Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

HASIL DISKUSI E-LEARNING

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN

KONSEP KEHILANGAN DAN BERDUKA

KELAS A2

ANGKATAN 2016

SEKRETARIS:

Neisya Nabila Pawestri (131611133058)

Fajrinandetya Paramita (131611133082)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2017
DAFTAR NAMA DAN NIM KELAS A2 2016

No NAMA NIM
.
1. GALANG HASHFIANSYAH 131611133051
2. ANNISA FITRIANI PURNAMASARI 131611133052
3. ISHOMATUL FAIZAH 131611133053
4. SITI NUR CAHYANINGSIH 131611133054
5. NOPHYANINGTIAS TRI WIDYA NINGSIH 131611133056
6. MITHA PERMATA DINI 131611133057
7. NEISYA NABILA PAWESTRI 131611133058
8. SOURA KRISTIANI TARIGAN 131611133059
9. DESSY SYAHFITRI POHAN 131611133060
10. GRACE MARCELLINA BUTARBUTAR 131611133061
11. BLANDINA EASTER GRACE WAIRATA 131611133062
12. ALFIANA NUR HALIMAH 131611133063
13 NAHDIYA ROSA AHMARI 131611133065
14. REZA RAMADHANA R 131611133066
15. MAULIDIYAH MAHAYU NILAM ANINDY 131611133067
16. LUKMANIA ANDRIANI PUTRI 131611133068
17. YUNIAR RAHMA SOFRO`IN 131611133069
18. SABILA NISAK 131611133071
19. SILVIA FARHANIDIAH 131611133072
20. KONITA SHAFIRA 131611133073
21. TANTYA EDIPENI PUTRI 131611133074
22. ASIH PARAMA ANINDHIA 131611133075
23. EKA HARIYANTI 131611133076
24. EMA YULIANI 131611133077
25. MUTIARA CITRA DEWI 131611133078
26. RAHMATUL HABIBAH 131611133079
27. FADILAH RAMADHAN MUSH`AB RAHMAN 131611133080
28. SABRINA SHEILA UMAR 131611133081
29. FAJRINANDETYA PARAMITA 131611133082
30. GITA AULA TRIBUANA 131611133083
31. FATHMA HANIFATI 131611133084
32. KHOSNUL KHOTIMAH 131611133085
33. IDA NURUL FADILAH 131611133086
34. DEWI INDAH KUMALASARI 131611133087
35. ELYN ZOEGESTYN 131611133088
36. FATATIN NAZHIFAH 131611133089
37. NEISYA PRATIWINDYA SUDARSIWI 131611133092
38. FATUR RIZAL PRATAMA 131611133093
39. MOCHAMMAD NUR CAHYONO 131611133094
40. LAILA MUFIDA 131611133095
41. MARATUS SHOLIHAH RAMADHANI 131611133096
42. FAIZATUL UMMAH 131611133097
43. KHOIRUN NISWATUL ULFA 131611133098
44. DEVI RAHMANINGRUM WARDANI 131611133099
45. NABIELA AUDINA 131611133102

2
Hasil Diskusi Topic Definisi Kehilangan dan Berduka

GALANG HASHFIANSYAH
Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada atau
dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan (Riyadi dan Purwanto, 2009). Menangis, memanggil nama orang
yang sudah meninggal secara terus-menerus, marah, sedih dan kecewa merupakan beberapa respon yang
tampak saat seseorang mengalami peristiwa kehilangan, terutama akibat kematian orang yang dicintai.
Keadaan seperti inilah yang menurut Puri, Laking, dan Treasaden (2011) disebut sebagai proses berduka,
yang merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal maupun
eksternal setelah kehilangan.
Riyadi, S & Teguh, P. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta; GRAHA ILMU
Puri, B.K., P.J. Laking, & I.H. Treasaden. (2011). Buku Ajar Psikiatri.Edisi 2. Diterjemahkan
oleh: W. M. Roan dan Huriawati Hartanto. Jakarta; EGC

ANNISA FITRIANI PURNAMASARI


Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan,
sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011). Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang
merupakan respon emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka,
dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi,
fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan
aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/49678/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=50B26C9DA9CFD86F45112E56386B4F2F?sequence=4
SALIM, J. F. (2014). PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG YANG DICINTAI YANG
DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN NGADA .Jakarta. Bagian Penelitian STIK Sint Carolus Jl.
Salemba Raya 41 Jakarta 10440. http://ejournal.stik-sintcarolus.ac.id/file.php?
file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH
%20JULIAN%20FRITZ%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf

3
ISHOMATUL FAIZAH
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada dan
dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta,
kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu
respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.
Yusuf,A.et al.2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. Salemba Medika
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses
untuk memecahkan masalah.

NOPHYANINGTIAS TRI WIDYA NINGSIH


Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. kehilangan adalah suatu kondisi yang
terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. kehilangan
mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisipasi atau
tidak diharapkan/diduga,sebgian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert, 1985). kehilangan merupakan suatu
keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Berduka adalah respon emosi yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain-lain. berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
A. berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. tipe ini masih dalam batas normal.
B. berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya
dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal abnormal atau
kesalahan/kekacauan.
peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
Sumber : Kurniadi, Rizki. 2011. Asuhan Kperawatan Kehilangan dan
Berduka.https://dokumen.tips/documents/jurnal-kehilangan-dan-berduka-mw-print.html Jurnal.

4
MITHA PERMATA DINI
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika terjadi
perubahan dalam hidup atau berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian ataupun
keseluruhan
Dukacita adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan fisik terhadap
kehilangan yang dipersepsikan.
Sari, Rossi Anita. (2015). “PENGALAMAN KEHILANGAN (LOSS) DAN BERDUKA (GRIEF) PADA
IBU PREEKLAMPSI YANG KEHILANGAN BAYINYA” .EprintsUNDIP.
http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

DESSY SYAHFITRI POHAN


KEHILANGAN
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya.
Sumber :
Kurniadi,Rizki.2015.http://www.academia.edu/download/34731210/ASUHAN_KEPERAWATAN_KEHI
LANGAN_DAN_BERDUKA.docx, (diakses pada 20 September 2017 pukul 10.20WIB).
BERDUKA
1. Menurut Baker Encyclopedia of Psychology, “grief” (kedukaan) adalah “the cognitive and emotional
process of working through a significant loss” (kedukaan adalah proses kognitif/pikiran dan
emotif/perasaan dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang berharga). Proses kedukaan mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, mental: kognitif dan emotif, spiritual dan sosial).
2. Robert E.Neale dalam Loneliness: Depression, Grief, and Alienation mengutip pandangan dari Maris
tentang kedukaan, yaitu kedukaan adalah sebagai akibat dari suatu kehilangan dan merupakan suatu
proses peralihan dari situasi terkejut dan ketidakmampuan melupakan masa lalu menuju ke situasi sedih
yang sangat dalam atas peristiwa kehilangan tersebut, kemudian berusaha memanfaatkan apa yang
berharga pada masa yang lalu sebagai dasar bagi pola hubungan baru yang berguna.” (Handbook of
Pastoral Counseling, 1985: 469-470).

GRACE MARCELLINA BUTARBUTAR

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami

5
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep,
2011).

berduka merupakan suatu keadaan psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal
maupun eksternal setelah kehilangan.Proses berduka memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan
waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat
diprediksi.

salim, julian fritz caesar. pasaribu, jesika. susilo, wilhelmus hary. (2013), "GRIEVING PROCESS DUE
TO DEATH OF LOVED ONE SUFFERED BY THE ELDERLY IN NGADA REGENCY", artikel ilmiah
st. carolus jakarta, maret 2014.

file:///C:/Users/USER/Downloads/ARTIKEL%20ILMIAH%20JULIAN%20FRITZ%20CHESAR
%20PRATAMA%20SALIM.pdf

BLANDINA EASTER GRACE WAIRATA

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada dan
dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta,
kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu
respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Stroebe dan Stroebe (1987) (dalam
Moyle & Hogan, 2006) menganggap berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu yang baru saja
mengalami kehilangan dari sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada. Berduka mengacu pada
respons emosional terhadap kehilangan ini, termasuk beberapa reaksi psikologis dan fisik (Buglass,
2010).

