisa dilihat atau diukur

dari kehadirannya serta juga kontribusinya terhadap suatu organisasi.

2. Peran Partisipasif

Merupakan suatu peran yang dilakukan seseorang dalam berdasarkan

kebutuhan atau hanya pada saaat tertentu saja.

3. Peran Pasif

Merupakan suatu peran yang tidak dilaksanakan oleh individu. Artinya,

peran pasif ini hanya dipakai sebagai symbol dalam situasi tertentu

didalam kehidupan masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulan bahwa peran

adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang atau

sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki status atau kedudukan

tertentu. Berdasarkan hal-hal di atas dapat diartikan bahwa apabila

dihubungkan dengan dinas sosial, peran tidak berarti sebagai hak dan

kewajiban individu, melainkan merupakan tugas dan wewenang dinas sosial.

2.2 Sejarah Singkat Terbentuknya Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Kementerian Sosial Republik Indonesia (disingkat Kemensos), yang

sebelumnya adalah Departemen Sosial (disingkat Depsos). Berdasarkan keputusan

panitia persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, tertanggal 19 Agustus 1945,

Departemen Sosial RI merupakan salah satu departemen pemerintahan pada

jaman itu. Menurut surat keputusan tersebut, tugas Departemen Sosial RI


dinyatakan secara singkat dan sederhana, yaitu : “Urusan fakir miskin dan anak

terlantar”. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, Pemerintah memikul

tanggung jawab konstitusional, mengenai pembangunan kesejahteraan sosial,

termaktub dalam pasal 34 UUD‟ 45 bahwa : “Fakir miskin dan anak-anak

terlantar dipelihara oleh Negara”, yang berarti bahwa secara konstitusional,

berdasarkan pasal 34 yang dirangkaikan dengan pasal 33 tentang perekonomian.

Pemerintah membangun kesejahteraan sosial untuk meniadakan kemiskinan dan

keterlantaran, yang terutama disebabkan oleh penjajahan.

Menteri Sosial pertama pada masa awal kemerdekaan dipercayakan pada Mr. Iwa

Kusuma Sumantri yang ada waktu itu membawahi kurang lebih 30 orang pegawai

untuk Bagian Perburuhan dan Bagian Sosial. Hampir semua pegawai tersebut

kurang/tidak berpengetahuan dan berpengalaman cukup mendalam dalam bidang

perburuhan dan bidang sosial. Pada awalnya kantor Kementerian Sosial berlokasi

di Jalan Cemara no. 5 Jakarta namun pada waktu Ibu kota Republik Indonesia

pindah ke Yogyakarta, pada tanggal 10 Januari 1946 kantor Kementerian Sosial

ikut pindah ke gedung Seminari di Jl. Code Yogyakarta. Kemudian ketika

pemerintahan Republik Indonesia pindah kembali ke Jakarta, Kantor Kementerian

Sosial menempati kantor di Jalan Ir.Juanda 36 Jakarta Pusat, dan mengalami

perpindahan lokasi lagi ke Jalan Salemba Raya 28 Jakarta Pusat sampai sekarang.

Pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Sosial

(Kementerian Sosial) dan Departemen Penerangan dibubarkan. Saat itu Presiden

Abdurrahman Wahid menggagas bahwa pelayanan kesejahteraan sosial cukup

dilakukan oleh masyarakat. Namun keadaan berkata lain, secara tidak diduga pula,
saat itu muncul berbagai masalah kesejahteraan sosial seperti bencana alam,

bencana sosial, populasi anak jalanan dan anak telantar semakin bertambah terus

jumlahnya, sehingga para mantan petinggi Kementerian Sosial pada waktu itu

menggagas untuk dibentuknya sebuah Badan yang berada langsung di bawah

Presiden, maka terbentuklah Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN).

Terbentuknya BKSN ini permasalahan tidak segera terentaskan, malah yang

terjadi serba kekurangan karena tidak berimbangnya populasi permasalahan sosial

dengan petugas yang dapat menjangkaunya dan kewenangan BKSN juga sangat

terbatas. Dengan pertimbangan seperti itu maka pada Kabinet Persatuan Nasional,

Kementerian Sosial dimunculkan kembali tetapi digabung dengan Departemen

Kesehatan. Nomenklaturnya menjadi Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan

Sosial. Gagasan penggabungan ini juga tidak memberikan solusi permasalahan

kesejahteraan sosial secara memadai, padahal populasi permasalahan sosial

semakin kompleks. Kemudian pada masa Kabinet Gotong Royong, Kementerian

Sosial difungsikan kembali untuk menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan di

bidang kesejahteraan sosial.

Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang

rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan

penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial

menyelenggarakan fungsi:
1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi

sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan

penanganan fakir miskin;

2. penetapan kriteria dan data fakir miskin dan orang tidak mampu;

3. penetapan standar rehabilitasi sosial;

4. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan

administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian

Sosial;

5. pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab

Kementerian Sosial;

6. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Sosial;

7. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan

Kementerian Sosial di daerah;

8. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan

kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial; dan

9. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur

organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.

2. 3 Peran Dinas Sosial.


Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu perangkat

daerah dalam lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berkedudukan di Ibukota

Provinsi (Palangka Raya). Dasar hukum organisasi adalah Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Organisasi Perangkat Daerah

serta Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 35 Tahun 2016 tentang

kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Dinas Sosial

Provinsi Kalimantan Tengah.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah tersebut, Dinas

Sosial mempunyai tugas melaksanakan perumusan pelaksanaan kebijakan,

pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan

pelaksanaan kebijakan di bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial,

Rehabilitasi Sosial, Pemberdayaan Sosial dan Penanganan Fakir Miskin.

2.3.1 Fungsi Dinas Sosial

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas Dinas

Sosial mempunyai fungsi :

1. Penyiapan perumusan kebijakan teknis, di bidang Rehabilitasi Sosial,

Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial dan

Penanganan Fakir Miskin;

2. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang Rehabilitasi Sosial,

Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial dan

Penanganan Fakir Miskin;

3. Penyiapan bimbingan Teknis dan supervisi di bidang Rehabilitasi

Sosial, Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial dan

Penanganan Fakir Miskin;


4. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Rehabilitasi Sosial,

Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial dan

Penanganan Fakir Miskin;

5. Pelaksanaan urusan administrasi Dinas Sosial.

2.3.2 Tujuan Dinas Sosial

Sesuai kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Palangka

Raya, tujuan yang ingin dicapai dalam kurun waktu 5 tahun mendatang

(2018–2023) sebagai berikut :

1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dan potensi

sumber kesejahteraan sosial di bidang kesejahteraan sosial.

2. Meningkatkan derajat kesejahteraan sosial masyarakat.

3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (aparatur) yang handal

sesuai kualifikasi yang dibutuhkan.

4. Meningkatkan prasarana dan sarana aparatur.

5. Meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan setiap umat beragama

terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

6. Meningkatkan kerukunan antar umat beragama serta antara umat

beragama dengan pemerintah.

2.3.3 Sasaran Dinas Sosial

Sasaran merupakan sesuatu yang akan dihasilkan dalam kurun

waktu tertentu dan memberikan gambaran terhadap hal-hal yang ingin

dicapai melalui tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai

tujuan. Sasaran merupakan bagian yang integral dalam proses rencana


strategis yang merupakan penjabaran dari tujuan secara terukur yang

akan dicapai secara nyata melalui kegiatan-kegiatan yang perlu

dilaksanakan, serta memberi arah terhadap alokasi sumber daya yang

dibutuhkan dalam setiap kegiatan.

Sasaran Dinas Sosial Kota Palangka Raya untuk Tahun 2018 – 2023,

sebagai berikut :

1. Meningkatnya upaya masyarakat dan lembaga sosial dalam

pembangunan kesejahteraan sosial.

2. Meningkatnya pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fakir

miskin serta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial lainnya

dalam mewujudkan kesejahteraan sosial secara mandiri dan dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

3. Terwujudnya kesejahteraan sosial berbasiskan masyarakat.

4. Meningkatnya derajat kesejahteraan sosial masyarakat.

5. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia aparatur.

6. Meningkatnya prasarana dan sarana aparatur yang memadai.

7. Meningkatnya kerukunan umat beragama.

8. Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pembangunan bidang

kesejahteraan sosial.