6
Hasil Diskusi Topic Proses Berduka

NEISYA NABILA PAWESTRI


Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal, pertengahan, dan
pemulihan.
1. Fase awal :Pada fase ini seseoarang akan menunjukkan reaksi shock, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Di mana perasaan ini akan berlangsung selama
beberapa hari, kemudian individu tersebut akan kembali pada perasaan berduka berlebihan.
Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan
ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan :Fase kedua biasanya akan dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan
adanya perilaku obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
3. Fase pemulihan :Fase terakhir yang dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada
fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
Sumber : Yusuf, Ah. 2014. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika,
http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20keperawatan%20kesehatan%20jiwa.pdf

NAHDIYA ROSA AHMARI


Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara
internal maupun eksternal setelah kehilangan.Proses berduka memiliki karakteristik yang unik,
membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya mengikuti
tahap yang dapat diprediksi.
Menurut Parkes (dalam Niven, 2013) yang menyebutkan antara lain :
 Mati rasa atau mengingkari
 Kerinduan atau pinning
 Putus asa atau depresi
 Penyembuhan atau reorganisasi
Julian F.C.P.S, Jesika P, WILHELMUS H.S, 2013, PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG
YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN NGADA, Jakarta. Available
from : http://ejournal.stik-sintcarolus.ac.id/file.php?
file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH
%20JULIAN%20FRITZ%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf [20 September 2017]

7
http://digilib.uinsby.ac.id/4151/5/Bab%202.pdf [20 September 2017]

Hasil Diskusi Topic Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Berduka


8
LUKMANIA ANDRIANI PUTRI
Faktor penyebab berduka
Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat menimbulkan respon berduka pada diri
seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang paling sering ditemui adalah sebagai berikut:
1. Patofisiologis. Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat sekunder
akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori, muskuloskeletal, digestif,
pernapasan, ginjal dan trauma.
2. Terkait pengobatan. Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka
waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi).
3. Situasional (Personal, Lingkungan). Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan
sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan
gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan
perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas
luka, dan penyakit.
4. Maturasional. Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti temanteman, pekerjaan,
fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan impian. Rasa berduka yang
muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh bagaimana cara individu merespon terhadap
terjadinya peristiwa kehilangan. Miller (1999 dalam Carpenito, 2006) menyatakan bahwa dalam
menghadapi kehilangan individu dipengaruhi oleh dukungan sosial (Support System), keyakinan
religius yang kuat, kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait
disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.
Sumber: Anonym. (2011). “Kehilangan dan Berduka”. https://www.google.co.id/search?
biw=1366&bih=662&q=makalah+kehilangan+dan+berduka+pdf&oq=makalah+kehilangan+dan
+berduka+pdf&gs_l=psy-
ab.3..0i22i30k1l3.25060.26456.0.26804.4.4.0.0.0.0.126.456.1j3.4.0....0...1.1.64.psy-
ab..0.4.454....0.sJ0dgT3lMxs

SABILA NISAK
Factor predisposisi Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah : (Prabowo,
116:2014)
1. Factor genetic
2. Kesehatan jasmani
3. Kesehatan mental

9
4. Pengalaman kehilangan masa lalu
5. Struktur kepribadia.
Factor presipitasi Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kihilangan, diantaranya :
(Prabowo, 116:2014)
1. Kehilangan kesehatan
2. Kehilangan fungsi seksualitas
3. Kehilangan peran dalam keluarga
4. Kehilangan posisi di masyarakat
5. Kehilangan orang yang dicintainya
6. Kehilangan kewarganegaraan
Sumber: B. A, dkk (2007). Manajement Keperawatan psikososial&kader kesehatan jiwa . jakarta : EGC.

SILVIA FARHANIDIAH
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERDUKA
Faktor Predisposisi
1. Genetik Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi
kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai kemampuan dalam
menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan
fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali
4. Pengalaman kehilangan
sebelumnya Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan
memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan kehilangan yang
bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri,
kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Sumber : Yusuf, Ah et al.2014. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0ahUKEwjHgbvdvbDWAhWCupQKHdxBCP0QFgh

10
MMAU&url=http%3A%2F%2Fwww.ners.unair.ac.id%2Fmaterikuliah%2Fbuku%2520ajar
%2520keperawatan%2520kesehatan
%2520jiwa.pdf&usg=AFQjCNHlTvC6IT8PTfX8JYNeYlYjHxLr4w(Diakses 19 september 2017, pukul
11:20)

KONITA SHAFIRA
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka :
 Arti dari kehilangan
 Sosial budaya
 Kepercayaan/spiritual
 Peran seks
 Status sosial ekonomi
 Kondisi fisik dan psikologi individu.
SUMBER : Anggreni, Dhoma, Sri Wardini. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia.Surakarta: CV Kekata
Group.

ASIH PARAMA ANINDHIA


Faktor yang menyebabkan seseorang berduka antara lain:
1. Kematian, meliputi cara seseorang meninggal, keparahan orang yang dicintai meninggal misal
dalam kasus bencana dan kecelakaaan lalu lintas.
2. Penyakit kronis yang memerlukan perubahan gaya hidup
3. Pembedahan bagian tubuh luar
4. Perubahan fungsi tubuh, karena pembuangan sebagian organ, kecacatan, dsb.
5. Perubahan ketajaman mental.
6. Kehilangan harta dan/atau kedudukan dengan cara yang tidak diinginkan, seperti perampokan,
kebakaran, dsb.
Engram, Barbara. 1993. Rencana Keperawatan Medical Bedah. Volume 3. Diterjemahkan oleh Suharyati
Samba. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG

EKA HARIYANTI
Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan fisik, kesehatan
jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005)
a. Faktor Perkembangan
1. Anak-anak

11
a. Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan
b. Belum menghambat perkembangan
c. Bisa mengalami regresi
2. Orang dewasa
a. Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup
b. Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari
 Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar
biasanya menunjukan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara
terbuka
 Faktor sosial ekonomi
 Faktor kultural
 Faktor agama
 Faktor penyebab kematian
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/49678/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=4C7D49B88483866EE3B97322E2AD7969?sequence=4

MUTIARA CITRA DEWI


Menurut Aiken (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka antara lain : hubungan dengan
orang yang meninggal, kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan, peristiwa ketika
terjadinya kematian dan durasi penyakit, serta konteks budaya dimana kematian itu terjadi.
Sumber : Fahransa, A. Dini (2008). Grief pada Ayah yang Anaknya Meninggal Dunia Mendadak. Diambil
dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125357-155.937%20FAH%20g%20-%20Grief%20Pada%20-
%20Literatur.pdf (20 September 2017)

RAHMATUL HABIBAH
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau dipenjara.
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi bagian
tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.
(Ah. Yusuf, dkk. 2014. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.)

FADILAH RAMADHAN MUSH`AB RAHMAN

12
Respon berduka responden (klien kanker) berespon acceptance sebanyak 5 responden (55,56%). Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, status sosio-ekonomi, kehilangan
yang dialami, support system (dukungan keluarga). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi respon
berduka adalah sistem pendukung sosial (dukungan keluarga). Dukungan harus tersedia ketika klien yang
berduka melalui proses berkabung (Potter&Perry, 2005). Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan
kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka (Rando dalam Potter&Perry, 2005).Responden yang
mengalami respon berduka denial dan bargainingakibat dari responden tidak merasakan adanya
dukungan keluarga (tidak ada dukungan)
Referensi: Triwibowo, Heri, Heni Frilasari, & Ika Ainur Rofi’ah 2013, Hubungan Dukungan Keluarga
Dengan Respon Berduka Pada Klien Kanker Di Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto, (20 September
2017), https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=18&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwinjvy8kbPWAhWLkJQ
KHTWBB-A4ChAWCGIwBw&url=http%3A%2F%2Fejournal.stikes-ppni.ac.id%2Findex.php
%2Fkeperawatan-bina-sehat%2Farticle%2Fview
%2F44%2F44&usg=AFQjCNFjOk9oiZffaW8_nWZ2ZYc8NjJruQ.

SABRINA SHEILA UMAR


Faktor faktor yang mempengaruhi rasa kehilangan dan berduka
1. Perkembangan manusia
Usia klien dan tahap perkembangan mempengaruhi respons terhadap berduka.Sebagai contoh, anak
anak tidak dapat memahami rasa kehilangan atau kematian, tetapi sering merasakan kecemasan akibat
kehilangan objek atau terpisah dari orang tua.
2. Hubungan personal
Ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain, kualitas dan arti hubungan yang hilang akan
memengaruhi respons terhadap berduka. Ketika suatu hubungan antara dua individu telah menjadi
sangat dekat dan terjalin dengan baik, maka dapat dimengerti bahwa individu yang masih hidup sulit
untuk melanjutkan hidupnya.Dukungan sosial dan kemampuan untuk menerima bantuan dari individu
lain merupaka variabel penting dalam pemulihan dari rasa kehilangan dan berduka. Ketika klien tidak
menerima pemahaman dan empati yang bersifat mendukung dari individu lain, berduka dapat
menjadi komplikasi atau berkepanjangan (Hooyman dan Kramer, 2006).
3. Sifat dari rasa kehilangan
Menggali arti suatu rasa kehilangan yang dimiliki klien dapat membantu perawat memahami secara
lebih baik dampak dari rasa kehilangan pada perilaku, kesehatan, dan kesejahteraan klien (Corless,
2006).Rasa kehilangan yang paling jelas biasanya menstimulasi respons pertolongan dari individu

13
lain.
4. Strategi koping
Pengalaman hidup membentuk strategi koping yang digunakan seseorang untuk mengatasi tekanan
karena rasa kehilangan.Klien pertama tama bergantung pada strategi koping yang mereka kenal ketika
mengalami tekanan akibat rasa kehilangan. Ketika strategi koping yang biasanya tidak berhasil, maka
individu memerlukan strategi koping yang baru. Pengungkapan emosi (pelepasan, atau membicarakan
tentang perasaan seseorang) telah dipandang sebagai cara yang penting untuk beradaptasi dengan rasa
kehilangan (Ong et al., 2004).
5. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memasukkan dukungan dan
sumber daya untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan dan respons fisik terhadap tekanan (Cohen,
Doyle, dan Baum, 2006). Ketika individu kekurangan sumber daya finansial, pendidikan, atau
pekerjaan, beban kehilangan menjadi berlipat. Sebagai contoh, seorang klien dengan keterbatasan
keuangan tidak dapat mengganti mobil yang rusak akibat kecelakaan dan membayar tagihan
pengobatan akibat kecelakaan tersebut.
6. Budaya dan etnik
Budaya seseorang dan struktur sosial lainnya (misalnya keluarga atau keanggotaan keagamaan)
memengaruhi interpretasi terhadap rasa kehilangan, membangun pengungkapan berduka yang dapat
diterima, serta menyelenggarakan stabilitas dan struktur di tengah kekacauan dan rasa kehilangan.
Setiap budaya memiliki ritual kematian, praktik perkabungan, dan perilaku berduka yang diharapkan
yang menawakan struktur, petunjuk, dan kenyamanan bagi individu yang masih hidup. Praktik
tersebut berbeda secara meluas di lintas dunia.Perbedaan budaya dalam pelayanan akhir kehidupan
menjadi jelas dalam area bahasa, hubungan dan keterlibatan keluarga, kepercayaan keagamaan,
masalah etika, ungkapan rasa nyeri dan penderitaan, dan perawatan tubuh setelah kematian (Kemp,
2005).
7. Kepercayaan spiritual dan keagamaan.
Penanganan penyakit secara serius pada klien biasanya melibatkan intervensi medis untuk
memulihkan atau menjaga kesehatan. Sebagau rangkaian praktik kedua, startegi yang transformatif,
mengakui keterbatasan hidup, dan membantu individu yang sekarat menemukan arti dalam
penderitaan sehingga mereka dapat melampaui atau melangkah lebih ke depan, keberadaan diri
mereka. Praktik yang transformatif dihubungkan dengan penyembuhan, komunitas, dan kepercayaan
spiritual atau keagamaan ( Myers, 2003). Sumber daya spiritual termasuk kepercayaan pada kekuatan
tertinggi, komunitas pendukung, teman teman, rasa pengharapan dan arti hidup, dan praktik
keagamaan. Spiritualitas klien dan keluarga memengaruhi kemampuan mereka untuk beradaptasi

14
terhadap rasa kehilangan. Individu yang memiliki hubungan yang kuat dengan kekuatan tertinggi
menunjukkan ketabahan dan kemampuan untuk mengalami pemulihan dari rasa kehilangan (Mathels
dan Tulsky, 2006).Integrasi spiritual terjadi ketika individu mencapai kata sepakat dengan
kehidupannya dan meletakkan potongan potongan kehidupannya bersama sama dalam suatu cara
yang sesuai dengan seluruh kehidupannya. Mendekati akhir kehidupan, integrasi tersebut membantu
individu memperbaiki hubungan yang rusak atau menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan
(O’Gorman, 2002)
8. Harapan. Harapan suatu komponen spiritualitas multidimensi, mendorong, dan memberikan rasa
nyaman bagi individu yang mengalami tantangan personal. Pengharapan memberikan individu
kemampuan untuk melihat kehidupan sebagai keabadian atau memiliki arti serta tujuan. Sebagai
suatu bentuk masa depan dan dorongan motivasi, harapan membantu klien mempertahankan suatu
harapan yang baik, suatu perbaikan dalam lingkungan mereka, atau pengurangan terhadap sesuatu
yang tidak menyenangkan. Dengan harapan, seorang klien berpindah dari perasaan lemah dan rentan,
menuju ke kehidupan yang penuh kemungkinan (Arnaert, Filteau, dan Sourial, 2006)
Potter, P.et al.2010. Fundamental Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika.

FATHMA HANIFATI
Faktor yang menambah rasa berduka :
1. Tidak ada pengalaman sebelumnya dengan kehilangan, kematian, atau kesedihan yang berarti
2. Kehilangan baru-baru ini
3. Riwayat pribadi yang melibatkan banyak kkehilangan
4. Sedikit atau tidak ada dukungan dari teman atau keluarga
5. Norma masyarakat yang meremehkan dan meniadakan kehilangan
6. Komentar sensitif dari orang lain tentang kehilangannya
7. Perasaan bersalah atau tanggung jawab atas kematian
8. Kematian dini seperti anak-anak, orang dewasa muda, atau hewan muda
9. Kematian yang terjadi tiba-tiba, tanpa peringatan
10. Kematian yang terjadi setelah lama, penyakit yang masih ada
11. Kematian yang tidak diketahui penyebabnya atau yang bisa dicegah
12. Hilangnya yang tidak dapat dijelaskan
13. Tidak hadir saatterjadinya kematian
14. Tidak melihat fisik dari seseorang setelah kematian
15. Menyaksikan kematian yang menyakitkan atau traumatis
16. Kematian yang terjadi bersamaan dengan kejadian kehidupan penting lainnya seperti ulang tahun,