9. Tersedianya bantuan tanggap darurat bencana.

10. Meningkatnya partisipasi pilar masyarakat/relawan dalam

penanggulangan bencana.
Sasaran tersebut dapat tercapai dengan baik apabila didukung

dengan alokasi sumber daya yang memadai dan peran aktif masyarakat

dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

2.3.4 Strategi Dinas Sosial

Untuk mewujudkan visi dan misi Walikota Palangka Raya Dinas

Sosial Kota Palangka Raya memilki rencana strategi yang ditempuh

adalah :

1. Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial diarahkan

pada;

a. Meningkatkan kualitas hasil rehabilitasi sosial penyandang cacat.

b. Meningkatkan kualitas pelayanan dan perlindungan

kesejahteraan sosial lanjut usia.

2. Meningkatkan kualitas pelatihan dan keterampilan anak terlantar.

a. Meningkatkan kualitas hasil rehabilitasi sosial tuna sosial.

b. Meningkatkan ketahanan sosial dan pendayagunaan fakir miskin.

c. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan dan rehabilitasi

anak nakal.

3. Pengembangan Kemitraan dan aktualisasi potensi sosial dalam

menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial, diarahkan

pada:

a. Meningkatkan keberdayaan Karang Taruna ikut serta

berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial.


b. Meningkatkan keberdayaan tenaga kesejahteraan sosial

masyarakat dalam melaksanakan fungsi pelayanan kesejahteraan

sosial.

c. Meningkatkan pelestarian nilai kepahlawanan, kejuangan dan

kesejahteraan sosial.

d. Meningkatkan peran aktif keluarga dan masyarakat dalam

program bantuan sosial.

e. Meningkatkan pengembangan wahana kesejahteraan sosial

berbasis masyarakat.

f. Meningkatkan kualitas hasil kerjasama lintas sektor dunia usaha

dalam penanganan kesejahteraan sosial.

g. Meningkatkan keberdayaan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan

Sosial Keluarga ( LK3 ) dan Organisasi Sosial dalam

meningkatkan pelayanan kesejahteraan sosial.

4. Pengembangan inisiatif dan prasakarsa dan kebijakan antisipasif

terhadap bencana alam dan sosial di arahkan pada ;

a. Meningkatkan keberdayaan sosial korban bencana.

b. Meningkatkan perlindungan sosial korban tindak kekerasan.

c. Terwujudnya akses asistensi sosial.

2.3.5 Kebijakan Dinas Sosial

Kebijakan yang diambil untuk mencapai visi dan misi Dinas

Sosial Kota Palangka Raya dalam jangka lima tahun kedepan adalah :
1. Memperluas jangkauan penanganan masalah kesejahteraan sosial

fakir miskin, lanjut usia terlantar, anak dan balita terlantar,

penyandang cacat, tuna sosial, korban tindak kekerasan dan orang

terlantar.

2. Peningkatan mutu penanganan bencana dan korban bencana.

3. Peningkatan kualitas SDM aparatur yang profesional dan handal.

4. Peningkatan mutu pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial

anak dan lanjut usia.

5. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pelayanan

kesejahteraan sosial.

6. Penumbuhan kemitraan dengan dunia usaha dalam peningkatan

kesejahteraan sosial.

7. Peningkatan sistem informasi kesejahteraan sosial.

2.3.6 Faktor Penghambat

1. Pola Pikir dan Pemahaman PMKS (Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial) masih rendah dalam memahami dan

memanfaatkan bantuan dari pemerintah, sehingga pada setiap

tahunnya PMKS belum terlihat ada kemandirian dan selalu

ketergantungan pada bantuan pemerintah setempat.

2. Minimnya Anggaran SOPD Dinas Sosial Kota Palangka Raya

sehingga penanganan terhadap PMKS tidak maksimal.

3. Pola pikir dan prilaku masyarakat yang tidak perduli dengan

lingkungan.
2.4 Pengertian Penanggulangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Penanggulangan berasal dari

kata “tanggulang” yang berarti menghadapi, mengatasi. Kemudian ditambah

awalan “pe” dan akhiran “an”, sehingga menjadi “penanggulangan” yang

berarti proses, cara, perbuatan menanggulangi.

Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah,

menghadapi, atau mengatasi suatu keadaan mencakup aktivitas preventif dan

sekaligus berupaya memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan

bersalah di lembaga pemasyaratan, dengan kata lain upaya penanggulangan

pengemis dan gelandangan dapat dilakukan secara preventif yaitu usaha-

usaha secara terorganisir yang dimakdsudkan untuk mencegah timbulnya

pengemis dan gelandangan dalam masyarakat, refresif yaitu usaha-usaha

yang terorganisir yang dimakdsudkan untuk mengurangi atau meniadakan

pengemis dan gelandangan, dan rehabilitatif adalah usaha-usaha yang

terorganisir yang meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian pelatihan

dan pendidikan.

Sedangkan yang dimakdsud penanggulangan yaitu upaya mengatasi

dan memberi solusi kepada orang-orang yang melakukan perbuatan

menyimpang, Penanggulangan merupakan suatu pencegahan yang berguna

untuk meminimalisir atas kejadian atau perbuatan yang telah terjadi agar

tidak terjadi lagi kejadian ataupun perbuatan tersebut.

Upaya penanggulangan pengemis dan gelandangan sesungguhnya

merupakan upaya terus menerus dan berkesinambungan selalu ada, bahkan


tidak akan pernah ada upaya yang bersifat final. Dalam hal ini dimaksudkan

bahwa setiap upaya penanggulangan kejahatan tidak dapat menjanjikan

dengan pasti bahwa kejahatan itu tidak akan terulang atau tidak akan

memunculkan pengemis dan gelandangan baru. Namun demikian, upaya itu

tetap harus dilakukan untuk lebih menjamin perlindungan dan kesejahteraan

masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah proses, cara, perbuatan atau upaya yang

dilakukan di dalam meminimalisir pengemis dan gelandangan yang berada di

kota palangka raya.

2.5 Pengertian Pengemis dan Gelandangan

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain ( sesuai PP No. 31 Tahun 1980)

Menurut Purnama (2015:2) Gelandangan adalah seorang yang hidup

dalam keadaan tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan

tetap dan mengembara ke tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan

norma kehidupan yang layak dalam masyarakat.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu

berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap. Pada

umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa

mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh

tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak


mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan

tidak tetap, terutamanya di sekotar informal, semisal pemulung, pengamen dan

pengemis.

Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengemis adalah

orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka

umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari

orang lain serta mengganggu ketertiban umum.

Sedangkan gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam

keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat

setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di

wilayah nya tertentu dan hidup mengembara ditempat umum serta

mengganggu ketertiban, kebersihan dan keindahan.

2.5.1 Faktor Munculnya Pengemis dan Gelandangan

Menurut Riskawati dan Abdul Syani (2012:48) ada beberapa faktor

penyebab munculnya gelandangan dan pengemis, yaitu sebagai berikut.

a) Faktor Internal, meliputi kemiskinan, keluarga, umur, cacat fisik,

rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya ketrampilan, sikap, dan

mental.

b) Faktor Eksternal, meliputi lingkungan, letak geografis, dan

lemahnya penanganan masalah pengemis dan gelandangan.


2.5.2 Ciri-Ciri Pengemis dan Gelandangan

1. Ciri-ciri Pengemis

 Berdiri di tengah matahari dengan cucuran keringat.

 Menunjukkan bukti bahwa mereka cacat, misalnya dengan tidak

menggunakan baju atau menggulung celananya.

 Duduk atau menggeletak ditengah jalan, di antara mobil-mobil,

sehingga menimbulkan lebih banyak perhatian bagi pengemudi

agar tidak menabrak mereka dan lebih memudahkan pengendara

memberikan uang.

 Menggendong anak kecil atau langsung menggunakan anak kecil

untuk mengemis.

 Tampil beda dengan membawa sebuah karton yang bertulisakan

mereka membutuhkan biaya sekolah atau biaya hidup.

 Membawa ember kecil dann meminta pada orang yang berjalan.

2. Ciri-ciri Gelandangan

 Anak sampai usia dewasa, tinggal disembarang tempat dan hidup

mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum,

biasanya di kota-kota besar.

 Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku

kehidupan bebas atau liar.

 Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau

mengambil sisa makanan atau barang bekas.


2.6 Kebijakan Pemerintah tentang Pengemis dan Gelandangan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan, Pengemis dan gelandangan

tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu

diadakan usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya

preventif, represif dan rehabilitasi.

1. Upaya Preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk

mencegah timbulnya pengemis dan gelandangan di dalam masyarakat,

yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat

yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya pengemis dan gelandangan,

yang mana berdasarkan Pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan

bimbingan sosial, latihan, pendidikan, pemberian

bantuan, perluasan kesempatan kerja, pemukiman lokal, peningkatan

derajat kesehatan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai

pihak yang ada hubungannya dengan pengemis dan gelandanganan,

sehingga akan tercegah terjadinya:

 Pengemis dan gelandangan oleh individu atau keluarga-keluarga,

terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya.

 Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pengemis dan

gelandanganan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu

ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya.


 Pengemisan dan pergelandanganan kembali oleh para pengemis dan

gelandangan yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke

daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah

masyarakat.

2. Upaya Represif

Upaya Represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang

dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan pengemis dan

gelandangan yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok

orang yang disangka melakukan pengemisan dan pergelandanganan.

Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya represif tersebut meliputi: razia,

penampungan sementara untuk diseleksi, dan pelimpahan.

3. Usaha Rehabilitatif

Usaha Rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang

meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian pelatihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali, baik ke daerah-daerah

pemukiman baru melalui transmigrasi, maupun ke tengah-tengah

masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut sehingga dengan

demikian pengemis dan gelandangan kembali memiliki kemampuan untuk

hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara

Republik Indonesia.

Usaha penampungan tersebut di atas ditujukan untuk

meneliti/menyeleksi pengemis dan gelandangan yang dimasukan dalam

Panti Sosial. Seleksi dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi


pelayanan sosial yang akan diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan

ditujukan untuk mengubah sikap mental pengemis dan gelandangan dari

keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif. Dalam

melaksanakan usaha penyantunan tersebut di atas para pengemis dan

gelandangan diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik,

mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan

kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha tindak lanjut yang

bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi pengemis dan gelandangan.

usaha tindak lanjut tersebut di atas dilakukan dengan:

 Meningkatkan kesadaran berswadaya.

 Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial

ekonomi.

 Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

2.7 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian mengenai pengemis dan gelandangan ini sebelumnya sudah

pernah diteliti oleh Desi Puspita Arantika pada tahun 2018, dengan judul

"peran Dinas Sosial dalam menanggulangi pengemis di Kota Banda

Aceh". Hasil dari penelitian adalah peran yang dilakukan oleh Dinas

Sosial Kota Banda Aceh dalam menanggulangi pengemis sudah sesuai

dengan peraturan Walikota Banda Aceh nomor 7 tahun 2018 Tentang

Penanganan Gelandang, Pengemis, Orang Terlantar dan Tuna Sosial

Lainnya, Dalam Wilayah Kota Banda Aceh, menjadi acuan dasar terhadap
setiap tindakan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Banda Aceh dalam

penanggulangan gelandang dan pengemis di daerah Kota Banda Aceh.

dalam menjalankan perannya Dinas Sosial setidaknya nya sudah

memperoleh beberapa dukungan baik dari pemerintah maupun masyarakat

antara lain ialah tersedianya rumah singgah sementara termasuk

pengelolanya sebagai tempat pembinaan para pengemis, koordinasi

bersama Satpol PP dan dinas syariat Islam.

Perbedaan: penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh sedangkan

penelitian sekarang dilaksanakan di kota Palangka Raya penelitian

terdahulu membahas menanggulangi pengemis saja sedangkan penelitian

sekarang menanggulangi pengemis dan gelandangan.

2. Penelitian kedua dilakukan oleh Ira Soraya pada tahun 2017 dengan judul

"peran Dinas Sosial Kota Makassar dalam penanganan pengemis di

kecamatan Panakkukan Kota Makassar". Dalam penelitian ini dijelaskan

bahwa Dinas Sosial Kota Makassar dalam penanganan pengemis di

kecamatan Panakkukan belum sepenuhnya berjalan dengan efektif,

dikarenakan salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam

penanganan pengemis yaitu belum adanya wadah atau Panti rehabilitasi di

Kota Makassar untuk menampung pengemis guna membina pribadi

mereka agar menjadi lebih baik. Selain itu pekerjaan patroli yang

dilakukan oleh dinas sosial sering kali mendapatkan perlawanan dan

kegiatan penanganan pengemis, dan seringkali ditemukannya wajah lama

yang pernah kena razia sebelumnya.


Perbedaan: Selain tempat atau lokasi yang jelas berbeda adapun

perbedaan lainnya ialah apabila penelitian ini berfokus pada menangani

pengemis yang berarti sama dengan pencegahan maka penelitian yang

saya garap berfokus pada penanggulangan yang Berarti semua tindakan

terpadu yang bertujuan untuk mengatasi dan menghadapi akibat-akibat

yang timbul atas munculnya pengemis dan gelandangan.

3. Penelitian ketiga dilakukan oleh Ongky Kharisma Mahardi pada tahun

2018 dengan judul "peran Dinas Sosial dalam pembinaan anak jalanan dan

anak putus sekolah Kota Surabaya". Di penelitian ini dijelaskan bahwa

Dinas Sosial melakukan pembinaan terhadap anak jalanan dan anak putus

sekolah, anak-anak jalanan diberi pembinaan seperti pembinaan religius,

kedisiplinan, kemandirian, jasmani, sosial, yang diharapkan setelah anak

jalanan tuntas melaksanakan pembinaan oleh Dinas Sosial diharapkan

dapat membentuk pribadi yang berperilaku sosial yang baik, kreatif,

tanggung jawab, Mandiri, serta layak menjadi teladan dan sesuai dengan

apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya.

Perbedaan : Sama halnya pada penelitian pertama dan kedua tempat

ataupun lokasi pada penelitian yang berbeda adapun perbedaan lainnya

yaitu apabila penelitian ini membahas bagaimana proses dan jalannya

pembinaan terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial

sedangkan penelitian yang sekarang lebih membahas Apa saja peran yang

meliputi strategi dan program yang dilakukan oleh Dinas Sosial terhadap

pengemis dan gelandangan di kota Palangka Raya.


2.8 Kerangka Berpikir

Banyak sekali faktor yang melatar belakangi munculnya anak jalanan,

salah satu faktor utama yang menyebabkan munculnya pengemis dan

gelandangan adalah kemiskinan. Kemiskinan struktural yang dialami oleh

keluarga pengemis dan gelandangan dianggap sebagai pemicu utama mereka

lebih memilih untuk hidup di jalan.

Pengemis dan gelandangan merupakan orang-orang marginal yang

terpaksa atau dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain

(mendapatkan eksplotasi) dengan berjualan koran, pemulung, pedagang

asongan, pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang

yang tidak memerlukan keterampilan. Kondisi seperti itu, merupakan akibat

dari ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,

sehingga menajdi pengemis dan gelandangan satu-satu nya harapan mereka

untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup.

Berbagai upaya penanggulangan pengemis dan gelandangan di Kota

Palangka Raya telah dilakukan pemerintah kota Palangka Raya dalam hal ini

dilakukan oleh Dinas Sosial. Namun pelaksanaan program-program dari Dinas

Sosial tidak berfungsi secara optimal atau bahkan mandeknya program-

program. Kendati telah banyak dilakukan studi (penelitian) untuk

menanganinnya. Kenyataan dilapangan, arah kebijakan pemerintah kota dalam

penanganan pengemis dan gelandangan memiliki banyak kendala dan masih

dirasa belum menyentuh kepada permasalahan yang sebenarnya, sehingga


masih perlu banyak pembenahan di sana sini untuk mengetahui kondisi

pengemis dan gelandangan yang pernah mendapatkan penanganan.


Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan di Kota


Palangka Raya

Dinas Sosial

Penyuluhan dan Razia dan Prosedur


Penampungan Penyantunan dan
Bimbingan Sosial
Sementara Pemberian Pelatihan
(Upaya Preventif) (Upaya Represif) (Upaya Rehabilitatif)

Peran Dinas Sosial dalam Menanggulangi


Pengemis dan Gelandangan di Kota
Palangak Raya
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu

data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, gambar, bukan angka-

angka.Menurut Bogdan dan Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J.

Moloeng, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang diamati.

Sementara itu, penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang

ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena

yang ada, baik fenomena alamiah maupun rekayasa manusia.

Adapun tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat

pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat

populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini digunakan untuk mengetahui

bagaimana peran dinas sosial dalam penanggulangan pengemis dan

gelandangan di Kota Palangka Raya.

3.2 Fokus Penelitian

Kajian penelitian ini difokuskan pada peran dinas sosial dalam

penanggulangan pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya. Yang

meliputi apa saja strategi atau cara yang digunakan dinas sosial dalam

menanggulangi pengemis dan gelandangan dan apa saja hambatan ataupun

kendala yang di alami dinas sosial dalam proses yang dilakukan.


Untuk menghindari terjadinya berbagai penafsiran yang keliru terhadap judul

skripsi ini, peneliti merasa perlu mengemukakan penggambaran kata yang

dianggap penting untuk diberikan pengertian agar tidak terjadi interpretasi

yang berbeda sebagai berikut:

1. Peran adalah perilaku atau posisi seseorang yang penting bagi struktur

sosial masyarakat yang diatur oleh norma-norma yang berlaku.

2. Penanggulangan pengemis dan gelandangan, penanggulangan adalah

semua tidakan terpadu yang bertujuan untuk mengatasi dan menghadapi

akibat-akibat yang timbul atas terjadinya sesuatu hal. Penanggulangan

adalah penanggulangan yang dilakukan Dinas Sosial Kota Palangka Raya

terhadap pengemis dan gelandangan, yang dilakukan pemerintah untuk

menekan jumlah pengemis dan gelandangan.

3. Dinas sosial adalah instansi pemerintah yang bertugas menangani

masalah-masalah sosial. dalam meningkatkan usaha kesejahteraan sosial.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran dan informasi yang

lebih jelas, lengkap, serta memungkinkan dan mudah bagi peneliti untuk

melakukan penelitian observasi. Oleh karena itu, maka penulis menetapkan

lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan. Dalam hal

ini, penelitian akan dilaksanakan di Dinas Sosial Kota Palangka Raya yang

terletak di jln G. Obos XI dan sekitaran area pasar besar Kota Palangka Raya.
3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Adapun maksud

dari peneliti sebagai instrumen penelitian adalah mulai dari menetapkan judul

penelitian, fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,

melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsir data dan

membuat kesimpulan atas temuan data dilakukan sendiri oleh peneliti.

Peneliti juga menggunakan beberapa peralatan untuk mendukung

pengumpulan data yang diperlukan, seperti kamera, alat tulis dan buku catatan

dalam melakukan penelitian.

3.5 Sumber Data

Sumber data menurut Sugiyono (2017), jika dilihat dari sumbernya

maka data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil

wawancara dan observasi, yang di kumpulkan oleh peneliti selama

berlangsungnya penelitian. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh

dari informan penelitian yaitu pengemis dan gelandangan yang berada di

kota Palangka Raya dan juga pejabat/staf dari Dinas Sosial.

2. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari pihak lain secara tidak

langsung, memiliki hubungan dengan penelitian yang dilakukan berupa

sejarah perusahaan, ruang lingkup perusahaan, struktur organisasi, buku,

literature, artikel, serta situs di internet.


3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara

sebagai berikut:

1. Partisipant Observation, dimana peneliti terlibat langsung dalam kegiatan

sehari-hari terhadap subjek yang diteliti. Sebagai sumber penelitian, serta

melakukan pengamatan, peneliti juga melakukan apa yang dikerjakan

oleh sumber data (Sugiyono, 2017).

2. Wawancara, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

untuk mengetahui hal-hal yang mendalam tentang informan dalam

penggambaran masalah yang terjadi di lapangan (Sugiyono, 2017).

Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan,

yaitu: Kepala bidang rehabilitasi sosial, kepala seksi rehabilitasi sosial,

pengemis, dan gelandangan, serta pekerja sosial yang ada di Kota

Palangka Raya.

3. Dokumentasi, adalah pelengkap data yang dikumpulkan dalam bentuk

tulisan dan gambar.

3.7 Teknik Analisis data

Teknik analisis data adalah proses pengumpulan data secara sistematis

untuk mempermudah peneliti dalam memperoleh kesimpulan. Analisis data

menurut Bogdan dalam Sugiyono yaitu proses mencari dan menyusun secara

sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat

diinformasikan kepada orang lain.


Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu analisis berdasarkan

data yang diperoleh.Menurut Miles & Huberman (1992: 16) analisis terdiri

dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data,

penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi. Mengenai ketiga alur

tersebut secara lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data

berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi penelitian

kualitatif berlangsung. Antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak

waktu penelitiannya memutuskan (seringkal tanpa disadari sepenuhnya)

kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan

pendekatan pengumpulan data mana yang dipilihnya. Selama

pengumpulan data berlangsung, terjadilan tahapan reduksi selanjutnya

(membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-

gugus, membuat partisi, membuat memo). Reduksi data/transformasi ini

berlanjut terus sesudah penelian lapangan, sampai laporan akhir lengkap

tersusun.

Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Reduksi data

merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data


dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya

dapat ditarik dan diverifikasi.

Dengan reduksi data peneliti tidak perlu mengartikannya sebagai

kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan

dalam aneka macam cara, yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui

ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola yang

lebih luas, dan sebagainya. Kadangkala dapat juga mengubah data ke

dalam angka-angka atau peringkat-peringkat, tetapi tindakan ini tidak

selalu bijaksana.

2. Penyajian Data

Miles & Huberman membatasi suatu penyajian sebagai

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya

penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Mereka meyakini bahwa

penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama

bagi analisis kualitatif yang valid, yang meliputi: berbagai jenis matrik,

grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan

informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih.

Dengan demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang

sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar

ataukah terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang

dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna.


3. Menarik Kesimpulan

Penarikan kesimpulan menurut Miles & Huberman hanyalah

sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-

kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu

mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran

penganalisis (peneliti) selama menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-

catatan lapangan, atau mungkin menjadi begitu seksama dan

menghabiskan tenaga dengan peninjauan kembali serta tukar pikiran di

antara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif

atau juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan Salinan suatu

temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-maknayang

muncul dari data yang lain harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan

kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Kesimpulan akhir

tidak hanya terjadi pada waktu proses pengumpulan data saja, akan tetapi

perlu diverifikasi agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Secara

skematis proses analisis data menggunakan model analisis data interaktif

Miles dan Huberman dapat dilihat pada bagan berikut:

Pengumpulan
Penyajian Data
Data

Verifikasi/
Reduksi Data Penarikan
Kesimpulan

Gambar Bagan 3.1 : Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman
BAB IV

TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Palangka Raya

4.1.1. Keadaan Geografis

Secara geografis, Kota Palangka Raya terletak pada 6° 40’ -

7°20’ Bujur Timur dan 1° 30’ – 2° 30’ Lintang Selatan. Kota

Palangka Raya mempunyai luas wilayah 2.678,51 km² atau

267.851 Ha dibagi ke dalam 5 Kecamatan, dengan topografi terdiri

dari tanah datar dan berbukit-bukit dengan kemiringan kurang dari

40 %.

Kota Palangka Raya berada di sebelah Selatan provinsi

Kalimantan Tengah di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah

Kabupaten Gunung Mas, di sebelah Timur berbatasan dengan

wilayah Kabupaten Gunung Mas, di sebelah Selatan berbatasan

dengan wilayah Kabupaten Pulang Pisau, dan di sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Katingan.


dari 4 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Palangka.

Kecamatan Sabangau dengan luas wilayah 583,50 Km² terdiri dari

6 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Kalampangan.

Kecamatan Bukit Batu dengan luas wilayah 572,00 Km² terdiri

dari 7 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Banturung,

Kecamatan Rakumpit dengan luas wilayah 1.053,14 Km² dan

terdiri dari 7 kelurahan, pusat Kecamatan di kelurahan Mungku

Baru.

4.1.2 Tingkat Kepadatan Penduduk

Sampai dengan tahun 2020 persebaran penduduk Kota

Palangka Rayamasih belum merata. Meskipun akses antar

Kecamatan di Kota Palangka Raya sudah relatif mudah, namun

fasilitas di setiap Kecamatan tidaklah sama. Faktor fasilitas

hiburan, tingkat keramaian dan kemudahan akses fasilitas umum

penting lainnya merupakan faktor penyebab tingkat persebaran

penduduk yang tidak merata di Kota Palangka Raya dan cenderung

terkonsentrasi pada pusat Kota (Kecamatan Pahandut dan

Kecamatan Jekan Raya). Namun demikian bukan berarti daerah di

luar pusat Kota tidak terjangkau. Akses jalur darat di Kota

Palangka Raya sudah bisa menghubungkan ke Kecamatan yang

berada di luar pusat Kota Palangka Raya meskipun belum

sepenuhnya seratus persen terhubung melalui darat.