15
liburan, atau perceraian
17. Saran berdasarkan pengalaman negatif orang lain dengan kematian atau informasi yang tidak akurat
tentang kesedihan yang sewajarnya
Daftar Pustaka : Moga, Jeannine. 2012. "Coping With the Loss of Your Companion Animal". Veterinary
Medical Center University of Minnesota

SOURA KRISTIANI TARIGAN


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya duka cita pada seseorang, faktor-faktor
tersebut, antara lain:
a. Hubungan individu dengan almarhum
Yaitu mengenai reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang dialami setiap individu
akan berbeda tergantung dari hubungan individu dengan almarhum, berdasarkan beberapa kasus
dapat dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan
dengan proses duka cita yang cukup sulit.
b. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
Merupakan perbedaan yang mencolok adalah jenis kelamin dan usia orang yang
ditinggalkan. Secara umum duka cita lebih menimbulkan stres pada orang yang berusia lebih
muda. Berbagai penelitian seperti yang diungkapkan oleh Lubis (2009) mengatakan bahwa
golongan usia muda dan orang dewasa lebih banyak terkena stres bahkan depresi.Hal ini dapat
terjadi karena pada usia tersebut terdapat tahap-tahap serta tugas-tugas perkembangan yang
penting, yaitu masa peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja, dari masa remaja
menuju masa dewasa (Lubis, 2009).Menurut Survei terakhir seperti yang disebutkan oleh
Wilkinson (1995) terdapat prevalensi yang tinggi dari gejala-gejala depresi pada golongan usia
dewasa muda yaitu usia 18-44 tahun (Lubis, 2009). Namun, seiring dengan bertambahnya usia
kecemasan, dan depresi dapat berkurang. Hal tersebut dikarenakan berkurangnya respon
emosi seseorang seiring bertambah usia, meningkat kontrol emosi dan kekebalan terhadap
pengalaman yang penuh dengan tekanan.Mengenai jenis kelamin, wanita adalah jenis
kelamin yang seringkali terserang stres bahkan dapat dikatakan rentan terdiagnosis depresi.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Lubis (2009) bahwa wanita dua kali lebih
mudah terserang depresi. Terdapat beberapa penyebab yang dapat mempengaruhi hal
tersebut, antara lain adalah tekanan sosial pada wanita yang mengarahkan pada wanita lebih
jarang ditemui pada pria. Selain itu, ada juga perubahan hormonal dalam siklus
menstruasi yang berhubungan dengan kehamilan maupun kelahiran dan juga menopause
yang membuat wanita lebih rentan menjadi pemicu depresi (Lubis, 2009).Menurut Radloff dan

16
Rae (1979) yang berpendapat bahwa adanya perbedaan tingkat depresi pada pria dan
wanita lebih ditentukan oleh faktor lingkungan dan faktor biologis (Lubis, 2009). Pada
faktor lingkungan, wanita seringkali mengalami stres jika terdapat perubahan peran sosial
sehingga menimbulkan berbagai konflik serta membutuhkan penyesuaian diri yang lebih intens.
Sedangkan faktor biologis yang dimaksud adalah adanya perbedaan secara fisiologi dan
hormonal dibandingkan pria. Selain itu, menurut Pease dan Pease (2001) lebih banyak
jumlah wanita yang mengalami depresi adalah disebabkan pola komunikasi(Lubis, 2009).
Pola komunikasi pada wanita berbeda dengan pola komunikasi pada pria. Jika seorang
wanita mendapat masalah, maka wanita memiliki keinginan untuk mengomunikasikan
maslaah dengan orang lain dan memerlukan dukungan atau bantuan orang lain.
Sedangkan pada pria cenderung untuk memikirkan masalah sendirian hingga mendapat
jawaban atas masalah tersebut. Pria juga jarang menunjukkan emosi sehingga kasus depresi
pada pria lebih jarang daripada wanita.Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa usia
yang lebih muda khususnya pada usia dewasa muda yaitu usia 18-44 tahun lebih
rentan mengalami depresi. Jika seseorang pada usia tersebut mengalami duka cita dan tidak
mampu bangkit dari masa tersebut, dapat dimungkinkan terserang depresi. Begitu pula dengan
jenis kelamin, wanita dalam melewati masa duka cita, yang merupakan masa penuh tekanan,
lebih sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan masa duka cita
yang dilewati pria.
c. Proses kematian
Cara seseorang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi yang dialami orang
yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak, kemampuan orang yang
ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar juga akan menimbulkan perasaan tidak berdaya
dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam mengatasi duka cita
Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana

MAULIDIYAH MAHAYU NILAM ANINDY


faktor yg mempengaruhi:
1. Usia
2. jenis kelamin
3. pendidikan & SSE
4. sifat hubungan

17
5. sistem pendukung social
6. sifat kehilangan
7. keyakinan spiritual dan budaya
8. potensi pencapaian tujuan/harapan
sumber: http://ejournal.stik-sintcarolus.ac.id/file.php?
file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH
%20JULIAN%20FRITZ%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf

FAIZATUL UMMAH
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka antara lain adalah: hubungan dengan orang yang
meninggal; kepribadian, usia, dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan; peristiwa ketika terjadinya
kematian dan durasi penyakit; serta konteks budaya dimana kematian terjadi.
Fahransa,Adeke Dini . 2008. “Grief Pada Ayah Yang Anaknya Meninggal Dunia Secara Mendadak”.
Skripsi.Universitas Indonesia Depok (Diakses pada :
http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/3841508/grief-pada-ayah-yang-anaknya-meninggal-dunia-
secara-mendadak.html/ 20 September 2017)

18
Hasil Diskusi Topic Tahapan Berduka Menurut Teori
TANTYA EDIPENI PUTRI
Tahapan berduka menurut teori Kubler-Ross (1969)
1. Fase Penolakan (denial), pada tahap ini seseorang menolak untuk percaya bahwa sebuah kehilangan
telah terjadi (Mallory, 2002)
2. Fase kemarahan (anger), pada tahap ini individu mempertahankan kehilangan dan mungkin bertindak
lebih pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan, selain itu seseorang
lebih sensitif sehigga mudah sekali tersinggung dan marah
3. Fase penawaran (bargaining), pada tahap ini seseorang mungkin berusaha untuk membuat cara yang
sama untuk mencegah kehilangan. Pasien mencari cara untuk mencoba membandingkan suatu kondisi
selama fase ini. Tujuan pembandingan ini adalah untuk mencoba mencari pembenaran atas alasan
perasaannya. Salah satu pasien pada studi ini sering kali mengungkapkan kata-kata penawaran dalam
menceritakan pengalamannya yang menunjukkan pasien telah melalui fase ini.
4. Fase depresi, pada tahap ini terjadi ketika kehilangan diktahui dan hubungan signifikannya menjadi
lebih jelas. Fase ini mungkin dikaitkan dengan kesendirian dan penarikan diri secara keseluruhan.
5. Fase penerimaan (acceptance), pada tahap ini seseorang mulai bisa menerima kehilangan, pikiran
tentang kehilangan mulai menurun.
Sumber : Vitrriawan, Welly dkk. (Maret 2007). “Pengalaman Pasien Pertema Kali Terdiagnosis
HIV/AIDS: Studi Fenomenologi dalam Perspektif Keperawatan”. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume
11, No. 1. http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/179/321, diakses pada 19 September 2017 pukul
17.49

EMA YULIANI
TAHAPAN BERDUKA
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran
(bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA.
Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui
bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu
fase marah atau depresi.Menurut teori Kőbler Ross’s tahapan berduka yaitu:
Tahapan Respons perilaku
1. Mengingkari :
 Mengingkari kenyataan yang ada
 Menolak mempercayai bahwa kehilangan itu terjadi