Tabel 4.1
Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Palangka Raya
Kepadatan
Kecamatan Luas Daerah(Km²) Jumlah Penduduk
Penduduk

1 2 3 4

PAHANDUT 117,25 85.591 729,99

JEKAN RAYA 352,62 126.993 360,14

SABANGAU 583,50 15.859 27,18

BUKIT BATU 572,00 12.871 22,50

RAKUMPIT 1.053,14 3.186 3,03

Jumlah 2.678,51 244.998 91


Sumber : BPS Kota Palangka Raya 2015

4.2 Profil Dinas Sosial Kota Palangka Raya

Dinas Sosial Kota Palangka Raya sebagai salah satu perangkat kerja Pemerintah
Kota Palangka Raya,  sebelum tanggal 17 Maret 2015 telah berdiri sendiri  sejak
otonomi daerah dengan kewenangan urusan sosial ditambah dengan keagamaan
dan penanggulangan bencana tergabung didalamnya. Namun dalam kurun waktu 
tanggal 17 Maret 2015 hingga 30 Desember 2016 kewenangan Sosial digabung
dengan urusan ketenaga kerjaan dibawah  Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Palangka Raya, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palangka Raya
Nomor 1 Tahun 2015. Kemudian dalam rangka melaksanakan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
sejak tanggal 30 Desember  2016  urusan sosial  kembali berdiri sendiri dengan
nama Dinas Sosial Kota Palangka Raya.

Dinas Sosial Kota Palangka Raya mempunyai tugas membantu Walikota


Palangka Raya dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Sosial yang
menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang diberikan kepada daerah.
Tugas dimaksud meliputi perumusan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervise, serta
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan di bidang perlindungan jaminan sosial,
rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan penanganan fakir miskin.

4.2.1 Sumber Daya Perangkat Daerah

1. Pegawai

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Dinas Sosial Kota Palangka


Raya didukung Pegawai yang terdiri atas PNS dan tenaga kontrak, dengan
rincian sebagai berikut:

a. PNS
1) Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah
S-2 9 orang
S-1 20 orang
D-IV 0 orang
D-III 3 orang
SMK 1 Orang
SLTA 4 Orang
JUMLAH 37 Orang

2) Berdasarkan Jenis Jabatan

Jenis Jabatan Jumlah


Eselon II.b 1 Orang
Eselon III.a 1 Orang
Eselon III.b 3 Orang
Eselon IV.a 15 Orang
JFU 17 Orang
JUMLAH 37 Orang

3) Berdasarkan Pangkat/Golongan

Pangkat/Gol. Jumlah
IV/c 1 Orang
IV/b 1 Orang
IV/a 5 Orang
III/d 9 Orang
III/c 12 Orang
III/b 4 Orang
III/a 3 Orang
II/c 1 Orang
II/a 1 Orang
JUMLAH 37 Orang

4) Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah


Laki-laki 18 Orang
Perempuan 19 Orang
JUMLAH 37 Orang

b. Tenaga Kontrak
1) Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah

S-1 2 Orang
D-III 1 Orang
SLTA 1 Orang
SD 2 orang
JUMLAH 6 orang

2) Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerjaan Jumlah


Tenaga administrasi 4 orang
Tenaga Non administrasi 2 orang
(Kebersihan)
JUMLAH 6 orang

Sarana dan prasarana kerja yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Palangka Raya,
antara lain meliputi :
1) Luas tanah : 6.639 M2

2) Luas bangunan :

- Bangunan Kantor 1 unit : 285 M2


- Bangunan Loka Bina Karya (LBK/Tempat
pelatihan penyandang cacat) 2 unit
: 575 M2

3) Kendaraan Dinas

- Kendaraan Dinas Roda 4 : 6 Buah


- Kendaraan Dinas Roda 2
: 3 Buah

4) Peralatan Kantor

c. Anggaran
Sumber dana untuk melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat
penyandang masalah kesejahteraan sosial Kota Palangka Raya
dialokasikan melalui Anggaran Pendaparan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Palangka Raya. Selain kegiatan-kegiatan yang mendapatkan alokasi
dana dari APBD Kota Palangka Raya, terdapat kegiatan- kegiatan yang
merupakan hasil kerja sama antara Dinas Sosial Kota Palangka Raya
dengan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Tengah yang alokasi dananya
berasal dari APBN dan APBD Propinsi Kalimantan Tengah, namun dalam
hal ini pengelolaan anggaran dilaksanakan langsung oleh Dinas Sosial
Provinsi Kalimantan Tengah.

4.2.2 Visi dan Misi

Visi :

- Terwujudnya Peningkatan Pelayanan dan Kesejahteraan Sosial Bagi


PMKS & PSKS Kota Palangka Raya.
Misi :

- Mewujudkan Keberfungsian Sosial Masyarakat & Potensi / Sumber


Kesejahteraan.
- Mewujudkan Kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur yang Handal,
Berdedikasi Profesional.
- Memperkuat Ketahanan Sosial Melalui Upaya Memperkecil Kesenjangan
Sosial Dengan Memberikan Perhatian Kepada Masyarakat Yang Kurang
Beruntung & Rentan Kesejahteraan Sosial.

4.3 Struktur Organisasi Kantor Dinas Sosial Kota Palangka Raya

Dinas Sosial Kota Palangka Raya memiliki Susunan Organisasi sebagai berikut :

a. Kepala Dinas
b. Sekretaris Dinas
c. Sekretariat, terdiri dari :
1) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
2) Sub Bagian Keuangan dan Aset
3) Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi
d. Bidang Pemberdayaan Sosial, terdiri dari :
1) Seksi Pemberdayaan Perorangan & Keluarga
2) Seksi Pemberdayaan Masyarakat & Kelembagaan Sosial
3) Seksi Pemberdayaan potensi Kesetiakawanan & Restorasi
4) Sosial
e. Bidang Rehabilitasi Sosial, terdiri dari :
1) Seksi Rehabilitasi Sosial Anak & Lanjut Usia
2) Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang
3) Disabilitas
4) Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial & Korban Perdagangan Orang
f. Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial, terdiri dari :
1) Seksi Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
2) Seksi Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
3) Seksi Jaminan Sosial Keluarga
g. Bidang Penanganan Fakir Miskin, terdiri dari :
1) Seksi Identifikasi dan Penguatan Kapasitas
2) Seksi Pendampingan dan Pemberdayaan
3) Seksi Bantuan Stimulan dan Penataan Lingkungan
h. Unit Pelaksana Teknis Dinas

KEPALA
KELOMPOK JABATAN
DINAS
FUNGSIONAL
UNIT PELAKSANA
SEKRE
TEKNIS
TARIS

SUB BAGIAN SUB BAGIAN UMUM SUB BAGIAN


PERENCANAAN DAN DAN KEPEGAWAIAN KEUANGAN DAN
EVALUASI ASET

Gambar 4.
Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Palangka Raya

BIDANG BIDANG
PERLINDUNGAN DAN JAMINAN REHABILITASI SOSIAL PEMB
SOSIAL

SEKSI SEKSI
SEKSI PERLINGUDUNGAN SOSIAL REHABILITASI SOSIAL ANAK PEMBERD
DAN KORBAN BENCANA ALAM DAN LANJUT USIA D

SEKSI SEKSI
PERLINDUNGAN SOSIAL KORBAN REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG PEMBER
BENCANA SOSIAL DISABILITAS DAN KE

SEKSI SEKSI
JAMINAN SOSIAL KELUARGA REHABILITASI SOSIAL, TUNA SOSIAL DAN PEMBE
KORBAN PERDAGANGAN ORANG KESETIAKAWAN

4.4 Deskripsi Latar Belakang Terjadinya Pengemis dan

Gelandangan di Kota Palangka Raya

Dari hasil wawancara peneliti dengan gelandangan dan

pengemis, adapun yang menjadi penyebab mereka menggelandang

dan mengemis adalah faktor kemiskinan dan susahnya mencari

pekerjaan yang layak karena tidak punya ketrampilan dan kalah

bersaing dalam memperoleh pekerjaan. Mereka yang umumnya

berusia lanjut usia yang paling tinggi berusia 70 tahun dan paling

muda berusia 20 tahun, ternyata rata-rata tidak memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Ini berakibat pada

sulitnya mereka memperoleh pekerjaan, kemudian menganggur

dan menjadi pengemis dan gelandangan. Dinas Sosial telah

berupaya melakukan pembinaan terhadap pengemis dan

gelandangan, tetapi mereka akhirnya tetap memilih untuk

menjalankan ”profesinya” (mengemis di jalan umum). Menurut

penilaian Dinas Sosial bahwa penyebab utama pesatnya

pertumbuhan pengemis dan gelandangan ini, karena melalui

:profesi” ini mereka mampu memperoleh ”pendapatan” yang lebih

besar jika dibandingkan dengan upah minimum propinsi (UMP),


yakni rata-rata bisa mencapai Rp. 50.000,- sampai Rp. 200.000,-

per hari. Bandingkan dengan upah minimum propinsi Kalimantan

Tengah yang besarnya Rp. 2,931,674,- per bulan.

Menurut pejabat di Kantor Dinas Sosial Kota Palangka

Raya yang mengatakan bahwa sebenarnya peran masyarakat dalam

menumbuh kembangkan populasi pengemis dan gelandangan juga

besar, masyarakat kota Palangka Raya memandang dengan

memberi uang pada orang lain disamping membantu juga

merupakan tanda sikap dermawan walaupun hanya memberi uang

kepada pengemis dan gelandangan. Apalagi bila saat memberi

ditempat yang ramai dan dipenuhi orang banyak, ada semacam

kebanggaan tersendiri, akibatnya akan menyuburkan pengemis dan

gelandangan bila perilaku masyarakat selalu ringan tangan. Ibarat

pepatah ada gula ada semut, pola pikir demikian harus dirubah

masyarakat karena hal tersebut penyebab kerasannya para

pengemis dan gelandangan menjalankan profesinya. Dari hasil

penelitian, faktor internal penyebab mereka menjadi gelandangan

dan pengemis :

a. Faktor kemiskinan

Pengemis dan gelandangan yang kebanyakan adalah

mereka yang miskin. Kemiskinan sementara menjadi momok yang

menyengsarakan bagi masyarakat level bawah. Analoginya bila

pemerintah ingin menghapus pengemis dan gelandangan maka


akan sulit sebelum kemiskinan belum teratasi. Kemiskinan

keluarga pengemis dan gelandangan menjadikan beban bagi

mereka sehingga untuk bisa bertahan hidup jalan satu-satunya

menjadi gelandangan dan pengemis, sebagai penopang pendapatan

ekonomi keluarga.

Jadi karena penduduk miskin adalah penduduk yang

memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis

kemiskinan yaitu sebesar Rp.100.000,- per bulan jelas sangat

rendah bila dibandingkan hidup masyarakat dalam memenuhi

kehidupannya sehari-hari. Inilah dampaknya dari keluarga miskin

yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, sehingga

mereka lebih baik menjadi pengemis dan gelandangan untuk

memenuhi ekonominya.

Seperti Uswatun dan Sutiha mengemis sudah sejak lama,

usia Uswatun 58 tahun mengemis sejak usia 40 tahun asal dari

kabupaten Sampang Madura., mempunyai anak dan cucu yang

berada di kampung mengemis di Kota Palangka Raya atas

kemauan sendiri dengan penghasilan dari mengemis 70.000 per

hari untuk permakanan 20.000 pernah 4 kali kena razia petugas

tetapi kembali lagi. Dan Sutiha 51 tahun berasal dari Bangkalan

Madura, pendidikan terakhir SD telah menjanda selama 8 tahun

datang ke Kota Palangka Raya mengemis atas kemauan sendiri

karena tidak bisa cari pekerjaan yang pantas, penghasilan 90.000


per hari dimanfaatkan untuk makan sendiri dengan tinggal

mengontrak rumah di jalan Dr. Murjani. Keduanya beroperasi di

areal pasar besar dan sekitarnya.

Uswatun dan Sutiha adalah pengemis yang berasal dari luar

pulau sering kena razia tapi kembali lagi, dengan mengemis akan

mudah menutupi kebutuhan sehari-hari cepat mendapat uang

dengan mudah. (wawancara tanggal 10 Maret 2021)

b. Faktor Malas

Dari pengamatan dan wawancara dengan para tokoh

masyarakat, diketahui bahwa para pengemis dan gelandangan

adalah manusia yang malas bekerja dan memilikiki sikap pasrah

pada keadaan dan kenyataan hidup yang sulit akibat kondisi alam

dan pesatnya pertumbuhan pembangunan kota. Mereka tidak

memiliki etos kerja yang tinggi untuk memperbaiki kualitas

hidupnya. Mereka menerapkan strategi untuk bertahan hidup,

karena kegiatan mengemis dan menggelandang cepat mendapatkan

uang, tanpa melalui bekerja dahulu baru mendapatkan uang atau

upah.

Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya proses

perubahan, sehingga menjadi pengemis murni, sambil

menggelandang tidur disembarang tempat. Pola perilaku dan

pekerjaan mengemis tersebut masuk ke dalam sistem sosial

masyarakat, tetapi tidak melembaga pada seluruh lapisan sosial


masyarakat dimana mereka mengemis, artinya masyarakat lokal

tidak terbawa imbas mereka.

Menurut Akhmad Sibuihi,S.Sos menjabat Pengelola

Bimbingan Sosial Kantor Dinas Sosial Kota Palangka Raya,

mengatakan bahwa:

”Dalam pengamatan saya selama ini selaku petugas


yang selalu menangani permasalahan sosial tentang
pengemis dan gelandangan ini mereka ini adalah orang
yang pemalas, tidak punya ketrampilan dan berpendidikan
formal rendah rata-rata hanya tamatan Sekolah Dasar
sehingga kemiskinan selalu berpihak pada mereka yang
berakibat rendahnya tingkat ekonomi hidup mereka yang
berada dibawah garis kemiskinan Kota”

Untuk melihat gambaran kemiskinan tingkat propinsi

Kalimantan

Tengah dalam empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 4.7

Data Angka Kemiskinan di Propinsi Kalteng 4 tahun terakhir

NO Tahun Jumlah Penduduk Miskin

(Ribu Jiwa)

1 2017 9,91

2 2018 9,78

3 2019 9,69

4 2020 10,23
Sumber : BPMDes Prop. Kalteng 2020

c. Faktor Budaya

Setelah peneliti menganalis dari data yang ada pada Dinas

Sosial Kota Palangka Raya dari sekian banyak pengemis dan

gelandangan yang tertangkap petugas razia dan diwawancara satu

persatu alasannya adalah karena tertarik teman, karena kemauan

sendiri dan lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Apabila

faktor budaya dijadikan perilaku untuk mengemis sangat kecil

sekali, faktor ini hanya terdapat pada individu dari sebagian

pengemis yang berasal dari luar seperti Hasyim pengemis dan

gelandangan ini berasal dari Sumenep – Madura Propinsi Jawa

Timur. Sekolah hanya sampai SD, Hasyim seorang duda dan

masih punya keluarga di Madura. Di Palangka Raya menyewa

rumah di jalan Murjani, penghasilan mengemis 200.000 per hari

(pengemis profesional). Bahwa mereka berdua menjadikan

mengemis ini sebagai budaya di daerahnya, namun tidak demikian

halnya dengan di Kota Palangka Raya karena menjadi pengemis

dan gelandangan masih bersifat tabu.

4.5 Peran Dinas Sosial dalam Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan

Makin maraknya pengemis dan gelandangan di jalanan di Kota

Palangka Raya yang beroperasi di jalanan, rumah-rumah


penduduk, pada malam hari di jalan Yos Sudarso ( areal food

container ) sebab di wilayah ini terdapat banyak sekali cafe-cafe

tenda. Sedangka jadwal patroli Satpol PP mulai pukul 11.00 s/d

13.00 WIB, sore pukul 16.00 s/d 17.00 WIB dengan personil yang

terbatas. Bila dalam patroli menemukan sasaran dan temuan ini

Satpol PP berkoordinasi dengan Dinas Sosial Kota Palangka Raya

untuk mengatur jadwal razia penangkapan sasaran.

Dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2012

tentang penanganan Gelandangam, Pengemis Tuna Susila dan

Anak Jalanan, dilatar belakangi untuk menciptakan suasana hidup

yang nyaman, tentram dan kondusif bagi masyarakat Kota

Palangka Raya. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan

terciptanya Kota Palangka Raya sebagai Kota cantik yang bersih

dari permasalahan sosial seperti pengemis dan gelandangan.

Oleh karena itu untuk mengantisipasi maraknya

gelandangan pengemis di Kota Palangka Raya, melalui Dinas

Sosial wajib melakukan upaya untuk pengurangan atau peniadaan

masalah sosial yang dilakukan secara perorangan maupun

kelompok, bersama dengan instansi terkait. Guna mengurangi

kerawanan sosial dan gangguan keamanan ketertiban masyarakat.