19
 Contoh :
”Tidak , berita itu tidak benar anak saya nanti juga akan kembali mungkin belum mau
pulang saja”
 Tidak siap menangani masalah yang berhubungan dengan praktik atau procedural
 Contoh :
”Saya tidak apa – apa, sakit – sakit saja, itu dokter salah periksanya untuk apa saya
mengikuti anjurannya”
2. Marah :
 Mencari orang yang salah dalam peristiwa kematian
 Klien atau keluarga langsung marah pada petugas kesehatan
 Contoh :
”Jangan suka bawa berita yang tidak benar, kalau tidak tahu pasti”.
”Jangan bicara, itu ! ”Tuhan tidak adil”.
3. Tawar menawar :
 Keinginan menunda realitas kematian
 Meminta perundingan (menawar) untuk menghindari kehilangan
 Contoh :
”Kenapa saya mengizinkan pergi”. Kalau saja dia dirumah tentu ia tidak kena bencana itu?
 Mengekspresikan perasaan kesalahannya atau takut hukuman atas dosa yang lalu,
kenyataan atau kesan/imagined
 Contoh : ”Kalau saja saya dulu berobat atau kontrol teratur mungkin ...”.
4. Depresi :
 Kenyataan tidak dapat dipungkiri
 Berkabung yang berlebihan
 Tidak dapat melakukan apapun
 Bicara sesuka hati
 Menarik diri, Termenung
 Sedih, Menangis
 Contoh:
”Ia. Saya tidak mau anak saya pergi lagi”.
”Makan tidak makan kumpul saja dirumah”.
”Biar saja tidak perlu berobat nanti juga sembuh”
”Tidak usah bawa ke RS, sudah nasib saya”.

20
5. Penerimaan :
 Berusaha menerima dan adaptasi
 Mulai menerima arti kehilangan
 Menurunnya ketertarikan dengan lingkungan
 Tidak tergantung pada orang yang mensupport
 Mulai membuat perencanaan
 Contoh :
”Ya Allah maha segalanya semua atas kehendakNya”.
”Hidup sehat itu penting mencegah lebih baik dari pada mengobati”.
”Ya akhirnya saya harus dioperasi”.
”Apa yang harus saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Yusuf, Ah,. Fitryasari, Rizky,. Endang, Hanik. 2014. Buku Ajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa.Jakarta: Salemba Medika

FAJRINANDETYA PARAMITA
Tahapan teori berduka menurut Rodebaugh et al. pada tahun 1999:
1. Reeling yaitu klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
2. Merasa (feeling) yaitu klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan
yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan,
kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum
3. Menghadapi (dealing) yaitu klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan bimbingan spiritual.
4. Pemulihan (healing) yaitu klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan
atau diterima.
Faktor predisposisi
1. Genetik : Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi
kehilangan.
2. Kesehatan fisik : Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental : individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.

21
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya : kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa
kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa
dewasa.
Faktor presipitasi : faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan
kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan
harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Sumber : Sari, Rossi Anita. 2015. Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) pada Ibu
Preeklampsi yang Kehilangan Bayinya. Skripsi S1 Prodi Keperawatan Fakultas Kedokteran,
http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

GITA AULA TRIBUANA


TAHAPAN BERDUKA MENURUT TEORI
Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969 Elisabeth Kubler-Ross menetapkan lima tahapan
berduka, yaitu :
a) Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
b) Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau pemberi perawatan
kesehatan.
c) Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih banyak waktu dalam
upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari.
d) Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
e) Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia menerima kematian.
Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan ketika mereka mencari cara memahami dan
membantu klien dalam proses berduka
Sari RA, S Sudarmiati, D Susilowati. 2015. Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) pada Ibu
Preeklampis yang Kehilangan Bayinya. http://eprints.undip.ac.id/47270/

KHOSNUL KHOTIMAH
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran
(bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA.
Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui
bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu
fase marah atau depresi.
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam,

22
terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Indriana (2012) mengatakan
bahwa penyangkalan merupakan tahap pertama dari Kubler-Ross’s Stage of dying dimana pada
tahap ini seseorang menyangkal bahwa kematian itu akan benar-benar datang. Penyangkalan,
bagaimanapun hanya merupakan defence yang bersifat sementara, dan biasanya digantikan oleh
bertambahnya kesadaran ketika seseorang itu dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan
keuangan, permasalahan yang belum selesai, dan perasaan khawatir mengenai keluarga yang
ditinggalkan. Teori ini menggambarkan bahwa penyangkalan merupakan sebuah fase dimana
seseorang yang mengalami peristiwa kematian orang yang ia cintai merasa kaget dan tidak
percaya dengan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Keadaan ini menurut asumsi peneliti
dapat terjadi akibat peristiwa kematian yang dialami terjadi secara tiba-tiba dan siapa orang yang
meninggal tersebut bagi orang yang ditinggalkan untuk selama-lamanya.
b. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan marah
yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya.
Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal.
Indriana (2012) mengatakan bahwa marah merupakan tahap kedua dari Kubler-Ross’s Stage of
dying, yaitu suatu tahapan dimana seseorang yang menghadapi suatu peristiwa kematian merasa
bahwa penyangkalan tidak mungkin lagi diteruskan, dan orang tersebut menjadi sulit untuk
dirawat, karena kemarahan akan diarahkan dan diproyeksikan kepada para tenaga medis, perawat,
anggota keluarga, bahkan Tuhan.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar. Tawar-
menawar merupakan suatu tahap dalam proses berduka dimana seseorang mengembangkan
harapan bahwa kematian dapat saja diundur atau ditunda. Secara psikologis, orang itu berkata
“iya, aku, tapi…”.Penambahan waktu hidup dalam hari, minggu atau bulan menjadi harapannya
dan orang itu berjanji untuk mengabdikan hidupnya kepada Tuhan atau untuk melayani sesama
(Indriana, 2012).
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya yang
sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang
lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan
penurunan libido. Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai.

23
.Keadaan seperti ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa depresi dapat terjadi akibat
adanya suatu pengalaman yang menyakitkan bagi seseorang sehingga orang tersebut
mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata yang menggambarkan adanya suatu bentuk rasa
keputusasaan, kerinduan, dan kesedihan yang mendalam terhadap sesuatu. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lubis (2009) yang mengatakan bahwa depresi
merupakan suatu keadaan akibat pengalaman yang menyakitkan, dimana individu yang
mengalami depresi akan menunjukan gejala seperti sedih yang berkepanjangan, perasaan tidak
ada harapan lagi, sensitif, hilang rasa percaya diri dan munculnya pikiran tentang kematian yang
berulangTahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap sesuatu
yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan,
sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada
objek lain yang baru. Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat
lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat
apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap
penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.
Referensi:
Yusuf A, Fitryasari Rizky dan Nihayati Hanik Endang. 2015. BUKU AJAR: KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA. Jakarta: Salemba Medika.
Fritz, Julian, et al. 2014. PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG YANG DICINTAI YANG
DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN NGADA 2013. Diambil dari http://ejournal.stik-
sintcarolus.ac.id/file.php?
file=mahasiswa&id=488&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=ARTIKEL%20ILMIAH
%20JULIAN%20FRITZ%20CHESAR%20PRATAMA%20SALIM.pdf. Diakses pada tgl 19 September
2017 pukul 17.51 WIB

IDA NURUL FADILAH


Teori kasih sayang (Bowbly, 1980) menggambarkan pengalaman berkabung.
a. Mati rasa (numbing), melindungi individu dari dampak penuh akibat rasa kehilangan.
b. Kerinduan dan pencarian (yearning and searching). Gejala fisik : sesak di dada dan tenggorokan,
napas yang pendek, perasaan lesu, sulit tidur, dan tidak nafsu makan.