Kota Palangka Raya, sesuai dengan slogan Kota Palangka Raya

adalah Kota Cantik (Terencana, Nyaman, Tertib, Indah dan

Keterbukaan ).
Usaha pencegahan timbulnya masalah sosial pengemis dan

gelandangan dalam masyarakat adalah melalui kegiatan preventif,

represif maupun rehabilitatif seperti dijelaskan berikut :

4.5.1. Usaha Preventif.

Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang

meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan,

pemberian bantuan stimulan, pengawasan, pengendalian dan

pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya

dengan pergelendangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah

terjadinya :

a) Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-

keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit

penghidupannya;

b) Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu

ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;

c) Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para

gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah

dikembalikan ke tengah masyarakat;

Adapun usaha yang dilakukan dengan cara

menampung para gelandangan dan pengemis yang terjaring

dalam razia di inapkan di rumah singgah milik Dinas Sosial

Kota Palangka Raya, dibawah pengawasan petugas. Melalui


tahapan ini mereka diidentifikasi dan pembinaan mental

sosial, oleh petugas yang khusus menanganinya, agar para

pengemis dan gelandangan ini memiliki kepercayaan diri

serta tanggungjawab sosial dan mempunyai kemauan sendiri

dan kesadaran untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar agar tidak mempunyai keinginan lagi turun kejalanan

untuk menggelandang dan mengemis. Sehingga dengan

demikian para pengemis dan gelandangan, kembali memiliki

kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat

manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

Seperti hasil wawancara dengan Bapak Akhmad Sibuihi,

S.Sos selaku pengelola bimbingan sosial di Dinas Sosial kota

Palangka Raya bahwa :

”Gelandangan dan pengemis yang terjaring dalam razia


oleh petugas gabungan dengan Satpol PP dibawa ke
Rumah Singgah untuk diidentifikasi selama tiga hari
mana yang berasal dari luar Kota Palangka Raya dan
mana yang merupakan warga Kota Palangka Raya. Dari
hasil identifikasi dan pembinaan mental sosial selama tiga
hari, maka dapat diketahui Klien tersebut akan dirujuk
kemana. Apabila yang bersangkutan dari luar Kota
Palangka Raya maka akan dipulangkan ke daerah asalnya
dengan membuat surat perjanjian dan ditujukan ke Dinas
Sosial daerah asal yang bersangkutan untuk dibina lebih
lanjut. Apabila Klien tersebut berasal dari dalam Kota
Palangka Raya maka dapat dirujuk, sebagai berikut :
a)Bila Klien tersebut sudah tua/jompo tidak ada keluarga
sanak famili dapat dirujuk ke Panti Jompo PSTW Sinta
Rangkang di Kelurahan Banturung, dalam artian
pembinaan dalam panti. b)Bila Klien tersebut masih
anak-anak dan tidak ada keluarga atau yatim piatu akan
dirujuk ke Panti Sosial Asuhan Anak dalam artian
pembinaan dalam panti. c)Bila yang bersangkutan masih
ada keluarga, maka akan dikembalikan ke keluarganya
untuk dibina lebih lanjut. Adapun biaya dari semua proses
itu sudah dianggarkan dalam DPA Dinas Sosial”

4.5.2. Usaha Represif

Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik

melalui lembaga maupun bukan dengan maksud untuk

pengurangan atau peniadaan bertambahnya masalah sosial

pengemisan dan pergelandangan, serta mencegah meluasnya di

dalam masyarakat. Dengan tujuan agar tidak terjadi lagi

pengemisan dan penggelandangan, serta mencegah meluasnya

pengaruh akibat pengemisan dan pergelandangan di dalam

masyarakat, dan memasyarakatkan kembali para pengemis dan

gelandangan menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga

diri, serta memungkinkan pengembangan para pengemis dan

gelandangan untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai

taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang

layak sesuai dengan harkat martabat manusia. Adapun upaya yang

dilakukan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya melalui Dinas

Sosial dalam menanggulangi dan menertibkan masalah sosial

gelandangan dan pengemis di Kota Palangka Raya diantaranya

dengan mengeluarkan stiker yang berisi himbauan kepada

masyarakat luas agar tidak memberi uang kepada para gelandangan


dan pengemis, bentuk stiker berupa gambar larangan dengan

tulisan merah dalam lingkaran merah dan tanda strip merah yang

berbunyi ”STOP’ ditambah dengan tulisan ”Dilarang Memberi

Dengan Memberi Berarti ANDA Menyuburkan Pengemis”.

Stiker ini dipasang di tempat-tempat umum seperti terminal, pasar

besar, komplek pertokoan, rumah-rumah ibadah, Rumah Sakit,

dengan jumlah stiker sebanyak 1000 lembar. Upaya lainnya yang

bersifat rutinitas dengan mengadakan patroli jalanan dan

pemantauan di daerah rawan terutama di areal pasar, dan

bekerjasama dengan Satpol PP dalam kegiatan rutin ini. Bahkan

juga kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial diantaranya

dengan PSM, Tagana (Taruna Siaga Bencana) binaan Dinas Sosial.

Dengan menggunakan mobil operasional patroli Satpol PP yang

sering digunakan untuk razia oleh petugas dengan membawa

personil yang bertugas dua orang. Bila keadaan dilapangan pada

saat patroli menerima laporan dari masyarakat bahwa ada banyak

pengemis di suatu tempat sekaligus diadakan razia dengan

menambah personil dari Dinas Sosial dan Satpol PP. Upaya

lainnya adalah dengan cara melakukan penampungan sementara

mereka yang terjaring razia untuk diseleksi sebagai dasar untuk

menetapkan tindakan selanjutnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Akhmad

Sibuihi, S.Sos menjelaskan bahwa :


”Patroli terhadap gelandangan dan pengemis kami lakukan

tidak juga rutin setiap minggu, tapi melihat situasi dan kondisi

dilapangan dimana para pengemis dan gelandangan ini sering

beroperasi dan juga tergantung daripada dana yang ada karena

mengikut sertakan personil dari Satpol PP mereka juga perlu diberi

insentif, terkadang dilaksanakan patroli kadang tidak Kami hanya

mengawasi diwilayah pasar besar dan sekitarnya, tidak patroli

keliling kota.”

Dengan demikian usaha represif yang dilaksanakan oleh

Dinas Sosial Kota Palangka Raya dengan cara-cara seperti tersebut

diatas yang bertujuan untuk mencegah meluasnya di dalam

masyarakat, untuk mengurangi dan atau meniadakan pengemis

dan gelandangan yang ditujukan kepada seseorang maupun

kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan

pengemisan dengan cara mengeluarkan hinbauan-himbauan

melalui stiker yang dibuat oleh Dinas Sosial dan Satpol PP, dan

razia pemantauan dilapangan. Berdasarkan pengamatan di

lapangan belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Hal ini faktor

penyebabnya adalah karena masih rendahnya tingkat partisipasi

dan keterlibatan masyarakat dalam membantu pemerintah dalam

mensosialisasikan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2012 tentang

penanganan Gelandangan, Pengemis, Tuna Susila dam Anak

Jalanan, ini dalam kehidupan bermasyarakat.


4.5.3. Usaha Rehabilitatif.

Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir

meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan

pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik

ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke

tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,

sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,

kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai

dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik

Indonesia. Yang bertujuan agar tidak terjadi pengemisan dan

pergelandangan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat

pengemisan dan pergelandangan di dalam masyarakat dan

memasyarakatkan kembali pengemis dan gelandangan menjadi

anggota masyarakat yang menghayati harga dirinya.

Beberapa program kegiatan yang dilaksanakan Dinas Sosial

Kota Palangka Raya untuk memfungsikan fungsi sosial mereka

agar dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat melalui

pelatihan ketrampilan usaha ekonomi.

Dengan mekanisme usaha rehabilitatif yang dilaksanakan

oleh Dinas Sosial adalah dimulai dengan penampungan, seleksi,

penyantunan dan tindak lanjut. Yaitu usaha penampungan untuk

meneliti atau menyeleksi pengemis dan gelandangan yang

dimasukkan dalam Panti Sosial, untuk menentukan kualifikasi


pelayanan sosial yang akan diberikan. Penyantunan bertujuan

untuk mengubah sikap mental pengemis dan gelandangan dari

keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif.

Dalam melaksanakan usaha-usaha dimaksud para pengemis dan

gelandangan diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik

fisik, mental maupun sosial serta ketrampilan kerja sesuai dengan

bakat dan kemampuannya. Untuk usaha tindak lanjut bagi para

pengemis dan gelandangan yang telah disalurkan, agar mereka

tidak kembali menjadi pengemis dan gelandangan lagi.

Dalam melaksanakan bimbingan rehabilitasi sosial dan

latihan ketrampilan disesuaikan dengan tahun anggaran.