24
c. Kekacauan dan keputusasaan (disorganization and despair). Individu yang berduka menceritakan
kembali kisah kehilangan tersebut berulang kali.
d. Reorganisasi, individu mulai menerima perubahan, menerima peran yang belum dikenal,
membutuhkan keterampilan baru, dan membangun hubungan baru
Potter, P. et al. 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

ELYN ZOEGESTYN
Tahapan berduka menurut teori :
MARTOCCHIO (1985)
1. Shock and disbelief
2. Yearning and protest
3. Anguish, disorganization and despair
4. Identification in bereavement
5. Reorganization and restitution
SUMBER : Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice. Jakarta:
EGC

FATATIN NAZHIFAH
Teori Engel
a. syok dan ketidakpercayaan : menyangkal realitas kehilangan, menarik diri, duduk tidak bergerak,
menerawang tanpa tujuan, mual, pingsan, berkeringat, diare, frekuensi jantung cepat, gelisah,
insomnia, dan keletihan
b. mengembangkan kesadaran : merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mengalami keputusasaan,
mendadak marah, rasa bersalah, frustasi, depresi, dan kehampaan.
c. mengenali dan restitusi : realitas kehilangan, tidak marah, tidak depresi, telah jelas kehilangan,
mulai mengenali hidup.
Sumber : Wahyudi, Setiya Andri dan Abd Wahid. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta :
Mitra Wacana Media.

FATUR RIZAL PRATAMA


Ada 4 tahapan dalam proses berduka yaitu : depresi, marah, tawar-menawar, dan mengingkari. Dari
gambaran proses berduka tersebut, terbagi dalam kategori-kategori. Untuk depresi terbagi dalam kategori
putus asa, perasaan kesepian dan kesedihan. Untuk marah terdiri dari kategori memproyeksikan
kemarahan pada diri sendiri atau lainnya. Untuk tawar menawar terdiri dari kategori mempunyai

25
keinginan untuk merubah apa yang sudah terjadi. Untuk mengingkari terdiri dari kategori menolak
mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.
Sumber :PASARIBU, JESIKA dkk.(2013).GRIEVING PROCESS DUE TO DEATH OF LOVED ONE
SUFFERED BY THE ELDERLY IN NGADA REGENCY.jakarta : Bagian PenelitianSTIK Sint Carolus

LAILA MUFIDA
a) Fase denial
1. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan.
2. Verbalisasi: “itu tidak mungkin”, “saya tidak percaya itu terjadi”.
3. Perubahan fisik: letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah.
b) Fase anger/marah
1. Mulai sadar akan kenyataan
2. Marah diproyeksikan pada orang lain.
3. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah.
4. Perilaku agresif.
c) Fase bergaining/tawar-menawar.
1. Verbalisasi: “kenapa harus terjadi pada saya?” “kalau saja yang sakit bukan saya”,
“seandainya saya hati-hati”.
d) Fase depresi
1. Menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
2. Gejala: menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
e) Fase acceptance
1. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
2. Verbalisasi: “apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “yah, akhirnya saya
harus operasi”.
Sumber :Anggreni, D., & Lestari, S. W. P. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia. e-BOOK STIKES-
POLTEKKES MAJAPAHIT.

KHOIRUN NISWATUL ULFA


Rodebaugh (1999 dalam Videbeck, 2008) memandang proses berduka sebagai suatu proses melalui empat
tahap yaitu pertama terguncang (Reeling) klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal, kedua
merasa (feeling) klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan yang mendalam,
kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, ketidaknyamanan

26
fisik yang umum, ketiga menghadapi (dealing) klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual, keempat
pemulihan (healing), klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan penderitaan yang
akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.

DEVI RAHMANINGRUM WARDANI


Teori John Harvey tahun 1998, menetapkan tahapan berduka ada 3 tahap, yaitu :
1. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal
2. Binstruksi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif
3. Menceritakan kepada orang lalin sebagai cara meluapkan emosi dan secara kognitif
menyusun kembali peristiwa kehilangan
Sari, Rossi Anita., (2015). “Pengalaman Kehilangan (Loss) dan Berduka (Grief) pada Ibu Preklampsi
yang Kehilangan Bayinya”.Skripsi Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/47270/1/bagian_awal-bab_3.pdf

SITI NUR CAHYANINGSIH


 Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal, pertengahan, dan
pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari,
kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini
akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
 Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut

27
dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya
sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia,
bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
 Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam,
terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang.
Sumber: Yusuf, A., Fitryasari R., Nihayati N., 2015, Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Salemba
Medika, Jakarta. http://ah-yusuf-fkp.web.unair.ac.id/artikel_detail-170119-Keperawatan%20Jiwa-Asuhan
%20Keperawatan%20Kehilangan%20dan%20Berduka.html

ALFIANA NUR HALIMAH


Terdapat beberapa teori mengenai tahap berduka. Salah satunya adalah teori yang dikemukan Kubler-
Ross (1969) (dalam Moyle & Hogan, 2006). Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:
 Fase pengingkaran (Denial)
Perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan menangis, gelisah, lemah, letih, dan
pucat. Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti
itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umumnya dilontarkan klien;
 Fase kemarahan (Anger)
Perasaan marah dapat diproyeksikan pada orang atau benda yang ditandai dengan muka merah,
suara keras, tangan mengepal, nadi cepat, gelisah, dan perilaku agresif. Individu mempertahankan
kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini individu akan lebih sensitif sehingga mudah sekali
tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan;
 Fase tawar menawar (Bargaining)
Individu mampu mengungkapkan rasa marah akan kehilangan, ia akan mengekspresikan rasa
bersalah, takut dan rasa berdosa. Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, individu sering kali mencari
pendapat orang lain. Peran perawat pada tahap ini adalah diam, mendengarkan, dan memberikan
sentuhan terapeutik;
 Fase depresi (Depression)

28
Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Individu menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara, putus asa. Perilaku yang
muncul seperti menolak makan, susah tidur, dan dorongan libido menurun. Peran perawat pada
fase ini tetap mendampingi individu dan tidak meninggalkannya sendirian;
 Fase penerimaan (Acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang berpusat pada objek
kehilangan mulai berkurang. Peran perawat pada tahap ini menemani klien bila mungkin, bicara
dengan pasien, dan menanyakan apa yang dibutuhkan klien.
Sumber : Putri, Rosiana. 2013. Asuhan Keperawatan Berduka Situasional pada Ibu A yang Mengalami
Stroke Non- Hemoragik di Ruang Rawat Antasena Rumah Sakit Mardzoeki Mahdi Bogor. Depok.
Diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351452-PR-Rosiana%20Putri.pdf (19 September 2017

MOCHAMMAD NUR CAHYONO


Tahapan berduka menurut Teori
1. Penghindaran : Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan
2. Konfrontasi : Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang
melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi : Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan social sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan
kehidupan mereka.
Menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) 3 tahap :
1. Repudiation ( Penolakan )
2. Recognition ( Pengenalan )
3. Reconciliation (Pemulihan /reorganisasi )
Sumber : Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice. Jakarta: EGC

29
Hasil Diskusi Topic Proses Asuhan Keperawatan pada Klien yang Kehilangan
dan Berduka

DEWI INDAH KUMALASARI


Proses Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Data yang dapat dikumpulkan adalah:

a. Perasaan sedih, menangis.

b. Perasaan putus asa, kesepian

c. Mengingkari kehilangan

Diagnosa Keperawatan

1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.

2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis

 Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.

 Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.

2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.

 Intervensi

1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.


R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam
mengatasi perasaannya.

2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.


R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.

30
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder
terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :

1. Klien merasa harga dirinya naik.

2. Klien mengunakan koping yang adaptif.

3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi

1. Merespon kesadaran diri dengan cara :


~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya
sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :


~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.


Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :

1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.

2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.

31
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.

Intervensi :

1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.


R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.


R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan
sendiri.

3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.


R/ Diharapkan klien mandiri.

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan
perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.

2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan
perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur.

3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan
yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup
sehari-hari secara mandiri.

Kurniadi, Rizki. Asuhan Keperawatan Keehilangan daan


Berduka.http://www.academia.edu/8324741/ASUHAN_KEPERAWATAN_KEHILANGAN_DAN_BER
DUKA_Diposkan_oleh_Rizki_Kurniadi

Neisya Pratiwinda S. (36)


Proses Asuhan Keperawatan pada klien berduka dan kehilangan
 Pengkajian
Pengkajian pada klien yang mengalai proses kehilangan dan berduka meliputi tiga komponen
utama, yaitu riwayat keperawatan, sumber koping personal dan pengkajian fisik. Dalam hal ini
perawat mengkaji respon klien dalam menghadapi kehilangan serta sumber-sumber tersedia bagi
klien untuk berkoping dengan situasi tersebut. Lebih lanjut perawta juga perli mengkaji berbagai
data tentang status kesehatan klien; stresor personal laim; tradisi budaya dan spiritual, ritual serta
keyakinan terkait proses kehilangan dan berduka; dan jaringan pendukung (support network)
yang diperlukan untuk menentukan asuhan keperawatan.

32
Pengkajian klien terkait proses kehilangan dan berduka meliputi 3 aspek, yakni fisiologis,
emosional, dan kognitif. Respon klien dalam tiga aspek dapat dilihat pada tabel

 Diagnosis
Menurut NANDA (2003), diagnosisspesifik yang terkait dengan proses berduka meliputi duka
cita adaptif dan duka cita maladaptif. Diagnosis lain yang mungkin muncul antara lain gangguan
proses keluarga, gangguan penyesuaian, resiko kesepian.
 Perencanaan dan Implementasi
Tujuan asuhan keperawatan untuk klien yang mengalami proses berduka akibat kehilangan fungsi
tubuh atau anggota tubuh adalah menyesuaikan diri mereka dengan perubahan kemampuan yang
terjadi serta mengarahkan kembali ke energi fisik maupun emosional mereka ke dalam upaya
rehabilitasi. Tujuan asuhan keperawatan untuk klien yang mengalami proses berduka akibat
kehilangan orang yang dicintai adalah mengenang orang tersebut tanpa harus mengalami
kepedihan yang mendalam serta mengarahkan kembali energi emosional yang dimiliki ke dalam
kehidupannya dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan yang telah atau akan terjadi.
a) Duka cita adaptif
Berhubungan dengan:
 Kehilangan fungsi atau kebergantungan, sekunder akibat (gangguan neurologis,

33
kardiovaskular, pernapasan, muskuloskeletal, trauma)
 Kehilangan akibat
 Kehilangan dan pengaruh negatif yang ditimbulkan, sekunder akibat (nyeri
kronis, penyakit terminal, kematian)
 Kehilangan gaya hidup akibay melahirkan, pernikahan, perpisahan, perseraian
 Kehiangan normalitas, sekunder akibat cacat, luka parut, penyakit)
 Kehilangan harapan, mimpi
o Kriteria hasil : Individu akan mengekspresikan perasaan dukanya
o Indikator
a) Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan utuk mas depan
b) Menyampaikan kekhawatiran yang dirasakan kepada rang terdekat
 Intervensi Umum
a. Kaji faktor penyebab kehilangan (misalnya penyakit termal, perpisahan, status ekonomi,
perubahan citra tubuh, perubahan harga diri, penuaan.
b. Kaji respon klien (misalnya menyangkal, menolak, melakukan tawar menawar,
mengisolasi diri, putus asa, syok, marah, depresi, merasa bersalah, takut)
c. Dorong klien untuk menyampaikan kekhawatirannya dengan teknik pertanyaan terbuka
dan refleksi. Misalnya “Apa yang anda fikirkan hari ini ?”atau “Apakah anda merasa
sedih?”
d. Ungkapkan keprihatinan secara verbal dengan teknik sentuhan
e. Bantu klien dan keluarga mengidentifikasi kekuatan yang mereka miliki, misalnya
dengan mengajukan pertanyaan “Apakah anda memiliki teman dekat?”
f. Dukung klien dan keluarga dalam menghadapi proses berduka
g. Tingkatkan upaya penanganan untuk setiap respon berduka
 Penyangkalan: berikan dukungan dan kemudian upayakan untuk membangun
kesadaran diri klien
 Isolasi: luangkan waktu yang konsisten bersama klien dan keluarga, beri
kesempatan klien dan keluarga untuk menggali emosi mereka
 Depresi: tingkatkan perasaan berharga klien dengan memjberikan penguatan
yang positif; identifikasi tingkat dperesi klien dan adanya indikasi untuk bunuh
diri; luangkan waktu setiap hari untuk berbicara dengan klien dan keluarga ‘
 Marah: beri kesempatan klien untuk menangis dan melepaskan energinya;
dengarkan dan sampaikan keprihatinan; perkuatan dukungan dari orang terdekat
dan dari tenaga professional

34
 Takut: bantu klien dan keluarga mengenali perasaan tersebut; gali sikap klien
dalam menghadapi kehilangan, kematian dan semacamnya; serta gali metode
koping yang digunakan klien
 Penolakan: beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaan tersebut
secara verbal guna meredakan ketegangan emosi
h. Identifikasi kemungkinan munculnya reaksi berduka yang patologis (delusi, halusinasi,
islasi, deprsi, indikasi bunuh diri)
i. Rujuk klien yang berpotensi mengalami proses berduka patologis untuk mendaptkan
konseling
j. Berikan penyuluhan kesehatn sesuai indikasi
 Rasional
a. Dengan mengetahui bahwa tidak ada lagi penanganan yang bisa dilakukan dan kematian
sudah dekat dapat menimbulkan perasaan marah, putus asa, kesedihan yang mendalam,
dan respon lainnya. Diskusi yang jujur dan terbuka dapat membantu klien dan anggota
keluarga dalam menerima dan berkoping dengan situasi yang ada dan berespon terhapad
situasi tersebut (Hull, 1992)
b. Intervensi dari tenaga profesional serta layanan swa bantu dan layanan sukarela yang
didukung oleh tenaga profesional mampu mengurangi resiko gangguan kejiwaan dan
psikanalitik akibat fase berkabung (Boyd & Nihart, 1998)
c. Perawatan di rumah (home care) pada anggota keluarga, dapat mengurangi perasaan tidak
berdaya, dan dapat mendukung prses berduka yang efektf setelah kematian (Vickers &
Carlisle, 2000)
Duka cita adaptif
 Berhubungan dengan:
a. Kehilangan fungsi atau kebergantungan, sekunder akibat (gangguan neurologis,
kardiovaskular, pernapasan, muskuloskeletal, trauma)
b. Kehilangan akibat
c. Kehilangan dan pengaruh negatif yang ditimbulkan, sekunder akibat (nyeri kronis,
penyakit terminal, kematian)
d. Kehilangan gaya hidup akibay melahirkan, pernikahan, perpisahan, perseraian
e. Kehiangan normalitas, sekunder akibat cacat, luka parut, penyakit)
f. Kehilangan harapan, mimpi
 Kriteria Hasil : Individu menyatakan keinginan untuk mencari bantuan tenaga professional
 Indikator