4.6 Hambatan Dinas Sosial dalam Penanggulangan Pengemis dan Gelandangan

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Akhmad Sibuihi,S.Sos

selaku pengelola bimbingan sosial, ada beberapa hambatan yang ditemukan dalam

penanggulangan pengemis dan gelandangan di kota Palangka raya, yaitu antara

lain :

a. Tidak adanya panti sosial permanen yang ditujukan bagi pengemis dan

gelandangan untuk diberikan pembinaan lebih lama, dikarenakan saat ini

hanya ada rumah singgah maka pengemis dan gelandangan yang terjaring

rajia tidak dapat di tampung sepenuhnya, dan dinas sosial tidak dapat

membina dan memberikan pelatihan secara maksimal bagi mereka yang


nantinya sebagai bekal mencari atau mendapatkan pekerjaan yang lebih

baik lagi untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

b. Kurang tercukupinya anggaran yang disediakan oleh pemerintah kota

Palangkaraya, sehingga proses pembinaan gelandangan dan pengemis

menjadi terhambat.

c. Belum adanya intervensi pembangunan khususnya pembangunan Sumber

Daya Manusia (SDM) untuk meningkatkan kapasitas gelandangan dan

pengemis di kota Palangkaraya.

d. Kurang maksimal koordinasi antara perangkat daerah satu dengan yang

lain, hal ini perlu di tindaklanjuti secara serius dalam bentuk kesepakatan

bersama.

e. Banyak masyarakat yang kurang mengindahkan himbauan agar tidak

memberikan sedekah kepada gelandangan dan pengemis, sehingga

menyebabkan bertambahnya para gelandangan dan pengemis di kota

Palangkaraya.

f. Ketidak pedulian pengemis dan gelandangan terhadap lingkungan

kehidupan sosial merupakan salah satu yang menjadi hambatan

penanggulangan pengemis dan gelandangan yang paling sulit diselesaikan.

Jika pengemis dan gelandangan sudah tidak peduli dengan lingkungan

sekitar, maka dapat dikatakan apapun upaya yang dilakukan oleh berbagai

pihak tidak dapat berjalan dengan optimal. Kesadaran merupakan kunci

dari pemberdayaan, sehingga dengan kesadaran ada keinginan dari dalam

diri untuk berubah dan melakukan inovasi perubahan.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan meneliti

bagaimana penanggulangan pengemis dan gelandangan yang dilakukan dinas

sosial kota Palangka Raya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang

sudah dilakukan peneliti, diperoleh kesimpulan bahwa penanggulangan pengemis

dan gelandangan yang dilakukan Dinas Sosial kota Palangka Raya sesuai dengan

peraturan daerah nomor 9 tahun 2012 tentang penanganan gelandangam,

pengemis tuna susila dan anak Jalanan. Dinas Sosial Kota Palangka Raya

melakukan tiga usaha pencegahan yaitu;

1) Usaha preventif, yang bertujuan untuk mencegah timbulnya pengemis dan

gelandangan di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan

maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber


timbulnya pengemis dan gelandangan seperti dengan adanya di lakukan

Razia rutin.

2) Usaha represif, yang bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan

pengemis dan gelandangan yang berada di Kota Palangka raya dengan

upaya menampung pengemis dan gelandangan untuk sementara yang

kemudian akan di seleksi.

3) Usaha rehabilitatif, yaitu meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi,

penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial

mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat.

Dan adapula kendala atau hambatan Dinas Sosial Kota Palangkara dalam

penanggulangan pengemis dan gelandangan seperti tidak adanya panti sosial

permanen yang di khususkan untuk para pengemis dan gelandangan yang

terjaring razia agar mendapat bimbingan secara maksimal. Kesadaran pengemis

dan gelandangan juga menjadi hambatan karena dengan tidak adanya kesadaran

pengemis dan gelandangan maka mereka akan kembali lagi (tidak jera) menjadi

pengemis dan gelandangan sehingga Dinas Sosial kesulitan untuk menekan

jumlah mereka.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang sudah dibuat, maka peneliti memberikan saran

sebagai berikut;

1) Dinas Sosial Kota Palangka Raya dalam melaksanakan setiap upaya

penanggulangan pengemis dan gelandangan harus di tegaskan lagi,

terutama saat melakukan pemulangan kepada pihak orangtua atau keluarga


sehingga tidak ada pengemis dan gelandangan yang berkali-kali terjaring

operasi razia.

2) Peneliti berharap panti rehabilitasi permanen Dinas Sosial Kota Palangka

Raya segera di dirikan oleh pemerintah sehingga Dinas Sosial bias lebih

maksimal dalam menekan jumlah pengemis dan gelandangan.

3) Peneliti berharap kepada masyarakat Kota Palangka Raya agar ikut

mendukung setiap upaya yang Dinas Sosial Kota Palangka Raya lakukan

dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Palangka Raya

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Achmad dan Nabuko Cholid, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara,
2007)

Arantika, D. P. (2018). Peran dinas sosial dalam menanggulangi pengemis


di kota Banda Aceh.

Danim, S. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif Rancangan Metodologi,


Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan
Penelitian Pemula Bidang Ilmu Sosial, Pendidikan, dan Humaniora,.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Lexy. J. Moloeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku

Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk penulisan Skripsi dan


Tesis, (Jakarta: 2007).

Soraya, I. (2017). Peran dinas sosial kota Panakkukang kota Makassar.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dab R&B.


Bandung: Alfabeta.

Suparlan Parsudi, Kemiskinan Di Perkotaan. (Jakarta: Yayasan Obor, 1993)

Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP.

Perundang-undangan

UUD Negara Republik Indonesa Tahun 1945.


UU Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.

UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat


Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Pengemis


dan Gelandangan.

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Dan Susunan


Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 35 Tahun 2016 Tentang


Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Sosial
Provinsi Kalimantan Tengah.

Jurnal
M Ramadhani, SH Matnuh. 2016 "Peran Dinas Sosial Dalam Penanggulangan
Anak Jalanan di Kota Banjarmasin" dalam jurnal pendidikan
kewarganegaraan.

Purnama, Andrio dan Febri Yuliani. 2015. Pelaksanaan Pembinaan Gelandangan


dan Pengemis oleh Dinas Sosial Kota Pekanbaru.
Dalam Jom FISIP. Vol 2. No. 1.

Riskawati, Isma dan Abdul Syani. 2012. Faktor Penyebab Terjadinya


Gelandangan dan Pengemis. Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, Hal. 43-52.

Website

http//www.Indonesia//.ontime.com Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan


Rakyat,

https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/3158/PP0311980.htm diakses tanggal 18


juli 2020 (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI,
2005) Peraturan pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang penanggulangan
Pengemis dan Gelandangan

Https://kbbi.web.id./Tanggulangin.html

LAMPIRAN

Pedoman Wawancara
A. Daftar Pertanyaan untuk Dinas Sosial Kota Palangka Raya
1. Bagaimana peran Dinas Sosial dalam penanggulangan pengemis dan
gelandangan di Kota Palangka Raya?
2. Apa saja sejauh ini tindakan yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam
penanggulangan pengemis dan gelandangan di kota Palangka Raya?
3. Bagaimana tahapan penanggulangan pengemis dan gelandangan di kota
Palangka Raya?
4. Apa yang dilakukan Dinas Sosial untuk menertibkan pengemis dan
gelandangan di Kota Palangka Raya?
5. Apakah menimbulkan efek jera bagi pengemis dan gelandangan setelah
dilakukan razia?
6. Apakah terdapat rumah singgah bagi pengemis dan gelandangan yang
terjaring razia?
7. Apakah pengemis dan gelandangan mendapatkan pembinaan dari Dinas
Sosial setelah terjaring razia?
8. Apakah dengan pembinaan yang diberikan Dinas Sosial dapat
mengoptimalkan pengurangan pengemis dan gelandangan di Kota
Palangka Raya?
9. Apa yang menjadi kendala/hambatan dalam upaya penanggulang
pengemis dan gelandangan di Kota Palangka Raya?
10. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir hambatan-
hambatan tersebut?

B. Daftar Pertanyaan untuk Pengemis Dan Gelandangan.


1. Siapa nama Bapak/Ibu?
2. Apa faktor yang melatarbelakangi Bapak/Ibu menjadi pengemis atau
gelandangan?
3. Apakah penghasilan yang di dapatkan mampu mencukupi kebutuhan
Bapak/Ibu?
4. Dimana saja lokasi Bapak/Ibu mengemis?
5. Apakah Bapak/Ibu memiliki tempat tinggal?
6. Apakah Bapak/Ibu pernah terjaring razia?
7. Mengapa Bapak/Ibu tidak jera bahkan ketika sudah pernah terjaring razia?
8. Apakah Bapak/Ibu pernah mendapatkan pembinaan dari Dinas Sosia?
9. Apakah yang Bapak/Ibu dapat dari pembinaan yang dilakukan Dinas
Sosial?
10. Apakah menurut Bapak/Ibu upaya-upaya yang dilakukan Dinas Sosial
berhasil mensejahterakan kehidupan Bapak/Ibu ?

Anda mungkin juga menyukai