35
a. Mengenali perstiwa kehilangan yang terjadi
b. Mengenali proses berduka yang tidak tuntas
 Intervensi Umum
a. Kaji faktor penyebab (tidak tersedianya sistem pendukung, sangat bergantung pada
individu yang sakit/ meninggal, strategi koping yang tidak efektif)
b. Bina hubungan saling percaya
c. Tingkatkan perasaan berharga klien melaui sesi tatap muka atau berkelompo
d. Dukung reaksi berduka yang ditunjukkan klien dan keluarga
e. Menjelaskan reaksi berduka (syok dan perasaan tidak percaya, munculnya kesadaran dan
restitusi)
f. Kaji pengalaman masa lalu klien dalam menghadapi kehilangan
g. Tingkatkan upaya penanganan setiap respon berduka
 Penyangkalan: jelaskan penggunaan mekanisme penyangkalan oleh salah satu
anggota keluarga kepada anggota lainnya; jangan memaksa klien melampaui fase
tersebut tanpa kesiapan emosional
 Isolasi: tunjukkan penerimaan dengan memberi kesempatan klien untuk berduka,
bangun komunikasi yang jujur dan terbuka, dorong klien untuk terlibat dalam
kegiatan sosial secara bertahap
 Depresi: perkuat harga diri klien; identifikasi tahap depresi yang dilalui dan
dilakukan pendekatan yang sesuai; tunjukkan sikap empati; identifikasi adanya
indikasi bunuh diri
 Marah: Jelaskan pada keluarga bahwa marah merupakan mekanisme yang
digunakan individu dalam mengontrol lingkungannya karena ia tidak mampu
mengontrol kehilangan yang terjadi; dorong klien mengutarakan perasaan
marahnya
 Takut: bantu klien menemukan alasan dari perilaku tersebut, pertimbangkan
langkah alternatif untuk mengekspresikan perasaannya
h. Lakukan Penyuluhan kesehatan sesuai indikasi
 Rasional
a. Risiko kematian pada pria lebih besar daripada wanita pada enam bulan fase berkabung.
Perubahan pola perilaku kesehatan, seperti nutrisi, penggunaan alkohol, merokok,
aktivitas fisik yang bekurang dapat turut meningkatkan angka kematian tersenut (Kaprio
&Koskenvuo, 1987)
b. Semakin tinggi tingkat kebergantungan seseorang pada rang sakit/ meninggal, semakin

36
sulit upaya resolusi (Varcarolis, 1998)
c. Konflik yang tidak terselesaikan dapat menghambat keberhasilan penanganan proses
berduka (Varcarolis, 1998)
 Evaluasi
a. Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan
b. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan
c. Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain
d. Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat kehilangan
e. Klien mampu minum obat dengan cara yang benar
Daftar Pustaka : Mubarak, W.I., Chayatin, N. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori
&Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC

MARATUS SHOLIHAH RAMADHANI


PROSES ASUHAN KEPERAWATAN pada KLIEN yang KEHILANGAN dan BERDUKA
A. PENGKAJIAN
Data yang dikumpulkan adalah:
1. Perasaan sedih, menangis
2. Perasaan putus asa, kesepian
3. Mengingkari kehilangan
4. Kesulitan mengekspresikan perasaan
5. Konsentrasi menurun
6. Kemarahan yang berlebihan
7. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9. Reaksi emosional yang lambat
10. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur
B. DIAGNOSIS
1. Isolasi sosial: menarik diri b.d harga diri rendah/keperawatan kronis
2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis b.d koping individu tak efektif sekunder
terhadap respon kehilangan pasangan
3. Defisit perawatan diri b.d intoleransi aktivitas
C. INTERVENSI
1. Diagnosis : Isolasi sosial: menarik diri b.d harga diri rendah/keperawatan kronis
2. Tujuan umum: klien dapat berinteraksi dengan orang lain

37
3. Tujuan khusus :
 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Klien dapat memahami penyebab dari harga diri rendah
 Klien dapat menyadari aspek positif dan negative dari dirinya
 Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka
 Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan
orang lain
D. AKTIVITAS:
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaannya
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respond an tidak menghakimi
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negative dari dirinya
6. Beri dukungan, support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya
7. Ikut sertakan klien dengan aktivitas yang lain
E. IMPLEMENTASI
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien
2. Memberikan motivasi klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaannya
3. Menjelaskan penyebab dari harga diri yang rendah
4. Mengarkan klien dengan penuh empati, beri respond an tidak menghakimi
5. Memberikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negative dari dirinya
6. Memberi dukungan, support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya
7. Mengikut sertakan klien
F. EVALUASI
1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan
perasaan-perasaannya
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan
yang berhubungan dengan disfungsi berduka
SUMBER :
Wahyudi, Setiya Andri dan Abd Wahid. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta : Mitra
Wacana Media

NABIELA AUDINA

38
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL

A. Pengkajian

Data yang dapat dikumpulkan adalah:

1. Perasaan sedih, menangis.

2. Perasaan putus asa, kesepian

3. Mengingkari kehilangan

4. Kesulitan mengekspresikan perasaan

5. Konsentrasi menurun

6. Kemarahan yang berlebihan

7. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.

8. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.

9. Reaksi emosional yang lambat

10. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

B. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
C. Rencana Tindakan Keperawatan
1) Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
o Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
o Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi
dengan orang lain.
2) Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.

39
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam
mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak
terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan
harga diri klien.
Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder
terhadap respon kehilangan pasangan.
A. Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
B. Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.
2. Menyelidiki diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.

40
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap
dirinya sendiri.
3. Mengevaluasi diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.
4. Membuat perencanaan yang realistik.
~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara
menentukan perencanaan yang realistik.
5. Bertanggung jawab dalam bertindak.
~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif
dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.
6. Mengobservasi tingkat depresi.
~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya disusun
dengan tepat.
7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap
orang yang hilang.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.
A. Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
B. Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

41
C. Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
2. Menganjurkan klien untuk mandi.
R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat
melakukan sendiri.
3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.
R/ Diharapkan klien mandiri.
4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
R/ Diharapkan klien mandiri.
5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.
R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain
Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan
perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.

2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan
perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur.

3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan
yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup
sehari-hari secara mandiri.

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.


YUNIAR RAHMA SOFRO`IN
A. Pengkajian
 Faktor Predisposisi
a) Genetik : Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam
keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap
optimis dan menghadapi kehilangan.
b) Kesehatan fisik : Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur
mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
c) Kesehatan mental : Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki
tingkat kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh

42
kembali.
d) Pengalaman kehilangan sebelumnya : Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di
masa kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi
kehilangan di masa dewasa.
 Faktor Presipitasi : Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi
seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di
masyarakat.
 Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Marah.
3. Putus asa.
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
 Mekanisme Koping
1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi
6. Diagnose
 Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah sebagai berikut.
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional.
B. Rencana Intervensi
 Prinsip Intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah memberi
kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara berikut.
 Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
 Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan
pasien secara emosional.
 Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
 Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang

43
mengalami kehilangan.
 Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.
 Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.
 Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan memberikan
dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan marahnya secara
verbal tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah
adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
 Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).
 Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
 Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining) adalah membantu
pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan takutnya.
 Amati perilaku pasien.
 Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
 Tingkatkan harga diri pasien.
 Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi tingkat
depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.
 Observasi perilaku pasien.
 Diskusikan perasaan pasien.
 Cegah tindakan merusak diri.
 Hargai perasaan pasien.
 Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
 Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
 Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah membantu
pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara berikut.
 Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
 Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
 Tindakan Keperawatan
 Tindakan Keperawatan pada Pasien
 Tujuan

44
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b) Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.
c) Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.
d) Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
e) Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.
C. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
o Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan
spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta hubungan antara
kondisi saat ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi).
o Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.
 Cara verbal (mengungkapkan perasaan).
 Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).
 Cara sosial (sharing melalui self help group).
o Cara spiritual (berdoa, berserah diri).
o Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk saling
memberikan pengalaman dengan saksama.
 Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.
 Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.
b. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
 Tujuan
1) Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
2) Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
3) Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
4) Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
 Tindakan
1) Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan dampaknya
pada pasien.
2) Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh pasien.
3) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan berduka disfungsional.
4) Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien.
D. Evaluasi

45
1) Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2) Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya.
3) Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
4) Memanfaatkan faktor pendukung.
5) Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6) Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
7) Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
8) Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
Sumber : Yusuf, Ah., Rizky Fitryasari dan Hanik Endang. 2014. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

46

Anda mungkin juga menyukai